207
HAK INISIATIF DALAM PEMBUATAN UNDANG-UNDANG
•
OLEH ; HAR IBRAHIM
1.
Pendahulu all
Seper!i diketahui babwa men uru t l iUD 1945 su atu Undang-Undang (UU) labir dari kcrja sarna antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pres:den . Dengan j~!;iah " - ker}a ,~'amd; berarti c:::.::w:::. ;v:dua lembaga negara terse-but m~mpunyai kedudukan yang sedt!rajat. Dan hal ini terlihat dad hak Presiden untuk mengajukan i~ancangan Undang Undang (RUU) dan bak DPR untuk mengajukau RDLl usui j'nisirrtif. Namun dalam praktek terJihat bahwa djbandingkan deng~!~ DPR. Presiden lebih banY
2.
A zas pembagian kekllasaan
Teon klasik ten!ang pemisahan kekuasaan untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke yang membagi kekuasaan negara daiam tiga bagi
200
MAJALAH DlU:
Ameriha ScriK€!t ~'nng oleh bnnyaL sz rjan J din: atakan sebaga i saru:..'nya nef!ar~ yan; in!-!in m~n la lankan teoti Trias Poiitiqa. dala rn pr:lk1e~. i::myat~\
lida k diFll::lnK3n ~('murr:! ~epcrti yang dimaksudkan okh pcnclptanya. D:':'ii.!f!1 m~nj:'l!:! :~ ~..;n te o:-i ter~ebll:. Amer ik .l mmnrr:lkrcK:.:r; si . . iem s~:i~:12 m'~ng;::\\ a~ i dan reri!110angat: antar~ k~k.uas :; (:! - tcKu'(!s;l~n llcf.:Jr,; (ch~ck an\...! balance ~yslcm) . 1 e:ar: ju~tru den ~:m
check am1 naicnce system in i leo ri Trias POlii.iqa tcrsebut tidak
'Jr:!t:t~ k2n
dcngi:: :nUTr::.
Check and b2.I::mce S\'Sitm in : m('n~ 3tur agar kc!l::> ~.~kuls3an ,::-blrti:. lC,!2isJatf ~;::l~ yu,3i'ka:.if ynJl!-- mal.i!n&-rnu si ll g diialc.!nk,m olell p . .~ ~;dei1. Kong:-e:~ ... H:' ~l;::hkm~l.l h ·\F. UI1,:: : it~! tid~k mcoJ,,,il,lnkan kc1..:;",s:'H.ll1m" "m(']{'t":i~ d~rj yail~ dlten;u~ ~' oieh !..:.ons:ltus! alau meIl r:"1 ran~i (,lri m;~".i"1f.-musing kekunSi~ a!l" Si:.-:rDl ini juga banyak die ~.
pl"ngaruhi oleh bcr.tuk
ne ~ara
Arn eriko. y3ng federalistis . Apahil:! ter-
Ilyab Ko~~r(' '' m~lTIbuat ;:iuatu RUU y~nf! menurut peniiaian Presiden
ak3!1 rnf:'r: f' llr,W?:
ke~ua ~~w nnY :l, n1 ;J k :~
,", .. u."p
h~!;,~,,;..:. I:ULit...
\~,~! L
~, ; .:;~O{ <"; I". u!;~rt:'.
m , uk
!
.-
'\:2:;'''''
nt...'gar~ b:::g: :~:'
Prr"idcn berhak me"nn"eiO RUe ampul! Idf:" (.!pat.;J;.; tl!ltLUjL;; o:L:h 2 .3
KOIlCICS d;}ll Badal1 Pembu:!t ~
l:l~c:m!2'-Lndnn~
-
~
tidal memo uar Undang-t)lld ang y;"l11;' bcnen tal:f~;i"' :.ien;;ul: r.=.c.!1':;~l!~;, makJ. 1\·1:J:hknmah Apu!l~ (h~)Cr'lk",r. h<'l l- jlldicia! ril.-iell' (hak m enguji maleriil). Disa;·npin& ill! !\1:J:hk~mah Agung dara t mQmbfltaik ~n lindakan ckse"kn'i f. apabila menurut re nilaian i\ ~J hknmnh Agung, Presic en tid3k berhak m eng~ m bil tindaknn tersebut. D emikian pul a Prcs;den dapat diberhm:ikan sebelum masa jabatannya habis dengan impeachment. Adan)'a hak ve to yang dipunyai oleh Presiden, sebenarnya dia tc la h menjalankan sebagia!, kekua,"an legislatif, dan adanya impeachmont dari Senat, tel ah mengakibatkan Senat mcnjalankan kekuasaan Yudikatif. Demikian pula dengan kekuasaan Mahkamah Agung dalam bidang: judicial re view dan membatalkan 1indakan Prbiden , menempa!kan Mahkamah Agung lebih tinggi dad kcdu a badan ln innya, dan karena itulah ~1ahkamah Agung di Arnerika dinamakan SupremeCour.t, Judi yang supreme- bukan Pr{'sidcn , bukan pul a Kcngre;~ ~apj Mahk amah Agung. H al-hal tersebut ternyata telah meng urangl ?e1aksanaan dari teor i Trias Politiqa '). Berdasarkan keterangan di muk. jel.slah b.hwa adalah tidak mungkin ulItuk memr~ raklek(1n tcori T rias Politiqa selllurni sepcrt~ apt: yang dimaksudkan 01.:h Montesquleu.
HAK INISIATIP Dt\LAM PER1lUATAN UNDANG'
209
Karena tidak mungkin terdapat suatu pemisahan kekuasaan yang murn ;, maka timbul teori lain yaitu pembagian kekuasaan. Dengan pembagian kekuasaan diartikan bahwa kekuasaan-kekuasaan itu memang dibagi-bagi da la m beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan.
Hal ini rnernbmva konsekwensi bahwa diantara bagian-bagia
ani materiiJ ialah bahwa pembagian kekuasaan i1U dipertahank::m dengan ltcgJS dalam tugns-tugas kenegaraan yang secara karekte ristik mem per! ihatkan adanya pemisahan itu dalam tiga bagia!1, legisla!if, eksekutif de n ),udikatif. Hal ini dopatlih dikatakan pelaksana'llll dari teori Tria, Politiqa seeara konsekwen. Dan dapm disebut pemisahan .kekuasaan. Sebalik nya apabila ke kuasa.an itu tidak dipcrlahankan se.cara teg-a s, .maka disebut perni sahnn kckuasaan dalam ani for;nii :}
Hai in i dapatlah dinamakan dengan pembagian kckuasaau. Jadi apabila dipelajari UUD suatu negara, dan ternyata ketiga k ~k u a ~ l: ~r~ itt.! dibagi-bagj , tctnp i d:.l1aI:1. k'.:'n yataann yaf irbk te rriar'al ~ Je mj sahan kekuasaan , karena urnpamanya Undang-Undang dibuat o!eh eksek utif dan legislatif. maka UUD tersebut menganut aza s pcmba-
.gian kekuasaan. Dalam pralotek tidak dijalankan nya teori Trias Politiqa terlihat dad pembuatan Undang- undang, di mana menurut teori Trias Po Iitiqa h:>rus dibuat oleh legislatif, di banyak negara eksekutif juga ikul. Dan untuk Indonesia mungki~ hal ini disebabkan karena pada ekse• kutifl ah tersedial1ya tenaga ahli, waktu dan data yang eukup '). Walan pu n da la'ffi bidang eksekuti! dan legislatif terdapat kerja
-fifl-ma , yang mcnga'kibatkan tid:tk 'dianutnya teori Tri3 s Po!i tic3 atau !~O~! SCi,era!ir)l1 of power dabm ·arti materiil, naroun ~da13h menjadi keharlJsan untuk 1e:ap mcmperlahankan prinsLp Trias Poiitiqa da!am bid,,1ng yud ikatif. Se15ab scbagaimana tujuan d~H i pemisahan kekuasaan adalah untuk Oleneegah bertumpuk selurun kekuasaan di tangan satu ()fang. dan lebih ditingkatl
210
MAJALAH FHUI
!ai n unluk terlaksananya jaminan atas pela'ksanJ.:lI1 hak-hak azasi rna :lUsia . ra i berarli bahwa badan yudikatif lidak boleh dicwmpuri- baik
olch cksekutif m3upun oleh legisia tif, bJhkan dJri pcng:Huh
indi~idu
sekalijJ un . Camp ur langan alas ),udikali[ akan mcnghilangkan prinsip nc[;ura hukum yang banyak uiaUlIl oleh ncgara sekarang, dan sekali-
·gus uk.an mClJghiiangkan jaminan atas pelaksanaan hak-hak
azasr ma-
nusi a. Scbaliknya badan yudikatif juga tidak boleh campur ta ngan at as kekuasaan cksekutif dan legislatif.
Jadi wabu pun suutu negara tidak menganut Trias Politiqa atau sepcratio!l of powers dal am arti materiil, namun adalah merupakan . 'tun tun an zaman bahwa bagi negar:l dcmokra5i yang meng3nut azas negara hukum, b ahwa dal a m b idan g yudikatif prinsip Trias Politiqa atau scpe ra tio n of power dal a m arli materiil harus tetap dipertahankall.
Timbul pertanyaan bagaimanakail den gar. liUD 19-15 ? ~D ilihat , lari bado n ya ng membu at Undang-undang, men urut pasal 5 ayai ( 1) dan P""" 20 a)"l t (I). maka tepallah kalau c1ikatakan bahwa UUD
J<.:'45 1~1cnganlit OZ3S pcn,ca~ i :J. n keku<:!sann scpcrti apa yang dimaksudkan e::::il lvor Jennings ),aitu pemisahan kekuJsaan dal am ani forllli!. T etapi pembagian kekuasaan yang di~n~t oleh UUD 1945 lidak-
1a11 sepcni opa yang dilllaksudkan nleh teori I\'or Jennings atau Tri3s Po!iliqa llla Monlesquieu - walau pe n tidak konsckwe n. Sebab pcr-
soalannya :.ldalah apakah dengan sistem pembagian kekuasaan itu, kckuGsaan yang ada scl uruhnya te!ah hab i~ terbagi-bagi ? UUD 19-15 dalam pasal J ayat (2) menentubn bahwa kdnlatan ada ditangall rakyat, dan dilaksanakon sepo nuhnya ole h Majelis Permusya waratan Rakyat (M PR). be rarti bahwJ ,ul1lJer kek:Jasoa n itu t,r.)2 rca J:ada rzkyat. da n oleh karena rakyat yang sekian juta
•
itu tidak Illungkin me!2ksana kan se ndi ri
kek~asaan
i! u secara konkrit
dalam p.2k:ek, n:aka UCD menetupka n suatu lembaga ya ng memegong keku3saa n unt u k meluksanakan sepenJh:1ya kdnbtan a tas
'.lzmf.!llya yaitu MPR. Sumber kek!.lasaan itu melalui MPR berfungsi d3n tidak hubis, walau pU'1 kemud ian scbagaian ke kuasaan itu dilimpankan kepa{]a kmba2a bn. Ia tidak berhenti, dan buk'inya ba hw a lembaga it u dalam waktu-waktu ter tentu Imeng'adakan sidangnya, sekuran g-kurangnya sekali dalam lima tahun. Sel a nju tnya oleh karena MPR itu meru~a kan lembaga yang jumlah an ggo!a nya cukup ban yak, sehingga sila:nya sangat lam-
HAK INISIATlP DALAM PEMBUATAN UNDANG'
211
bat, serta sulit untllk setiap kali atau sewaktu- waktu mengadakan siCU[rj8, IHka ealrm ' tanyak hal wewenangflya itu disalurkan kt>pada lembaga I,,;nnya yang berad, rio bawahnya yang diatur oleh UUD ',945. lembaga-leOlbaga yang ada d; bawh MPR ilu m'n~rlma dan - menjalankan kekuasaan itu sesuar den"gall keihginan MPR, -sehingga" hubungan antara MPR dan lembaga yang di bawahnya itu dikuasai oleh sistem delegasi kekuasaan. Berhubung dengan itu maka pembagian kekuasaan yang dianut oleh UUD 1945 itu tidak berarti bahwa kekuasaan akan habis terbagi seperti halnya dengan teori Trias Politiqa, melainkan kekuasaan itu oleh lcrrt
eksekutif, 16gislatif dan yudH;::.:~:f ;.:kan dit;;:-is;j o!·::h lemh3g
MAJALAH FHUI
212
Walaupun kekua~aan Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan yudikatif bersumber dari MPR, namun MPR tidak dapat mempengaruhi Mahkamah Agung dalam m-,nj 'hnku Ug":1ya. Sebab UUD 1945 sen.diri da[am Penjelasan panl 24 d3n 25 m~:1gingin Kan tl[r.ya SLtlU l:tlLuf"n kehakiman yang merdeka. Ini berarti bahwa lidak cda kekuasaan lair, baik dari eksekutif, legislatif mau pun oari invidu yang lurul campur Langan dalam bidang yudikatif ini. Bahkan MPR tidak dapat me"gurangi kekuasaan Mahkamah Agung dalan: illtoli"gakall ,prinsip kekuasnan kehakiman yang beha, dan [idak mem ihak. Sebab kalau sampai MPR dan lembaga-lembaga lainnya turut c~mpur tangan dal 2 ID bidang, peradilan Dllkl Inl itil !b!rt!i1tangan lJcngan UUD 1945. Kalau kita meminjam pendapat dari Montesquieu Jcn her len,irfs calom -tidang yudikatif ini prinsi! Trias Politiqa at au seperatio" of power tetap harus dipenahankan. Karena itulah Undang-un
terakhir dari DPR yang be.rtugas melaksanakan pengawasan sehari-hari, berhu buog karena MPR tidak mungkin melaksanakan pengawasan sehari-har!, yaitu apabila DPR dihadapkan kepada kcnyataan balma pengawasan yang
d:1Jhukanilya
~cpadJ
Presiden
tid;.~lr
diikuti oleh Prcsidcn
melanggar UUD 1945 dan Ketetapan MPR.
yr.n~
tcl::h
HAK INISIATIP DALAM PEMBUATAN UNDANG'
213
Dalam kekuasaan legislatif, MPR menyerahkan pelaksanaannya kepada Presidefi clan DPR yang berarti bahwa kedua lembaga ini dala m membuat Undang-Undang harus bekerja sarna (lih't pasal 5 ayat [1) dan pasal 20 ayat (1) UUD 1945). Kekuasaan legislatif ini diberikan kepada badan legislatif dengan prinsip p,JYlluraJ bk'HSlan ke.padn Icmbaga di bawahnya, dan ini membawa konsekwensi Jogis 1:<1.\\a hrrt s ada pertanggungan jawab dari legislatif kepada MPR. Pertanggu ng jawaban dari Presiden kepada MPR baik scbagai t~1 a ndat::ris
maupun sebagai Jegjslatif pada akhirnya da pat diberikan pada ak hir masa jabatan Presiden atau palh sidang istimewa MPR.
Ti dak dem' kian halnya dengan DPR, sebab menurut pasal 2 ayat (1) da n penjel t san um u", bagian sis!em pemeric,tahan dari UUD 1945 menyatakan bahwa ,anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. Kalau pert anggungan jawab tersebul dibayan gbn n:n:l d"gln pert~nggung jawab Presi den kepada MPR tentulah tidak mungkin, sebab pada akhirnya MPR akan memecat dirinya send;ri. Tel ar: disamping adanya perlanggung jawab dalam arti luas, juga d i kcn ~1 dalam arti scmpit flJ, yailu pertanggun ~ jawaban lanpa san h i, ,am a ha lnya '.perti pcrf2nggu ng jawaban Wakil Presiden kepada Preside n. Dan r n"'ir'rp-'tT~ jtv.£1::,W 'CPR kepada MPR .
Keu ailgnn .- ~ec3 ra lallgsung scsuai dcngan prinsip penyaluran keknsr.an k(r~c'a Jcrr.baga negara yang Jebih rendah, dapat dim;nta ,pertanggul1,; jawahn ya olch 1\1PR, dan t~Jt" s~j" d~iln arl.; s~.n.Jil.
214
MAJALAH FHUl
3.
Pembutuan Ulldang-Ulld7Ilg.
a. Prosedur RUU dari Presiden dan RUl; usul illisial;f dari nPR Di rnuka tclah dijelaskan bahwa berdasorkln banyi PlSll 5 ayat
0) dan pasal 20 ayat (I) UUD 1945, UU dibuat oleh DPR bersarna-sarna dongan Presiden. Dan seperti t
m::::!Wf! g inl1iatief pad '1 umumn)'o daiting dari p emerimc.h,
oich karelw pemerilltah mempllllyai a!at-a!alnyn, memplIn),ai badanbada.~ law usa/ta. Dinegeri maH 7pflll JURa pada umun11lya rancangan
undang-wulallR iru berasal dari pemerintah dan disampaikan kepar!a Dewall PerH/G.ki{an Rakyat. Begillliah s.· stemnya" !oJ).
Bersama-samJ antara DPR dar. Presiden berani bahw) kedua iembaga negara itu sama-sama berhak untuk mengaj~bn RUU, dan harus ada kerja sarna dalam pembua:an, sena kemungkinan salah diantar,>:nya akan men oiak RUU dari yang lain . Bcrtlasarkan pasal 5 ayat (1) UU D 1945, Presiden berhak men gajukan RUU. RUU ini disampaikan kepada DPR dongan sekal igus
rr.enu nj uk Mep.tcri yang akan mewaki!i Presidcn daiam melakukan eli DPR - pasai 95 Per~turan Tata Ter~b DPR-. Demikian pula halnya dengan anggo'a DPR berdas3fkan pasal 21 ayat (1) .vUD 1945 berhak mcngaju kan RUU, yang oie~ Peraturan Tara Terlib DPR disebulkan dcngan ist dah RUU us ul in isiatif - pa"i 90 Peraturan Tata Tertib DPR- RUU ini harus ditanda tangani oleh sekurang-kurangnya 30 aaggota DPR tidak hanya terdiri dari satu fraksi saja, jadi dapat dua atau tiga frak,i - pasal 99 ayat (1) - RUU ini diajukan kep"da Pimp,nan DPR yang da lam rapat p leno berikutnya di ber;tahukan kC'~ada anggota-anggota DPR t-entang m~s:JknY-l RUU "ni. Se!eIah diberi nomar pokok oleh Sekretariat dibagikan ke;>lda anggota DPR dao Pemeriotah. Dao dalam ra?at B~jl:1 MJ3YlWarah p~mbicaraa n
HAK INISIATlP DALAM PE:MBUATAN UNDA NG'
4 1S
pengusul djberi kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari RUU tersebut - pasal 99 ayat 2, 3, dan 4. Jadi setelah RUU baik yang dari Presiden mall pun \!sul inisiatif DPR diberi nomor po~ok oleh sekeetariat dan dibagikan kepada para nnggota DPR dan Pcmerintah - dalam RUU usul inisiatir-, maka proses pembuatannya melalui beberapa tahap sebagai berikut : a
tingkat
I - rapat plena terbuka;
b c.
tingkat II - rapat plena terbuka; tingkat III - rapat komisi;
d. tingkat IV - rapat plena terbuka, kecuali kalau Badan Musyawarah rnenentukan lain. Setelah pembiearaan tingkat I diadakan rapat fraksi , dan ten :'" gunanya untuk menentukan sikap Iraksi, du', apabila dianggap perlu oleh Badan Musyawarah maka pemb;cara-an tingkat II dapat dilakukan dalaan rapat gabungan antar komisi at au l' . .! '.m ~i.iatu Punitia Khusus seperti Panitia Khusus Parpoi dan Cc:k-::;.Pall'·"s ten la ng RUU Pemilihan Ununum dan sebagainya (pasal 90). Ap.~
sebabnya lebih bw,yak RUU datang dari Presid<" d'",·. riingkan dari DPR ? \Vaiuup un DPR juga berhak untuk meng:tjukan RU U usd ir.i'';:;:-
tif, namun dalam praktek terlihat bahwa RUU itu lebih banyak datang d ari Prcsiden , dibandingkan yang lahir dari anggota DPR sendi ri . Bahkan DPR hasil pemil ihan yang telah berusia hampir empal tahun belum satupnn mengajukan RUU usul inisiatif. Sampai-sampai \Vakil Kettla DPR Drs. Sumiskun menyatakan bahwa DPR sekarang lebih banyak menitik beratkan pada pengawasan terhadap berlakunya UU dari pada mengajukan RUU ' ). Timbul pertauyaan apa sebalmya demikian 1. Suatu UU dapat merupakan pelaksanaan dari UUD 1945 yang disebut UU Organik, umpama UU ten tang Parpol Golkar merupakan pelaksanaan dari pasa] 28 UUD 1945 ; d3jlat pula merupakan peiaksanaan dari Ketetapan MPRS/ MPR umpamanya UU 15 / 1969. ata " merupakan pengaturan ten tang sesuatu yang sarna sekali tidak diperint~hkan oleh UUD 1945 maupun oleh Ketetapan MPRS/MPR. t.mlparna UU Perkawinan. Menyusun suatu RUU bukanlah persoaian mudah , sel ain harus tersed.ia tenaga ahli yang CukUP, yang rnernpunyai waktu yang cukup
216
MAJALAH FHUI
pula, dan sudab barang tentu harus ter~odia data-data yang lengkap. Arabila dibandingkan antara Pemerintah dan DPR, kelihatannya Pemerintah mempnnyai tenaga ahIi, waktu dan data yang jauh lebih banyak rubandmgkan dengan DPR, apalagi Pemerintah sekarang mempunvai badan )'ang kbusus memikirkan hal ini yaitu Badan Pembinaall Hukum Nasional. Penulis cenderung untuk berpendapat bahwa kurangnya RUU usul inisiatif dari DPR adalah larena faktor-faktor ter"obut di atas. Namun yang mengheraokan adalah bahwa dari masa kerja hampir 4 tabun DPR .velum pernah mengajukan suatn RU U usul inisiati! pun. Kalaulah kesukaran tersebut dipakai sebaga; alasan, mungkin lepat untuk RUU tentan.g sesuatu yang Mak diperintahkan oleh UUD 1945 dan Ketetapan MPR. tetapi ·t erhadap kedua lainnya alasan in. klrrang tepat. Apakah mungkin karenn prosedur pengajuan RUU usul inisiatif yang terlalu sukar. Mungkin jum'lah 30 anggota DPR agak sukar bagi partai politik, tetapi tWak demikian haInya dengan Golongan Karya da!l ABRI. Tetapi bagaimanapun juga pensyaratan Icrsebut tidak akan merupakan halangan yang berat andainya anggota DPR berhasrat untuk menyusun RUU. PCLL\.;1:5 rne1ihat bahwa tidak adanya R1JU liSU~ inisiati( lerse.but mungkin karena alasan-alasan lain . Se,peni dYketahui di DPR sekarang terdapat 4 fraksi yaitu fraksi-lraksi ABRI, Partai Demokrasi Indonesia, Karya Pembangunan dan Persatuan Pembangunan. Dari ke empat fraksi tersebut, dua diantarano/a yaau fraksi ABRI dan Karya Pembangunan dapat dligolongkan kepada lraksi pendukung utaJl1la pemerintah. Bagi frahi-fraksi uni yang merupakan golongan mayoritas akan lebih mudah untuk membahas dan memperjuangkan pendapat pang agak sukar. apalagi kalau sudah sampai ke Badan Musyawarah . dan apa lagi kalau akhirnya harus der: !?"~n pem ungntan suara. tipj<; h~Tap:m bagi rnereka untuk berhasil. p
HAK INISIATlF DALA M PEMBUATAN UNDANG'
c.
217
A= kekeluargaan daJam pembuaJan UU
Azas lain yang dianut olel! UUD 1945 adalah azas kekeluargaan, seperti dapat dibaca dalam pasal 33 dan Penjelasan Umwn UUD 1945. Hal ini terlihat dari cara mengambil keputusan dan hubungan kerja sarna antara DPR dan Presiden dalam membuat Undang'.
.
.
Dalam cara mengambil keputusan UUD 1945 mengatur kemungkin an dengan musyawarah untuk mufakat atau dengan suara terbanyak. Kedua cara ini juga diken al di DPR terlihat dalam pasal 109 ayat ( I) Peraruran Tata Tenib DPR. Walau pun dimungkinkan untuk mengambil keputusan dengan suara terbanyak, namun sejak 1966 sampai sekarang DPR selaltl mengambil keputusan dengan musyawarah untuk mufakat. Bahkan dalam situasi yang sangat sulit pun DPR selalu berusah a untuk mengambil keputusan dengan musyawarab untuk mufakat, umpamanya pada waktu membicarakan RU U Perkawinan, RUU Parpol dan Golkar, dan pemah suatu RUU dibahas dalam waktu kurang lebih 3 ta.hu n, yaitu pada waktu membicarakan RUU Pemilihan Umum yang lalu, padahal pada umumn ya orang berpendapat bahwa apabila diambil keputusan dengan suara terbanyak, pcrsoalannya akan lebih cepat dapat diselesaikan. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa dalam pembualan UU lelah terjadi kebiasaan keta;anegaraan {Con"=i1t'.:';] of the constitutional) yaitu DPR selalu menolak mengambil keputusan dengan suara terbanyak. Seperti telah disebutkan di muka bahwa azas kekeluargaan lersebul juga terlihat dalam kerja sarna antara Presiden dan DPR dalam pc,mbuatan UU. Kerja sarna itu dengan jelas dapal dilihat dengan selalu badirnya Menteri yang mewakili Presiden pada pembiearaan di DPR. Karenanya dapatlah di·kalakan bahwa setiap rumllsan dari seliap ayat dan pasal adalah hasil musyawarah antara Presiden dan DPR. Dan pada hakekatnya rumusan tersebut banyak dilentukan dalam lobbying anlar anggota DPR atau anlara anggola DPR dan M~nteri yang mewakili Presiden. d
Teori m'lj1oritas tidak selalu benar.
"Parliament can do any!hing except make a mal't a women" to), hal ini berarti bahwa dengan dukungan rnayoritas, Parlcrnen dapal br.rb,,~t apa saja. Apakah hal ini berlaku unluk Indonesia saat ini? Dl WJAii teI,ll dijelaskall bahwa sebe,_.C'c:ya dcngall uukuugau Iraksi
MAJALAH
F h~'1
ABRI dan Karya Pembangunan se!iap RUU yang datang dari Preside" dapat dengan mudah dijadikan UU. Ini hanya benar kalau kepule,an diambil dengan suara terbanyak. Tetapi seperti telab diketahui bahwa dasar dari setiap keputusan "dalah musyawarah, yang berarti bahwa tidak boleh golongan mayorilas memaksakan kehendakn ya kepada golongan mi noritas, segala sesuatunya harus dimusyawarahkan yang didasarkan kepada sikap toIeransi. Dan seperti lelah dikemukakan di alas bahwa telah lerjadi kebiasaan ketatanegaraan di DPR yailu untuk menolak pengambilan Keputusan dengan suara terbanyak. Dan -ini sebenarnya - selain azas musyawarah - penyebab teorl mayoritas tidak berlaku saat ini di Indonesia. Kesimpulan
"~;,_
'.::' ",;~~ ;:!,,;;{1:,aj!jl~2n l~ ,j{'
:':.:,r-". '.
::]Z'*S
'j<'.i.1\
inisiatif sat.u pun pembUfHan LD
mJ.!sv~lwo:!.j<:lh dt.:aru
J~l~i.S :)~:"2.E
,cdl
.;,i~ ~C;:~ci3.L ;,chr:.oirun ~.. lCtiti! r: ..l~!.r.g ,flu;w3.kHj Pr!'~ ...... -:U \.i~::"c'· q p!!'mbicar;jan RUU di DPR . Dan karena keinginan DPR untuk s;;}aJu mt;ngambil keputusan dengan Imusyawarah untuk mufakat, maka telah (erjadi kebiasaan ketalanegaraan di DPR ycitu untuk tidak mengambi! keputusan dengan suara terban yak atau untu\. menolak mengam011 keputusan dengan suara lerbanyak. Bahwa .paling tidak untuk saat ini tidaklah benar bahwa mayori~:.t~ Japill borbuat apa saja, k2rena adanya azas musyawarah untuk mufakat.
CATATAN j).
Lihat juga Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta, Departemen penerangan, 1962. hal. 8.
2). Lihat Juga Corry J.A., Democratic Government and Politics, second
edition, Toronto, University of Toronto Press, 1957 hal. 163: Tentang pembatalan tindakan Presiden oleh Mahkamah Agung Ameriko lihat kasus Youngstown Sheet & Tuber Co v Sawyer, 343 U.S. 579 (1952), Bernard Schw~rt~ American Constitutional lAw, Cambridge University Pres, 1955 hal. 193 • 195:
HAK rN!SIATlF DALAM PEi\>IBUATAN UNDANG'
219
3) . Iva r Jennings, The Law and the Constitution, London edisi ke 4, hal. 22, lihat juga Ismail Suny, op. cit hal. 10; 4)
Lihat flgan 5). Lihat runa
juga tulisan penulis di ha ria" Kornpas tanggal 7 Ju li 1975~ d~ judui Mas al ah RUU dari DPR; juga Ismail Suny, Meka nisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Va_ Jaya, hal. 15;
6). Lihat juga F.R. Bothlingk, De Verhouding tussen regering en vol!{S_ vertegen woordiging in Indonesie sedert 1945 en in de toekoms, Indo~ nesie. 1953, 1 hal. 68, sebaga i mana dikutip dari Ismail Suny. Meka _ nisme Demokrasi Panljasila. op cit, hal. 13; 7). Lihat juga Corry, J.A. op cit. hal. 328 - 340, lihat pula Patrick Gordon Walker, The Cabinet, London, 'Fontana/Collins, 1972 hal. 65; 8).. Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945, JI. I, Jakarta , Yayasan Prapanca, hal. 31 I; 9). Ha ria n Ko mpa s tanggal 23 September 1975, ceramah Drs. da!am "Studium Genera le" di V.!. 10). Corry , J.A. op cit haL
Sumis ku~ l
e ~.
11). Unctang-Unctang Dasar 1945. 12). Pe raturan Tata Tenib Dewan Perwakilan Rakyat, Keputu s:an DFR R.L No. 7/ DPR RI/lII!71 - n tanggal 8 Januari 1972.
220
AKAN TERBIT.
Penerbitan Khusus MajaJoh Fakultas Hukum ·Universitas Indonesia. Untuk Memperingati LIMA PULUH TAHUN PENDlDIKAN HUKUM Dl INDONESIA. Buku-Buku : • Sejarah pcrkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Tinggi Hukum Di Ind onesia.
I
Himpun:lIl
K~!ry.::
Jlminh
Guru-Guru Besar
Hukurr: di indoiH :,iu.
i
I I1
l
• Riwayat Hidup Beberapa Tokoh Bidanr, Hukum di Indonesia.