HUTAN RAKYAT:
masalah teknologi, misalnya kegagalan membangun tegakan hutan tanaman disebabkan oleh tidak dikembangkannya teknologi benih, sehingga benih yang disemaikan kualitasnya rendah. Seseorang yang menggunakan ilmu ekonomi akan menemukan masalah harga dan pasar, untuk menjawab mengapa di suatu tempat hutan rakyat tidak berkembang. Demikian pula seseorang yang menggunakan ilmu kelembagaan (institusi) akan menemukan masalah hak atas tanah, kontrak, informasi yang asimetris untuk menjawab mengapa hutan rakyat di suatu tempat berkembang dan di tempat lain tidak.
Masalah Penelitian Kebijakan dan Kritik Penelitian 1 Prof Dr Hariadi Kartodihardjo 2
PENGANTAR Mungkin tidak banyak disadari bahwa peran dibalik berbagai hasil pembangunan, kemajuan atau keberhasilan adalah pengetahuan. Pengetahuan diproduksi dan diganti dari waktu ke waktu dan hasil penelitian dapat dipergunakan sebagai alat atau kriteria untuk menyeleksi mana pengetahuan yang selayaknya digunakan dan mana pengetahuan yang tidak diperlukan. Demikian pula perkembangan hutan rakyat. Dibaliknya pastilah terdapat pengetahuan yang dapat menjelaskan mengapa petani di suatu tempat bersedia membangun hutan atas kepentingannya sendiri, untuk memenuhi transaksi‐transaksi apakah dengan pedagang kayu atau pemilik pabrik, sedangkan di tempat lain tidak bersedia.
Meskipun masalah penelitian subyektif, namun tetap dapat diketahui bahwa masalah yang dirumuskan dalam suatu penelitian, keliru. Misalnya, karena tidak dapat menjawab tujuan penelitian. Sebagai contoh, apabila tujuan penelitian akan mengembangkan hutan rakyat di suatu tempat. Perlu diketahui situasi dan kondisi di tempat itu yang menjadi hambatan, mengapa hutan rakyat di tempat itu tidak berkembang. Misalnya akses pasar lebih penting untuk diperhatikan daripada teknologi. Dengan demikian, penetapan masalah itu kontekstual, artinya sangat tergantung pada situasi dimana masalah itu terjadi. Oleh karena itu bersifat subyektif.
Naskah ringkas ini mengupas persoalan‐persoalan yang dihadapi peneliti yang telah dan sedang berupaya menghasilkan pengetahuan baru seputar hutan rakyat. Beberapa hal yang diungkap secara ringkas yaitu: bagaimana merumuskan masalah penelitian (kebijakan), usulan arah lanjutan penelitian hutan rakyat dan perbenihan, persoalan pilihan yang diambil masyarakat berdasarkan kebenaran inter‐subyektif, serta kritik penelitian.
Hal‐hal tersebut sangat penting untuk difahami. Pada prinsipnya, masalah penelitian – terutama penelitian yang menghasilkan pengetahuan untuk membuat atau memperbaiki kebijakan – bukan lahir dari pertanyaan peneliti akibat ketidak‐tahuannya. Sebaliknya, peneliti bertanya karena pengetahuannya mengenai “keadaan sesungguhnya di lapangan” serta telah membaca berbagai publikasi dan jurnal di bidangnya, sehingga mengetahui pertanyaan‐pertanyaan yang belum terjawab oleh para peneliti lainnya, pertanyaan‐pertanyaan masyarakat yang segera memerlukan jawaban, atau pertanyaan para pembuat kebijakan.
MASALAH PENELITIAN Setiap penelitian dimulai dengan menentukan masalah penelitian. Di dalam ilmu kebijakan, menentukan masalah penelitian menjadi bagian sangat penting, terutama terkait dengan dua hal. Pertama, masalah penelitian tidak obyektif, melainkan subyektif. Kedua, apabila ada kesalahan dalam menentukan masalah penelitian – terutama untuk penelitian yang dilakukan guna mengetahui solusi apa yang diperlukan – peneliti akan merumuskan solusi keliru.
Apa yang dimaksud mengetahui “keadaan sesungguhnya di lapangan”? Untuk memastikan apa yang dilihat peneliti itu benar, sebaiknya kita memahami apa yang dilakukan Parson (2005) dengan mensitir puisi anak‐anak Inggris yang ditulis Anthony Jay: ”Pussycat, pussycat, where have you been? I have been to London to see the Queen. Pussycat, pussycat what did you there? I saw a little mouse under a chair.”
Mengapa masalah penelitian subyektif? Seseorang yang menggunakan ilmu teknologi akan menemukan 1
2
Apakah mungkin Kucing melihat (kecantikan atau kemegahan singgasana) sang Ratu? Tidak mungkin. Yang dilihat Kucing seekor tikus kecil di bawah kursi. Mengapa? Karena kerangka‐pikir dan segenap isi kepala Kucing hanyalah bisa melihat makanannya, yaitu tikus. Meskipun pancainderanya mampu
Beberapa catatan kunci bagi pelaksanaan Seminar “Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat untuk Kesejahteraan Masyarakat“ tanggal 20 Oktober 2010, di Bandung Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan dan Ketua Major Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
1
melihat kecantikan sang Ratu, tetapi kecantikan itu tidak ada di dalam khasanah pemahaman dan penghayatan di dalam dirinya.
keputusan. Pengambilan keputusannya akan sangat tergantung pada pengetahuan‐pengalaman yang ia miliki, tingkat kepercayaan informasi yang ia terima, dan pertimbangan manfaat‐pengorbanan yang ia buat dan oleh karena itu sangat tergantung pada sumberdaya yang ia miliki seperti waktu dan uang. Dalam konteks inilah, teknologi bukanlah informasi dan perangkat yang netral. Seringkali teknologi hanya bisa diadopsi oleh yang kaya, tetapi tidak bisa diadopsi oleh yang miskin, sehingga aplikasi teknologi memproduksi kesenjangan sosial.
Pertanyaan bagi peneliti: Apa yang sesungguhnya dapat dilihat peneliti di lapangan? Jawaban peneliti akan sangat tergantung seberapa banyak kerangka‐ pikir yang dimilikinya. Seberapa tahu peneliti tentang konsep ekonomi, politik, kelembagaan, sosial sebagai suatu alat atau “kaca‐mata” untuk menafsirkan apa dibalik terjadinya rendahnya kualitas bibit di lapangan, misalnya. Apabila tidak ada upaya untuk memperkaya teori dan konsep di dalam pikiran peneliti, maka seperti Kucing dalam puisi tersebut. Jawabannya selalu sama: tikus. Terkait dengan hal ini ada pepatah: “When the only tool you have is a hammer, everythings looks like a nail”.
Untuk memahami lebih jauh bagaimana menjawab tujuan penelitian yang kedua di atas, peneliti perlu mempelajari ilmu‐ilmu sosial, seperti ekonomi, kelembagaan, kebijakan, (ekologi) politik, dengan berbagai metoda analisis seperti teori kontrak, principal‐agent, analisis diskursus (wacana), analisis aktor, dll. Ketika kita memasuki ranah penelitian ini, dengan menggabungkannya dengan pendekatan‐ pendekatan teknologi, kita akan tahu betapa ilmu benar‐benar sedalam dan seluas samudra. Baru dapat dirasakan bahwa banyak hal yang tidak diketahui peneliti tentang latar‐belakang suatu peristiwa atau kejadian tertentu. Dan hal demikian ini sangat baik. Yang kurang baik adalah: (bahkan) peneliti tidak tahu apa yang tidak diketahuinya.
Apa yang diungkap dalam analogi “Kucing gagal melihat Ratu” tersebut, yaitu bahwa masalah itu abstrak, tidak seperti yang ditangkap melalui panca indera. Masalah itu ada di balik peristiwa. Masalah itu ada di dalam perilaku orang‐orang dan bukan menempel pada benda‐benda. Misalnya – dalam ilmu kebijakan – bukan kualitas bibit rendah yang kita sebut sebagai masalah, masalah adalah perilaku orang yang menyebabkan produksi bibit berkualitas rendah. Kalau bibit kualitas rendah ditentukan sebagai masalah, solusinya adalah memproduksi bibit berkualitas tinggi. Dan hal ini tidak pernah bisa dilakukan tanpa ada jawaban atas pertanyaan: mengapa orang‐orang memproduksi bibit berkualitas rendah?
PENELITIAN HUTAN R A K Y A T D A N P E R B E N I H A N Perkembangan hutan rakyat yang terjadi dalam 10 tahun terakhir sebenarnya merupakan fenomena baru, di tengah‐tengah rasa pesimis melihat kegagalan upaya pelestarian hutan alam. Hutan rakyat yang lebih berkembang di P Jawa juga menghadirkan penafsiran – terutama oleh peneliti yang menggunakan pendekatan ekonomi dan kelembagaan, bahwa kepastian hak atas tanah dan tingginya permintaan kayu telah mendorong kenaikan harga kayu dan telah berhasil mewujudkan pasokan kayu oleh rakyat.
Kerangka pemikiran demikian itu juga berlaku dalam penelitian‐penelitian teknologi dan manajemen, misalnya teknologi benih dan manajemen tegakan atau silvikultur. Penelitian ini mempunyai setidaknya dua tujuan. Pertama, tujuan untuk menjawab pertanyaan “what”. Misalnya, perlakuan teknologi apa agar kualitas bibit dapat meningkat?. Jawabnya, misalnya melalui iradiasi dengan sinar gama dan perlakuan priming. Hal lain, misalnya, apa yang perlu dilakukan agar hutan rakyat dapat digunakan sebagai sumber benih? Jawabnya, perlu seleksi, menghindari inbreeding, dll.
Dengan adanya kepastian hak‐hak atas tanah, masyarakat dapat secara positif merespon permintaan kayu dengan melakukan penanaman pohon, karena terdapat kepastian hasil yang akan diperoleh. Tafsiran demikian itu – apabila benar – memberi kontribusi perbaikan kerangka pikir yang dianut kalangan rimbawan pada umumnya saat ini, bahwa permintaan kayu yang tinggi menjadi penyebab kerusakan hutan. Kerangka pikir rimbawan ini melahirkan program prioritas yaitu restrukturisasi industri perkayuan dengan argumen hutan akan lestari apabila permintaan kayu sama dengan pasokan kayu secara lestari. Perkembangan hutan rakyat di P Jawa menolak argumen itu. Justru permintaan kayu sangat penting untuk dapat
Kedua, tujuan penelitian untuk menjawab pertanyaan “what shoud be done”. Pertanyaan ini bisa dijawab melalui pengenalan subyek atau pihak yang terlibat langsung dengan teknologi yang dibicarakan, misalnya petani hutan rakyat. Dalam hal ini, yang perlu diteliti adalah aliran informasi, interpretasi, pengetahuan‐pengalaman dan kapasitas petani hutan tersebut. Petani hutan setelah mendapat informasi tentang pola penanaman pohon atau silvikutur, ia akan menginterpretasikan informasi itu dan mengambil
2
menopang harga agar dapat naik, yang menjadi stimulus terjadinya pasokan kayu, sehingga kerusakan hutan bukan akibat permintaan kayu yang tinggi, melainkan akibat hak‐hak atas kawasan hutan yang bermasalah. Persoalannya, mengapa perkembangan hutan rakyat di P Jawa tidak menjadi pembelajaran bagi upaya pelestarian hutan secara nasional?
yang dimaksud peningkatan produktivitas dan bagaimana mencapainya. Mungkin upaya peningkatan volume kayu per Ha bukan jawabannya karena hutan rakyat bisa berupa kumpulan pohon‐ pohon di pekarangan rumah. Apabila produktvitas bukan dalam pengertian fisik melainkan finansial, maka perlu diketahui bagaimana transaksi antara petani dan pedagang yang menentukan harga jual kayu yang diterima petani. Apakah mungkin dibentuk kelompok tani untuk menguatkan negosiasi harga ini. Apabila diperlukan upaya‐upaya khusus agar nilai jualnya meningkat, pertanyaannya apakah waktu yang dimiliki petani cukup untuk melakukan upaya‐upaya itu, sementara ia juga mempunyai pekerjaan lain.
Dalam penulisan naskah ini telah dipelajari makalah hasil penelitian perbenihan tanaman hutan sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5. 6.
Peran Hutan Rakyat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Sekitar Hutan Gunung Sawal; Kuantifikasi Jasa Lingkungan dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat; Evaluasi Penerapan Pola Tanam Jenis Pohon Potensial pada Hutan Rakyat; Strategi Pengembangan Standar Mutu Benih dan Bibit Tanaman Hutan; Teknologi Perbenihan untuk Meningkatkan Nilai Hutan Rakyat; Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Sumber Benih di Hutan Rakyat;
Pertanyaan itu semua dapat dijawab apabila peneliti mengetahui karakteristik ekonomi rumah tangga petani hutan rakyat maupun hubungan‐hubungan sosial di dalam masyarakat petani, sebagai pihak yang akan mengambil keputusan untuk mencapai peningkatan produktivitas yang dimaksud. Dengan “cara melihat” persoalan petani sebagai faktor yang menentukan produktivitas hutan rakyat, maka peneliti diarahkan untuk menggunakan “kacamata” penelitian kualitatif.
Dari 6 makalah tersebut terungkap beberapa kesimpulan bahwa hutan rakyat mempunyai manfaat sosial dan ekonomi serta menghasilkan dampak positif bagi pengendalian erosi, serta mempunyai manfaat penyerapan karbon di udara yang cukup baik. Untuk meningkatkan peran hutan rakyat diperlukan perbaikan pola tanam/silvikultur maupun langkah‐langkah tertentu agar dapat dijadikan sumber benih. Disamping itu terungkap pula apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas benih melalui penerapan teknologi, menyempurnakan pedoman operasional maupun Standar Nasional Indonesia. Keseluruhan hasil penelitian ini menjawab pertanyaan “what”.
Dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah obyektif sebagai kriteria pengambilan keputusan. Keputusan terbaik, bukan ditentukan oleh standar‐ standar kebenaran tunggal seperti rasio manfaat‐ biaya, F test, dll, melainkan sangat tergantung pada kepentingan individu atau kelompok sejalan dengan keterbatasan masing‐masing, termasuk pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki serta nilai baik‐buruk yang dianut. Oleh karenanya dalam penelitian kualitatif digunakan istilah inter‐subyektif untuk menentukan kriteria pengambilan keputusan. Kebenaran yang berlaku di masyarakat tidaklah mempunyai satu kriteria, melain multi kriteria. Misalnya, bukan hanya aspek teknis/teknologi saja dalam penetapan jenis pohon hutan rakyat, melainkan secara ekonomi layak, secara sosial diterima dan juga tidak menyalahi norma atau peraturan‐perundangan yang berlaku. Teknis‐ ekonomi‐sosial‐norma/hukum ini adalah tolok ukur inter‐subyektif yang berlaku di masyarakat dan biasanya disebut sebagai kebenaran substantif. Untuk mewujudkan kebenaran substantif tersebut dilakukan proses transitif dan kolektif. Setiap orang perlu belajar dan menukar pengetahuan dan pengalamannya dengan orang lain sehingga terbentuk keputusan kolektif yang dapat diterima secara bersama‐sama. Persoalannya, kebenaran substantif dapat tidak sejalan dengan apa yang ditetapkan dalam peraturan‐perundangan. Disinilah tugas peneliti diperlukan, yaitu merekomendasikan bahwa suatu peraturan tertentu sebaiknya
Hasil penelitian yang sangat berharga tersebut – dapat dikatakan sebagai “upaya dari luar” petani – perlu ditindak‐lanjuti melalui segenap proses yang perlu dilakukan. Untuk memenuhi tema seminar ini, yaitu: “Peningkatan Produktivitas Hutan Rakyat untuk Kesejahteraan Masyarakat” diperlukan penelitian untuk melengkapinya, yaitu penelitian yang bukan menjawab pertanyaan “what” melainkan “what shoud be done”. Hal ini mengingat pentingnya mengetahui respon subyek, dalam hal ini petani hutan rakyat, terhadap “upaya dari luar” untuk meningkatkan produktivitas hutannya.
KEBENARAN SUBSTANTIF Mengapa disebut “upaya dari luar”? Petani hutan rakyat pastilah mempunyai pengertian sendiri, apa
3
diperbaiki apabila tidak sejalan dengan kebenaran substantif itu.
dimana ia sedang berdiri, apa yang sebenarnya ia lakukan, dan untuk siapa ia melakukan itu.
KR
ITIK
Tantangan bagi peneliti bukan hanya menyelesaikan pergulatan untuk menentukan posisi dirinya, tetapi juga melayani tuntutan berbagai pihak yang memerlukan hasil‐hasil penelitian. Untuk menghadapi tantangan yang kedua itu, dalam penetapan topik/tema penelitian sebaiknya dilaksanakan dengan menggali permasalahan dan pandangan dari berbagai pihak seperti masyarakat (lokal), para birokrat, kalangan bisnis, maupun akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pendekatan atau kerangka pikir yang digunakan untuk menelaah isu tertentu sejauh mungkin dilakukan secara komprehensif (teknologi, ekonomi, sosial, dan institusi). Dengan demikian, penelitian dilaksanakan berdasarkan pertimbangan yang cukup, baik dari segi pendekatan/substansi maupun representasi aktor yang dilibatkan. Untuk itu pelaksanaan penelitian perlu ditopang oleh manajemen penelitian secara progresif, agar terhindar dari status hasil penelitian dan Lembaga Penelitian saat ini yang dianggap sebagai kadaluarsa atau sulit berkembang (Gambar 1).
PENELITIAN
Seberapa besar hasil penelitian digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan ataupun praktek‐praktek di lapangan? Sejauh ini belum ada penelitian tentang hal ini. Namun demikian, secara umum pengetahuan baru dari hasil‐hasil penelitian tersebar melalui berbagai bentuk komunikasi, rapat‐rapat, maupun berbagai hubungan informal. Biasanya, para penentu kebijakan mempunyai jaringan tersendiri untuk mendapat informasi yang menjadi dasar keputusan yang di buat. Demikian pula praktek‐praktek di lapangan diubah atau diperbaiki melalui segenap informasi dan interpretasi atas informasi itu oleh para pelaku di lapangan. Dalam kondisi demikian itu, hubungan antara peneliti, hasil penelitian dan pembuatan kebijakan atau para pelaku di lapangan tidaklah linier. Di balik hasil penelitian adalah kerangka pikir bahkan ideologi yang biasa disebut diskursus (discource). Diskursus ini dibawa oleh aktor‐aktor atau disebut epistemic community dengan jaringannya, kedua unsur itu tidak lepas dari adanya kepentingan atau politik yang menjadi dasar aktor‐aktor bertindak. Dalam kondisi demikian itulah terjadi proses penyaringan informasi dan pengetahuan. Ada informasi dan pengetahuan yang digunakan dan ada yang ditolak. Disadari atau tidak, proses penyaringan itu dilakukan untuk mmpertahankan diskursus beserta aktor dan jaringannya (Faucoult, 1980; IDS, 2006).
Disamping proses pelaksanaan penelitian, strategi diseminasi hasil penelitian juga sangat penting agar pengetahuan baru hasil penelitian masuk dan menjadi bagian dari diskursus para penentu kebijakan. Strategi diseminasi itu sendiri ditentukan oleh karakter aktor‐aktor yang menjadi sasaran utama hasil penelitian, misalnya cukup dilakukan secara formal dan tertutup atau secara terbuka agar masyarakat ikut memberi pertimbangan pentingnya diadopsi hasil penelitian tersebut. Disamping itu, strategi diseminasi hasil penelitian juga ditentukan oleh kekuatan argumen hasil penelitian apakah didasarkan pada landasan ilmiah yang kuat atau keberpihakan yang kuat (Gambar 2). Pilihan bagi Lembaga Penelitian dalam melakukan diseminasi hasil penelitiannya dapat berupa: pembuatan policy brief, lobby, petisi atau aksi langsung di lapangan.
Realitas demikian itu ada, dan para peneliti perlu memahami bahwa informasi dan pengetahuan adalah bagian dari kekuatan atau (sumber) kekuasaan. Ia sama sekali tidak bersifat netral, karena setiap teori, dalil dan konsep lahir di dalam ruang dan waktu yang tidak bebas dari kepentingan. Seperti diuraikan di atas, penerapan teknologi dapat menimbulkan atau meningkatkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Dalam kondisi tertentu, teknologi juga menimbulkan ketergantungan petani hutan terhadap sarana produksi, dan dalam kondisi demikian itu upaya meningkatkan produktivitas hutan patut dipertanyakan. Namun, meskipun begitu, tanpa ada pengembangan teknologi, kapasitas manusia untuk dapat mendayagunakan sumberdaya alam dan kapasitas atau daya dukung sumberdaya alam untuk mendukung kehidupan manusia juga akan terbatas. Di sinilah suatu titik dimana peneliti perlu bertanya
EPILOG
“Masalah bila dinyatakan dengan benar, menjawab separuh persoalan”, demikian John Dewey dalam karangannya berjudul “How We Think” yang dikutib Chae,dkk (2004). Einstein sekali waktu pernah ditanya apabila ia mempunyai 1 jam untuk menyelamatkan dunia, bagaimana ia memanfaatkan waktu tersebut? Ia mengatakan: “Saya akan menghabiskan 55 menit untuk merumuskan masalah dan 5 menit untuk memecahkannya”. Pernyataan Dewey dan Einstein tersebut sangat penting bagi pelaksanaan penelitian maupun pengambilan keputusan.
4
SUBSTANSI: 1. Perbenihan 2. Silvikultur 3. Produksi/Pasar 4. Jasa Lingkungan 5. Dll.
Bisnis
TEKNOLOGI
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT
RISET DASAR; DICIPLINARY, SUBJECT MATTER RESEACH
SOSIAL
EKONOMI
LSM
USER
RISET TERAPAN; PROBLEM SOLVING RESEACH
INSTITUSI
Masy Lokal/Adat Birokrat AKADEMISI
PERSPEKTIF AKTOR
Gambar 1. Manajemen Pelaksanaan Penelitian
Pada tingkat lanjut, para peneliti dituntut untuk menghasilkan kebaruan (novelty) dalam setiap penelitian yang ia lakukan, artinya, ia harus benar‐ benar mampu membuat pertanyaan penelitian yang “layak”.
dunia nyata yang menjadi topik penelitiannya. Mereka seringkali tidak merasa perlu komunikasi dengan pelaku‐pelaku atau bahkan tidak merasa perlu membaca referensi dan langsung merumuskan pertanyaan penelitian sesuai apa yang dipikirkannya. William N Dunn, ahli kebijakan publik, menyatakan kondisi demikian itu sebagai “pemikiran logis tetapi tidak terpakai”.
Sayangnya, pertanyaan‐pertanyaan yang keliru atau kadaluarsa masih sering dijumpai dalam pelaksanaan penelitian. Para peneliti seringkali menjawab pertanyaan mereka sendiri dan bukan pertanyaan di
Gambar 2. Cara dan Pengorganisasian Diseminasi (Start and Hovland, 2004)
5
Bagi para penentu kebijakan, memecahkan masalah yang salah akan membuat kondisi jauh lebih buruk daripada dibiarkan saja. Sehingga bukan hanya sumberdaya penting digunakan sia‐sia, tetapi juga dapat menghasilkan kondisi lebih buruk daripada yang terjadi sebelumnya, karena menghasilkan masalah lebih serius – akan timbul komplikasi penyakit – sebagai hasilnya.
keliru dan hasilnya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan akan menambah masalah baru yang lebih serius. Semua itu dapat dihindari apabila manajemen penelitian memungkinkan para peneliti dapat memahami berbagai kerangka pikir, pendekatan dan konsep, serta pandangan pengguna hasil penelitian (user) agar masalah yang diteliti sesuai dengan tujuan yang akan dicapai ●
Lima faktor sebagai penyebab, sehingga para peneliti atau pengambil keputusan senantiasa memecahkan masalah yang salah, yaitu: konsultasi dengan orang‐orang yang tidak tepat, selalu berkaca pada masalah di masa lalu, lebih memperhatikan gejala daripada penyebabnya, terlalu banyak berfikir administratif daripada fungsional, serta hanya terfokus pada bidang atau unit kerja tertentu. Terkait hal ini, rapat – sebagai ajang pengambilan keputusan – biasanya menjadi suatu ritual atau gerakan reflek dengan agenda menjawab pertanyaan‐pertanyaan yang keliru tersebut.
Daftar Bacaan Chae, Bongsug, David Paradice, James F. Courtney, Carol J. Cagle, 2004. Incorporating an Ethical Perspective into Problem Formulation: Implications for Decision Support Systems Design. MIS Department, Florida State University. USA Dunn, N William, 2000. Pengantar Kebijakan Publik. Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogjakarta. Foucault, Michael, 1980. Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writtings 1972‐ 1977. Pantheon. New York. Institute of Development Studies (IDS). 2006. Understanding Policy Processes: A Riview of IDS Reseach on the Environment, University of Sussex. United Kingdom. Shore, Cris dan Susan Wright. 1997. Policy: A new field of anthropology. Di dalam: Anthropology of Policy: Critical Perspective on Governance and Power, (Cris Shore dan Susan Wright, eds). Routledge. London and New York. Start, Daniel and Ingie Hovland, 2004. Tools for Policy Impact: A Handbook for Reseachers. Overseas Development Institute. London. Sutton, Rebecca. 1999. The Policy Process: An Overview. Working Paper 118. Overseas Development Institute. London. ooo
Untuk kasus pengambilan keputusan dalam bentuk pembuatan peraturan, kelima faktor di atas paling banyak terjadi. Biasanya pembahasan lebih banyak kearah kesesuaian koridor hukum, namun secara substansial sangat lemah, bahkan seringkali hasil peraturan yang dibuat tidak mempunyai hubungan dengan penyebab terjadinya persoalan. Peraturan ada dengan membawa logikanya sendiri, tidak terkait dengan peristiwa yang harus diintervensi. Adanya peraturan adalah demi peraturan itu sendiri. Adanya peraturan menjadi tujuan akhir dan biasanya timbul masalah baru, yaitu tambahan birokrasi. Persoalan tetap menjadi persoalan dan bahkan bertambah. Peraturan ada hanya karena dituntut keberadaannya. Demikian itu adalah sejumlah tantangan yang secara umum dihadapi baik oleh peneliti maupun penentu kebijakan. Diharapkan pemaparan singkat ini dapat memberikan inspirasi, betapa penelitian sangat penting, namun apabila menjawab masalah yang
6