GUNUNG PADANG DAN SEKITARNYA DIPANDANG SECARA GEOLOGIS
Oleh: Sutikno Bronto Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Kementerian ESDM, Jalan Diponegoro 57 Bandung 40122 HP: 08164227924 E-mail:
[email protected] &
[email protected]
Makalah dipresentasikan di dalam Borobudur Writers and Cultural Festival 2015, 12-14 November 2015, Borobudur Kabupaten Magelang Jawa Tengah
1
DAFTAR ISI
Sampul Depan .............................................................................................. Daftar Isi .............. ........................................................................................ Judul dan Abstrak ........................................................................................ I. PENDAHULUAN ................................................................................. II. DAERAH GUNUNG API PURBA ...................................................... 2.1. Tataan Geologi ...................................................................................... 2.2. Analisis Inderaja dan Geomorfologi ..................................................... 2.3. Stratigrafi .............................................................................................. 2.4. Pembahasan dan Sejarah Geologi ......................................................... III. DAERAH RAWAN GEMPA DAN LONGSOR ............................... 3.1. Daerah Rawan Gempa .......................................................................... 3.2. Daerah Rawan Longsor ........................................................................ 3.3. Fenomena Longsoran ............................................................................ IV. PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN SITUS G. PADANG ....... 4.1. Pembangunan Situs ............................................................................... 4.2. Pelestarian Situs .................................................................................... V. PENUTUP ............................................................................................ Ucapan Terimakasih .................................................................................... ACUAN ....................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................... BIODATA ...................................................................................................
2
Hal. 1 2 3 4 5 5 7 8 12 14 14 15 16 19 19 22 23 24 25 26 42
GUNUNG PADANG DAN SEKITARNYA DIPANDANG SECARA GEOLOGIS Oleh: Sutikno Bronto Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, K- ESDM, Jalan Diponegoro 57 Bandung 40122 HP: 08164227924 E-mail:
[email protected] &
[email protected] ABSTRAK Permasalahan arkeologi G. Padang mengemuka apakah sebagai punden berundak di atas batuan bentukan alam atau seluruhnya merupakan bangunan buatan manusia. Untuk membantu menyelesaikan persoalan itu dilakukan penelitian geologi di daerah G. Padang dan sekitarnya. Berhubung daerah ini tersusun oleh batuan gunung api, maka metoda penelitian di dasarkan pada pemahaman geologi gunung api purba dan sejarah geologinya lebih memperhatikan perkembangan volkanisme setempat. G. Padang merupakan sumbat/kubah lava termuda berstruktur kekar kolom, yang terbentuk di dalam kawah Gunung api purba Karyamukti. Sebagai akibat proses geologi sangat lama kekar kolom G. Padang semakin lama semakin renggang akhirnya membentuk batu kolom yang roboh berserakan. Oleh manusia masa lalu batu kolom itu kemudian ditata sebagai punden berundak untuk upacara pemujaan, yang sekarang dinamakan Situs Megalitik G. Padang. Gunung api purba Karyamukti bersama G. Padang berada di daerah rawan gempa dan longsor, karena terletak di zona perpotongan sesar Cimandiri (WSW – ENE) dengan Gede-Cikondang (NNW – SSE), batuan penyusun didominasi oleh tanah lempung ubahan hidrotermal yang harus menahan beban berat batu kolom, berlereng terjal dan curah hujan tinggi. Situs G. Padang sendiri dibangun di atas banyak endapan longsoran masa lalu, yang terdiri atas campuran tanah lempung ubahan hidrotermal dengan batu kolom. Guna melestarikan situs Punden Berundak G. Padang sekaligus memanfaatkannya diperlukan usaha penanggulangan terhadap ancaman bencana longsoran dan gempa bumi mendatang. Penanggulangan dapat secara fisis, mekanis, kimiawi, bio engineering, serta rancang bangun lereng stabil, dan disertai pemantauan secara berkesinambungan. Kata kunci: Situs G. Padang, geologi, gunung api purba Karyamukti, kekar kolom, longsoran
ABSTRACT Archeologic problem has issued whether Mt. Padang megalithic site was steps ritual place sitting on a natural phenomenon or a man made building. In order to solve the probem a geologic study in the area is carried out. The method is based on understanding to the paleovolcanic geology with focus on history of local paleovolcanism. Mt. Padang is the youngest lava dome/plug having columnar jointings and formed in a crater of Karyamukti paleovolcano. Due to long time geologic proccesses the columnar lava was collapsed in a mass. This material was then rebuilt as a ritualceremonial place, and now is known as Mount Padang Megalithic Site. Area of Karyamukti paleovolcano and Mt. Padang are located in the prone disasters of earthquake and landslide. This is due to its position in the junction of Cimandiri and Gede-Cikondang active faults having WSW-ENE and NNW-SSE directions, respectively, lithology there are dominated by hydrothermal altered clay overlain by very heavy accumulation of columnar rocks collapsed, having steep slopes, and high degree rainfalls. Mt. Padang Site itself was built on paleolandslide deposits that composed of hydrothermally altered clay mixing with columnar rock fragments. For conservation and its utilization it is urgently required to mitigate future landslides and earthquakes in the area. These efforts use physical-, mechanical-, chemical-, and bio engineering methods, and stable slope design, and accompanied by continuous monitoring. Key words: Mt.Padang Site, geology, Karyamukti paleovolcano, columnar jointings, landslides
3
I.
PENDAHULUAN G. (Gunung) Padang berada di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur,
Provinsi Jawa Barat (Gambar 1) pada koordinat 6o 59’38,0” LS - 107o 03’22,3” BT. Untuk mencapai G. Padang dapat menggunakan kendaraan bermotor melalui jalan raya Cianjur – Sukabumi, kemudian di sebelah barat Kecamatan Warungkondang membelok ke selatan, sejauh lk. 25 km, yang dapat ditempuh sekitar satu jam. Para ahli arkeologi (misal Yondri, 2012) menyatakan bahwa di G. Padang terdapat situs megalitik Punden Berundak. Situs itu dibangun di puncak G. Padang oleh manusia masa lalu untuk kepentingan pemujaan atau upacara adat sesuai kepercayaan dan tradisi masyarakat pada waktu itu. Akhir-akhir ini permasalahan arkeologi G. Padang mengemuka apakah sebagai punden berundak di atas batuan bentukan alam atau seluruhnya merupakan bangunan buatan manusia. Tulisan ini tidak akan memasuki ranah arkeologis, tetapi bertujuan untuk mengetahui kondisi geologi G. Padang dan sekitarnya, yang diharapkan dapat untuk membantu menyelesaikan permasalahan dan melestarikan situs arkeologis tersebut. Sujatmiko (2003) melaporkan bahwa daerah G. Padang tersusun oleh batuan hasil kegiatan gunung api pada masa lampau, tetapi belum dijelaskan dari gunung api mana batuan itu berasal. Oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan berlandaskan prinsip-prinsip dasar geologi gunung api purba (Bronto, 2013), dan sejarah geologinya lebih memperhatikan perkembangan volkanisme di daerah G. Padang dan sekitarnya. Gunung api adalah tempat atau bukaan dari mana magma keluar ke permukaan bumi dan bahan batuan yang menumpuk di sekeliling bukaan kemudian membentuk bukit atau gunung (Macdonald, 1972). Tempat atau bukaan di gunung api itu dinamakan kawah atau kaldera. Berhubung kegiatan gunung api itu sudah sangat tua, yang secara geologi berumur Tersier atau lebih tua (> 2 jtl./ juta tahun yang lalu), Bronto (2013) menyebutnya sebagai gunung api purba, yaitu gunung api yang sekarang telah mati, bahkan sudah terkikis sangat lanjut sehingga fitur fisis tubuhnya sudah tidak sejelas gunung api aktif masa kini. Secara geologis, untuk mengetahui adanya gunung api purba dilakukan penelitian terhadap aspek geomorfologi, litologi dan struktur geologi daerah setempat. Makalah ini membahas G. Padang sebagai bagian dari suatu gunung api purba dan merupakan daerah rawan gempa bumi serta tanah longsor. Untuk melestarikan situs G. Padang maka diperlukan penanganan terhadap ancaman bahaya geologi tersebut.
4
II. DAERAH GUNUNG API PURBA 2.1.Tataan Geologi Menurut van Bemmelen (1949) kedudukan G. Padang dan sekitarnya terletak pada pertemuan tiga gambaran fisik bentang alam, yakni Pegunungan Selatan Jawa Barat di bagian selatan, zona depresi tengah Jawa Barat di sebelah utara, serta kubah dan punggungan di zona tengah, yang berada di bagian timurlaut. Daerah G. Padang dan sekitarnya merupakan pegunungan dengan ketinggian antara 800 - 1200 m dml. (di atas muka laut). Di dalam peta geologi lembar Cianjur kumpulan batuan gunung api di daerah G. Padang dan sekitarnya diberi nama Breksi Tufan, Lava, Batupasir, Konglomerat, berkomposisi basal – andesit, yang berumur Pliosen (Sujatmiko, 2003). Di daerah itu juga ada batuan beku terobosan bernama Intrusi Andesit Hornblenda Pr. (Pasir) Pogor, yang berdasar analisis K-Ar dari Pertamina berumur 32,30 ± 0,30 jtl. (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Laporan para penyelidik terdahulu itu menegaskan bahwa batuan di daerah G. Padang dan sekitarnya itu dihasilkan oleh kegiatan magmatisme dan volkanisme pada masa lalu, meskipun belum secara rinci menjelaskan asal sumber gunung api dan masih adanya perbedaan pendapat tentang umur batuan. Struktur geologi yang sangat menonjol di kawasan G. Padang ini adalah sesar aktif Cimandiri. Sesar ini berarah barat baratdaya – timur timurlaut, memanjang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu dan aliran Ci Mandiri ke arah timur timurlaut sampai dengan kompleks Gunung api Sunda - Tangkubanparahu di sebelah utara kota Bandung. Sesar Cimandiri tergolong sesar naik, karena blok selatan tenggara relatif naik ke arah utara baratlaut terhadap blok utara baratlaut. Di sebelah utara daerah G. Padang terdapat bentang alam tinggian G. Kancana (+ 1.233 m dml.), yang batuan penyusunnya dikelompokkan ke dalam satuan Hasil Gunung Api Tertua (Sujatmiko, 2003). Satuan batuan itu berupa breksi andesit piroksen dengan sisipan lava andesit, yang pada umumnya sudah mengalami ubahan hidrotermal jenis propilitisasi. Data litologi itu bersama dengan bentuk bentang alam tinggian yang relatif melingkar dan pola erosi memancar menjadi dasar untuk memperkirakan bhwa daerah G. Kancana juga sebagai sebagai salah satu gunung api purba di Kabupaten Cianjur. Di sebelah utara baratlaut dari G. Kancana terdapat gunung api aktif masa kini (Kuarter), yakni G. Gede dan G. Pangrango, yang tersusun oleh lava, aglomerat, breksi gunung api dan tuf. Kedua gunung api aktif/muda tersebut diperkirakan muncul di dalam kaldera purba Umbuk. Sisa tubuh kerucut Gunung api purba Umbuk masih dapat diamati di sebelah utara G. Gede dan G. Pangrango. Lebih ke utara baratlaut, yakni di daerah Kabupaten Bogor, terdapat Gunung api purba Sawal dan Pancar (Bronto, 2003). Di sebelah selatan peta geologi lembar Cianjur, yaitu pada peta geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Koesmono dkk. (1996) membagi batuan gunung api di daerah Cikondang dan sekitarnya ke dalam Intrusi Andesit Piroksen, Anggota Cikondang Formasi Beser, Formasi Beser dan Formasi Koleberes. Anggota Cikondang tersusun oleh batuan beku andesit piroksen, Formasi Beser didominasi oleh breksi gunung api, dan Formasi Koleberes berupa batupasir tuf. Sebaran batuan terobosan andesit piroksen berada di di antara satuan Anggota Cikondang, yang juga berkomposisi 5
andesit piroksen. Batuan penyusun Anggota Cikondang sudah mengalami ubahan hidrotermal dan sejak jaman penjajahan Belanda di daerah itu telah berlangsung penambangan emas. Sebaran Anggota Cikondang bersama-sama dengan satuan batuan terobosan andesit piroksen itu dilingkupi oleh Formasi Beser, dan ketiganya hampir dikelilingi oleh Formasi Koleberes. Anggota Cikondang, Formasi Beser dan Formasi Koleberes tersebut berumur relatif sama, yakni Miosen Akhir, sedangkan intrusi andesit piroksen berumur Pliosen. Pada umumnya, batuan beku terobosan terdapat di fasies pusat gunung api, batuan beku luar atau lava menyebar di fasies dekat, sedangkan breksi gunung api dan batupasir tuf masing-masing melampar di fasies tengah dan fasies jauh. Berdasarkan pada prinsipprinsip geologi gunung api tersebut, keberadaan dan pola sebaran satuan batuan di daerah Cikondang tersebut di atas menunjukkan bahwa daerah Cikondang sebagai bekas gunung api yang dinamakan Gunung api purba Cikondang (Bronto, 2003). Kemunculan gunung api di daerah Kabupaten Bogor (G. Pancar dan G. Sawal) serta di daerah Kabupaten Cianjur (G. Umbuk, Pangrango, Gede, Kancana dan G. Cikondang) membentuk garis lurus berarah utara-baratlaut – selatan tenggara. Magma yang keluar ke permukaan bumi dalam bentuk deretan gunung api tersebut diyakini melalui struktur rekahan atau sesar di bawah permukaan. Hal ini didukung oleh hasil analisis citra SRTM (Synthetic Radar Topography Mission)
dan
singkapan batuan di lereng G. Padang, yang akan diuraikan di bawah ini.
2.2.Analisis Inderaja dan Geomorfologi Berdasarkan analisis citra SRTM diketahui bahwa keberadaan G. Gede-Pangrango, Kancana, Pr. Pogor, G. Padang dan Gunung api purba Cikondang membentuk zona kelurusan berarah utara baratlaut - selatan tenggara (NNW-SSE; Gambar 2). Struktur ini memotong zona sesar Cimandiri yang berarah barat baratdaya - timur timurlaut (WSW-ENE). Kawasan Pr. Pogor dan G. Padang terletak di tengah-tengah perpotongan zona kelurusan deretan gunung api tersebut dengan zona sesar Cimandiri. Kemunculan deretan Gunung api Gede-Pangrango - Gunung api purba Cikondang yang berarah NNW-SSE itu diyakini melalui zona lemah (rekahan/sesar) bawah permukaan. Di sebelah tenggara Gunung api purba Cikondang terdapat Gunung api tua (Kuarter) Kendeng (Koesmono dkk., 1996). Masih aktifnya G. Gede-Pangrango di sebelah utara baratlaut serta G. Kendeng di ujung selatan tenggara itu menunjukkan bahwa zona lemah bawah permukaan antara G. Gede dengan G. Cikondang, sebagai jalan keluarnya magma ke permukaan bumi, juga masih aktif pada masa kini. Pada citra SRTM bersekala lebih besar (Gambar 3), terlihat adanya dua kelurusan sejajar berarah NNW-SSE mulai dari lereng tenggara G. Kancana, melewati stasiun kereta api Lampegan serta sisi barat dan timur daerah G. Padang, sampai dengan daerah Cikondang. Kelurusan sejajar berarah NNW-SSE itu lebih mendukung data citra SRTM pada Gambar 2 yang menyatakan bahwa kemunculan Gunung api Gede-Pangrango – Cikondang benar-benar dikontrol oleh struktur zona lemah. Zona lemah itu juga dibuktikan dengan adanya indikasi gerakan tanah di samping timur stasiun kereta api Lampegan, yang terletak pada koordinat 6o 56’ 59,8 LS – 107o 03’ 41,8” BT. Di 6
dalam timbunan tanah bergerak itu ditemukan artefak zaman Belanda berupa piring, botol minuman keras dan arang kayu, yang sudah terkubur sedalam tiga meter. Dari citra SRTM Gambar 3 terlihat G. Padang merupakan sebuah bukit kecil, yang dilingkupi oleh punggungan G. Empet (dan G. Malati) yang berukuran jauh lebih besar dan lebih tinggi. Di sebelah utara G. Padang terdapat G. Malang, Pr. Domas dan Pr. Pogor. G. Empet - Malati berupa punggungan bukit berbentuk melengkung, seperti bulan sabit, membuka ke utara, yang puncak tinggian di sebelah timur G. Empet dinamakan G. Malati. Lereng perbukitan melengkung yang menghadap ke G. Padang atau ke utara membentuk gawir terjal, tetapi bagian lainnya membentuk lereng yang lebih melandai ke selatan. Bentang alam G. Malang terletak di tengah-tengah sebuah cekungan, sedangkan G. Padang berada di tepi cekungan atau di kaki utara G. Empet. Bentuk cekungan itu sangat jelas terlihat dari sayap barat dan selatan puncak tinggian G. Empet (Gambar 4). Ke arah utara baratlaut G. Padang berderet dengan Pr. Domas, Pr. Pogor dan G. Kancana (Gambar 5). G. Padang sendiri berupa bukit agak memanjang, berbentuk seperti elip yang sumbu panjangnya berarah utara baratlaut – selatan tenggara (U160oT – U340oT). Pada lereng utara bagian bawah (6o 59’ 31” LS – 107o 03’ 22,7” BT) terdapat singkapan batuan yang terpotong tegak berarah U170oT (Gambar 5-4). Data bentang alam dan struktur tersebut mendukung adanya zona lemah berarah utara baratlaut - selatan tenggara (NNW-SSE), mulai dari G. Gede-Pangrango sampai dengan Cikondang, yang selanjutnya dinamakan sebagai sesar Gede-Cikondang (Gambar 6). Sesar GedeCikondang ini berpotongan dengan sesar Cimandiri di kawasan G. Padang, yang pada pembahasan di bawah ini merupakan bagian dari Gunung api purba Karyamukti.
2.3.Stratigrafi Dari hasil pemetaan geologi, Langi (2012) membagi batuan G. Padang dan sekitarnya menjadi enam satuan batuan, yakni satuan Breksi gunung api, Argilik-kuarsa-pirit, Silisifikasi-urat kuarsalimonitik, Intrusi andesit G. Padang, Intrusi andesit Pr. Pogor, dan Aluvium (Gambar 7). Satuan batuan pertama tersebar mengelilingi G. Padang. Batuan penyusun terdiri atas perlapisan aliran lava berselang-seling dengan breksi gunung api, antara lain tersingkap di tepi jalan Dusun Cipanggulakan menuju Dusun Ciandeuleum dan Kasintu (lereng G. Empet dan G. Malati) serta jalan aspal Paldua Cikondang. Struktur perlapisan batuan itu miring menjauhi G. Padang, selaras dengan bentuk bentang alam punggungan G. Empet dan G. Malati, seperti diuraikan di sub bab geomorfologi tersebut di atas. Aliran lava dan fragmen breksi gunung api berkomposisi andesit - andesit basal, abu-abu – abu-abu gelap, bertekstur porfiri dengan fenokris plagioklas dan piroksen tertanam di dalam massa dasar afanit. Di Dusun Ciandeuleum aliran lava andesit berstruktur kekar plat (platy jointings). Dua satuan batuan ubahan hidrotermal, yaitu Argilik-kuarsa-pirit dan Silisifikasi-urat kuarsalimonitik, menempati bagian tengah daerah penelitian. Pembagian satuan batuan itu didasarkan pada hasil analisis XRD (X-Ray Difraction). Singkapan batuan ubahan tersebut dapat dijumpai mulai dari Dusun Cisela, Cimanggu, Pr. Domas, G. Malang (Gambar 8), sampai dengan lereng bawah dan kaki 7
G. Padang. Batuan pada lereng gawir dan kaki utara Gunung Empet - Melati, yang menghadap ke G. Padang dan G. Malang, juga mengalami ubahan hidrotermal. Di Dusun Cisela singkapan batuan ubahan berwarna putih kemerahan sedangkan di bagian atas berubah menjadi tanah lempung coklat kemerahan. Di sepanjang jalan dari Cisela ke G. Padang, yang melewati Dusun Cimanggu, batuan ubahan hidrotermal membentuk tanah lempung berwarna putih dan abu-abu, yang sering disebut kaolin atau argilik, bercampur dengan ubahan hidrotermal berwarna kuning, coklat dan coklat kemerahan. Warna kuning itu karena tanah lempung mengandung belerang (S, Sulphur), sedangkan warna coklat dan coklat kemerahan dipengaruhi oleh oksidasi unsur logam terutama besi (Fe, Ferrum/Ferri). Keduanya merupakan hasil pelapukan lanjut mineral logam sulfida, karena di antara tanah lempung kaolin tersebut sering dijumpai mineral pirit (FeS) dan silika (Si/SiO2). Pada lereng atas bagian utara dari G. Malang, pada bekas longsoran, tersingkap batuan ubahan hidrotermal, yang tersusun oleh kaolin, pirit dan oksida besi. Seluruh batuan itu menunjukkan sebagai hasil proses ubahan hidrotermal lanjut karena sudah tidak tampak ciri-ciri batuan aslinya. Di Pr. Domas, selain batuan ubahan hidrotermal seperti pada Gambar 8-2, pada lereng atas bagian timur juga ditemukan bongkah andesit tersilika-terpiritkan (Gambar 9 atas). Bongkah andesit itu berwarna abu-abu berbercak putih, bertekstur porfiroafanit dengan fenokris plagioklas yang sudah terubah menjadi mineral lempung putih. Mineral ubahan hidrotermal lainnya yang banyak terdapat di dalam bongkah andesit itu adalah silika (kuarsa) dan pirit. Batuan ubahan hidrotermal juga tersingkap di lereng timur dan baratlaut G. Padang, (Gambar 9 bawah), yang didominasi oleh mineral lempung. Berdasarkan singkapan batuan pada lereng atas Pr. Domas dan lereng timur G. Padang tersebut, batuan ubahan hidrotermal di daerah penelitian pada mulanya diyakini berupa batuan beku (dan klastika gunung api) bersusunan andesit atau andesit basal. Satuan intrusi andesit G. Padang terdapat di puncak gunung itu berupa batuan beku andesit basal, yang berbentuk batu kolom pipih sampai poligonal (Gambar 10). Kumpulan batu kolom tersebut sudah ditata orang pada masa lalu sebagai pundek berundak (sekalipun kemudian terbengkalai) dan sekarang telah dirawat kembali dijadikan situs megalitik Gunung Padang.
Batu
kolom poligonal membentuk segi tiga (trigonal) sampai segi enam (hexagonal) tidak selalu sama sisi atau simetri. Batu kolom itu juga mempunyai ukuran yang sangat beragam dari kecil dan pendek (< 1 m) sampai dengan besar dan panjang (2 – 3 m). Pada bidang sisi kolom tidak ada tanda-tanda dibuat oleh manusia, sehingga diyakini batu kolom itu retak dan terbelah secara alamiah. Data tersebut menunjukkan bahwa pada awalnya batu kolom itu merupakan batuan beku berstruktur kekar kolom (columnar jointings). Secara petrologis batuan G. Padang ini berwarna abu-abu gelap, bertekstur afanit - porfiri halus, serta mempunyai struktur berlubang sampai pejal (Gambar 11). Warna abu-abu gelap itu lebih menunjukkan sebagai andesit basal (basaltic andesite) daripada andesit. Di bawah mikroskop batuan menunjukkan tekstur hipokristalin porfiri, tersusun oleh fenokris plagioklas dan piroksen yang tertanam di dalam massa dasar gelas gunung api dan mikrolit sangat halus. Data petrologis tersebut 8
dan didukung oleh bentuk bentang alam berupa sebuah bukit menunjukkan bahwa andesit basal Gunung Padang ini termasuk batuan beku terobosan dangkal, yang sebagian muncul ke permukaan membentuk batuan beku luar. Batuan terobosan dangkal yang menerus menjadi batuan beku luar dan membentuk sebuah bukit (kerucut) dinamakan batuan semi gunung api, yang dapat berbentuk kantong magma dangkal (cryptodomes), sills, retas (dikes) atau leher gunung api (volcanic necks). Tubuh magma dangkal tersebut kemudian menerus ke permukaan membentuk sumbat atau kubah lava, sebagai produk volkanisme pada masa lalu. Pada proses pendinginan sumbat atau kubah lava itu membeku dengan membentuk struktur kekar kolom (columnar jointings). Pada Gambar 9 bawah ditunjukkan bahwa lereng timur dan baratlaut G. Padang tersusun oleh batuan ubahan. Batuan ubahan hidrotermal juga dijumpai di dalam endapan longsoran, yang akan diuraikan di dalam sub bab fenomena longsoran, yakni di lereng tenggara dan utara. Dengan demikian bagian luar (kaki sampai lereng bawah) G. Padang tersusun oleh batuan ubahan hidrotermal, sedangkan bagian tengah (lereng atas sampai puncak) berupa sumbat/kubah lava. Sebagai proses geologi lebih lanjut struktur kekar kolom pada sumbat/kubah lava tersebut semakin renggang dan akhirnya roboh berserakan. Satuan intrusi andesit Pr. Pogor membentuk sebuah bukit di sebelah utara G. Padang. Batuan tersingkap sangat baik pada lokasi penggalian, baik lereng timurlaut maupun lereng baratdaya. Pada lereng timurlaut (Gambar 12) batuan tersusun oleh andesit basal, abu-abu gelap, bertekstur gelas – porfiri halus, berstruktur pejal-berlubang dan kekar plat tegak. Fenokris terdiri atas plagioklas dan piroksen, yang tertanam di dalam massa dasar gelas gunung api - afanit. Data itu menunjukkan bahwa Pr. Pogor merupakan batuan beku luar berupa kubah lava, atau setidaknya ke bawah membentuk batuan beku terobosan dangkal atau semi gunung api. Satuan Aluvium tersebar pada lembah aliran Ci Manggu di kaki timurlaut G. Padang, Dusun Cimanggu berupa endapan sungai atau fluvium (Gambar 13), yang menumpang di atas batuan ubahan hidrotermal. Fragmen batuan rombakan itu sebagian sudah mengalami pembundaran, namun tidak sedikit yang masih berbentuk balok/batu kolom yang mempunyai komposisi sama dengan di G. Padang, yakni andesit basal. Hulu Ci Manggu, yang dinamakan Ci Kuta karena berada di tepi Dusun Cikuta, terletak di antara G. Empet-Malati dan G. Padang sehingga endapan sungainya merupakan bahan rombakan yang berasal dari G. Empet-Malati dan G. Padang. Berhubung di G. Empet – Malati tidak ada batuan berstruktur kekar kolom, maka batu kolom di dalam endapan sungai itu diyakini berasal dari G. Padang. Telah disampaikan di atas karena proses geologi lebih lanjut kubah/sumbat lava berstruktur kekar kolom kemudian roboh berserakan. Batu kolom yang telah roboh berserakan di daerah G. Padang itu bersama-sama dengan endapan rombakan lainnya mengalami pengerjaan ulang lebih lanjut terbawa oleh aliran air deras kemudian mengendap di dalam badan sungai Ci Manggu sebagai endapan fluvium. Di dalam endapan sungai itu juga dijumpai fosil kayu, yang setelah dianalisis dengan metode 14C memberikan umur 5.300 ± 250 tahun BP (Before Present). Analisis 14C juga dilakukan terhadap endapan karbon yang terdapat di kaki utara Pr. Domas, dan memberikan
9
umur 15.590 ± 600 tahun BP. Data umur ini menunjukkan bahwa proses rombakan batu kolom G. Padang sudah berlangsung lama, jauh sebelum dibangun Punden Berundak oleh manusia masa lalu.
2.4. Pembahasan dan Sejarah Geologi Berdasarkan uraian data tersebut di atas, yakni data inderaja, geomorfologi dan struktur perlapisan batuan, serta batuan penyusun dinyatakan bahwa G. Padang dan sekitarnya merupakan bekas suatu gunung api purba yang dinamakan sebagai Gunung api purba Karyamukti. Penamaan Karyamukti dikarenakan daerah ini termasuk wilayah Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Bukti-bukti sebagai gunung api purba adalah sebagai berikut: 1.
Data inderaja dan geomorfologi menunjukkan bahwa tinggian G. Empet – Malati membentuk bentang alam punggungan melengkung ke utara, melingkupi G. Padang dan membentuk gawir terjal, sedangkan ke selatan bentuk lereng lebih melandai.
2.
Perlapisan breksi gunung api dan aliran lava penyusun G. Empet – Malati berstruktur miring selaras dengan arah melandainya lereng, yang mencerminkan jurus dan kemiringan orisinil tubuh bagian lereng suatu gunung api tipe komposit atau strato. Di bagian utara bentang alam lereng gunung api komposit kurang menonjol karena berada di zona perpotongan sesar aktif Cimandiri dengan Gede-Cikondang sehingga hancur, pecah-pecah dan mudah terkikis. Faktor lain adalah munculnya intrusi Pr. Pogor yang ikut merusakkan tubuh Gunung api purba Karyamukti bagian utara.
3.
Di sebelah utara G. Empet – Malati terdapat cekungan, yang ditengah-tengahnya muncul G. Malang dan Pr. Domas, yang seluruhnya tersusun oleh batuan ubahan hidrotermal. Ubahan hidrotermal itu terbentuk sebagai hasil interaksi antara magma dengan air bawah permukaan yang letaknya di fasies pusat gunung api, atau merupakan tempat atau jalan keluarnya magma ke permukaan bumi (Bronto, 2006). Dengan kata lain bentang alam cekungan itu merupakan bekas kawah Gunung api purba Karyamukti. Di dalam kawah itu kemudian muncul intrusi/kubah lava G. Malang dan Pr. Domas, yang diduga sebagai penerobosan magma tua karena batuan penyusunnya juga sudah mengalami ubahan hidrotermal.
4.
G. Padang terbentuk sebagai penerobosan magma termuda di kawah Gunung api purba Karyamukti, batuannya masih segar, keras, tidak terubah, dan berkomposisi andesit basal. Magma G. Padang menerobos batuan ubahan hidrotermal di sekelilingnya dan sampai ke permukaan membentuk kubah/sumbat lava
5.
Kemunculan Gunung api purba Karyamukti tepat pada deretan kelurusan G. Gede – Cikondang, yang dikontrol oleh sesar aktif Gede – Cikondang berpotongan dengan sesar aktif Cimandiri. Dari paparan bukti Gunung api purba Karyamukti tersebut kemudian disusun sejarah geologi
gunung apinya. Sejarah geologi gunung api atau volkanisme dimulai dengan pembangunan tubuh kerucut gunung api komposit Karyamukti, yang produknya disatukan ke dalam satuan breksi gunung 10
api. Di dalam kawah gunung api itu kemudian terbentuk batuan terobosan, yang ke permukaan menjadi kubah lava G. Malang dan Pr. Domas. Batuan terobosan termuda adalah andesit basal G. Padang, yang pada proses pendinginannya membentuk struktur kekar kolom. Pernyataan batu kolom G. Padang terdapat in situ tersebut juga didukung oleh Djubiantono (1997) dan dilaporkan oleh Bronto dan Herman (2012) dan Bronto (2014). Karena berada di dalam kawah dan terpengaruh oleh panas dari magma berkali-kali, dan yang terakhir adalah magma G. Padang, kubah lava G. Malang, Pr. Domas dan batuan di sekitarnya, termasuk di kaki dan lereng bawah G. Padang mengalami ubahan hidrotermal, yang disatukan ke dalam satuan argilik-kuarsa-pirit dan silisifikasi-urat kuarsa-limonitik. Tingkat ubahan hidrotermal lebih diperkuat karena terjadi penerobosan magma andesit basal Pr. Pogor di sebelah utara Gunung api purba Karyamukti. Setelah kegiatan volkanisme berhenti, struktur kekar kolom pada kubah/sumbat lava G. Padang semakin renggang dan pada akhirnya roboh berserakan. Proses alam geologi itu berlanjut menjadi perombakan batuan, yang di antaranya oleh aliran sungai, sehingga membentuk satuan endapan aluvium. Pembentukan struktur kekar kolom pada batuan semi gunung api, kubah lava dan sumbat lava, atau bahkan pada aliran lava sangat umum di jumpai di gunung api (Bronto, 2015, in press). Sebagai contoh, struktur kekar kolom pada gunung api purba terdapat di daerah Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, serta Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Struktur kekar kolom di gunung api aktif masa kini antara lain terbentuk di G. Kelut, Jawa Timur, G. Slamet Jawa Tengah, serta G. Sinabung (Sutawidjaja dkk., 2013), Sumatera Utara.
III. DAERAH RAWAN GEMPA DAN LONGSOR 3.1. Daerah Rawan Gempa Dari uraian analisis inderaja dan geomorfologi di atas kawasan Gunung api Karyamukti pada umumnya dan G. Padang secara khusus terletak pada zona lemah perpotongan antara sesar aktif Cimandiri, yang berarah barat baratdaya – timur timurlaut (SSW – ENE), dengan sesar aktif Gede – Cikondang, yang berarah utara baratlaut – selatan tenggara (NNW – SSE) (Gambar 2 dan 6). Keaktifan sesar Cimandiri sudah diakui oleh para ahli geologi Indonesia, antara lain Sujatmiko (2003). Sesar Gede – Cikondang juga dipandang aktif karena kemunculan Gunung api aktif Gede (dan Pangrango), Kendeng serta singkapan batu terkekarkan pada lereng utara G. Padang (Gambar 5-4). Gerak-gerak kedua sesar aktif tersebut mampu menimbulkan getaran atau gempa bumi, baik gempa bumi bersekala kecil (tidak terasa) maupun gempa bumi bersekala besar (terasa). Penelusuran data gempa dari USGS (United States of Geological Survey) dan BKMG (Badan Klimatologi, Meteorologi dan Geofisika) menunjukkan bahwa di daerah Cianjur, yang berdekatan dengan G. Padang, sering terjadi gempa bumi, baik bermagnituda besar (> 5 SR/Sekala Richter) maupun bermagnituda kecil (< 5 SR). Beberapa gempa bumi tektonik berskala besar di daerah itu ditampilkan
11
pada Tabel 1. Data gempa ini ikut mendukung keaktifan sesar Cimandiri dan Gede-Cikondang, sekaligus menyebabkan daerah G. Padang dan sekitarnya menjadi rawan gempa.
Tabel 1. Data gempa bumi tektonik bersekala besar di daerah Cianjur dan sekitarnya. Sumber: USGS dan BKMG. MMI : Merchant Mercalli Intensity; SR : Sekala Richter. Nomer 1 2 3 4 5 6
Waktu Kejadian 10 Oktober 1834 25 Mei 1843 15 Februari 1852 30 Desember 1852 10 Februari 1982, pk. 23:17:51 wib 9 Oktober 1985, Pk. 08:15:06 wib
Koordinat & Kedalaman Sumber Gempa 6,86o LS – 106,93o BT 3,9 km 6,74o LS – 107,00o BT 156 km
Magnituda VIII – IX MMI VII – VIII MMI VII – VIII MMI VIII – IX MMI 5,5 SR 6,4 SR
3.2. Daerah Rawan Longsor Menurut Cruden (1991, di dalam Karnawati, 2004) longsoran (landslides) didefinisikan sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan penyusun lereng menuruni lereng. Istilah longsor diubah oleh Karnawati (2004) menjadi gerakan massa tanah/batuan, yaitu gerakan menuruni atau keluar lereng oleh massa tanah dan/atau batuan penyusun lereng, akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan pada lereng tersebut. Lebih lanjut peneliti itu menjelaskan bahwa terjadinya gangguan tersebut dikarenakan oleh adanya faktor pengontrol gerakan dan proses pemicu gerakan. Faktor pengontrol gerakan merupakan penyebab tidak langsung, yang mengkondisikan suatu lereng menjadi rentan atau siap bergerak. Pemicu gerakan merupakan penyebab langsung yang merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi kondisi benar-benar bergerak setelah melampaui kondisi kritis. Faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi geologi, air dan tata guna lahan. Faktor pemicu utama gerakan berupa hujan, tetapi dapat pula disebabkan oleh getaran, pembebanan yang berlebihan, atau aktivitas manusia. Para ahli longsoran, misalnya Naryanto (2004), mengakui bahwa daerah berbatuan gunung api di Indonesia cenderung rawan longsor karena perpaduan faktor volkanisme, tektonika dan daerah tropis. Faktor volkanisme itu lebih ditekankan lagi oleh Bronto (2004) karena terjadinya proses ubahan hidrotermal terutama di fasies pusat gunung api sehingga batuan yang semula keras dan stabil berubah menjadi tanah lempung yang labil dan mudah longsor, apalagi jika sudah jenuh air. Di dalam uraian stratigrafi tersebut di atas telah disampaikan bahwa seluruh batuan di dalam fasies pusat Gunung api purba Karyamukti telah mengalami ubahan hidrotermal, yang di dalam peta geologi dinamakan satuan Argilik-kuarsa-pirit dan Silisifikasi-urat kuarsa-limonitik (Gambar 7). Perpaduan antara gerak sesar aktif Cimandiri dan Gede – Cikondang, batuan ubahan hidrotermal, pembebanan oleh timbunan batu kolom dan kegiatan manusia menjadi pengontrol gerakan tanah. Sementara sebagai pemicu terjadinya longsoran adalah curah hujan (tropis). Timbunan batu kolom, yang segar 12
dan keras, di puncak G. Padang memberi tekanan gaya berat terhadap batuan ubahan hidrotermal, yang lunak dan rapuh, di bawahnya. Kegiatan manusia antara lain sebagai pengunjung G. Padang, yang jumlahnya mencapai puluhan atau bahkan ratusan orang setiap hari, ikut menimbulkan getaran dan pada akhirnya menyebabkan tanah di bawahnya menjadi lebih rentan. Kegiatan budidaya pertanian dan pemukiman penduduk setempat pada kaki dan lereng G. Padang juga ikut menjadi penyebab tanah di daerah itu menjadi lebih rawan longsor.
3.3.Fenomena Longsoran Di sepanjang jalan menuju G. Padang, yang berada di dalam fasies pusat Gunung api purba Karyamukti dan tersusun oleh batuan ubahan hidrotermal, penampakan tanah longsor sudah teramati, misalnya pada lereng Pr. Domas dan G. Malang (Gambar 14). Pengamatan dari jauh terhadap G. Padang juga menunjukkan bahwa mulai dari lereng hingga kaki tertutup oleh endapan longsoran (Gambar 14 kiri atas). Menurut para petugas yang bekerja sejak tahun 2010, setiap musim hujan hampir selalu terjadi tanah longsor di daerah G. Padang dan sekitarnya. Berdasarkan informasi itu serta waktu kejadian, fenomena longsoran di Gunung Padang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu longsoran lama dan longsoran baru. Longsoran lama terjadi sebelum tahun 2010, sedangkan longsoran baru terjadi sesudah 2010. Longsoran lama teridentifikasi pada lereng utara dan timur-tenggara G. Padang. Di lereng utara longsoran dijumpai di tepi jalan masuk dari Dusun Cimanggu ke G. Padang, di belakang deretan warung makan (bawah jalan), serta di sisi barat tangga naik ke puncak G. Padang. Gambar 14 kanan bawah dan 15 atas memperlihatkan endapan longsoran lama di tepi jalan masuk dari Dusun Cimanggu ke G. Padang, yang terletak di lereng utara timurlaut G. Padang. Meskipun sudah dibangun tembok, pada bagian atas masih terdapat campuran tanah lempung berwarna coklat kemerahan dengan bongkah batu kolom (Gambar 15 kiri bawah). Di belakang deretan warung makan tanah lempung coklat kemerahan juga bercampur dengan batu kolom, yang sumbu panjangnya mengarah ke utara atau sejajar dengan lereng (Gambar 16). Di bawah tanah lempung merah masih dijumpai lempung putih sebagai hasil ubahan hidrotermal. Di sisi barat tangga naik ke puncak G. Padang atau lokasi parkir atas tersingkap tiga lapisan endapan longsoran (Gambar 17). Masing-masing endapan longsoran terdiri atas tanah lempung putih di bagian bawah, sedangkan di bagian atas berubah menjadi tanah lempung coklat kehitaman, bercampur dengan bongkah batu kolom. Tanah lempung putih itu adalah kaolin atau argilik sebagai hasil ubahan hidrotermal pada masa lampau sewaktu Gunung api Karyamukti masih aktif, atau paling tidak magmanya sedang mengalami pendinginan. Bongkah batu kolom merupakan bagian dari kubah lava G. Padang yang sudah roboh berserakan dan kemudian ikut longsor ke lereng bahkan sampai di kaki G. Padang. Bagian permukaan lapisan endapan longsoran terbawah (el-1) dan menengah (el-2), yang berwarna coklat kehitaman sudah menjadi tanah purba (paleosols), sedangkan endapan longsoran teratas (el-3) langsung ditutupi oleh tanah permukaan sekarang (top soil/ts). Tanah purba 13
pertama (p-1) menunjukkan bahwa pada masa lampau tanah itu terbentuk di permukaan sebagai akibat proses pelapukan cuaca. Kejadian berikutnya tanah purba p-1 itu tertimbun oleh endapan longsoran kedua (el-2), yang lama kelamaan bagian permukaannya juga melapuk menjadi tanah (p-2). Selanjutnya endapan longsoran kedua ini juga tertimbun oleh endapan longsoran ketiga (el-3) sampai dengan sekarang ini. Tidak menutup kemungkinan di bawah endapan longsoran pertama (el-1) masih ada endapan longsoran yang lebih tua, yang sekarang sudah tertutup tembok atau masih ada di bawah permukaan. Untuk membuktikan hal ini diperlukan pembuatan paritan atau pemboran inti. Data di lokasi parkir atas tersebut memperkuat pernyataan bahwa G. Padang tidak seluruhnya tersusun oleh batu kolom andesit basal, yang keras dan segar, melainkan sebagian berupa bahan ubahan hidrotermal (tanah lempung putih). Kedua, kejadian longsoran sudah berkali-kali sejak zaman dahulu kala. Pada lereng timur-tenggara endapan longsoran lama teramati dengan baik di tepi jalan dari Dusun Cimanggu sampai Dusun Cikuta dan di hulu Ci Kuta (Gambar 18). Ci Kuta adalah salah satu anak sungai Ci Manggu yang berhulu di antara G. Padang dengan G. Empet-Malati. Bahan longsoran lama ini relatif sama dengan yang ada pada lereng G. Padang yang lain, yaitu terdiri atas campuran tanah lempung merah coklat dengan bongkah-bongkah batu kolom bersusunan andesit basal. Pada lereng timur-tenggara ini juga teramati bahwa struktur memanjang batu kolom miring searah dengan bidang lereng, yakni ke arah timur-tenggara. Endapan longsoran baru juga terjadi di beberapa lokasi pada lereng utara, timur dan barat G. Padang. Pada lereng utara, di sisi barat lokasi parkir atas dan di sebelah baratnya longsoran terjadi pada musim hujan akhir tahun 2011 - awal 2012 (Gambar 19 kiri). Pada kaki barat, yakni di Dusun Cipanggulakan, longsoran batuan ubahan hidrotermal yang membentuk tanah lempung berwarna merah kecoklatan terjadi pada 14 November 2014 (Gambar 19 kanan). Longsoran baru yang terjadi pada 14 November 2014 juga menimpa rumah penduduk di Dusun Cimanggu atas dan Cikuta (Gambar 20 dan 21). Di dasar selokan, tepi jalan Dusun Cikuta, tersingkap batuan dasar berupa batuan ubahan hidrotermal berwarna putih abu-abu. Berdasarkan teksturnya diperkirakan batuan itu adalah andesit (basal?), yang lebih tua dan diterobos oleh magma pembentuk kubah lava G. Padang. Batuan beku andesit terubah ini agaknya menjadi lebih lunak dan tidak lulus air sehingga berperan sebagai dasar bidang gelincir terhadap material di atasnya, yang berupa tanah lempung merah coklat bercampur dengan batu kolom. Pada bidang longsoran di belakang rumah penduduk Dusun Cikuta dapat diamati adanya tiga endapan longsoran tua (Gambar 21). Bagian permukaan endapan longsoran terbawah (el-1) dan menengah (el-2) sudah membentuk tanah purba (p-1 dan p-2). Bagian bawah el-2 dan el-3 masih ada tanah lempung putih sebagai hasil ubahan hidrotermal, bercampur dengan bongkah batu andesit keras, dan ke atas berangsur menjadi lempung merah coklat sebagai tanah penutup permukaan. Data tersebut menunjukkan bahwa pada lereng timur G. Padang pernah terjadi tanah longsor paling tidak sebanyak tiga kali sebelum kejadian tanah longsor pada 14 November 2014. Hal ini dapat disebandingkan dengan longsoran di lereng utara (Gambar 17).
14
Longsoran baru tidak hanya terjadi pada lereng bawah dan kaki, tetapi juga terjadi pada lereng atas bagian barat, yang sangat dekat dengan puncak G. Padang (Gambar 22). Pada bidang longsoran nampak ada tiga lapisan yang diduga sebagai endapan longsoran tua. Lapisan terbawah (l-1) tersusun oleh batuan yang sudah sangat lapuk menjadi tanah berwarna putih kemerahan, merah abu-abu sampai dengan merah coklat. Lapisan tengah (l-2) teridentifikasi sebagai batuan beku berstruktur kulit bawang, yang intinya sudah ikut lapuk, hilang tererosi atau sedikit nampak segar dan keras berwarna abu-abu gelap, berkomposisi andesit basal. Sementara itu lapisan teratas (l-3) struktur batu kolom masih nampak jelas, dengan sumbu panjang mengarah ke barat searah dengan bidang lereng barat, di antara tanah lempung pelapukan berwarna merah coklat. Secara vertikal ke atas batu kolom pada lapisan ketiga ini semakin sedikit, sedangkan tanah lempung pelapukan semakin banyak. Diperkirakan karena efek gayaberat pada saat terjadi longsoran batu kolom lebih terkonsentrasi di bagian bawah endapan, sedangkan semakin ke atas berupa material yang lebih ringan, yaitu tanah lempung pelapukan. Diperkirakan ketiga lapisan endapan tersebut merupakan endapan longsoran. Endapan longsoran pertama (l-1) sudah melapuk tetapi belum sampai membentuk lapisan tanah lanjut (paleosols) kemudian tertimpa longsoran endapan kedua (l-2) dan kemudian ketiga (l-3) di atasnya. Pada lereng timur bagian atas G. Padang, arah memanjang batu kolom di permukaan tanah sejajar dengan di bawah permukaan, yakni miring ke timur searah dengan bidang lereng (Gambar 23). Dengan memperhatikan arah memanjang batu kolom searah bidang lereng utara, barat dan timur maka diyakini longsoran dari bagian atas G. Padang bergerak ke segala arah. Pada lereng timur batu kolom masih sangat segar atau utuh. Sebaliknya, di lereng barat sebagian batu kolom sudah lapuk mengulit bawang, dan bahkan sudah lapuk lanjut menjadi tanah lempung berwarna coklat kemerahan. Hal itu menunjukkan proses pelongsoran tidak terjadi pada waktu bersamaan ke segala arah, tetapi berganti-ganti arah dari waktu ke waktu. Berdasarkan perbedaan tingkat pelapukan tanah dan batuan diperkirakan pada bagian atas G. Padang, longsoran ke arah lereng barat lebih tua dibanding longsoran ke lereng timur.
IV. PEMBANGUNAN DAN PELESTARIAN SITUS G. PADANG 4.1. Pembangunan Situs Berdasarkan bentuk bentang alam dan sifat fisik serta keteknikan batuan dan tanah Suhirman dan Gustiar (1993) menyatakan bahwa kawasan G. Padang dan sekitarnya merupakan wilayah yang rentan terhadap gerakan tanah. Bentang alam daerah tersebut merupakan pebukitan tinggi berlereng curam (lereng > 40 %). Tanah pelapukan (termasuk batuan ubahan hidrotermal) bersifat lunak, plastis, rapuh, dan mudah hancur bila kering. Penampakan bentang alam dan sifat batuan serta tanah tersebut sangat rentan gerakan tanah pada musim hujan. Meskipun belum ada pemantauan dan pencatatan secara rinci, diperkirakan sesar aktif Cimandiri dan Gede-Cikondang dapat pula menimbulkan gempa bumi tektonik mikro di daerah G. Padang dan sekitarnya. Kombinasi gempa bumi tektonik dan batuan ubahan hidrotermal, sebagai faktor dari dalam (endogen), dengan faktor dari luar (eksogen), seperti 15
halnya curah hujan, pelapukan cuaca, erosi, relief kasar (lereng curam), pembebanan berlebihan dari timbunan batu kolom dan aktivitas manusia, menjadi penyebab daerah Gunung Padang dan sekitarnya sangat rentan terjadi gerakan tanah atau longsoran. Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa faktor pengontrol terjadinya gerakan massa tanah dan batuan di G. Padang adalah lereng terjal (20o – 40o), tanah lempung, batu kolom andesit basal, dan struktur geologi. Sementara itu sebagai pemicu terjadinya gerakan tanah adalah curah hujan (yang lebat dan lama). Tanah lempung berwarna putih (kaolin/argilik) sebagai hasil ubahan hidrotermal, tetapi setelah tersingkap di permukaan dan mengalami proses pelapukan lanjut oleh cuaca warnanya berubah menjadi merah dan kemudian coklat kemerahan. Ke bawah permukaan tanah lempung putih ini diduga sangat tebal karena memang terbentuk oleh proses hidrotermal dari dalam bumi (Bronto dan Langi, 2015). Pada awalnya tanah lempung putih – coklat kemerahan tersebut ditumpangi oleh batu kolom yang sudah roboh berserakan di permukaan. Struktur geologi berupa sesar dan kekar seperti terlihat pada Gambar 2, 3, 5 dan 6. Pada musim kemarau tanah lempung mengering dan pecah-pecah atau membentuk banyak rekahan. Pada musim hujan air hujan yang jatuh di puncak dan lereng G. Padang masuk ke dalam tanah melalui tumpukan batu kolom yang roboh berserakan dan rekahan serta retakan pada tanah lempung menyebabkan tanah lempung itu menjadi jenuh air dan terbebani oleh batu kolom yang menindih di atasnya di daerah puncak dan lereng G. Padang. Hal itu menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser pada tanah (Anonim, 2000 di dalam Suryolelono, 2004), dan setelah melalui kondisi kritis terjadilah gerakan massa tanah dan batuan menuruni lereng G. Padang. Berhubung gerakan massa itu cepat, pada kelerengan terjal, dan endapannya berada dekat di lereng bawah – kaki gunung, yang sering melanda rumah penduduk maka Karnawati (2004) mengelompokkan ke dalam longsoran, nendatan atau luncuran. Dengan demikian sebagai pemicu utama longsoran ini adalah air hujan dan pemicu tambahan adalah pembebanan yang berlebihan oleh batu kolom yang telah roboh berserakan di atas tanah lempung. Pemicu tambahan yang lain mungkin adalah gempa bumi (mikro), sekalipun hal ini masih diperlukan pemantauan lebih cermat. Dengan memperhatikan fenomena longsoran di G. Padang pada umumnya mempunyai bentuk bidang longsor melengkung. Damoerin (2004) menyatakan bahwa longsoran lereng ini bertipe longsoran rotasi (rotational slides). Akan tetapi dengan memperhatikan pola sebaran batu kolom yang menyebar ke segala arah, longsoran itu juga bertipe rayapan (creeping). Penampakan longsoran di G. Padang ada yang tua dan ada yang muda. Pada Gambar 14,17, 18, 21 dan 22 terlihat longsoran tua terjadi berulang kali dan dipermukaannya ada yang telah terbentuk tanah purba. Data ini menunjukkan bahwa endapan longsoran lama dapat melongsor lagi secara berkali-kali. Longsoran yang terjadi berulang kali ini oleh Damoerin (2004) dinamakan multiple rotational slides. Menurut Skempton dan Hutchinson (1969, di dalam Damoerin, 2004) longsoran rotasi berulang-ulang banyak terjadi pada suatu lereng tanah yang retak-retak dan bagian atasnya terdapat lapisan batuan atau tanah
16
yang lebih padu. Pendapat ini sesuai dengan kondisi di G. Padang, yang permukaannya tersusun oleh tanah lempung dan batuan retak-retak ditumpangi oleh timbunan/robohan batu kolom. Peristiwa gerakan massa tanah dan batuan merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya. Di G. Padang gerakan massa ini telah terjadi berulang kali hampir pada semua lereng (utara, barat dan timur). Berdasarkan data longsoran pada lereng atas bagian barat, yang sangat dekat dengan puncak G. Padang (Gambar 22), serta pola sebaran longsoran di lereng menuju hampir ke segala arah (Gambar 16 dan 23), diperkirakan bahwa situs Punden Berundak G. Padang dibangun di atas endapan longsoran sangat tua atau telah terjadi sebelumnya (Gambar 24). Oleh manusia masa lalu balok-balok batu kolom yang sudah roboh berserakan kemudian ditata sebagai Punden Berundak untuk keperluan ritual sesuai kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Hal ini juga dengan pertimbangan bahwa kubah lava G. Padang sudah terbentuk jutaan tahun yang lalu (>2 jtl.; Pliosen, Sujatmiko, 2003), sementara pembangunan Punden Berundak oleh manusia masa lalu baru berlangsung beberapa ribu tahun yang lalu (Lutfi Yondri, komunikasi lisan). Pada kurun waktu antara dua juta tahun yang lalu dengan beberapa ribu tahun yang lalu pasti telah banyak terjadi peristiwa geologi atau dinamika bumi, baik oleh faktor endogen maupun eksogen, yang menyebabkan robohnya kubah lava berstruktur kekar kolom dan gerakan massa tanah serta batuan di G. Padang.
4.2. Pelestarian Situs Dari uraian di atas secara tegas dan jelas Punden Berundak G. Padang, secara geologis berada di tempat yang rawan longsor dan gempa bumi. Sebagai warisan leluhur Bangsa Indonesia, yang harus dilestarikan dan dapat bermanfaat secara berkelanjutan, maka diperlukan usaha untuk mengamankan dari kerusakan, baik karena faktor alam maupun aktivitas manusia. Dalam rangka mengantisipasi kerusakan akibat longsoran, secara geoteknik Suryolelono (2004) menyarankan untuk memantapkan bidang lereng dengan metode stabilitas lereng, yakni: 1.
Mengurangi gaya yang melongsorkan atau menyebabkan lereng longsor,
2.
Memperbesar gaya perlawanan terhadap gaya yang melongsorkan, dan
3.
Kombinasi keduanya Metode stabilitas lereng ini dapat dilakukan secara fisis, mekanis, kimiawi dan bio engineering.
Metode secara fisis antara lain membuat lereng lebih landai, mengurangi beban di bagian atas lereng, membangun konstruksi bahu lereng (berm), atau penempatan pratibobot (counterweight), yaitu konstruksi timbunan batu atau tanah di bagian kaki lereng. Usaha lain untuk membuat lereng tetap stabil adalah dengan menempatkan sistem drainase permukaan atau bawah permukaan. Sistem ini akan mampu mengevakuasi sebagian air terutama air hujan yang masuk ke dalam tanah, agar tanah/batuan pembentuk lereng tidak jenuh air. Cara mekanis dilakukan jika ruangan yang tersedia sangat sempit, antara lain dengan menempatkan konstruksi penahan tanah konvensional atau perkuatan tanah (soil reinforcement), pengangkeran (soil nailing), memancang tiang atau turap (sheet 17
pile). Keberhasilan konstruksi ini akan lebih baik apabila didukung dengan sistem drainase permukaan dan bawah permukaan, pada dan di sekitar konstruksi penahan tanah itu. Metode stabilisasi secara kimiawi merupakan usaha mencampur bahan tanah dengan semen (soil cementshortcrete) atau sementasi (grouting). Bio engineering merupakan suatu usaha stabilisasi lereng dengan menutup lereng-lereng terbuka dengan tanaman. Tujuan dari usaha ini agar air hujan sebagai pemicu gerakan lereng dapat ditahan sementara, atau tidak segera masuk ke dalam tanah. Guna menangani masalah longsor Zakaria (2004) mengusulkan untuk melakukan stabilisasi dan rancang bangun lereng terpadu. Desain lereng stabil dapat dibuat melalui simulasi lereng stabil, yaitu dengan menghitung faktor keamanan lereng secara berulangkali dari beberapa model yang dirancang sesuai kondisi setempat. Secara konkret usulan ini berupa pembuatan undak-undak lereng (terasering) atau memperlandai lereng. Saran dari para ahli geoteknik (Teknik Sipil) tersebut agar dipadukan dengan kondisi geologi G. Padang, yang mempunyai tanah lempung ubahan hidrotermal sangat tebal, terletak di zona lemah akibat sesar aktif serta gempa bumi. Lebih dari itu pemantauan secara berkelanjutan agar dilaksanakan terhadap faktor penyebab dan pemicu longsoran di G. Padang.
V. PENUTUP G. Padang dan sekitarnya merupakan Gunung api purba Karyamukti, yang sisa hasil kegiatannya membentuk satuan breksi gunung api, batuan ubahan argilik-kuarsa-pirit dan silisifikasiurat kuarsa-limonitik, serta intrusi-kubah lava andesit basal G. Padang. Satuan breksi gunung api merupakan tubuh kerucut komposit, sedangkan satuan batuan lainnya berada di dalam fasies pusat Gunung api Karyamukti. Tahap akhir volkanisme Gunung api purba Karyamukti menghasilkan intrusi/kubah/sumbat lava G. Padang, yang pada proses pendinginannya membentuk struktur kekar kolom. Kegiatan volkanisme di sebelah utara Gunung api Karyamukti membentuk intrusi-kubah lava andesit Pr. Pogor. Daerah G. Padang dan sekitarnya ini terletak pada perpotongan sesar aktif Cimandiri dengan Gede-Cikondang. Sebagai akibat proses endogen dan eksogen dalam sekala waktu geologi batu kolom G. Padang roboh berserakan, yang oleh manusia masa lalu kemudian ditata untuk dijadikan tempat pemujaan atau upacara ritual, sesuai kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Pada saat ini masyarakat mengenal lokasi itu sebagai Situs Punden Berundak Megalitik G. Padang. Situs G. Padang merupakan daerah rawan gempa dan longsor. Kegempaan terutama bersumber dari kegiatan sesar aktif Cimandiri (WSW – ESE) yang berpotongan dengan sesar aktif Gede – Cikondang (NNW - SSE). Selain kegempaan, sebagai pengontrol longsor adalah adanya tubuh tanah lempung ubahan hidrotermal di bawah situs, yang ditindih oleh timbunan batu kolom yang sudah roboh berserakan, banyak rekahan/retakan yang disebabkan oleh kegempaan dan sesar aktif, serta mempunyai bentang alam berelief kasar/terjal dengan sudut lereng 20o – 40o. Sementara itu sebagai pemicu utama gerakan longsoran adalah terjadinya hujan dengan intensitas tinggi. Longsoran telah terjadi berulangkali, bahkan sejak sebelum dibangun Punden Berundak sehingga situs itu berada di atas endapan longsoran sangat tua. Endapan longsoran terdiri atas tanah lempung putih – coklat 18
kemerahan bercampur dengan fragmen batu kolom yang berasal dari puncak dan lereng atas G. Padang. Untuk menanggulangi bencana longsoran (dan gempa) yang akan datang perlu dilakukan secara fisis, mekanis, kimiawi, bio engineering serta stabilisasi lereng secara terpadu. Berhubung tanah lempung ubahan hidrotermal sangat tebal dan seringnya terjadi gempa bumi penanggulangan longsoran itu agar disertai dengan pemantauan secara terus menerus.
Ucapan Terimakasih Dengan tersusunnya makalah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Danny Z. Herman MSc., Ir. Pudjo Asmoro MSc., Malia Adityarani ST., Billy B. Langi ST., dan Russ Abdisallam ST., yang telah membantu pekerjaan di lapangan dan pelaporan. Penghargaan juga ditujukan kepada Prof. Dr. Mundardjito, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis dan Ir. Sujatmiko, yang secara terus menerus telah memberikan dukungan untuk melakukan penelitian dari berbagai disiplin ilmu, termasuk geologi, di G. Padang. Kepada Drs. Lutfi Yondri M.Hum. disampaikan terimakasih atas kerjasamanya selama ini serta bantuan informasinya perihal kepurbakalaan Situs G. Padang. Kepada Pimpinan Badan Geologi dan Pusat Survei Geologi, Kementerian ESDM juga disampaikan terimakasih karena telah menyediakan anggaran biaya untuk melakukan penyelidikan geologi di daerah G. Padang dan sekitarnya. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat beserta masyarakat setempat atas telah diijinkannya untuk melakukan kegiatan lapangan. Terakhir diucapkan terimakasih kepada Panitia ‘Borobudur Writers and Cultural Festival’ yang telah mengundang penulis untuk memaparkan G. Padang ditinjau dari aspek geologi gunung api.
19
ACUAN Bronto, S., 2015. Pengembangan dan Terapan Geologi Gunung Api (in press). Bronto, S., 2014. Gunung Padang, Pandangan Geologis, Gatra, no. 9, tahun XX, 2-8 Januari 2014, 60-61. Bronto, S., 2013. Geologi Gunung Api Purba, Cetakan kedua, Badan Geologi, Kementerian ESDM, Bandung, 184. Bronto, S., 2006. Fasies gunung api dan aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, 2 (1), 59-71. Bronto, S., 2004. Longsor di Gunung Api, di dalam H.S. Naryanto, S. Prawiradisastra dan B. Marwanta (Editors), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan (P3TPSLK) – BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF), Jakarta, 92-103. Bronto, S., 2003. Gunung api Tersier Jawa Barat : Identifikasi dan Implikasinya, Majalah Geologi Indonesia, 18 (2), 111-135. Bronto, S. dan Herman, D.Z., 2012. Geologi Gunung Padang dan Sekitarnya, Kabupaten Cianjur – Jawa Barat, Extended Abstract, dipresentasikan di 41st IAGI Annual Convention & Exhibition, Melia Purosani Hotel, 17-20 September 2012,Yogyakarta, 310-312. Bronto, S. dan Langi, B., 2015. Geologi Gunung Padang dan Sekitarnya, Kabupaten Cianjur – Jawa Barat, Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral (in press). Damoerin, D., 2004. Tinjauan aspek geoteknik terhadap longsoran lereng alam, di dalam H.S. Naryanto, S. Prawiradisastra dan B. Marwanta (Editors), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan (P3TPSLK)-BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF), 63-76. Djubiantono, T., 1997. Analisis petrografi atas batuan beku dari Situs Megalitik Gunung Padang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dalam Laporan Penelitian: Geologi Kuarter dan Prasejarah di Jawa Barat dan Kalimantan Barat, Bandung, Bag- Proyek Penelitian Purbakala Bandung, 1-22, tidak terbit. Karnawati, D., 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/Batuan di Indonesia; Evaluasi dan Rekomendasi, di dalam H.S. Naryanto, S. Prawiradisastra dan B. Marwanta (Editors), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan (P3TPSLK)-BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF), 9-38. Koesmono, M., Kusnama dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru, Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi, Bandung. Langi, B.B., 2012. Identifikasi Gunung Api Purba di Daerah Gunung Padang Desa Karyamukti Kecamatan Cempaka Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Skripsi S-1, Program Studi Teknik Geologi, FTKE, Universitas Trisakti, Jakarta, 75, (tidak terbit). Macdonald, G.A., 1972. Volcanoes, Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510. Naryanto, H.S., 2004. Potensi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Jawa Barat, di dalam H.S. Naryanto, S. Prawiradisastra dan B. Marwanta (Editors), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan P3TPSLK – BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF), Jakarta, 104-130. Soeria-Atmadja, R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgoprawiro, H., Polve, M. and Priadi, B., 1994. Tertiary magmatic belts in Java, Journal of SE Asian Earth Sciences, 12, 13-27. Suhirman, A. Dan Gustiar, 1993. Peta Geologi Tata Lingkungan Lembar Cianjur, Jawa, sekala 1 : 100.000, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. Sujatmiko, 2003. Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa, skala 1 : 100.000, Cetakan ke 3, Puslitbang Geologi, Bandung. Suryolelono, K.B., 2004. Bencana tanah longsor perspektif ilmu geoteknik, di dalam H.S. Naryanto, S. Prawiradisastra dan B. Marwanta (Editors), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan P3TPSLK – BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF), Jakarta, 39-62. Sutawidjaja, I.S., Prambada, O. dan Siregar, D.A., 2013. The August 2010 Phreatic Eruption of Mount Sinabung, North Sumatra, Indonesian Journal of Geology, 8 (1), 55-61. Van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, the Hague, 732. Yondri, L., 2012. Punden berundak Gunung Padang maha karya nenek moyang dan kandungannya akan nilainilai kearifan lingkungan di masa lalu di tatar Sunda, di dalam: Arkeologi: Identitas dan Karakter Budaya Dalam Kajian Arkeologi, Alqaprin Cakrawala Baru Dunia Buku, Bandung. Zakaria, Z., 2004. Stabilisasi dan rancangbangun lereng terpadu, salah satu usulan untuk penanganan masalah longsor, di dalam H.S. Naryanto, S. Prawiradisastra dan B. Marwanta (Editors), Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan P3TPSLK – BPPT dan Hanns Seidel Foundation (HSF), Jakarta, 77- 91. 20
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta lokasi daerah penelitian (kotak arsir), yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, koordinat 107° 2’30”BT - 107° 04’ 30”BT dan 6° 58’ 00”LS – 7° 00’ 30”LS.
Gambar 2 Citra SRTM daerah Cianjur dan sekitarnya, yang memperlihatkan kelurusan berarah utara baratlaut – selatan tenggara, mulai dari Gunung api (G.) Gede-Pangrango, Kancana, Padang sampai dengan Cikondang. Kelurusan deretan gunung api tersebut berpotongan dengan zona Sesar Cimandiri, yang berarah barat baratdaya – timur timurlaut. Sesar Cimandiri adalah sesar naik ke arah utara baratlaut (Sujatmiko, 2003).
21
Gambar 3 Citra satelit Gunung Padang dan sekitarnya. Zona kelurusan nampak jelas berarah utara baratlaut – selatan tenggara (NNW-SSE) yang dimulai dari kaki tenggara Gunung api purba Kancana ke arah selatan tenggara sampai dengan Cikondang, melalui stasiun kereta api Lampegan. Gunung Padang, yang merupakan sebuah bukit kecil dilingkupi oleh Gunung Empet, terletak di tengah sistem kelurusan tersebut.
Gambar 4 Kiri atas: G. (Gunung) Malang berada di tengah-tengah cekungan melingkar dilihat dari sebelah barat (sayap baratlaut G. Empet). G. Padang di tepi utara foto. Kamera menghadap ke timur. Garis biru putus-putus diperkirakan sebagai batas cekungan melingkar. Kanan atas: Pandangan burung dari puncak G. Empet ke arah ke G. Padang, G. Malang, Pr. (Pasir) Pogor dan Pr. Domas. Kamera menghadap ke utara. Kiri bawah: G. Padang dan G. Empet difoto dari Pr. Domas (sebelah utara, kamera menghadap ke selatan).
22
Gambar 5 1. Bentang alam deretan Pr. (Pasir) Domas, Pr. Pogor dan G. (Gunung) Kancana dilatarbelakangi G. Gede difoto dari puncak G. Padang. Kamera menghadap ke utara. 2 & 3. Bentuk memanjang G. Padang seperti elip, yang ke utara berderet dengan Pr. Domas, Pr. Pogor dan G. Kancana. 4. Kekar berarah U170oT pada lereng utara G. Padang di belakang pos juru pelihara, koordinat 6 o 59' 31,5" LS - 107o 3' 22,6" BT.
Gambar 6 Sesar Cimandiri berpotongan dengan sesar Gede-Cikondang. Sesar kedua ditunjukkan oleh kemunculan Gunung api Sawal, Gede, Pangrango, Kancana dan Cikondang. Gunung Padang berada di dalam Gunung api purba Karyamukti, yang terletak di perpotongan antara sesar Cimandiri dengan sesar GedeKancana. 23
Gambar 7 Peta geologi daerah Gunung Padang dan sekitarnya (Langi, 2012).
Gambar 8 Atas: Singkapan batuan ubahan hidrotermal: 1. Di Dusun Cisela-Paldua, ujung utara Desa Karyamukti, 2. Di tepi jalan Dusun Cimanggu – G. Padang (kaki timur Pr. Domas). Bawah: Singkapan batuan ubahan hidrotermal di lereng atas Gunung Malang, berupa tanah lempung argilik (3) dan oksida besi (4).
24
Gambar 9 Atas: Bongkah andesit tersilika dan terpiritkan, tersingkap pada lereng atas bagian timur Pasir Domas, koordinat 6o 59’ 14,6” LS – 107o 3’ 21,2” BT. Kiri bawah: Singkapan batuan andesit terubah pada lereng timur Gunung Padang, koordinat 6o 59’ 31,6” LS – 107o 3’ 27,1” BT. Kanan bawah: Singkapan batuan ubahan hidrotermal pada lereng utara baratlaut Gunung Padang, di tepi jalan menuju Dusun Cipanggulakan.
Gambar 10 Batu kolom andesit basal di puncak Gunung Padang, yang sudah roboh berserakan. Bentuk batu kolom beragam mulai dari pipih sampai poligonal (tetragonal, pentagonal dan heksagonal) tidak sama sisi serta ukuran kolomnya juga tidak seragam, ada yang besar, sedang dan kecil. Batu kolom ini diyakini bentukan alam karena tidak ada tanda-tanda bekas dibuat (dipahat/diasah) orang pada masa lampau.
25
Gambar 11 Batu andesit basal Gunung Padang berwarna abu-abu gelap, bertekstur afanit (kiri atas) serta memperlihatkan struktur berlubang, sebagai bekas keluarnya gas pada waktu pendinginan (kiri bawah). Di bawah mikroskop batuan bertekstur hipokristalin porfiri (kanan) dengan fenokris plagioklas (pl) dan piroksen (px), yang tertanam di dalam massa dasar (md) mikrolit dan gelas gunung api.
Gambar 12 Singkapan batuan pada lereng utara Pasir Pogor, yang tersusun oleh andesit basal bertekstur gelas – porfiri halus dan berstruktur pejal-berlubang dan kekar plat tegak. Fenokris terdiri atas plagiokals dan piroksen, tertanam di dalam massa dasar afanit – gelas.
26
Gambar 13 Kiri atas: lembah aliran Ci Manggu di Dusun Cimanggu. Kanan atas: Singkapan endapan fluvium (a) menumpang di atas batuan ubahan (bu). Kiri bawah: Batu kolom di dalam endapan fluvium. Kanan bawah: Fosil kayu (hitam) di dalam endapan fluvium, yang setelah dianalisis dengan metode 14C memberikan umur 5.300 ± 250 th. BP (Before Present). Lokasi: Aliran Ci Manggu di tepi selatan tempat parkir bawah.
Gambar 14 Penampakan longsoran di daerah G. Padang dan sekitarnya. 1. Tanah longsor pada 2012 di lereng timur Pr. Domas , yang merupakan perkebunan teh di tepi jalan menuju G. Padang. Anak panah menunjukkan bahan lempung putih hasil ubahan hidrotermal, yang kemudian menjadi tanah merah coklat karena terpengaruh oleh pelapukan cuaca. 2. Penampakan beberapa tanah longsor (anak panah) di G. Malang. 3. Penampakan endapan longsoran (EL) di lereng G. Padang (kamera menghadap ke selatan). 4. Endapan longsoran di tepi jalan masuk pada lereng utara G. Padang.
27
Gambar 15 Kiri atas: Penampakan tanah longsor di lereng timurlaut pada jalan masuk dari Dusun Cimanggu ke G. Padang (foto 27 September 2013). Puncak G. Padang berada di sebelah kanan jalan (kamera menghadap ke timur/ keluar dari Gunung Padang). Kanan atas: Kondisi jalan yang sama dengan foto kiri atas setelah diperbaiki dan dibangun tanggul penahan longsor (foto 11 Desember 2014). Bawah: Singkapan batu kolom bercampur tanah lempung merah coklat di atas bangunan penahan longsor.
Gambar 16 Singkapan batu kolom bercampur tanah lempung merah coklat di kaki utara Gunung Padang (belakang deretan warung makan dan bawah jalan), koordinat 6o 59’ 30,7” LS – 107o 3’ 22,1” BT. Struktur memanjang batu kolom searah dengan bidang lereng bagian utara (foto 27 September 2013, kamera menghadap ke selatan).
28
Gambar 17 Singkapan endapan longsoran (el) di kaki utara G. Padang (tempat parkir atas), koordinat 6o 59’ 32,0” LS – 107o 3’ 21,3” BT. Atas: difoto pada Maret 2012 (sebelum dibersihkan). Bawah: Singkapan yang sama difoto pada 11 Desember 2014 (setelah dibersihkan). Endapan longsoran terdiri atas 3 lapisan (el-1, el-2 dan el-3). Bagian bawah endapan longsoran berwarna putih/cerah tersusun oleh tanah lempung ubahan hidrotermal. Bagian atas endapan longsoran pertama dan kedua membentuk tubuh tanah purba (paleosols, p-1 dan p-2) berwarna coklat kehitaman, sementara endapan longsoran ketiga ditutupi oleh tanah permukaan (top soil/ts). Masing-masing endapan longsoran mengandung bongkah andesit basal (lingkaran hitam) yang berasal dari bagian atas G. Padang.
Gambar 18 Atas: Endapan longsoran lama, tersusun oleh tanah lempung merah coklat bercampur bongkah batu andesit basal, di lereng timur G. Padang, di tepi jalan Dusun Cikuta, koordinat 6o 59’ 39,5” LS – 107o 3’ 28,4” BT. Kiri bawah: Endapan longsoran lama di hulu aliran Ci Kuta, Dusun Cikuta.
29
Gambar 19 Endapan longsoran baru di lereng G. Padang. Kiri atas: endapan longsoran di sisi barat lokasi parkir atas (foto Maret 2012). Kiri bawah: Endapan longsoran di sebelah barat lokasi parkir atas (foto 11 Desember 2014). Kanan: Endapan longsoran 14 November 2014 di kaki barat G. Padang, Dusun Cipanggulakan (foto 11 Desember 2014).
Gambar 20 Kiri atas: Tanah longsor yang terjadi pada 14 November 2014 di Dusun Cimanggu atas. Pada saat pemotretan ini (11 Desember 2014) air masih keluar pada bidang longsor. Nampak yang empunya rumah sedang berusaha memperbaiki tanah longsor. Kiri bawah: Bekas longsoran yang terjadi pada 14 November 2014 di hulu Ci Kuta, di kaki tenggara G. Padang. Kanan: Singkapan batuan ubahan hidrotermal di dasar selokan di tepi jalan Dusun Cikuta.
30
Gambar 21 Kiri: Tanah longsor pada 14 November 214 menimpa bagian belakang rumah penduduk di Dusun Cikuta. Kanan: Pada bidang longsoran tersingkap adanya tiga lapisan endapan longsoran tua (el-1, el-2 dan el-3). Bagian atas el-1 dan el-2 sudah terbentuk tanah purba (p-1 dan p-2). Bagian bawah el-2 dan el3 masih teramati adanya tanah lempung putih sebagai hasil ubahan hidrotermal. Di dalam el-3 tanah lempung terdapat fragmen batuan, yang bagian luarnya sudah agak lapuk.
Gambar 22 Singkapan batu kolom di bekas longsoran pada lereng atas bagian barat G. Padang, yang memerlihatkan tingkatan pelapukan mulai dari sangat lapuk, lapuk menengah dan agak lapuk, koordinat 6o 59' 37,7" LS - 107o 3' 21,2" BT. Lapisan terbawah (l-1) sudah sangat lapuk menjadi tanah merah coklat. Lapisan tengah (l-2) memperlihatkan pelapukan mengulit bawang berwarna merah coklat, yang intinya masih nampak segar dan keras. Lapisan teratas (l-3) memperlihatkan batu kolom yang masih segar dan keras di antara tanah lempung merah coklat. Struktur memanjang batu kolom miring ke barat, searah dengan bidang lereng. Bawah: Close up lapisan tengah (l-2) yang masih menunjukkan struktur pelapukan mengulit bawang, yang bagian intinya ikut lapuk sampai masih segar dan keras berwarna abuabu gelap berkomposisi andesit basal. Secara vertikal pada lapisan atas (l-3) batu kolom terkonsentrasi di bagian bawah, sedangkan ke atas semakin berkurang dan didominasi tanah pelapukan. 31
Gambar 23 Atas: Posisi memanjang batu kolom di permukaan tanah, yang searah dengan bidang lereng atas bagian timur G. Padang. Bawah: Tumpukan batu kolom di lubang galian/paritan pada lereng atas bagian timur G. Padang, koordinat 6o 59' 36,6" LS - 107o 3' 23,2" BT (kiri) dan 6o 59’ 37,9” LS – 107o 3’ 23,6” BT (kanan). Kedudukan memanjang batu kolom searah dengan bidang lereng bagian timur.
Gambar 24 Penampang sketsa G. Padang. Situs Punden Berundak dibangun di atas endapan longsoran yang tersusun oleh tanah lempung hasil pelapukan cuaca, bongkah lepas batu kolom dan tanah lempung hasil ubahan hidrotermal (argilik/kaolinit). Sumbu panjang batu kolom di dalam endapan longsoran miring searah dengan kemiringan lereng G. Padang. Tubuh primer/ in situ batu kolom andesit basal, yang dapat berbentuk kubah lava bawah permukaan, sill, retas, leher gunung api atau sumbat/ kubah lava, diduga masih berada lebih dalam, di bawah endapan longsoran.
32