GUNUNG PADANG : ARKEOLOGI DAN KANDUNGAN NILAI BUDAYANYA Lutfi Yondri
[email protected] -
[email protected] Balai Arkeologi Bandung Program Doktoral Kajian Budaya - FIB Unpad
Archaeology can help us to understand about things and their relation with time, culture, environment, and adaptation of cultural norms, which have existed by people in the past (Cryado, 1991, Yondri, 2006).
Berita tentang situs Gunung Padang sampai sekarang masih menjadi berita dan bahan perbincangan di berbagai kalangan, buktinya hari ini diperbincangkan kembali. Situs Gunung Padang sebagai salah satu produk budaya dari masa lalu yang selama ini telah menjadi objek kajian arkeologi. Secara umum apa yang dilakukan arkeologi sebagai satu disiplin ilmu pengetahuan sesunguhnya tidak sebatas merekonstruksi peristiwa masa lampau tetapi juga berusaha untuk menemukan peradaban yang mungkin telah terkubur selama berabad-abad dan kemudian mencoba menginterpretasikannya sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. Gagasan seperti ini jauh sebelumnya yaitu pada tahun 1960an sudah dikemukakan oleh Sir Mortimer Wheeller dengan mengatakan bahwa apa yang dikerjakan arkeologi itu dengan kalimat “we are not digging up things but people”. Dalam hal melalui penggalian atau penelitian benda-benda budaya tinggalan masyarakat masa lalu itu, para arkeolog (peneliti arkeologi) berupaya untuk memahami bahagaimana kehidupan masyarakat masa lalu melalui benda-benda tinggalan budaya masa lalu yang ditemukannya. Apa dan Bagaimana Bentuk Konstruksi Situs Gunung Padang ? Perhatian para ahli terhadap punden berundak Gunung Padang sebenarnya bukanlah terjadi baru-baru saja, tetapi sudah sejak puluhan tahun yang lalu. Pada 1891 DR. R. D. M. Verbeek dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen, Deel XLVI, diterbitkan oleh Lansdrukkerij Batavia – M Nijhoff ’s Hage tahun 1891. Pada poin yang ke 38. Goenoeng Padang. District Peser, afdeeling Tjiandjoer, Blad K. XIII. “Op den bergtop Goenoeng Padang, nabij Goenoeng mélati, eene opeenvolging van 4 terrassen, door trappen van ruwe steenen verbonden, met ruwe platte steenen bevloerd en met talrijke scherpe en zuilvórmige rechtopstaande andesietsteenen versierd. Op ieder terras een heuveltje, waarschijnlijk een graf, met steenen omzet en bedekt, en van boven met 2 spitse steenen voorzien. In 1890 door den heer De Corte bezocht. Setelah itu dicatatkan kembali oleh N.J Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dients (ROD) yang ditulisnya pada tahun 1914. Sebagaimana dikutip oleh Sukendar (1985) Krom mendeskripsikan situs Gunung Padang sebagai berikut. “op dezen bergtop nabij Goenoeng Melati vier door trappen van ruwe steenen verbonden terassesn, ruw bevloerd en met scherpe opstaande zuilvormige andesict steenen versierd. Op elp terras een heuveltje (graf), met steenen omzet en bedekt en voorzien van twee spitse steenen”. Di puncak gunung ini dekat Gunung Melati, empat buah teras jang disusun dari batu kasar, berlantai kasar, dan dihiasi dengan batu2 andecit jang berbentuk lingga. Di tiap teras terdapat gundukan tanah (mungkin kuburan) dikelilingi dan ditimbuni batu dan dilengkapi dua buah batu berbentuk runtjing. Kepustakaan Verbeek p. 43. (Budiman dan Atja, 1970. situs Gunung Padang, nomor 140 (Verbeek 38). Sekian lama setelah itu, baru kemudian pada tahun 1979 situs ini dibicarakan kembali oleh para peneliti, setelah situs ini dilaporkan oleh Bapak Endi, Soma, dan Abidin yang menyebutkan adanya dinding tinggi dan susunan batu-batu berbentuk balok di dalam semak belukar di bukit Gunung Padang. Maka sejak itulah kegiatan penelitian, pengamatan, pengukiran, dan pemetaan dilakukan baik oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Sekarang Pusat Arkeologi Nasional), dan Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman) serta unit-unit pelaksana teknisnya yaitu Balai Arkeologi Bandung dan Balai Pelestarian Cagar Budaya, Serang.
1
Sampai sekarang, tidak ada satupun ahli yang membantah bahwa punden berundak Gunung Padang ini sebagai produk budaya, artinya punden berundak itu memang dibuat atau disusun oleh satu kelompok masyarakat pada masa lalu. Secara keseluruhan konstruksi punden berundak Gunung Padang terdiri dari sumur yang terletak di kaki sebelah urata Gunung Padang, kemudian tangga naik, dan lima teras utama yang dibangun di bagian puncak Gunung Padang. Kelima teras tersebut yang masing-masingnya mempunyai ukuran yang berbeda. Teras pertama merupakan teras terbawah mempunyai ukuran paling besar kemudian berturut-turut sampai teras ke lima ukurannya semakin mengecil. Teras I mempunyai bentuk persegi empat yang dua sisinya yaitu sisi barat laut dan tenggara mempunyai ukuran yang berbeda. Adapun ukuran dari masing-masing teras pertama ini: sisi barat laut berukuran panjang 40 m, sisi tenggara berukuran panjang 36 m, sedang kedua ssisi lainnya masingmasing berukuran 28 m. Teras ini dibentuk dengan sistim urug dan kemudian diperkuat dengan balokbalok batu yang sekarang menjadi dinding-dinding teras I. Pada teras I terdapat 10 bangunan kecil yang terdiri dari susunan balok batu berbagai bentuk. Teras II mempunyai bentuk yang lebih kecil dari teras pertama. Teras ini berukuran: sisi barat laut (sisi depan) panjang 22,30 m, sisi timur laut (sisi sebelah kiri) panjang 25 m, sisi sebelah barat daya (sebelah kanan) panjang 24 m, sisi sebelah tenggara (belakang) panjang 18,5 m. Pada permukaan teras yang rata ini terdapat 6 susunan bangunan besar dan kecil yang juga terbuat dari balok-balok batu andesit. Selain itu tampaknya masih ada bangunan kecil lainnya tetapi sudah tidak dapat diketahui lagi bentuknya, karena susunan batu bangunan-bangunan yang lain sudah tidak kelihatan lagi. Pada teras II terdapat batu-batu tegak yang mempunyai ukuran lebih besar dari pada batu-batu tegak yang lain, berfungsi sebagai pembatas jalan. Teras III berukuran lebih kecil dari teras II. Adapun sisi-sisi teras ini berukuran panjang sisi barat laut 18,5 m, sisi tenggara 18 m, sisi timur laut 18 m, sisi barat daya 18 m. Pada teras III ditemukan 5 bangunan yang hampir sebagian besar merupakan kelompok-kelompok batu tegak baik yang masih berdiri maupun yang sudah rubuh. Beberapa bangunan disusun dalam bentuk persegi empat atau melingkar. Masing-masing bangunan terpisah pisah tidak tampak adanya jalan atau pondasi yang menghubungkan antara bangunan satu dengan yang lainn. Bangunan-bangunan inilah pada masa lalu diperkirakan memiliki fungsi sebagai kuburan oleh Krom. Data terakhir yang diperoleh sebagai hasil ekskavasi D.D. Bintarti tahun 1982 membuktikan bahwa pada beberapa bangunan tidak ada tanda-tanda penguburan, kecuali hanya ditemukan pecahan gerabah polos yang terbatas jumlahnya. Pada teras IV yang terletak lebih tinggi dari teras III, terdapat 3 bangunan lagi, yang semuanya terletak pada bagian timur laut teras IV. Bagian barat daya teras IV tidak ditemukan sisasisa bangunan, kecuali sebidang tanah kosong yang mungkin dipergunakan untuk pelaksanaan upacara tertentu, yang membutuhkan tempat luas. Sedangkan teras V terletak di bagian paling ujung sebelah tenggara dan merupakan teras tertinggi, memiliki ukuran panjang sisi barat laut 17,5 m, sisi timur laut 19 m, sisi tenggara 16 m dan sisi barat daya 19 m. Diduga teras ini dianggap paling suci, tempat upacara-upacara paling sakral diadakan. Pada teras ini ditemukan bangunan-bangunan kecil yang merupakan tumpukan monolit dan oleh N. J. Krom diperkirakan merupakan kuburan (Sukendar, 1995). Dari hasil ekskavasi yang dilakukan pada bulan April 2015 yang ditujukan untuk melihat bentuk, struktur masing-masing teras pundern berundak Gunung Padang dapat ditampakkan bahwa balok-balok batu penyusun struktur teras tersebut pada masa lalu disusun di atas muka tanah sesuai dengan keadaan muka tanahnya pada saat itu, dan di bawahnya juga tidak terdapat lapisan pasir peredam gempa. Demikian pula dengan pola sambungan balok batu yang disebutkan dihubungkan oleh batu bulat yang ditempatkan di dalam lubang seperti yang dilansir di media masa selama ini. Itu semua tidak ditemukan dari hasil penggalian struktur dinding dari teras I hingga teras V. Darimana Sumber Bahannya? Terkait dengan bahan atau material untuk membangun punden berundak tersebut di tengah masyarakat berkembang satu legenda yang menyebutkan bahwa batu tersebut berasal dari daerah yang mereka sebut sebagai Tegalbatu. Lokasi ini terletak lebih kurang 1,5 km di sebelah selatan Gunung Padang. Setelah batu ditambang kemudian batu tersebut dibawa ke lokasi tempat mengukir batu yang kemudian lokasi tersebut kemudian disebut Kampung Ciukir. Setelah diukir kemudian batu tersebut sebelum digunakan di Gunung Padang dicuci terlebih dahulu di Kampung Empang.
2
Sangat sulit untuk membuktikan cerita rakyat tersebut, karena berdasarkan hasil pengamatan lapangan tidak ditemukan indikasi penambangan di lokasi Tegalbatu, sisa-sisa pengolahan batu baik berupa serpih maupun batu setengah jadi akibat pengerjaan hingga membentuk balok batu di Kampung Ciukir. Serta kolam yang dijadikan sebagai tempat pencucian batu di Kampung Empang. Beberapa ahli ada yang berkesimpulan sama dengan legenda yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Dalam hal ini mereka berpandangan bahwa balok-balok batu tersebut dibawa dari daerah sekitar, dan kemudian disusun di puncak Gunung Padang. Hasil orientasi dan pengamatan terhadap berbagai bukit yang gundul (pada waktu musim kemarau) menunjukkan jenis batuan konstruksi Gunung Padang tidak ditemukan di bukit-bukit sekitarnya. Begitu juga dengan survei yang dilakukan di dua aliran sungai yang mengalir di lembah sebelah barat dan timur. Di lokasi tersebut juga tidak ditemukan jenis batuan Gunung Padang. Temuan di sekitar Gunung Padang antara lain adalah 3 monolit di Cipanggulaan, Pasir Empet, dan Pasir Salam. Batu tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai batu kereta karena memiliki bentuk yang agak membulat di bagian atas dan agak vertikal di sisi depan dan belakang seperti gerbong kereta. Tinggalan lainnya adalah teras berundak di Desa Ciukir (Tim Peneliti, 2002) Berdasarkan hal tersebut, kuat dugaan batuan penuyusun terasa-teras Gunung Padang tersebut merupakan batu-batu balok hanya dihasilkan di bukit Gunung Pandang itu sendiri. Dugaan ini diperkuat juga diperkuat dengan hasil analisis petrografi yang cukup berbeda dengan contoh batuan yang diambil dari lokasi “Quarry” yang terletak tidak jauh dari situs Gunung Padang. Contoh batuan tersebut memperlihatkan komposisi plagioklas 50 %, piroksin 15%, frgmen batuan 5%, horenblende 5%, kuarsa 5%, klorit 10%, karbonat 2 %, Oksida Fe-Ti 3%, dan bijih 5%. Batuan tersebut termasuk dalam kelompok andesit piroksin (Djubiantono, 1996/1997: 13). Walaupun batu andesit dari lokasi Quarry dan situs Gunung Padang tersebut sama-sama dari kelompok andesit piroksin, akan tetapi dari segi unsur tampak berbeda. Komposisi unsur batu andesit dari lokasi Quarry lebih beragam, serta prosentase yang berbeda dengan komposisi sampel batuan dari situs Gunung Padang. Bila hasil analisis kedua sampel batuan tersebut didiagramkan, akan diperoleh diagram perbandingan sebagai berikut. 60 50 40
Gng. Pdg
30
Quarry
20 10
Fe
-T i
t na
ks d O
bo
rs a K ua
lk nk .V
K ar
G
ls
B iji h
rit K lo
bl d en
tn H or
Fr
g.
B
si n
Pi ro k
Pl ag
ik la s
0
Menurut Djubiantono, perbedaan tersebut mencirikan bahwa sekalipun batuan tersebut mempunyai dapur magma yang sama, namun ketika membeku magma tersebut tidak sama. Contoh dari Gunung Padang terbentuk di permukaan bumi, sedangkan contoh dari Quarry terbentuk dekat permukaan bumi. Sehingga batuan andesit piroksin di Gunung Padang disimpulkan bukan berasal dari lokasi Quarry (Djubiantono, 1996/1997:16). Untuk mencari jawaban tentang sumber bahan batuan untuk pembangunan bangunan punden berudak tersebut ditunjang oleh serangkaian kegiatan ekskavasi yang ditempatkan pada teras I hingga teras V. Hal ini dilakukan dengan dasar asumsi bahwa bahan batuan tersebut berasal dari Gunung Padang sendiri. Penempatan kotak gali di masing-masing teras tersebut juga didasarkan pada asumsi bahwa kemungkinan sumber bahan berada pada lokasi yang cukup padat atau banyak memiliki sebaran balok batu, yaitu teras I dan teras II.
3
Berdasarkan hasil pembukaan kotak ekakavasi di teras II hingga teras V, diperoleh data bahwa setelah susunan batu baik yang berada pada posisi tegak dan yang telah rubuh umumnya keadaan lapisan tanah padat dengan warna coklat kekuningan dengan tekstur yang agak kasar. Hal ini sangat berbeda dengan pembukaan kotak ekskavasi di teras I, II, dan III. Hasil pembukaan kotak eksakavasi di teras tersebut berhasil menampakkan hamparan balok-balok batu di bawah susunan batu teras. Balok-balok batu tersebut merupakan bagian dari columnar joint yang terhampar dengan posisi horizontal, dan orientasi hamparan timur-barat melintang orientasi keletakan punden berundak Gunung Padang. Balok-balok batu tersebut memiliki bentuk yang sama dengan balok-balok batu penyusun teras berundak Gunung Padang yaitu berbentuk prismatik dengan ukuran yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Masing-masing balok batu tersebut di antaranya ada yang dilapisi bagian hasil dari pelapukan balok batu itu sendiri. Balok-balok batu yang dilapisi dengan hasil pelapukan tersebut tidak hanya ditemukan di bawah kotak galian yang dekat dengan permukaan tetapi juga banyak muncul di permukaan terutama di dinding antara teras I dan teras II. Berdasarkan temuan hasil pembukaan kotak ekskavasi di teras I, II, dan III dapat disimpulkan bahwa bahan batuan penyusun punden berundak Gunung Padang tersebut berasal dari lokasi yang sama. Bahan batuan tersebut ditambang dari balok-balok batu yang merupakan bagian dari satu columnar joint yang terdapat di bawah lapisan tanah punden. Balok-balok batu prismatik yang tampak berwarna keabu-abu penyusun teras tersebut merupakan hasil akhir dari pengolahan bahan setelah ditambang dengan cara melepaskan lapiran kerak lempung yang menyelimuti balok-balok batu saat terpendam di dalam tanah. Balok-balok batu dari hasil olahan yang demikianlah yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan untuk penyusunan masing-masing bagian kontruksi punden berundak Gunung Padang mulai dari tangga naik hingga teras tertinggi (teras V). Kapan Budaya Gunung Padang? Sebelumnya pandangan pertanggalan tentang berbgai media yang digunkan untuk pengagungan arwah leluhur yang kemudian disebut sebagai budaya megaliti tersebut masih menganut pada paham yang dikembangakan oleh von Heine Geldern yang menyatakan bahwa budaya megalitik masuk dan berkembang di Indonesia melalui dua gelombang besar. Pertama dikelompokkan sebagai megalitik tua yang dicirikan oleh tinggalan yang bersifat monumental yang diperkirakan masuk dan berkembang di Indonesia antara 2500-1500 SM. Dan kedua disebut sebagai megalitik muda yang dicirikan oleh tinggalan yang bersifat ornamental, diperkirakan berkembang di Indonesia antara 1500 SM sampai awal masehi. Dalam lingkup penelitian arkeologi, pandangan dan pertanggalan yang disampaikan oleh Geldern tersebut merupakan satu permasalahan yang harus dicarikan buktinya. Ada juga ahli prasejarah Indonesia yang meragukan pandangan tersebut, di antaranya dikemukakan oleh I Made Sutaba (1991) yang menyatakan bahwa budaya megalitik berkembang di Indonesia di akhir masa prasejarah, sekitar era paleometalik. Hanya saja pandangan yang demikian baru terbatas pada pendapat, tidak disertai dengan bukti pertanggalan karbonnya. Peneliti lain yang mencoba terus melacak tentang pertangaalan dari objek-objek pemujaan arawah leluhur tersebut banyak dilakukan oleh Bagyo Prasetyo. Hal ini dibuktikan dengan serangkaian situs-situs yang berhasil dilakukan pertanggalan karbonnya, seperti: Hasil sejumlah pertanggalan megalitik melalui radiocarbon C14 membuktikan bahwa perkembangan megalitik sampai saat ini baru diketahui dengan kurun waktu menjelang masehi sampai abad-abad kemudian. Peta dibawah ini menunjukkan lokasi-lokasi megalitik yang telah dipertanggalkan, sebagai berikut : 1. Hiligeo (Nias): cal. Abad 15-10 Masehi 2. Tundrumbaho (Nias): cal. Abad 15-17 Masehi 3. Guguk Nuang (Sumatra Barat): cal. Abad 10-13 Masehi 4. Bukit Batu Larung (Jambi): cal. Abad 10-13 Masehi 5. Bukit Arat (Jambi): cal. Abad 7-11 Masehi 6. Dusun Tinggi (Jambi) cal. Abad 4-7 Masehi 7. Renah Kemumu (Jambi): cal. Abad 11-13 Masehi 8. Banua Keling 1, 2, 3, 4 (Sumatra Selatan): cal. Abad 13-17; 11-13; 7-10; 3-6 Masehi 9. Tebat Gunung (Sumatra Selatan): cal. Abad 11-14 Masehi 10. Pajar Bulan 1 dan 2 (Sumatra Selatan): cal. Abad 10-13 dan 7-12 Masehi
4
11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Pasir Angin 1 dan 2 (Jawa Barat): cal. Abad 9-10 dan 10-11 Masehi Kidangan (Jawa Timur): cal. Abad 15-17 Masehi Krajan Bayeman (Jawa Timur): cal. Abad 6-11 Masehi Pedaringan (Jawa Timur): cal. Abad 10-14 Masehi Dawuhan (Jawa Timur): cal. Abad 7-9 Masehi Doplang (Jawa Timur): cal. Abad 13-15 Masehi Woloan 1, 2 dan 3 (Sulawesi Utara): cal. Abad 4-7; 8-10; 7-9 Masehi Tatelu 1 dan 2 (Sulawesi Utara): cal. Abad 4 SM – awal M dan 11-14 Masehi Dari paparan ini dapat dikatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Heine Geldern tentang adanya dua gelombang megalitik yang datang ke Indonesia, yaitu gelombang pertama bersama dengan periode Neolitik sekitar 2500 SM-1500 SM yang disebut dengan megalitik tua, dan gelombang kedua yang disebut dengan megalitik muda (Heine Geldern 1945:151) tidak dapat ditemukan tinggalan budaya pendukungnya. Lalu bagaimana dengan pertanggalan situs megalitik Gunung Padang. Dari hasil ekskavasi di teras IV yang dilakukan pada tahun 2014, di bawah struktur teras IV, pada matriks tempat di susunnya dinding teras ditemukan beberapa bongkahan arang. Setelah dilakukan analisis pertanggalan karbon (C14) di laboratotium petanggalan Karbon BATAN, Jakarta, diperoleh angka pertanggalan cal. 16 + 32 SM. Angka pertanggalan tersebut lebih muda dari pertanggalan karbon situs Tatelu 1 dan 2 Sulawesi Utara dengan pertanggalan cal 4 SM. Sekalian temuan arang, dari hasil ekskavasi baik yang dilakukanuntuk mengetahui bentuk dan batas konstruksi dinding teras I sisi utara, dan sisi barat, bentuk dan batas konstruksi dinding teras II, III, IV, dan V, juga ditemukan beberapa fragmen gerabah, batu pipisan, dan keramik asing, dapat diperkirakan bahwa situs Gunung Padang tersebut difungsikan dalam lintasan masa. Fragmen gerabah yang ditemukan di antaranya ada yang berselip merah yang mirip dengan gerabah yang berkembang di sepanjang pantai utara Jawa sekitar abad ke 2 – 5 Masehi. Sementara itu fragmen keramiknya berasal dari abad-abad yang kemudian. Dari data pertanggalan karbon, paling tidak dapat dipergunakan sementara untuk mendukung interpretasi bahwa budaya tersebut berkembang dari Asia Daratan masuk ke Indonesia melalui kawasan utara dan akemudian berkembang di Nusantara. Sementara itu dari data temuan artefaktual dapat diperkirakan panjangnya lintas waktu pemanfaatan situs Gunung Padang pada masa lalu. Apakah ada budaya yang lebih tua di dalam Gunung Padang? Ada yang meragukan punden berundak Gunung Padang itu sebagai tinggalan budaya dari masa lalu, ada yang menyebutnya sebagai satu tinggalan yang “seksi” karena mampu menyedot perhatian orang. Sementara itu juga ada kalangan yang kemudian seolah agak mengabaikan akan keberadan punden berundak tersebut karena dianggap sebagai susunan batu yang sengaja dibuat untuk menutupi satu tinggalan budaya yang jauh lebih tinggi nilainya yang berada di bawahnya. Tidak tanggung-tanggung berbagai dugaan dikemukakan akan “sesuatu” yang diperkirakan tertimbun di dalam Gunung Padang atau di bawah struktur punden berundak Gunung Padang itu. Ada isu yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa di bawah punden berundak Gunung Padang itu terdapat logam mulia “emas” dengan jumlah yang sangat luar biasa besarnya. Begitu juga kalau kita simak berita yang cukup gencar diekspos di media online, di antaranya dapat dibaca tentang isu piramid, satu bangunan yang dibangun menggunakan semen purba dengan pertanggalan 13.000 tahun sebelum masehi. Koin kuno Gunung Padang dengan umur 5200 SM, bangunan berbentuk kujang, lapisan pasir peredam gempa, dan terakhir adalah isu tentang satu bangunan yang sangat luar biasa fantastisnya yaitu satu reaktor hydroelectric dengan masa yang sangat fantastis tuanya yaitu 23.000 tahun Sebelum Masehi. Semua isu yang disampaikan terhadap “sesuatu” yang ada di bawah Punden berundak Gunung Padang itu cukup lama menarik perhatian penulis, dan kemudian penulis mencoba menempatkan isu-isu tersebut ke dalam lintasan perkembangan kebudayaan yang pernah ada di Nusantara, atau khususnya Tatar Sunda. Muncul berbagai pertanyaan tentang berita yang terkait dengan situs Gunung Padang akhirakhir ini. Apakah betul Gunung Padang memiliki pertanggalan budaya 23.000 SM ?, apakah betul untuk pembangunan situs tersebut telah menggunakan semen purba?. Untuk menjawab pertanyan ini, secara arkeologis hal terpenting untuk dilakukan adalah dengan mempertanyakan kembali tentang tinggalan yang sebanding dengan umur yang disampaikan tersebut. Pada dasarnya kebudayaan memiliki pola (culture is patterns), pola-pola tersebut tidak hanya besifat lokal tetapi universal, dan
5
kebudayaan itu berubah (culture is change), dan perubahan itu dapat diamati baik secara sinkronis maupun diakronis. Diskusi tentang produk budaya berupa ruangan yang disebutkan ada di dalam Gunung Padang dan disbutkan telah menggunakan semen purba yang kemudian didukung dengan pertanggalan yang sangat tua tersebut memang sangat menarik untuk diperbincangkan, akan tatapi dari sisi arkeologi memunculkan satu pertanyaan besar, Apakah semua itu dalam lintasan budaya masa lalu?. Dalam ranah arkeologi, hal itu sebenarnya dengan singkat dapat diverifikasikan baik dalam skala ruang maupun skala budaya. Sebagai contoh dalam skala ruang, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian arkeologi yang telah dilakukan oleh para ahli selama ini tidak pernah ditemukan satupun ruangan yang dibangun dengan umur 23.000 SM, apalagi bila disebutkan pembangunannya disebutkan menggunakan semen purba. Dalam skala ruang, kalau diukur jarak dalam garis lurus terletak tidak begitu jauh dari punden berundak Gunung Padang yaitu tinggalan gua yang terdapat di kawasan karst Rajamandala. Dari hasil pertanggalan karbon (carbon dating) terhadap kehidupan manusia dan budaya yang pernah berlangsung pada masa lalu di gua tersebut, umur yang paling tua adalah sekitar 9500 BP dengan produk budaya berupa alat tulang, alat serpih, sisa perhiasan dari kerang dan taring binatang, batu pukul (perkutor) dari bahan andesit, dan manusia masih hidup dengan pola hidup berburu dan mengumpulkan makanan. Dari sisa-sisa makanan yang ditemukan berupa fragmen tulang binatang, pengenalan api pada saat itu dapat disimpulkan belum menjadi bagian dari pengolahan makanan. Dalam hal ini tidak mungkin 13-500 atau 14.000 tahun sebelumnya masyarakat sudah mengenal semen purba atau kalau memakai berita media massa disebutkan sudah membangun reaktor untuk pembangkit tenaga listrik. Sementara itu banyak kalangan ahli geologi, yang menyimpulkan bahwa “sesuatu” yang terdapat di dalam Gunung Padang itu merupakan sisa dari kegiatan gunung api purba yang pernah ada di kawasan Gunung Padang itu jutaan tahun yang lalu. Harta Karun dari Gunung Padang Kalau kita kembali pada kalimat yang disampaikan oleh Sir Mortimer Whiller tadi, muncul pertanyaan nilai seperti apa yang dapat digali dari punden berundak Gunung Padang. Dalam hal ini, dari sudut pandang kajian budaya ada tiga nilai luhur tentang masyarakat masa lalu yang dapat kita gali, yaitu yang menyangkut tentang nilai kepemimpinan di tengah masyarakat, nilai tentang hubungan pemimpin dengan masyarakat, serta nilai tentang hubungan antar anggota masyarakat. Menurut Koentjaraningrat, ada beberapa alasan untuk menentukan atau memilih seorang anggota masyarakat untuk diangkat menjadi seorang pemimpin. Alasan-alasan tersebut dapat ditimbulkan oleh : a). kwalitet dan kepandaian, b). tingkat umur yang senior, c). sifat keaslian, d). keanggotaan kaum kerabat kepala masyarakat, e). pengaruh dan kekuasaan, f). pangkat, dan g). kekayaan dan harta benda (Koentjaraningrat 1981: 178). Menilik bentuk perkampungan masyarakat megalitik yang telah dilansir sebelumnya oleh E.M. Loeb, seperti yang dikutip oleh Soejono (1984) bahwa pola perkampungan pada waktu itu diperkirakan berbentuk desa-desa kecil semacam perdukuhan (Soejono 1984: 196 - 201). Kemudian membandingkan dengan perkampungan-perkampungan kecil tradisonal yang masih ada di beberapa tempat, besar kemungkinan seseorang yang diangkat sebagai pemimpin adalah seseorang yang memiliki kwalitet, kepandaian, tingkat umur yang senior, pengaruh dan kekuasaan, yang muncul sebagai seorang pemimpin. Berkaitan dengan poin-poin yang disampaikan oleh Koentjaraningrat tersebut, biasanya akan tampil seorang pemimpin yang kharismatik yang dihormati dan disegani oleh segenap anggota masyarakatnya. Faktor pemimpin yang seperti inilah yang sangat memungkinkan memberikan kontribusinya baik dalam proses transportasi maupun dalam kegiatan pendirian bangunan megalitik. Rasa hormat dan nilai kharisma yang dimiliki oleh seorang tokoh masyarakat akan mampu menghimpun emosi masyarakat untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan si tokoh, bahkan keterlibatan individu atau seorang anggota masyarakat dalam kegiatan tersebut mereka anggap sebagai satu pengabdian dan rasa kedekatannya dengan si tokoh. Rasa hormat dan wujud pengabdian terhadap tokoh tersebut sampai sekarang masih terus diwarisi oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada upacara kematian baik yang berlangsung di Tana Toraja atau di Sumba. Nilai kharismatik dari si tokoh yang meninggal tersebut tercermin pada saat upacara menarik batu (mangriu batu, weluwatu) dan pengusungan jenazah menuju tempat pemakaman terakhirnya.
6
Pada prosesi kematian yang berlangsung di Tana Toraja, terlihat seluruh kerabat si tokoh dan masyarakatnya menjadi satu dalam kegembiraan dan kepiluan melepas kepergian si tokoh. Mereka saling berebut untuk menggotong erong (peti jenazah) dari rumah duka menuju lokasi pemakaman yang berjarak cukup jauh. Erong digotong di atas sebuah tandu besar secara beramai-ramai dan saling berebut untuk bergantian menggotongnya. Karena menggotong erong merupakan wujud rasa hormat terhadap si tokoh (Republika, 27 Juli 1997). Begitu juga dengan upacara tarik batu (menhir) yang nantinya untuk didirikan sebagai lambang dari si tokoh yang meninggal. Secara beramai-ramai batu tersebut digotong menempuh jarak berkilo-kilo meter. Dalam studi etnoarkeologi di Sumba, Nias, Timor Barat, dan Flores dapat disaksikan faktor kharismatik yang melandasi terbentuknya bangunan-bangunan megalitik. Hal tersebut diperlihatkan oleh keikutsertaan anggota masyarakat secara menyeluruh tanpa melalui perintah, tetapi secara sadar membantu meringankan beban dalam pembangunan megalit atau rumahrumah adat yang berperan untuk upacara-upacara (peribadatan). Keikutsertaan itu terjadi secara spontan (Sukendar 1996: 117). Dari prosesi kematian dan upacara menarik batu, maupun dalam upacara mendirikan bangunan megalitik yang diamati oleh Haris Sukendar melalui studi etnoarkeologi tersebut, dapat dipahami tentang bagaimana keberadaan nilai kharismatik yang dimiliki oleh seorang pimpinan dalam satu masyarakat. Dapat diambil satu simpulan bahwa dalam satu masyarakat nilai kharismatik dari seorang pemimpin merupakan unsur penentu yang pada akhirnya bisa digunakan untuk menarik dan menyatukan spirit masyarakat. Membandingkan dengan hal yang sudah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pembangunan punden berundak Gunung Bandang yang dibangun menggunakan ribuan balok andesit yang memiliki bobot yang tidak mampu untuk diangkat dan dipindahkan oleh satu atau dua orang saja, tentunya kegiatan pembangunannya membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengorganisir masyarakatnya. Tentunya dalam kegiatan yang demikian pemimpin yang kahrismatiklah yang dapat disimpulkan dapat menggerakkan seluruh anggota masyarakatnya dalam satu kegiatan. Hal ini tentunya terkait erat dengan dua sikap yang pernah berkembang di masyarakat yaitu sikap gotong royong dan musyawarah. Kembali pada permasalahan pendirian bangunan/monumen megalitik di tengah satu perkampungan yang memiliki jumlah penduduk yang relatif kecil, tentunya dalam kegiatan tersebut rasa kerjasama (gotong royong) sangat dibutuhkan, sehingga seluruh masyarakat dapat saling bekerjasama dalam memindahkan dan mendirikan monumen megalitik itu. Cara pemindahan batu dengan tonase besar pernah diungkapkan oleh Rumbi Mulia (1980) dalam tulisannya Nias: The Only Older Megalithic Tradition In Indonesia. Dalam tulisan tersebut diperlihatkan cara membawa batu (menhir) secara bekerjasama seluruh rakyat yang dipimpin oleh seseorang yang berdiri di atas batu dan untuk memberikan semangat pada masyarakatnya dia sambil mengayun-ayunkan pedangnya ke udara (Mulia 1980: 22). Percobaan pemindahan batu dengan teknologi sederhana dengan jumlah manusia yang terbatas juga pernah dilakukan di Bougon, Perancis Barat pada tahun 1979, dengan menggunakan tiga buah potongan kayu besar yang masing-masingnya digerakkan oleh tenaga sebanyak 20 orang, mampu memindahkan batu seberat 32 ton (Renfrew, 1996: 301). Demikian pula dengan sikap musyawarah dalam mengambil keputusan. Sikap ini dalam masyarakat megalitik di antaranya dapat ditunjukkan oleh tinggalan arkeologis berupa tinggalan tahta batu (stone seat) dan batu melingkar (stone enclosure) yang merupakan batu-batu monolit yang disusun dengan pola tertentu. Banyak nama yang diberikan kepada tinggalan yang demikian, tampaknya nama-nama tersebut sangat berkaitan dengan istilah yang diberikan oleh masyarakat di mana lokasi tersebut berada, dan ada juga yang diberikan berkaitan dengan keletakan lokasi tersebut di alam. Seperti di Jawa, tinggalan itu disebut dengan istilah watu kandang. Beberapa bentuk susunan batu melingar dengan denah persegi, bujur sangkar tersebut masih dapat kita amati di punden berundak Gunung Padang. Berdasarkan data yang demikian tentunya dapat kita ditafsirkan bahwa masyarakat megalitik Gunung Padang di masa lalu telah mempraktekkan tata cara bermusyawarah pada saat pengambilan keputusan. Oleh karena kursi-kursi batu dalam satu kelompok tinggalan tidak dalam jumlah banyak, tentunya itu mengindikasikan bahwa tidak semua anggota masyarakat ikut serta dalam musyawarah tersebut, melainkan hanya diwakili oleh beberapa orang yang dianggap sebagai wakil dari anggota masyarakat di masa lalu.
7
Penutup Bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekarang, sebenarnya di masa lalu kompleksitas kehidupan masyarakat megalitik saat itu mungkin jauh lebih sederhana. Kesederhaan itu terjadi karena tingkat keberagaman masyarakat saat itu tidak sekompleks masyarakat sekarang. Akan tetapi bagaimana nilai kepemimpinan, memilih pemimpin atau pemimpin yang muncul di tengah masyarakat, nilai kebersamaan yang berkembang saat itu tentunya dapat dijadikan sebagai cermin dalam bermasyarakat dewasa ini. Punden berundak Gunung Padang yang begitu besarnya yang terdiri dari ribuan balok batu andesit di masa lalu dapat disimpulkan tidak mungkin akan terwujud tanpa adanya seorang pemimpin yang kharismatik yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan masyarakat, disamping itu tentunya hal ini sangat didukung oleh adanya sikap musyawarah dan sikap gotong royong yang mampu menghimpun segenap kekuatan masyarakat untuk mewujudkan punden berundak Gunung Padang itu di masa lalu. Dari ribuan balok batu andesit yang disediakan oleh alam di Gunung Padang itu, masyarakat Gunung Padang di masa lalu telah mahir memanfaatkan sumber daya batuan yang ada, kemudian mereka pilih, mereka pilah, mereka susun sedemikian rupa dengan teknik susun yang sangat arif akan keletakan tempat upacaranya yang berada di puncak bukit yang rawan akan bahaya longsor, gelinciran, dan runtuhan. Inilah harta karun tentang nilai kepemimpinan, hubungan antara pemimpin dengan masyarakat, antar masyarakat, dan nilai pengetahuan yang sangat berharga yang tersimpan di balik punden berundak Gunung Padang. Mungkin ini salah satu jati diri bangsa kita yang semakin hilang di tengah kehidupan kita dewasa ini. Semoga hal ini dapat menjadi bahan cerita kita kepada generasi bangsa yang berkunjung ke punden berundak Gunung Padang, Daftar Pustaka Asmar, teguh 1975 Megalitik di Indonesia: Ciri dan problemanya. Bulletin Yaperna, II (7), Jakarta, hal 19-28 Criado, Felipe 1991 We, The Post-Megalithic People…’, I. Hodder (edt.) The Meanings of Things, Material Culture and Symbolic Expression. One World Archeology. Koentjaraningrat 1972. Beberapa Pokok-Pokok Antropologi Sosial. Jakarta. Penerbit : Dian Rakyat. 1983 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakrta. Penerbit: Aksara Baru Mulia, Rumbi 1980 Nias: The Only Older Megalithic Tradition In Indonesia. Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Renfrew, Colin and Paul Band 1996 Archaeology, Theories, Methods and Practice. Thames and Hudson Ltd, London Roberts, Keith A. 1990 Religion in Sociological Perspective. Wadsworth Publishin Company, Belmont, California. A Division of Wadsworth, Inc Republika 1997 Eksotisme Pesta Kematian Di Tana Toraja, Minggu, 27 Juli 1997 Soejono, R.P 1984 Jaman Prasejarah di Indonesia, dalam Sejarah Nasional Indonesia, jilid I. Jakarta. PN. Balai Pustaka. Smart, Ninian 1995 The World’s Religion : Old Traditions and Modern Transformation. Cambridge University Press Sutaba, I Made 1996 Masyarakat Megalitik Di Indonesia. Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujungpandang, 20-26 September 1996. Sukendar, Haris 1985 Peninggalan Tradisi Megalitik Di Daerah Cianjur, Jawa Barat. Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1996 Dinamika Dan Kepribadian Bangsa Yang Tercermin Dari Tradisi Megalitik Di Indonesia, dalam Jurnal Arkeologi Indonesia No.2. Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Thomas, Julian 1996 Time, Culture, and Identity an Interpretive Archaeology. Routledge. London and New York. Yondri, Luti 2006 A Short Review on Megalithic Functions In Indonesia. Dalam Buku Archaeology: Indonesian Perspective. Jakarta: LIPI Press.
8
Biodata Singkat Nama Tempat/Tgl lahir Jabatan Instansi Alamat Telp/HP E-mail
: Lutfi Yondri, Drs, M.Hum : Bukittinggi, 21 Mei 1965 : Peneliti Utama IV/e : Balai Arkeologi Bandung : Jl. Istiqomah IV. No. 63A RT.02/14 Pandanwangi. Cinunuk- Bandung 40624 : 08122044171/085861494858 :
[email protected] –
[email protected]
Saat sekarang aktif sebagai arkeolog peneliti di Balai Arkeologi Bandung, sebagai Tenaga Ahli Cagar Budaya Propinsi Jawa Barat, disamping aktif sebagai anggota dan pengurus Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jabar-Banten. Asosiasi Prehistorisi Indonesia, Asosiasi Museum Daerah Jawa Barat, dan Masyarakat Cagar Budaya Indonesia.
9