Situs Megalitikum Gunung Padang:
Perspektif untuk Studi Arkeo-musikologi, Arkeo-Geografi, & Arkeo-Astronomi
Hokky Situngkir [
[email protected]] Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute
Abstract Some parts of the largest megalithic site in Southeast Asia at Gunung Padang, Cianjur, West Java, Indonesia are observed. We report some conjectures on the elements of archaeo-astronomy, archaeo-geography, and archaeo-musicology for further studies on the ancient settlement of West Java responsible for the megalithic architectural structure. The presentation is on the possibility of geographical map, sundial calendar/clock, and stones that are used as source of sounds within parts of the site. Apparently, archaeology is necessarily inter-disciplinary when it comes to the complexity behind any archaeological structures. Keywords: megalithic site, archaeoastronomy, ancient geography, ancient musical instrument, indonesia.
1
Myths can't be translated as they did in their ancient soil. We can only find our own meaning in our own time. Margaret Atwood
1. Pendahuluan Kepulauan Indonesia merupakan sebuah kawasan yang sangat kompleks. Wilayah ini dapat dilihat sebagai sebuah titik persilangan migrasi manusia sejak zaman prasejarah. Namun sayangnya, sejauh ini, Indonesia belum memiliki patokan kronologi yang diakui dalam konteks prasejarah Asia Tenggara secara menyeluruh. Indonesia tergolong wilayah yang masih baru dalam dunia Arkeologi. Selain itu, periode prasejarah ini kurang begitu menarik perhatian para arkeolog dibanding situs-situs fosil manusia purba di Jawa Timur, misalnya [4]. Akibatnya, ada banyak peninggalan purba yang kurang mendapat perhatian, termasuk Situs Gunung Padang.
Gambar 1. Situs Gunung Padang
Lokasi Situs Gunung Padang berada sekitar 45 Km ke arah barat daya Kota Cianjur. Lebih jauh dapat dilihat pada gambar 1. Peninggalan prasejarah ini berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Peninggalan prasejarah yang berbentuk bangunan berundak ini dikenal dalam dunia arkeologi Indonesia semenjak tahun 1979. Namun amat disayangkan sejauh ini, pustaka rujukan yang terkait dengan situs tersebut sangat sulit untuk didapatkan. Bangunan ini berada pada ketinggian 885 m di atas permukaan laut [10]. Situs ini diperkirakan telah ada sekitar 2500-1500 SM [8]. Bangunan peninggalan tradisi megalitik tersebut memiliki kontur yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah disekitarnya. Untuk naik ke situs ini, kita harus menaiki ratusan anak tangga yang sangat curam (tingginya sekitar 75 m). Situs ini terdiri atas lima teras (tingkatan) dan memiliki luas yang berukuran raksasa, jika dibandingkan dengan situs-situs lain di dunia, yaitu sekitar 3132.15 m2 [8]. Berbeda dengan beberapa situs lain, bangunan ini memiliki orientasi yang unik pada tiap tingkatnya, sebagaimana digambarkan pada gambar 2, mulai dari teras pertama hingga teras kelima. Namun secara umum, ia dapat dikatakan menghadap ke Gunung Gede, sebuah kenyataan yang terkonfirmasi akan pentingnya aspek gunung (dan juga laut) dalam pemukiman peradaban purba di banyak tempat di nusantara dan bahkan dunia. Secara arsitektural ketinggian bangunan meningkat berundak-undak, mulai dari teras satu ke teras lima. Ia dibangun dari batuan beku andesit.
2
Gambar 2. Sketsa Situs Gunung Padang.
Gambar 3. Beberapa struktur penunjang Situs Gunung Padang. Gambar di sebelah kiri adalah tangga naik di sisi utara bangunan. Gambar di sisi yang berbeda menunjukkan serat-serat batu di sisi barat (kanan atas) dan timur (kiri atas) bangunan Situs Gunung Padang.
Secara umum, fungsi bangunan ini sendiri masih menyimpan misteri. Namun dibalik misteri akan fungsi bangunan yang kompleks ini, mega-struktur ini menyimpan sejumlah kekayaan arsitektur yang sangat mengagumkan. Lebih jauh dapat dilihat pada gambar 3. Pada gambar 3-1, kita dapat melihat susunan ratusan batuan andesit yang berfungsi sebagai tangga menuju pintu masuk utara lokasi situs pada teras pertama. Ia memiliki ketinggian sekitar 75 meter [10]. Di bagian bawah anak tangga tersebut terdapat sebuah mata air yang mengalir sepanjang tahun. Dari sini setidaknya kita mengetahui bahwa tradisi megalitik di Gunung Padang telah mengenal penggunaan batu untuk menyusun tangga. Pada gambar 3-2 dan 3-3 terlihat konfigurasi batu yang berada di sekeliling bangunan tersebut, sehingga nyaris mustahil jika ia dibentuk oleh nonhuman agents. Susunan batu yang tertata begitu rapi tersebut diduga sebagai pelindung bangunan tersebut dari longsor, karena ia berada lebih tinggi dari wilayah di sekitarnya. Artinya, ada sebuah kemungkinan bahwa tradisi megalitik di masa itu telah menggenal penggunaan teknologi susunan batu untuk mencegah terjadinya longsor. Secara umum, dari dua fakta tersebut dapat kita duga bahwa tradisi megalitik di Gunung Padang telah mengenal konsep struktur penunjang di luar bangunan utama.
3
Sejumlah kekayaan arsitektur yang sangat mengagumkan di situs tersebut perlu dikaji lebih jauh lagi. Ada banyak misteri yang harus kita pecahkan. Selain kekayaan arsitektural, bangunan ini juga memberikan kita sejumlah tugas tambahan. Siapakah mereka yang membuatnya? Kapan secara pasti bangunan itu dibuat? Apakah mereka leluhur manusia Sunda/Jawa modern? Jika tidak, mengapa mereka punah? Hingga pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik. Situs ini tidak selakyaknya diabaikan dan dibiarkan tidak terawat. Ia mungkin memiliki kekayaan yang sangat besar, lebih dari apa yang kita bayangkan selama ini. Mereka mungkin lebih cerdas dari apa yang kita pikirkan. Eksploitasi situs ini sangat penting dan mendesak untuk dikerjakan. Ia mungkin menyimpan sebuah jawaban kecil dari pertanyaan terbesar umat manusia tentang “darimanakah kita berasal”. Makalah kecil ini mencoba memberikan beberapa perspektif alternatif untuk memandang situs Gunung Padang ini, mulai dari sudut pandang arkeo-geografis, arkeo-astronomis, dan tinjauan hipotetika arkeo-musikologis. Ini merupakan sebuah langkah kecil menyusul penyelidikan dan penggalian lebih lanjut dan komprehensif atas situs megalitikum ini. \ 2. Perspektif Arkeo-Geografis Begitu memasuki kompleks Situs Padang, kita disuguhi pemandangan kawasan berbagai ornamenornamen bebatuan dengan berbagai bentuk geometris seperti bentuk piramida dan rangkaian batu yang membentuk persegi panjang di sisi kiri dan kanan undak pertama. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, teras pertama memiliki orientasi menghadap ke gunung Gede (azimuth 335⁰ Utara) sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4. Memperhatikan orientasi dari situs Gunung Padang yang merujuk pada Gunung Gede, maka struktur piramid kecil (kotak berwarna merah pada gambar) dapat dipercocokkan dengan suatu lanskap geografis dari Gunung Gede, terkait dengan ditemukannya banyak situs megalitikum di kawasan belahan utara dari Gunung Gede (yang saat ini juga menjadi lanskap pemukiman modern).
Gambar 4. Sktesa kasar undak pertama Situs Gunung Padang
Hal ini, secara tak langsung dapat dikaitkan dengan berbagai penemuan terkait aspek arkeogeografis dan astronomi kuna yang ditemukan di mega-struktur Piramida Mesir [9]. Terdapat dugaan kuat adanya kaitan antara arkeo-geografi dan arkeo-astronomi Mesir kuna dengan penempatan berbagai piramida di sana. Dengan memperhatikan elemen struktur yang ada di Situs Gunung Padang, kita dapat memandang bahwa struktur piramida yang terbentuk terkait dengan Gunung Gede dan bebatuan yang ada di bagian utara dari piramida tersebut mungkin terkait dengan berbagai temuan megalitik yang ada di utara Gunung Gede. Hal ini digambarkan pada gambar 5. 4
N
Gambar 5. Sketsa berskala rasio 1 : 5087 struktur piramida di Situs Gunung Padang (bagun geometris bergaris hitam) dengan peta satelit Gn. Gede dan lanskap situs-situs megalitikum di Jawa Barat.
Hal ini memberikan kita pada sebuah peluang perspektif hipotetikal bahwa beberapa aspek di undak pertama dari situs Gunung Padang barangkali terkait dengan aspek arkeo-geografi dari masyararakat purba yang membangun dan menggunakan situs tersebut untuk berbagai keperluan sosial mereka. Beberapa bagian di undak pertama, dapat dikatakan merupakan bentuk pemetaan purba di era megalitik akan aspek-aspek geografis berbagai situs megalitikum yang ditemukan di sekitar gunung Gede, misalnya Situs Benteng Tanah, Situs Cibalai, dan sebagainya termasuk berbagai kediaman kuno yang ditandai berbagai temuan arkeologis yang lebih muda dari situs Gunung Padang, seperti Situs Purwakalih, Situs Sindang Barang, Situs Pasir Angin, dan beberapa prasasti seperti Prasasti Pasir Muara, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Tapak Gajah, Prasasti Pasir Muara, dan Prasasti Pasir Gintung. Sebagaimana digambarkan pada gambar 6, peluang hipotetikal untuk melihat berbagai temuan megalitikum di kawasan utara Gunung Gede mungkin terkait dengan “pemetaan” atas susunan batu-batuan yang ada di bagian depan (utara) dari piramida yang kita hipotesiskan memberikan simbolisasi Gunung Gede tersebut. Megastruktur Gunung Padang sebagai situs yang paling besar di kawasan Jawa Barat bisa jadi merupakan suatu “pusat kendali” kediaman purba di Jawa Barat pada kisaran ribuan tahun sebelum masehi di belahan Barat pulau Jawa. Hal ini menjadi satu tugas penting dalam rangka rekonstruksi dan penelitian lanjut dari undakan pertama di situs Gunung Padang. Bukan tidak mungkin elemen dengan beberapa konstruksi piramida dari situs Gunung Padang ini adalah sebuah “peta purba” sebagai penggambaran hamparan arkeologis megalitikum yang ada di kawasan sekitar Gunung Gede, mengingat gunung besar memberikan arti yang khusus bagi masyarakat di kediaman kuno Indonesia [7].
Gambar 6. Hipotesis aspek arkeo-geografi dari struktur piramida dan batuan di undak pertama Situs Gunung Padang. Panah biru menunjukkan lanskap dataran yang menggambarkan lanskap pemukiman di sisi utara Gunung Gede (?). 5
3. Aspek Arkeo-astronomis Pemetaan geografis atas sebuah lanskap muka bumi tentu memerlukan pemahaman yang baik akan berbagai acuan aspek kebumian, di antaranya arah mata angin dan kutub bumi. Peradaban masa megalitikum hampir dipastikan belum mengakuisisi aspek-aspek fisis dari jenis-jenis logam yang dapat mereka pergunakan sebagai kompas untuk menunjukkan arah polar bumi. Hal paling akurat yang dapat mereka akuisisi untuk keperluan geografi dan geometri dapat mereka peroleh melalui pengamatan yang detail atas pergerakan benda-benda langit yakni rasi bintang [6]. Hal ini didukung berbagai catatan penggunaan bintang Utara (Polaris) di berbagai belahan dunia untuk menentukan arah utara sejak usia peradaban manusia di planet bumi masih sangat muda [1]. Di sisi barat undak kedua yang berorientasi (15⁰ UT) agak berbeda dengan undakan pertama (335⁰ UT), terdapat sekelompok batu tegak yang disusun berjajar satu sama lain sebagaimana ditunjukkan pada gambar 7 (bawah). Posisi bebatuan ini agak unik dan dengan memperhatikan orientasi posisinya, menghadap pada terbitnya banyak gugus bintang yang biasanya digunakan sebagai penunjuk arah Utara. Hal ini disimulasikan pada gambar (atas) yang menunjukkan lintasan bintang terang di daerah kutub, Polaris (rasi Ursa Minor), Dubhe dan Merak (rasi Ursa Mayor) pada masa sekitar 3000 SM. Polaris berposisi dekat sekali dengan kutub utara (berjarak 1⁰ Kutub Utara Selestial), namun pada simulasi kita dengan mensimulasikan gerak benda langit pada tahun 3000 SM, Polaris sepertinya agak jauh dari kutub utara (terpaut sekitar 26⁰ dari Kutub Utara Selestial). Dari situs Gunung Padang saat ini, Polaris sudah tak lagi berada di atas horizon oleh perpleksi dan dinamika gerakan putar bumi. Bangsa-bangsa di kepulauan Indonesia di masa silam merupakan bangsa yang memperhatikan gerakan bintang dan benda-benda langit dan seringkali mengaitkannya dengan berbagai mitologi (cerita rakyat), berbagai kesenian (tari-tarian dan senandung), hingga peramalan (astrologi). Namun tak banyak catatan tentang hal-hal tersebut dalam kajian sejarah (dan prasejarah) tanah air dan perlu digali untuk diteliti lebih jauh untuk mengaitkannya dengan berbagai situs purbakala, seperti halnya Situs Gunung Padang ini.
Gambar 7. Simulasi yang menunjukkan Polaris, Dubhe, dan Merak sebagai penunjuk arah utara terlihat dari rangkaian batuan tegak di undak kedua yang berorientasi azimuth 15⁰ UT Situs Gunung Padang 3000 SM (bawah).
Dugaan aspek astronomis lain yang menarik untuk diperhatikan dari Situs Gunung Padang terdapat pada undakan keempat. Pada undakan keempat, tidak banyak terdapat tumpukan bebatuan seperti halnya di undakan lainnya pada situs. Di sisi timur teras keempat situs kita dapat menemui susunan bebatuan yang disusun tegak yang membentuk hampir menyerupai persegi panjang. Disebut “hampir” karena dalam bentuk geometris persegi panjang tersebut, ada beberapa sisi yang tak diisi oleh batu tegak. 6
Gambar 8. Konstruksi bagian situs Gunung Padang yang terkait dengan jam sundial (atas) dan skema rancangannya berdasarkan pengukuran (bawah). Bagian yang dilingkari merah diduga sebagai patahan batu tegak yang digunakan sebagai gnomon.
Berdasarkan pengukuran sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 8, kita membangun sebuah hipotesis bahwa elemen situs pada punden keempat tersebut dapat digunakan sebagai elemen kalender dan jam matahari (sundial), terkait dengan gerakan matahari yang memberi bayangan dari batu tegak yang ditaruh di tengahnya, berperilaku sebagai gnomon. Bayangan yang dibentuk oleh batu tegak di tengah “ruang” persegi tersebut akan menghasilkan bayangan matahari yang mengarah pada batuan tegak di sekelilingnya. Bagian yang tak dikenai bayangan merupakan bagian yang tak terlintasi bayangan gnomon dalam siklus tahunannya.
Gambar 9. Reonstruksi ilustratif bagian situs Gunung Padang yang terkait dengan jam sundial (atas) dan skema rancangannya dari atas (bawah) berdasarkan arah gerak matahari yang membentuk bayangan dari gnomon.
Sebagaimana kita ketahui, gerakan revolusi bumi mengelilingi matahari dan rotasi berputar pada porosnya mengalami siklus tahunan yang menandai pergantian musim di bumi (untuk kawasan di utara dan selatan bumi, terjadi pergantian empat musim). Sekitar pertengah Desember hingga 7
pertengahan Juni, gerakan rotasi bumi terjadi di mana kutub utara relatif lebih dekat (dan sebaliknya, kutub selatan lebih jauh) dari matahari. Ini ditandai dengan musim gugur dan diikuti musim salju di belahan bumi utara. Sebaliknya, mulai pertengahan Juni hingga Desember, bumi berputar pada porosnya dengan belahan utara cenderung lebih dekat (dan sebaliknya, belahan selatan lebih dekat) dengan matahari, yang ditandai dengan musim semi dan musim panas di belahan utara planit kita. Tanggal-tanggal penting ini disebut sebagai solstice, baik solstice musim panas (titik terdekat kecondongan kutub utara dengan matahari) pada bulan Juni, maupun solstice musim dingin (titik terdekat kecondongan kutub selatan dengan matahari). Akibat dinamika ini, arah bayangan yang dibentuk oleh gnomon pada jam sundial akan berbeda dalam periode-periode dalam orde bulan tersebut. Hal ini kita simulasikan pada undak keempat di situs Gunung Padang berdasarkan pengukuran yang telah kita lakukan. Simulasi ini digambarkan pada gambar 9. Pada gambar tersebut ditunjukkan posisi relatif dari matahari, apakah lebih condong ke utara (sehingga menghasilkan bayangan gnomon dengan kecondongan ke arah selatan) atau lebih condong ke selaan (sehingga menghasilkan bayangan gnomon dengan kecondongan ke arah utara). Setiap hari, mulai dari fajar tatkala matahari terbit di belahan bagian timur, bayangan yang dibentuk menunjuk pada batu-batu secara berturutan mulai dari ujung yang satu dengan ujung yang lain dari persegi. Arah dan panjang bayangan yang terbentuk, apakah menunjuk pada deretan batuan tegak di sisi utara atau selatan akan menunjukkan bulan. Pola penghitungan waktu serupa ini secara umum sebenarnya telah lazim di beberapa kalangan tradisional sejak zaman dahulu kala dengan dikenalnya elemen jam matahari yang terbuat dari kayu atau bambu dan diberi nama, “bencet” di kalangan masyarakat Jawa kuno [2]. Bisa jadi, apa yang kita temui di teras keempat dari situs Gunung Padang ini merupakan versi pra sejarah dari jam matahari tradisional jawa tersebut. 4. Aspek Arkeo-Musikologi Di sudut belakang bagian timur undak pertama situs Gunung Padang, kita dapat menemukan sejumlah batu yang bersusun sedemikian, yang seolah menunjukkan eksploitas atas bahan dasar andesit bebatuan tersebut yang banyak mengandung logam, dan memukulnya akan memperdengarkan suara nyaring berfrekuensi tinggi, bagaikan nada-nada. Bebatuan tersebut seolah menjadi sebuah alat musik litofonik purba. Tapi berbeda dengan berbagai artefak litofonik warisan tradisi megalitik yang juga ditemukan di banyak negara di kawasan Asia Tenggara [11], ukuran dari artefak ini jauh lebih besar dimensinya. Menghipotesiskan sekelompok batuan andesit sebagai alat musik mungkin jadi salah satu spekulasi arkeologis yang menarik untuk dijabarkan dengan penelitian. Dari puluhan batu dalam kelompok bebatuan yang terduga sebagai sumber bunyi ini, dilaporkan beberapa uji frekuensi atas “nada-nada” yang terekam dengan memukulkan bebatuan tersebut. Hasilnya cukup menarik, karena dari sekian banyak batu, terdapat konjektur beberapa nada yang mungkin dapat dipetakan dalam tangga nada barat yang biasa kita kenal secara modern [3]. Dengan menggunakan analisis Fast Fourier Transform kita memetakan nada-nada yang dicurigai sampel frekuensinya ke tangga nada barat dan ditunjukkan adanya pengerucutan ke empat nada: f’’’ – g’’’ – d’’’ – a’’’. Mayoritas batuan yang di-sampling tidak menghasilkan bunyi yang frekuensinya dapat diklaim sebagai “nada” tertentu. Namun, ada dua kelompok batuan yang menghasilkan nada dengan frekuensi relatif tinggi, dalam interval 2683Hz-5171Hz. Dua kelompok batuan ini terdapat di teras pertama dan teras kedua, sebagaimana dapat dilihat pada lingkaran merah di gambar 2. Misalnya, pada teras pertama, ada sebuah kelompok batuan yang terdiri atas tiga buah balok batu yang menghasilkan frekuensi serupa nada.
8
Setidaknya ada tiga fakta menarik terkait hal ini, khususnya pada tumpukan batu di teras pertama, yaitu: Pertama, batu-batu tersebut mengelompok. Selain berdekatan, mereka juga memiliki jarak yang relatif beraturan antara satu sama lain. Kedua, batu-batu yang diduga digunakan sebagai sumber bunyi tersebut berbentuk balok yang sangat baik. Masing-masing berukuran relatif sama, yaitu memiliki panjang sekitar 1,5 m. Ketiga, balok-balok tersebut memiliki posisi berbaring sempurna. Keempat, dua balok saling sejajar. Satu balok yang lain tegak lurus dari dua balok pertama, ia membentuk sudut yang mendekati 90⁰. Kelima, balok-balok batu tersebut terbaring sempurna di permukaan, lebih jauh dapat kita bandingkan dengan kondisi balok-balok lain yang ada di situs tersebut. Dari analisis di atas kita dapat melihat bahwa sampel bunyi batu yang dipukul dari dua kelompok batuan yang diduga merupakan instrumen musik tersebut menghasilkan empat nada berurutan yang sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut. Empat nada tersebut memiliki korespondensi yang jelas dengan nada-nada pada tangga nada barat yang lazim digunakan saat ini dalam musikologi modern. Fakta ini memberikan sebuah arahan proposional bahwa tradisi megalitik di Situs Gunung Padang sangat mungkin telah mengenal instrumen musik. Dari sisi urutan nada-nada yang diperoleh memang belum sempurna untuk dapat dikategorikan sebagai pentatonic scale ataupun heptatonic scale. Ada dugaan bahwa nada-nada yang hilang tersebut kemungkinan ada di batuan yang sebagian terpendam tanah di sekitar batuan yang menghasilkan frekuensi tinggi tersebut. Untuk itu kita memerlukan upaya penggalian dan analisis lebih jauh, guna mencari dugaan adanya nada-nada yang hilang tersebut. Upaya ini sangat penting guna memverifikasi peluang adanya tradisi musikal pada kebudayaan megalitikum di Situs Gunung Padang. Penyeledikan lebih lanjut ikhwal arkeo-musikologi ini tentu akan bisa menjawab beberapa pertanyaan, apakah batu-batu yang dapat dijadikan sumber bunyi di Situs Gunung Padang ini merupakan sebentuk “nenek moyang” dari artefak litofon yang telah ditemukan pada banyak tradisi megalitik lainnya. Lebih jauh, memperhatikan ukuran dimensi dari batu-batu tersebut, maka jika digunakan sebagai alat musik, peradaban yang membangun dan menggunakan situs megalitik ini telah pula mengenal pola orkestrasi atau permainan musik dengan berkelompok. Jawaban positif dari hal ini tentu akan memberikan sebuah kontribusi teoretik akan pemahaman kita tentang evolusi dan kesejarahan perangkat musik sebagaimana yang kita telah kenal saat ini. Namun pertanyaan yang menarik adalah mengapa di situs tersebut perlu ada sumber-sumber bunyi? Memahami ketinggian kawasan Situs Gunung Padang (983 sampai 989 meter di atas permukaan laut) relatif jauh lebih tinggi dari kawasan di sekitarnya (rata-rata 880 meter di atas permukaan laut), menjadi menarik untuk mengkaji relevansi perangkat sumber bunyi di undak pertama situs megalitikum ini. Dari uraian sebelumnya, kita telah mengetahui beberapa konjektur penelitian terkait arkeo-geografi dan arkeo-astronomi dari beberapa bagian di situs Gunung Padang ini. Baik aspek arkeo-geografi maupun arkeo-astronomi tentu memberikan banyak informasi bagi pengguna situs ini yang akan memberikan kegunaan pada pemukiman purba yang mungkin bertempat di bawahnya. Informasi-informasi penting dapat diberikan melalui permainan pemukulan batu-batu tersebut sebagai sumber bunyi, apalagi jika diinformasikan pada malam hari. Pemahaman fisika sederhana mengajarkan kita bahwa pada malam hari cepat rambat gelombang suara berbeda-beda untuk lapisan-lapisan udara dengan ketinggian yang berbeda, sedemikian sehingga suara dari ketinggian cenderung terdengar lebih nyaring di bawah. Bukan tidak mungkin, bunyi-bunyian yang berasal dari batu-batuan tersebut dijadikan sebagai pemberi tanda akan aba-aba atau informasi yang mereka dapatkan melalui observasi geografis dan astronomis bagi elemen masyarakat yang ada di kawasan bawah situs tersebut. 5. Catatan Penutup Sebuah situs pra-sejarah menyimpan banyak cerita dan teka-teki akan pola peradaban dan budaya masyarakat yang tersimpan dan telah lekang oleh waktu. Keberadaan situs Gunung Padang telah 9
memberikan begitu banyak refleksi bahwa secara hipotetikal, peradaban kuno yang membangun situs tersebut memiliki kualitas pemukiman kuno yang telah mengakuisisi intelektualitas spesies manusia untuk mengamati alam dan menggunakan pengamatan tersebut sebagai aspek bertahan hidup secara kolektif, di masa yang telah sangat lampau. Hipotesis-hipotesis kita memberikan perspektif yang menarik untuk dikaji lebih jauh terkait bagaimana mereka memetakan muka bumi dengan kesederhanaan perangkat dan prasaran (arkeogeografi), memperhatikan perubahan benda-benda langit sebagai pemberi tanda akan waktu dan arah spasial (arkeo-astronomi), dan akuisisi bahan bebatuan yang dapat diakuisisi sebagai penyampai informasi melalui nada-nada tertentu (arkeo-musikologi). Pemahaman purba ini tentu menjadi sebuah bekal untuk bertahan hidup secara kolektif dan memungkinkan untuk perkembangan lanjut dari sekelompok manusia. Adalah pertanyaan lebih lanjut pula, siapakah yang membangun situs megalitikum itu, dan adakah manusia yang hidup di balahan Barat pulau Jawa kini memiliki keterkaitan dengan pembangun situs megalitikum itu. Diskusi dalam makalah ini tidak memberikan banyak jawaban, melainkan justru menawarkan berbagai penggoda pikiran yang mendorong penelitian lanjut terkait mega-struktur megalitikum ini. Pengkajian dan penggailan lanjut memberikan janji bahwa melalui pengujian lebih jauh dari aspekaspek tersebut, kita memiliki banyak pemahaman baru akan kompleksitas evolusioner kehidupan sosial manusia, bahkan semenjak masa purba. Yang jelas, mengingat kompleksitas sebuah peradaban yang membangun sebuah struktur megalitik, studi arkeologi merupakan sebuah kajian interdisipliner yang perlu melibatkan banyak aspek domain ilmu, demi mendekode narasi kesejarahan yang tersimpan di dalamnya. Pengakuan
Penulis berterimakasih pada rekan-rekan di Bandung Fe Institute dan Indonesian Archipelago Cultural Initiatives untuk kolaborasi dan pengumpulan data via ekspedisi independen yang dilakukan, juga pada Tim Katastrofik Purba Staf Khusus Presiden RI Bidang Bantuan Sosial dan Bencana dan tak lupa, Surya Research International atas dukungan keterlaksanaan penelitian ini.
Kerja Yang Disebutkan: [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11]
Allen, R. H. (1963). Star names: their lore and meaning. Dover Publication. Ammarell, G. (1988). "Sky Calendars of the Indo-Malay Archipelago: Regional Diversity/Local Knowledge". Indonesia 45: 84-104. Dahlan, R. M. & Situngkir, H. (2008). "Ada Tradisi Musikal di Situs Megalitikum Gunung Padang, Indonesia?". BFI Working Paper Series, WP-IV-2008. Bandung Fe Institute. Forestier, H. (2007) Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur (Technologie et Typologie de la pierre taillee de deux sites holocenes des Montagnes du Sud de Java), Kepustakaan Populer Gramedia. Hawkins, G. S., Thom, A., Thorpe, I. J., Ellegard, A. (1982). "On Megalithic Astronomy". Current Anthropology 23 (2): 218-22. Kanas, N. (2007). Star Maps: History, Artistry, and Cartography. Springer-Praxis. nd Kelley, D. H. & Milone, E. F. (2011). Exploring Ancient Skies: A Survey of Ancient and Cultural Astronomy 2 Ed. Springer. Kompas, 6 Juni 2003, “Menatap Sisa Kejayaan Masa Megalitik”. Spence, K. (2000). "Ancient Egyptian Chronoology and the astronomical orientation of the pyramids". Nature 406 (6810): 320–24 Sukendar, H. (1985) Peninggalan Tradisi Megalitik di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Yule, P. & Bemmann, M. (1988). "Lithophones from Orissa - The Earliest Musical Instruments in India?". Archaeologia Musicalis 1: 46-50
10