BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia
merupakan wilayah rawan bencana. Sejak tahun 1988 sampai pertengahan 2003 terjadi 647 bencana alam (banjir, longsor, gempa bumi, angin topan), menyebabkan 2022 korban jiwa dan kerugian trilyunan rupiah. Sejak pertengahan tahun 2003 sampai pertengahan 2004 terjadi ratusan bencana yang mengakibatkan hampir 1000 korban jiwa (Pusat Studi Bencana IPB, 2006). Berdasarkan data gempa tsunami (2006) yang terjadi pada tahun 2004, dari 13 negara, Indonesia mengalami kehilangan penduduk dan meninggal dunia lebih dari 198.801 jiwa. Diantaranya sebanyak 21.565 jiwa di Aceh Besar dan lebih dari 14.513 di Kecamatan Lhoknga Setelah bencana tsunami tahun 2004 jumlah penduduk menjadi 11.310 jiwa sedangkan. Di Desa Lhoknga Kecamatan Lhoknga yang tersebar pada 4 dusun jumlah penduduk sebelum tsunami 3.946 dan setelah bencana tsunami menjadi 987 jiwa, maka lebih dari 75% jumlah penduduk menjadi korban. Menurut Triutomo (2008), ada pergeseran paradigma tentang kebencanaan. Peningkatan intensitas bencana di Indonesia menyebabkan penanganan bencana semakin kompleks sehingga diperlukan manajemen penanggulangan bencana yang baik. Kompleksitas permasalahan bencana ini mengharuskan penanganan bencana tidak lagi ditangani secara sektoral tetapi dilakukan secara multisektor oleh berbagai
Universitas Sumatera Utara
intansi/lembaga/departemen terkait secara terpadu dalam suatu koordinasi yang berdasar pada rencana penanganan yang matang. Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah menyatakan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari upaya responsif menjadi mengutamakan upaya preventif. Untuk itu guna mendukung implementasi dari amanat undang-undang tersebut maka perlu pemahaman yang komprehensif tentang hakekat dan pengetahuan penanggulangan bencana oleh semua jajaran pengambil keputusan. Perubahan paradigma ini penting terutama setelah disadari bersama oleh para perencana pembangunan bahwa penanggulangan bencana pada saat sebelum terjadinya bencana dengan melaksanakan program pengurangan risiko bencana, peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan, serta mitigasi secara ekonomi diperhitungkan sebagai cara yang lebih murah dibanding upaya responsif. Disamping itu upaya preventif tersebut juga dipandang dapat menjamin terwujudnya program pembangunan yang berkelanjutan. Penanggulangan bencana berbasis masyarakat adalah upaya yang dilakukan oleh anggota masyarakat secara terorganisir baik sebelum dan saat sesudah bencana dengan menggunakan sumberdaya yang mereka miliki semaksimal mungkin untuk mencegah, mengurangi, menghindari dan memulihkan diri dari dampak bencana . Dari pengalaman dalam menangani berbagai macam kejadian bencana diberbagai belahan bumi ini, dalam 20 tahun terakhir telah dirasakan pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, bukan saja pada tingkat pemerintah dari suatu negara atau suatu daerah, tetapi pada tingkatan komunitas yang langsung merasakan dan harus
Universitas Sumatera Utara
menghadapi bencana itu sendiri, terutama sebelum bantuan atau pertolongan datang dari instansi pemerintah atau badan–badan non pemerintah untuk penanganan bencana yang resmi (UNDP-Indonesia, 2007). Pada realitasnya, dimasyarakat masih banyak terdapat berbagai penafsiran yang berbeda terhadap kesiapsiagaan. Dalam kajian untuk pengembangan kerangka penilaian kesiapsiagaan masyarakat ini, telah digunakan suatu konsep atau pengertian dari Nick Carter (1991), mengenai kesiapsiagaan dari suatu pemerintahan, suatu kelompok masyarakat atau individu. Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana dan didalam konsep bencana yang berkembang saat ini, pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pencegahan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro- aktif, sebelum terjadinya suatu bencana (LIPI – UNESCO/ISDR, 2006). Indonesia merupakan wilayah rawan terhadap bencana, baik bencana alam sendiri maupun bencana yang ditimbulkan akibat ulah manusia. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya bencana adalah kondisi geografis, iklim, dan faktor - faktor lain
seperti
kepercayaan, sosial budaya dan politik, wilayah Indonesia secara
geografis merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua asia dan benua Australia serta lempeng samudra india dan fasifik (LIPI – UNESCO/ISDR, 2006). Kejadian bencana menimbulkan dampak risiko bencana yang merupakan krisisnya dibidang kesehatan antara lain lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban
Universitas Sumatera Utara
mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular dan stress/gangguan kejiwaan.
Akibat
banyaknya risiko yang ditimbulkan setelah terjadinya bencana (Pasca Bencana) maka perlu melakukan sosialisasi dengan memberikan pelatihan-pelatihan tentang kesiapsiagaan terhadap pengurangan risiko bila terjadinya bencana, oleh karena sangat dituntut kepada tokoh masyarakat agar dapat melakukan langkah–langkah dalam penanggulangan bencana untuk dapat mengantisipasi dan melakukan pencegahan risiko bencana yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan mengenai penanggulangan bencana (LIPI – UNESCO/ISDR, 2006). Pelaksanaan rangkaian penanggulangan bencana adalah kewajiban semua pihak untuk membuat masyarakat yang rentan lebih berkapasitas. Dengan tujuan, membuat masyarakat yang rentan mampu mengatasi semua ancaman agar tidak menjadi bencana (Sumarno, 2008). Dirhamsyah (2008) menyatakan kearifan tradisional masyarakat setempat dalam mencegah dan menanggulangi bencana sangat penting untuk digali dan ditelaah untuk dijadikan bahan pembelajaran yang bernilai dalam Pengurangan Risiko Bencana. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai peran strategis dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan memenuhi hak asasi manusia; sedangkan fungsi pelayanan diarahkan pada pemberdayaan sehingga dengan potensi yang dimiliki (lebih dikenal sebagai kearifan lokal), masyarakat dapat mengambil peran secara utuh dalam kerangka pencegahan termasuk pengurangan
Universitas Sumatera Utara
risiko bencana di daerahnya sendiri dan atau penggerakan peran serta bagi daerah lainnya. Metode partisipatif merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendukung mekanisme internal. Wujud nyata dari konsep ini adalah perlunya lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat mendukung proses peningkatan potensi yang ada, sekaligus upaya mengurangi kerentanan mereka (Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007). Peran tokoh masyarakat dalam pencegahan risiko bencana sangat penting, hal ini terkait dengan keberadaan tokoh masyarakat yang memiliki status, kedudukan, kemampuan, dan keahlian yang diakui oleh masyarakat di lingkungannya merupakan sosok strategis untuk membawa ide baru di tengah masyarakat. Akibat pengaruhnya, semua ucapan, tingkah laku, dan tindakannya akan dijadikan panutan oleh masyarakat di lingkungannya (Donousodo, 2008). Kajian dampak bencana tsunami pada masyarakat Simeulue (2006), menyimpulkan bahwa ketika tsunami melanda wilayah pantai Aceh dan Nias pada tanggal 26 Desember 2004 lalu, lebih dari 198.801 jiwa meninggal dunia dan dinyatakan hilang. Namun di Pulau Simeulue, salah satu daerah yang juga dilanda tsunami dan berada dekat pusat gempa, jumlah korban yang jatuh relatif sedikit. Beberapa sumber menyebutkan bahwa korban meninggal dunia sebanyak 7 orang, suatu jumlah yang tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah penduduk pulau Simeulue pada saat itu yaitu sebanyak 78,128 jiwa (Juni 2005) yang sebagian besar bermukim di wilayah pantai (Sarlimwati. et al, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Sedikitnya korban meninggal di Pulau Simeulue ditafsirkan karena beberapa hal, yaitu (1) sebagai kuasa Tuhan, (2) adanya kearifan lokal dan (3) topografi wilayah. Prinsip hidup masyarakat Aceh di Simeulue yang sangat agamis seringkali mengkaitkan berbagai peristiwa di dunia ini dengan aspek keagamaan, sehingga peristiwa tsunami juga dianggap sebagai bagian dari cobaan Allah terhadap keimanan manusia. Alasan kedua, adanya suatu “kearifan” lokal dalam bentuk cerita turuntemurun tentang peristiwa tsunami yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Salah satu nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Simeulue adalah apabila terjadi suatu gempa kuat yang diiringi dengan surutnya air laut, maka masyarakat harus naik ke wilayah yang lebih tinggi. Kondisi topografi wilayah di sebagian besar permukiman di Pulau Simeulue yang berbukit-bukit juga memudahkan masyarakat untuk segera menyelamatkan diri (Sarlimwati, et al, 2005). Menurut Viciawati (2006), tokoh masyarakat masyarakat sebagai individu yang menjadi panutan di tengah masyarakat dalam perilakunya memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: : (a) Faktor Predisposisi, yaitu penyebab yang mempengaruhi perilaku secara rasional atau motivasi perilaku, (b). Faktor Pendukung, yaitu penyebab perilaku yang memfasilitasi motivasi untuk dapat terrealisasikan dan (c) Faktor Pendorong, yaitu faktor yang diakibatkan oleh perilaku yang menyediakan penghargaan yang terus menerus atau insentif yang memberikan kontribusi terhadap keberlangsungan perilaku tersebut. Keberadaan tokoh masyarakat sering menjadi tempat tujuan warga untuk membantu mengatasi persoalan keseharian dan memperkuat modal sosial. Dengan
Universitas Sumatera Utara
kondisi kerentanan sosial-ekonomi tersebut, beberapa hal yang perlu dilakukan dalam kaitannya dengan pengurangan resiko bencana antara lain melalui upaya pemberdayaan rumah tangga lemah ekonomi sehingga dapat mengurangi kerentanan ekonomi. Di sisi lain, mengoptimalkan modal sosial di tingkat masyarakat merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan bencana yang mengacu pada pengurangan risiko (Romdiati. et al, 2008). Menurut Hidayati (2008) bahwa masyarakat percaya kepada tokoh masyarakat dapat membantu mereka dan lembaga-lembaga kemasyarakatan dapat diberdayakan untuk mengantasipasi bencana. Tingkat kepercayaan masyarakat ini dipengaruhi oleh faktor kerentanan penduduk dari parameter sosial kemasyarakatan terhadap bencana, serta keterlibatan masyarakat dalam lembaga-lembaga sosial relatif rendah sehingga respon kolektif masyarakat terhadap bencana juga terbatas. Perencanaan kontigensi dalam upaya mengurangi risiko bencana Kecamatan Lhoknga, sampai saat ini dalam proses pengkajian instansi terkait, sehingga kebijakan yang terkait dengan penanganan bencana masih mengacu kepada pedoman umum yang dikeluarkan oleh Perpres No 8 tahun 2008 tentang koordinasi dengan BNPB dan dalam operasionalnya ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Permendagri No 46 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Berdasarkan latar belakang tersebut diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap) dan faktor pendukung (sumber daya manusia, sarana/prasarana dan kemudahan mengakses) terhadap
Universitas Sumatera Utara
partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi risiko bencana. Sehingga dapat diambil suatu kebijakan kongkrit terhadap peningkatan keselamatan terhadap masyarakat bila terjadinya suatu bencana.
1.2.
Permasalahan Berdasarkan
latar
belakang
penelitian
dalam
uraian
diatas,
maka
permasalahan yang timbul dalam penelitian yaitu: bagaimana pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap) dan faktor pendukung (ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan kemudahan mengakses) terhadap partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi risiko bencana gempa alam bumi di Desa Lhoknga Kecamatan Lhoknga kabupaten Aceh Besar.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap) dan faktor pendukung (ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan kemudahan mengakses) terhadap partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi risiko bencana alam gempa bumi di Desa Lhoknga Kecamatan Lhoknga kabupaten Aceh Besar.
1.4. Hipotesis Ada pengaruh faktor predisposisi (pengetahuan, sikap) dan faktor pendukung (ketersediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, dan kemudahan
Universitas Sumatera Utara
mengakses) terhadap partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi risiko bencana alam gempa bumi di Desa Lhoknga Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah kabupaten dalam menyusun program perencanaan bencana khususnya bidang yang mendasari dalam mengurangi risiko bencana. 1.5.2. Sebagai bahan pemikiran yang didasari pada teori dan analisis terhadap kajian praktis dalam meningkatkan partisipasi tokoh masyarakat dalam mengurangi risiko bencana. 1.5.3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi perpustakaan hingga menjadi dasar pemikiran untuk pelaksanaan penelitian yang selanjutnya. 1.5.4. Untuk dapat mengaplikasikan ilmu yang dimiliki oleh peneliti dan merupakan proses berfikir ilmiah dalam memahami dan menganalisa serta mengantisipasi masalah kesehatan yang ada.
Universitas Sumatera Utara