6
2. PENDEKATAN TEORITIS
2.1 2.1.1
Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender menurut pendapat Wood (2001) yang dicuplik oleh Mugniesyah
(2005) merupakan suatu bentukan atau kontruksi sosial mengenai perbedaan peran, fungsi, serta tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan serta bagaimana laki-laki berperilaku maskulin dan perempuan berperilaku feminin menurut budaya yang berbeda-beda. Relasi gender secara lebih luas dapat dikatakan sebagai sebuah faktor penentu yang dapat menentukan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, sumberdaya, kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan dalam bergerak dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Relasi gender dapat berubah dan berbeda dari satu budaya, kawasan dan wilayah tertentu. Istilah gender merupakan penafsiran masyarakat tentang perbedaan peranan, fungsi, dan tanggungjawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan bentukan yang terjadi dalam waktu yang lama mengikuti perkembangan zaman dan lingkungan masyarakat sehingga menjadi suatu kebudayaan yang kerapkali mempengaruhi interaksi antar-masyarakat (laki-laki dan perempuan) (Fakih 1996). Konsep gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan (dikotomi) sifat perempuan dan laki-laki yang dikontruksikan oleh sistem nilai budaya dan struktur sosial dimana perempuan dan laki-laki menjadi anggotanya dan kemudian menentukan peranan dan status perempuan dan laki-laki dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bernegara. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis gender perlu dilakukan dalam tingkatan keluarga, masyarakat, dan negara. Di tingkat keluarga atau rumahtangga, analisis gender dilihat dari (1) pembagian
7
kerja antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan produktif, reproduktif, dan pengelolaan kelembagaan masyarakat serta curahan waktu dalam kegiatan tersebut, (2) akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya keluarga (lahan, anak, harta, dan pendidikan). Di tingkat masyarakat, analisis gender menyoroti akses dan kontrol laki-laki serta perempuan terhadap sumberdaya yang mencakup informasi, kredit, teknologi, pendidikan/penyuluhan/ pelatihan, sumberdaya alam, peluang bekerja, dan berusaha, sementara di tingkat negara atau pemerintahan dapat dipelajari melalui kebijaksanaan pembangunannya (Connel 1988; Feldstein dan Poats 1989; FAO 1990; Anonymous (1991) dalam Mugniesyah 2002)). Perbedaan gender sesungguhnya tidak menimbulkan permasalahan sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi persoalan adalah jika perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban
dalam
sistem
tersebut.
Perbedaan
gender
dapat
menimbulkan
permasalahan seputar ketidakadilan gender yang mencakup stereotipe, beban kerja, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan. (Fakih 1996). Menyusul pernyataan tersebut, Mugniesyah mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin telah mempengaruhi manusia untuk memberi persepsi identitas peranan gender atau mengakibatkan perbedaan peranan gender (Mugniesyah 2006). Perbedaan
seks
seringkali
menjadi
landasan
masyarakat
untuk
mengotakkan peran perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan yang berperan sebagai ibu dengan kemampuan reproduktif untuk melahirkan dan menyusui membawa masyarakat untuk menempatkan perempuan ke dalam peran-peran
8
pengasuhan yang berkorelasi dengan ”ibu”. Sedangkan laki-laki diberikan status sebagai ”si pencari nafkah”. Status ini mewajibkan mereka untuk berupaya terhadap pemenuhan nafkah keluarga yang kemudian menjadikan peran produktif dekat dengan laki-laki (Mugniesyah 2006). Peran dan Relasi Gender Peran gender adalah peranan yang dilakukan perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya, dan struktur masyarakatnya. Adapun yang dimaksud dengan peranan gender adalah perilaku yang diajarkan pada setiap masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas, tugas-tugas, dan tanggungjawab tertentu dipersepsikan sebagai peran perempuan dan laki-laki. Moser (1993) berpendapat seperti yang telah dicuplik oleh Mugniesyah (2006) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender yaitu: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan produksi rumahtangga/subsisten dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar potensial. Contohnya: kegiatan bekerja baik di sektor formal maupun informal. 2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga. Contoh: melahirkan, memelihara dan mengasuh anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan lain sebagainya.
9
3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik. Peranan ini dibedakan ke dalam dua kategori berikut: a. peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peran reproduktif, bersifat sukarela (volunteer), dan tanpa upah. b. pengelolaan masyarakat politik, yakni peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya
dibayar
(langsung
ataupun
tidak
langsung),
dan
meningkatkan kekuasaan atau status. Peranan gender berhubungan dengan relasi gender yang menurut Agarwal (1994) dalam Mugniesyah (2006) diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan, praktik dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan. Grijins dkk (1992) menegaskan bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan masih dipengaruhi oleh nilai dan norma masyarakat, dimana semua jenis pekerjaan yang bersifat domestik atau feminin yang menggunakan teknologi tradisional yang tidak memerlukan tenaga kerja yang kuat dominan dikerjakan oleh perempuan. Kesetaraan dan Keadilan Gender Menurut konsep ILO dalam Mugniesyah (2007), pengertian tentang keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada kebutuhan-kebutuhan mereka, mencakup perlakuan
10
setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan, dan manfaat. Selanjutnya, kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh seperangkat stereotipe, prasangka, dan peran gender yang kaku. Dalam hal ini kesetaraan gender bukanlah berarti laki-laki dan perempuan menjadi sama, akan tetapi pada hak-hak, tanggungjawab, dan kesempatan mereka yang tidak ditentukan karena mereka terlahir sebagai laki-laki dan perempuan (ILO 2001 dalam Mugniesyah 2007).
2.1.2
Usahatani dan Rumatangga Pertanian Definisi usahatani menurut Rifai dalam Soehardjo (1973) ialah setiap
organisasi dari alam tenaga kerja dan modal, yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (bersama dengan fasilitas yang ada di atasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air), dan tanaman ataupun hewan ternak. Usahatani merupakan unit usaha yang dilakukan oleh petani dalam mempengaruhi komponen agroekosistem dan interaksinya untuk mendapatkan hasil dalam bentuk tanaman, ternak, ikan baik di lahan basah maupun lahan kering, dimana hasilnya dimaksudkan untuk digunakan oleh keluarganya sendiri atau dijual untuk mencapai status sosial serta untuk konservasi tanah, air, dan keanekaragaman hayati (Baliwati 2001). Kemudian menurut Fardiyanti dalam Sunarso (2005) usahatani adalah kegiatan pertanian
11
yang mengorganisasikan alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan untuk produksi di bidang pertanian. Usahatani merupakan kegiatan yang memanfaatkan faktor produksi (sumberdaya modal, tenaga kerja dan alam) dalam proses produksinya untuk diolah guna menghasilkan produk yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia baik dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan secara subsisten ataupun secara komersil. Menurut Moser dalam Soehardjo (1973) pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisasi, dan mengkoordinasi penggunaan faktor-faktor produksi seefektif mungkin sehingga produksi pertanian memberikan hasil yang lebih baik. Pengelolaan usahatani terdiri dari beberapa tahapan pengambilan keputusan. Selanjutnya, dalam pengambilan keputusan menurut Moser dalam Soehardjo (1973), petani dihadapkan pada berbagai prinsip usahatani yaitu: 1. Penentuan perkembangan harga. Pengetahuan tentang harga faktor produksi dan komoditas yang akan diusahakan relatif penting karena keuntungan usaha tergantung pada harga yang berlaku. 2. Kombinasi beberapa cabang usaha. Jika terdapat lebih dari satu cabang usaha, seorang petani akan dihadapkan pada pilihan kombinasi yang baik sehingga didapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya dalam setahun.
12
3. Pemilihan cabang usaha. Penentuan cabang usahatani, tipe usahatani, produktivitas tanah, persediaan tenaga kerja, biaya mendirikan cabang usaha, dan keadaan harga di waktu cabang usaha itu menghasilkan. 4. Penentuan cara produksi yang terdiri dari penentuan jumlah dan jenis pupuk yang digunakan, jarak tanam, cara bercocok tanam, dan sebagainya. 5. Pembelian saran produksi yang diperlukan. Petani perlu menentukan apakah uang yang dimilikinya hendak digunakan untuk membeli makanan, pupuk, atau membeli peralatan. 6. Pemasaran hasil pertanian. Masalah pemasaran yang sering dihadapi adalah waktu, tempat, cara penjualan, kualitas produksi, cara pengepakan yang efisien, alat yang digunakan, dan lain-lain. 7. Pembiayaan usahatani yaitu biaya jangka panjang (biaya pengembangan dan perluasan usaha) dan biaya jangka pendek (biaya pertanaman, biaya perbaikan alat, serta biaya hidup petani dan keluarganya selama menunggu musim panen). 8. Pengelolaan modal dan pendapatan. Perubahan usahatani ke arah yang lebih komersil untuk memperoleh peningkatan pendapatan merupakan masalah karena kurangnya modal yang mereka miliki. Pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi kebanyakan ditujukan untuk konsumsi keluarga. Sehubungan dengan rumahtangga pertanian, Nurhilailah (2003) dalam Hartomo (2007) menyatakan bahwa rumahtangga pertanian adalah rumahtangga
13
yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, budidaya ikan, melakukan perburuan atau penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak seperti unggas atau berusaha dalam jasa pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atas resiko sendiri. Rumahtangga petani monokultur sayuran adalah rumahtangga yang salahsatu
atau
lebih
anggota
rumahtangga
memiliki
kegiatan
utama
mengusahakan tanaman sayuran dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual atau untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan atau resiko sendiri. Roger dan Shoemaker dalam Hartomo (2007) menyatakan terdapat tiga karakteristik yang melekat pada masyarakat petani sebagai adopter inovasi yaitu status sosial ekonomi, kepribadian, dan perilaku komunikasi. Karakteristik sosial ekonomi meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, status sosial, mobilitas sosial, luas lahan, orientasi usaha, dan sikap terhadap kredit. Karakteristik kepribadian diantaranya empati, dogmatisme, sikap terhadap perubahan, sikap terhadap resiko, aspirasi (terhadap pekerjaan dan pendidikan), serta motivasi, sementara perilaku komunikasi mencakup partisipasi sosial, integrasi sosial, perilaku kosmopolit, serta kontak dengan penyuluh, dan media massa. Berpijak dari konsep tersebut, maka karakteristik petani adalah ciri-ciri yang melekat pada individu petani yang dapat membedakannya dengan petani lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik pribadi petani akan dibatasi pada lingkup: (1) pendidikan formal yang dialami petani, (2) umur, (3) pengalaman berusahatani, (4) pendapatan, dan (5) tingkat kekosmopolitan petani.
14
Istilah pendidikan yang dibatasi oleh Padmowihardjo (1994) dalam Subagio (2008) adalah sebagai usaha mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman-pangalaman yang sudah diakui dan diterima oleh masyarakat. Lebih lanjut, Winkel (2006) dalam Subagio (2008) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Pendidikan yang diperoleh secara garis besar meliputi pendidikan formal dan nonformal. Umur seseorang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan yang dimiliki dalam melakukan aktivitas atau usaha. Selanjutnya, pengalaman berusahatani dapat memiliki makna sebagai sesuatu yang pernah dirasakan, dialami, dan ditanggung oleh petani yang terkait dengan berbagai macam kegiatan pada pertanian dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai tujuan usahatani yaitu memperoleh pendapatan bagi kebutuhan hidup petani dan keluarganya. Adapun tingkat kekosmopolitan menurut Murdikanto (1993) dalam Subagio (2008) adalah tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.
2.1.3
Relasi Gender dalam Usahatani Status sosial perempuan tani dalam masyarakat dapat digambarkan sebagai
suatu kedudukan sosial petani dalam kelompok sosial. Kedudukan sosial tersebut sangat berkaitan dengan lingkungan, prestise, hak, dan kewajiban. Talcott dalam Sunarto (1988), mengemukakan beberapa macam sumber status, yaitu keanggotaan dalam famili, kualitas pribadi, prestasi, pemilikan wewenang, dan kekuasaan. Dalam masyarakat petani, biasanya status sosial dikaitkan dengan
15
jabatan atau kekuasaan seseorang dalam pemerintahan atau kepemimpinan suatu struktur masyarakat maupun pengakuan dalam masyarakat terhadap kelebihankelebihan yang dimiliki seseorang secara informal (kekayaan, kepribadian, kepandaian, atau prestasi dalam keagamaan). Semakin tinggi status sosial seseorang biasanya akan memiliki akses yang tinggi pula dalam berbagai kegiatan dalam pembangunan pertanian yang berdampak pada keberdayaan petani. Status perempuan tani dalam keluarga dan rumahtangga, serta masyarakat luas berdasar peranannya yang banyak menurut Sajogyo (1985) dalam Palit (2009) adalah: (1) selain sebagai ibu rumahtangga dalam keluarga masing-masing, perempuan berperan juga sebagai tenaga kerja dalam keluarga (domestik) yang tidak mendatangkan hasil secara langsung. Namun demikian, perempuan dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja dalam keluarga tersebut memberikan dukungan bagi anggota lain untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan peluang kerja yang ada, (2) di lain pihak, sesuai dengan perkembangan masyarakat agraris, terlihat dengan nyata perempuan sebagai tenaga kerja di bidang pencarian nafkah mendatangkan hasil secara langsung. Usahatani keluarga dipimpin oleh kepala keluarga yang pada umumnya adalah seorang laki-laki. Sebagai kepala keluarga laki-laki berperan memutuskan segala sesuatunya yang bersangkutan dengan operasi usahatani. Laki-laki memutuskan tanaman atau hewan apa yang akan diusahakan, kapan waktu bertanam, kapan menjual hasil, dan sebagainya. Disamping itu, sebagai kepala keluarga ia berkewajiban memimpin dan melindungi keluarganya. Dengan demikian tujuan usahataninya berhubungan erat dengan kepentingan hidup keluarganya. Akhirnya, petani juga adalah seorang manusia yang hidup di tengah-
16
tengah masyarakatnya. Sebagian besar usahatani keluarga tidak memiliki pemisah yang jelas antara pengeluaran untuk keperluan hidup rumahtangganya dengan keperluan usahataninya. Analisis pendapatan yang tepat sukar dilakukan pada usahatani yang demikian. Usahatani yang kompleks ini banyak terdapat di daerahdaerah dengan tanah usahatani sempit (Soehardjo 1973). Mengacu kepada analisis gender yang digunakan dalam studi ini relasi gender dilihat dengan membahas tiga peranan dalam pertanian yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif, dan kegiatan sosial. Hal ini lebih ditekankan pada: (1) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan reproduktif, (2) pembagian kerja dan curahan waktu dalam kegiatan usahatani dengan rincian menurut komoditi yang diusahakan petani (dalam musim tanam) dan usaha ternak, (3) curahan waktu dalam kegiatan produktif (pertanian dan non-pertanian) serta kegiatan sosial dengan referensi waktu satu bulan, (4) akses dan kontrol terhadap beragam sumberdaya, dan (5) analisis ekonomi di tingkat rumahtangga petani (Fardiaz 1996). Relasi gender dalam rumahtangga petani menurut penelitian Pudjiwati (1981), menyatakan bahwa nilai-nilai gender masih sangat kuat dianut masyarakat. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar kegiatan reproduksi lebih didominasi oleh perempuan dalam hal curahan waktu. Lebih jauh, Fardiaz (1996) mengemukakan bahwa usahatani hortikultura menyerap tenaga kerja laki-laki dan perempuan, baik dari dalam keluarga maupun di luar keluarga. Tingginya penggunaan tenaga kerja pada usahatani hortikultura ini, karena komoditi yang diusahakan berupa tanaman kentang, bunga kol, kol,
17
dan caisim yang selain intensif dalam penggunaan input produksi (pupuk dan pestisida) dan modal juga intensif dalam penggunaan tenaga kerja. 2.1.4
Analisis Gender Kajian terhadap konsep analisis gender dalam pembangunan secara
berkesinambungan dimulai dari pembahasan perempuan dalam pembangunan menuju gender dan pembangunan; peran ganda gender (pembagian gender pekerja, tanggungjawab, sumberdaya dan hubungan gender), pembagian data (rumah tangga, tempat kerja, dan komunitas) (Handayani 2002). Analisis gender adalah analisis sosial (mencakup ekonomi, budaya, dan sebagainya) yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi; (1) kondisi (situasi), dan (2) kedudukan (posisi) di dalam keluarga dan komunitas atau masyarakat. Fokus utama analisis situasi gender adalah (1) pembagian kerja atau peran, (2) akses dan kontrol (peluang penguasaan terhadap sumberdaya serta manfaat), serta (3) partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di dalam keluarga. Hasil analisis situasi gender adalah (1) identifikasi kepentingan praktis yaitu: kepentingan laki-laki dan perempuan yang perlu diperhatikan, (2) kepentingan strategis yaitu: penyetaraan status, peran, akses, dan kontrol antara laki-laki dan perempuan (Prasodjo dkk 1993). Profil akses dan kontrol merupakan alat untuk mempertimbangkan apa akses yang dimiliki perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya produktif, kontrol apa yang mereka miliki terhadap sumberdaya tersebut, dan siapa yang memperoleh keuntungan dari penggunaan sumberdaya tersebut (siapa memiliki apa) misalnya siapa yang mengontrol pendapatan yang dikeluarkan, siapa yang memiliki dan menggunakan aset-aset yang ada (Overholt
dkk 1985 dalam
18
Handayani 2002). Teknik analisis gender merupakan suatu teknik yang mampu menggambarkan tentang adanya perbedaan saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembangunan, serta adanya perbedaan tingkat manfaat yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan. Sebagai suatu alat, analisis gender tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga hubungan, sehingga pertanyaan yang diajukan tidak hanya pada siapa mengerjakan apa, tetapi juga meliputi siapa yang membuat keputusan, dan siapa menggunakan sumberdaya pembangunan seperti tanah, kredit, serta siapa yang menguasai sumberdaya pembangunan, dan kemudian faktor-faktor apa yang mempengaruhi hubungan tersebut, apakah faktor hukum, ekonomi, atau sosial. Teknik analisis Harvard merupakan teknik analisis gender yang digunakan untuk melihat sutau profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen yaitu: profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt dkk
1985 dalam
Handayani 2002). Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk melihat dan menimbang pemenuhan kebutuhan yang dirasakan oleh laki-laki dan perempuan. Kebutuhan praktis biasanya berhubungan dengan keadaan hidup yang tidak memuaskan, misalnya kurangnya sumberdaya atau tidak dipenuhi kebutuhan dasar, contoh: masalah air minum pangan, dan kesehatan. Selanjutnya, dapat diidentifikasi karena langsung dirasakan, dapat dipenuhi dalam waktu relatif pendek melalui intervensi tertentu, misalnya membangun sumur, menjalankan posyandu; sedangkan kebutuhan strategis berkaitan dengan peranan dan kedudukan di masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor struktural seperti ekonomi,
19
sistem politik, perundang-undangan, kebijakan kesejahteraan, norma-norma sosial dan budaya. Kebutuhan strategis juga menyangkut peluang dan kekuasaan (akses dan kontrol) terhadap sumberdaya dan kesempatan untuk memilih dan menentukan cara hidup. Pada umumnya kebutuhan strategis ini menyangkut kepentingan hampir semua perempuan dan dapat dipenuhi melalui suatu proses yang memakan waktu yang panjang (Moser dalam Prasodjo, et al 1993).
2.2
Kerangka Pemikiran Penelitian relasi gender pada kelompok tani tanaman hortikultura dataran
rendah, kasus rumahtangga petani Rawa Banteng, Desa Gempol Sari, Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang ini, didasarkan atas berbagai konsep yakni konsep usahatani yang dikaitkan dengan relasi gender untuk mendeskripsikan relasi gender dalam pengelolaan usahatani yang diawali dengan proses praproduksi hingga pascapanen (pemasaran). Adapun variabel yang digunakan meliputi variabel bebas (independent) dan variabel tidak bebas (dependent). Relasi gender dalam rumahtangga petani digunakan sebagai variabel tidak bebas. Relasi gender yang akan dibahas diberi indikator peubah seperti akses, kontrol, pembagian kerja, peranan, dan alokasi sumberdaya yang dilihat dalam setiap kegiatan usahatani pada rumahtangga petani, kelompok tani Rawa Banteng (praproduksi, produksi dan pascaproduksi) serta pola pengambilan keputusan kegiatan usahatani di dalam rumahtangga petani. Keberadaan variabel ini dipengaruhi oleh tiga variabel bebas terpilih yakni: X1 karakteristik petani, X2 aksesibilitas pada informasi, dan X3 faktor lingkungan meliputi permasalahan ekonomi-sosial-budaya petani.
20
Pola tanam hortikultura (komoditas sayuran) sangat beragam dan selalu berubah-ubah dalam penanaman komoditas sehingga perlu dianalisis siapakah yang memiliki akses dan kontrol dalam menentukan pola tanam dan jenis tanaman yang dipilih. Analisis ini akan dilihat pada kegiatan praproduksi yang meliputi penentuan pemilihan komoditas, dan pemilihan saprotan. Demikian juga dengan kegiatan produksi dan kegiatan panen, melihat bagaimana kontribusi masingmasing (laki-laki dan perempuan) perolehan hasil panen yang dibawa ke pasar. Aksesibilitas pada informasi yang dimaksud disini adalah sumber yang diperoleh masyarakat terkait usahatani dan informasi mengenai permasalahan gender. Hal ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi yang dapat dipercaya secara baik dan ketersediaan informasi yang berkaitan dengan pengetahuan petani terhadap usahatani dan pengetahuan gender. Aksesibilitas ini dihubungkan dengan variabel Y dengan maksud melihat keterkaitan dan bagaimana akses rumahtangga petani terhadap informasi dan bagaimana penerimaan informasi dalam rumahtangga. Karakteristik petani terdiri dari tingkat pendidikan, umur, lama berusahatani, tingkat pendapatan dan tingkat kekosmopolitan. Hal ini adalah variabel yang penting dalam menganalisis karakterisitik rumahtangga petani yang ada pada kelompok petani Rawa Banteng karena ini merupakan variabel yang melekat langsung pada pribadi petani yang membedakan petani yang satu dengan yang lain. Kemudian, faktor lingkungan yang terdiri dari; budaya, penguasaan aset ekonomi, interaksi petani dengan tokoh masyarakat dan interaksi dengan penyuluh. Kebudayaan masyarakat setempat dapat memberikan informasi mengenai cara masyarakat menilai peran perempuan dan bagaimana masyarakat
21
memberi penilaian terhadap peran laki-laki dalam berusahatani, dan bagaimana interaksi petani dengan tokoh masyarakat.
X1 Karakteristik Petani X1.1Umur(dalam tahun) X1.2Pengalaman X1.3Berusahatani(tahun) X1.4Tingkat kekosmopolitan X1.5Lama pendidikan formal X1.6Tingkat pendapatan petani X2 Aksesbilitas pada Informasi X3 Faktor Lingkungan X3.1Budaya X3.2Interaksi dengan Tokoh Masyarakat X3.3Penguasaan aset ekonomi
Y. Relasi Gender dalam Usahatani (hubungan penguasaan sumberdaya) • Akses, kontrol* • Pembagian kerja (profil aktivitas dan curahan waktu)* • Pola pengambilan keputusan
Mempengaruhi
*
Dianalisis dengan Pendekatan Kualitatif Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir penelitian diajukan hipotesis berikut : 1. Karakteristik petani memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam usahatani. 2. Aksesibilitas pada informasi memiliki hubungan positif dengan relasi gender dalam usahatani.
22
2.4
Definisi Operasional 1. Karakteristik pribadi petani (X1) adalah ciri-ciri yang melekat bagi seseorang sebagai pelaku utama yang berkaitan erat dengan kesiapannya untuk mengembangkan diri. Karakteristik ini meliputi: X1.1
Umur petani, waktu sejak lahir hingga dilakukan penelitian yang dihitung dalam satuan tahun.
X1.2
Lama berusahatani yang dilakukan dengan menghitung jumlah tahun mulai berusahatani hingga waktu penelitian dilakukan.
X1.3
Lamanya pendidikan formal: waktu yang dibutuhkan oleh responden dalam mengikuti pendidikan formal hingga penelitian dilakukan, yang dihitung dalam tahun.
X1.4
Tingkat pendapatan: terbagi dua yaitu pendapatan dalam usahatani dan luar usahatani yang dihitung dalam satuan rupiah.
X1.5
Tingkat kekosmopolitan: tingkat keterbukaan petani dalam menerima inovasi, mobilitas petani dan kemudahan petani dalam
menjalin
hubungan
dengan
dunia
di
luar
lingkungannya. Misal: pergaulan petani dengan petani dan masyarakat lain, jumlah waktu yang digunakan untuk media
informasi,
keaktifan
mencari
informasi.
Penghitungannya adalah dengan memberikan skor pada sebagai berikut:
23
1 = tingkat kekosmopolitan rendah, skor 7 2 = tingkat kekosmopolitan sedang, skor 8 - 14 3 = kekosmopolitan tinggi, skor > 14 2. Aksesibilitas pada informasi (X2), adalah kesempatan dan aktivitas yang dilakukan oleh petani dalam upaya meraih pengetahuan (pesan) terkait dengan usahatani dan pengetahuan tentang gender. Aksesibilitas ini diukur dengan melihat ketersediaan sumber informasi dan kedekatan responden dengan sumber informasi. Skor dalam penghitungan aksesibilitas ini dibagi menjadi tiga yakni: 1
= aksesibilitas rendah, skor 8
2
= aksesibilitas sedang, skor 9 - 14
3
= aksesibilitas tinggi, skor >14
3. Faktor Lingkungan (X3) adalah individu atau kelompok individu dan sistem kemasyarakatan yang telah menjadi tradisi dan atau kelembagaan yang mengandung nilai dan norma serta pemanfaatan keberadaannya mempengaruhi pola pikir dan tindakan petani dalam melaksanakan usahatani. X.3.1
Penguasaan aset ekonomi dilakukan dengan mengukur luas lahan garapan petani baik berupa sewa, milik, maupun kontrak yang diukur dalam satuan m2 (meter persegi). Kemudian dikategorikan
berdasarkan menjadi
sebaran rendah
yang
(<4133,33m2),
diperoleh sedang
(4133,33m2 hingga 8266.67m2), dan tinggi (>8266.67m2).
24
X.3.2
Budaya: pada penelitian ini; hal-hal yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat, pola pikir, merasakan dan bertindak terkait dengan tingkat keharmonisan relasi gender yang dimiliki masyarakat setempat1. Pengukuran budaya ini dilakukan dengan melihat pandangan laki-laki terhadap perempuan. Dan sebaliknya, serta kebiasaan masyarakat setempat dalam mengatur relasi gender yang sebaiknya di masyarakat. 1
= rendah, nilai skor 0 - 12
2
= sedang, nilai skor 13 - 24
3
= tinggi, nilai skor 24- 36
X.3.3
Interaksi dengan tokoh masyarakat: tingkat dukungan tokoh formal terhadap petani, tingkat dukungan tokoh non-formal terhadap petani, tingkat kekerapan pertemuan dengan tokoh formal dan non-formal terkait pandangan mengenai relasi gender. Interaksi tersebut diukur sebagai berikut. 1
= rendah, skor 5
2
= sedang, skor 6 - 10
3
= tinggi, skor > 10
4. Y. Relasi gender yang terdiri dari: Y.1 Akses yaitu kesempatan atau peluang anggota rumahtangga (laki-laki dan perempuan) dalam memperoleh serta ikut dalam berbagai kegiatan usahatani (produktif), kegiatan 1
Robert L. Sutherland dkk, Introductory Sociology, edisi ke-6, J.B. Lippincott Company, Chicago, Philadelphia, New York, 1961, halaman 30-31 dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, 1990, halaman 173
25
rumahtangga (reproduktif), dan kemasyarakatan. Akses diukur dengan melihat kekutsertaan rumahtangga (suami atau istri) dalam setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan). Y.2 Kontrol yaitu kemampuan dan kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumahtangga responden dalam mengambil keputusan dalam kegiatan usahatani, rumahtangga, dan kegiatan kemasyarakatan. Kontrol diukur dengan melihat setiap kesempatan bagi rumahtangga (suami atau istri) dalam memiliki kekuasaan seperti dengan mengambil keputusan, atau tanggung jawab atas setiap kegiatan (reproduktif, produktif, dan sosial kemasyarakatan). Y.3 Pembagian kerja yaitu profil seluruh aktivitas yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga selama sehari. Analisis pembagian kerja dalam rumatangga petani
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan
kualitatif yang mencakup kegiatan reproduktif, produktif (usahatani), dan sosial kemasyarakatan. Hal ini diukur dengan melihat curahan waktu yang diberikan oleh anggota rumahtangga (suami, istri, dan anak) dalam setiap kegiatan rumahtangga
(reproduktif,
produktif,
dan
sosial
kemasyarakatan). Y.4 Pola pengambilan keputusan yaitu siapa yang lebih dominan (laki-laki dan perempuan) untuk melakukan
26
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu kegiatan. Untuk kepentingan
peneliti
diperoleh
tiga
variasi
dalam
pengambilan keputusan yaitu: 1
= pengambilan keputusan hanya dilakukan oleh suami sendiri atau istri sendiri
2
= pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri namun salahsatunya dominan
3
= pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh suami dan istri setara