06/2008
Seri 7 Penjelasan Singkat (Backgrounder) Gender Mainstreaming di Kepolisian
Gender Mainstreaming di Kepolisian Apa Yang Dimaksud Dengan Gender Mainstreaming? Gender Mainstreaming secara harfiah diartikan sebagai ‘pengarus utamaan gender’. Program ini telah ditetapkan sebagai strate gi global untuk memajukan kesetaraan gender dalam Rencana Aksi yang diadopsi pada Konferensi Internasional Keempat Tentang Perempuan (the Fourth World Conference on Women) di Beijing tahun 1995. Agenda pengarusutamaan ini telah dimandatkan pada Sesi Khusus ke 23 dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada Juni 2000. Gender Mainstreaming adalah strategi global untuk memaju kan kesetaraan gender. Pengarusutamaan gender bukanlah tujuan, melainkan strategi, pendekatan dan cara untuk untuk mencapai satu tujuan besar, yaitu adanya kesetaraan gender. Gender Mainstreaming meliputi upaya untuk memastikan bah wa perspektif gender dan perhatian terhadap tujuan lahirnya kesetaraan gender merupakan pusat dari seluruh aktivitas— kebijakan pembangunan, penelitian, advcokasi, dialog, legis lasi, alokasi sumber daya, serta perencanaan, implementasi dan monitoring suatu program atau proyek. Sejak tahun 1997 Asisten Sekretaris Jeneral (Sekjen) dan Penasehat Khusus Sekjen untuk Isu-isu Gender dan Pema juan Perempuan PBB telah dibentuk untuk mendukung dan memperhatikan implementasi dari kebijakan Gender Mainstreaming yang telah dimandatkan di lingkungan badan-badan PBB. Komitmen yang kuat dan berkelanjutan terhadap Gender Mainstreaming merupakan salah satu satu cara efektif yang dipakai oleh PBB untuk memajukan kesetaraan gender di semua tingkat—di dalam penelitian, legislasi, kebijakan pem bangunan, dan dalam aktivitas-aktivitas lapangan, serta untuk
• Apa Yang Dimaksud Dengan Gender Mainstreaming? • Apakah Program Gender Mainstreaming Pemerintah Juga Berlaku Bagi Polri? • Kapan Gender Mainstreaming Mulai Diterapkan di Polri? • Dukungan Terhadap Gender Mainstreaming di Polri • Pembentukan Unit PPA dan Peningkatan Peran Polwan • Mengapa Program Gender Mainstreaming Penting di Polri? • Apa Saja Tantangan Program Gender Mainstreaming di Polri? • Bagaimana Program Gender Mainstreaming di Negara Lain?
1 2 2 3 4 4 5 6
• Apa Peran Yang Dilakukan Masyarakat Sipil Dalam Mendorong Program Gender
6
Mainstreaming di Polri? • Sumber dan Informasi Lebih Lanjut
7
Dokumen ini merupakan bagian dari 10 serial Penjelasan Singkat (Backgrounder) yang diterbitkan atas kerjasama IDSPS dan Rights & Democracy Kanada untuk menyediakan informasi isu-isu di bidang reformasi sektor keamanan bagi masyarakat sipil.
Gender Mainstreaming di Kepolisian memastikan bahwa setiap perempuan dan laki-laki bisa melibatkan diri, berpartisipiasi dan memproleh keuntungan dari upaya-upaya pembangunan.
Apakah Program Gender Mainstreaming Pemerintah Juga Berlaku Bagi Polri?
Karenanya usaha untuk menyempurnakan strate gi Gender Mainstreaming tetap dibutuhkan, dan difokuskan pada berbagai upaya - intervensi untuk memajukan kesetaraan gender dan peran perem puan, khususnya ketika terjadi diskriminasi terha dap perempuan dan ketidaksetaraan antara perem puan dan laki-laki.
Sebagai bagian dari alat negara dan pemerintahan sipil, Polri merupakan salah satu subjek dari prog ram Gender Mainstreaming dalam Pembangunan Na sional.
Di Indonesia, Gender Mainstreaming telah ditetap kan sebagai bagian dari kebijakan nasional. Pelak sanaannya dimulai sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusuta maan Gender dalam Pembangunan Nasional. Ke bijakan ini mengharuskan seluruh lembaga pemer intah di tingkat nasional, provinsi, kabupaten untuk melakukan pengarusutamaan gender guna terse lenggaranya perencanaan, pelaksanaan, pemantau an dan evaluasi pada kebijakan dan Program Pem bangunan Nasional. Tujuan kebijakan Gender Mainstreaming yang dikeluar kan pemerintah antara lain : 1. Mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi yang integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas ke bijakan dan program pembangunan nasional. 2. Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya ma syarakat. 3. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, per tahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. 4. Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadikan sesuatu yang adil bagi laki-laki dan perempuan.
Gender Mainstreaming yang dilaksanakan di lingku ngan Polri sejalan dengan tujuan terselenggaranya kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujud kan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidup an berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan ber negara. Sejauh ini Polri telah mengembangkan berbagai prog ram untuk menunjukkan perhatiannya pada Gender Mainstreaming di lingkungan Polri, meskipun belum terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan oleh ma sih lemahnya pemahaman terhadap norma hukum nasional dan internasional dan miskinnya kebijakan operasional pendukung kebijakan ini.
Kapan Gender Mainstreaming Mulai Diterapkan di Polri? Sebagaimana institusi lain, Paska pemisahan TNIPolri, institusi Polri mulai mengembangkan programprogram yang terkait dengan Gender Mainstreaming sebagai bagian dari penguatan performance dan ke mampuan sehingga Poliri menjadi institusi yang pro fesional dan akuntabel. Namun, program Gender Mainstreaming di lingku ngan Polri baru ditetapkan pada tahun 2002, yaitu pada saat dikeluarkannya Nota Dinas Kadivbinkum Polri kepada Karo Progar Derenbang Polri No. Pol.: B/ND-526/XII/2002 tentang Sosialisasi Proposal Sosialisasi Pengarusutamaan Gender dan Undangundang Perlindungan Anak. Dasar ditetapkannya kebijakan ini adalah pertemuan Koordinasi Antar Sektor Hukum di Biro Perenca
Gender Mainstreaming di Kepolisian naan Kejaksaan Agung RI, November 2002. Un tuk pelaksanaannya, Kapolri mengeluarkan Surat Telegram ST Kapolri No. Pol.: ST/839/VIII/2003, tanggal 13 Agustus 2003. Kelambanan program Gender Mainstreaming di ling kungan Polri disebabkan oleh lemahnya dukungan elit Polri dan dominannya budaya patriakal dalam in stitusi Polri, walaupun Polri tetap menyatakan bahwa institusi ini sudah responsif gender jauh sebelum is tilah Gender Mainstreaming diperkenalkan. Kebijakan pemerintah ini juga belum diitegrasikan kedalam se luruh program di Polri dan masih terfokus pada so sialisasi kepada anggota Polri di lingkungan Markas Besar Polri dan Polda.
Tabel 1. Pandangan Polisi Laki-laki terhadap Kinerja Polisi Wanita (Polwan) NO.
PENILAIAN
1. Polwan lebih menonjol di bidang Administrasi dibandingkan de ngan operasional. karena Polwan dianggap lebih teliti 2. Karena alasan kodrat, etika dan normatif, maka tugas berat atau tugas pada malam hari tidak diberikan kepada Polwan 3. Masih ragu atas kemampuan (terutama fisik) Polwan untuk diberi kan tugas atau kasus berat maupun tugas operasional lainnya terutama di reserse dan intelijen. 4. Menugaskan Polwan pada kasus berat dan tugas lapangan lain nya, kurang efektif karena banyak batasan sehingga memerlukan personel pendukung untuk pendampingan 5. Banyak dispensasi yang diberikan kepada Polwan terutama ke tika sudah menikah dan hamil. Kinerja menjadi tidak maksimal.
Dukungan Terhadap Gender Mainstreaming di Polri Dukungan terhadap program Gender Mainstreaming di lingkungan Polri datang dari beragam instansi dan organisasi, antara lain; • Kaukus Perempuan Parlemen (KPP RI), Mendu kung seluruh program Gender Mainstreaming di Polri; • Lembaga Bantuan Pemberdayaan Perempuan
(LBPP) Derap Warapsari dan Komnas Perem puan, khususnya dalam program penyelesaian masalah perempuan dan anak; • LBPP Derap Warapsari Menteri Negara Pember dayaan Perempuan khususnya dalam pendirian 9 Unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di wilayah Polda Metro Jaya dan jajarannya guna melayani perempuan dan anak korban kekerasan pada ta hun 1999. • Lembaga-lembaga bantuan internasional seperti Unicef, ICITAP, IOM memberikan dukungan berupa peralatan, berbagai pelatihan seperti pela tihan perlindungan anak, memerangi perdagang an orang (traficking) dan bantuan pendanaan un tuk mendukung operasionalisasi program ini. Berbagai dukungan dari beragam organisasi tersebut menunjukkan betapa pentingnya kedudukan Polri sebagai penegak hukum, pengayom dan pelayan ma syarakat dalam mewujudkan kesetaraan dan keadil an gender di lingkungan institusi dan masyarakat. Dukungan itu sekaligus memperlihatkan harapan yang tinggi agar Polri sensitif terhadap kepentingan perempuan dan anak. Sejumlah program renponsif gender yang dilak sanakan Polri sendiri atau bekerjasama dengan lem baga lain: 1. Sosialisasi pengarusutamaan gender di berbagai Polda 2. Sosialisasi UU No.23 Tahun 2004 Tentang Peng hapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 3. Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK). Sejak 6 Juli 2007,RPK berubah menjadi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) YANG berdasarkan Peraturan Kapolri No. Pol.: 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Polri. 4. Berbagai pelatihan seperti pelatihan perlindung an Anak, pelatihan penanggulangan perdagang an orang, pelatihan penanggulangan traficking, dan pelatihan khusus tentang gender untuk petu gas unit PPA
Gender Mainstreaming di Kepolisian
Pembentukan Unit PPA dan Peningkatan Peran Polwan Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) atau Unit Pela yanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) dilaksanakan dalam rangka peningkatan pelayanan Polri terhadap perempuan dan anak. Dalam program-program terkait Gender Mainstreaming Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Mabes Polri bekerjasama dengan LBPP Derap Warapsari, sebuah lembaga yang mempu nyai kepentingan membantu kelompok perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan. Tujuan kerjasama ini disamping untuk menaikkan citra polisi juga untuk menjaga harkat martabat dan hak kaum perempuan dan anak-anak. Advokasi perlindungan terhadap perempuan dan anak yang dilaku kan LBPP Derap Warapsari berhasil mendorong terbentuknya Unit PPA di kantor Polisi Resort (Polres) yang bekerja di bawah Kasat reskrim. Berdasarkan Peraturan Kapolri No. Pol. : 10 Tahun 2007, TUGAS PPA adalah melakukan penyelidikan tindak pidana terha dap perempuan dan anak yang meliputi; 1. Perdagangan Orang (Human Trafficking) 2. Penyelundupan Manusia (People Smuggling) 3. Tindak Kekerasan (secara umum maupun yang terjadi dalam rumah tangga) 4. Tindakan asusila (perkosaan, pelecehan, pencabulan) 5. Perjudian dan prostitusi 6. Adopsi illegal 7. Pornografi dan pornoaksi 8. Money laundering dari hasil kejahatan tersebut di atas 9. Perlindungan anak (sebagai korban/tersangka) 10. Perlindungan korban, saksi, keluarga dan teman serta, 11. Kasus-kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak. Pelayanan yang diberikan Unit PPA antara lain; menerima laporan pengaduan, konseling, pengiriman korban ke Pusat Pelayanan Ter padu (PPT), penyedilikan, penjaminan keselamatan korban/pelapor, melakukan pemberkasan perkara, dan membuat laporan kegiatan berkala. Sebagai konsekuensi dari luasnya cakupan dan ketidakseimbang an komposisi antara polisi laki-laki dan perempuan, maka peningka tan jumlah dan peran polisi wanita mutlak perlu dilaksanakan. Peran aktif Polisi perempuan di Unit PPA misalnya, mensyaratkan Polwan yang bekerja didalamnya melepaskan diri dari “domestifikasi” pe
ran-peran perempuan di dalam institusi kepolisian dan perlunya do rongan agar Polwan menjadi polisi professional untuk memperkuat unit ini. Di sisi lain, peningkatan peran Polwan berbagai satuan dan fungsi diperlukan karena kehadirannya memberikan perubahan dan war na baru pada pekerjaan baru dan gaya pemolisian. Hal ini didukung oleh citra Polwan yang positif dan adanya tuntutan peningkatan pro fesionalisme.
Tabel 2: Perbandingan Jumlah Anggota Polri Tahun 2005 POLISI LAKI-LAKI
POLISI WANITA
TOTAL
JUMLAH
%
JUMLAH
%
MABES
14.183
99.88
990
0.12
15.173
POLDA
261.111
96.92
8.107
3.08
269.218
TOTAL
275.294
96.80
9.097
3.20
284.391
Mengapa Gender Mainstreaming di Polri Penting? Gender Mainstreaming merupakan syarat untuk mengha puskan diskriminasi terhadap perempuan agar menca pai kesetaraan gender di setiap tingkatan birokrasi. Publik sejauh ini juga menilai bahwa Polwan lebih bisa melakukan pendekatan sosio-psikologis dalam tugastugas penegakan keamanan dan ketertiban, sehingga peningkatan komposisi Polwan sangat membantu efektifitas kerja Polri. Terlebih bahwa sistem kepolisian yang professional di negara demokratsi mensyarat kan penugasan dan fungsi Polri yang harus bersen tuhan langsung dengan masyarakat dan menghindari pendekatan yang militeristik. Terkait dengan penanganan tindakan kekerasan terha dap perempuan dan anak yang menjadi masalah global, Indonesia merupakan salah satu dari 180 negara yang berpartisipasi dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan atau Pembangunan (ICPD, 1994) yang kemudian diikuti dengan konferensi tentang wanita ke
Pimpinan Redaksi/Penanggung jawab: Mufti Makaarim A · Koordinator: Hamdani · Pelaksana: Jarot Suryono, Zainul Maarif, Rosita NW · Sekretaris Redaksi: Meirani Budiman · Distribusi: Heri Kuswanto · Konsultan: S.Yunanto
Gender Mainstreaming di Kepolisian IV di Beijing pada tahun 1995, sehingga perlu menun jukkan kontribusinya melalui pengerahan semua sektor pemerintahan, termasuk Polri.
Apa Saja Tantangan Program Gender Mainstreaming di Polri? • Pemahaman konseptual. Kondisi di internal Pol ri secara umum memperlihatkan lemahnya pema haman Gender Mainstreaming di tingkat pengambil keputusan dan terbatasnya kebijakan/program/ke giatan yang sudah responsif gender. Masih muncul sejumlah keluhan dan catatan belum tercipta ke setaraan kesempatan dalam penugasan dan pembe rian jabatan antara polisi laki-laki dan polisi wanita, minimnya perhatian atas Polwan yang memiliki kapasitas dan integritas. • Kebijakan yang netral gender. Ketiadaan ke bijakan semacam ini telah melanggengkan kesen jangan atau disparitas gender di Polri. Kebijakan yang netral gender yang paling mendasar adalah memastikan peningkatan representasi perempuan di tingkat pengambilan keputusan. Kecilnya par tisipasi perempuan dalam berbagai kesempatan pengembangan dan pendidikan lanjutan, diskrimi nasi berdasarkan gender dalam pendidikan pem bentukan/pengembangan/kejuruan Polri adalah contoh lain sebagai imbas minimnya kebijakan yang netral gender. • Kebijakan Program dan Anggaran. Saat ini be lum ada kebijakan program dan anggaran yang jelas untuk Gender Mainstreaming di kepolisian. Terkait dengan Unit PPA, Persoalan dan Tantangan yang masih melingkupi antara lain: 1. Dukungan Politik Internal Polri dan Pemerintah; Estafet Kebijakan untuk Unit PPA dari peja bat Polri lama sering tidak dilanjutkan oleh pejabat baru. Pemahaman instansi kepolisian dan bahkan pimpinan Polri terhadap pentingnya program ini juga lemah. Hal ini terlihat dari tidak adanya kai
tan antara program ini dengan dengan keseluruhan program Polri. 2. Dukungan Pendanaan dan Peningkatan La yanan; Pada saat masih bernama RPK, unit ini se cara organisatoris masuk dalam wadah non-struk tural Polri. Pada saat itu tidak ada alokasi budget dan jenjang karir yang jelas, sehingga pelayanan yang diberikan tidak maksimal. Setelah berubah menjadi Unit PPA, unit ini masuk dalam struktur kepolisian dan dipimpin oleh Kanit (Kepala Unit) berpangkat Ajun Komisaris Polisi dan diutamakan perempuan. Dukungan pendanaan diberikan melalui APBN, dan lembaga donor yang bekerjasama dengan Polri melalui kelembagaan Polri (Lemdiklat, Divbinkum, Bareskrim, Biro Perencanaan dll). kontinuitas dan dukungan lebih lanjut masih diharapkan, mengingat prigram ini baru memasuki masa-masa awal imple mentasi. 3. Prosedur Pelayanan; Prosedur pelayanan dan pe nanganan korban tindak kekerasan terhadap perem puan dan anak oleh U PPA yang melalui berbagai macam tingkatan birokrasi serta menggunakan berb agai prasyarat kelengkapan membuka peluang pem erasan dan kualitas layanan. Para korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami berbagai hambatan untuk dapat mengakses hukum seperti kesulitan un tuk melaporkan kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak hukum. 4. Keterbatasan Personil; Unit PPA yang menuntut Polwan sebagai ujung tombaknya menghadapi ken dala untuk mencapai jumlah yang ideal. Tahun 2007, secara keseluruhan jumlah anggota Polwan baru mencapai 3,25% atau 11.706 orang dari 360.381 personil Polri. Jadi masih sangat kecil dari jumlah yang ideal yaitu sekitar 30%. Pada setiap perekrutan Polwan tingkat bintara, kuotanya baru mencapai 500 orang, sedangkan untuk polisi laki-laki sekitar 16.000 calon per tahun. Dari tahun ke tahun, persentase jumlah Polwan tidak banyak mengalami kemajuan, padahal jumlah perempuan yang membutuhkan layanan polisi cukup besar. Selama ini tugas Polwan hanya sebatas bertanggung jawab pada masalah ad ministratif dan tentunya peran ini harus mengalami perubahan mengingat semakin besarnya pekerjaan yang menuntut peran Polwan yang lebih luas.
Gender Mainstreaming di Kepolisian
Bagaimana Program Gender Mainstreaming di Negara Lain? Women’s Police Station (WPS) di Brazil Kepolisian Brazil membentuk WPS seiring dengan transformasi pemahaman masyarakatnya pada tahun 1980-an tentang ke kerasan terhadap perempuan terutama di ranah rumah tangga. Saat itu, perempuan-perempuan Brazil berjuang mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka masuk secara intensif ke dunia ekonomi dan politik seraya membentuk beragam organi sasi. Setelah pemilu 1982 yang dimenangkan oleh oposan pemerintah militer yang diktator, organisasi-organisasi perem puan merapat ke dalam barisan pemerintahan baru. Hasilnya antara lain pembentukan WPS pada tahun 1985. WPS didirikan dengan tujuan: PERTAMA; mengatasi persoa lan gender yang terdapat di kepolisian. KEDUA; menyediakan lingkungan yang nyaman bagi perempuan dalam mengadukan persoalan-persoalan mereka seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pelecehan seksual. KETIGA; memberikan dukungan psikologis, sosial dan yudisial kepada perempuan dalam menghadapi persoalan-persoalan tersebut. Setelah dirubah menjadi divisi khusus dalam kepolisian Brazil, WPS mengatasi persoalan-persoalan gender dengan pendeka tan psikologis, resolusi konflik dan hukum. Staf-staf WPS yang semuanya perempuan mendengarkan keluhan klien secara empatik sambil memberikan masukan dan dukungan untuk menguatkan kondisi psikis. Pada kasus tertentu WPS memedi asi klien yang berseteru secara kekeluargaan. Jika kasus yang dihadapi terkait dengan pidana seperti terjadinya kekerasan fisik, maka WPS akan mengusut kasus itu secara hukum dan membawa klien ke instansi kesehatan.
Family Support Unit (FSU) di Sierra Leone Human Rights Watch mencatat bahwa pada tahun 1998 hingga 2000, 70% perempuan Sierra Leon pernah dipukul oleh lelaki pasangannya dan 50% dari mereka pernah dipaksa melaku kan hubungan seksual. Pada saat perang berkecamuk, mereka diculik, dieksploitasi, diperkosa, dimutilasi dan disakiti. Setelah perang selesai pada tahun 2001, perempuan-perem puan yang masih bertahan hidup membutuhkan polisi untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami. Mereka juga me merlukan tempat yang aman, pelayanan medis, psikologis dan yuridis. Namun kepolisian tidak dapat memberikan pelayanan yang diharapkan. Oleh karenanya, pemerintah membentuk
Family Support Unit (FSU) untuk mengatasi kekerasan ber basis gender dan kekerasan terhadap anak dengan dukungan dari UNICEF, International Rescue Committee, Cooperazione Internationale dan GOAL. Resultannya, terbentuk FSU di kantor-kantor kepolisian lokal, para pelaku KDRT dan kekerasan terhadap anak dipenjara, dan para polisi serta pekerja sosial dilatih dengan beragam ma teri yang terkait dengan gender, HAM, komunikasi, investigasi dan pendataan. Di setiap RPK, disediakan pelayanan berupa (1) pelatihan kemampuan menangani perempuan korban kekerasan, (2) dukungan finansial perempuan tunawisma akibat KDRT, (3) kampanye penyadaran dan pendorong perempuan untuk mela porkan kasus KDRT yang dialami, dan (4) hotline pertolongan untuk perempuan.
Apa Peran Masyarakat Sipil Dalam Mendorong Gender Mainstreaming di Polri? Pengembangan program Gender Mainstreaming di Polri dalam pembentukan Unit Pelayanan Perem puan dan Anak (Unit PPA) yang dulunya disebut Ruang Pelayanan Khusus (RPK) didorong oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil, di antaranya LBPP Derap Warapsari. LBPP Derap Warapsari didirikan oleh beberapa pensiunan Polisi Wanita (Polwan) bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lem diklat) Mabes Polri. Visi Derap WIRAPSARI adalah melindungi hak perempuan dan anak-anak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, ber bangsa, dan bernegara. Sedangkan misinya adalah: PERTAMA; sebagai jembatan penghubung antara masyarakat dan Polri dalam masalah kekerasan terhadap perempuan/ anak-anak, dengan jalan membentuk jaringan kerjasama antara lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah (NGO). KEDUA; mendorong Polri untuk lebih member dayakan Polwan dalam hal penanganan masalah perempuan dan anak-anak. KETIGA; memberikan bantuan kepada perempuan dan anak-anak yang mengalami masalah kekerasan/pelecehan. Dalam menjalankan program-program sebagai implementasi dari visi misinya, Derap Warapsari menjalin koalisi dengan beberapa OMS/ LSM yang yang mengkhususkan diri pada isu-isu perlindung
Gender Mainstreaming di Kepolisian an perempuan dan anak, diantaranya SIKAP (Soli daritas Aksi Korban Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan), LBH APIK, Pusat Kesehatan Wanita Atmajaya, Kalyanamitra, Mitra Perempuan, dan SPEAK (Serikat Perempuan Anti Kekerasan). Upaya pemantauan penegakan proses penegakan hukum juga dilakukan oleh Derap Warapsari bersa ma-sama dengan LBH APIK, Komnas Perempuan, dan Pusat Kajian Wanita dan Jender (PKWJ) UI. Pada awal pembentukan RPK ini, masing-masing OMS melakukan advokasi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, yaitu:
uji coba RPK dapat diambil EMPAT kesimpulan. PERTAMA; Polres dan OMS/ Crisis Center men dukung terbentuknya RPK. KEDUA; harus ada sistem atau prosedur penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak secara terpadu yang saat ini masih beragam di berbagai wilayah. KETI GA; adanya kendala dalam bidang organisasi harus dapat diatasi. KEEMPAT; perlu adanya OMS atau Polwan pendamping untuk dapat menenangkan dan memberdayakan korban dengan cara yang sesuai dengan perundang-undangan yang ada, terutama pada berbagai kasus yang sulit dibuktikan.
1. Fungsi pemantauan peradilan dan proses hu kum, dilakukan oleh Derap Warapsari; 2. Fungsi riset dan studi tentang perlindungan hu kum hak-hak kaum perempuan dan anak-anak dilakukan, oleh PKWJ UI; 3. Fungsi lobi dan pendekatan pada institusi ke polisian untuk mendapatkan dukungan, dilaku kan oleh Derap Warapsari; 4. Fungsi pengadaan pelatihan bagi para perwira, yaitu pelatihan penanggulangan trafficking, di lakukan oleh International Organization for Migration (IOM). Selain fungsi pengadaan pelatihan, IOM juga memberikan bantuan fasilitas berupa seperangkat komputer, 5. Fungsi sosialisasi RPK, seperti seminar, FGD dengan melibatkan masyarakat setempat, dis kusi, dan penyebaran hasil penelitian, dilakukan oleh lembaga-lembaga donor, seperti Partnership for Governance Reform (PGRI), Pemerintah Den mark, CIDA, dan The Asia Foundation (TAF).
Tentunya masih banyak kendala yang ada pada pembetukan dan pelaksanaan RPK ini, dan ber bagai advokasi OMS masih terus dilakukan agar proses penguatan gender dapat berjalan dengan baik.
Setelah kurang lebih enam bulan pelaksanaan RPK, diadakan evaluasi dan analisa mengenai keberadaan nya. Dalam evaluasi tersebut, diundang pula sejumlah OMS sebagai bagian dari masyarakat yang memantau perkembangan RPK. Dari pemaparan analisa dan
Sumber
• Irawati Harsono, Jejak Langkah Ruang Pelayanan Khsusus, LBPP Derap Warapsari, 2004 • Adrianus Meliala (ed), Wanita Berseragam, Sebuah Kajian Dalam Rangka Meningkat Jumlah dan Peranan Polisi Wanita, Kemitraan, 2006 • Tara Denham, Police Reform and Gender, DCAF, OSCE/ODIHR, UN-INSTRAW, 2008. • Mufti Makaarim A & Sri Yunanto (Ed.), Efektivitas Strategi Organi sasi Masyarakat Sipil Dalam Advokasi Reformasi Sektor Keaman an di Indonesia 1998 – 2006, IDSPS, 2008 • Report of the SC of the Policies and Activities of the Special Agencies and Other Bodies of the UN System, Mainstreaming the Gender Perspective into All Policies and Program of the UN System, 1997
Gagasan Pengarusutamaan Gender juga berlang sung di lingkungan militer melalui implementa si UN Security Council Resolution No 1325 tentang “Women, Peace and Security” ke dalam angkatan ber senjata. Swedia berupaya membuat prajurit dan komandan angkatan bersenjata mereka peduli dan bertanggungjawab pada isu gender. Upaya ini didukung oleh pakar dan penasehat gender, me nyediakan fasilitas dan melakukan monitoring, juga memberikan training UN SCR No 1325 dan gender. Pelatihan/pendidikan juga diselenggarakan di setiap sekolah militer di tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Penyerapan gagasan ini juga terjadi di Indonesia, dimana TNI telah mendapat latihan dari PBB. Na mun pengintegrasian program Pengarusutamaan Gender ke dalam institusi TNI nampaknya belum terjadi.
Info Lebih Lanjut
Jubb, N. and Izumino, W.P., ‘Women and Policing in Latin America: A revised Background Paper’, (Latin American Studies Association: Texas), 27-29 March 2003. • http://www.nevusp.org/downloads/down085.pdf • http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func =download&pathext=ContentExpress/KPP/Evaluasi%20Gender/ &view=Evaluasi %20Pelaksanaan%20PUG%20di%209%20Sekt or.doc. • http://www.korantempo.com/news/2004/3/24/Gaya%20Hidup/60. html • http://www.unescap.org/esid/GAD/Publication/Gender-Mainstreaming.PDF • http://www.un.org/womenwatch/osagi/gendermainstreaming.htm
Gender Mainstreaming di Kepolisian
Sekretariat : Jl. Teluk Peleng B-32, Komplek TNI AL Rawa Bambu Pasar Minggu Jakarta Selatan Indonesia 12520 Telp/Fax : 62-21-7804191 Website: http://www.idsps.org Email :
[email protected].
Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS), didirikan pertengahan
tahun 2006 oleh beberapa aktivis dan akademisi yang memiliki perhatian terhadap advokasi Reformasi Sektor Keamanan (Security Sectors Reform) dalam bingkai penguatan transisi demokrasi di Indonesia paska 1998. Lembaga ini bekerjasama dengan komunitas dan kelompok masyarakat sipil yang didedikasikan bagi tumbuhnya satu pemerintahan dan negara yang demokratis serta berperannya masyarakat sipil dalam berbagai kebijakan dan pendekatan di sektor keamanan. IDSPS melakukan kajian kebijakan pertahanan-keamanan, resolusi konflik dan hak asasi manusia (policy research); Mengembangkan dialog antara berbagai stake holders (masyarakat sipil, pemerintah, legislatif dan institusi lainnya) terkait dengan kebijakan dan tema-tema di sektor keamanan; Serta melakukan advokasi kebijakan dan tekanan kebijakan untuk mengakselerasi proses reformasi sektor keamanan, memperkuat peran serta masyarakat sipil dan mendorong penyelesaian konflik dan pelanggaran hukum secara bermar tabat.
Backgrounder IDSPS
Topik 10 Serial Backgrounder
Bidang Reformasi Sektor Keamanan
Sudah Tersedia
Penjelasan Singkat (Backgrounder) IDSPS meru pakan perkenalan singkat tentang isu-isu tata peme rintahan dan reformasi sektor keamanan. 10 serial ini dirancang untuk digunakan oleh kalangan ma syarakat sipil. Redaksi Penjelasan Singkat (Backgrounder) juga menerima saran dan kritik yang dapat dialamatkan sekretariat IDSPS atau melalui email di
[email protected]. Editor 10 serial Penjelasan Singkat (Backgrounder) ini adalah Mufti Makaarim A dan S. Yunanto. Buk let latar belakang juga tersedia dalam format Adobe Acrobat pdf dan dapat diakses di www.idsps.org. Topik-topik Backgrounder lainnya juga disediakan oleh Geneva Center for the Democrativc Control of Armed Forces (DCAF) melalui www.dcaf.ch/publication/ backgrounder.cfm
• • • • • • •
Pemisahan dan Peran TNI – Polri Peran DPR dalam Reformasi Sektor Keamanan Kebebasan Informasi Dan Aktor Keamanan Reformasi TNI Reformasi Intelijen di Indonesia Reformasi Kepolisian Republik Indonesia Gender Mainstreaming di Kepolisian
Yang Akan Terbit
• • •
Keamanan Nasional Bisnis Militer Otonomi Daerah dan Aktor Keamanan
TELAH TERBIT !!! Untuk mendapatkan hubungi IDSPS via Meirani (021) 780 4191