Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Geologi Regional Lapangan X Ditinjau dari geologinya, Lapangan minyak ini terletak di bagian timur Cekungan Barito yang merupakan salah satu Cekungan terbesar di Kalimantan. Secara geografis terletak dipropinsi Kalimantan selatan. Bagian barat dibatasi oleh inti Kontinen Sunda yang sering dikenal sebagai perisai Sunda yang terdiri dari batuan Pra-Tersier yang secara tektonik sudah stabil sejak era Mesozoikum. Selatan terpisah dari Cekungan East Java Sea. Timur dipisahkan oleh Cekungan Asemasem dan Cekungan Pasir dari pegunungan Meratus sebagai akibat deformasi muda yang terdiri dari perlipatan dan pensesaran kuat batuan. Bagian utara, batuan Pra-Tersier dari pegunungan Meratus semakin melebar kearah Barat membentuk rangkaian pegunungan yang berarah Utara-Selatan yang memisahkan Cekungan Barito dari Cekungan Kutai dibagian utara. Ini terlihat dari Gambar II.1 yang merupakan peta Lapangan X di Kalimantan.
X AREA
Gambar II.1 Peta lokasi Lapangan X
4
Cekungan Barito yang meliputi area seluas 70.000 km2 berisi batupasir berumur Tersier. Secara tektonik, sedimentasi di Cekungan Barito merupakan komplit suksesi dari siklus trangresi dan regresi dengan sedikit pengaruh naik dan turunnya muka air laut dari waktu ke waktu. Secara umum sedimentasi dimulai dengan proses rifting yang terjadi pada kapur akhir sampai Paleosen dimana pada daerah topografi rendah dibatuan sedimen Tersier yang tertua yaitu Formasi A yang terdiri dari batupasir, serpih, konglomerat dan lapisan tipis batubara diendapkan di lingkungan fluvial sampai delta dengan peningkatan pengaruh laut pada lapisan yang lebih muda. Pada kala Oligosen sampai Miosen awal Cekungan sangat stabil dalam lingkungan laut dangkal. Kondisi ini sangat baik untuk mengendapkan batu gamping dari formasi Berai yang dicirikan oleh facies paparan dengan sedikit terumbu yang tumbuh secara lokal pada daerah tinggian yang memanjang pada tepi timur dari paparan Paster Noster sampai hampir dekat dengan Sundaland craton di bagian barat dan bagian selatan dari tinggian Paster Noster kearah selatan menuju laut Jawa. Pada akhir kala Miosen pengangkatan menghasilkan penurunan dari blok Meratus yang mengakibatkan isolasi dari Cekungan Barito terhadap lautan terbuka di bagian timurnya. Penurunan yang cepat disertai dengan pengangkatan dibagian barat menyebabkan proses erosi pada perisai. Proses erosi ini menghasilkan bahan-bahan yang diperlukan untuk mengendapkan lapisan tebal dari endapan transisi Formasi Dahor kedalam Cekungan. Orogenesa pada Plio-Plistosen menghasilkan pergerakan kearah barat yang kuat dari blok meratus, melipat dan mensesarkan batuan-batuan sedimen didalam Cekungan membentuk rangkaian perlipatan yang ketat yang kemungkinannya dikontrol oleh geometri dari batuan dasarnya. Berdasarkan dari korelasi sekuen stratigrafi Lapangan X, diperoleh 6 zona reservoir dengan urutan dari tua kemuda yaitu:
5
1. Zona A Zona A merupakan zona produktif utama di Lapangan X dengan original oil in place (OOIP) sebesar 195 juta barrel. Zona A (dikenal sebagai interval A-Sand menurut JOB Pertamina BV) mewakili unit reservoir paling dalam di atas batuan dasar yang berupa batuan volkanik dan batuan metamorf berumur Pre-Tersier. Data batuan unit A didapatkan dari 6 sumur yaitu sumur T-90, T-91, T-104, T105, T-16, dan T-107. Sedangkan untuk penampang korelasi, kedalaman top zona A memiliki perbedaan yang cukup jauh antar satu sumur dengan sumur lainnya di Lapangan X yang diperkirakan merupakan manivestasi dari struktur perlipatan yang terbentuk pada kala Neogen. Variasi kedalaman ini diperkirakan juga berlaku pada zona-zona reservoir yang lebih muda (diatas zona A) karena struktur perlipatan melibatkan semua interval batuan di Formasi Lapangan X. Dari beberapa penampang korelasi juga diketahui bahwa ketebalan zona A bervariasi. Hal ini diperkirakan akibat variasi ruang akomodasi pada saat pengendapan unit A yang merefleksikan paleomorfologi batuan dasar pada saat unit A diendapkan. Zona A dibatasi oleh Marker A1 (sebagai flooding Surface/FS) pada bagian atas dan Marker RB (sebagai Sequence Boundary/SB) pada bagian bawah. Studi korelasi sekuen di dalam zona A sulit dilakukan, hal ini diperkirakan akibat: (a)
Jarang hadirnya fasies kaya lempung yang biasa digunakan untuk korelasi karena dapat dikenali dengan mudah dari meningkatnya respons log Gamma Ray/GR.
(b)
Fasies batupasir dan konglomerat secara komposisi hampir sama, dan sekuen menghalus keatas yang didapatkan dari data batuan sangat buruk, sehingga sulit untuk mengenali pola menghalus atau mengkasar keatas dari log GR.
(c)
Lapisan konglomerat dicirikan oleh meningkatnya respons log GR, sehingga sekuan menghalus keatas di dalam zona A dikenali dari berkurangnya respon log GR. Hal ini kontras dengan kondisi normal.
6
Berdasarkan deskripsi fasies litologi dan urutan vertikalnya, sedimen pada zona A diendapkan pada lingkungan braided river system sebagai endapan kipas aluvial (Lemigas Sedimentology Report, Juni 1994). 2. Zona B Zona B merupakan zona yang terdiri dari volcanic litharenit, volcanic pebble dominated conglomerates dengan sedikit fasies feldspathic litharenit sandstones (Lemigas Sedimentology Report, Juni 1994). Interval yang produktif dari zona B terletak pada bagian dasar dari zona B, dimana interval tersebut menurut laporan JOB Pertamina BV dikenal sebagai interval B-Sand. Berdasarkan analisa petrofisik, zona ini diperkirakan menghasilkan OOIP sebesar 62 juta barrel. Data batuan unit B didapatkan dari 5 sumur yaitu sumur T-91, T-104, T-105, T16, dan T-107, akan tetapi tidak ada data batuan yang merekam seluruh interval Zona B. Berdasarkan korelasi stratigrafi, ketebalan unit B berkisar antara 26.66 m (sumur T-105) hingga 70.60 m (sumur T-19R). Secara umum, zona B memiliki kesamaan dengan zona A. Penampang korelasi menunjukkan bahwa ketebalan zona B relatif lebih seragam dibandingkan dengan variasi ketebalan interval zona A. Hal ini menunjukkan pengendapan unit B terjadi secara regional di seluruh Lapangan X. Zona B dibatasi oleh Marker B1 (sebagai FS) pada bagian atas dan A1 (sebagai FS) pada bagian bawah. 3. Zona Dc Zona Dc merupakan zona produktif di Lapangan X dengan perkiraan OOIP sebesar 117 juta barrel. Dan dikenal sebagai interval C-sand menurut JOB Pertamina BV. Interval ini diendapkan secara tidak selaras pada fase post rift, terdiri dari batupasir berukuran butir sedang hingga kasar dan konglomerat yang didominasi butiran berukuran kerikil. Data batuan unit Dc didapatkan dari 4 sumur yaitu sumur T-90, T-104, T-105, dan T-106.
7
Material vulkanik yang kaya unsur radioaktif yang mempengaruhi pembacaan log GR di zona Dc dan zona-zona yang lebih muda (diatas zona Dc) diperkirakan sudah tidak hadir, sehingga interpretasi litologi dapat dilakukan berdasarkan log GR. Interval Dc didominasi oleh fasies batupasir kuarsa berukuran butir halus hingga kasar yang diendapkan pada lingkungan meandering fluvial systems, baik sebagai endapan channel, maupun endapan overbank (Lemigas Sedimentology Report, Juni 1994). 4. Zona D Zona D merupakan zona produktif dengan perkiraan hasil OOIP sebesar 117.5 juta barrel. Interval zona D di beberapa tempat diperkirakan diendapkan secara tidak selaras diatas zona Dc pada fase post rift, terdiri dari batupasir berukuran butir sedang hingga kasar dan konglomerat yang didominasi butiran berukuran kerikil. Juga terdapat batulempung dan batulanau. Data batuan unit D didapatkan dari 4 sumur yaitu sumur T-90, T-104, T-105, dan T-106, akan tetapi secara umum interval zona D tidak terekam dengan baik. Berdasarkan korelasi stratigrafi, variasi ketebalan unit D berkisar antara 22.90 m (sumur T-078) hingga 49.10 m (sumur T-026). Interval reservoar zona D dibatasi oleh Marker D (FS) di bagian atas dan Marker Dc (SB) di bagian bawah, dikenal sebagai interval D-sand menurut JOB Pertamina BV. Interval ini didominasi oleh fasies batupasir kuarsa berukuran butir halus hingga kasar yang diendapkan pada lingkungan meandering fluvial systems, baik sebagai endapan channel, maupun endapan overbank (Lemigas Sedimentology Report, Juni 1994). 5. Zona E Zona E diendapkan secara tidak selaras diatas batuan beku berupa dolerit pada fase post rift. Kusuma dan Darin (1989) memperkirakan bahwa dolerit merupakan hasil vulkanisme paling akhir pada fase post rift yang membentuk aliran ekstrusi. Dolerit diendapkan secara tidak selaras diatas zona lapisan batubara. Dolerit setebal 22.72 (T-087) hingga 48.37 m (T-039) terhampar luas di Lapangan X, konvergen dengan lapisan batuan sedimen di atas dan di bawahnya.
8
Dari beberapa penampang stratigrafi berarah utara-selatan didapatkan bahwa dolerit tidak menerus secara lateral ke arah selatan dan utara. Sedangkan dari penampang-penampang stratigrafi berarah barat-timur, dolerit hanya muncul di bagian barat, tidak menerus ke arah timur. Zona E terdiri dari perlapisan batulempung, batulanau, dan batupasir, berumur Eosen Tengah hingga Eosen Akhir (Kusuma dan Darin, 1989). Zona E mewakili zona produktif yang paling muda dari Formasi X. Zona E dibatasi pada bagian atas oleh Marker E (sebagai Maximum Flooding Surface/MFS) dan di bagian bawah oleh Marker DOL (SB). Berdasarkan analisis petrofisik, zona E diperkirakan menghasilkan OOIP sebesar 49.8 juta barrel. 6. Zona F Zona F diendapkan secara selaras diatas zona E sebagai endapan highstand system tract diatas MFS (Marker E). Tidak terdapat data batuan yang menembus zona F, namun dari data log diperkirakan zona F didominasi oleh batulempung dan batulanau dengan sisipan batupasir dan batugamping setebal 2 – 3 meter. OOIP dari zona ini cukup kecil yaitu sekitar 9.4 juta barrel. Zona F dibatasi pada bagian atas oleh Marker F sebagai FS, di bagian bawah dibatasi oleh Marker E (MFS), yang dikenali dengan baik pada semua sumur di Lapangan X untuk digunakan sebagai datum penampang stratigrafi.
II.2 Injeksi Kimia Injeksi kimia merupakan salah satu metode Enhanced oil recovery yang menggunakan polimer, surfaktan dan alkalin. Pada injeksi ini dibantu oleh air yang dilarutkan ke dalam reservoir, sehingga berpengaruh pada tegangan permukaan (IFT) ataupun mobilitas minyak-air. Dengan demikian, minyak yang terdapat di reservoir akan tersapu keluar. Sistem kimia, biasanya disebut sebagi micellar atau larutan microemulsion, yang berisi komponen sebagai berikut: surfaktan, cosurfactant (yang kemungkinan alkohol atau surfaktan lain), hidrokarbon, air, dan elektrolit.
9
II.2.1 Injeksi Polimer Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas injeksi air adalah dengan penambahan polimer sebelum diinjeksikan ke reservoir. Injeksi polimer merupakan penyempurnaan dari injeksi air. Pada proses injeksi ini sangat diperhatikan ke heterogenitas reservoir dan perbandingan mobilitas fluidanya. Namun juga perlu dilihat pengaruh kondisi reservoirnya. Tujuan lainnya dari pendesakan polimer ini adalah membuat efisiensi penyapuan lebih baik, dengan menurunkan perbandingan mobilitas. Injeksi polimer (Polimer Flooding) termasuk kedalam injeksi tak tercampur (Immiscible Flooding) dan secara makro berfungsi sebagai larutan yang dapat meningkatkan efisiensi pendorongan minyak. Sedangkan struktur mikroskopik dari reservoir tidak berubah (tegangan permukaan minyak-air). Dari Gambar II.2 dapat dilihat urutannya: 1.
Air tawar sebagai Pre-fush didepan front Polimer
2.
Larutan polimer sebagai pengatur mobilitas air injeksi.
3.
Air tawar sebagai lapisan penyangga (buffer)
4.
Fluida pendorong injeksi, dalam hal ini digunakan air.
Gambar II.2 Mekanisme proses Injeksi Surfaktan-Polimer(3)
10
Penambahan konsentrasi polimer pada setiap selang injeksi berbeda-beda bergantung pada kondisi pendesakan, serta karakteristik dari reservoir beserta tipe minyaknya. Adapun dasar screening dari injeksi polimer itu sendiri adalah: 1.
Temperatur reservoir, dimana dengan temperatur yang tinggi akan menurunkan tingkat kestabilan dari polimer, terutama jika terdapat O2 yang terlarut, logam dan unsur lainnya.
2.
Viskositas minyak, dimana pada proses injeksi polimer ini membutuhkan sejumlah besar polimer agar minyak yang kental tersebut bisa terdesak. Sehingga hal ini menyebabkan ketidak ekonomisan penggunaannya.
3.
Saturasi minyak (%PV), ini masih bisa dipertimbangkan dalam segi ekonomisnya.
4.
Average Permeability, dimana
jika permeabilitas rendah akan
mengakibatkan membesarnya degradasi mekanis dan bisa mengalami penyumbatan. 5.
Jenis batuan, dimana absorbsi polimer yang paling besar ada di batu gamping dan adanya vuggy atau fracture bisa menyebabkan polimer loss.
6.
Saturasi air awal mendekati Swc, maka bank air yang terbentuk pada didepan bank polimer akan kecil.
7.
Kedalaman reservoir yang rendah akan dipengaruhi tekanan injeksi sedangkan kedalaman yang tinggi akan dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas yang tinggi.
8.
Heterogenitas batuan, dengan tingkat ke heterogenitas yang berada ditengah antara dangkal dan dalam maka injeksi polimer akan memperbaiki distribusi permeabilitas.
II.2.1.1 Jenis Polimer yang digunakan untuk Injeksi Adapun
jenis
polimer
yang
umum
digunakan
untuk
injeksi
guna
penambahan/peningkatan oil recovery adalah Xanthan gum dan polyacrylamide. Yang keduanya merupakan polimer yang larut air. Berikut penjelasan dari keduanya: •
Xanthan Gum, dikenal juga dengan Biopolimer atau polysaccharide yang dihasilkan dari mikro organisme Xanthomonas Compestris, dengan
11
melalui proses fermentasi pada media karbohidrat yang mendapatkan persediaan protein dan energi gas nitrogen. Xanthan gum ini memiliki sifat dapat menaikkan viskositas. Dengan adanya sedikit Sodium chloride akan menurunkan viskositas larutan xanthan gum yang berkonsentrasi rendah. Konsentrasi yang lebih besar akan dapat membuat xanthan gum lebih toleran terhadap garam. Namun degradasi viskositas dari xanthan gum sangat bergantung pada temperatur dan salinitas. Xanthan gum lebih stabil dalam air yang mengandung multivalen tinggi (hard water) daripada dalam air yang mengandung multivalent rendah (salt water). •
Polyacrylamide, merupakan polimer yang dibuat dari mekanisme radikal bebas dan merupakan polimer sintesis. Adapun strukturnya berupa:
Gambar II.3. Struktur polimer polyacrylamide(8) Polimer ini dapat mengalami degradasi mekanis dan kimia. Degradasi mekanis timbul karena adanya tegangan yang sangat besar pada rantai molekul selama pengaliran. Sedangkan untuk degradasi kimia disebabkan oleh adanya oksigen yang terlarut. Namun, oksigen sebenarnya tidak menyebabkan degradasi, tapi karena adanya reduktor yang merubah oksigen menjadi larutan yang memiliki radikal bebas. Degradasi Partially hydrolized polyacrylamide (PHPAM) yang ionik dipengaruhi kegaraman. Semakin tinggi kegaraman, semakin banyak gugus bermuatan PHPAM yang ternetralisir dan menyebabkan ukuran molekul mengecil.
12
II.2.1.2 Interaksi Polimer dengan Batuan Permeabilitas efektif
memiliki aliran air di media berpori lebih besar
dibandingkan dengan permeabilitas efektif aliran polimer. Apabila batuan yang dialiri air kemudian dialiri polimer akan memiliki permeabilitas efektif lebih kecil jika dibandingkan sebelum dialiri polimer, ini berarti bahwa polimer dapat merubah karakteristik batuan tersebut. Perubahan ini disebabkan adanya molekul-molekul polimer yang tertahan didalam batuan (media berpori), yaitu: melekatnya molekul polimer (adsorbsi polimer), terperangkapnya molekul polimer secara mekanis dan interaksi matriks polimer dan antar molekul polimer. Kedua hal ini penyebab terjadinya penurunan permeabilitas efektif dan ada satu lagi penyebabnya yaitu adanya pori-pori yang tidak dapat dilalui molekul-molekul polimer akibat ukuran yang terlalu kecil yang disebut inaccessible pore volume. Dalam penerapannya injeksi polimer seringkali dilakukan bersama-sama dengan injeksi surfaktan. Kombinasi ini ditujukan untuk lebih meningkatkan perolehan minyak dari pada injeksi masing-masing jenis. Pendesakan bersama-sama ini bertujuan agar diperoleh keefektifan suatu sistem pendesakan.
II.2.1.3 Absorbsi Polimer Adsorbsi polimer adalah melekatnya molekul-molekul polimer pada permukaan (dinding) media alirnya. Tidak semua bagian dari molekul polimer akan melekat pada permukaan media alir. Hanya satu bagian saja yang akan melekat pada permukaan media alir, sedangkan bagian lainnya tetap berada dalam larutan. Oleh karena itu, kemungkinan adanya terjadi interaksi antar molekul polimer yang teradsorbsi dengan molekul polimer dalam larutan yang mengalir. Interaksi antar molekul ini berupa saling melekatnya (entanglement) molekul polimer yang satu dengan lainnya. Pelekatan ini akan memperbesar tahanan dari fluida untuk mengalir. Tetapi ikatan ini tidaklah kuat, sehingga bila ke dalam media berporinya dialirkan air kembali, maka ikatan tersebut akan lepas.
13
Menurut Thomas, molekul-molekul polimer yang teradsorbsi akan membentuk lapisan tunggal, yakni lapisan yang mempunyai ketebalan satu molekul. Ketebalan lapisan tunggal ini lebih kecil dibandingkan ukuran molekul polimer dalam larutan. Besarnya perbedaan ukuran molekul yang teradsorbsi dengan yang berada dalam larutan dipengaruhi oleh derajat kekakuan (rigidity) dari molekulnya. Untuk polimer PHPAM, misalnya ukuran molekul dalam larutan 0,5 µm dan ketebalan adsorbsinya 0,3 µm. Sedangkan untuk polysacharide, molekulnya lebih kaku, ukuran molekul dalam larutan 0,3 µm dan ketebalan lapisan adsorbsinya adalah 0,25 µm. Hal ini menunjukkan bahwa polimer yang kaku akan mengalami kompaksi lebih kecil dibanding polimer yang kurang kaku. Ketebalan lapisan adsorbsi tidak banyak dipengaruhi laju air. Jumlah polimer yang teradsorbsi (derajat adsorbsi) dipengaruhi oleh sifat fisikakimia dari polimer dan permukaan media berporinya. Derajat adsorbsi biasanya dinyatakan dalam berat polimer tiap satuan luas permukaan media berpori atau dalam berat polimer tiap satuan berat media berpori. Sifat fisik dari permukaan media berpori yang berpengaruh terhadap adsorbsi adalah luas permukaannya. Semakin besar luas permukaannya, menyebabkan membesarnya derajat adsorbsi. Sebenarnya, luas permukaan tidak menyebabkan membesarnya derajat adsorbsi, tetapi hanya memperbesar kapasitas adsorbsi dari media berporinya. Pengaruh luas permukaan tidak bisa dipisahkan dari konsentrasi. Pada Gambar II.4 menunjukkan pengaruh konsentrasi terhadap adsorbsi. Kenaikan konsentrasi lebih lanjut hanya menyebabkan sedikit kenaikan pada harga derajat adsorbsinya, hingga pada suatu saat derajat adsorbsi tidak dipengaruhi lagi oleh konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas adsorbsi dari media berporinya sudah dilampaui.
Semakin besar luas permukaannya
semakin besar pula kapasitas adsorbsinya. Pengaruh konsentrasi dan luas permukaan terhadap derajat adsorbsi saling berhubungan; selama kapasitas adsorbsinya belum terlewati, membesarnya konsentrasi akan menyebabkan kenaikan derajat adsorbsi.
14
Gambar II.4. Pengaruh konsentrasi terhadap derajat adsorbsi(12) Sifat fisik polimer yang mempengaruhi biasanya derajat adsorbsi adalah berat dan ukuran molekulnya sama, polimer yang lebih berat akan mempunyai derajat adsorbsi yang lebih besar. Apabila beratnya sama, polimer yang ukuran molekulnya lebih besar akan mempunyai derajat adsorbsi yang lebih kecil.
II.2.1.4 Screening Polimer Untuk kriteria teknis injeksi polimer secara umum (SPE 39234) adalah: o Gravity, API > 15 o Viscosity, cp < 150 (preferably < 100 dan > 10) o Composition: Not Critical o Oil Saturation, %PV > 50 o Type of formation: Sandstone preferred but can be used in carbonates o Net Thickness, ft: Not Critical o Average permeability, mD > 10 o Depth, ft < 9000 (see Temperature) o Temperature, OF < 200 Sedangkan konsentrasi polimer yang digunakan umumnya adalah antara 250 hingga 2000 mg/L, yang membutuhkan 25 hingga 60% reservoir PV.
15
II.2.1.5 Parameter aliran Parameter aliran ini digunakan untuk mengetahui pengaruh polimer dalam menurunkan mobilitas air maka selain mobilitas, perlu dilihat juga beberapa parameter aliran yang terlibat yaitu: viskositas, dan faktor penurunan permeabilitas.
II.2.1.6 Viskositas Viskositas merupakan kemampuan suatu fluida untuk mengalir. Fluida yang memiliki viskositas besar akan sukar mengalir jika dibandingkan dengan viskositas kecil. Ukuran molekul polimer dipengaruhi oleh: berat molekul polimer, jenis pelarut dan kadar garam. Makin besar konsentrasi polimer dalam larutan, makin besar viskositas larutan polimer. Viskositas larutan polimer dapat diukur dengan viskometer kapiler dan dapat ditentukan dengan hubungan sebagai berikut:
µ p = µ w (t p / tw )
(1)
dimana:
µp
= viskositas larutan polimer
µw
= viskositas air
tw
= waktu alir air
tp
= waktu alir larutan polimer
20
VISCO SITY, CP AT 10 /SEC
17 PUSHER = 700 200 ppm NaCl
14 11 8 5 2 0
500
1000
1500
2000
2500
POLYMER CONCENTRATION, PPM
Gambar II.5. Viskositas terhadap konsentrasi polimer (10)
16
Viskositas larutan polimer bergantung pada beberapa faktor; ukuran, bentuk, konsentrasi larutan polimer, sifat hydrophilic (suka akan air), dan interaksi molekul-molekul dengan pelarut. Viskositas akan meningkat seiring dengan naiknya ukuran polimer dan konsentrasinya yang dapat dilihat pada Gambar II.8.
II.2.1.7 Mobilitas
Mobilitas (λ) fluida adalah perbandingan antara permeabilitas efektif fluida dengan viskositasnya, yaitu:
λ =k/µ
.
(2)
dimana: λ
= mobilitas fluida
µ
= viskositas fluida
k
= permeabilitas efektif fluida
Sedangkan mobilitas ratio merupakan perbandingan antara mobilitas fluida pendesak pada saturasi residual fluida yang didesak dengan mobilitas fluida yang didesak pada saturasi residual fluida pendesak. Dengan rumusan:
M w,o =
krw xµo ( λw ) Sor = . kro xµ w ( λo ) S
(3)
wc
dimana: M
= Perbandingan Mobilitas
Sor
= Saturasi Minyak Residual
Swc
= Saturasi air Connate
Jika dilihat dari persamaan (3) diatas, maka penurunan harga perbandingan mobilitas dapat terjadi karena: penurunan mobilitas air, kenaikan mobilitas minyak atau keduanya. Dalam hal ini, penurunan harga perbandingan mobilitas akibat penambahan polimer hanyalah disebabkan penurunan mobilitas air, sedangkan mobilitas minyak tidak atau sedikit saja berubah. Penurunan mobilitas air tersebut disebabkan oleh penurunan permeabilitas efektif dan kenaikan viskositasnya (lihat persamaan (2)).
17
II.2.1.8 Faktor Penurunan Permeabilitas
Untuk berbagai jenis polimer, viskositas dapat diukur dengan viskometer atau aliran dalam media berpori. Faktor penurunan permebilitas, Rk didefinisikan sebagai perbandingan permeabilitas efektif pelarut (air garam) dengan larutan polimer. Faktor penurunan permeabilitas tersebut biasanya dipengaruhi : pertama, faktor resistansi yang merupakan pengurangan mobilitas (perbandingan mobilitas air dengan mobilitas polimer) sebagai berikut: RF =
λw
λp
=
kw µw
kp µp
=
M w− o M p −o
(4)
dimana:
λp
= Mobilitas polimer yang terlarut dalam air, mD/cp
k w ,k p
= Permeabilitas relatif untuk air dan untuk polimer, md
µp
= Viskositas larutan polimer, cp
M w− o , M p − o
= Perbandingan mobilitas air-minyak dan polimer minyak
Parameter RF berpengaruh pada penambahan polimer pada mobilitas air injeksi. Resistance akan meningkat seiring dengan konsentrasi yang semakin besar.
Kedua, faktor resistansi residual RRF yang menyatakan perbandingan antara mobilitas pelarut (brine) sebelum dan sesudah media berpori dialiri larutan polimer. Ini menunjukkan pengaruh dari pengaliran larutan polimer terhadap penurunan permeabilitas efektif air garam. Pada umumnya, harga RF dan RRF hampir sama, tetapi biasanya RF jauh lebih besar dari Rk karena faktor viskositas dan efek penurunan permeabilitas. Namun Rk yang paling sensitif terhadap jenis polimer, berat molekul, derajat hidrolisa, shear rate dan struktur pori-pori media permeabel.
18
II.2.2 Injeksi Surfaktan
Injeksi surfaktan merupakan injeksi yang bisa menurunkan tegangan antar muka dan mendesak minyak yang tidak terdesak hanya dengan menggunakan pendorong air. Sedangkan surfaktan itu sendiri adalah molekul yang mencari tempat diantara dua cairan yang tak dapat bercampur dan punya kemampuan untuk mengubah kondisi. Menurut W. Barney Gogarty bahwa metode peningkatan perolehan menggunakan surfaktan membuat Amerika Serikat berkeinginan menambah persediaan energi mereka. Telah dilakukan uji coba laboratorium dan Lapangan menggunakan konsentrasi rendah dan tinggi, guna perolehan hasil yang optimal dalam oil recovery, oil price dan tax load.
Prinsip kerja dari injeksi surfaktan yaitu dengan penginjeksian surfaktan ke reservoir minyak sehingga minyak akan terpisah dengan air kemudian minyak tersebut didorong dari reservoir ke lubang sumur dengan bantuan polimer. Ojeda et al (1954) mengidentifikasikan parameter-parameter penting yang menentukan kinerja injeksi surfaktan, yaitu: 1. Geometri pori 2. Tegangan antar muka 3. Kebasahan atau sudut kontak. 4. ∆P atau ∆P/L. 5. Karakteristik perpindahan kromatografis surfaktan pada sistem tertentu. Pada dasarnya ada dua konsep yang berbeda dikembangkan untuk menggunakan surfaktan pada peningkatan perolehan minyak. Pada konsep pertama, larutan diisi surfaktan dengan konsentrasi rendah dalam injeksi. Surfaktan akan dilarutkan dalam air atau minyak dan jumlah surfaktan yang setimbang dengan gumpalangumpalan yang diketahui sebagai micelle. Sejumlah besar fluida (sekitar 15-60% PV atau lebih) dari yang diinjeksikan ke reservoir untuk menurunkan tegangan permukaan antara minyak dan air sehingga bisa meningkatkan perolehan minyak.
19
Konsep kedua, surfaktan dengan konsentrasi tinggi yang diinjeksikan ke reservoir dalam jumlah relatif kecil (sekitar 3-20% PV). Dengan konsentrasi surfaktan yang tinggi, micelle menjadi salah satu surfaktan dengan dispersi stabil air. Nomor kapiler saturasi yaitu bilangan yang memprediksi oil recovery (perolehan minyak) dengan injeksi kimia. Bilangan kapiler didefinisikan sebagai: N ca =
k .grad P Viscous forces Cunit = Capillary forces ST
(5)
dimana: k
= Permeabilitas
P
= Potensial
ST
= Tegangan Permukaan
Cunit
= Faktor konversi bergantung pada unit yang digunakan
k.gradP
= dihitung dengan
k .gradP =
(k x .gradPx )2 + (k y .gradPy )2 + (k z .gradPz )2
(6)
Dimana untuk sel i ⎡⎛ k ⎞ ⎤ ⎛k ⎞ k x .gradPx = 0.5⎢⎜⎜ x ⎟⎟ .(Pi − Pi −1 ) + ⎜⎜ x ⎟⎟ .(Pi +1 − Pi )⎥ ⎢⎣⎝ Dx ⎠i −1,i ⎥⎦ ⎝ Dx ⎠i ,i +1
(7)
Dan begitu juga untuk arah y dan z. Nilai k/D dihitung dengan cara yang sama pada transmisibilitas dan bergantung bagaimana spesifikasinya. Kualitas surfaktan ditentukan oleh berat ekuivalen, dimana berat ekuivalen yang sangat besar memiliki resiko besar pula jika dibandingkan dengan yang kecil, dikarenakan sulitnya surfaktan untuk larut dalam air sehingga minyak residual yang tertinggal berupa gelembung-gelembung terpisah. Begitu juga sebaliknya dengan penggunaan surfaktan yang tinggi akan mengakibatkan absorpsi sekalian tidak ekonomis digunakan. Untuk ini dibutuhkan berat ekuivalen optimum agar tidak terjadi hal yang dijelaskan diatas.
20
Slug surfaktan yang digunakan sebaiknya tidak lebih dan tidak juga terlalu sedikit. Untuk ini perlu diadakan uji laboratorium dengan mengambil core dan menentukan volume pori-porinya dan kemudian slug surfaktan dengan % pori volume yang berbeda diinjeksikan pada core tersebut. Maka dapat dihasilkan oil recovery yang tinggi. Ada juga cara lain untuk menentukan slug ini yaitu dengan cara Taylor yang menunjukkan hubungan antara jarak yang ditempuh dengan konsentrasi larutan surfaktan, persamaan diffusi: ∂C ∂ 2C =K 2 ∂t ∂x
(8)
dimana: C = konsentrasi, fraksi volume surfaktan t = waktu pendesakan, detik K = koefisien disfersi, cm2/ detik x = jarak, cm kemudian persamaan diatas solusinya menjadi: ⎡ ⎛ x1 ⎞ ⎤ C = 0,5 ⎢1 − erf ⎜ ⎟⎥ ⎝ 2 KT ⎠ ⎦ ⎣
(9)
dimana: Erf = error function 1⎛ x −x ⎞ K = ⎜ 90 10 ⎟ τ ⎝ 3, 625 ⎠
(10)
dimana: x90 dan x10 =
jarak yang ditempuh surfaktan sejalan dengan injeksi surfaktan yang mencapai 90% dan 10% PV dari titik injeksi.
21
II.2.2.1 Jenis Surfaktan yang digunakan untuk injeksi
Pada penambahan/peningkatan oil recovery jenis surfaktan yang umum digunakan untuk injeksi adalah petroleum sulfonate. Mereka umumnya dihasilkan oleh aromatik sulfonate refinery product, seperti lube oil. Alkylaryl sulfonic acid dihasilkan dengan penambahan alkali yang dinetralisir, umumnya sodium hydroxide. Jadi surfaktan adalah pencampuran komplek dari komponen yang mempunyai struktur yang berbeda, molekul berat, dan derajat sulfonate (fungsi sulfonate per molekul). Jenis molekul berat rata-rata dari 350 hingga melebihi 500. Sejak refinery product berisi komponen polyaromatic, petroleum sulfonate terdiri dari banyaknya water-soluble polysulfonate (green acids) pada penambahan sedikitnya molekul oil-soluble (mahogany sulfonates). Oleh karena itu, petroleum sulfonate karakteristiknya lebih baik sama dengan berat rata-rata, dimana molekul berat rata-rata dipisahkan oleh derajat sulfonate. Empat kriteria utama untuk memilih surfaktan yang akan digunakan dalam EOR: 1. Tegangan antar muka minyak-air yang rendah 2. Adsorbsi rendah 3. Kesesuaian dengan fluida reservoir 4. Biaya rendah Kelompok surfaktan yang lain telah digunakan dan diusulkan seperti cosurfaktan atau primary surfactant, khususnya untuk salinitas menengah hingga tinggi (untuk kadar garam sea-water dan atasnya).
II.2.2.2 Konsentrasi Slug Surfaktan
Konsentrasi surfaktan juga memiliki pengaruh besar terhadap terjadinya adsorbsi batuan reservoir yang digunakan dalam operasi injeksi surfaktan, semakin besar adsorbsi yang diakibatkannya hingga mencapai titik jenuh maka surfaktannya akan semakin kental. Penggunaan surfaktan dengan hasil lebih tinggi selain mengakibatkan tegangan permukaan minyak-air turun dengan cepat, sehingga perolehan minyak akan bagus. Jika dibandingkan dengan konsentrasinya yang rendah.
22
Pada gambar II.6 menerangkan bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan efek penurunan tegangan permukaan minyak-air akan semakin baik. Konsentrasi surfaktan yang tinggi akan mengakibatkan tegangan permukaan minyak-air turun dengan cepat sehingga perolehan minyak juga mudah didapat dengan segera jika dibandingkan dengan konsnetrasi yang rendah.
Interfacial tensien, Dyne/cm
10
1
0.1
0.01
0.001
0.0001 0.01
0.1
1
10
Sulfonate concentration,
Gambar II.6: Hubungan konsentrasi surfaktan dengan Tegangan Permukaan minyak-air. Gogarty dari Marathon (1967) menerangkan suatu metode perolehan minyak pada kondisi reservoir sekunder dan tersier. Konsep prosesnya adalah slug larutan micellar diinjeksikan untuk mendesak minyak dan air. Kemudian diinjeksikan slug buffer mobilitas untuk melindungi slug. Akhirnya air pendorong diinjeksikan untuk mendorong slug dan buffer mobilitas melewati reservoir. Slug yang digunakan terutama mengandung hidrokarbon, surfaktan, cosurfactant, elektrolit dan air. Larutan micellar didesak melewati reservoir dengan emulsi eksternal air atau larutan air yang mengandung polimer. Pada antar muka buffer dan air terdapat perbandingan mobilitas yang tidak menguntungkan. Dibawah kondisi tersebut terjadi pencampuran yang melimpah jumlanya selama pergerakan air lebih cepat dari buffer. Namun ini dapat dikurangi dengan meningkatkan konsentrasi buffer. Kemudian hal ini dapat dilanjutkan seperti biasa.
23
II.2.2.3 Screening Surfaktan
Pada surfaktan kriteria umum yang harus diperhatikan(SPE 39234) adalah: o Gravity, API > 20 o Viscosity, cp < 35 o Composition: o Oil Saturation, %PV > 35 o Type of formation: Sandstone o Net Thickness, ft: Not Critical o Average permeability, mD > 10 o Depth, ft < 9000 o Temperature, OF < 200
II.2.2.4 Mekanisme Surfaktan Dengan Fluida-Batuan Reservoir
Larutan surfaktan merupakan microemulsion yang diinjeksikan kedalam reservoir mula-mula bersinggungan dengan permukaan gelembung-gelembung minyak melalui film air yang tipis, merupakan pembatas antara batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak, surfaktan memulai perannya sebagai zat aktif permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air. Pertama molekul surfaktan yang memiliki rumus kimia RSO3H akan terurai dalam air menjadi RSO3- dan H+. Namun bila bersentuhan dengan permukaan minyak akan membentuk suatu oil bank. Pada tinjauan mikro, mekanisme ini
dapat
diumpamakan pada gambar II.9. Kondisi A, residual oil yang terperangkap misal setelah waterflooding, residual oil yang terperangkap didaerah penyempitan poripori sebagian diakibatkan oleh adanya daya tarik menarik batuan reservoir dengan gelembung-gelembung
minyak.
Kemudian,
diinjeksikan
surfaktan
yang
merupakan microemulsion dan langsung mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air dan menyebar melalui film air yang merupakan pembatas antara batuan dan gelembung minyak. Dengan turunnya tegangan permukaan ini adhesion tension antara keduanya akan berkurang.
24
Kondisi B, menerangkan tentang gelembung minyak yang telah didesak oleh surfaktan dan membentuk suatu fase kontinu, berupa oil bank. Dan apabila dilanjutkan dengan memasukkan larutan polimer dan air sebagai fluida pendesak maka minyak akan terdorong keluar dari reservoir.
Surfaktan
A
B
Gambar II.7 Mekanisme injeksi surfaktan pada tinjauan mikro Slug surfaktan efektif dapat mempengaruhi sifat kimia fisika sistem fluida batuan reservoir dengan melihat mobilitas slug surfaktan yang lebih kecil dari mobilitas air dan minyak.
II.2.2.5 Adsorbsi Surfaktan
Ini merupakan masalah yang harus diperhatikan pada injeksi surfaktan. Jika adsorbsi batuan reservoir kuat sekali, maka surfaktan yang ada dalam slug surfaktan dengan cepat akan menipis, akibatnya akan membuat kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air akan semakin menurun. Adsorbsi batuan reservoir pada slug surfaktan terjadi akibat gaya tarik menarik antara molekul-molekul surfaktan dengan batuan reservoir dan besarnya gaya yang bergantung pada besarnya afinitas batuan terhadap surfaktan. Sejumlah material absorbsi dapat ditunjukkan dengan 3 unit berbeda: massa dari absorbsi surfaktan/massa batuan (mg/g), massa dari adsorbsi per unit PV (mg/mL PV), dan molekul adsorbsi surfaktan per unit area permukaan (µeq/m2). Konversi antar unit adalah mungkin jika surface area/massa batuan, densitas bulk batuan, porositas batuan, dan berat ekuivalen dari surfaktan yang diketahui. Pada core, surface area tidak diketahui. Sebagai hasil, adsorbsi akan dinyatakan dalam mg/g atau mg/mL PV.
25
Adsorbsi yang terjadi semakin besar sejalan dengan konsentrasi surfaktan yang semakin tinggi, tetapi pada tegangan permukaan minyak-air akan terus berlangsung proses penurunan, dikarenakan batuan reservoir akan mencapai titik jenuh dalam mengadsorbsi surfaktan. Hal ini dapat dilihat dari gambar II.10. Holm (1972) menyarankan cara yang dapat menurunkan adsorbsi dalam sistem micellar adalah dengan melakukan preflush batuan reservoir dengan larutan garam-garam anorganik yang dikorbankan. Larutan Natrium silikat dengan pH yang tinggi (lebih dari 10) sangat efektif dalam penurunan adsorbsi surfaktan dan polimer yang dinjeksi kemudian. 9 8
adsorption(ueq/m
7 6 5 4 3 2 1 0 0
0.4
0.8
1.2
1.6
konsentrasi surfaktan,ppm
Gambar II.8 Pengaruh konsentrasi surfaktan terhadap adsorbsi
26