11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyebaran dan Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus mmatranus) Gajah sumatera tersebar di Pulau Sumatera meliputi 8 propoinsi dan terbag dalam 44 populasi, meliputi: Lampung 11 populasi, Surnatera Selatan 8 populasi, Bengkulu 3 populasi, Jambi 5 populasi, Sumatera Barat 1 populasi, Riau 8 populasi, Sumatera Utara 1 populasi dan Nangroe Aceh Darussalam 4 populasi (Gambar 1). Untuk menghitung jumlah individu populasinya, tentu merupakan pekerjaan yang sulit karena kondisi vegetasi di hutan hujan tropis sehingga biasanya populasinya hanya diperkirakan dan kurang tepat. Blouch & Haryanto (1984) dan Blouch & Simbolon (1985) memperlurakan antara 2800 sarnpai 4800 ekor. Dari 44 populasi yang ada, 30% mempunyai populasi kurang dari 50 ekor, 36% mempunyai populasi 50 - 100 ekor, 25% individu populasinya 100 - 200 ekor, dan hanya 9% yang rnempunyai ukuran populasi lebih dari 200 ekor (Santiapillai and Jackson, 1990). Populasi gajah di Aceh Utarflimur, menurut Santiapillai (1987) adalah populasi besar dengan jumlah individu antara 300 - 400 ekor. Populasi ini merupakan populasi terbesar dari 4 populasi yang ada di Aceh. Tiga populasi lainnya adalah di Aceh Barat (200 - 300 ekor), Singkil dan Gunung Leuser. Dua populasi yang disebutkan terakhir merupakan populasi kecil (50 - 100 ekor). Namun menurut laporan Griffith (1993) populasi gajah yang ada di ekosistem Leuser diperkirakan mencapai 410 - 545 ekor.
Sedangkan populasi gajah di Sumatera Utara diperldrakan hanya ada 1 kelompok populasi yang kecil (kurang dari 50 ekor) (Santiapilllai, 1987), meskipun perkiraan populasi ini belum diketahui dengan pasti. Menurut penelitian yang sudah dilakukan, populasi gajah yang ada di Sumatera Utara hanya terdapat di daerah yang berbatasan dengan propinsi Riau di sebelah selatan dan propinsi Nangroe Aceh Darussalam di sebelah utara. Laporan terakhir dari Brett (1999) yang didasarkan hasil survai yang dilakukan oleh Griffiths (1984-1995), Nelson (1993), Jabbar (1995), Bristol University UK & IPB (1998) dan van Schaik (1998) perkiraan populasi Gajah Sumatera di Ekosistem Leuser saat ini seperti yang tercantum pada Tabel 1. 2.2. Kondisi Habitat
Habitat gajah sumatera terdiri dm beberapa tipe hutan, yaitu: hutan rawa (swamp forest), hutan garnbut (peat swamp forest), hutan hujan dataran rendah (lowland forest), dan hutan hujan pegunungan rendah (lower mountain forest) (Haryanto,l984). Masalah serius yang kita hadapi dalam konservasi gajah sumatera yang mendasar adalah menyempitnya habitat gajah sebagai akibat dari kegatan pembangunan, yakni konversi hutan untuk perkebunan, transmigrasi, logging, dan perladangan liar. Konversi hutan menjadi areal perkebunan dan transmigrasi, sering tidak memperhatikan keberadaan populasi satwaliar dan memotong jalur edarlwilayah pengembaraan gajah, menjadikan habitat gajah tersebut terfiagmentasi dan terbentuk kantong-kantong habitat gajah yang memisahkan kelompok satu dengan lainnya;
yang pada akhimya kelompok-kelompok kecil yang terpisah tersebut sudah tidak ditemukan lagi. Tata guna lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit dan karet di Sumatera Utara yang diistilahkan sebagai estate belt sepanjang 370 krn dan selebar 45 km sangat mengurangi sistem pendukung kehidupan gajah sumatera Tidak heran bila di wilayah ini populasi gajahnya kecil ( 4 0 ekos) (Santiapillai and Jackson, 1990). Selain di Sumatera Utara areal perkebunan ini juga terdapat di Aceh dan Riau serta wilayah laimya. Tabel 1. Perkiraan populasi gajah sumatera di Ekosistem Leuser
I
Area
Pcrkiraan Populasi
Jambo Aye (W)
40
Jambo Aye (E)
I I
50
I
Penaron
I
50
I
50
Serbajadi
I
>loo
I
Kluet
20
Meureubo (W)
20
1
Sikundur
I I
I
Meureubo (E)
I
Total I
20 >555
I
1
I
Sumber : Brett (1 999) Konversi hutan untuk areal transmigrasi juga menjadi awal tekanan-tekanan terhadap habitat gajah. Selain itu produksi kayu utama di Sumatera berasal dari hutan alarn dengan jenis andalan adalah famili Dipterocarpaceae.
Namun
pembalakan (logging) yang dilakukan sering tidak memenuhi prosedur yang berlaku
bahkan melebihi target panen, sehingga banyak areal bekas tebangan yang rusak. Padahal menurut Olivier (1978) diperkirakan kepadatan gajah di logged over forests mungkin dua kali lipat daripada di hutan primer . Banyaknya hutan yang m a k menyebabkan g j a h tidak mempunyai jalan ke luar untuk bergerak dari areal yang terganggu ke hutan tua, yang jaraknya c u k q jauh. Hal ini yang menyebabkan fragmentasi habitat gajah, clan populasi yang semula besar menjadi kelompokkelompok kecil (Santiapillai and Jackson,1990). Untuk menjaga kelestarian gajah di Sumatera, termasuk jenis-jenis satwa lainnya, pemerintah telah menetapkan beberapa kawasan konservasi, seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Dari data yang diperoleh ternyata dari 41 populasi gajah yang ada, diketahui hanya 11 populasi yang berada dalam kawasan konservasi dan selebihnya menyebar di hutan-hutan produksi. Mengingat wilayah jelajah (home
range) gajah sangat luas, maka sering t g a d i populasi gajah keluar dari habitatnya di hutan, ke daerah selutamya yang berupa perkebunan, lahan pertanian maupun pemukiman. Hal ini menimbulkan konflik antara gajah dan manusia. Tabel 2. Jenis dan luas kawasan konservasi di Pulau Sumatera
1.
Taman Nasional
34991
74,96%
2.
Tarnan Bum
1296,5
2,77%
3.
Cagar Alarn
3887,9
8,33%
4.
Suaka Margasatwa
5261,6
11,27%
5.
Taman Hutan Raya
1035
2,22%
6.
Taman Wisata Alarn
206,96
0,44%
Sumber: Dir.Konservasi Kawasan, Dirjen. PKA (200 1).
1. 2. 3. 4. 5. 8.
Gunung Sulah Gurmng Tanggang Gunung Betung Way Kunbas Way Terusan Buklt Barlwn Sdahn (Uhn)
18. 17. 18. 19. 20. 21.
Air Smangls Padang Sugihan Sungii Padr Eentaym Air Medsk Alr Kepas
31. 32. 33. 34. 35. 38. 37. 38. 39.
Rlau Tengah Utara Koto Panjang Lipat Kain Lan~~am Riw Tengah Sclatpn R i a Selatan 6Urnrt.n
Slak Kscll Datann Rmdah Rokn
41. Gunung LMSW (Barat) 43. Acch Bant 44. Aceh Timur
Gambar 1. Penyebaran populasi gajah di Pulau Sumatera Sumber :Santiapillai (1987)
kesejahteraan satwa, sehingga dihasilkan satwa-satwa yang mempunyai daya reproduksi tinggi dan ketahanan terhadap penyakit yang juga tinggi.
Dalarn
hubungannya dengan reproduksi, ketersediaan pakan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup akan mempengaruhi fertilitas dan fekunditas satwa.
Ketersediaan sum ber air Air termasuk komponen pakan, yang b e h g s i dalam proses kimia dan fisik dalam pencernaan makanan. Dan lagi, air dibutuhkan untuk menyejukkan tubuh karena adanya proses evaporasi di lingkungan yang panas. Sebagian besar satwa hidupnya sangat bergantung pada air dalam jumlah dan bentuk ketersediaan sangat bervariasi, tergantung kebutuhan satwa.
Bahkan satwaliar untuk mendapatkan
air di musim kering, punya bermacam-macarn cara. Satwa-satwa yang mobilitasnya tinggi akan melakukan migrasi untuk mendapatkan air di musim kering; dan gajah yang kebutuhan airnya banyak, akan menggali dasar sungai kering, menyediakan air untuk kebutuhannya sendiri maupun satwa lain (Bailey, 1984). Sumber air merupakan komponen pendukung kehidupan di habitat gajah. Biasanya sumber air tersebut dalam bentuk air mengalir maupun air yang tergenang. Sumber-sumber air yang mengalir berupa sungai besar dan kecil, baik yang mengalir sepanjang tahun maupun yang mengalir hanya pada musim hujan. Sedangkan air yang tergenang, biasanya berupa rawa-rawa yang umumnya tidak pernah kering di musim kering. Sumber air tersebut digunakan oleh gajah sebagai air minum, mandi, berkubang dan berlumpur, serta media untuk membina hubungan antar anggota kelompok (sosialisasi). Ketersediaan air ditentukan oleh faktor biotik dan faktor fisik lainnya.
Pelindung (Cover) Pelindung (cover) didefinisikan sebagai struktur sumberdaya lingkungan yang menyediakan fungsi-Wgsi alami spesies yang dapat meningkatkan daya reproduksi dantatau kelangsungan hidup satwa (Bailey, 1984).
Oleh karena itu, cover
merupakan ha1 yang diperhitungkan dalam pemilihan habitat oleh satwaliar. Pada siang hari setelah aktivitas makan biasanya gajah akan beristirahat. Untuk menghindari sengatan sinar matahari langsung mereka mencari tempat-tempat yang rindang, yang bertajuk rapat. Selain itu untuk mengurangi panas di tubuhnya biasanya dia berkubang dan berlumpur. Setelah berkubang, aktivitas berikutnya adalah menggosok-gosokkan badannya di batang pohon untuk mengurangi rasa gatal di tubuhnya. Pohon-pohon yang dipakai untuk menggosok badannya (rubbing trees) akan terlihat jelas karena ada bekas lurnpur yang menempel di tempt tertentu, yang biasanya cukup tinggi sesuai dengan tinggi gajah. Gajah seperti halnya herbivora lainnya, membutuhkan garam-garam mineral yang diperlukan dalam proses metabolisme tubuhnya dan melancarkan proses pencernaan makanan. Untuk memperoleh garam-garam mineral tersebut mereka mengunjungi tempat-tempt tertentu yang disebut sebagai salt licks terutama pada saat atau sesudah hujan, dimana air tanah meluap menjadi keruh seperti susu. Jika tidak hujan, salt licks menjadi lebih keras dan untuk mendapatkan garam gajah yang bergading akan menusuk/menggali dinding salt licks dengan gadingnya; atau bagi yang tidak bergading dengan cara menggaruk-garuk tanah dengan kaki dan belalainya atau dengan menumbuldmendobraknya (Leckagul & McNeely, 1977). Ketersediaan salt licks di daerah jelajah gajah sangat menentukan tingkat kesejahteraan satwa ini.
2.6. Organisasi Komunitas
Populasi yang terdapat bersamaan dalam ruang dan waktu tertentu, secara fungsional berhubungan satu sama lain membentuk unit ekologi yang disebut komunitas. Organisasi komunitas membicarakan suatu komunitas yang mempunyai bentuk kehidupan, komposisi spesies, dan jumlah organisme yang terdapat di dalamnya yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Komposisi spesies akan mengalami perubahan seiring dengan berubahnya faktor lingkungan yang mempengaruhi, seperti: iklim, tanah, organisme seperti binatang dan mikroba, serta aktivitas manusia terhadap komunitas tersebut (McNoughton and Wolf (1990) ;Setiadi dan Tjondronegoro ( 1996)).
Untuk mempelajari suatu organisasi komunitas, diperlukan data kualitatif dan kuantitatif dari sifat-sifat komunitas yang selanjutnya dapat ditentukan sistesis karakteristik dari komunitas tersebut. Perbedaan antar kornunitas &pat diketahui dengan membandingkan karakteristik sintesisnya. Data kualitatif dari suatu komunitas di antaranya adalah komposisi dan struktur vegetasi, fenologi, dan bentuk pertumbuhan. Sedangkan data kuantitatif yang perlu diketahui adalah: pola penyebaran, frekuensi, kerapatan dan kelimpahan jenis serta penutupan tajuMuas bidang dasar jenis. Berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif diperoleh karakteristik sintesis suatu komunitas seperti: sifat kehadiran spesies, dominansi, indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman. Sifat kehadiran spesies di dalam komunitas dapat dilihat dari frekuensi jenis tersebut pada tiap tipe vegetasi.
Dominansi merupakan gambaran yang mencakup karakteristik sifat kuantitatif suatu komunitas, yaitu merupakan bentuk sintesis dari kepadatan, fi-ekuensi, dan penutupan tajuk/luas bidang dasar. Nilai dari dominansi disebut sebagai Indeks Nilai Penting (INP). Indeks keanekaragaman jenis merupakan gambaran jumlahhanyaknya jenis yang ada di dalam suatu komunitas.
Pada komunitas yang lebih
stabilkomunitas alami akan mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi dibandingkan komunitas yang sedang berlcernbanglkomunitas buatan. Indeks keanekaragarnan akan tinggi pada komunitas yang mempunyai keanekaragaman jenis tinm. Indeks kesamaan komunitas menunjukkan tingkat kesamaan antara dua atau beberapa tipe vegetasl/komunitas. Indeks ini bernilai 0 - 1, dimana bila nilainya mendekati 0 maka dikatakan antar komunitas tersebut sangat berbeda dan bila mendekati 1 berarti komunitas tersebut dapat dikatakan hampir sama.