II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Mamalia
Ordo
: Proboscidae
Familia
: Elephantidae
Genus
: Elephas
Species
: Elephas maximus sumateranus
2.2. Morfologi Gajah Sumatera Gajah sumatera dan gajah afrika memiliki perbedaan secara morfologi. Gajah sumatera memiliki tubuh yang lebih kecil dibandingkan gajah afrika yang bertubuh lebih besar. Gajah afrika memiliki berat tubuh mencapai 5.000 kg dan tingginya mencapai 3 m (Lekaul dan McNeely, 1977). Gajah sumatera memiliki permukaan tubuh kering, tebal kulitnya 2 – 3 cm, berwarna coklat abu – abu dan sedikit rambut. Gajah sumatera memiliki kelenjar susu dan dua buah kelenjar temporal. Gajah sumatera memiliki telinga yang lebih kecil dibandingkan gajah afrika dan memiliki punggung berbentuk cembung (Eltringham, 1982). Gajah sumatera jantan memiliki gading, namun gajah betina tidak memiliki gading, berbeda dengan gajah afrika baik yang jantan dan yang betina memiliki gading. Gajah betina sumatera hanya memiliki gigi seri berupa tonjolan, dan tidak tumbuh panjang membentuk gading. Gajah juga memiliki belalai yang berfungsi sebagai alat pembau, bernafas, memegang suatu benda atau makanannya dan untuk berkomunikasi (Eltringham 1982). 2.3. Habitat Gajah Habitat adalah suatu tempat dimana suatu organisme dapat hidup. Gajah banyak melakukan pergerakan dalam wilayah jelajah yang luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat seperti hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah (Shoshani dan Eisenberg, 1982). Menurut Dasman (1981), suatu
4
habitat hanya dapat menampung jumlah satwa pada suatu batas tertentu, sehingga daya dukung menyatakan fungsi dari habitat. Beberapa persyaratan gajah sumatera agar tetap hidup dan bertahan di alam antara lain: 1. Naungan Gajah sumatera termasuk hewan berdarah panas sehingga saat cuaca panas mereka akan bergerak mencari naungan untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan lingkunganya. Tempat yang sering dipakai sebagai naungan dan istirahat pada siang hari adalah vegetasi hutan lebat (Shoshini dan Eisenberg, 1982). 2. Makanan Gajah sumatera termasuk satwa herbivora sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang cukup dihabitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon untuk makanan pelengkap dalam memenuhi kebutuhan mineral kalsium untuk memperkuat tulang, gigi, dan gading. Pencernaan gajah yang kurang sempurna, sehingga gajah membutuhkan makanan yang sangat banyak yaitu 200 – 300 kg per hari untuk setiap satu ekor gajah dewasa atau 5 – 10 % dari berat badannya (Shoshini dan Eisenberg, 1982). 3. Air Gajah termasuk satwa yang sangat bergantung pada air sehingga pada sore hari biasanya mencari sumber air untuk minum, mandi, dan berkubang. Seekor Gajah Sumatera mebutuhkan air minum sebanyak 20 – 50 liter/ hari. Ketika terjadi musim kemarau dan sumber – sumber air mengalami kekeringan, gajah dapat melakukan penggalian air sedalam 50 – 100 cm di dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya (Shoshini dan Eisenberg, 1982). 4. Garam mineral Gajah juga membutuhkan garam–garam mineral antara lain: kalsium, magnesium, dan kalium. Garam–garam ini diperoleh dengan cara memakan gumpalan tanah yang menggandung garam, menggemburkan tanah tebing
5
dengan gading dan kaki depannya dan memakannya saat hujan atau setelah hujan (Shoshini dan Eisenberg, 1982). 5. Ruang atau wilayah jelajah (home range) Gajah merupakan mamalia darat paling besar pada zaman ini, sehingga membutuhkan wilayah jelajah sangat luas. Ukuran wilayah jelajah gajah bervariasi antara 32,4 – 166,9 km2 (Shoshini dan Eisenberg, 1982). 6. Keamanan dan kenyamanan Gajah juga membutuhkan kondisi yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu. Gajah adalah hewan yang sangat peka terhadap suara. Oleh karena itu, penebangan hutan yang dilakukan oleh indrustri atau penebangan hutan liar diperkirakan telah mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah karena aktivitas itu menggunakan alat – alat yang bersuara keras (Shoshini dan Eisenberg, 1982). 2.4.
Habitat Gajah di Sumatera Habitat gajah sumatera meliputi seluruh hutan di Pulau Sumatera, mulai dari
hutan basah, hutan payau, dan hutan pegunungan pada ketinggian 2000 mdpl. Kelangsungan hidup Gajah Sumatera kini makin terancam akibat tingginya tekanan dan gangguan, serta kurangnya pengetahuan tentang perilaku hidup gajah pada habitat aslinya. Gajah sangat selektif dalam memilih habitatnya, karena gajah merupakan salah satu hewan yang memiliki kepekaan yang tinggi (Abdullah dkk, 2005). Menurut Haryanto (1984) gajah sumatera tersebar di daerah Sumatera antara lain: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung (Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2007). Selain pada habitat aslinya di sepanjang hutan Pulau Sumatera, gajah sumatera saat ini juga dapat ditemukan di Kebun Binatang Surabaya, Taman Safari Indonesia I (Bogor), Taman Safari Indonesia II (Prigen, Jawa Timur) dan di Taman safari III (Bali Safari and Marine Park, Bali). 2.5. Taman Nasional Way Kambas Lampung Taman Nasional Way Kambas Lampung merupakan ekosistem hutan daratan rendah yang memiliki luas 1.300 km2 (Balai Taman Nasional Way Kambas
6
Lampung, 2011). Dalam upaya Konservasi Gajah Sumatera, pihak pengelola Taman Nasional Way Kambas Lampung telah membangun Pusat Konservasi Gajah (PKG) dengan luas kurang lebih 400 ha yang didirikan pada tanggal 27 Agustus 1985 (Mukhtar, 2004). Kegitan–kegiatan pelestarian Gajah Sumatera di PKG antara lain: dilakukan pemberian pakan dropin, pengembalaan, penyedian air, dan perawatan medis (Nuraeni, 2010). Salah satu aktivitas di Taman Nasional Way Kambas Lampung adalah melakukan pembinaan anak gajah, yaitu memelihara anak gajah baik yang lahir di PKG maupun yang didapat dari luar. Program pelatihan terhadap gajah dilakukan untuk menggurangi konflik antara gajah dengan penduduk yang bermukim berdekatan dengan habitat gajah. Gajah di PKG ini dilatih untuk melakukan atraksi seperti bermain bola, berjoged, berpose seperti model, berhitung, dan bermain. Keterampilan lain yang diajarkan adalah bermain harmonika, bersalaman dengan manusia menggunakan belalainya, bermain holahoop, dan menarik bendera. Semua kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke PKG ini. Para pengurus PKG akan mengajak pengunjung berkeliling hutan dengan menaiki gajah (tracking bersama gajah), berfoto bersama, serta memberi makan. Gajah ini sudah terbiasa berada berdekatan dengan manusia, dan sering kali membantu pekerjaan manusia seperti membantu polisi hutan berpatroli di sekitar Taman Nasional. Gajah ini juga membantu berjaga dan melindungi warga sekitar dari gajah liar yang datang merusak rumah dan kebun warga yang berada di sekitar Taman Nasional. 2.6.
Perilaku Gajah
2.6.1. Perilaku sosial Perilaku sosial adalah perilaku yang dilakukan oleh satu individu atau lebih yang menyebabkan terjadinya interaksi antara individu. Perilaku sosial pada gajah dapat dikatagorikan sebagai berikut: Perilaku hidup berkelompok. Gajah pada habitat aslinya hidup berkelompok. Perilaku ini dilakukan untuk keamanan dalam anggotanya. Jumlah individu dalam satu kelompok bervariasi berkisar 20 – 35 ekor juga ada yang ditemukan 3 – 23 ekor. Setiap kelompok dipimpin oleh satu betina yang tubuhnya paling besar sementara gajah jantan dewasa hanya tinggal pada periode tertentu
7
untuk kawin dengan betina pada kelompok tersebut. Gajah yang sudah tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya. Sementara itu gajah jantan muda yang sudah beranjak dewasa akan dipaksa meninggalkan kelompoknya untuk bergabung dengan kelompok gajah jantan lainya (Shoshani dan Eisenberg, 1982). Perilaku menjelajah. Gajah secara alami melakukan perjalanan dengan berkelompok mengikuti jalur tertentu yang tetap dalam satu tahun perjalanannya. Jarak yang ditempuh oleh gajah adalah 7 km dalam kurun waktu satu malam, dan jika pada musim kering atau musim buah – buahan gajah mampu mencapai jarak jelajah 15 km perhari (Shoshani dan Eisenberg, 1982). Perilaku kawin. Gajah tidak mempunyai musim kawin yang tetap dan bisa melakukan kawin sepanjang tahun. Gajah jantan sering berperilaku mengamuk atau kegilaan yang sering disebut musht dengan tanda adanya sekresi kelenjar temporal yang meleleh pada pipi, antara mata dan telingga dengan cairan berwarna hitam dan berbau merangsang. Perilaku ini terjadi 3 – 5 bulan sekali selama 1 – 4 minggu. Perilaku ini sering disebut musim birahi (Eltringham, 1982). 2.6.2. Perilaku individu Perilaku individu adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Perilaku individu pada gajah dapat dikatagorikan sebagai berikut: Perilaku makan. Gajah merupakan mamalia yang aktif pada siang hari maupun malam hari untuk mencari makan. Gajah sering mencari makan sambil berjalan di malam hari selama 16 – 18 jam setiap harinya (Shoshani dan Eisenberg 1982). Perilaku minum. Gajah saat berendam di sungai, seekor gajah minum air menggunakan mulutnya, dan pada waktu sungai di pusat konservasi gajah di bak pemandian yang dangkal atau pada rawa gajah menghisap atau minum air menggunakan belalainya. Gajah mampu menghisap air mencapai 9 liter dalam satu kali hisapan (Shoshani dan Eisenberg 1982). Perilaku berkubang. Gajah sering berkubang di lumpur pada waktu siang hari dan sore hari sambil minum. Perilaku berkubang juga penting untuk
8
melindungi kulit gajah dari gigitan serangga dan juga untuk mendingginkan tubuhnya (Shoshani dan Eisenberg 1982). Gajah mencari garam. Perilaku ini dilakukan dengan menjilat – jilat benda atau apapun yang mengandung garam dengan belalainya. Gajah sering kali melukai bagian tubuhnya agar dapat menjilati darahnya yang mengandung garam (Shoshani dan Eisenberg 1982). Perilaku beristirahat. Umumnya gajah tidur dua kali sehari yakni pada tengah malam dan pada siang hari. Pada malam hari, gajah sering tidur dengan merebahkan tubuhnya, dan pada siang hari gajah akan tidur dengan posisi badan yang masih berdiri. Perbedaan perilaku ini berkaitan dengan kondisi keamanan lingkungan sekitarnya. Apabila kondisi gajah kurang aman atau mengancam maka gajah akan memilih tidur sambil berdiri, ini dilakukan untuk menyiapkan diri jika terjadi gangguan (Shoshani dan Eisenberg 1982). Menurut konsep adaptasi biologis, perilaku merupakan fungsi adaptasi morfologi dan fisiologis suatu satwa (Scott, 1972). Perilaku satwa juga didefinisikan sebagai semua pergerakan atau gaya yang dilakukan satwa yang dipengaruhi oleh hubungan satwa tersebut dengan lingkunganya (Leger, 1992). Merurut Abdullah (2009) beberapa perilaku harian gajah sumatera antara lain: beristirahat, minum, mencari makan, makan , bergerak, mandi, bermain, buang air besar, buang air kecil, berkubang, dan kawin. Gajah dapat berumur hingga 70 tahun dengan kondisi dipelihara. Gajah betina siap bereproduksi setelah umur 10 – 15 tahun dan gajah jantan setelah berumur 12 – 15 tahun. Gajah betina mempunyai masa reproduksi 4 tahun sekali dengan lama kehamilan 19 – 21 bulan hanya melahirkan satu ekor gajah dengan berat kurang lebih 90kg. Seekor anak gajah akan menyusu selama dua tahun dan hidup dalam pengasuhan induknya selama 3 tahun (Shoshani dan Eisenberg, 1982).
9