Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan Seblat Kabupaten Bengkulu Utara Hutwan Syarifuddin1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) melalui pendekatan survei kepadatan kotoran gajah dengan mempertimbangkan kondisi populasi saat ini dan faktor lain yang mempengaruhi perkembangan populasi gajah Sumatera. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Untuk mendapatkan data primer dengan melakukan survei lapang terhadap kondisi habitat gajah dan populasi gajah saat ini. Pengambilan data sekunder secara purposive sampling terhadap masyarakat yang berada disekitar lokasi Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat. Adapun data primer dihitung dengan menggunakan metode penghitungan tidak langsung. Struktur model dinamika populasi tersusun dari model populasi gajah yang berinteraksi dengan hijauan pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika populasi gajah dipengaruhi oleh interaksi antara komponen populasi gajah, ketersediaan hijauan yang merupakan pakan gajah, luas habitat gajah, kelahiran dan kematian gajah dan komponen lainnya. Produksi hijauan pakan sebanyak 18,85589 ton/ha pada musim hujan dan 6,76697 ton/ha musim kemarau. Estimasi kotoran gajah sebanyak 177 dengan 1475 pellet dengan luas transek 0,12 km2. Estimasi kepadatan populasi gajah sebanyak 0,58 ekor/km2. Dapat disimpulkan bahwa estimasi kepadatan gajah Sumatera di HPT PLG Seblat 40 ekor/68,65 km2, Populasi gajah pada saat ini berjumlah sekitar 40 ekor akan terus menurun sampai tahun 2036 menjadi 3,96 ekor/68,65 km2. Kata Kunci : Kotoran Gajah, Gajah Sumatera, Survei Populasi.
Survey of Population and feed Elephant Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) in Seblat Area North Bengkulu Regency
Abstract The research purposed were to estimate populations of the gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) using dung density counts with existing condition and many factors were influencing for development of Elephas maximus sumatranus population. The research was conducted with collecting data primer and secunder. Data primer were conducted field survey of the habitat condition and existing elephant population. Data secunder have done purposive sampling of the community around Seblat the elephant exercise (PLG) Center. Data primer was calculated with indirect method. The structure of dynamic modeling has founding by interaction with forage elephant. The result showed that dynamic elephant population was influenced interaction population, availability forage, habitat area, natalitas and mortalitas, and some components else. Production of forage are 18.85589 ton/ha on the rainy season and 6.76697 ton/ha on the dry season. Estimated dung elephants were 177 with 1475 pelleted in 0,12 km2 area transecs. Estimated elephant density was 0.58 elephants per km2. It could be concluded that estimation elephant density of the HPT PLG Seblat are 40 elephants/68,65 km2, 1
Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi. Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
42
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
the existing condition about 40 elephants population will be decreased until 2036 years are 3.96 elephants/68,65 km2. Key Words : Elephant Dung , Elephas Maximus Sumatranus, Survey Population.
Pendahuluan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang termasuk satwa langka berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya perlu dilindungi dan dilestarikan. Gajah Sumatera dikhawatirkan akan punah sehingga secara resmi telah dilindungi sejak 1931 dalam Ordonansi Perlindungan Binatang Liar Nomor 134 dan 226 dan diperkuat SK Menteri Pertanian RI Nomor 234/Kpts/Um/1972 dan PP Republik Indonesia No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) gajah termasuk dalam daftar Appendix 1 (CITES 2000). Hasil penelitian yang dilakukan Blouch dan Haryanto (1984) dan Blouch dan Simbolon (1985) diketahui bahwa estimasi populasi gajah Sumatera 24003400 ekor yang terdapat pada 44 lokasi habitat, sedangkan estimasi populasi gajah di Propinsi Bengkulu berkisar antara 100-200 ekor, yang penyebarannya terdapat di sekitar hutan Sungai Ipuh dan Gunung Sumbing serta hutan Bukit Barisan Selatan. Selanjutnya Supriyanto et al. (2000) dan Rizwar et al. (2001) mengemukakan bahwa terdapat enam kelompok gajah di hutan Bengkulu Utara yang menyebar di dalam hutan yang terfragmentasi dan sebagian besar telah rusak disekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sukumar (2003) menyatakan bahwa estimasi total populasi gajah liar di Asia sekitar 41.410
ekor-52.345 ekor dengan area gajah 2 seluas 486,800 km .Namun demikian .estimasi populasi gajah di Indonesia pada saat ini (existing condition) belum tersedia (Blake dan Hedges 2004). Secara alamiah gajah membutuhkan areal yang luas untuk mencari makan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila habitat alamiah gajah cukup luas, migrasi atau perpindahan gajah baik harian maupun musiman tidak akan membawa keluar jalur atau memasuki areal budidaya milik masyarakat atau pemukiman. Dalam kondisi habitat yang rusak, gajah melakukan aktivitas untuk mendapatkan makanan dan cover dengan mencari hutan lain yang lebih baik dan lebih luas. Tetapi apabila hutan terus dibuka maka ketersediaan makanan gajah menjadi terbatas, sehingga gajah akan mencari makanan alternatif yang terdapat pada areal perkebunan, areal budidaya pertanian dan perladangan penduduk serta daerah pemukiman. Selain itu gajah juga akan melakukan serangan terhadap manusia dan perusakan terhadap perumahan (Alikodra 1997). Di Kabupaten Bengkulu Utara konflik antara gajah dan masyarakat sekitar sebenarnya tetap menjadi permasalahan yang serius dalam usahausaha melestarikannya. Pada kenyataannya saat ini (existing condition) dari peningkatan aktivitas manusia, misalnya pembukaan lahan untuk transmigrasi, perluasan areal perkebunan, persawahan, pertambangan, maupun kegiatan pembangunan lainnya berakibat mengubah fungsi hutan yang
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
43
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
semula merupakan habitat gajah menjadi areal kegiatan pembangunan. Kejadian ini tidak menguntungkan bagi populasi gajah dan akan sangat berpengaruh terhadap pertambahan ukuran populasi dan kelangsungan hidupnya di masa mendatang (Dasman 1981). Menurut Primack et al. (1998) ancaman utama pada keanekaragaman hayati yang disebabkan oleh kegiatan manusia adalah perusakan habitat, fragmentasi habitat, dan gangguan pada habitat. Beberapa faktor yang mengancam populasi gajah, baik secara langsung maupun tidak langsung seperti pembunuhan dan perburuan liar, fragmentasi dan kehilangan habitat gajah, kelemahan institusi dan instabilitas politik (WWF 2005). Peningkatan aktivitas manusia disekitar habitat gajah akan mengakibatkan penurunan kualitas dan kuantitas habitat gajah yang apabila dibiarkan dan tidak cepat ditangani, suatu saat gajah di Sumatera akan mengalami kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengestimasi populasi gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) melalui pendekatan survei kepadatan kotoran gajah dengan mempertimbangkan kondisi populasi saat ini dan faktor lain yang mempengaruhi perkembangan populasi gajah Sumatera. Materi dan Metode Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu. Lokasi yang dijadikan studi kasus adalah hutan produksi terbatas (HPT) fungsi khusus pusat latihan gajah (PLG) Seblat pada wilayah Kecamatan Putri Hijau yang merupakan daerah sebaran dan habitat gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), berdasarkan Surat Keputusan Menhut No 658/Kpts-II/1995 tanggal 8 Desember 1995 dengan luas kawasan 6.865 ha, secara Geografis terletak pada 101o39’18” – 101o44’50” BT dan 03o03’12” –03o09’24” LS.
Gambar 1. Peta lokasi Penelitian di HPT PLG Seblat Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
44
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
Peralatan yang digunakan selama penelitian antara lain: 1 (satu) paket sistem informasi geografis (SIG) yang terdiri dari seperangkat komputer, Erdas Imagine ver 8.5, ArcView ver 3.3 dan ekstension ArcView Patch Analyst ver 2.3, yang digunakan untuk pembuatan, pengolahan dan analisis data SIG. Perangkat lunak Microsoft Exell 2003, SPSS ver 16 untuk memasukkan data atribut dan menganalisis hubungan antara variabel. Alat hitung untuk menghitung jumlah kotoran gajah. Global Positioning System (GPS) Garmin 60 untuk mencatat lokasi ditemukannya kotoran gajah, pakan gajah dan pengambilan titik lapangan/koordinat, dan tally sheet. Kepadatan populasi gajah dapat dipelajari melalui studi terhadap laju urai kotoran (hari), laju produksi kotoran (kali/hari), jumlah kotoran per km2, dan jumlah gajah per km2. Laju urai kotoran (LUK) menunjukkan berapa lama (hari) kotoran (piles) terurai semuanya. Laju produksi kotoran (LPK) (kali/hari) merupakan berapa kali per ekor gajah menghasilkan kotoran per hari, menurut Santiapillai dan Suprahman (1986) LPK berkisar antara 16 – 18 kali per hari. Sedangkan jumlah kotoran adalah akumulasi dari seluruh kotoran yang ditemukan per km2. Metode yang digunakan untuk estimasi kepadatan populasi gajah menggunakan metode penghitungan tidak langsung. Metode ini berdasarkan estimasi jumlah total kotoran yang ditinggalkan dalam satuan luas tertentu (Yanuar 2000), estimasi kepadatan gajah dari hasil perkalian jumlah total kotoran dengan laju urai kotoran dibagi dengan laju produksi kotoran (Dekker et al. 1991; Dawson 1993), dan estimasi jumlah kotoran atau kepadatan kotoran per km2 (Barnes dan Barnes 1992; Barnes 1996). Dengan demikian jumlah gajah dalam satuan kilometer persegi dapat diketahui
berdasarkan rumus; E = (N x LUK) / LPK (Dekker et al. 1991; Dawson 1993; Barnes 1996; Hedges and Lawson. 2006). Dimana: E = jumlah gajah per km2 N = jumlah kotoran per km2 LUK = laju Urai Kotoran (hari) LPK
= laju Produksi Kotoran (kali/hari) Metode estimasi kepadatan kotoran adalah ektrapolasi dari korelasi linier antara kepadatan kotoran yang sesungguhnya dengan jumlah kotoran yang ditemukan sepanjang transek (Obot et al. 2005 ; Hedges and Lawson. 2006). Hasil dan Pembahasan Penghitungan jumlah individu gajah dilakukan melalui estimasi dengan menggunakan metode tidak langsung. Penghitungan terhadap jumlah kotoran dan estimasi kepadatan populasi gajah mendapatkan hasil yang tertera pada Tabel 1. Apabila total panjang transek dari 12 transek adalah 6 km dan lebar transek 0,02 km, maka luas areal cacah kotoran gajah adalah 0,12 km 2. Dengan demikian jumlah total kotoran gajah (N) dalam 1 km2 = 177/0,12= 1475 pellet. Dalam penelitian ini Laju Urai Kotoran (LUK) menggunakan nilai 0,0071 (Rizwar et al. 2001). Sedangkan untuk Laju Produksi Kotoran (LPK) maksimal gajah Sumatera menggunakan standar yang dikemukakan oleh Santiapillai dan Suprahman (1986) yaitu 18 kali per 24 jam. Sedangkan menurut Hedges et al. (2005) laju produksi kotoran gajah di Lampung 18,15 per 24 jam. Tchamba (1992) melaporkan laju produksi kotoran gajah Afrika 20 kali per hari, dan laju urai kotoran 0.0462 (Dickinson 1995). Estimasi kepadatan gajah di kawasan habitat gajah yang ada di HPT
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
45
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
PLG Seblat dapat dihitung berdasarkan Jika perkiraan kasar (crude estimation) luas kawasan habitat gajah di HPT PLG Seblat adalah 6865 ha atau 68,65 km2, maka kepadatan gajah di kawasan ini adalah 40 ekor/68,65 km2. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Rizwar et al. (2001) bahwa kepadatan populasi gajah di kawasan Air Seblat-Air Rami 50 ekor/70 km2 (0,72 ekor/km2). Perbedaan
LUK dan LPK adalah 0,58 ekor/km 2. dalam estimasi kepadatan populasi disebabkan jumlah kotoran yang ditemukan berbeda, dan adanya pembukaan lahan menyebabkan gajah berpindah ke lokasi lain. Kesulitan teknis dan finansial merupakan faktor pembatas survei populasi gajah, terutama sekali di dalam situasi hutan. Sehingga perkiraan angka populasi gajah masih sangat terbatas (Blanc et al, 2003).
Tabel 1. Kepadatan kotoran gajah Sumatera pada kawasan HPT PLG Seblat No Lokasi Transek Jumlah Kotoran 1 Air Tenang 15 2 Air Tenang 11 3 Simpang Tiga 23 4 Simpang Tiga 20 5 Air Sabai 16 6 Air Sabai 9 7 Batu Ampar 25 8 Batu Ampar 18 9 Air Riki 12 10 Air Riki 10 11 Air Senaba 11 12 Air Senaba 7 Total 177 Hasil penelitian yang ber-dasarkan informasi masyarakat disekitar kawasan habitat gajah dan dibuktikan dengan tanda-tanda keberadaan gajah (jejak dan kotoran gajah) melalui survey yang dilakukan dalam kawasan habitat gajah di kawasan HPT PLG Seblat, batas terluar wilayah jelajah gajah pada saat ini adalah Air Seblat hingga Air Rami. Desa-desa yang berada disekitar habitat gajah seperti desa Suka Merindu dan Suka Baru yang sebelumnya sering dikunjungi gajah, pada saat ini tidak pernah lagi didatangi gajah. Wilayah yang rutin dikunjungi gajah di kawasan Air Seblat adalah ladang penduduk dan perkebunan sawit PT Agricinal di Air Sitebal, Air Senaba, dan Air Sabai. Sedangkan pada
kawasan hutan sekunder yang sering dikunjungi gajah adalah hutan sekunder PLG (Air Tenang, Air Riki, Air Sabai, Batu Ampar, Simpang Tiga, dan Air Senaba), dan hutan pinggiran dekat areal perkebunan PT Alno II dan PT Ananta terutama yang dekat dengan Air Senaba hulu dan Air Sabai-hulu. Selanjutnya populasi gajah bergerak ke Utara kearah Air Rami, Kecamatan Muko-Muko Selatan seperti Air Sabai Hilir, Perbatasan PT Mitra Puding Mas, perladangan penduduk dusun Pulau di sepanjang jalan logging, semak belukar dan hutan sekunder Air Rami. Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa gajah terperangkap secara in situ dalam kawasan
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
46
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
habitat yang terbatas mulai dari Air Seblat hingga Air Rami. Hal ini menyebabkan gajah hanya menetap dalam waktu yang singkat pada suatu wilayah, dan lama menetap tergantung pada ketersediaan pakan dan pengusiran yang dilakukan penduduk atau karyawan KSDA beserta tim Conservation Respon Unit (CRU). Simulasi pemodelan dinamika populasi gajah Sumatera dilakukan pada kondisi lapangan, mengurangi tekanan tenduduk dengan melakukan pelarangan pembukan lahan di dalam kawasan habitat, pelarangan pene-bangan kayu, pelarangan perburuan satwa gajah. Jangka waktu dalam analisis simulasi pemodelan ditentukan berdasarkan stabilitas luaran model sehingga waktu simulasi tergantung kepada stabilitas luaran masing-masing model tersebut. Hasil penelitian terhadap produksi hijauan pakan gajah yang terdapat di kawasan HPT PLG Seblat sekitar 18,85589 ton/ha pada musim hujan dan pada musim kemarau 6,76697 ton/ha. Sedangkan kebutuhan per ekor gajah dengan bobot badan 2500 kg sampai 3000 kg, menurut (Sukumar 2003) adalah 10% dari bobot badan (250 sampai 300 kg per ekor per hari). Model populasi gajah menggambarkan dinamika jumlah gajah Sumatera yang ada di kawasan PLG Seblat. Menurut Dephutbun (2000) populasi gajah liar 100-200 ekor, dengan asumsi 30% dari populasi merupakan gajah produktif,sex ratio 1:1, dan gajah betina melahirkan 1 ekor anak tiap 4 tahun (Sukumar 1989). Diharapkan jumlah perkembangan gajah liar maximum per tahun sebanyak (30/100 x 200):2:4 = 8 ekor, hal ini dengan kondisi habitat yang ideal (kualitas dan kuantitas). Rizwar et al. (2001) menyatakan bahwa populasi gajah di kawasan Air Seblat - Air Rami sekitar 50 ekor/70 km2. Menurut Blake dan Hedges (2004)
belum ada estimasi yang pasti mengenai ukuran populasi gajah di Indonesia. Perkembangan populasi gajah secara alami dipengaruhi oleh angka kelahiran dan kematian. Besarnya kelahiran gajah setiap tahunnya dipengaruhi oleh variabel gajah produktif, sex ratio, persen kelahiran, ratio ketersediaan hijauan pakan dan hijauan pakan gajah, serta kebutuhan hijauan pakan. Demikian juga kematian gajah yang ada di kawasan PLG Seblat disebabkan oleh kematian alami, dan perburuan oleh masyarakat. Simulasi yang dilakukan pada model populasi gajah Sumatera di kawasan HPT PLG Seblat tanpa penerapan aturan, misalnya pembatasan perburuan dan pengurangan hijauan pakan akibat dari tekanan penduduk terhadap kawasan. Kondisi yang ada sekarang yaitu adanya tekanan terhadap kawasan habitat gajah oleh kegiatan konversi lahan menjadi perkebunan dan ladang penduduk serta masih adanya perambahan hutan di dalam dan sekitar kawasan habitat gajah oleh masyarakat. Perkembangan penduduk yang terus meningkat menyebabkan kebutuhan lahan untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan pemukiman juga meningkat. Hal ini menimbulkan dampak terhadap habitat gajah yang semakin berkurang, sehingga dapat mengurangi daya dukung habitat dalam menyediakan hijauan pakan. Daya dukung habitat yang terbatas menyebabkan terjadinya persaingan antara gajah (intra spesific relationsip) dan antara gajah dengan herbivora lain seperti rusa (inter spesific relationsip) untuk memperoleh hijauan pakan. Perkembangan populasi gajah dipengaruhi oleh ketersediaan hijauan pakan dan adanya tekanan penduduk pada kawasan habitat gajah yang berpengaruh terhadap konversi hijauan.
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
47
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
Populasi gajah pada saat ini berdasarkan perhitungan daya dukung lahan dalam menyediakan hijauan pakan pada musim hujan 77,67 ekor/68,65 km2 atau 0,88 km2/ekor dan musim kemarau 18,58 ekor/68,65 km2 atau 3,69 km2/ekor. Sedangkan perhitungan kepadatan gajah berdasarkan kepadatan kotoran ditemukan sekitar 40 ekor/68,65 km2 atau 1,72 km2/ekor. Selain faktor ketersediaan pakan, jumlah individu satwa juga akan menentukan pertambahan ukuran populasi. Gajah membutuhkan waktu yang lama untuk pertambahan populasi, hal ini disebabkan interval kelahiran membutuhkan waktu 4 tahun dengan masa bunting sekitar 18 sampai 23 bulan.
Dengan ukuran populasi yang kecil maka perkembangan populasi lebih lambat di banding dengan ukuran populasi yang lebih besar. Tekanan penduduk dan perambahan hutan yang masih terjadi pada kawasan habitat gajah menyebabkan populasi gajah semakin menurun dari 40 ekor/68.65 km2 pada tahun 2006 menjadi 3,96 ekor/68,65 km2 pada tahun 2036. Kondisi penurunan populasi gajah selain karena masih adanya perburuan gajah, juga disebabkan ketersediaan hijauan pakan gajah yang terus berkurang karena aktivitas konversi lahan. Gambar 2 memperlihatkan penurunan populasi gajah berhubungan dengan berkurangnya hijauan pakan.
. 1. Hijauan Pakan Gajah 1
480,000,000
2
41
1
406,000,000
2
33
2 1
12
12
12 1
2
2. Populasi Gajah 2
2
1
2 2
1
2 1
1
332,000,000
2
26
1
258,000,000
2
18
2 1
2 1 2
1 1
2 1
1
184,000,000
2
11
1
110,000,000
2
1
2 1 1
3 2,006
2,010
2,014
2,018
2,022
2,026
2,030
2,036
TA HUN
Gambar 2. Hijauan Pakan Gajah dan Populasi Gajah. Hasil analisis sensitivitas pada data hasil simulasi menunjukkan bahwa perubahan populasi gajah dipengaruhi secara nyata oleh gajah yang tumbuh dewasa, mati alami dan mati perburuan (Gambar 4). Gambar 4 menunjukkan populasi gajah yang terus menurun. Hal ini disebabkan perkembangbiakan gajah yang lambat dengan rata-rata masa
kehamilan 21 bulan dan jarak antar kehamilan betina sekitar 4 tahun (Sukumar 2003). Faktor lain yang mempengaruhi gajah tumbuh dewasa adalah kondisi lingkungan habitat gajah yang sudah banyak mengalami fragmentasi habitat, degradasi habitat dan masih adanya aktivitas perburuan gajah (illegal killing).
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
48
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
45
Populasi Gajah
40 35 30
Populasi gajah
25
Tumbuh dewasa
20
Mati alami Mati perburuan
2
15
y=-0.059x +0.7994x+37.789 R2=0.9948
10 5 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 Tahun Ke
Gambar 4. Analisis sensitivitas terhadap hasil simulasi dinamika populasi gajah selama 30 tahun. Kesimpulan 1. Estimasi kepadatan gajah Sumatera di HPT PLG Seblat 0,58/km2 atau 40 ekor/68,65 km2 atau 1,72 km2/ekor. 2. Populasi gajah pada saat ini berjumlah sekitar 40 ekor akan terus menurun sampai tahun 2036 menjadi 3,96 ekor/68,65 km2. 3. Penurunan populasi gajah sangat berhubungan dengan perkembangan populasi yang lambat, semakin menurun ketersediaan hijauan pakan karena adanya konversi lahan, dan adanya perburuan gajah (illegal killing). Daftar Pustaka Alikodra 1997. Nilai Politik, Ekonomi, dan Ekologis Keanekaragaman Hayati. Disampaikan Pada Sosialisasi INMENDAGRI Nomor 35 Tahun 1997 Tentang Pembinaan Pengelolaan Taman Flora dan Fauna di daerah. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Barnes, R.F.W and K.L. Barnes.1992. Estimating decay rates of elephant dung-piles in forest. African Journal of Ecology 30: 316-321.
Barnes, R.F.W. (1996) Estimating forest elephant abundance by dung counts. In: Studying Elephants [Ed. Kangwana, K.]. African Wildlife Foundation, Nairobi, Kenya. Blake, S.and S. Hedges. 2004. Sinking the flagship: the case of forest elephants in Asia and Africa. Conservation Biology 18: 1191-1202. Blanc, J.J., C.T. Thouless., J. Hart., H.T. Dublin., I.Douglas-Hamilton., G.C. Craig, and R.F.W.Barnes. 2003. African Elephant Status Report 2002: A report of the African Elephant Database. IUCN/SSC African Elephant Specialist Group, Gland, Switzerland, and Cambridge, UK. Blouch, R.A and Haryanto. 1984. Elephant in Southern Sumatera. IUCN/WWF. Report 3. Project 3033. Bogor. Blouch, R.A and K. Simbolon. 1985. Elepehant in Northern Sumatera. IUCN/WWF. Report 3. Project 3033. Bogor. CITES, 2000. Appendix 1, as adopted by the conference of the parties, valid from 9 July 2000. Available online at http://www.cites.org/eng/append /I-II.shtml (21 Oktober 2005).
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
49
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
Dasman, R.F. 1981. Wildlife Biology. John Wiley and Sons.Inc. New York Dawson, S. 1993. Estimating elephant numbers in Tabin Wildlife Reserve, Sabah Malaysia. Gajah Journal of The Asian Elephant Specialist Group, WWF/SSC 7 Dekker, A.J.F.M., S. Dawson and A.A.Desai. 1991. An indirect method for counting in Asian elephant in forests. In newsletter of Asian Elephant Specialist Group, WWF/SSC 7. Dephutbun. 2000. Rencana Pengelolaan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Unit Konservasi Sumberdaya Alam Bengkulu. Dickinson B. 1995. A reconnaissance survey of elephant population in Oban Division of Cross River National Park, Nigeria. Cross River National Park, Akamkpa, Nigeria. Haryanto. 1984. Studi Pengaruh Pembukaan Wilayah Hutan Terhadap Penyebaran dan Habitat Gajah (Elephas maximus sumatranus Temmick 1847) di Sumatera Bagian Selatan. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Tidak Diterbitkan. Hedges, S., M. J. Tyson., A. F. Sitompul., M. F. Kinnaird., D. Gunaryadi and Aslan. 2005. Distribution, status, and conservation needs of Asian elephants (Elephas maximus) in Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Biological Conservation 124:35–48. Hedges.S and D. Lawson. 2006. Dung Survey Standards For The Mike Programme. CITES MIKE Programme. Nairobi Kenya. Obot EA. 1996. Flora and vegetation of Okwangwo Division, Cross River National Park. In: Essential partnership: the forest and the people, Proceedings of a workshop
on the rainforest of south-east-ern Nigeria and south-western Cameroon, Obudu Cattle Ranch and Resort, 20-24 October 1996. Primack, J., M.Supriatna., M. Indrawan dan P. Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Rizwar, Darmi dan Zulfian. 2001. Kepadatan Populasi dan Kondisi Habitat Gajah Elephas maximus sumatranus Pada Fragmentasi Hutan Di Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara. Santiapillai, C and H. Suprahman. 1986. Aspect of The Ecology of The Sumatran Elephant in The Way Kambas Game Reserve, South Sumatera.WWF/IUCN Report, 1984. Sukumar, R. 1989. The Asian Elephant Ecology and Management. Cambridge University Press. Sukumar, R. 2003. The Living Elephants. Evolutionary Ecology, Behavior, and Conservation.OxfordUniversity Press. Supriyanto, D. Saragih, Mansur dan Chairuddin. 2000. Inventarisasi Populasi Gajah Sumatera Elephas maximus sumatranus di Kawasan Air Seblat- Air Bantal Kiri, Kabupaten Bengkulu Utara. Unit KSDA, Bengkulu. Tchamba MN. 1992. Defecation by the African forest elephant (Loxodonta africana cyclotis) in the Sanchou Reserve, Cameroon. Nature et Faune 7:27-31. WWF 2005.Central African Elephant Conservation Strategy. WWF International Avenue du MontBlanc 1196 Gland Switzerland www.panda.org. Yanuar, A. 2000. Panduan Teknik Survey Umum Mammalia. Pelatihan Survey Keanekaragaman Hayati, TN Way Kambas, Lampung 10-15 September 2000.
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
50
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 2008, Vol. XI. No. 1.
Survei Populasi dan Hijauan Pakan Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Kawasan SeblatKabupaten Bengkulu Utara
51