FUNGSI DAN MAKNA AINUAN DALAM PERTANIAN TRADISIONAL MASYARAKAT ATOIN METO1 7+()81&7,216$1'0($1,1*2)$,18$1,1 $72,10(72¶6$*5,&8/785( Selsus Terselly Djese Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Jalan Fetor Foenay, Kolhua Kota Kupang
[email protected] Handphone: 081339089110 Diterima: 9 Juni 2015; Direvisi: 24 Agustus 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KHPDLQSUREOHPVRIWKLVVWXG\DUHKRZDUHWKHFRKHUHQFHVEHHWZHQ$LQXDQDQGWKH$WRLQ0HWR¶VVWDJHRI DJULFXOWXUDODFWLYLWLHVDQGLWVULWHV"$QGZKDWDUHWKHPHDQLQJDQGWKHIXQFWLRQRI$LQXDQLQWKH$WRLQ0HWR¶V stages of agriculture and its rites? This study applies the method of interpretive qualitative. As result, the study comes to the conclusion that Ainuan has many fungtions; it is an altar of a central of tradisional adoration in $WRLQ0HWR¶VWUDGLVRQDOUHOLJLRQLQWKHLU¿HOG,WEHFRPHVDSODFHIRUWKHDGRUDWLRQRI8VL3DKRU3DK7XDIRU ODQGORUG3DK1LWXRUDQFHVWUDOVSLULWVDQG1LWXRU/HXRURWKHUVSLULWVZKRGZHOOLQWKH¿HOGV$ERYH$LQXQDV the altar the Atoin Meto do the various agricultural ritual during their agricultural cycle. In an agrarian activity of Atoin Meto, Ainuan has spiritual meaning, the meaning of ecological and social meaning. Keywords: Ainuan, agricultural activities, people of Atoin Meto. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dua permasalahan pokok yaitu bagaimana kaitan Ainuan dengan tahap-tahap pertanian masyarakat Atoin Meto dan ritus-ritus yang menyertainya? dan apa saja makna dan fungsi Ainuan dalam tahap-tahap pertanian dan ritus-ritusnya itu? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif interpretatif. Dari hasil analisis ditemukan bahwa Ainuan berfungsi sebagai altar batu tempat pemujaan di dalam lahan pertanian masyarakat Atoin Meto. Ia menjadi tempat pemujaan bagi Usi Pah atau Pah Tuaf atau penguasa tanah, Pah Nitu atau arwah leluhur dan Nitu atau Leu atau roh-roh lainnya yang berdiam di kebun atau ladang. Di atas Ainuan diselenggarakan berbagai ritual pertanian selama siklus pertanian masyarakat Atoin Meto. Dalam aktivitas agraris masyarakat Atoin Meto, Ainuan memiliki makna spiritual, makna ekologis dan memiliki makna sosial. Kata kunci: Ainuan, aktivitas pertanian, masyarakat Atoin Meto.
PENDAHULUAN Kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat, selalu dapat berubah. Dengan rumusan yang
lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan bersifat dinamis. Dalam hubungan dengan sifat dinamis dari kebudayaan ini, para pakar kebudayaan di Indonesia sepakat untuk menegaskan bahwa kebudayaan itu merupakan sebuah proses. Artinya kebudayaan itu ada tanpa batas-batas yang jelas dan karena itu bersifat sementara,
1
Tulisan ini merupakan pengembangan dengan data dan analisis baru dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Selsus Terselly Djese, S.Fil, Drs. Yohenes L. Masman, Melkior I. M. Lenggu, STP, MM dengan judul Pendekatan %XGD\DGDODP3HQJHPEDQJDQ7HNQRORJL3HUWDQLDQ7DQDPDQ-DJXQJGL1XVD7HQJJDUD7LPXU$QDOLVLV.DVXV.HDULIDQ Lokal dalam Teknologi Pertanian Tradisional Tanaman Jagung pada Masyarakat Etnis Atoin Meto, Lamaholot dan Rote), pada tahun 2014 di kabupaten Timor Tengah Utara, Kupang, Rote Ndao dan Flores Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.
283
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 sehingga ia bukan lagi serentetan nilai-nilai masa lalu yang harus dipelihara dan wajib diwariskan (Doredae, 1995:10). Kebudayaan dan unsurunsurnya merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia, entah yang diwariskan dari para pendahulu, atau yang baru dibentuknya. Umar Kayam (dalam Doredae, 1995:10), melihat kebudayaan sebagai sebuah dialektika manusia untuk menjawab tantangan-tantangan dalam kehidupannya. Dengan demikian kebudayaan selalu ada sebagai tanggapan dialektis manusia dengan kehidupannya. Manusia tidak hanya menerima dan mewariskan unsurunsur kebudayaan, tetapi ia juga menciptakan kebudayaan. Di sinilah terbentuk suatu ruang di mana perubahan dalam kebudayaan selalu dimungkinkan. Berkaitan dengan nilai-nilai budaya, perubahan ini dapat mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai budaya. Dalam kehidupan bermasyarakat misalnya, nilai-nilai luhur seperti kesetiakawanan, gotong-royong dan saling menghormati dapat berganti dengan nilai-nilai baru yang individualistik, egoistis dan sebagainya. Dalam kehidupan spiritual religius, nilainilai yang menjunjung tinggi kesakralan suatu kehidupan keagamaan dapat berganti dengan nilai-nilai baru yang lebih profan dan cenderung mengabaikan dimensi simbolis serta pemaknaan nilai dari suatu tindakan, dari benda-benda dan perkataan keagamaan. Berbagai bentuk aktivitas keagamaan dapat kehilangan maknanya dan hanya menjadi suatu aktivitas profan biasa (bdk. Rengka, 2011 dalam Neonbasu, ed., 2011: 25-27). Dalam sistem kepercayaan tradisonal masyarakat Atoin Meto1, realitas seperti ini 1 Atoin Meto atau Atoni Pah Meto merupakan salah satu rumpun suku terbesar di wilayah pulau Timor bagian barat, provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka lebih dikenal sebagai ‘orang 'DZDQ¶ walaupun dari kalangan internal, mereka lebih suka menamakan diri mereka sebagai Atoin Meto. Istilah ini lebih mumpuni untuk menunjukkan LGHQWLWDV NDUDNWHULVWLN GDQ NHDGDDQ JHRJUD¿V KLGXS mereka. Dalam bahasa 'DZDQ (Uab Meto), Atoin berarti Orang dan Meto berarti kering atau tidak ada air, jadi Atoni Meto adalah sekelompok orang yang hidup di daerah yang kering atau gersang. Masyarakat Atoin Meto ini mendiami sebagian besar wilayah pulau Timor bagian Barat (bdk. Yapi Taum, 2008: 11-13).
284
dapat mengancam penghayatan masyarakat akan makna dan nilai di balik tindakan, benda dan bahasa simbolis dari berbagai aktivitas keagamaan tradisional, misalnya pelaksanaan ritual dalam siklus pertanian. Adanya pergeseran nilai dari yang sakral ke yang profan dapat mengganggu kesakralan pelaksanaan ritual pertanian masyarakat tani Atoin Meto dalam siklus pertanian tanaman jagung yang telah mereka lakukan secara turun-temurun. Pergeseran nilai ini secara perlahan dapat mengakibatkan pelaksanaan berbagai ritual selama siklus pertanian hanya dilakukan sebagai rutinitas tahunan semata yang nirmakna. Pergeseran nilai ini juga mengakibatkan berbagai simbol yang ada di dalam ritual tersebut yang sejatinya merepresentasikan berbagai makna, kehilangan maknanya. Aktivitas ritual dan berbagai simbol yang terdapat di dalamnya kehilangan dimensi sakralnya dan beralih menjadi aktivitas dan simbol biasa layaknya benda profan lainnya. Beberapa tetua adat, pemangku ulayat dan tetua masyarakat Atoin Meto lainnya di desa Usapinonot menjelaskan bahwa, aneka ritual yang ada dalam siklus pertanian tanaman jagung telah mereka lakukan secara turun temurun dan akan terus mereka wariskan kepada generasi yang akan datang. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dari hari ke hari, oleh generasi yang ada sekarang, pelaksanaan ritual tersebut mulai kehilangan nilai-nilai kesakralannya. Berbagai ritual dilaksanakan hanya sebagai rutinitas yang harus dilakukan selama siklus pertanian. Makna dan fungsi yang ada di balik pelaksanaan ritual tersebut, termasuk makna yang ada di balik simbol-simbol yang digunakan dalam ritual-ritual pertanian, tidak lagi dipentingkan dan mulai berangsur hilang. Fenomena ini menjadi ancaman bagi kelestarian dan kesakralan berbagai benda budaya termasuk Ainuan. Ainuan yang adalah altar batu sebagai salah satu kultus ritual pertanian tradisional masyarakat Atoin Meto juga mempresentasikan berbagai makna dan fungsi baik yang berdimensi spiritual religius maupun sosial kolektif. Oleh adanya perubahan budaya yang mengakibatkan adanya pergeseran nilai-nilai, makna dan fungsi Ainuan
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
dalam aktivitas pertanian menjadi terancam. Perlahan-lahan, Ainuan dilihat hanya sebagai altar batu biasa dalam rutinitas siklus pertanian tradisional masyarakat Atoin Meto. Oleh karena itu penelitian ini penting untuk dilakukan karena ia ingin menjawab pertanyaan; pertama; Bagaimana fungsi Ainuan dengan tahap-tahap pertanian masyarakat Atoin Meto dan ritus-ritus yang menyertainya? Kedua; Apa saja makna Ainuan dalam tahap-tahap pertanian dan ritus-ritusnya itu? Penemuan makna dan fungsi Ainuan ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan kolektif yang akan mendasari penghayatan dan penghormatan terhadap Ainuan sebagai salah satu benda budaya yang sakral. Penghayatan dan penghormatan ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menemukan dan mempertahankan nilai kesakralan Ainuan di tengah perubahan budaya. Penelitian ini menggunakan teori Fungsional Bronislaw Malinowski (18841942). Malinowski mengembangkan teori fungsionalnya di dalam buku yang diterbitkan sesudah ia wafat yaitu $ 6FLHQWL¿F 7KHRU\ RI Culture and Other Essays (1944). Di dalam buku ini, sebagaimana dikutip Doredae (1995:25), Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan. Menurutnya semua unsur kebudayaan bermanfaat atau memiliki manfaat tertentu bagi masyarakat. Fungsi unsurunsur kebudayaan itu adalah untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar (primer) manusia bahkan juga kebutuhan-kebutuhan sekunder. Ini berarti bahwa segala aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud untuk memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia. Menurut Malinowski (dalam Doredae, 1995:26), Kebudayaan merupakan satu mekanisme yang kompleks untuk menjawab kebutuhankebutuhan manusia. Dalam konteks inilah, setiap unsur kebudayaan mempunyai nilai dan fungsi karena merupakan bagian utuh dari mekanisme yang kompleks untuk menjawab kebutuhankebutuhan manusia. METODE Tipe penelitian adalah kualitatif interpretatif. Metode interpretasi yang diterapkan dalam
penelitian ini menggunakan perpaduan teknik etik (pemahaman dan refleksi peneliti atas objek penelitian) dan emik (pemahaman tentang objek penelitian dalam lingkungan asalnya), (Neonbasu 2013:2). Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder yang diperoleh dari wawancara, studi pustaka dan pengamatan/ observasi. Wawancara untuk memperoleh data primer dilakukan di desa Usapinonot kabupaten TTU dan desa Heuknutu kabupaten Kupang. Wawancara ini dilakukan terhadap tetua adat dan atau pemangku adat. Data ini dilengkapi dengan beberapa data sekunder yang berupa hasil penelitian tentang siklus pertanian masyarakat Atoin Meto yang dilakukan Schulte Nordholt di daerah Maubesi, kabupaten TTU dan beberapa artikel tentang ritus pertanian di daerah Molo, kabupaten TTS, di desa Tuabatan, desa )D¿QHVXGDQGHVD/XUDVLNNDEXSDWHQ778'DWD \DQJ WHUNXPSXO DNDQ GLNODUL¿NDVL GLNDWHJRUL diinterpretasi dengan menggunakan pendekatan fungsional dan dideskripsikan dengan tetap mengacu pada teknik etik dan emik. PEMBAHASAN Fungsi Ainuan dalam Tahap Kegiatan Pertanian Tanaman Jagung Masyarakat Atoin Meto2 Kegiatan pertanian tradisional masyarakat etnis Atoin Meto, budidaya tanaman jagung dilakukan dengan menggunakan tahap-tahap tertentu yang disertai dengan ritual-ritual tertentu pula. Norlhold, (1971:52 dan 89), menampilkan hasil penelitiannya di wilayah Maubesi, Kabupaten TTU, Provinsi NTT tentang siklus agraris dan ritual masyarakat Atoin Meto di daerah tersebut. Siklus dan aneka ritual tersebut adalah ritual pemilihan 2 Penjelasan tentang tahap-tahap pertanian tradisional dalam siklus pertanian masyarakat Atoin Meto dalam pembahasan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan tetua adat/pemangku adat/Atoin Amaf/Tobe di desa Usapinonot, desa Heuknutu dan beberapa artikel tentang ritus pertanian di daerah Molo kabupaten TTS, GHVD7XDEDWDQGHVD)D¿QHVXGDQGHVD/XUDVLNNDEXSDWHQ TTU dengan mempedomani tahap-tahap pertanian yang ditemukan oleh Nordholt di daerah Maubesi sebagai sumber yang paling tua. Pemaparan akan terkonsentrasi pada ritual yang memiliki keterkaitan dengan Ainuan.
285
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 sebidang tanah, pemberitahuan (permintaan izin) kepada Tobe,3 penajaman parang, penebangan pohon-pohon, pembakaran, pemadaman suluh (6LIR 1RSR), pembendungan selokan (Eka Hoe), kemarau panjang dan kegagalan panen, pembayaran kepada Tobe, penjagaan tanaman muda, pamanenan jagung pertama, pemanenan padi, pemanenan jagung atau mematah jagung (6HNH3HQD), dan perjalanan kembali ke kampung. Dalam ritual-ritual tersebut, terdapat beragam simbol yang digunakan sebagai media komunikasi sekaligus media penghormatan terhadap Yang Ilahi, para pendahulu atau Leluhur, dan roh-roh tertentu yang berdiam di tempattempat tertentu.4 Salah satu simbol tersebut adalah sebuah altar batu yang terletak di kebun yang dinamakan Ainuan atau yang dikenal juga dengan istilah %DNL)XD atau Bak-bak atau Uis Pah atau Pah Tuaf. Kata Ainuan merupakan istilah bahasa 'DZDQ (Uab Meto) yang terdiri dari kata Ai dan Nuan6HFDUDKDUD¿DKAi berarti membungkukkan (berkaitan dengan kayu) dan secara konotatif juga berarti memberitahukan atau mengundang (berkiatan dengan manusia). Sedangkan kata Nuan berarti membuang jauh-jauh atau menombak (kayu atau tombak). Rangkaian kedua kata ini merujuk pada sebuah altar kecil di tengah kebun yang tersusun dari bebatuan bulat pipih dan atau juga sebuah tiang kayu pendek. Arti leksikal Ainuan yang merupakan gabungan kata Ai dan Nuan tersebut, memiliki 3 Tobe merupakan jabatan yang diemban oleh seseorang secara turun-temurun dalam lingkup budaya etnis Atoin Meto. Seseorang yang mengembang jabatan sebagai seorang Tobe tertugas sebagai pengatur dan pengelola tanah ulayat milik sukunya. Dalam tradisi yang lebih tua, kadang kala seorang Amaf yang memimpin suatu klan atau Ume (walaupun secara leksikal Ume berarti rumah, tetapi Ume lebih bermakna simbolis dan yang merujuk pada istilah suku/klan) sekaligus menjalankan fungsi sebagai seorang Tobe. Dapat pulau terjadi seorang Tobe dipilih oleh Amaf untuk menjalankan tugas berkaitan dengan pengelolaan tanah milik suku. 4 Dalam sistem kepercayaan tradisional masyarakat Atoin Meto ada tiga wujud spiritual tersebut adalah Uis Neno (Tuhan Langit)-Uis Pah atau Pah Tuaf (Tuhan Tanah), leluhur atau Be’i- Na’i atau Pah Nitu dan roh-roh lainnya atau Nitu atau Le’u, (bdk. Yapi Taum, 2008: 14)
286
pertalian makna dengan mitos asal-muasal tanaman palawija yang hidup sebagai tradisi lisan dalam kehidupan masyarakat Atoin Meto. Secara mistis, kehadiran Ainuan ini dihubungkan dengan kisah pembunuhan atau pengurbanan putri Liurai 6RQED\ menjadi benih tanaman palawija (padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) (bdk. Tefa Sa’u, 2008:17-19). Pembunuhan dan pengurbanan sang putri ini terjadi di tengah kebun, di atas sebuah tumpukan bebatuan. Kata Ai yang berarti membungkukan sebilah kayu dapat disejajarkan maknanya dengan memotong sebilah kayu. Kayu ini yang digunakan untuk menikam sang putri yang disejajarkan maknanya dengan arti kata Nuan yang berarti menombak sebilah kayu. Tumpukan bebatuan tempat dilakukannya pembunuhan atau pengurbanan sang putri dan kayu tersebut, akhirnya dihubungkan sesuai dengan tindakan dalam peristiwa tersebut dan dinamakan Ainuan. Pada zaman dahulu sebagaimana hasil penelitian Norlhold (1971) di daerah Maubesi, serta di beberapa daerah yang masih memiliki ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang mencukupi, siklus agraris masyarakat Atoin Meto,6 dimulai dengan persiapan lahan pertanian. Persiapan ini dimulai dengan menentukan dan meninjau kebun baru atau /HOH )HX yang akan dikerjakan. Peninjauan ini dilakukan oleh seorang Amaf atau tuan tanah. Selanjutnya kebun tersebut diberi batas dan dibagikan kepada anggota di dalam klan atau .QDI.DQDI tersebut. Selain dibagi menjadi bidang-bidang 5
Dalam cerita mitos masyarakat etnis Atoin Meto terutama di kecamatan (sekarang)/swapraja/domain (zaman kerajaan) Miomafo, Molo, Fatuleu, hingga Kupang, sosok /LXUDL6RQED\ diyakini sebagai sosok yang menjadi raja sulung dan membawahi wilayah Miomafo, Molo, Fatuleu, hingga Kupang. Ia dikenal dengan nama Nai Laban dan dihormati sebagai pemimpin Atoin Meto. Bersama 2 Liurai lainnya, (Liurai Wehali, Liurai Likusaen), ia diyakini sebagai turunan/pangeran kerajaan Wewiku Wehali di wilayah tengah pulau Timor bagian selatan. Ia ditugaskan oleh raja Wewiku Wehali untuk menjadi pemimpin di wilayah etnis Atoin Meto di bagian utara pulau Timor. 6 Kategorisasi tahapan pertanian dalam siklus pertanian masyarakat Atoin Meto merupakan kategori tahap pertanian berdasarkan pelaksanaan ritual yang dilakukan selama siklus pertanian.
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
kebun untuk diolah, di tengah-tengah kebun baru atau /HOH )HX ini, selalu ditetapkan sebidang tanah yang dikhususkan bagi Pah Tuaf atau seorang pemilik tanah, yang disebut Etu. Etu ini merupakan tempat pusat ritual kepada Uis Pah atau Pah Tuaf (Tuhan Tanah) dalam semua ritual di dalam /HOH)HX tersebut. Di dalam Etu inilah Ainuan pertama kali didirikan dan disebut Baki )XD atau Bak-bak. Bebatuan yang digunakan sebagai %DNL )XD atau Bak-bak ini dipilih dari bebatuan yang ada di dalam /HOH)HX tersebut. Tidak diperbolehkan untuk memungutnya di luar /HOH)HX. Bebatuan ini dipilih atau ditentukan oleh seorang dukun atau Mnane. Bebatuan untuk Ainuan ini terdiri dari bebatuan besar atau bebatuan kecil dengan sebuah batu besar di atasnya. Di samping atau di tengah bebatuan itu didirikan sebuah tiang kecil yang disebut Hau Teas. Altar bebatuan dan Hau Teas ini disebut juga dengan nama Uis Pah atau Pah Tuaf karena diyakini sebagai tempat tinggal Uis Pah atau tempat duduk atau Toko dari Uis Pah atau Pah Tuaf. Selain sebagai tempat kediaman atau tempat duduk Uis Pah atau Pah Tuaf, altar ini juga diyakini sebagai tempat berdiam para leluhur atau Be’i-Na’i dan tempat diam roh-roh yang tak kelihatan atau Le’u. Proses pendirian Ainuan dan Hau Teas ini dilakukan secara saksama oleh seorang dukun atau Mnane. Ketelitian dalam proses pemilihan batu dan penempatan posisi Ainuan diyakini mempengaruhi restu tiga wujud spiritual kepercayaan tradisional terhadap aktivitas pertanian yang akan dilakukan. Restu ini akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pertanian itu, karena restu tersebut secara khusus dilambangkan dengan ketersediaan hujan, kebebasan dari hama penyakit dan kesehatan tanaman selama proses pertumbuhannya. Setelah menentukan dan meninjau Lele )HX dilakukan ritual di atas %DNL)XD Tobe atau pemimpin ritual mengucapkan doa, kemudian, seekor hewan dikurbankan dan diteliti hati atau organ dalam lainnya untuk menemukan maksud dan restu Uis Pah para leluhur dan rohroh lainnya. Darah hewan persembahan yang dikurbankan, dipercikan di atas altar ini. Dengan
percikan itu, Ainuan disakralkan sebagai tempat berdiam Uis Pah, Pah Nitu dan roh-roh lainnya atau Nitu atau Leu. Setelah disakralkan, %DNL )XD mulai digunakan sebagai altar persembahan dan pemujaan. Beberapa bagian dari hewan kurban tadi diletakkan di atas %DNL)XD, bersama dengan sirih pinang, Ut (jagung goreng yang dihaluskan) yang ditempatkan di dalam keranjang atau .DVXL. Sedangkan beberapa bahan persembahan seperti jagung, beberapa potong daging dan tengkorak hewan kurban dikaitkan dan digantung pada Hau Teas. Bahan-bahan persembahan ini dipersembahkan kepada ketiga wujud spiritual yang diyakini berdiam di tempat tersebut. Lazimnya seorang Amaf atau Tobe bertindak sebagai pemimpin setiap ritual yang dilakukan dalam kegiatan pertanian. Pada masa sekarang saat ketersediaan lahan yang cukup mulai berkurang dan di beberapa daerah yang telah ada sistem pertanian dengan lahan permanen atau lahan tetap, proses persiapan lahan cukup dilakukan dengan membersihkan kebun permanen. Di kebun ini Ainuan juga telah ada secara permanen di tengah kebun. Ainuan ini akan diritualkan dan disakralkan pada saat dilakukan ritual pendinginan atau 6LIR1RSR. Persiapan lahan pertanian kemudian dilanjutkan dengan membersihkan dan atau menebas pohon dan semak belukar. Proses pembersihan biasanya dilanjutkan dengan pembakaran hasil pembersihan dan hasil tebasan. Setelah proses pembakaran itu selesai dilakukan, dibuat suatu ritual pendinginan yang disebut 6LIR 1RSR atau memadamkan suluh. Dalam ritual 6LIR 1RSR ini, altar batu %DNL )XD yang didirikan di dalam Etu juga didirikan di kebunkebun lain yang ada di dalam /HOH)HX. Pendirian ini juga dilakukan dengan petunjuk seorang dukun atau Mnane dengan tetap memperhatikan ketelitian pemilihan batu dan ketepatan posisi penempatannya di tengah-tengah kebun. Masyarakat Atoin Meto di suku Loin di desa Tuabatan meyakini bahwa ketiga wujud spiritual yang mendiami Ainuan merupakan para penjaga kebun, karena ketiganya dianggap sebagai pemilik tanah. Ketiga akan melindungi kebun dari serangan hama dan penyakit yang 287
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 diyakini sebagai lambang kekuatan jahat yang mengancam keberhasilan kegiatan pertanian masyarakat. Dengan itu, Ainuan merupakan titik pusat kebun dan titik utama pelaksanaan ritual pengurbanan hewan selama siklus agraris masyarakat suku Loin, (Loin, 2008; 9-10). Persiapan lahan pertanian dilanjutkan dengan pemagaran pada kebun baru atau Lele )HX dan perbaikan pagar pada kebun permanen. Tahap pertanian selanjutnya adalah proses seleksi bibit. Dalam proses ini ada ritual yang dilakukan terhadap bibit yang akan ditanam. Ritual ini diadakan di Ainuan atau %DNL)XD atau Bak-bak atau Uis Pah atau Pah Tuaf. Di dalam ritual ini, bibit atau benih yang akan ditanam, ditaruh di dalam sebuah tempat khusus yang dianyam dari daun lontar atau .DVXL. .DVXL ini diletakkan di atas Ainuan untuk diritualkan sebelum dibagikan kepada para petani agar dapat ditanam. Dalam ritual ini pula, masyarakat Atoin Meto suku 6HQJNRHQdi desa Usapinonot membawa Ut dan beras dalam tempat khusus yang disebut Tanasak, benih yanag akan ditanam, seekor hewan kurban dan Aisuak (alat tanam yang terbuat dari kayu runcing dan disebut). Benih jagung dan Ut kemudian diletakan di atas Ainuan. Sedangkan Aisuak diletakkan di sampingnya. Kemudian seorang Tobe akan mengurbankan seekor hewan dan meneliti hatinya. Sambil mengucapkan doa ritual, ia mereciki darahnya pada benih yang akan ditanam dan Aisuak yang akan digunakan untuk membuat lubang tanam. Setelah ritual ini dilakukan, proses penanaman boleh dimulai. Proses penanaman pertama-tama dimulai dengan menaman benih jagung di empat penjuru mata angin atau di tujuh tempat di sekitar Ainuan atau Baki Tua. Proses penamanan pertama ini dilakukan oleh kaum perempuan, yaitu isteri seorang kepala/ketua klan atau .QDI.DQDI. Benih jagung yang ditanam pertama ini disebut roh jagung atau 3HQD6PDQDI. Setelah 3HQD6PDQDI ini selesai ditanam, proses penanaman baru boleh dilakukan di bagian kebun yang lain. Masyarakat tani di daerah Lurasik yang menaman padi, mempunyai ritual khusus yang disebut 6HQDW/XODQ yang berarti menaman. Dalam ritual ini dikurbankan hewan dan beberapa bahan persembahan seperti sirih pinang (Manus 288
Puah) dan segengam beras di atas Ainuan yang terletak di tengah-tengah sawah. Ritual ini dibuat dengan maksud untuk meminta kehadiran dan perlindungan dari Pah Tuaf dan para lehulur agar tanaman padi yang akan ditanam tumbuh subur dan menghasilkan panen yang berlimpah. Secara metaforis maksud ini dilambangkan dengan penggalan doa dalam ritual itu yaitu; Uetuob es i ma utusib es i, hanait musaon ma’mubesbes ho manikin ma oe tenen neu taus ma nonof, ikero ma tayulan hanait tauna tna’nae, nona tnasbeb hanait sisna tna’nae, puenna tna’nae,7 (Timo, 2008; 63-64) Tahap pertanian dalam siklus pertanian masyarakat Atoin Meto, kemudian dilanjutkan dengan tahap kegiatan perawatan. Dalam kegiatan perawatan ini biasanya ada beberapa ritual yang dilakukan yaitu ritual meminta hujan, membendung erosi atau Eka Hoe dan menjaga tanaman muda. Kegiatan penenan merupakan tahap pertanian selanjutnya dalam siklus pertanian masyarakat Atoin Meto. Kegiatan penenan dilakukan dalam suatu ritual panenan tertentu tergantung pada jenis jagung yang ditanam.8 Ritual panenan masyarakat suku 6HQJNRHQ di desa Usapinonot terhadap jagung umur pendek atau Pen Molo terkonsentrasi di rumah adat .QDIatau .DQDI. Sedangkan ritual panenan jagung umur panjang atau Pen Molo yang dipanen kemudian, terkonsentrasi di )DWXNDQDI Oekanaf/)DWXNDQD2HNDQD.9 Akan tetapi sebelum dilakukan ritual di rumah adat dan di )DWXNDQDI Oekanaf/)DWXNDQD2HNDQD, proses panenan dimulai dengan memanen 3HQD 6PDQDI atau Roh Jagung yang dilambangkan dengan empat atau tujuh batang jagung yang ditanam di sekitar Berarti: +XMDQ\DQJEHUOLPSDKXQWXNPHQJRNRK kan batang padi dan melebarkan dedaunannya dan membuat bernas bulir-bulir padi. 8 Umumnya masyarakat Atoin Meto membudidayakan dua jenis jagung lokal yaitu jagung umur pendek atau jagung kuning yang disebut Pen Molo dan jagung umur panjang atau jagung putih yang disebut Pen Muti. 9 )DWXNDQDI2HNDQDI atau )DWXNDQD2HNDQD, merupakan salah satu tempat kultus penyembahan dalam sistem kepercayaan tradisional masyarakat Atoin Meto. Setiap suku memiliki satu )DWXNDQDI2HNDQDI)DWXNDQD Oekana dan sacara mistis, ia diyakini sebagai pengasal dari semua anggota suku tersebut. 7
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
Ainuan atau di empat penjuru angin di samping Ainuan. 3HQD6PDQDI ini kemudian diletakkan di atas Ainuan dan diritualkan sebagai persembahan kepada Uis Neno. Dalam ritual itu, Amaf atau Tobe yang memimpin ritual mengurbankan seekor hewan, kemudian mengucapkan beberapa bait doa. Doa yang didaraskan ini berisi ucapan syukur kepada Uis Pah, roh leluhur dan roh-roh lain yang berdiam di kebun tersebut atas panenan yang diterima. Darah hewan kurban tersebut dipercikkan di seruluh batang jagung. Kemudian jagung dibiarkan selama beberapa saat di atas Ainuan. Saat sore hari, jagung tersebut dibawa untuk diritualkan lagi di rumah adat dan dikonsumsi secara bersama-sama oleh semua anggota .QDI/.DQDI. Hal yang sama terjadi juga dengan jagung umur panjang atau Pen Muti yang diritualkan dan dimakan secara bersama-sama di sekitar )DWXNDQDI2HNDQDI. Sedangkan di daerah Molo, jagung umur panjang atau jagung putih yang disebut Pen Muti yang siap dipanen, dipetik pertama kali di sekitar Ainuan. Jagung itu dinamakan Pen 6PDQDI atau roh jagung. Beberapa batang jagung ini merupakan jagung yang pertama kali ditanam oleh isteri ketua .QDI/.DQDIpada saat dimulainya proses menanam. Beberapa batang jagung ini dipetik, kemudian diletakkan di atas Ainuan atau digantung di Hau Teas. Kemudian jagung tersebut diritualkan. Ritual ini dikenal dengan istilah )XWX 3HQD 6PDQDI atau mengikat roh jagung. Masyarakat meyakini bahwa jika ritual pengikatan roh jagung ini tidak dilakukan maka, roh jagung akan berpindah ke kebun lainnya dan akan mengakibatkan jagung yang dipanen akan meyusut jumlahnya (Messakh, 2010, 98-99). Di daerah Lurasik, masyarakat Atoin Meto yang bertani padi sawah, mempunyai ritual yang berkaitan dengan kayakinan akan adanya roh tanaman yang dinamakan dengan $QH 6PDQDI Ritual itu dinamakan Tlef Ane 6PDQDI atau memotong jiwa padi. Dalam ritual ini beberapa batang padi dipotong, diikat secara khusus dan diletakkan di atas Ainuan. Tujuan dilakukannya ritual ini adalah untuk menjaga atau menyelamatkan dan mengikat jiwa atau roh padi agar ia tetap berdiam di dalam sawah tersebut
dan tidak berpindah ke sawah yang lain. Dengan itu diyakini bahwa, hasil panenan tidak akan berkurang atau menyusut (Timo, 2008; 65-66) Setelah ritual ini selesai dilakukan, proses pemetikan jagung atau padi yang lain dapat dilakukan. Jagung yang telah dipetik, dikumpulkan di sekitar Ainuan, di sekitar Pen 6PDQDI. Sejumlah jagung yang lain dibawa untuk diritualkan pada tempat kultus yaitu di rumah adat dan di )DWXNDQDI2HNDQDI/)DWXNDQD2HNDQD atau )DWX/H¶X. Dalam ritual itu, Tobe masyarakat Atoin Meto suku Loin di desa Tuabatan yang memimpin ritual mengucapkan doa untuk mengundang Roh Jagung atau 3HQD 6PDQDI dan Roh Padi Aen 6PDQDI yang diwakilkan oleh beberapa batang jagung atau padi yang diletakkan di atas Ainuan untuk kembali ke rumahnya/tempat tinggalnya (lumbung). Syair doa tersebut adalah $XSHQ¿QL PDDHQ¿QLKHXWDPXIDQLQHXXPHEDOHEDNLWRODV SHQ¿QL DHQ¿QL SHQD VPDQDI PD DQH VPDQDI Tua-nai bei nasi ma ufaf kauf sin bale,10 (Loin, 2008; 11). Jagung yang diletakkan di sekeliling Ainuan ini kemudian dibawa untuk disimpan di dalam Lopo atau lumbung atau disimpan di Ume Bhubu.11 3HQD6PDQDI yang berada di atas Ainuan atau yang digantung di Hau Teas merupakan jagung yang paling terakhir dibawa untuk disimpan di lumbung. Pelepasan 3HQ 6PDQDI dari Hau Teas ini melambangkan berakhirnya siklus agraris masyarakat Atoin Meto yang dikenal dengan istilah penutupan pintu atau Taek Eno.
10
Berarti: hasil panen, padi dan jagung hendak dikembalikan ke rumah tempat tinggalnya, tempat penyimpanan bagi padi dan jagung, serta roh padi dan jagung, sebagai tempat tinggal para leluhur. 11 Hanya masyarakat Atoin Meto di daerah Biboki dan Insana yang memiliki Lopo dan digunakan sebagai lumbung penyimpan bahan makanan dan benih hasil panenan. Di daerah lain, masyarakat Atoin Meto menggunakan Ume Bhubu atau rumah bulat sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan dan benih tanaman. Di dalam Ume Bhubu, bahan makanan dan benih tanaman lazimnya disimpan di atas tungku perapian.
289
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 Makna Ainuan dalam Tahap-Tahap Pertanian Masyarakat Atoin Meto dan Ritus-Ritusnya a. Makna Spiritual 1) Ainuan Sebagai Representasi Kehadiran Wujud-wujud Spiritual Ainuan tidak saja berfungsi sebagai altar tempat pemujaan dan persembahan bahan kurban. Ia juga berfungsi sebagai simbol kehadiran Uis Pah atau Pah tuaf di dalam kebun selama kegiatan pertanian berlangsung. Ketika pertama kali didirikan, seorang Tobe selalu mengadakan ritual untuk memanggil dan mengundang kehadiran Uis Pah dan memintanya untuk berdiam di dalam Ainuan selama kegitan pertanian berlangsung. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Atoin Meto, Uis Pah atau Pah Tuaf digambarkan sebagai pribadi transenden yang menguasai bumi dan tanah. Usi Pah atau Pah Tuaf ini diyakini sebagai pembawa malapetaka dan ketidakberuntungan bagi manusia atau kegagalan panen dalam aktivitas pertanian. Oleh sebab itu, ia harus dihadirkan, terus diingat, disembah dan diberikan sesajian dalam setiap ritual. Dengan itu, Ainuan tidak hanya merupakan bebatuan altar persembahan saja, tetapi juga merupakan representasi kediaman Uis Pah atau Pah Tuaf selama kegiatan pertanian. Kehadiran Uis Pah atau Pah Tuaf di Ainuan bertujuan untuk menghindarkan kebun dan aktivitas di dalamnya dari musibah dan malapeta selama kegiatan pertanian berlangsung. Untuk maksud inilah, kepada Uis Pah atau Pah Tuaf diberikan sesajian di atas Ainuan selama kegiatan-kegiatan ritual. Selain untuk menghindar dari bencana atau malapetaka dan kegagalan dalam panenan, kehadiran Uis Pah atau Pah Tuaf di Ainuan juga merupakan kehadiran yang merestui dan menjaga kegiatan pertanian. Peran ini terlihat sejak proses penanaman yang disimbolkan dengan peletakan bibit atau benih tanaman di atas Ainuan sebelum ditanam, hingga proses panenan yang disimbolkan dengan peletakan roh jagung dan atau padi atau Pensmanaf dan Aensmanaf ketika proses panenan. Selain sebagai tempat berdiam Uis Pah atau Pah Tuaf, Ainuan juga diyakini sebagai tempat berdiamnya para roh leluhur atau Pah Nitu. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Atoin Meto, 290
roh-roh leluhur atau Pah Nitu diyakini sebagai perantara antara manusia dengan Uis Neno yang berada di langit tinggi karena keberadaannya yang lebih dekat dengan manusia. Dalam berbagai ritual, kehadirannya sebagai perantara tersebut sering terucap secara tersurat di dalam rumusan-rumusan doa ritual. Dalam ritual pertanian, kepada para leluhur ini, diberikan sejumlah sesajian di atas Ainuan sebagai bentuk penghormatan dan permohonan. Para leluhur juga diyakini sebagai penjaga kebun yang bertugas menjaga kebun dan segala aktivitas di dalamnya beserta hasil yang diperoleh dari aktivitas di dalamnya. Untuk menjalankan tugas tersebut itulah, para leluhur diberikan sejumlah sesajian yang diletakkan di atas Ainuan. Walaupun kehadiran Ainuan diyakini sebagai tempat berdiam Uis Pah, Pah Nitu dan Nitu atau Leu, peran Uis Neno tetap tidak terabaikan. Nama Uis Neno tetap disebut di dalam doa-doa ritual yang diutarakan. Uis Neno yang adalah penguasa langit, (apinat-aklabat atau yang menyala dan membara, dan D¿QLWDPQDQXW atau yang tertinggi dan mengatasi segala sesuatu) dan sebagai pencipta dan pemelihara (abaot-afatist atau yang memberi makan dan mengasuh kita, dan amo’et-apaket atau yang membuat dan yang mengukir) tetap dihormati, dikenang dan dimintai berkat dan perlindungan dalam setiap syair doa yang diucapkan seorang Tobe. Salah satu syair doa yang menyuratkan hal tersebut misalnya terdapat dalam doa sebelum menanam padi di dalam ritual 6HQDW/XODQ yang diselenggarakan di Ainuan oleh masyarakat Atoin Meto di daerah Lurasik. Penggalan doa tersebut adalah: O Uis Neno amoet-apakaet, neno i au ek ¿QLKDµVHDQPDµOXODQQHXPQHVDWLPDRPDL Ho ata mlekan ma mlulun, neu ha ek uloitan ho’ PRHPDµSDNDHdst.12 Wujud-wujud spiritual ini mempunyai peranan dalam seluruh kehidupan masyarakat Atoin Meto, termasuk kegiatan pertanian. Masyarakat Atoin Meto yakin bahwa relasi yang baik dan intim dengan wujud-wujud transenden ini akan 12
Berarti; Ya Uis Neno pencipta dan penyelenggara. Hari ini aku membawa benih untuk ditabur dan ditanam di atas tanah ini. Engkaulah penunjuk arah bagiku untuk memperbaiki dan mengembangkan ciptaanmu....dst.
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
menentukan dan menjamin keberhasilan aktivitas pertanian dan keselamatan para penggarapnya. Keintiman ini terjalin dalam hubungan 'R 8W 'HV (memberi supaya diberi). Wujud transenden itu tidak selalu mendatangkan berkat dan kemakmuran, tetapi juga dapat murka dan mendatangkan bencana dan kutukan. Oleh sebab itu, kepada mereka perlu diberikan aneka persembahan untuk menyenangkan hati mereka. Tindakan inilah yang akan mendatangkan berkat dan menjauhkan kutukan. Di sini, kehadiran Ainuan menjadi penting karena ia menjadi salah satu sarana penghubung antara manusia dengan wujud transenden dalam menciptakan hubungan yang intim. Keimtiman hubungan akan menentukan keberhasilan kegiatan pertanian. Dengan demikian, keberhasilan usaha pertanian tidak semata-mata ditentukan oleh kerja keras para petani, tetapi juga terutama ditentukan oleh keintiman hubungan dengan wujud spiritual yang hadir di dalam Ainuan. 2) Ainuan Sebagai Tempat Tinggal Roh Jagung/Padi (Pen Smanaf/Ane Smanaf) Pada waktu penanaman, ketika benih tanaman telah diletakkan di atas Ainuan dan diritualkan, benih itu diambil oleh seorang isteri ketua klan atau Amaf untuk di tanaman pertama kali di sekitar Ainuan sebanyak empat atau tujuh lubang tanam. Penanaman pertama di sekitar Ainuan ini merupakan suatu tindakan simbolis untuk menghormati, meminta restu dan memohon perlindungan dari wujud-wujud spiritual yang telah berdiam di Ainuan selama berlangsungnya kegiatan pertanian. Penghormatan, permintaan restu dan perlindungan dilakukan dengan keyakinan bahwa wujud-wujud spiritual tersebut dapat murka, mendatangkan kutukan dan akhirnya dapat mengakibatkan kegagalan dalam kegiatan pertanian. Oleh karena itu, kepada mereka, perlu dibuat semacam perlakukan utama, khusus dalam aneka simbol untuk menjauhkan murka dan kutuk selama kegiatan pertanian. Perlakuan utama, khusus dan simbolis ini ditunjukkan dengan adanya penanaman jagung atau padi perdana di sekitar Ainuan.
Kemudian pada saat panen, jagung atau padi yang ditanam pertama kali ini, akan dijadikan simbol kehadiran roh tanaman. Jagung atau padi itu menjadi simbol tempat roh jagung atau padi yang disebut 3HQ6PDQDIatau $HQ6PDQDIhadir dan berdiam. Jagung atau padi yang tumbuh di sekitar Ainuan yang diyakini memiliki roh jagung atau roh padi (3HQ6PDQDIatau $HQ6PDQDI) inilah yang pertama kali dipanen. Dengan itu, wujud-wujud spiritual yang berdiam di Ainuan mendapat perlakuan yang utama, khusus dan simbolis bukan hanya karena di sekitar Ainuan sebagai tempat mereka berdiam terjadi penanaman dan panenan perdana, tetapi juga kerena keyakinan bahwa jagung atau padi yang ditanam dan dipanen perdana itu dijadikan simbol kehadiran roh tanaman. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pada waktu musim panen tiba, jagung atau padi yang tumbuh di sekitar Ainuan yang dinamakan roh jagung atau roh padi (3HQ6PDQDIatau Aen 6PDQDI) ini yang pertama kali dipanen. Setelah dipanen, jagung atau padi itu diletakkan Ainuan atau dikaitkan di Hau Teas dengan tujuan untuk mengikat dan menjaga roh tanaman tersebut agar tidak berpindah ke kebun, sawah atau ladang lainnya. Karena diletakkan di atas Ainuan, maka Ainuan menjadi semacam rumah kediaman bagi roh tanaman tersebut yaitu 3HQ6PDQDIatau Aen 6PDQDI. Ia menjaga dan melindungi roh itu agar tetap menetap di kebun tempat ia ditanam selama proses panenan berlangsung. Jika kemudian roh tanaman ini tidak dijaga dan berpindah ke kebun lainnya, hasil panenan akan melorot, menyusut. Masyarakat Atoin Meto yakin bahwa roh atau Anima (Latin) tidak saja dimiliki oleh manusia tetapi juga dimiliki oleh tumbuhtumbuhan bahkan juga dimiliki oleh benda-benda mati. Dengan demikian, setiap benda, tidak saja benda hidup, memiliki dua wujud yang saling EHUVDWX\DLWXZXMXG¿VLN\DQJGDSDWGLVHQWXKGDQ dapat lihat dan wujud rohani yang tidak dapat dilihat. Keyakinan akan keberadaan roh padi dan jagung ini, disimbolkan dengan beberapa batang jagung atau padi yang tumbuh di sekitar Ainuan. Jagung atau padi bertumbuh di sekitar Ainuan ini dinamakan roh jagung atau 3HQ6PDQDI dan roh 291
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 padi atau $HQ6PDQDI. Roh ini, oleh masyarakat Atoin Meto diyakini senantiasa bergerak bebas, tidak terbatas ruang dan tidak harus selalu terikat SDGD¿VLN\DQJGLGLDPLQ\D2OHKVHEDELWXNHWLND waktu panen tiba, roh ini secara simbolis perlu GLLNDW DJDU WLGDN EHUSLQGDK NH ¿VLN \DQJ ODLQ Pengikatan ini secara simbolis dilakukan dengan meletakkan beberapa batang jagung atau padi yang dipetik di sekitar Ainuan, yaitu padi atau jagung yang ditanam pertama kali pada saat proses penanaman. Ainuan menjadi tempat di mana roh LQLGLLNDWGDQGLGLDPNDQEHUVDPDZXMXG¿VLNQ\D b. Makna Ekologis (Ainuan Sebagai Penjaga Keseimbangan Lingkungan) Pendirian Ainuan di setiap kebun masyarakat dilakukan sebagai satu rangkaian kegiatan dalam ritual 6LIR 1RSR. Di dalam ritual ini dilakukan pendinginan kebun yang telah selesai dibakar. Dalam keyakinan masyarakat Atoin Meto, proses pembakaran akan menghasilkan panas pada kebun. Tanah yang panas setelah proses pembakaran harus didinginkan. Yang Menas (yang panas), gerah/deman, jelek harus dijadikan Manikin (dingin), segar, baik dan subur. Proses pembakaran mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam kosmis, oleh karena itu perlu dibuat suatu pendinginan untuk menyeimbangkannya lagi. Bumi harus didinginkan atau diistilahkan dengan Manikin Oe Tene dan kuasa panas dan api harus dibuat reda dan tak lagi membahayakan kegiatan pertanian atau dibuat menjadi dingin dan sejuk. Maksud ini disimbolkan dengan tindakan mengambil segengam tanah kebun yang akan digarap dan meletakannya di atas Ainuan yang terletak di dalam Etu. Setelah itu, Ainuan yang disebut juga Uis Pah juga didirikan di kebunkebun lainnya di dalam /HOH)XD. Pendirian ini dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana pendirian Ainuan di dalam Etu. Kehadiran Ainuan adalah juga kehadiran yang membawa Manikin; suatu kehadiran yang mendinginkan, yang membawa kesegaran, kesuburan dan kebaikan. Dengan itu bumi yang panas, didinginkan; Manikin Oe Tene. Masyarakat Atoin Meto meyakini adanya dua kutub yang kontradiktif tetapi saling 292
mempengaruhi dan melengkapi dalam kehidupan. Konsep ini dinamakan paham dualistis kosmis. Paham ini misalnya dapat ditemukan misalnya dalam kehidupan sosial masyarakat Atoin Meto. Dalam relasi sosialnya, masyarakat Atoin Meto mengenal istilah )HWR0RQH yang merujuk pada konsep betina/perempuan/saudara dan jantan/laki-laki/saudari, yang melengkapi dan menyempurnakan, yang olehnya tercipta keseimbangan. Dualisme yang saling melengkapi seperti ini ada juga di dalam dunia pertanian. Dalam aktivias pertanian terdapat dua kutub atau dua kekuatan alam yang kontradiktif tetapi saling mempengaruhi dan melengkapi. Dua kutub tersebut adalah 0HQDV0DQLNLQ. Yang pertama adalah kekuatan panas, yang Menas yaitu yang berkualitas panas, gerah atau deman. Kutub yang lain adalah kekuatan dingin, yang Manikin atau yang berkualitas dingin, segar, baik dan subur. Keduanya berguna dalam kegiatan pertanian masyarakat Atoin Meto. Yang panas berguna dalam kegiatan persiapan lahan pertanian. Lahan akan dibakar dalam panas api sebelum diolah. Setelah itu kualitas panas ini harus didinginkan agar pertumbuhan tanaman dapat terjadi. Di titik ini, terdapat suatu paham keseimbangan antara dua kekuatan alam tersebut. Yang panas tidak harus dimatikan tetapi hanya didinginkan. Bumi harus didinginkan dan kuasa panas dan api harus dibuat reda dan tak lagi membahayakan kegiatan pertanian yang diistilahkan dengan Manikin Oe Tene. Yang panas tidak harus dimusnahkan, tetapi hanya perlu didinginkan. Dengan itu yang panas sebenarnya tetap dibutuhkan dalam kegiatan pertanian, tetapi pada ambang batas tertentu. Dengan kata lain ia harus berada dalam keseimbangan dan keteraturan. Dalam keadaan yang demikain itu, tercipta kesegaran, kesuburan dan kebaikan. Dalam konteks ini Ainuan bermakna ekologis kerena ia berfungsi sebagai penyeimbang yang hadir membawa dingin (Manikin) untuk meredakan yang panas (Menas). Fungsi penyeimbang ini diwujudkan setiap kali di Ainuan, diselenggarakan berbagai ritual. Ainuan tidak saja menjadi altar batu tempat berlangsungnya berbagai ritual pertanian, lebih dari itu ia juga
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
menjalankan makna dan fungsinya sebagai pencipta keseimbangan dan keteraturan. c. Makna Sosial 1) Ainuan sebagai Peneguh Ingatan Kolektif tentang Mitos Asal-Muasal Tanaman Pangan dan Palawija Masyarakat Atoin Meto mempunyai cerita atau mitos tentang asal-muasal tanaman pangan dan holtikultura sebagaimana daerah agraris lainnya. Sejalan dengan mitos agraris lainnya, bahan pangan selalu datang dari suatu peristiwa pembunuhan atau pengurbanan. Pengurbanan atau pembunuhan ini akan selalu menjadi pengingat bahwa yang dimakan selalu merupakan sesuatu yang dibunuh, yang dilepaskan dari kehidupannya, yang dikurbankan. Ainuan merupakan salah satu media pengingat itu. Menurut mitos asal-muasal tanaman pangan di daerah etnis Atoin Meto, bahan makanan merupakan milik Uis Neno; Tuhan/Dewa yang berkuasa di langit, di tempat yang tinggi. Bahan makanan ini diberikan kepada manusia yaitu tujuh orang raja kakak beradik di tanah Atoin Meto yakni /LXUDL 6RQED\ 8LV 1XEDQ 1DL ODVL 1DL %HQX1DL)R¶DQ1DL%ROX7XEDK dan 1DL6DXQ Tanas. Bahan makanan ini tidaklah diberikan dalam rupa benih tanaman, akan tetapi dalam rupa manusia, seorang gadis yang cantik dan rupawan. Raja yang sulung; Liurai 6RQED\ diperintahkan Uis Neno untuk mengambil gadis itu sebagai isteri dan anak gadis hasil pernikahan mereka harus dikurbankan. Ia harus dibunuh, tubuhnya dicincang dan ditaburkan di atas kebun. Setelah beberapa waktu, dari bagian-bagian tubuhnya inilah tumbuh berbagai bahan makanan. Hasil pertanian dari benih putri raja ini dibagikan/ diteruskan para raja kepada seluruh penduduknya beserta cerita tentang asal-muasalnya. Proses pembunuhan atau pengurbanan putri raja Liurai 6RQED\ ini terjadi di tengahtengah kebun dan di atas tumpukan bebatuan atau altar batu yang disebut Ainuan. Kehadiran Ainuan selalu berhubungan dengan mitos ini. Kehadirannya dan tindakan pengurbanan hewan yang dilakukan di atasnya dalam berbagai ritual selalu menjadi semacam perulangan untuk
meneguhkan dan mewariskan ingatan kolektif akan peristiwa pengurbanan putri raja Liurai 6RQED\ menjadi benih tanaman pangan. Selama proses pertanian, cerita tentang asal-muasal juga diteruskan dan diwariskan. Ia diceritakan pada saat kegiatan-kegiatan kolektif, misalnya pada waktu persiapan bibit atau benih sebelum di tanam dan pada saat proses penyimpanan benih di lumbung. Penceritaan ini dilakukan oleh yang tua kepada yang muda, ketua suku kepada anggota sukunya, dan ayah kepada putranya. Mitos itu dihadirkan selama ritual pengurbanan yang dilakukan di Ainuan. Ainuan menjadi altar batu tempat sang putri dikurbankan. Kehadiran Ainuan menjadi kehadiran yang membangkitkan kenangan akan pengurbanan sang putri. Dalam ritual saat Ainuan pertama kali didirikan, perulangan kisah dalam mitos pengurbanan sang putri menjadi benih tanaman dimulai. Saat Ainuan direciki dengan darah hewan kurban sebagaimana darah putri raja /LXUDL 6RQED\ yang menetes setelah tubuhnya dikurbankan, Ainuan dilantik, ditabiskan dan disakralkan sebagai salah satu bagian utama dari kisah mitos itu. Ainuan disahkan sebagai altar batu tempat sang putri akan diletakan untuk dikurbankan. Darah hewan kurban yang direciki dan menetes, membasahi Ainuan dan tanah di sekitarnya melambangkan kesiapan Ainuan untuk menerima tubuh dan darah sang putri yang akan dikurbankan di atasnya. Perulangan inti dari peristiwa pengurbanan sang putri terjadi saat benih atau bibit tanaman yang akan ditanam diritualkan di atas Ainuan. Tindakan ini merupakan penghadiran kembali peristiwa pengurbanan sang putri. Benih tanaman yang diletakkan di atas Ainuan adalah tubuh sang putri sendiri yang dibaringkan di atas altar batu. Dalam ritual yang dilakukan di Ainuan saat itu, tindakan pengurbanan sang putri dilambangkan dengan pengurbanan seekor hewan. Darah hewan kurban itu direciki pada benih yang terletak di atas Ainuan sebagai mana darah putri raja Liurai terpercik ke seluruh kebun saat ia dikurbankan untuk mendatangkan kesuburan pada benih yang akan ditanam dan pada tanah tempat benih itu 293
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 ditanam. Di atas Ainuan kemudian, diletakkan beberapa organ hewan kurban seperti organ tubuh sang putri Luirai. Hewan kurban itu kemudian dimasak untuk dikomsumsi secara bersama-sama, seperti mereka secara bersama-sama menyantap benih hasil pengurbanan sang putri raja. Darah sang putri merupakan darah kesuburan sebagaimana seorang perempuan selalu dilambangkan dengan kesuburan karena kodratnya sebagai yang mengandung, melahirkan dan memberikan keturuan bagi kelangsungan kehidupan klan. Benih dan hasil panenan juga merupakan sumber makanan bagi kelangsungan klan. Bahaya kelaparan karena ketiadaan sumber makanan dapat mengancam keberlangsungan klan. Di samping/di tengah-tengah Ainuan berdiri sebatang kayu keras atau Hau Teas tempat digantungkan beberapa bagian dari hewan kurban sebagaimana sang putri berdiri menanti untuk dikurbankan. Kehadiran Hau Teas juga menjadi kehadiran sang putri yang tetap menyertai proses pertanian rakyatnya; masyarakat tani Atoin Meto dari awal peninjauan kebun hingga akhir penutupan kebun ketika kayu itu dicabut dan didinginkan dalam ritual penutupan pintu atau Taek Eno. Mitos ini juga diteruskan dalam perlakuan khusus bagi kaum perempuan selama siklus kegiatan pertanian. Mitos ini diwariskan sebagai bentuk ingatan akan pengurbanan sang putri mulai dari penurunan/pengambilan bibit dari lumbung, proses membawa ke tengah kebun, penanaman di sekitar Ainuan dan panenan pertama di sekitar Ainuan. Ainuan akan menjadi domain perempuan ketika di atasnya diselenggarakan ritual yang berkaitan dengan bibit atau benih tanaman. Hanya perempuan yang boleh berkontak secara langsung dengan bibit atau benih tanaman karena kehadirannya sebagai pembawa kesuburan bagi kelangsungan kehidupan klan. Tetapi juga terutama tindakan ini dilakukan sebagai penghormatan akan putri raja Liurai. Putri raja sebagaimana perempuan sebagai lambang kesuburan dikurbankan untuk menjadi benih bagi kelangsungan hidup rakyatnya. Benih itu menjadi domain perempuan karena kodratnya yang mampu mendatangkan keturunan dan kelangsungan klan. Ainuan bermakna sosial sebagai tempat di mana 294
peristiwa pengurbanan putri /LXUDL 6RQED\ diulangi dan dikenang. Peristiwa pengurbanan itu terus terpelihara dalam ingatan kolektif anggota klan setiap kali Ainuan didirikan dan difungsikan. 2) Ainuan Sebagai Penunjang Kelangsungan Kehidupan Klan Makna Ainuan ini berhubungan dengan keseluruhan fungsi yang dijalankan Ainuan selama kegiatan pertanian masyarakat Atoin Meto. Di sini Ainuan berhubungan dengan kegiatan pertanian sebagai kegiatan kehidupan dan kegiatan batiniah masyarakat Atoin Meto. Keterkaitan antara keduanya diyakini akan membawa keselamatan rohani yang akan menentukan kelangsungan hidup klan. Pertama-tama kegiatan pertanian adalah juga kegiatan kehidupan masyarakat Atoin Meto. Siklus agraris masyarakat Atoin Meto dijalani sebagai suatu kesatuan integral dengan siklus hidupnya sendiri. Mereka mengerjakan lahan, menanam tanaman, merawat dan memanennya sebagai bagian dari alur hidupnya; mulai dari kelahiran, pertumbuhannya, hingga akhirnya kematiannya sendiri. Ketika mereka menanam benih, mereka membenamkan bagian dari kehidupan mereka sendiri ke dalam tanah. Ketika benih itu bertumbuh, mereka bersyukur dan bergembira bersama karena kehidupan yang mereka benamkan ke dalam tanah telah bertunas. Ketika tunas itu bertumbuh menjadi dewasa, mereka akan terus merawatnya, menjaganya dari serangan hama dan penyakit, memperhatikan ketersediaan humus dan memagarinya seperti mereka merawat dan melindungi diri mereka sendiri. Ketika mereka memanennya, mereka bersatu dalam kegembiraan dan harapan. Mereka harus memisahkan tanaman itu dari kehidupannya, tetapi juga menjadikannya sebagai bahan makanan yang akan terus hidup dalam jiwa dan raga mereka. Sebagai kegiatan kehidupan, kegiatan pertanian bukan saja merupakan kegiatan yang dilakukan oleh yang hidup, demi kelangsungan kehidupan yang hidup. Dengan kata lain, kegiatan pertanian bukan hanya kegiatan kehidupan jasmani untuk memenuhi kebutuhan jasmani semata.
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
Lebih jauh lagi, kegiatan pertanian juga merupakan kegiatan batin untuk memenuhi kebutuhan rohani. Dikatakan demikian karena kegiatan pertanian juga melibatkan kehidupan spiritual, yang melibatkan dunia spiritual suku; agama suku, kepercayaan terhadap Yang Ilahi (Uis Neno dan Uis Pah), para pendahulu atau leluhur (Pah Nitu) dan para roh pemilik tanah, air dan bebatuan (Nitu atau Leu). Kegiatan pertanian juga merupakan simbol kerinduan batiniah manusia untuk menemui sang asal yang mengasali segala sesuatu, termasuk yang menjadikan bahan makanan dan minuman. Dalam kerinduannya manusia menyadari akan keterbatasan kodratnya. Keterbatasan ini misalnya digambarkan dalam mitos asal-muasal tanaman padi masyarakat Atoin Meto seperti /LXUDL 6RQED\ dan saudara-saudaranya yang memiliki lahan tetapi tidak memiliki api untuk membakar kebun dan benih untuk ditanam. Ketiadaan benih/keterbatasan ini menimbulkan keinginan untuk menemui Uis Neno sebagai penguasa langit, yang bernyala dan membara (Apinat-Aklabat) serta yang memberi makan dan mengasuh (Abaot-Afatis) untuk memberikan api dan benih tanaman pangan. Karena Uis Neno adalah yang tertinggi, mengatasi segala sesuatu, mencipta dan memelihara ($¿QLW$PQDQXW) dan yang membuat dan mengukir (Amo’et-Apaket). Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat Atoin Meto, sang pengasal yang dirindukan itu adalah yang Ilahi (Uis Neno). Uis Neno dapat ditemui ketika ia sudi turun ke bumi atau tanah (Uis Pah) dengan perantaraan para leluhur (Pah Nitu) sebagai penghubung dan para roh sebagai para penjaga (Nitu atau Leu). Perjumpaan antara manusia dan sang pengasal itu terjadi dalam setiap ritual yang dilakukan selama siklus pertanian masyarakat Atoin Meto termasuk yang dilakukan di Ainuan. Dalam pelaksanaan ritual, kerinduan batiniah masyarakat Atoin Meto menemui pemenuhannya. Pelaksanaan ritual menjembatani perjumpaan antara manusia yang lahiriah, yang beraga dan ZXMXG PHWD¿VLV \DQJ VSLULWXDO 3HUMXPSDDQ LQL tidak saja menjawab kerinduan manusia, tetapi juga membawa keselamatan. Hal ini terjadi karena perjumpaan ini menjamin keberhasilan pertanian
dan selanjutnya menentukan kelangsungan NHKLGXSDQ\DQJ¿VLVDWDX\DQJKLGXS Peran ini tergambar mulai dari awal siklus pertanian yang dimulai dari tahap peninjauan dan pembagian lahan tani. Pada saat itu Ainuan didirikan di dalam kebun tuan tanah Uis Pah atau Pah Tuaf yang disebut Etu. Selanjutnya pada saat ritual 6LIR 1RSR atau pendinginan, Ainuan juga didirikan di setiap kebun/sawah para petani yang lain di dalam kesatuan /HOH)HXatau kebun baru. Ainuan menjadi titik pusat pemujaan selama kegiatan pertanian berlangsung. Di atas Ainuan diselenggarakan semua ritus yang terjadi di dalam kebun, mulai dari ritual pendirian Ainuan itu sendiri, penebasan dan pembersihan kebun atau Tafaek Nono, 6LIR 1RSR atau pemadaman suluh atau pendinginan, penanaman, perawatan tanaman, panenan hingga penutupan kebun atau Taek Eno. Di dalam semuanya, Ainuan bertindak pertama-tama sebagai bagian penting dalam kegiatan pertanian sebagai kegiatan kehidupan. Ainuan menjadi tempat di mana kehidupan dimatikan dan dilebur menjadi benih-benih kehidupan baru. Ainuan juga akhirnya menjadi bagian penting dalam kegiatan pertanian sebagai kegiatan batiniah. Ainuan menjadi altar batu tempat terselenggaranya berbagai ritual pertanian. Ritual pertanian ini menjadi media perjumpaan antara manusia yang fana dengan wujud-wujud spiritual yang baka. Perjumpaan ini membawa keselamatan personal dan kolektif. Kedua; kegiatan pertanian sebagai NHKLGXSDQ ¿VLN GDQ VHEDJDL NHJLDWDQ EDWLQLDK Ainuan menjadi bagian penting. Karena jika ia tidak didirikan, ritual tidak berjalan dengan utuh, baik dan benar, maka hubungan dengan sang pengasal akan terganggu. Jika hubungan itu terganggu dan tidak terjadi perjumpaan antara manusia dengan sang pengasal, maka panenan tidak akan berhasil dan bahaya kelaparan akan mengancam. Para petani dapat terkena kutukan dan kelangsungan kehidupan suku dapat terganggu. Sebaliknya jika Ainuan didirikan, semua ritual terselenggara di atasnya dengan utuh, baik dan benar maka panenan dapat terjadi dengan
295
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 283—297 hasil yang memuaskan. Perjumpaan dengan sang pengasal terjadi. Kerinduaan para petani terjawab dan para petani juga terhindar dari kemarahan dan kutukan Uis Neno-Uis Pah atau pengasal dan penguasa langit dan bumi. Pada akhirnya bahan pangan yang ada secara baik dan banyak akan menjadi jaminan terpeliharanya kehidupan dan keberlangusungan kehidupan suku. Tindakan pendirian, pentabisan dan penyakralan Ainuan adalah serentak tindakan pemeliharaan keselamatan kehidupan jasmani dan keselamatan rohani. Keselamatan rohani akan menentukan kelangsungan kehidupan jasmani. Kelangsungan kehidupan juga mempengaruhi secara langsung pelaksanaan aktivitas menuju keselamatan rohani. Jelas terlihat bagaimana hubungan kehidupan jasmani masyarakat Atoin Meto dengan kehidupan rohani mereka. Kedua aspek ini menentukan keberhasilan kegiatan pertanian yang sekaligus secara langsung menentukan kelangsungan kehidupan sebuah klan. Sebagaimana pepatah latin klasik yang berbunyi 6HUYD RUGLQHP HW RUGR VHUYDELW WH; layanilah aturan maka aturan akan melayanimu, masyarakat Atoin Meto meyakini bahwa keteraturan alam semesta akan membawa keteraturan, keteraturan akan membawa kehidupan bagi dirinya sendiri dan klan/sukunya. Ainuan bermakna sebagai penunjang kelangsungan kehidupan tersebut. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi Ainuan dengan tahap-tahap pertanian masyarakat Atoin Meto dan ritus-ritus yang menyertainya adalah Ainuan merupakan titik pusat pemujaan selama kegiatan siklus pertanian masyarakat Atoin Meto. Ia menjadi tempat pemujaan bagi Usi Pah atau Pah Tuaf atau penguasa tanah, Pah Nitu atau arwah leluhur dan Nitu atau Leu atau roh-roh lainnya yang berdiam di kebun atau ladang. Makna Ainuan dalam tahap-tahap pertanian dan ritus-ritusnya adalah sebagai berikut; Ainuan bermakan spiritual yaitu sebagai representasi kehadiran wujud-wujud spiritual, dan tempat 296
tinggal roh jagung/padi (3HQ 6PDQDI$QH 6PDQDI). Ainuan juga bermakan ekologis sebagai penyeimbang lingkungan dalam kegiatan pertanian, bermakna sosial, sebagai peneguh ingatan kolektif tentang mitos asal-muasal tanaman pangan/palawija, dan sebagai kegiatan batiniah yang menunjang keselamatan dan kelangsungan kehidupan klan. Dalam kerangka Fungsionalisme Malinowski, Ainuan bermanfaat tidak saja bagi pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi juga kebutuhan rohaniah masyarakat Atoin Meto. Bagi masyarakat Atoin Meto, Ainuan hadir sebagai pemenuh kebutuhan biologis dan psikologis. Pelaksanaan aneka ritual pertanian di Ainuan menjamin keberhasilan dalam kegiatan pertanian sebagai penyedia bahan makanan bagi tubuh. Pelaksanaan aneka ritual pertanian di Ainuan juga menjadi pemenuh kerinduan kodrati psikis kepada sosok yang Ilahi, kepada keterikatan psikis dengan para leluhur dan peneguh ingatan kolektif tentang mitos asal-usul tanaman pangan. DAFTAR PUSTAKA Doredae, Ansel. 1995. 6HMDUDK%XGD\D,QGRQHVLD Bahan Ajar Sejarah Kebudayaan di Indonesia, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere. Loin, John. 2008. “Menyimak Kultus Berladang Orang Dawan Pada Masyarakat Suku Loin, TTU” dalam Cendana, Buletin Fraters SVD Timor, Nomor 10 Juli 2008. Messakh, Matheos. dkk., 2010. .RPXQLWDV 0HPEDFD GDQ 0HPEDFD .RPXQLWDV 6WXGL 3DUWLVLSDWLI 6LVWLP 3HUWDQLDQ GDQ Pemanfaatan Lahan di Mollo, Timor 7HQJDK 6HODWDQ, Journal of NTT Studies, 2010, hlm. 63, dalam http://ntt-academia. org/nttstudies/Mesakhetal2010b, diakses, 29 Oktober 2014. Rengka, Frans, 2011. Politik Hukum dalam Masyarakat Terbuka dan Pergeseran Paradigma dalam Neonbasu, Gregor. (ed.). 2011 Multikulturalisme Pembangunan, Maumere, Penerbit Ledalero. Neonbasu, Gregor. 2013. .HDULIDQ /RNDO
Fungsi dan Makna Ainuan ... 6HOVXV7HUVHOO\'MHVH
www.ntt-academia.org/WP4-Pah-AntoniTimor-2008.pdf, diakses pada tanggal 21 Maret 2014. Sumber Lisan/Informan Agustinus Banu, (52 tahun). 2014. Petani tradisional tanaman jagung desa Usapinonot, kabupaten TTU. :DZDQFDUD, Usapinono, 30 September 2014. Frederik Lake (58 tahun). 2014. Tetua masyarakat desa Heuknutu, kabupaten Kupang, Oktober 2014. Grabriela Kono, (57 tahun). 2014. Petani tradisional tanaman jagung desa Usapinonot, kabupaten TTU. :DZDQFDUD, Usapinono, 30 September 2014. Leonardus Leu, (54 tahun). 2014. Pemangku adat suku Sengkoeng, desa Usapinonot, kabupaten TTU. :DZDQFDUD, Usapinono, 30 September 2014. Samuel Pantola (72 tahun). 2014. Tetua masyarakat desa Heuknutu, Kabupaten Kupang, Oktober 2014.
297
298