PEMAHAMAN PRIA DEWASA ATOIN METO FATUMNASI TERHADAP SIFON, RASA BERSALAH DAN UPAYA PENYADARAN MELALUI KONSELING LINTAS BUDAYA Oleh Johan Biaf Abstrak Sifon merupakan hubungan suami isteri yang dilakukan seorang pria Atoin Meto terhadap perempuan korban sifon yang tidak terikat tali perkawinan. Hubungan tersebut dilakukan pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang telah mengikuti proses pemotongan kulit khatan yang dilakukan oleh seorang ahelet. Bekas luka yang berumur 3 sampai 8 hari menurut pemahaman para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi bekas luka tersebut perlu didinginkan. Beberapa istilah untuk menyebut sifon yaitu polin ma’putu (membuang panas), polin ai ma’otu (membuang api yang panas), polin menas (membuang sakit), mbaken ma’putu (membuang jauh-jauh panas), hainikit (mendinginkan), ta’sanut ma’putu (menurunkan panas). Istilah-istilah tersebut memiliki pemahaman yang sama yaitu supaya bekas luka akibat sunat pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi dapat sem buh dan alat vitalnya berfungsi secara normal. Karena ada ketakutan bahwa jika sifon gagal dilaksanakan, maka alat vital pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi tidak akan berfungsi dengan baik, bahkan alat vitalnya hilang dan mati (impoten). Sehingga ada pemahaman bahwa perempuan korban sifon harus yang memiliki anak 1 atau 2. Alasannya adalah agar memudahkan proses sifon. Namun ada juga partisipan yang memahami bahwa sifon dapat dilakukan kepada perempuan muda yang masih perawan. Kriteria pemilihan korban sifon tergantung sepenuhnya pada pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang telah disunat. Pemahaman tersebut berakibat pada dilegalkannya berbagai macam cara untuk mendapatkan perempuan korban sifon. Hal-hal seperti memakai guna-guna (magic) untuk mempengaruhi perempuan, sehingga perempuan dengan mudah menjadi korban sifon. Selain itu, pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi ketika bertemu dengan perempuan calon korban sifon harus berdusta, berbohong dan mematikan hati nuraninya dari kebenaran untuk mendapatkan perempuan korban sifon. Akibatnya setelah melakukan sifon pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi merasa bersalah. Rasa bersalah yang dialami adalah rasa bersalah karena harus berdusta, berbohong, merusak masa depan dari perempuan korban sifon dan perasaan bersalah karena telah mematikan kebenaran dalam diri. Perasaan bersalah, karena mematikan kebenaran yaitu para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi mayoritas beragama kristen, sebagai orang kristen Alkitab menginginkan agar umat-Nya tidak melakukan perzinahan sementara pada kenyataannya para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi dituntut oleh tradisi untuk menjalankan tradisi nenek moyang. Terkait dengan sifon sebagai sebuah tradisi yang masih terus dipelihara dan adanya perasaan bersalah bagi para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang telah melakukan sifon, maka menurut hasil temuan belum adanya penyadaran dari pihak mana pun. Hal ini merupakan sebuah pekerjaan rumah bagi semua pihak untuk melakukan penyadaran baik dari gereja, kesehatan dan pemerintah. Gereja merupakan pihak yang paling dekat dan paling bertanggung jawab terhadap setiap jiwa di dunia. Karena itu gereja perlu memiliki langkah-langkah penyadaran untuk meminimalisir pemahaman tradisi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan. Pemerintah sebagai penguasa masyarakat tidak perlu
17
membuat undang-undang yang muluk-muluk. Keperluan yang sangat mendesak adalah semua pihak segera melakukan langkah konkrit untuk membawa pemahaman yang benar kepada para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Kata kunci: Sifon, Tradisi, Rasa bersalah dan upaya penyadaran.
Latar Belakang Masalah Penelitian Etnis terbesar di Timor bagian Barat adalah Atoin Meto. Kelompok etnis ini merupakan mayoritas penduduk di kabupaten Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan dan Kupang. Yoseph Yapi Taum menyatakan bahwa “umumnya Atoin Meto hidup dari pertanian lahan kering dan memelihara ternak. Tingkat pendidikan formal kebanyakan Atoin Meto tergolong masih rendah. Agama yang dianut oleh mayoritas suku ini adalah Katolik dan Protestan.” 9 Sebagai kelompok etnis yang masih teguh berpegang pada adat istiadat dan tradisi, Atoin Meto hingga kini masih mempraktikkan secara luas tradisi tradisi seperti, bonet, mso‟at dan penyunatan pria sebagaimana yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun. Tradisi penyunatan merupakan salah satu tradisi yang masih dipegang teguh oleh Atoin Meto. Penyunatan Atoin Meto berbeda dengan tradisi penyunatan lain. Steven Christian menyatakan bahwa bagi bangsa Israel mereka telah diperintahkan Tuhan untuk melakukan sirkumsisi atau penyunatan anak laki-laki mereka pada usia 8 hari.10 Sedangkan John Biaf menyatakan bahwa pria dewasa Atoin Meto baru menjalani penyunatan setelah berusia dewasa, bahkan sebelum menikah atau setelah memiliki anak.11 Tradisi penyunatan ini oleh Atoin Meto masih dipegang teguh. Proses pelaksanaan penyunatan pada pria dewasa Atoin Meto tidak hanya berhenti pada pemotongan kulit khatan. Tetapi pria dewasa Atoin Meto melakukan upacara tertentu yang dikenal dengan sifon. Sifon merupakan bagian yang sangat penting dalam tradisi sunat Atoin Meto dan tahapan Sifon merupakan suatu syarat dalam proses penyembuhan luka bagi orang dewasa yang dipotong kulit khatannya.
9 Yoseph Yapi Taum, Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris, (Yogyakarta: Universitas Sanata Darma, 2004), 1 10 Steven Christian, Kulit Khatan, (Yogyakarta: Andi Offset, 2011), 186 - 187 11 John Biaf, kumpulan artikel tentang sifon sunat tradisional yang berbahaya, http://johnbiafsoe.wordpress.com/2011/03/11/ diunduh pada tanggal 16 Oktober 2012, jam 19.00
18
Tradisi penyunatan Atoin Meto dimulai dengan pendinginan dan pengakuan dosa atau naketi di sebuah sungai yang mengalir. Orang Atoin Meto yang akan dipotong kulit khatannya berendam dalam air di pagi hari. 12 Orang Atoin Meto yang akan dipotong kulit khatannya harus menyiapkan ayam dan perlengkapan lainnya untuk prosesi sunat yang akan dipimpin ahli sunat atau ahelet. Sunat kemudian dilakukan dengan menggunakan bilah bambu, pisau atau diikat dengan tali-tali tertentu lalu peristiwa penghilangan kulit khatan segera dilakukan oleh ahelet. Diperlukan waktu sekitar 4 hari sampai 10 hari untuk mengeringkan luka sehabis disunat. Ketika masih dalam keadaan luka itulah, ritual sifon dilakukan.13 Pria Atoin Meto memiliki beberapa alasan yang sering digunakan sebagai alasan untuk terlibat dalam proses penyunatan Atoin Meto. Alasan-alasan tersebut di antaranya; pertama, seorang pria Atoin Meto khususnya pria Atoin Meto Fatumnasi bersedia dipotong kulit khatannya dan bersedia melaksanakan Sifon yaitu untuk memenuhi tuntutan tradisi. Sudah menjadi kebiasaan turun temurun di mana pria Atoin meto secara khusus pria Atoin Meto Fatumnasi pada masa usia di atas 18 tahun menjalani penyunatan. Berdasarkan pra penelitian yang dilaksanakan kepada beberapa orang yang telah mengikuti proses penyunatan dan telah melaksanakan Sifon menyatakan bahwa mereka menjalani penyunatan untuk memenuhi tuntutan tradisi. Selanjutnya para partisipan memberikan keterangan bahwa tradisi penyunatan dan pelaksanaan Sifon telah menjadi kebiasaan yang perlu dilestarikan oleh semua pria Atoin Meto Fatumnasi. Alasan kedua seorang pria Atoin Meto Fatumnasi menjalani proses sunat tradisional dan melaksanakan tahapan Sifon adalah untuk kebersihan diri dan kesehatan tubuh. Berdasarkan keterangan partisipan dalam pra penelitian, maka dapat diungkapkan tentang pemahaman orang Atoin Meto khususnya Atoin Meto Fatumnasi bahwa pria Atoin Meto Fatumnasi yang tidak disunat kulit kulupnya menampung kotoran. Kotoran tersebut selain menyebarkan aroma tubuh yang tidak sedap dalam bahasa dawan disebut dengan aon ne na’fo bibi’ . Dengan
12 John Biaf, kumpulan Artikel tentang sifon sunat tradisional yang berbahaya, http://johnbiafsoe.wordpress.com/2011/03/11/sifon-sunat-tradisional-yg-berbahaya/, diunduh pada tanggal 16 Oktober 2012, jam 19.00 13 Ibid.
19
demikian, sunat bertujuan untuk mencegah penumpukan kotoran pada alat kelamin pria sehingga bersih dan terhindar dari penyakit kelamin. Berdasarkan hasil wawancara dengan 7 masyarakat Atoin Meto Fatumnasi yang telah menjalani penyunatan terungkap bahwa alasan kebersihan diri dan kesehatan tubuh sebagai salah satu alasan yang mendorong mereka menjalani penyunatan. 14 Alasan ketiga seorang pria Atoin Meto Fatumnasi mengikuti proses sunat dan melaksanakan Sifon adalah agar wajah segar bercahaya dan awet muda. Berdasarkan keterangan partisipan dalam pra penelitian, maka seorang pria Atoin Meto Fatumnasi yang tidak sunat kulitnya cepat keriput dan tidak bercahaya. pria Atoin Meto Fatumnasi yang disunat dan melaksanakan tahapan Sifon, maka darahnya naik, sehingga wajahnya kemerah-merahan layaknya daun kusambi muda. Supaya wajah bercahaya, maka penyunatan tidak boleh dilakukan sembarang waktu, melainkan pada musim sunat. Musim penyunatan yang tepat bagi pria Atoin Meto Fatumnasi untuk mengikuti proses penyunatan dan tahapan Sifon adalah musim hujan dan menjelang tanaman jagung telah kelihatan rambut mudanya. Apabila seorang pria Atoin Meto mengikuti proses penyunatan dan tahapan sifon dalam musim tersebut, maka wajahnya akan bercahaya. Demikian juga partisipan mengungkapkan bahwa mereka dengan senang hati menjalani penyunatan agar awet muda. Diungkapkan pula bahwa apabila seorang pria Atoin Meto melaksanakan penyunatan pada musim sunat tersebut, maka tidak hanya suami yang wajahnya bercahaya, namun isterinya juga memiliki pancaran wajah yang bercahaya sebagaimana suaminya. Alasan keempat bagi seorang pria Atoin Meto di Fatumnasi untuk mengikuti proses sunat dan melaksanakan tahapan sifon adalah untuk menghindari sindiran. Pria Atoin Meto di Fatumnasi yang tidak/belum disunat biasanya menjadi sasaran sindiran. Berdasarkan pra penelitian partisipan Asarya Taklale (ketua pemuda Desa Fatumnasi) mengungkapkan bahwa: “hai bi fe Atoin Meto an nao Fatumnasi I kaul kat helef, nakkam nak sin bi fe kan lomin fa hen tup nok bijae meto pasun. Artinya perempuan Atoin Meto di wilayah desa Fatumnasi suka menghina dan menyindir suami-suami mereka yang tidak melaksanakan sifon dan mereka tidak mau tidur dengan kulit kerbau”15. 14
Asarya taklale, hasil wawancara di desa Fatumnasi kecamatan Fatumnasi tanggal 23
Juni 2011. 15
Asarya Taklale (Ketua Pemuda Desa Fatumnasi), Wawancara, tanggal 23 Juni 2011, Jam 07.30.
20
Perempuan-perempuan Atoin Meto Fatumnasi menyindir suaminya yang tidak/belum disunat karena mereka memahami bahwa suami yang tidak/belum disunat sama dengan kulit kerbau. Hal ini berarti seorang isteri Atoin Meto Fatumnasi akan tidur dengan kulit kerbau. Dengan sindiran tersebut diharapkan pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang belum sunat segera menjalani penyunatan. Partisipan yang telah menjalani penyunatan mengatakan bahwa mereka mau menjalani penyunatan salah satu alasannya untuk menghindari sindiran isteri, teman atau orang sekampung. Alasan kelima seorang pria Atoin Meto Fatumnasi mengikuti proses penyunatan yaitu agar badan ringan sehingga tidak malas. Seorang pria Atoin Meto Fatumnasi yang telah sunat dianggap telah membuang „beban‟ (kulup) sehingga badan terasa ringan, kuat dan rajin bekerja. Berdasarkan hasil pra penelitian salah satu partisipan yang telah menjalani penyunatan mengatakan bahwa mereka mau menjalani penyunatan agar badan ringan, kuat, bersemangat dan tidak malas. Alasan-alasan sebagaimana diungkapkan di atas tidak secara serta merta meniadakan hal-hal yang seharusnya diperhatikan dalam hubungan sosial dengan orang lain. Berdasarkan alasan-alasan yang diungkapkan partisipan dalam pra penelitian tersebut diatas, maka dapat diungkapkan hal lain yang merupakan pengembangan dari alasan-alasan di atas. Mengingat bahwa pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi adalah bagian dari umat Kristen. Sebagaimana diungkapkan partisipan bahwa sebagai orang percaya ketika berbicara dengan calon korban Sifon muncul perasaan bersalah. Namun di sisi lain demi tuntutan tradis i, maka rasa bersalah dikesampingkan untuk memenuhi tuntutan tradisi. Berdasarkan pra penelitian partisipan mengungkapkan bahwa rasa bersalah tetap menjadi persoalan yang mereka rasakan sampai sekarang. Rasa bersalah yang muncul yaitu; pertama, tradisi Sifon merupakan tradisi nenek moyang secara turun temurun yang harus dilakukan. Jika pria dewasa Atoin Meto tidak melakukan sunat tradisi, maka akan muncul rasa bersalah. Kedua, rasa bersalah muncul apabila harus berhubungan badan dengan seorang perempuan yan g tidak terikat perkawinan yang sah. Namun terkait dengan tradisi, maka perasaan bersalah dalam diri seorang pria dewasa Atoin Meto harus dimatikan. Ketiga perasaan bersalah muncul pada saat mencari korban untuk dijadikan korban Sifon.
21
Merasa bersalah karena untuk mendapatkan pasangan sifon, seorang pria dewasa Atoin Meto yang akan sifon, harus menempuh berbagai macam cara untuk dapat melakukan sifon. Cara-cara yang ditempuh diantaranya yaitu menjadikan perempuan calon korban sifon tersebut sebagai pacar dalam beberapa waktu dan setelah sifon, maka perempuan tersebut ditinggalkan begitu saja. Keempat; perasaan bersalah biasanya muncul setelah melakukan sifon. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa mengikuti proses penyunatan tradisi dan dilakukan secara medis sebenarnya sama saja dan tidak ada bedanya. Partisipan tersebut merasa bersalah bahwa seharusnya cukup melakukan sunat di Rumah Sakit atau Puskesmas sehingga mudah memperoleh perawatan dengan obat-obatan yang memadai. Berdasarkan pra penelitian tersebut, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang pemahaman pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi terhadap rasa bersalah dalam melaksanakan Sifon dan upaya konseling lintas budaya untuk menyadarkan pria dewasa Atoin Meto terhadap pemahaman yang keliru dari arti sunat yang sesungguhnya. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk segera melaksanakan penelitian berkaitan dengan pemahaman pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi terhadap sifon dan rasa bersalah dan upaya konseling lintas budaya suatu studi grounded theo ry. Metode Penelitiaan Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui strategi Grounded Theory. John W. Creswell menyatakan bahwa “grounded theory ... dalam penelitian ini peneliti berharap dapat menemukan satu teori yang didasarkan pada informasi para partisipan.” 16 Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam Norman K. Dinzen dan Yvonna S. Lincoln menyatakan bahwa “Grounded Theory adalah suatu metodologi umum yang digunakan untuk mengembangkan teori yang berbasis pada data yang dihimpun dan dianalisis secara sistematis.”17 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan strategi yang digunakan adalah grounded theory karena dalam penelitian ini sumber data yang
16 John W. Creswell, Research Design pendekatan kualitatif, kuantitatif dan mixed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 97 17 Norman K. Dinzen dan Yvonna S. Lincoln, Handbook Of Qualitative Research, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 258
22
diperlukan meliputi wawancara dan observasi. Terkait dengan hal ini diungkapkan Norman K. Dinzen dan Yvonna S. Lincoln bahwa: Sumber data yang diperlukan meliputi wawancara dan observasi lapangan, begitupun dengan berbagai jenis dokumen (yang meliputi buku harian, surat, autobiografi, biografi, peristiwa sejarah, koran dan media-media lain... di samping itu kita juga bisa menggunakan rekaman video.18 Selanjutnya strategi grounded theory dipilih sebagai pendekatan penelitian kualitatif karena strategi grounded theory yang dilakukan adalah menggunakan interpretasi dalam menganalisis data. Terkait hal ini, Norman K. Dinzen dan Yvonna S. Lincoln menyatakan bahwa: Interpretasi harus mencantumkan perspektif dan suara dari orang-orang yang kita teliti. Interpretasi digunakan untuk memahami tindakan dari individu atau kelompok yang sedang kita telit i. Dengan demikian, para praktisi prosedur grounded theory berada pada posisi yang berbeda dengan para peneliti kualitatif lain 19 Selanjutnya konsep penting dari penelitian kualitatif melalui strategi grounded theory adalah penelitian ini tidak dimulai dari suatu teori. Terkait dengan hal ini Wiwin Lismidiati menyatakan bahwa “penelitian grounded theory memulai dari data yang diperoleh dalam penelitian. Data-data tersebut dibentuk menjadi suatu teori kemudian data yang sudah diperoleh dihubungkan dengan penemuan data-data dengan penelitian terdahulu” 20 Berdasarkan uraian konsep di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan gambaran dan memahami secara mendalam pemahaman pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang telah mengikuti dan telah melaksanakan sifon. Hasil Analisa tema-tema temuan penelitian Peneliti melakukan analisis transkrip wawancara yang dilengkapi dengan hasil observasi dan telaah literatur. Ketika tema-tema bermunculan dalam analisis tersebut peneliti berupaya untuk menghubungkan dengan penelitian terdahulu terkait dengan penelitian.
18
Ibid, 350 250 20 Wiwin Lismidiati, Respon dan Coping Ibu Primipara dan Nullipara yang mengalami hesterktomi studi grounded theory, Tesis, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009), 32 19Ibid,
23
Tema pertama : pemahaman tentang sifon Berbagai pemahaman diungkapkan oleh partisipan dalam studi tentang sifon atau hubungan seks pasca sunat yang dilakukan oleh pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Pemahaman pertama tentang istilah Sifon berdasarkan pria dewasa atoin Meto adalah Polin ma’putu Pemahaman pria dewasa atoin meto tentang sifon ditemukan beberapa istilah diantaranya adalah polin ma‟putu. Polin ma‟putu merupakan istilah yang banyak digunakan dikalangan pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Polin ma‟putu menurut LO yaitu; “e ee he he (sambil tertawa) le nane ta ..polin ma‟putu. (e e e e he he itu membuang panas)” Istilah ini didukung pula oleh hasil penelitian dari Primus Lake bahwa polin ma‟putu adalah membuang panas. Polin ma‟putu dipahami sebagai proses bagi seorang pria yang mengikuti upacara sunat tradisi yaitu beberapa hari setelah pemotongan kulit khatan maka akan terjadi pembengkakan pada ujung alat vital pria. Pembengkakan tersebut dipahami sebagai panas yang perlu dibuang oleh yang bersangkutan. Proses pembuangan panas tersebut memiliki syarat yaitu bagi pria tersebut harus mencari seorang perempuan yang biasa melayani pembuangan panas yang sedang dialami pria yang telah disunat. Berdasarkan hasil wawancara dengan para partisipan diungkapkan tentang proses pencarian perempuan korban Sifon tergantung penuh pada pria tersebut. Membuang panas dapat dilakukan kepada perempuan yang biasanya melayani pria yang hendak sifon atau dapat dilakukan kepada seorang perempuan muda. Polin ai ma’otu’ Istilah at polin ai ma‟ otu‟ memiliki pemahaman yang sama sebagaimana istilah-istilah sebelumnya. Namun istilah ini penekanannya kepada membuang api yang sangat panas. Istilah-istilah ini digunakan untuk menyebut pembengkakan yang dialami oleh pria dewasa Atoin Meto pasca sunat. Pembengkakan tersebut dianggap sebagai suatu api yang panas. Proses pembuangan api yang panas yang sedang
24
dialami pria klien sunat tradisi tersebut sama seperti polin Ma‟putu. Pembuangan api panas tersebut dilakukan kepada perempuan korban Sifon. Pembuangan api panas terkandung maksud sebagaimana polin Ma‟putu yaitu sebagai sarana hubungan pria dewasa atoin meto dengan perempuan korban sifon Polin menas Istilah polin menas, bagi pria dewasa Atoin meto fatumnasi merupakan sebutan yang memiliki makna sebagaimana polin ma‟putu, dan polin ai ma‟ otu. Namun ciri khas istilah ini kepada penyakit. Para pria dewasa Atoin meto ketika melakukan hubungan badan dengan perempuan korban sifon berarti pria tesebut sedang membuang penyakit didalam diri perempuan korban sifon. Para pria memhami bahwa jika seorang pria membuang penyakit dalam diri perempuan korban sifon berarti perempuan tersebut sedang menanggung penyakit yang diterima dari pria dewasa atoin meto. Ada kemungkinan dalam beberapa waktu kemudian perempuan korban sifon tersebut badannya akan berbau seperti bau kambing. Hainikit Hainikit artinya mendinginkan. Jika dalam penjelasan-penjelasan istilahistilah terdahulu mengarah pada membuang panas, membuang api yang panas dan membuang penyakit, maka istilah hainikit menunjuk pada mendinginkan alat vital pria yang telah mengikuti proses sunat dipahami memiliki daya panas tinggi. Menurut keterangan para partisipan panas dari luka bekas potong sama seperti besi yang dibakar panas dan perlu untuk didinginkan. Terkait dengan hainikit, maka para pria dewasa atoin meto fatumnasi memahami bahwa alat vital yang panas perlu didinginkan. Pelaksanaan pendinginan dilakukan kepada perempuan korban sifon yang biasanya melayani sifon. Hainikit juga dapat dilakukan kepada perempuan yang telah menjadi janda dan memiliki anak satu atau dua anak. Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut; “hainikit le nane onle hit atoni onle hit taniu oel... nao ma tub tok bi es le na (membuat suapaya menjadi dingin itu, dilakukan oleh pria Fatumnasi yang telah mengikuti sunat tradisional... setelah sunat dua atau tiga malam, maka pria yang telah disunat tersebut harus tidur dengan perempuan).” Hainikit dilaksanakan juga kepada perempuan korban sifon. Pemahaman hainikit dapat diungkapkan sebagai berikut;
25
iya... lalit kalu at poit tako oel nte fai nuban ai tenun, nalalit at naoben ma haek amonik. Artinya kasih licin, a‟tu b tok bi fel ontak le bifele an siu m menas. (iya, kemudian jika kita telah keluar dari air tempat kita dipotong kulit khatan, maka setelah dua malam atau tiga malam, selanjutnya kita pergi mulai mencari sasaran untuk sifon atau mendinginkan ujung dari alat vital yang telah dipotong, artinya membuatnya menjadi licin, dan kita harus tidur dengan wanita korban sifon yang sudah biasa dijadikan tempat untuk membuang panas atau untuk mendinginkan alat vital pria.) Penekanan hainikit pada melakukan hubungan untuk mendinginkan alat vital pria dewasa atoin meto fatumnasi. Ta’sanut ma’putu Istilah lain yang juga menjadi temuan penelitian adalah ta‟sanut ma‟putu. Istilah ini dapat diterjemahkan dengan sebutan: menurunkan panas. Berdasarkan hasil wawancara partisipan mengungkapkan bahwa ta‟sanut ma‟putu memiliki kesamaan pemahaman dengan polin ma‟putu, polin ai ma‟otu.
Baken ma’putu Istilah yang memiliki kesamaan sebutan adalah istilah polin ma‟putu, baken ma‟putu. Istilah ini diungkapkan partisipan ST2W2, baken maputu on le taksane naat pap mese onle ma‟putu (sama artinya dengan membaung panas). Dengan demikian baken ma‟putu memiliki kesamaan sebutan seperti polin ma‟putu, polin ai ma‟otu. Kerangka pemahaman sifon dapat digambarkan seperti diagram berikut; Wanita-wanita yang biasanya dipakai untuk melakukan sifon atau at polin maputu atau at polin ai ma otu, kriterianya sebagaimana digambarkan di atas. Wanita yang didustai Berdasarkan wawancara dengan para partisipan ditemukan bahwa salah satu partisipan ST mengungkapkan bahwa; katika akan disunat seminggu sebelumnya ST berjumpa dengan wanita yang baru beberapa waktu dikenalnya. ST dan wanita tersebut bertemu dikebun ST untuk menyepakati pertemuan mereka setelah pertemuan tersebut. Wanita tersebut tanpa rasa curiga memenuhi janji untuk bertemu dengan ST. Pada saat bertemu ST menyatakan bahwa untuk
26
memantapkan hubungan mereka maka ST ingin agar wanita temannya harus melakukan hubungan dengan ST. Setelah melakukan hubungan suami isteri sebelum pernikahan tersebut, ST pergi meninggalkan wanita tersebut hingga sekarang ST telah menikah dengan wanita lain. Dusta yang dilakukan oleh ST hanya untuk mendapatkan hubungan dengan wanita tersebut merupakan bagian dari at polin ma‟ putu. Pria dewasa Atoin Meto mengakui bahwa pada saat seorang pria melakukan sifon atau at polin maputu atau at polin ai ma‟ otu kepada seorang wanita maka mani dari hubungan tersebut sebagai obat untuk proses penyembuhan dari luka yang dialami pria. Wanita yang telah biasa melayani Sifon. Semua partisipan yaitu para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi mengakui bahwa di Fatumnasi ada wanita-wanita yang sudah biasa melakukan hubungan badan diantaranya juga siap melayani pria yang akan sifon. Salah satu wanita yang sempat di ambil gambar wajahnya tidak ingin namanya disebut. Wanita Tuna Susila Salah satu alternatif yang dipilih sebagai tempat untuk sifon adalah karang dempel. Pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi melakukan sifon di Karang Dempel (KD) yang ada di Tanou kupang. Pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur mengijinkan didirikannya KD untuk mengantisipasi menyebarnya HIV/AIDS. Hal ini membantu para pria Timor untuk melakukan sifon dengan para wanita tuna susila. Namun, pilihan pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi, masih tetap pada perempuan-perempuan korban sifon di Fatumnasi dan sekitarnya. Tema kedua : pemahaman tentang perasaan bersalah Para partisipan memahami perasaan bersalah dari perilaku sifon dengan pemahaman yang berbeda. Partisipan LO mengungkapkan tentang perasaan bersalah yang dialaminya sebagai berikut; memang salah pak. Kalau menurut Alkitab memang salah. Kalau menurut orang tua dong kita harus ikut itu. (saya menyadari bahwa ada perasaan bersalah. Menurut Alkitab kita sudah melakukan kesalahan. Namun ini sudah merupakan tradisi turun-temurun sehingga kita harus mengikuti tradisi tersebut.) Berdasarkan petikan wawancara ini dapat diungkapkan bahwa sebenarnya pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi mengakui bahwa ketika melakukan hubungan
27
dengan wanita lain selain isteri yang sah ada perasaan bersalah. Namun demi tradisi, maka perasaan bersalah tersebut dikubur dalam hati. Para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi menyadari bahwa secara Alkitabiah mereka telah melakukan kesalahan. Tetapi tuntutan tradisi membuat perasaan bersalah tidak merupakan sesuatu yang membebani hati mereka. Para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi dapat melakukan apapun sehingga perempuan korban sifon bersedia melakukan hubungan intim dengan mereka. Berdasarkan wawancara lanjutan dengan LO mengungkapkan bahwa; a lot san pak, natuin tabu ta euk tok bifel hit so ta moe le bifel hen tup nok kit. Kaul kata moelefa mes kata‟penef bifel lalit uit ken anmaet. (ya merasa salah pak, karena ketika kita berjumpa dengan perempuan korban sifon, kita harus membohongi dia agar dia mau tidur dengan kita. Jika kita tidak berbohong, maka kita tidak bisa tidur dengan perempuan tersebut yang artinya kita siap supaya alat vital kita mati). Jika LO memiliki pengalaman perasaan bersalah sebagaimana petikan wawancara di atas, maka berbeda dengan ST. ST mengungkapkan bahwa: ya, memang merasa menyesal. Takut bahwa ke depan perempuan korban sifon akan mendapatkan suami atau tidak. Persoalannya adalah bahwa perempuannya sudah bersedia melayani kita. Mungkin saya terlalu egois yaitu memikirkan tentang keselamatan diri sendiri dan semuanya terpakasa. Saya merasa bersalah tapi yang terpenting saya sudah menurunkan panas dan saya sudah sehat. Hal ini menunjukan bahwa perasaan bersalah tetap ada, tapi para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi tidak dapat menyampaikan perasaan bersalah tersebut kepada pihak lain. Kerangka analisis untuk Tema 2 dapat digambarkan sebagai berikut;
Tema ke tiga : pemahaman tentang konseling lintas budaya Menurut para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi bentuk-bentuk pendampingan dari berbagai pihak tidak ada sama sekali. Hal ini diungkapkan juga oleh penanggung jawab Gereja Masehi Injili di Timor Fatumnasi bapak Yohanes Almet bahwa secara teologis memang sifon bertentangan dengan Firman Tuhan. Namun sifon merupakan tradisi yang sudah
28
melekat dalam kehidupan orang Timor terutama pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Sehubungan dengan konseling pastoral bagi perilaku sifon, gereja sendiri belum ada langkah-langkah yang ditempuh untuk meminimalisir. Pemerintah Timor Tengah Selatan telah memiliki undang undang tentang HIV/AIDS namun tidak jelas dan tidak ada sosialisasi kepada masyarakat terutama kepada masarakat kecamatan Fatumnasi desa Fatumnasi. Kerangka analisis untuk tema 3 dapat digambarkan sebagai berikut; Implikasi konseling Berdasarkan studi yang dikembangkan peneliti, maka peneliti menemukan bahwa para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi memiliki perasaan bersalah setelah melakukan sifon. Adanya kesadaran bahwa secara Alkitabiah perilaku sifon yaitu hubungan suami isteri yang dilakukan tanpa ikatan pernikahan merupakan sebuah kesalahan. Walaupun alasan dilaksanakannya sifon adalah karena tradisi. Peneliti melihat adanya kemungkinan pendampingan konseling lintas budaya untuk mengarahkan para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi memilih kebenaran. Konseling lintas budaya merupakan alternatif utama untuk membawa perubahan pemahaman bagi pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi bahwa kemungkinan hambatan pelaksanaan konseling lintas budaya terletak pada minimnya pendidikan yang dimiliki oleh para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi, dapat menjadi faktor penghambat. Penyadaran perlu dilakukan oleh berbagai pihak sehingga terbentuk suatu masyarakat yang paham akan kebenaran. Sifon merupakan tradisi yang dilakukan oleh seorang pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi setelah menjalani proses penyunatan. Penyunatan ini diterima baik oleh semua masayarakat Fatumnasi. Para tua adat dan perangkat desa tidak memiliki wawasan yang luas tentang sunat yang sehat. Sehingga tidak ada tindakan kontroversi apapun untuk mengantisipasi perkembangan tradisi tersebut. Akibatnya sunat tradisi diterima dan dilegalkan sekalipun terjadi berbagai penyimpangan dalam proses sebelum dan setelah sunat.
29
Kesimpulan Pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi Memahami bahwa pemotongan kulit khatan pria dewasa merupakan suatu kewajiban bagi seorang pria yang akan menikah atau bagi seorang pria yang telah menikah. Para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi memahami bahwa sifon perlu dilakukan oleh seorang pria yang telah dipotong kulit khatannya. Karena jika pria yang telah dipotong kulit khatannya tidak sifon, maka pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi tersebut memahami alat vitalnya tidak berfungsi dengan baik. Hal ini karena sifon merupakan tradisi yang dilakukan oleh seorang pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi setelah menjalani proses penyunatan. Penyunatan ini diterima baik oleh semua masyarakat Fatumnasi. Para tua adat dan perangkat desa tidak memiliki wawasan yang luas tentang sunat yang sehat. Sehingga tidak ada tindakan kontroversi apapun untuk mengantisipasi perkembangan tradisi sunat tersebut. Akibatnya sunat tradisi diterima dan dilegalkan sekalipun terjadi berbagai penyimpangan dalam proses sebelum dan setelah sunat. Proses yang dijalani seorang pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi sebelum dilaksanakannya upacara sunat tradisi oleh tukang sunat adalah, pria tersebut akan menjumpai seorang perempuan calon sifon baik pacar, maupun perempuan tertentu yang bisa dibayar yang dianggap akan dapat menolongnya untuk melepaskan panas “polin Ma‟putu”. Pria tersebut akan berupaya semaksimal mungkin agar perempuan korban sifon mau menjumpainya dan tidur bersama dengannya setelah 3 – 8 hari pasca sunat. Pria Atoin Meto Fatumnasi tidak akan memberitahukan kepada perempuan korban sifon bahwa dirinya akan dijadikan sasaran polin maputu. Dengan segala upaya sang pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi akan meyakinkan perempuan korban sifon bahwa setelah hubungan suami isteri yang mereka lakukan, maka pria Atoin Meto Fatumnasi akan memanggil orang tuanya untuk meminang perempuan korban sifon dan pria Atoin Meto Fatumnasi akan menikahi perempuan tersebut. Upaya pria Atoin Meto Fatumnasi untuk meyakinkan perempuan korban sifon dapat berupa perjanjian palsu untuk menikah. Upaya-upaya Atoin
30
Meto Fatumnasi seperti berbohong, membuat janji palsu merupakan bagian yang dihalalkan sampai perempuan korban Sifon mempercayai pria yang sebenarnya sedang berbohong. Para perempuan korban sifon sepertinya terhipnotis dengan bujuk rayu pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Ingkar terhadap janji untuk menikahi perempuan korban sifon sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Karena bagi pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang terpenting adalah mereka telah mendapatkan “kehidupannya” atau dalam bahasa dawan disebut dengan “nan lamun au u‟pen au monik”. Ini merupakan tindak kekerasan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan dan merupakan bentuk arogansi seorang pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang dilakukannya terhadap seorang perempuan lemah yang membutuhkan perlindungan dan kasih sayang. Para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi, memahami bahwa perbuatan sifon menimbulkan rasa bersalah. Rasa bersalah yang dialami adalah perasaan bersalah karena telah menyimpang dari kebenaran Firman Tuhan, berbohong dan berdusta hanya untuk satu tujuan supaya alat vital tetap berfungsi. Perilaku sifon dipelihara oleh para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi, karena kurangnya pendidikan yang dimiliki oleh pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang hanya tamatan Sekolah Dasar. Tidak adanya penyadaran dari pihak terkait untuk mengubah cara berpikir pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang dapat membuat mereka untuk mengubah mitos dari tradisi tersebut Apabila di kemudian hari para perempuan korban Sifon tidak memiliki suami sebagaimana perempuan yang lain, maka hal tersebut terkait dengan budaya sunat yang pada gilirannya hanya sebagai uji coba vitalitas pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Hal ini sungguh ironis terkait dengan adanya tradisi ini dalam lingkungan gereja yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan. Saran 1. Secara Teoritis Penelitian ini kiranya menjadi bahan kajian lanjutan bagi ilmu konseling. Ilmu konseling yang dimaksud adalah konseling pastoral dan konseling lintas budaya, untuk memberi kontribusi penyadaran pada pria dewasa Atoin Meto fatumnasi.
31
Pada penelitian selanjutnya disarankan agar peneliti lanjutan mengkaji tahap-tahap konseling pasoral dan konseling lintas budaya yang dapat diaplikasikan dalam upaya penyadaran terhadap pria Dewasa Atoin Meto Fatumnasi. Penyadaran ini perlu dilaksanakan peneliti lanjutan sehubungan dengan minimnya pendidikan yang dimiliki pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi sehingga seringkali pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi memiliki pemahaman yang kerdil terhadap sehat secara tubuh, jiwa dan roh. Prioritas upaya penyadaran merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Karena kurangnya perhatian serius dari berbagai pihak membuat perilaku sifon seakan menjadi sebuah hukum legal formal yang terus dilakukan oleh orang-orang yang minim dalam pendidikan. Pelaku sifon adalah masyarakat Indonesia dan juga adalah jemaat Kristus. Perempuan korban sifon juga adalah masyarakat Indonesia dan juga adalah jemaat Kristus. Terkait dengan itu berarti peranan berbagai pihak seperti gereja, petugas kesehatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, pemerintah provinsi NTT dan pemerintah pusat untuk membangkitkan penyadaran sangat besar. Peneliti hanya memulai suatu yang kecil. Selanjutnya semua pihak perlu segera terlibat. Konseling pastoral dan Konseling lintas budaya dapat menjadi alternatif penyadaran terhadap pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi, yaitu mengarahkan dengan giat program sukses sunat sehat.
2. Secara praktis Gereja selama ini terkesan berada jauh di puncak gunung Mutis, yang sulit menjangkau keterhilangan domba-domba di lereng gunung Mutis. Gereja dalam hal ini pimpinan jemaat, penanggung jawab, penatua, syamas dan kelompok doa kita memberi terang kebenaran kepada jemaat-Nya. Program pelayanan gereja hendaknya menyentuh kepada kebutuhan jemaat. Penyadaran bahwa di dalam Kristus setiap orang telah disunat yaitu sunat hati. Dan jika memungkinkan ada kerjasama dengan kesehatan untuk memberikan pengarahan tentang kesehatan reproduksi dan isu penting yang dapat disampaikan bahwa sifon merupakan kasus nasional yang perlu dihentikan karena sifon telah merampas hak hidup perempuan korban sifon.
32
Jika dikaji lebih dalam, maka akan dijumpai bahwa semua pihak ikut mengalami kerugian. Belum dapat menjamin bahwa setiap pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi yang datang melakukan polin ma‟putu, polin ai ma‟otu‟, polin menas, baken ma‟putu, hanikit, na‟sanut ma‟putu dan sifon bebas dari berbagai penyakit. Upaya penyadaran secara praktis dapat dilaksanakan kepada; a. Para Lelaki Atoin Meto Fatumnasi Para lelaki Atoin Meto Fatumnasi untuk memiliki pemahaman yang benar tentang sunat. Sunat yang benar merupakan pekerjaan teliti yang dilakukan oleh seorang medis (baik Dokter maupun perawat). Jika sunat dikaji dari pemahaman kristen, maka akan dijumpai bahwa yang terpenting bagi seorang kristen adalah sunat hati. Hal ini dapat diperhatikan dalam Kisah Para Rasul 7:51 Hai orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga, kamu selalu menentang Roh Kudus, sama seperti nenek moyangmu, demikian juga kamu. Lebih lanjut rasul Paulus mengungkapkan di dalam Galatia 6:15 bahwa: Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya. b. Isteri-isteri Dari Pria Dewasa Atoin Meto Fatumnasi Isteri-isteri dari para pria dewasa Atoin Meto Fatumnasi perlu disadarkan bahwa apabila secara terus-menerus mendesak suami untuk melakukan sunat tradisi, maka risikonya adalah adanya penyakit menular yang pasti dialami oleh seorang pria yang berhubungan dengan perempuan lain. Hal ini berarti pada gilirannya, maka perempuan yang akan menderita oleh karena penyakit HIV/AIDS sampai saat ini belum ada obat yang sanggup mengobati penyakit tersebut. c. Tokoh Adat Para tokoh adat perlu menerima pemahaman yang benar tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh karena melakukan sifon. Tidak merupakan jaminan bahwa seseorang yang melaksanakan sifon bebas dari penyakit kelamin yang berbahaya. Para tokoh adat dapat menyeleksi halhal yang dapat dijadikan sebagai aset budaya yang perlu dipelihara. Tapi
33
sifon tidak dapat dijadikan sebagai aset budaya yang harus dipertahankan. Terkait dengan sifon sebagai salah satu tradisi yang dapat membahayakan masyarakat.
d. Perempuan korban Sifon Menjadi perempuan korban sifon tidak merupakan pilihan dan citacita. Karena itu sebagai seorang perempuan korban sifon diperlukan keterbukaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pendampingan. Karena dengan demikian akan menolong perempuan korban sifon untuk terhindar dari penyakit berbahaya yang diterima dari pria yang melakukan sifon. e. Para Ahelet Para Ahelet dapat menjalankan fungsi heletnya dengan bekerjasama dengan para medis. Maksudnya adalah para ahelet dapat melakukan pemotongan kulit khatan, sedangkan obat-obatan untuk mengeringkan luka bekas sunat dapat menggunakan obat-obatan medis. f. Sebagai Satu Program Ekstra Pendidikan di Sekolah Peran para guru untuk memberikan pengajaran ekstra tentang bahaya sifon akan menolong para murid untuk mengambil keputusan untuk tidak melakukan sunat tradisional.
Diharapkan melalui tahapan-tahapan di atas akan memungkinkan pengembangan tradisi sunat sifon akan diminimalisir sehingga tidak menimbulkan korban yang lebih banyak. Semua pihak perlu terlibat untuk segera menjalankan upaya-upaya penyadaran.
DAFTAR PUSTAKA B. Subagyo, Andreas. Pengantar Riset Kuantitaf dan Kualitatif termasuk riset teologi dan keagamaan, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004) Clinibell, Howard. Tipe-tipe dasar pendampingan dan konseling Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002) Collins, Gary R. Pengantar Konseling Kristen yang efektif, (Malang: Literatur SAAT, 2007).
34
Crabb, Larry, Konseling yang efektif dan Alkitabiah, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1995) Christian, W. Steven, Kulit khatan,(Yogyakarta: Andi Offset, 2009) Creswell, John W. Research Design pendekatan kualitatif, kuantitatif dan Mixed, (Yoyakarata: Pustaka Pelajar, 2012) Davis, Creath. Mengatasi Krisis Kehidupan, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995) Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S, Handbook of Qualitative Research, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) Gerkin, Charles V. Konseling pastoral dalam masa transisi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992) Ginting,. E.P., Konseling Pastoral penggembalaan kontekstual, (Bandung: Bina Media Informasi, 2009). Ginting,. E.P., Metode Studi Kasus Pastoral, (Bandung: Bina Media Informasi, 2011) Ginting,. E.P., penggembalaan hal-hal yang Pastoral, (Bandung: Bina Media Informasi, 2009) Gunarsa, Singgih D. Konseling dan Psikoterapi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007) Hofman, John C. Permasalahan Etis dalam Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) Jumarin, M. Dasar-dasar konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002) Lake, Primus. Ringkasan hasil penelitian analisis situasi dan respons terhadap praktek sunat Atoin Meto di kecamatan Amanuban Timur Kabupaten Timor Tengah Selatan, (Kupang: Yayasan Bina Insan Mandiri kerjasama dengan Plan Indonesia Program Unit Soe, 2005) Lake, Primus. Penile Implant And Accessories in West Timor, (Kupang: Yayasan Bina Insan Mandiri kerjasama dengan The Australian National University, 2002) Meier, Paul D., Frank B Minirt, Frank B Wichern, Donald E. Ratcliff, Pengantar Psikologi dan konseling Kristen 1, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2004) Meier, Paul D., Frank B Minirt, Frank B Wichern, Donald E. Ratcliff, Pengantar Psikologi dan konseling Kristen 2, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2004) Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian kualitatif, (Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2006) Poerwandari., Kristi., Pendekatan Kualitatif untuk penelitian perilaku Manusia, (Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007) Sitohang, Samin H. Kasus-kasus dalam Perjanjian Lama, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2005) Sigit Purnawan, Bambang Sugeng dan Pudjiastuti, Kajian hubungan budaya Sifon (ritual hubungan sex pasca sunat tradisional pada beberapa etnis Timor) dengan hak wanita dan pertumbuhan penyakit kelamin, (Yogyakarta: UGM, hasil penelitian, 2007) Subagyo, Joko. Metode Penelitian dalam teori dan praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006)
35
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitati dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2011) Surbakti, Elisa B. Konseling Praktis mengatasi berbagai masalah, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2008) Susabda, Yakub B. Menjadi Konselor yang Profesional, (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2007) Susabda, Yakub B. Pastoral Konseling 1, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2006) Susabda, Yakub B. Pastoral Konseling 2, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2008) Tamsir, Sukari. Teknik Penyusunan Instrumen penelitian Kuantitatif skala sikap dan Tes sikap bela Negara pemahaman kewiraan, (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2003) Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif dalam pendidikan dan bimbingan konseling, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012) Wright, H Norman. Konseling Krisis, (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2006) Yin, Robert K., Studi kasus desain dan metode, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011)
36