PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
GO’ÉT ( UNGKAPAN TRADISIONAL) MANGGARAI DITINJAU DARI SEGI MAKNA DAN FUNGSI
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Maria Sulastri NIM: 064114015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Agustus 2010
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“ Meskipun hidupku seringkali dibangun di atas puing – puing kehancuran diri, namun aku yakin Tuhan akan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya “ Lalong bakok du lako – lalong rombeng du kole” ( Jago putih waktu pergi – jago rombeng waktu pulang)
Skripsi ini ku persembahkan kepada: ♥ Kedua orang tua tercinta yang telah membantu penulis berupa dukungan secara materil dan moril. ♥ Ase ka’e lawa (masyarakat) Manggarai . ♥ naca momang (yayang)
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat serta berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul “Go’ét” (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Dalam proses penyusunan skrispi, ada banyak pihak yang turut membantu penulis demi kelancaran penyusunan skripsi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku pembimbing I yang telah membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 2. Dra. F. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah membimbing penulis serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. Drs. Hery Antono, M.Hum. Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum. Drs. F.X. Santosa, M.S. S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum; atas pengetahuan yang telah dibagikan
kepada penulis
selama menempuh kuliah di Universitas Sanata Dharma.
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Bapak Gaudensius Bombang atas segala kritikan
dan sarannya
kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi. 5. Buat naca momang (yayang)
yang selalu memberikan dukungan,
semangat serta kritikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi. 6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa karya ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi penyempurnaan karangan ini.
Yogyakarta, September 2010 Penulis
Maria Sulastri
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK
Sulastri, Maria. 2010. Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai: Tinjauan Makna dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Dalam skripisi ini dibahas Go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’ét Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’ét Manggarai. Kedua, go’ét Manggarai sebagai salah satu budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’ét Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan makna serta fungsi go’ét Manggarai dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Makna yang dibicarakan dalam penelitian ini adalah makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat “dirunut” dari makna leksikal unsur - unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur yang diucapkan penutur, harus diidentifikasi pemakaian bahasa berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan semantik dan pendekatan pragmatik. Pendekatan semantik digunakan untuk menganilisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’ét Manggarai. Pendekatan pragmatik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara. Data diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu metode simak atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap. Metode cakap atau wawancara adalah metode yang berupa percakapan antara peneliti dengan penutur selaku nara sumber. Metode cakap dijabarkan ke dalam teknik dasar yaitu teknik pancing dan teknik lanjutan, yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik cakap bertemu muka selanjutnya dijabarkan melalui teknik rekam dan teknik catat. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis.
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Metode padan translasional digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Metode padan pragmatis digunakan untuk mengidentifikasi kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada mitra wicara ketika satuan kebahasaan dituturkan oleh penutur. Hasil penelitian mengenai go’ét Manggarai: tinjauan makna dan fungsi adalah sebagai berikut: go’ét adalah salah satu budaya Manggarai berupa ungkapan lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Go’ét tumbuh dan berkembang luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Meskipun tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat Manggarai, hanya segelintir orang Manggarai yang memahami serta menguasai go’ét dengan sempurna. Umumnya, go’ét Manggarai hanya dipahami serta dikuasai oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat (tetua adat dan tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang muda sangat jarang yang mengenal istilah go’ét apalagi untuk memahaminya. Go’et adalah ungkapan berupa idiom, kiasan, perumpamaan yang mengandung makna literal dan makna figuratif, digunakan untuk berbagai tujuan tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Go’ét dianggap sebagai bahasa halus, tetapi sarat dengan berbagai makna. Orang Manggarai menggunakan go’ét sebagai sarana untuk berkomunikasi, untuk berbagai tujuan tertentu (menasehati, untuk menyindir, dan lain-lain). Dalam situasi tertentu, orang Manggarai tidak mengungkapkan maksud atau keinginannya secara terang-terangan, tetapi menggunakan kiasan. Setiap kata atau kalimat mengandung falsafah yang mencerminkan alam pikiran orang Manggarai. Go’ét merupakan bahasa tutur yang dirasa paling tepat dan paling mengena, sesuai dengan norma adat yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Manggarai.
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT
Sulastri, Maria, 2010. Go’et (Traditional Expression) in Manggaraian Language: In Aspect of Meaning and Function. Script for Graduated Degree. Yogyakarta: Study of Indonesian Literature, Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
This is concerned with go’et (traditional expression) in Manggaraian language. There are two reasons in choosing the topic of this research. First, no observer has been collecting Manggaraian go’et in a complete script in reference to the meaning and function contained in Manggaraian go’et. The second, Manggaraian go’et as one of Manggaraian culture is conceived and understood only by certain old people in Manggaraian society. When all of the authentic narrators die, one time in future Manggaraian go’et will be lost because there will not be a process of inheritance. The result of this research is supposed to be a medium of culture inheritance to Manggaraian people. The objective of the research is to explain the meaning and function of Manggaraian go’et in Manggaraian society. The meaning here is about literal and figurative meaning. Literal or direct meaning is the sense of word that appropriate with the real. Figurative meaning is the sense that deviates from its reference for the purpose of ethical and aesthetic, including idiomatic meaning and analogy. Idiom is unit of language (may be word, phrase, and sentence) which meaning can not be “traced” from the lexical sense of its elements as well as not from the grammatical sense of those elements. To understand the aim of narrator’s statement, we have to be identify the using of language based on the situation and condition when it spoken. The research uses semantics and pragmatic approximation. Semantics approximation is used to analyze the kinds of meaning contained in Manggaraian go’et. The pragmatic one is to analyze words spoken by the narrator so that they can be understood by the partner of speaking. Data are acquired by using two methods, those are gathering method or observation and speaking method or interview. Gathering method is applied by means of a technique of bugging. Speaking method or interview is a method in form of conversation between observer and narrator as informant. Speaking method is derived into the basic technique that is technique of angling and the advanced technique, that is technique of face-to-face speaking. The last one can be further derived into recording technique and writing technique. Then, data are analyzed by using the method of equality. The method used here is the translational equality and the
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pragmatic equality. Method of translational equality is used to identify unit of Manggaraian language grounded on unit of lingual in Indonesian language. The pragmatic one is to identify lingual according to the reaction or result on the partner of speaking when unit of lingual spoken by the narrator. The research with Manggaraian go’et : go’et is one of Manggaraian culture in form of oral expression bequeathed from generation to generation. Go’et arises and develops widely in Manggaraian society. Nevertheless, just a few of Manggaraians people understand and use go’et well. In general way, Manggaraian go’et can only be understood and spoken by certain old people (the elders and public figure), whereas in community of the youngers it is too rare to know the tem “go’et” even less to understand. Go’et can be regarded as an expression in form of idiom, analogy, parable that contains literal and figurative meaning, that is used for various purpose in social life of Manggaraian people. Go’et is considered as polite language, but very meaningful. Manggaraian people use go’et as means to communicate, for various interests (advice, for tease us). In certain situation, Manggaraian people do not express their purpose or wish directly, but use metaphor. Every word and sentence contains philosophy that reflects the realm of mind of Manggaraian people. Go’et is a spoken language considered as the precisest and the most effective, in the respect of traditional norms obtain in Manggaraian society.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Mengutuk
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisonal) dalam bahasa Manggarai: tinjauan makna dan fungsi. Go’et merupakan milik masyarakat Manggarai, namun hanya segelintir orang dalam masyarakat Manggarai yang benarbenar memahami go’et dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil observasi, go’et umumnya hanya dikuasai dengan baik dan sempurna oleh para orang tua tertentu dalam masyarakat Manggarai (tetua adat, tokoh masyarakat), sedangkan dalam lingkungan orang-orang muda sangat jarang yang menguasainya apalagi menghafalnya. Go’et sudah lama dikenal masyarakat Manggarai. Umumnya orang sudah sering mendengarnya ketika diucapkan oleh para orang tua, baik dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam kehidupan seharihari. Ungkapan tradisional umumnya berisi pendidikan etik dan moral, normanorma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi setiap anggota masyarakat (Athaillah dkk.1984:1). Selain itu, ungkapan tradisional pada hakikatnya adalah ide, pandangan, keinginan, sikap, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan ataupun yang seharusnya tidak dilakukan. Sebagai ungkapan tradisional, go’et mengandung nilai pendidikan, etik, moral, norma-norma sosial, dan nilai-nilai yang dapat menjadi pegangan tentang norma tingkah laku bagi setiap anggota masyarakat untuk memelihara kelangsungan hidup bermasyarakat
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
selanjutnya. Norma-norma itu harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap anggota, terutama yang sedang berfungsi atau yang akan menerima fungsi sebagai pemimpin masyarakat. Generasi muda perlu memahami dan menghayati ungkapan tradisional dengan baik agar dapat memilah unsur-unsur yang dapat digunakan dalam pembinaan generasi berikutnya. Dalam masyarakat tradisional, pewarisan nilai-nilai ini dilakukan melalui jalur pendidikan non-formal yang ada dalam masyarakat. Berikut ini adalah contoh go’et Manggarai: (1) Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta ‘ Tuan dan Pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’ (2) Kantis nai rai ati ‘ Mengasah hati dan paru-paru’ Kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta pada contoh (1) merupakan ungkapan untuk menghormati Tuhan Allah sebagai pencipta alam semesta, yang diucapkan pada saat upacara keagamaan atau upacara adat. Ungkapan tersebut menggambarkan kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui Tuhan sebagai pencipta, sumber dari segala sesuatu yang ada di bumi dan merupakan kekuasaan tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati pada contoh (2) merupakan idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja dan berusaha. Ungkapan tersebut merupakan nasihat dari orang tua kepada generasi muda untuk senantiasa bekerja keras, memanfaatkan waktu dengan baik agar apa yang dicita-citakan atau yang diharapkan dapat tercapai. Kedua contoh di atas mengandung ajaran tentang nilai pendidikan dan nilai moral yang harus diikuti dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat Manggarai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Selain berisi nilai pendidikan dan nilai moral, kedua contoh di atas juga merupakan ide, pandangan, serta perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota masyarakat Manggarai dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Nilai pendidikan yang terdapat dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta yaitu berisi ajaran agar umat manusia mengakui dan menghormati Tuhan sebagai Sang Pencipta, asal mula dari segala sesuatu yang ada di bumi, dan sebagai kekuasaan yang tertinggi. Kalimat kantis nai rai ati mengandung nilai pendidikan serta nilai moral mengenai apa yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mencapai sebuah kesuksesan yaitu dengan cara bekerja keras dan tekun dalam berusaha. Kedua ungkapan tersebut merupakan pandangan, keinginan serta sikap masyarakat Manggarai dalam keseharian di lingkungan masyarakat. Ada dua alasan pemilihan topik penelitian ini. Pertama, belum ada peneliti yang mengumpulkan go’et Manggarai dengan mencatat secara lengkap mengenai makna serta fungsi yang terkandung dalam go’et Manggarai. Kedua, go’et Manggarai sebagai salah satu bagian dari budaya Manggarai hanya dikuasai dan dipahami oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Jika para penutur asli meninggal dunia, suatu hari nanti go’et Manggarai akan hilang karena tidak adanya proses pewarisan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana pewarisan budaya bagi masyarakat Manggarai.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan yang dibahas adalah:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.2.1
4
Apakah makna go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai?
1.2.2
Apakah fungsi go’et Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1
Menjelaskan makna go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai;
1.3.2
Menjelaskan fungsi go’et dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.
1.4 Manfaat Penelitian Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik dan bidang pragmatik. Dalam bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk menganalisis jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’et Manggarai. Dalam bidang pragmatik, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memahami tuturan yang diucapkan penutur agar dapat dipahami oleh mitra bicara. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka, khususnya kebudayaan daerah. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi sarana pewarisan budaya, menjadi tolak ukur dalam melakukan penelitian baru dalam bidang kebudayaan dan memperkenalkan go’et sebagai salah satu kebudayaan Manggarai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.5 Tinjauan Pustaka Nggoro (2004) dalam bukunya yang berjudul Budaya Manggarai: Selayang Pandang membahas go’et Manggarai secara sepintas dalam kaitannya dengan budaya Manggarai mengenai hubungan kekerabatan atau kekeluargaan. Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dapat dipahami sebagai hubungan yang terjalin karena pertalian darah atau perkawinan, karena tempat tinggal yang berdekatan, dan pergaulan hidup sehari-hari. Dalam kaitannya dengan hubungan kekerabatan, go’et digunakan dalam percakapan sehari-hari di lingkungan keluarga, yaitu percakapan antara orang tua dan anaknya. Percakapan tersebut berisi nasihat orang tua kepada anak, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Got (2007) dalam tesisnya yang berjudul Makna Adat Istiadat, Leluhur Putri Nggerang, Budaya dan Pariwisata Manggarai bagi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat membahas go’et secara sepintas dari segi makna adat-istiadat dalam tradisi budaya dan peristilahan. Tradisi budaya dan seni peristilahan yang dimaksud adalah mengenai tradisi pesta yang berkaitan dengan adat-istiadat budaya dan agama, yaitu suatu kegiatan keagamaan yang dilakukan setiap tahun, dilakukan setelah musim panen. Kegiatan tersebut dilakukan untuk menghormati Sang Pencipta yang sering diungkapkan dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana’n wa awang eta (Tuhan Pencipta langit dan bumi) yang dipersonifikasikan dengan melakukan apa yang disebut taking seki (memberikan sesajian kepada roh-roh nenek moyang) dan naga golo (makhluk halus) yang diberikan oleh setiap panga (klan) yang menjaga beo (kampung). Dalam kaitannya dengan tradisi budaya dan peristilahan, go’et
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
dipakai saat upacara adat dalam bentuk doa sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur atau rasa terima kasih kepada Sang Pencipta. Dengan demikian, penelitian mengenai go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dari segi makna dan fungsi belum pernah dilakukan.
1.6 Landasan Teori Lima hal yang digunakan sebagai landasan teori untuk memecahkan masalah yang terumuskan dalam rumusan masalah penelitian ini adalah (1) pengertian go’et, (2) pengertian ungkapan tradisional, (3) pengertian makna, (4) fungsi bahasa dan kaitannya dengan budaya, (5) tindak tutur.
1.6.1 Pengertian Go’et Menurut Verheijen ( Kamus Manggarai-Indonesia, 1967: 143) go’et adalah sajak, pantun, seloka, (ii) tutur bahasa. Go’et adalah tutur bahasa yang dipakai dalam pergaulan hidup sehari-hari berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, dalam upacara adat, dan upacara keagamaan dalam lingkungan masyarakat Manggarai, berupa bahasa kiasan. Go’et berisi pesan yang mengandung ajaran moral, disampaikan oleh para orang tua kepada para generasi muda, mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Go’et tidak dapat ditafsirkan secara harafiah tetapi ditafsirkan berdasarkan konteks pemakaian bahasa ketika go’et diucapkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Menurut Bruno Agut (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah, perumpamaan (dalam bahasa Indonesia) berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama. Contoh : kantis nai-rai ati. Pada kalimat kantis nai-rai ati terdapat persamaan bunyi yang sama, yaitu pengulangan vokal [i]. Menurut Petrus Janggur (nara sumber), go’et adalah ungkapan, pepatah, petuah yang mengandung nasihat, teguran untuk memberi motivasi dari orang tua kepada generasi muda. Selain sebagai petuah, go’et merupakan ungkapan yang penuh dengan makna simbolis. Go’et dalam penelitian ini adalah ungkapan, perumpamaan, berupa kalimat atau bunyi-bunyi yang sama, yang mengandung pesan tertentu dan digunakan untuk berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat.
1.6.2
Pengertian Ungkapan Tradisional Hutomo via Suarjana dkk (1994:15) menyebutkan bahwa ungkapan
tradisional adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan yang sehalus mungkin, tetapi mudah dimengerti. Ungkapan tradisional itu terdiri dari berbagai jenis, yaitu: (1) Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup; (2) Ungkapan yang berkaitan dengan pertandingan atau permainan; (3) Ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan; (4) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan; (5) Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang; (6) Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
(7) Ungkapan yang berkaitan dengan ejekan; (8) Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan. Gaffar (1990:20) menyatakan bahwa ungkapan tradisional atau peribahasa adalah bahasa kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi buah bibir banyak orang. Ungkapan tradisional dalam penelitian ini adalah ungkapan atau ekspresi seorang individu dalam usahanya untuk menyampaikan pikiran, perasaan, serta emosinya dalam bentuk satuan kebahasaan tertentu yang dianggap paling tepat, dengan selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan masyarakat setempat, yang berfungsi untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat.
1.6.3 Pengertian Makna Makna dibagi atas dua jenis, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna primer terdiri dari makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal, sedangkan makna sekunder terdiri dari makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal (Wijana, 1998:9). Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguhsungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna denotatif sering juga disebut makna denotasial, makna konseptual, atau makna kognitif yaitu makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu makna denotasi sering juga disebut sebagai “makna sebenarnya”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Makna literal atau makna lugas adalah makna yanga harafiah yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan (Chaer, 1989 : 62-68). Makna konotatif merupakan makna tambahan dari makna denotatif yang berasal dari masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu, dapat juga peristiwa sejarah atau adanya pembedaan fungsi sosial dalam masyarakat. Makna figuratif adalah makna yang menyimpang dari referennya untuk berbagai tujuan etis (moral), estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dan sebagainya. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer,1989 : 62-71). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa makna denotatif, makna leksikal, dan makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa tanpa bantuan konteks. Makna satuan bahasa yang dapat diidentifikasi tanpa bantuan konteks disebut makna primer. Makna konotatif, makna figuratif, dan makna gramatikal hanya dapat diidentifikasi oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks, yaitu melalui konteks pemakaian bahasa yang dipakai penutur bahasa. Makna kesatuan bahasa yang hanya dapat diidentifikasi lewat konteks pemakaian bahasa disebut makna sekunder. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa go’et Manggarai mengandung makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Idiom adalah satuan bahasa (bisa berupa kata,frasa, maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
kalimat) yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna leksikal unsurunsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut (Chaer, 1989:76-77). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa makna idiomatikal adalah makna satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa, maupun kalimat) yang “menyimpang” dari
makna
leksikal
Menyimpangnya
makna
atau
makna
idiomatikal
gramatikal didukung
unsur-unsur oleh
usaha
pembentuknya. penutur
untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosinya dalam bentuk satuan-satuan bahasa tertentu yang dianggap paling tepat dan mengena (Chaer, 1989:78). Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang diucapkan penutur, berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan digunakan. Jadi, makna adalah maksud ujaran penutur dalam menyampaikan pesan atau informasi berdasarkan kenyataan dengan menggunakan bahasa yang sederhana sehingga langsung dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar), ataupun menggunakan bahasa yang menyimpang dari arti sebenarnya untuk tujuan etis dan estetis. Untuk dapat memahami maksud ujaran penutur, harus diidentifikasi melalui pemakaian bahasa yang diucapkan penutur berdasarkan situasi dan kondisi ketika tuturan diucapkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
1.6.4 Fungsi Bahasa dan Kaitannya dengan Budaya Bahasa merupakan salah satu bagian dari segi kebudayaan. Sebagai salah satu segi kebudayaan, bahasa merupakan dasar dari kebudayaan. Kebudayaan sama tuanya dengan manusia, begitu juga bahasa, hanya corak dan bentuknya yang berbeda. Seperti halnya dengan manusia, bahasa dan kebudayaan juga berkembang. Hal ini dapat dilihat dari riwayatnya dan bila kita bandingkan bahasa sekarang dengan dahulu, jauh bedanya. Khazanah kata-kata pada setiap bahasa
zaman
sekarang, lebih-lebih bahasa yang luas pemakaiannya, bukan main banyaknya dan luas pula pengertiannya (Mahjunir, 1967:84). Bahasa bukanlah warisan biologis, tetapi diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman sejak kecil. Dengan demikian, bahasa merupakan ciptaan manusia yang berfungsi sebagai alat penghubung. Sebagai alat penghubung, bahasa memungkinkan manusia untuk dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama. Selain itu, bahasa juga digunakan dalam proses pewarisan budaya, yaitu diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya yang diperoleh dengan cara belajar, yang dimulai dari lingkungan keluarga. Tanpa bahasa, kebudayaan tidak dapat berkembang. Bahasa dapat dipandang sebagai alat untuk mengembangkan dan meneruskan kebudayaan, di samping alat-alat lain. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesamanya. Bahasa timbul sesuai dengan kebutuhan manusia dalam hidupnya. Bahasa seperti halnya dengan segi-segi kebudayaan lain merupakan ciri yang membedakan manusia dengan hewan (Mahjunir, 1967:84).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Keraf (1987: 3) mengatakan bahwa fungsi bahasa dapat diturunkan dari dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu sendiri. Dasar dan motif pertumbuhan bahasa itu dalam garis besarnya dapat berupa: (1) Untuk menyatakan ekspresi diri; (2) Sebagai alat komunikasi; (3) Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; (4) Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan serta emosi kita ketika berhadapan langsung dengan orang lain dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama anggota masyarakat.
Bahasa
mengatur
berbagai
macam
aktivitas
kemasyarakatan,
merencanakan, dan mengarahkan masa depan kita. Bahasa juga memungkinkan manusia menganalisa masa lampau untuk memetik hasil-hasil yang berguna bagi masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, bahasa memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda kebudayaan dengan kita. Bahasa merupakan sarana untuk belajar dan memahami situasi di lingkungan sekitar kita dan memampukan kita untuk menjalin suatu hubungan atau relasi dengan orang lain. Sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial, bahasa mengatur cara berpikir dan bertindak dalam berinteraksi di lingkungan sosial masyarakat (Keraf, 1987:3 - 6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Bahasa mengalami perkembangan dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan intelektual manusia dan kekayaan cipta karya manusia sebagai hasil dari kemajuan intelektual itu sendiri. Semakin tinggi tingkat peradaban manusia, maka bahasa yang digunakan pun akan semakin meningkat dan berkembang. Oleh karena itu, bahasa merupakan cerminan budaya dari suatu masyarakat. Uraian mengenai fungsi bahasa serta kaitannya dengan budaya berfungsi untuk menjelaskan posisi serta fungsi go’et di lingkungan masyarakat Manggarai, yaitu sebagai media bahasa yang digunakan dalam upacara-upacara tradisional maupun dalam berbagai situasi lain dalam kehidupan sehari-hari.
1.6.5 Tindak Tutur Searle dalam Wijana (1996: 17) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai the act of saying something. Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Tindak ilokusi disebut sebagai the act of doing something. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut the act of affecting someone (Wijana, 1996: 19-20). Tindak tutur digunakan untuk menganalisis maksud ujaran penutur go’et sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara (pendengar). Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam go’et Manggarai terdapat
tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi dan tindak tutur
perlokusi.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni : (i) pengumpulan data atau penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut akan diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap penelitian.
1.7.1
Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semantik.
Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis tuturan yang diucapkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra bicara.
1.7.2
Tahap Penyediaan Data Objek penelitian ini adalah go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa
Manggarai. Objek penelitian dalam data berupa ujaran atau tuturan masyarakat pemakai go’et. Data diperoleh dengan menggunakan dua metode yaitu metode simak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
atau observasi dan metode cakap atau wawancara. Metode simak atau penyimakan dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2005:90). Metode simak diterapkan dengan menggunakan teknik sadap, yaitu penggunaan bahasa dari sumber tertulis yaitu dari buku referensi yang berkaitan dengan kebudayaan Manggarai, dan data lisan diperoleh
dari hasil wawancara
berupa ujaran masyarakat pemakai go’et. Metode cakap atau percakapan yaitu metode berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku nara sumber (Sudaryanto, 1993:137). Metode cakap diwujudkan melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasarnya adalah teknik pancing karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode tersebut hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti (Mahsun, 2005:94). Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan dalam teknik lanjutan, yaitu teknik cakap bertemu muka. Teknik selanjutnya yang digunakan adalah dengan teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan merekam penggunaan bahasa. Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45). Dalam penelitian ini, teknik cakap bertemu muka digunakan ketika peneliti melakukan wawancara dengan nara sumber. Teknik rekam digunakan untuk merekam penggunaan bahasa / tuturan nara sumber. Teknik catat digunakan untuk mencatat hasil rekaman tuturan nara sumber pada kartu data ketika hendak menyusun laporan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.7.3
16
Tahap Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah
metode yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,1993:13). Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan translasional dan metode padan pragmatis. Metode padan translasional adalah adalah metode padan yang alat penentunya berupa bahasa lain. Bahasa lain yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang diteliti (Kesuma, 2007:49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kesatuan bahasa Manggarai berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata Mori dalam bahasa Manggarai tidak teridentifikasi dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Manggarai, Mori berarti Tuhan atau Sang Pencipta. Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara.
1.7.4 Tahap Penyajian Hasil analisis Data Setelah data dianalisis, maka dilakukan tahap penyajian hasil analisis data. Data yang sudah dianalisis disusun secara sistematis. Penyajian hasil analisis data terhadap objek penelitian go’et Manggarai ditinjau dari segi makna dan fungsi dilakukan secara informal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dijabarkan menjadi empat bab, yaitu: (i) Pendahuluan, (ii) Gambaran Umum Lokasi Penelitian, (iii) Pembahasan, (iv) Penutup. Bab I berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Latar belakang masalah berisi pernyataan atau penjelasan singkat mengenai topik penelitian, alasan pemilihan topik penelitian serta aspek yang akan dibahas dari topik penelitian. Tujuan penelitian merupakan uraian mengenai tujuan yang akan diperoleh dari penelitian yang dilakukan. Tinjauan pustaka berisi ulasan tentang kajian yang telah dilakukan tentang objek penelitian, atau penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Landasan teori adalah kerangka berpikir yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah penelitian. Metode dan teknik penelitian berisi uraian mengenai metode dan teknik dalam melakukan sebuah penelitian. Sistematika penyajian berisi uraian mengenai metode penelitian, hasil dari penelitian yang dilakukan. Bab II menguraikan tentang gambaran umum mengenai lokasi penelitian, yaitu mengenai topografi dan demografi lokasi penelitian. Topografi adalah pemetaan yang terperinci tentang keadaan muka bumi pada daerah tertentu, yang meliputi luas wilayah, keadaan geografis, letak astronomi berdasarkan garis lintang dan garis bujur. Demografi adalah ilmu tentang susunan, jumlah, dan perkembangan penduduk.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Bab III berisi pembahasan topik penelitian yang meliputi makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai. Pada bab ini, penulis akan melakukan transkrip bahasa, yaitu dari bahasa Manggarai ke bahasa Indonesia. Bab IV berisi penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan tentang makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai dalam kehidupan sosial masyarakat. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Pengantar Penjabaran lokasi penelitian berfungsi untuk menjelaskan keadaan wilayah lokasi penelitian yang meliputi keadaan topografi dan demografi. Topografi adalah kajian atau penguraian terperinci tentang keadaan muka bumi pada suatu daerah atau suatu kawasan tertentu. Demografi adalah uraian atau gambaran politis dari suatu bangsa dilihat dari sudut sosial penduduk; ilmu kependudukan.
2.2 Topografi Manggarai berasal dari kata mangga dan rai. Dalam bahasa Bima, mangga berarti jangkar, dan rai yang berarti lari. Jadi, Manggarai berarti jangkar yang dibawa lari. Nama Manggarai diberikan oleh pasukan Bima yang diutus Sultan Bima untuk menghukum rakyat Cibal karena dianggap melawan perintah kesultanan Bima (Hemo, 1988: 45). Pada abad XVI Manggarai berada di bawah kekuasaan Gowa. Hubungan antara Manggarai dan Gowa pada mulanya merupakan hubungan perdagangan. Pada abad XVII Gowa meningkatkan hubungannya dengan daerah Manggarai menjadi hubungan yang bersifat politik. Sebelum Gowa masuk ke daerah Manggarai, ada beberapa pemerintahan suku yang berkuasa atas wilayah-wilayah di Manggarai. Pemerintahan suku yang mendominasi saat itu adalah Cibal, Todo, Lamba Leda, dan Bajo. Keempat kekuasaan tersebut mempunyai wilayah kekuasaan dan masingmasing berdaulat atas wilayahnya. Menjelang abad XVII, secara tidak terang-
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
terangan
kerajaan
Gowa
melepaskan
daerah
Manggarai
dari
pengaruh
kekuasaaannya. Secara tiba-tiba dan secara sepihak kesultanan Bima mengaku sebagai penguasa di daerah Manggarai. Wakil Sultan Gowa yang berada di Reok (nama salah satu wilayah di Manggarai) maupun keempat dalu (penguasa) yang berkuasa di Manggarai tidak mengetahui bila Bima telah menguasai Manggarai. Kehadiran orang Bima menimbulkan ketegangan karena kehadiran mereka ditolak oleh Wakil Sultan Gowa serta keempat dalu (penguasa) di Manggarai. Hal itu disebabkan karena mereka masih tunduk kepada Sultan Gowa sebagai penguasa (Hemo, 1988: 41). Mundurnya Gowa dari daerah Manggarai disebabkan beberapa hal, di antaranya adalah perang Makasar melawan VOC tahun 1666 yang dimenangkan oleh VOC. Tahun 1667 Raja Hasanuddin diminta untuk menandatangani perjanjian Bongaya. Isi perjanjian Bongaya antara lain Makassar harus melepaskan daerah-daerah bawahannya. Setelah Makasar ditaklukan VOC, satu per satu kerajaan kecil lainnya termasuk Gowa ditaklukkan. Raja-raja tersebut, termasuk raja Gowa menandatangani perjanjian dan melepaskan daerah-daerah bawahannya ( Hemo, 1988: 42). Walaupun Gowa tidak secara terang-terangan melepaskan daerah Manggarai, Cibal pasti tidak akan menerima siapa saja selain Gowa. Sikap Cibal yang menolak kehadiran Bima membuat Sultan Bima marah. Ia mengirimkan pasukan untuk menghukum rakyat Cibal. Pasukan Bima menyampaikan pesan kepada dalu Cibal bahwa pasukan Bima telah menguasai daerah Cibal. Apabila kedaluan Cibal tidak mengakui kekuasaan sultan, rakyat Cibal akan dihukum. Pesan yang disampaikan pasukan Bima dinilai penguasa Cibal sebagai perbuatan menghina. Penguasa dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
para pemimpin pasukan Cibal sepakat untuk menghadapi pasukan Bima agar mereka tidak seenaknya memasukkan pengaruhnya di daerah kekuasaannya. Peperangan tidak dapat dihindari. Kedua pasukan saling saling beradu di medan pertempuran. Pasukan Bima memperhitungkan bahwa pasukan Cibal dapat dikalahkan dengan mudah,tetapi dugaan mereka meleset. Pasukan Cibal ternyata lebih unggul dan memenangkan perang. Karena semakin terdesak oleh serangan pasukan Cibal, pemimpin pasukan Bima meminta pemimpin pasukan Cibal untuk menghentikan serangan. Permintaan tersebut diterima oleh kepala pasukan Cibal, lalu ia memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan serangan. Beberapa tokoh dan pemimpin kelompok pasukan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan kepala pasukan. Mereka melampiaskan kemarahan dengan memutuskan tali-tali jangkar perahu pasukan Bima dan jangkar-jangkar tersebut diambil oleh anggota pasukan Cibal. Melihat tindakan pasukan Cibal, anak buah perahu pasukan Bima berteriak: “ Manggarai, manggarai, manggarai” (artinya jangkar dibawa lari) (Hemo, 1988: 45). Manggarai adalah salah satu kabupaten yang berada di pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 7.136,4 km2. Kondisi geografis daerah Manggarai terdiri dari bukit, gunung-gunung, dan dataran tinggi yang diselang-seling oleh dataran rendah. Secara geografis, sebelah timur Kabupaten Manggarai berbatasan dengan Kabupaten Ngada di Wae Mokel, Wae Mapar, dan Laut Flores. Sebelah barat berbatasan dengan Provpinsi Nusa Tenggara Barat di Selat Sape. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sawu. Dari segi astronomis, daerah Manggarai terletak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
antara 8º30’-8º50 lintang selatan dan antara 119º30’-120º50’ bujur timur (Hemo, 1988: 1). Secara pemerintahan wilayah Manggarai terdiri dari tiga kabupaten, yaitu kabupaten Manggarai, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kabupaten Manggarai Timur. Pada tahun 2003, Kabupaten Manggarai Barat terbentuk. Wilayahnya meliputi daratan Pulau Flores bagian barat dan beberapa pulau kecil sekitarnya, diantaranya adalah Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Seraya Besar, Pulau Seraya Kecil, Pulau Bidadari, dan Pulau Longgos. Pada tanggal 17 Juli 2007, Kabupaten Mangarai Timur terbentuk dengan ibu kota Borong. Luas wilayahnya 2.643,41 km2. Walaupun Manggarai terbagi menjadi tiga kabupaten, namun tetaplah menjadi “satu kesatuan” dengan kabupaten Manggarai sebagai kabupaten induk (http: // www. PosKupang.com).
2.3 Demografi Dalam tradisi lisan, nenek moyang orang Manggarai dikisahkan sebagai makhluk berbulu, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Mereka belum mengenal api (metaforik) sehingga mereka makan makanan mentah (Dami N. Toda via Nggoro, 2004:26). Menurut hasil penelitian Verheijen, di Manggarai ditemukan beberapa sub-klan yang nenek moyangnya berasal dari luar daerah Manggarai, antara lain dari Bima, Bugis, Goa, Serang, Makasar, Sumba, Boneng Kabo. Itu artinya bahwa nenek moyang Manggarai berasal dari banyak suku yang datang dari luar. Oleh karena kurangnya data tertulis, sulit dipastikan pengelompokan klan-klan di Manggarai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
berdasarkan suku asalnya. Suku luar yang cukup berpengaruh di Manggarai kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan (Kerajaan Goa / Makasar / Bugis). Hal tersebut dapat dlihat dari segi bahasa yang mempunyai beberapa kesamaan. Misalnya istilah yang merujuk pada sebutan
untuk bangsawan. Di Manggarai
dikenal dengan kata keraeng dan di Makasar dikenal dengan istilah karaeng. Berikut ini contoh beberapa unsur bahasa yang memiliki kesamaan dengan suku-suku yang disebutkan di atas (Nggoro, 2004: 27) : Bugis
Goa / makasar _
Manuk Lipa
Lipa
Kasiasi _
_ Somba opu
Manggarai Manuk
Indonesia Ayam
Lipa / towe
Sarung
Kasiasi
Miskin
Somba opu
Menghormati leluhur
_
Lampa
Lampa
Jalan / melangkah
_
Karaeng
Keraeng
Bangsawan
_
Nyarang
Jarang
Kuda
Bembe
Bembe, mbe
Kambing
Bembe
Dari uraian di atas, asal-usul dan penghuni pertama daerah Manggarai tidak diketahui secara pasti akibat tidak adanya sumber tertulis. Secara umum dapat dikatakan bahwa penghuni pertama daerah Manggarai datang dari barat sesuai dengan teori penyebaran penduduk di Indonesia pada umumnya di masa lampau. Tiap wa’u (klan) di daerah Manggarai masing-masing mempunyai cerita tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
nenek moyang yang menurunkan warga wa’u. Namun dari cerita tersebut tidak dapat ditentukan bahwa nenek moyang tertentu sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Apalagi cerita itu diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, berbeda-beda serta bervariasi. Terlebih ada kebiasaan melarang menyebutkan nenek moyang, jika bukan pada saat upacara tradisi yang sudah ditetapkan sejak nenek moyang pertama, seperti upacara penti, hang rani, dan cepa. Pada upacara tersebut para orang tua boleh menceritakan pengalaman nenek moyang mereka. Mereka menyebut nama nenek moyangnya, tempat-tempat yang disinggahi, bahkan tentang binatang yang mengantar nenek moyang ke suatu tempat atau cerita tentang binatang yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Binatang itu kelak menjadi binatang yang dianggap suci atau dikenal sebagai ceki/ mawa. Ceki adalah larangan untuk membunuh dan memakan daging binatang menurut cerita lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi merupakan binatang yang telah meluputkan nenek moyang dari bahaya. Menurut kepercayaan masyarakat Manggarai, apabila larangan (ceki) dilanggar maka yang bersangkutan akan menderita sakit yang berkepanjangan atau cacat mental. Tiap wa’u mempunyai ceki atau mawa masingmasing. Ceki atau mawa sesungguhnya merupakan lambang setiap wa’u (Hemo, 1988: 8). Seperti telah disebutkan bahwa asal-usul dan penghuni pertama daerah Manggarai belum diketahui, maka sulit untuk menentukan wa’u (klan) manakah sebagai penghuni pertama daerah Manggarai. Seorang pastor SVD, Dr. P.J. Glinka mengadakan penelitian tentang prasejarah perkembangan kehidupan masa lampau daerah Manggarai serta penduduk Nusa Tenggara Timur. Dalam melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
penelitian, P.J. Glinka menggunakan metode berdasarkan indeks kepala, wajah, hidung dan tinggi kepala. Hasil penelitian Dr. P.J. Glinka S.V.D berhasil mengungkapkan tipe penduduk Nusa Tenggara timur yang terdiri dari tiga tipe. Ketiga tipe tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, tipe europoid yang mirip ras mediteran di sekitar Laut Tengah, India sampai Polinesia. Kedua, tipe pacifid yang termasuk golongan mongoloid yang menyebar di Jepang, Taiwan, Filipina dan Polynesia. Tipe ketiga adalah tipe negroid. Di daerah Manggarai, ketiga tipe penduduk tersebut ada, yakni Eouropoid 42,1 %, Pasifid 22,6 % dan Negroid 35,3% (Hemo, 1988: 9). Seorang linguis yang pernah mengadakan penelitian di Manggarai adalah Jilis AJ Verheijen, S.V.D, seorang misionaris berkebangsaan Belanda. Berdasarkan penelitian Verheijen, bahasa yang digunakan di Manggarai adalah bahasa Manggarai dengan dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah. Seluruh masyarakat Manggarai merasa satu ketika media komunikasi ini hadir sebagai mediator dalam setiap perilaku kehidupan sosial diiringi tata cara adat yang berciri khas setempat (http : // kraengadhy.blogspot.com). Penggunaan bahasa daerah Manggarai mempunyai sistem yang dapat dibedakan menurut maksud serta tujuan penggunaan bahasa, terdiri dari bahasa percakapan sehari-hari, bahasa upacara adat, doa-doa upacara yang mempunyai nilai religius, bahasa tanda atau bahasa sandi, bahasa lambang atau simbol, ungkapan dan syair. Bahasa tanda adalah suatu cara mengungkapkan suatu maksud tanpa diucapkan berupa kata-kata, melainkan dengan menggunakan benda atau tanda tertentu. Misalnya seseorang yang mengambil sayur, buah-buahan atau tanaman di kebun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
orang lain tanpa izin pemilik kebun karena kebutuhan mendesak, maka orang tersebut akan memberikan tanda berupa ranting atau daun-daunan. Bahasa simbol atau bahasa lambang adalah suatu sistem menyampaikan maksud dengan menggunakan kata-kata simbol atau lambang. Misalnya istilah untuk meminang seorang gadis dikenal dengan istilah taeng kala rana (taeng= meminta, kala=sirih, rana= buah, daun yang pertama kali digunakan). Ungkapan dalam bahasa daerah Manggarai mempunyai makna dan arti bagi kehidupan manusia, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung pesan untuk diteladani manusia dalam bertindak, bersikap, dan bertingkah laku ( Hemo, 1988: 18).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III MAKNA DAN FUNGSI GO’ET (UNGKAPAN TRADISIONAL) DALAM BAHASA MANGGARAI 3.1
Pengantar Pada bab ini diuraikan makna dan fungsi go’et (ungkapan tradisional) dalam
bahasa Manggarai, dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai. Sesuai teori Hutomo via Suarjana (1995: 25), dalam budaya masyarakat Manggarai juga ditemukan tujuh jenis ungkapan tradisional yang terdapat dalam budaya masyarakat Manggarai, meliputi ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kegiatan hidup, ungkapan untuk mengenakkan pembicaraan, ungkapan berkaitan dengan larangan, berkaitan dengan status sosial seseorang, berkaitan dengan bahasa rahasia, berkaitan dengan ejekan, dan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah dan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan ungkapan gambaran kepercayaan orang
Manggarai akan Wujud Tertinggi, sedangkan ungkapan yang berkaitan
dengan kegiatan hidup berfungsi untuk menggambarkan keseharian kehidupan masyarakat Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta mengungkapkan relasi antar sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan untuk mengenakkan pembicaraan berjumlah tiga buah yang berfungsi untuk memperhalus kata / ucapan seseorang agar enak didengar. Ungkapan yang berkaitan dengan larangan berjumlah delapan buah yang berfungsi untuk mengatur tata kehidupan sosial dalam
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
masyarakat. Ungkapan tersebut berupa nasihat dari orang tua kepada anaknya, untuk mendidik budi pekerti anak agar tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia berjumlah enam puluh delapan buah yang berfungsi untuk tujuan etis agar tidak menyinggung perasaan orang yang sedang dibicarakan. Ungkapan berkaitan dengan ejekan berjumlah satu buah, yang berfungsi untuk menyindir orang. Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan berjumlah tiga belas buah, yang berfungsi untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan dalam keluarga. Ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang berjumlah dua buah, berfungsi untuk menjelaskan kedudukan serta status sosial seseorang dalam lingkungan masyarakat. Berikut ini diuraikan mengenai makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai.
3.2 Makna Go’ét (Ungkapan Tradisional) dalam Bahasa Manggarai Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap objek penelitian, dapat disimpulkan bahwa go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai mengandung makna literal dan makna figuratif. Makna literal atau makna lugas adalah makna yang harafiah, yaitu makna kata yang sebenarnya berdasarkan kenyataan. Makna figuratif yaitu makna yang menyimpang dari referennya untuk tujuan etis dan estetis, dalam hal ini termasuk makna idiom dan makna kias. Berikut ini akan diuraikan mengenai makna go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
3.2.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan dan Kegiatan Hidup Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah lima belas buah, sedangkan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan merupakan gambaran kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi yang disebut Mori Kraeng (Tuhan Allah) yang diyakini memiliki kekuasaan tertinggi dan tak terbatas, yang menciptakan manusia dan alam semesta. Selain mengakui Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa, masyarakat Manggarai juga menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup merupakan gambaran keseharian masyarakat Manggarai, dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
3.2.1.1 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kepercayaan Berikut
ini
diuraikan
ungkapan-ungkapan
yang
berkaitan
dengan
kepercayaan masyarakat Manggarai terhadap Wujud Tertinggi. (1) Mori’n agu Ngara’n ata Jari agu Dédék tana wa awang’n eta ‘ Tuan dan pemilik yang menciptakan dan membentuk bumi dan langit’ Secara leksikal, kata Mori berarti “tuan”, “pemilik”, “penguasa”, “ketua”. Seorang atasan biasanya disapa dengan mori, lazimnya didahului kata yang menyatakan rendahan, yakni yo. Sekali-sekali dipakai juga sebagai sebutan manja terhadap anak-anak. Dalam kalimat Mori agu Ngara’n ata Jari Dédék tana wa awang’n eta di atas, kata Mori bukan merupakan kata sapaan melainkan berfungsi referensial. Di sini –n adalah sufiks posesif persona ketiga tunggal. Contoh: morin jarang hitu berarti “si pemilik kuda itu”. Namun, biasanya Morin dipakai tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
menambahkan kata penentu, berarti “Tuhan”, “Tuhan tertinggi”. Nyata bahwa –n di sini menunjukkan hubungan antara Allah dengan sesuatu yang tunggal khususnya alam semesta (Verheijen, 1991: 34-35). Agu (dan) dan yang selalu mendapat sufiks posesif –n di belakang Ngara, adalah nama Allah yang paling banyak dipakai dalam doa-doa yang lebih resmi. Adapun kata ngara (dalam beberapa dialek : nggara) kira-kira sinonim dengan mori, sebutan ini umum dan dipakai di seluruh Manggarai. Mori agu Ngara’n dapat dipandang sebagai nama yang spesifik untuk Wujud Tertinggi. Nama untuk Allah yang tersebar luas ini terdiri atas dua buah kata kerja. Jari berarti “menjadi”, “berhasil”, “berjalan baik”, “menjadikan”, dan sebagainya. Dedek berarti “membuat”, “membentuk”, “menempa”, dan lain-lain. Kata ini dipakai untuk membuat hal perabot, periuk-periuk tanah, cincin, uang, dan lain-lain. Juga hal melahirkan anak dinyatakan dengan jari dan dédék. Kedua kata ini dipinjam dari bahasa Makasar (jari dan dédé), tetapi ungkapannya merupakan suatu kekhasan Manggarai. Ungkapan ini diucapkan dalam doa-doa orang Manggarai. Pada umumnya Jari agu Dédék dipakai dalam nas-nas yang meriah. Gabungan ini mengungkapkan pengertian tunggal, paling tepat diterjemahkan dengan “Pencipta” atau “Pembuat” ( Verheijen, 1991: 36-38). Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang’n eta mengandung makna bahwa masyarakat Manggarai mengakui adanya Tuhan, yang memiliki kekuatan melebihi daya jangkauan mereka, yang diyakini sebagai pencipta langit dan bumi beserta isinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
(2) Imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite-Mori Jari agu Dédék ‘ Percayalah kepada Tuhan yang menciptakan kita - Tuhan pencipta dan penjadi’ Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek mengandung makna bahwa orang Manggarai percaya akan adanya Tuhan sebagai pencipta dan penjadi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta. (3) Mori ata pukul par agu kolep ‘ Tuhan yang mengatur dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’ Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep mengandung makna bahwa orang Manggarai meyakini kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta yang tak terbatas oleh waktu. Tuhan-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi, sejak matahari terbit hingga terbenam. Wilayah kekuasaannya sangat luas dan tak terbatas. (4) Mori nipu riwu ongko do ‘ Tuhan mengatur segala-galanya ’ Ungkapan Mori nipu riwu ongko do mengandung makna bahwa orang Manggarai meyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi. Hidup, mati, suka dan duka manusia ada dalam tangan-Nya. (5) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng de Dédék ‘Kuasa Tuhan tidak dapat dihalang-halangi - kehendak Pencipta tidak dapat dirintangi’ Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n- toe nganceng kepe’n ngoeng de Dédék mengandung makna orang Manggarai meyakini bahwa kuasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
tertinggi ada di tangan Sang Pencipta dan manusia tak berdaya menghadapi kuasaNya. Apa pun bila itu menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi. (6) Suju neka tumpus - ngaji neka caling- ngaji bilang bari kamping Jari ‘Jangan berhenti bersujud - jangan berhenti berdoa - berdoalah ke hadapan Tuhan setiap hari’ Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping Jari mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk bersujud dan berdoa di hadapan Tuhan Sang Pencipta, mengucap syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepada manusia setiap hari. (7) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dédék ‘ Sembah dan pujilah Tuhan Penguasa - Pemilik dan Pencipta Ungkapan Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate jari Dédék mengandung makna bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk menyembah dan memuji Tuhan Allah sebagai Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan bagi mereka. (8) Hiang Hia te pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lauawang’n eta - tana’n wa' ‘ Hormatilah Dia yang menguasai alam semesta - langit dan bumi - Dia telah menciptakan segala mahluk dan Dia yang menguasai waktu dari terbitnya matahari hingga terbenamnya’ Ungkapan Hiang Hia te pukul par’n awo - agu kolep’n sale - ulun le wa’in lau - awang’n eta - tana’n wa mengandung makna bahwa manusia harus menghormati Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya. Tuhan-lah yang berkuasa atas semuanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Dalam tradisi Manggarai, kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi tersirat dan tersamar dalam setiap upacara adat. Tempat diadakan upacara adat bervariasi, seperti dalam mbaru gendang (rumah adat), dalam rumah pribadi, di compang (mesbah / altar) yang terletak di tengah kampung, di ladang, di mata air, di pekuburan, dan sebagainya ( Janggur, 2008: 5). (9) Mori Keraéng Sebutan Mori Keraéng tersebar di seluruh Manggarai. Sebutan ini dapat dianggap sebagai nama Allah yang paling lazim dipakai bila orang berbicara mengenai Wujud Tertinggi. Pemakaian nama Mori Keraéng dimajukan oleh pengaruh agama Katolik, sebab misionaris yang pertama mengangkat sebutan ini sebagai nama yang utama untuk Allah. Hal yang menarik perhatian ialah bahwa nama ini sedikit saja dijumpai dalam doa-doa persembahan yang komunal dan panjang-panjang tetapi sering terdapat dalam doa-doa yang bersifat pribadi (Verheijen, 1991: 37). (10) Ronan éta mai - winan wa mai ‘ Suaminya di atas - istrinya di bawah’ Secara leksikal, kata rona dan wina dalam bahasa Manggarai masing-masing berarti “suami” dan “istri”. Sufiks posesif –n ‘nya’ menunjukkan hubungan timbal balik. Rona dan wina dalam kalimat di atas adalah sebutan orang Manggarai untuk menyebut Wujud Tertinggi. Sebutan untuk Wujud Tertinggi ini dijumpai antara lain di wilayah Ruteng, Todo - Pongkor, dan di wilayah Kolang. “pria di atas” adalah sinonim dengan “langit”, “bentangan langit”, dan “wanita di bawah” sinonim dengan “bumi”. Suami adalah bentangan langit sedangkan isteri adalah bumi. Pria adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
bentangan langit, sebab hujan berasal dari bentangan langit, turun dan mengenai bumi. Dari itu bumi adalah istri dari langit. Air hujan, cairan tubuh langit, turun ke bumi sehingga tanaman-tanaman bertumbuh dan menjadi besar. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa “suami di atas-istrinya di bawah” merupakan sinonim “langit dan bumi”; jadi sebagai nama metonimis untuk wujud tertinggi. Hal ini sering kali cocok dengan pengucapan sastra. Bahwa orang menempatkan atribut “di atas” dan “di bawah” pada “langit “ dan “bumi” sudah sewajarnya. Dalam hubungan ini dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnya orang berpikir Mori Keraéng bertahta di atas, dan dari atas Ia memandang kita. Orang menganggap langit sebagai atribut bagi Wujud Tertinggi ( Verheijen, 1991 : 43-45). (11) Amé rinding mané - iné rinding wié ‘ Ayah pelindung di malam hari - ibu pengayom di tengah malam’ Ungkapan amé rinding mané - iné rinding wié mengandung makna yang sama dengan ungkapan amé éta - iné wa, yaitu sebagai nama metonimis untuk Wujud Tertinggi. (12) Pong dopo ngalor masa ‘ Daerah angker berawa-rawa; palungan air yang kering’ Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, masyarakat Manggarai menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme adalah suatu kepercayaan kepada roh-roh yang mendiami suatu tempat (pohon, batu, gunung, dan sebagainya). Dinamisme adalah suatu kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai jiwa serta memiliki kekuatan sakti. Menurut kepercayaan tersebut yang diyakini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
sampai saat ini, daerah berawa-rawa dihuni oleh mahluk halus, diyakini dapat membawa kebaikan; kesejahteraan sekaligus bencana. (13) Hau muing be sina - ami muing be ce’e ‘ Engkau bagian sana - kami bagian sini’ Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa tidak ada hubungan lagi antara orang yang sudah mati dengan yang masih hidup. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang diucapkan pemimpin adat pada upacara kematian, agar yang meninggal tidak mengganggu keluarganya yang masih hidup. (14) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung ‘ Semoga engkau menjadi penghalang di depan penutup di bagian belakang’ Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan idiom untuk menyatakan harapan agar orang yang sudah mati menjadi pelindung bagi yang masih hidup dari musibah, baik yang datang dari depan maupun belakang. (15) Boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong Ungkapan boto hamar oné anak - dédam oné wéla - pao oné bangkong merupakan sebuah doa yang diucapkan tetua adat ketika memberikan persembahan berupa sesajen kepada arwah para leluhur (empo) pada saat upacara penti agar mereka tidak mencari atau mengambil sendiri dari tengah-tengah keluarga yang masih hidup. Orang Manggarai menyakini bahwa para arwah bisa saja mengambil orang - orang yang masih hidup bila tidak dihormati.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
3.2.1.2 Ungkapan yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup (16) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni ‘ Berangkat kerja pagi hari - pulang sore hari- bekerja sampai kuku tumpul - punggung terluka terkena terik matahari yang menyengat’ Ungkapan duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni merupakan idiom untuk menyatakan makna tekun dalam bekerja. Ungkapan tersebut menggambarkan keseharian orang Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dengan bekerja keras diharapkan dapat memperoleh hasil yang berlimpah sehingga dapat mendukung kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga. (17) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io ‘ Hormatilah orang yang lebih tua - berbicaralah dengan sopantunjukkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan hati orang lain’ Ungkapan hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io mengandung makna yang berisi ajakan agar orang Manggarai menghargai dan menghormati orang lain, terlebih kepada yang lebih tua. Hal tersebut dilakukan dengan berbicara secara sopan dan mengikuti tata krama yang ada dalam masyarakat. Jika kita menghargai orang lain, orang lain juga akan menghargai kita. (18) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil- padir wa’i rentu sai’i - manik deu main ‘ Setiap orang (kepala keluarga) berkumpul bersama - memberikan pendapat - kaki berselonjor - kepala ditegakkan ‘ Ungkapan reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil - padir wa’i rentu sa’i - manik deu main mengandung makna bahwa dalam menyelesaikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
persoalan harus mengutamakan musyawarah dari seluruh warga masyarakat. Seluruh peserta bebas mengemukakan pendapat yang berguna untuk kepentingan bersama dalam kehidupan sosial masyarakat. Musyawarah harus mencapai kesepakatan dan segala keputusan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. (19) Bahi gici arit - cingke gici irat ‘ Biar sedikit tapi dibagi sama rata’ Ungkapan bahi gici arit - cingke gici irat mengandung makna bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus bersikap adil dan jujur dalam membagi sesuatu yang merupakan hak semua orang. (20) Duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e nggerone mbaru sama rege ruek ‘ Berangkat kerja seperti kera yang berteriak - pulang ke rumah seperti kicauan burung ruek’ Secara leksikal, kata rangka lama dalam bahasa Manggarai berarti kera dewasa yang selalu berteriak-teriak dan melompat-lompat. Bila seekor kera selalu berteriak dan melompat-lompat, itu sebuah pertanda bahwa ia sedang merasa senang atau gembira. Ruek adalah sejenis burung sebesar burung gagak, berwarna kemerahan, dan mengeluarkan bunyi yang amat nyaring. Burung tersebut terdapat di tanah panas dan muncul pada bulan Oktober. Burung tersebut tidak terdapat di pulau Jawa. Rangka lama dan ruek adalah kiasan untuk mengungkapkan suasana hati yang senang atau gembira. Ungkapan duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e nggerone mbaru sama rege ruek merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
segala sesuatu dikerjakan bersama-sama dalam suasana persatuan dan kesatuan, dengan hati yang gembira. (21) Kantis ati racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati ‘ Hati dan paru-paru diasah’ Ungkapan Kantis ati racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati merupakan idiom untuk menyatakan makna usaha untuk bekerja keras. (22) Na’a nggere wa rak - na’a nggere eta lemas ‘ Hati disimpan di paru-paru’ Ungkapan na’a nggere wa rak - na’a ngger eta lemas merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa segala tutur kata orang yang kurang berkenan di hati, harus disikapi dengan kepala dingin. (23) Kole le mai selendang laing tarik ‘ Pulang memakai secarik kain penutup aurat pria’ Ungkapan kole le mai selendang laing tarik merupakan idiom untuk menyatakan makna pulang membawa sebuah kemenangan atau keberhasilan. Ungkapan tersebut ditujukan kepada orang yang pergi merantau untuk merubah nasib lalu pulang membawa kesuksesan. (24) Lalong pondong du ngo - lalong rombeng du kole ‘ Jago pondong waktu pergi- jago rombeng waktu pulang’ (25) Lalong bakok du lako - lalong rombeng du kole ‘Jago putih waktu pergi - jago rombeng waktu pulang’ Secara leksikal, kata lalong pondong dalam bahasa Manggarai berarti ayam yang tidak memiliki ekor panjang. Lalong rombeng yaitu ayam yang memiliki ekor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
panjang. Lalong pondong merupakan kiasan bagi orang yang tidak mempunyai apaapa (keahlian, pangkat, atau gelar). Lalong rombeng merupakan kiasan bagi orang yang mempunyai gelar atau jabatan. Ungkapan lalong pondong du ngo - lalong rombeng du kole ditujukan bagi mereka yang meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu. Ketika meninggalkan kampung halaman, ia tidak mempunyai bekal apa-apa (lalong pondong). Ketika ia pulang, ia telah menjadi orang yang sukses (lalong rombeng). (26) Pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana ‘ Pulang rumah mengenakan destar - pulang kampung mengenakan panggal’ Ungkapan pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana merupakan idiom untuk menyatakan makna membawa kemenangan atau keberhasilan ketika kembali ke kampung halaman. Ungkapan tersebut ditujukan bagi orang yang meninggalkan kampung halaman untuk merubah nasib. Bagi masyarakat Manggarai, panggal adalah simbol kekuasaan dan simbol kejantanan seorang pria, yang biasa dipakai kaum pria pada saat tarian caci, yang menyerupai tanduk kerbau. (27) Asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale ‘ Walaupun negeri asal ditumbuhi tumbuhan semak - biarpun tanah orang berkelimpahan harta’ Secara leksikal kata ndusuk dalam bahasa Manggarai berarti tumbuhan semak yang mirip dengan senduduk tetapi lebih kecil, dalam bahasa latin disebut melastoma polyanthum (Kamus Manggarai - Indonesia, 1967 : 408). Ndusuk tumbuh di alam liar, pada tanah yang gersang. Lale adalah sejenis kayu besar, kuat dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
kokoh (kayu hutan). Dalam ungkapan asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale, ndusuk digunakan sebagai kiasan untuk kampung halaman dan lale adalah kiasan untuk negeri rantauan yang berkelimpahan harta. Ungkapan asam ndusuk tana ru konem lalen tana sale merupakan idiom untuk menyatakan makna rasa cinta tanah air. Sejauh-jauhnya orang merantau, suatu hari nanti akan kembali juga ke kampung halamannya. (28) Gendang one - lingkon pe’ang ‘ Gendang di dalam - kebun di luar’ Mbaru gendang atau mbaru tembong adalah rumah adat Manggarai yang berbentuk kerucut (rumah niang). Mbaru: rumah, gendang / tembong: alat musik tradisional Manggarai yang terbuat dari kayu dan kulit kambing. Mbaru gendang dihuni oleh tu’a golo. Tu’a golo adalah kepala kampung yang menjadi pemimpin dalam masyarakat dan merupakan tokoh adat. Sebagai rumah adat, mbaru gendang memegang peranan penting dalam masyarakat, yaitu sebagai tempat untuk mengadakan rapat-rapat penting yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat, sebagai tempat untuk menyelenggarakan pesta-pesta besar dalam kampung (pesta penti: syukuran atas hasil panen, tae kaba, wagal), tempat menerima dan menjamu tamu-tamu agung yang mengunjungi desa, tempat menyimpan barangbarang pusaka peninggalan para leluhur, dan sebagai tempat untuk menyimpan alat musik tradisional. Dalam satu kampung, hanya ada satu mbaru gendang. Mbaru gendang merupakan simbol hak ulayat atas lingko-lingko (wilayah) yang dikuasainya. Ungkapan gendang one - lingkon pe’ang mempunyai makna bahwa gendang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
terdapat dalam rumah adat mempunyai hubungan yang erat dengan hadirnya lingko (kebun yang berbentuk jaring laba-laba) yang menjadi milik / hak masyarakat adat desa (Janggur, 2010: 27). (29) Temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i ‘ Rawa-rawa di bawah - lindungan di atas - jerangau di hulu - wiko di hilir’ Secara leksikal, kata temek dalam bahasa Manggarai berarti daerah berawa, tanah lumpur pada dataran rendah, kadang-kadang digenangi air. Jengok adalah jerangau, dalam bahasa latin disebut acorus calmus, yaitu tumbuhan tahunan yang umbinya dapat digunakan sebagai obat atau campuran beberapa jenis tanaman keras. Akarnya dapat digunakan sebagai bahan ramuan obat, bumbu dapur, dan insektisida (KBBI, 1989 : 360). Wiko adalah sejenis rumput seperti gelagah yang tumbuh dekat air, dalam bahasa latin disebut elatostema. Temek / rawa adalah daerah yang lembab dan subur. Lindungan di atas yang dimaksudkan dalam ungkapan ini adalah tanaman kopi yang tumbuh subur, dan berbuah banyak. Kopi yang subur dan berbuah banyak adalah lambang kemakmuran atau status sosial seseorang (seseorang dikatakan kaya bila ia memiliki kebun kopi yang luas). Ungkapan temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i merupakan idiom untuk menyatakan makna kehidupan yang penuh dengan kemakmuran. (30) Uwa haeng wulang - langkas haeng ntala ‘ Bertumbuh sampai di bulan - tinggi sampai di bintang’ Dalam ungkapan uwa haéng wulang - langkas haéng ntala, kata wulang dan ntala dalam bahasa Manggarai berarti bulan dan bintang. Bulan dan bintang muncul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
pada malam hari menggantikan kedudukan matahari untuk menerangi bumi. Kehadiran bulan dan bintang selalu menjadi pusat perhatian para petani di desa karena bulan dan bintang menjadi pedoman bagi para petani di desa (sebelum mengenal istilah kalender dan masih berlaku hingga saat ini) untuk mengerjakan atau menggarap lahan mereka. Para orang tua berharap agar anak- anak mereka dapat menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat sehingga selalu menjadi pusat perhatian masyarakat karena aura kepemimpinan yang terdapat dalam diri sang anak. Ungkapan uwa haeng wulang - langkas haeng ntala merupakan idiom untuk menyatakan makna menggantungkan cita-cita yang tinggi, setinggi bulan dan bintang di langit agar kelak dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. (31) Neka ngonde holes - neka mejeng hese ‘ Jangan malas bergerak - jangan lamban berdiri’ Ungkapan neka ngonde holes - neka mejeng hese merupakan idiom untuk menyatakan makna rajin dalam bekerja. Selain itu, idiom tersebut digunakan untuk menyatakan kewajiban dari anak laki-laki untuk menggantikan peran orang tua dalam keluarga, termasuk kewajiban untuk memelihara / mengurus orang tua jika telah lanjut usia serta mengikuti berbagai urusan adat di lingkungan masyarakat. Bila orang tuanya meninggal, maka segala urusan adat yang menyangkut adat kematian orang tuanya menjadi tanggung jawab anak laki-laki. Selain bertanggung jawab atas segala urusan keluarga, anak laki- laki juga wajib membantu saudarinya yang sudah berkeluarga terutama bila mereka mengalami musibah. (32)
Toing le toming - tae le pande ‘ Mengajar dengan contoh teladan - diajar oleh perbuatan’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Ungkapan toing le toming - tae le pande merupakan idiom untuk menyatakan makna bila seorang pemimpin harus pandai menjaga keseimbangan antara kata-kata dan perbuatan dalam kesehariannya. Pemimpin senantiasa berdisiplin sehingga pantas untuk diteladani oleh masyarakatnya. (33) Toe ngoeng te karukak ka’eng tana ‘ Tidak mau menjadi orang yang panjang mulut dalam hidup bermasyarakat’ Ungkapan toe ngoeng te karukak ka’eng tana mengandung makna orang yang cinta damai, tidak suka membuat keributan dengan orang lain di mana pun ia berada. (34) Toe mbasa saek - toe woro waes tipek Ungkapan toe mbasa saek - toe woro waes tipek mengandung makna tidak bergaya hidup mewah dan tidak boros. Ungkapan toe mbasa saék - toé woro waés tipek dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan peribahasa ingat sebelum kena, hemat sebelum habis. (35) Penti weki - péso béo Penti adalah pesta syukuran atas hasil panen dari penduduk desa kepada Tuhan dan para leluhur karena tahun telah berganti, musim kerja yang lama telah berlalu dan siap menyongsong musim kerja yang baru. Penti dirayakan setiap tahun sesudah memetik hasil kebun, karena itu sering dirayakan antara bulan Juni sampai bulan September. Penti memiliki tiga dimensi yang memiliki arti penting bagi masyarakat Manggarai, yaitu dimensi vertikal, dimensi horizontal, dan dimensi sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Dimensi vertikal yang terdapat dalam pesta penti adalah mengucap syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan. Sebagai Sang Pencipta (Mori Jari agu Dedek), Tuhan harus disembah dan dimuliakan sebagai sumber hidup dan penghidupan manusia. Selain mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan, masyarakat Manggarai juga bersyukur kepada para leluhur (empo) yang telah mewariskan tanah (lingko), dengan cara memberikan persembahan yang pantas bagi mereka berupa sesajian. Dimensi horizontal dari perayaan penti adalah memperkokoh persatuan dan kesatuan wa’u (klan), panga (sub klan), asé-ka’é (adik-kakak), anak rona (pihak pemberi istri), dan anak wina (pihak penerima istri). Selain itu, dengan merayakan penti, secara tidak langsung akan memperkuat keberadaan gendang dan lingko (gendang oné - lingko pé’ang), memperteguh hak ulayat yang dipegang oleh para tetua adat atas lingko-lingko yang dimiliki, serta memperkuat kepemilikan tanah oleh para warga yang menerima bagian dalam lingko-lingko tersebut (ata sor moso oné lingko situ) baik yang berada dalam desa maupun yang berdomisili di tempat lain (ise’t long oné tanah data). Dimensi sosial yang terdapat dalam pesta penti adalah sebagai reuni keluarga serta sebagai sarana untuk mengembangkan kesenian tradisional Manggarai, seperti lagu-lagu daerah (sanda dan mbata), alat-alat musik tradisional dan permainan-permainan tradisional.
3.2.2
Ungkapan yang Berfungsi untuk Mengenakkan Pembicaraan Berikut ini akan diuraikan contoh ungkapan yang berfungsi untuk
mengenakkan pembicaraan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
(36) Boto cuku nungan retak cepa - pora raci Secara leksikal, kalimat retak cepa - pora raci dalam bahasa Manggarai berarti lidah yang terbelah karena mabuk makan sirih pinang serta bibir yang berwarna merah, karena air sirih. Dalam adat Manggarai, cepa (sirih pinang) melambangkan persahabatan. Setiap tamu yang berkunjung disuguhi sirih pinang sebagai salam perkenalan. Makan sirih pinang sudah menjadi kebiasaan para orang tua (laki-laki dan perempuan) dan para gadis di desa. Sirih pinang selalu dibawa ketika hendak bepergian ke suatu tempat. Ketika berpapasan dengan seseorang yang dikenal, mereka akan berhenti sejenak untuk beristirahat melepas lelah sambil makan sirih pinang. Orang Manggarai menggunakan bibir yang terbelah karena mabuk makan sirih sebagai kiasan untuk sebuah persahabatan / keluarga yang retak atau renggang. Ungkapan boto cuku nungan retak cepa-pora raci merupakan idiom untuk menyatakan makna jangan sampai berkelanjutan permusuhan diantara anggota keluarga yang saling bermusuhan. Untuk itu, perlu diadakan upacara perdamaian, dalam bahasa Manggarai disebut hambor. Upacara tersebut biasa dilakukan ketika pesta tahun baru atau pesta penti menurut adat Manggarai agar sebelum memasuki musim kerja yang baru segala bentuk ketidakberesan dalam keluarga sudah terselesaikan. (37) Porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise ‘ Semoga berakhir tangis dan air mata pada keluarga mereka’ Ungkapan porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise merupakan idiom yang bermakna semoga berakhir kedukaan dalam keluarga yang tertimpa musibah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
(38) Baro ranggong api pesa ‘ Melemparkan api padam’ Ungkapan baro ranggong api pesa merupakan idiom untuk seorang laki-laki yang meminang wanita tungku (anak perempuan dari paman). Dalam adat Manggarai, dikenal tiga macam bentuk perkawinan adat. Pertama, perkawinan cangkang. Kedua, perkawinan tungku dan ketiga perkawinan cako. Perkawinan cangkang adalah perkawinan antar suku / klan. Perkawinan cangkang bertujuan untuk membentuk kekerabatan baru (woé nelu weru atau iné - amé weru). Dengan demikian terjadilah perluasan hubungan kekeluargaan sehingga nama suatu suku semakin dikenal oleh suku-suku lainnya. Perkawinan cangkang merupakan bentuk perkawinan yang sesuai dengan tradisi gereja Katolik dan iman Kristen. Perkawinan tungku dan perkawinan cako adalah perkawinan intra klan / suku. Perkawinan terjadi antara anak laki - laki dari saudari dengan anak perempuan dari saudara (paman). Perkawinan tungku dan perkawinan cako bertujuan untuk melestarikan hubungan kekeluargaan yang telah terbentuk sejak lama agar tidak terputus. Perkawinan tungku dan perkawinan cako pada umumnya berasal dari perkawinan cangkang. Perkawinan tungku dan perkawinan cako dilarang dan tidak diperkenankan oleh pihak gereja Katolik . (39)
Ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau ‘ Melihat sirih pinang di gerbang kampung - lalu mencari pohon tempat ia bertumbuh’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Ungkapan ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau merupakan idiom yang bermakna bahwa si pemuda sudah jatuh cinta kepada seorang gadis yang ditemuinya di kampung lain / klan lain, lalu datang ke rumah sang gadis untuk melamarnya.
3.2.3 Ungkapan yang Berkaitan dengan Larangan (40) Neka inung toe nipu - neka hang toe tanda - neka lage loce data ‘ Jangan minum sembarangan - jangan makan sembarangan - jangan melangkahi tikar tidur milik orang lain’ (41) Neka ngoeng ata - neka jurak - neka lage loce toko data ‘ Jangan menginginkan orang lain - jangan melangkahi tikar tidur orang lain’ Inung (meminum) dan hang (makan) dalam kalimat di atas merupakan perumpamaan untuk hubungan seks. Inung toe nipu - hang toe tanda artinya melakukan hubungan seks dengan wanita yang tidak diperkenankan menurut adat. Lage loce toko data (melangkahi tikar tidur milik orang lain) adalah perumpamaan yang digunakan untuk menyatakan makna istri orang. Ungkapan (40) dan (41) merupakan idiom yang bermakna jangan melakukan hubungan seks yang terlarang. Orang Manggarai menyebutnya jurak, seperti berhubungan seks dengan saudara / keluarga sendiri (incest), berzinah dengan istri orang baik atas persetujuan kedua belah pihak, maupun karena paksaaan pria (pemerkosaaan).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
(42) Eme inung toe nipu - hang toe tanda - anggom le anggom lau - ro’e ngoel rekok lebo cemoln de mosem ‘ Bila minum dan makan sembarangan - merangkul orang secara sembarangan - hidupmu akan layu sebelum berkembang’ Ungkapan eme inung toe nipu- hang toe tanda - anggom le anggom lau ro’e ngoel rekok lebo cemoln de mosem merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa orang yang melakukan seks yang terlarang akan meninggal pada usia muda karena dikutuk oleh orang yang haknya diambil secara paksa. (43) Neka tuku - takak neho lema de nggalang ‘ Jangan berasak-asakan seperti lidah ular’ Ungkapan neka toko-takak neho lema de nggalang merupakan idiom untuk menyatakan makna jangan suka membual atau berbohong. Secara leksikal, kata nggalang dalam bahasa Manggarai berarti ular berbisa yang kecil atau ular tambang, dalam bahasa latin disebut ahaetulla picta. Dalam ungkapan néka tuku - takak ného lema de nggalang, nggalang adalah kiasan bagi orang yang suka membual atau memutarbalikkan fakta. Ungkapan néka tuku-takak ného lema de nggalang dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan lidah tak bertulang dalam ungkapan bahasa Indonesia. (44) Neka beti nai agu mas mata ‘ Jangan sakit hati dan sakit mata ‘ Ungkapan neka beti nai agu mas mata merupakan idiom untuk menyatakan makna tidak boleh merasa sakit hati atau merasa iri dengan keberhasilan orang lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
(45) Neka wa’ek lewing nare ‘ Jangan mengambil panci tanak nasi’ Ungkapan neka wa’ek lewing nare merupakan idom untuk menyatakan makna melarang mengawini wanita yang masih mempunyai hubungan sedarah / sesama klan. Menurut adat Manggarai, panci adalah kiasan untuk seorang perempuan (ibu rumah tangga) karena panci hanya digunakan oleh kaum ibu untuk menanak nasi di dapur, dan merupakan simbol garis keturunan ibu. (46) Neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu tengu ‘ Jangan terlalu menengadah nanti kerongkongan terpancung - jangan terlalu tunduk nanti tengkuk terkudung’ Ungkapan neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu tengu merupakan idiom yang bermakna jangan terlalu sombong nanti menjadi musuh banyak orang, dan jangan terlalu merendah diri agar tidak dimanfaatkan orang lain. (47)
Neka bea betan - ngampang be wan ‘ Tanah rata di atas - jurang di bawah’
Ungkapan neka bea betan - ngampang be wan merupakan idiom yang untuk menyatakan makna bicara jangan manis di mulut, lain di hati.
3.2.4 Ungkapan yang Berkaitan dengan Status Sosial Seseorang Berikut ini akan diuraikan contoh-contoh yang berkaitan dengan status sosial seseorang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
(48) Raup cama rawuk - remong cama kebok ‘ Bertemu sesama abu dapur - bertemu sesama debu tanah’ Ungkapan raup cama rawuk - remong cama kebok merupakan idiom yang bermakna perkawinan sepasang kekasih yang sama-sama berasal dari keluarga sederhana atau keluarga kebanyakan. (49) Kasiasi ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang ‘ kemiskinan tidak karena dibeli - kepapaan hingga ke tanah tidak karena diharapkan’ Ungkapan kasiasi ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang merupakan idiom untuk menyatakan makna kemiskinan seseorang bukan karena atas keinginan atau kemauan sendiri, atau juga bukan karena siksaan atau kutukan, melainkan karena situasi serta kondisi yang tidak menguntungkan. Ungkapan tersebut merupakan sebuah perumpamaan tentang keadaan seseorang yang sangat memprihatinkan secara jasmani (menyangkut harta). Ungkapan kasiasi ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang memiliki makna yang sama dengan peribahasa tungkunya tak berasap.
3.2.5 Ungkapan yang Berkaitan dengan Bahasa Rahasia Berikut ini akan diuraikan contoh ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia. (50) Bengkar leke cebong ‘ Tempurung kelapa yang dipakai untuk menggayung air waktu mandi sudah pecah’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
(51) Lerong welu ‘ Membawa kemiri’ Ungkapan (50) dan (51) merupakan idiom yang bermakna bahwa seorang gadis sudah mulai remaja, ditandai dengan munculnya tanda-tanda keremajaan (adanya payudara pada dada).
Secara leksikal, kata bengkar dalam bahasa
Manggarai berarti mengembang. Leke berarti tempurung kelapa. Kata leke dan welu diumpamakan sebagai payudara wanita karena bentuknya yang bulat. (52) Anak bera ‘ Anak haram’ Anak bera merupakan ungkapan untuk menyatakan makna anak yang lahir karena perselingkuhan antara seorang wanita dengan seorang lelaki di luar perkawinan resmi. Anak bera sering juga disebut sebagai “anak pe’ang remang” (anak di semak belukar) karena hubungan yang dilakukan sepasang kekasih tersebut terjadi di luar rumah tanpa prosedur adat yang berlaku di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu anak bera ata kopn dan anak bera ata toe kopn. Anak bera ata kopn yaitu sang ibu tidak dapat menentukan siapa ayah biologis dari anaknya karena jumlah kekasih gelapnya terlalu banyak. Bila salah satu dari kekasih gelapnya mau bertanggung jawab, maka ia akan melakukan “taro loma” yaitu membayar tuntutan adat berupa seekor kerbau dan seekor kuda, sehingga status sang anak sah menjadi miliknya walaupun ia tidak mengawini ibunya. Anak bera ata toe kopn yaitu anak yang lahir dari hubungan gelap seorang wanita dengan saudara laki-laki yang masih memiliki hubungan darah, yang berada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
dalam satu kampung atau yang berada di luar kampung. Bila hubungan tersebut diketahui keluarga kedua belah pihak, maka akan diadakan upacara “pana mata leso” (memanah matahari) atau juga biasa disebut upacara “kepu munak” (memotong batang pisang) yang bertujuan untuk memutuskan hubungan gelap yang terjalin di antara keduanya. Dalam upacara tersebut, segala dosa perzinahan dibuang. Ayah dari anak bera ata toe kopn tidak dapat dituntut untuk melakukan taro loma karena dapat mengakibatkan putusnya hubungan keluarga di antara kedua belah pihak. Anak tersebut tetap menjadi anak dari ibunya dan menjadi milik dari keluarga ibunya. Selanjutnya, anak tersebut menjadi tanggung jawab dari kakek-nenek pihak ibu. Bila ibunya menikah dengan laki-laki lain, ia akan menjadi anak dari suami baru ibunya, tergantung kesepakatan antara sang ibu bersama suami barunya ketika hendak menikah. Jadi, ungkapan anak bera dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan ungkapan anak haram jadah dalam ungkapan bahasa Indonesia, yaitu anak yang lahir bukan dari perkawinan yang sah. (53) Anak ata ba le potang ‘ Anak yang dibawa dalam sangkar ayam’ Ungkapan ata ba le potang merupakan idiom untuk menyatakan makna anak hasil perselingkuhan antara seorang wanita dengan seorang pria. Sang ayah mau bertanggung jawab atas anak yang dilahirkan, dan memelihara sang anak walaupun tidak menikahi ibunya. (54) Anak lerong ‘ Anak yang selalu dibawa’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Ungkapan anak lerong merupakan idiom untuk menyatakan makna anak seorang janda dari suami pertama. Ketika menikah lagi, ia dan anaknya masuk menjadi anggota keluarga suami barunya. Anak tersebut akan menjadi anak dari suami baru sang ibu dan diakui sebagai anak yang sah. (55) Ine wina loce kambu de kraeng ‘ Perempuan yang tidur dengan tuan / kraeng’ Secara leksikal, kata loce dalam bahasa Manggarai adalah tikar yang terbuat dari pandan, dipakai sebagai alas tidur atau diletakkan di lantai sebagai pengganti kursi. Orang Manggarai menggunakan loce sebagai kiasan untuk seorang istri, teman tidur di malam hari yang selalu memberikan kehangatan. Ungkapan ine wina loce kambu de kraeng merupakan idiom untuk istri simpanan seorang bangsawan selama dalam sebuah perjalanan. Sebelum ajaran Katolik masuk ke Manggarai, sama seperti umumnya para bangsawan (raja), mereka memiliki istri lebih dari satu orang. Sebagai seorang bangsawan, ia menguasai beberapa wilayah / daerah. Daerah-daerah tersebut sering dikunjunginya untuk mengontrol perkembangan serta kemajuan daerah yang berada di bawah kekuasaannya. Pada acara kunjungan tersebut, pejabat setempat selalu menyiapkan seorang gadis yang diinginkan sang raja untuk menemani tidurnya. Hal tersebut juga terjadi di tempat yang lain ketika sang raja berkunjung ke daerah tersebut. (56) Tombo ata ba de buru ‘ Cerita yang dibawa angin’ Ungkapan tombo ata ba de buru merupakan idiom untuk menyatakan makna adanya sebuah desas-desus mengenai sebuah berita. Ungkapan tombo ata ba de buru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan kabar angin dalam ungkapan bahasa Indonesia, yaitu kabar yang belum pasti. (57) Tu’us wa - cangkem eta - donggo mata olo - dongge mata one ‘ Lutut di bawah - dagu di atas - mati secara hina’ Ungkapan tu’us wa cangkem eta - donggo mata olo - dongge mata one merupakan idiom bagi sepasang pengantin yang menikah karena adanya rasa belas kasihan dari orang tua calon pengantin wanita. Hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan calon pengantin laki-laki membayar belis. Belis dalam perkawinan ini tidak dibayar tuntas, hanya membawa seekor kuda atau dua ekor babi sebagai pengganti kuda. Sang gadis benar-benar mencintai laki-laki pilihannya, dan orang tuanya sangat menghargai keputusan anak gadisnya, sehingga menikahkan anaknya dengan laki-laki yang dicintainya. Perkawinan tersebut dinyatakan sah, namun pihak anak rona (orang tua pengantin wanita) tidak mengizinkan anaknya untuk podo (diboyong) ke kampung sang suami. Setelah menikah, sepasang pengantin tersebut tinggal di rumah orang tua pengantin wanita, sampai sang suami dapat membayar belis pernikahan kepada pihak anak rona ( pihak pemberi istri / keluarga mempelai wanita). Sang suami diharapkan dapat menjadi penolong bagi keluarga sang istri. Ia bagaikan seorang pemuda yang bekerja mencari kayu api untuk mertuanya dan bagaikan kerbau yang akan mati di tengah keluarga istrinya. Pasangan seperti ini harus bekerja keras agar dapat menyelesaikan urusan adat perkawinan. Menurut adat Manggarai, jika suatu hari nanti pasangan tersebut mempunyai seorang anak gadis yang akan menikah, maka belisnya diterima oleh pihak anak rona (pihak keluarga ibunya) untuk menutupi segala kekurangan sang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
ayah di masa silam. Melalui cara ini sang ayah dianggap sudah memenuhi hukum adat perkawinan, dan tidak dianggap lagi sebagai orang miskin yang tidak mampu membayar belis. Jika segala urusan adat perkawinan telah diselesaikan, maka pihak anak rona akan melaksanakan upacara adat seperti biasanya, yaitu umber atau wagal. (58) Kawe woja wole - latung coko ‘ Mencari bulir padi yang besar - jagung besar yang panjang’ (59) Long bombo - kawe mbaek ‘ Berkebun di tempat yang jauh - mencari bulir padi yang panjang’ (60) Long latung coko - kawe woja mbaek ‘ Mengejar jagung besar - mencari padi berbulir panjang’ Kalimat woja wole dan latung coko pada ungkapan nomor (58) merupakan kiasan hidup yang penuh kemakmuran. Woja wole dan latung coko tumbuh pada tanah yang subur. Kesuburan adalah lambang atau simbol kemakmuran. Kalimat long bombo - kawe mbaek pada ungkapan nomor (59) dan long latung coko - kawe woja mbaek pada ungkapan (60) merupakan kiasan bagi orang yang merantau. Ungkapan (58), (59), dan (60) merupakan idiom bagi orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk merantau demi merubah nasib. (61) Cawi neho wuas - dole neho ajos ‘ Terpilin laksana rotan - terpintal bagai tali ajo ( sejenis tali hutan)’ Ungkapan cawi neho wuas - dole neho ajos merupakan idiom untuk menyatakan makna persatuan suami-istri yang kuat dan kokoh atau perkawinan monogam yang tak terceraikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
(62) Reba racang ngis - molas cerep ngis ‘ Pemuda dan pemudi memotong gigi’ Ungkapan reba racang ngis - molas cerep ngis merupakan idiom bagi pria dan wanita yang dianggap telah mencapai masa remaja atau usia kawin. Masa remaja menurut adat Manggarai dimulai ketika usia “ngo duat” (bekerja di kebun) baik pria maupun wanita. Pria dan wanita bekerja di kebun atas kemauan sendiri tanpa dipaksa oleh orang tua. Khusus untuk wanita, ia sudah menunjukkan ciri-ciri keremajaan yang disebut bengkar leke cebong yang ditandai dengan adanya payudara pada dadanya. Selain tanda tersebut, ciri-ciri keremajaan yang lain adalah kepet uwa (mendapat tamu bulanan). Seiring dengan itu, baik pria maupun wanita akan memotong giginya, karena itu disebut reba racang ngis - molas cerep ngis. Untuk acara potong gigi tidak ada upacara khusus. Pria dan wanita yang menganggap dirinya telah dewasa, akan pergi ke tukang gigi (dukun) untuk memotong giginya. Selain memotong gigi, tanda-tanda kedewasaan lainnya adalah, untuk pria, ia sudah pecing pase sapu - selek kope (tahu cara mengikat destar dan mengikat parang di pinggang), bisa bekerja di kebun sambil membuat pagar di sekeliling kebun, makan sirih pinang, ikut bermain caci pada kesempatan-kesempatan tertentu, serta mengikuti kegiatan kesenian. Wanita yang menginjak usia remaja sudah tahu cara berdandan, bisa mengatur kehidupan rumah tangga mencontohi ibunya, mengurus para pekerja di kebun, mampu berdialog dengan sesama kaum wanita, sudah mengenal tata tertib kehidupan bermasyarakat, dan lain sebagainya. (63) Nggepo kebor - dael tange ‘ Memeluk irus - menumpuk bantal’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
(64)
Kemu nggencung - nggepo kebor ‘ Memeluk lesung - memeluk sendok’
Ungkapan (63) dan (64) merupakan idiom bagi seorang gadis yang datang ke rumah sang pacar, menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri tanpa melalui prosedur adat. Dalam bahasa kasarnya disebut ine wai ata mai ngai ( perempuan yang datang atas kemauan sendiri tanpa melalui prosedur adat). Hal tersebut dapat terjadi karena wanita tersebut telah mengandung anak dari sang pacar. Ungkapan nggepo kebor dael tange dan kemu nggencung - nggépo kébor dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan rumput mencari kuda dalam idiom bahasa Indonesia. (65) Ine wai roto tong - beka lenga ‘ Wanita bagaikan keranjang penadah terbuka’ Ungkapan ine wai roto tong - beka lenga merupakan idiom bagi wanita tuna susila. Secara leksikal, kata roto dalam bahasa Manggarai berarti keranjang yang terbuat dari ruas-ruas bambu berukuran kecil, yang dianyam menjadi sebuah keranjang. Roto biasa dibawa oleh para ibu atau para gadis di desa ketika berangkat ke ladang. Roto tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menyimpan bekal makanan dari rumah untuk dibawa ke ladang atau untuk menyimpan hasil panen dari kebun untuk dibawa pulang. Orang Manggarai menggunakan roto sebagai kiasan bagi wanita tuna susila. Hal tersebut disebabkan karena bentuk roto yang bulat dan terbuka untuk memudahkan para ibu menyimpan hasil panen tanpa harus menurunkan roto ke tanah. Ungkapan iné wai roto - tong béka lénga dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan idiom sumur di tepi jalan dalam bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
(66) Anak cir wua labe agu wua conco ‘ Anak yang dilahirkan seperti buah ara dan buah conco’ Ungkapan anak cir wua labe agu wua conco merupakan idiom untuk anak yang lahir karena hubungan perselingkuhan. Bila ayahnya membawa seekor kuda untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka anak tersebut mempunyai seorang ayah walaupun tidak menikahi ibunya. Bila ayahnya tidak mau bertanggung jawab, maka anak tersebut akan menjadi tanggung jawab sang ibu dan bila ibunya menikah dengan laki-laki lain, maka anak tersebut sah menjadi anak dari suami baru ibunya. (67) Ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau ‘ Wajahnya bagaikan irisan nanas - pipinya bagaikan irisan buah mangga’ Secara leksikal, frasa lasar pandang dan lasar pau dalam bahasa Manggarai berarti irisan buah nanas dan irisan buah mangga. Buah nanas dan buah mangga yang sudah diiris adalah buah yang sudah matang atau yang berwarna kuning. Irisan nanas dan mangga berbentuk panjang dan kecil. Buah nanas dan mangga yang matang diumpamakan sebagai wajah seorang perempuan. Irisan nanas dan mangga diumpamakan sebagai bentuk hidung seorang wanita yang cantik, yaitu kecil dan tirus. Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau merupakan idiom untuk pria yang cakep / wanita yang cantik tetapi lebih sering digunakan untuk memuji kecantikan seorang wanita. Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau memiliki makna yang sama dengan idom sirih kuning dalam bahasa Indonesia, yakni gadis yang cantik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
(68) Cikat kina - wagak kaba ‘ Membelah kepala babi dan memotong kerbau’ Ungkapan cikat kina-wagak kaba merupakan idiom yang bermakna bahwa perkawinan adat yang dilaksanakan sudah lengkap (resmi) karena semua belis / mas kawin dapat dibayar lunas oleh pihak pengantin laki-laki. Dalam adat masyarakat Manggarai, dikenal tiga jenis peresmian perkawinan. Pertama, perkawinan masuk atau kawin masuk, dalam bahasa adatnya disebut pumpuk ulu - rami wa’i ; tu’us wacangkem eta ; donggo mata olo - donggé mata one. Kawin masuk terjadi karena ketidakmampuan pihak laki-laki untuk membayar belis atau karena sesuatu yang sangat mendesak. Belis dalam perkawinan tersebut tidak dibayar tuntas, paling tinggi hanya membawa seekor kuda atau dua ekor babi sebagai pengganti kuda. Selanjutnya, menurut adat Manggarai pasangan tersebut tidak dapat melakukan upacara podo (boyongan) yaitu mengantar istri ke kampung suaminya. Sepasang pengantin tersebut akan tetap tinggal di rumah orang tua pengantin wanita sampai belis dapat dibayar lunas oleh keluarga pengantin laki-laki. Jenis peresmian perkawinan yang kedua disebut umber. Belis dalam perkawinan umber tidak dibayar tuntas melainkan sesuai dengan kemampuan keluarga pengantin laki-laki. Belis yang dibayar hanya setengah dari jumlah belis yang ditetapkan oleh keluarga pengantin wanita, sedangkan sisanya akan dibayar oleh sepasang pengantin setelah hidup berkeluarga dan memperoleh kehidupan yang layak. Sesudah menikah, si istri dapat diboyong ke kampung suaminya dan masuk menjadi anggota keluarga suku (wa’u) suaminya. Dengan demikian sang istri dapat memperoleh segala warisan berdasarkan hak suaminya dalam suku. Ketika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
meresmikan perkawinan adat (umber) keluarga pihak laki-laki harus membawa seekor kerbau, yang disebut “kaba ute”. Kerbau tersebut akan dibunuh dan dagingnya akan dibagi-bagikan kepada anggota keluarga, diantaranya diberikan kepada keluarga ibu pengantin wanita (anak rona sa’i/ anak rona ulu), seluruh anggota suku dari ayah (asé - ka’é de ema) dan kepada seluruh warga kampung (pa’ang olo - ngaung musi). Daging kerbau tersebut merupakan saksi bahwa sepasang pengantin tersebut telah meresmikan perkawinannya menurut adat Manggarai yang disebut umber. Jenis peresmian perkawinan yang ketiga adalah wagal atau nempung. Wagal atau nempung adalah pesta terakhir dalam rangka pernikahan. Belis dalam jenis perkawinan ini dibayar tuntas, demikian pun uang sebagai penyerta belis. Upacara cikat kina - wagak kaba dilakukan pada perkawinan ini, yang menandai resminya sebuah perkawinan adat. Dalam upacara cikat kina - wagak kaba, babi dan kerbau yang dibawa oleh keluarga pengantin laki - laki didoakan. Hal tersebut bertujuan untuk mengikat kedua pengantin baru agar menjadi “satu” serta memohon rahmat dan berkat Tuhan untuk segala karya atau usaha sepasang pengantin untuk mendukung kesejahteraan keluarga di masa mendatang, dijauhkan dari segala mara bahaya yang dapat mengganggu kehidupan berumah tangga serta kelak akan diberikan keturunan. Bagi keluarga berada, wagal atau nempung akan dimeriahkan oleh permainan caci. Caci adalah tarian atau permainan tradisional Manggarai yang dimainkan oleh dua orang pria dewasa dengan cara saling memukul atau mencambuk. Permainan caci berlangsung selama satu atau dua hari, sesuai kesepakatan keluarga sepasang pengantin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Bagian terakhir dari seluruh rangkaian peresmian perkawinan adat Manggarai adalah podo. Podo adalah upacara mengantar pengantin wanita dari kampung asalnya ke kampung suaminya. Podo dilaksanakan sesudah umber atau wagal. Pada acara podo, anak rona (keluarga pengantin wanita) membawa semua barang - barang yang telah diberikan orang tua pihak perempuan kepada anak dan suaminya, yang disebut widang atau wida. Selain membawa wida, pihak anak rona juga membawa seekor babi yang disebut “ela pentang pitak” yang akan digunakan untuk upacara pembersihan yaitu membersihkan si istri dari segala keterikatannya dengan keluarga asalnya. Setelah upacara pentang pitak, akan dilanjutkan dengan upacara gerep ruha (menginjak telur) yang dilakukan di depan mbaru gendang. Dengan adanya upacara pentang pitak dan upacara gerep ruha si istri resmi menjadi anggota keluarga suaminya dan mengikuti segala tatanan kehidupan adat - istiadat suaminya (lut ceki de ronan). (69) Cehi ri’i - wuka wancang-radi ngaung ‘ Membuka alang-alang dan pelepah bambu- memasang tangga bambu dari kolong rumah’ Ungkapan cehi ri’i - wuka wancang - radi ngaung merupakan idiom yang bermakna bahwa perkawinan yang diadakan belum lengkap, belum sampai pada wagal, karena belis belum dibayar lunas oleh pihak anak wina (keluarga pihak lakilaki). (70) Neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina ‘ Kuda jantan jangan ditahan - kuda betina jangan disimpan’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Ungkapan neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina merupakan idiom yang bermakna meminta keluarga anak wina segera melunasi belis. (71) Pase sapu - selek kope - weda rewa - tuke mbaru ‘ Memakai destar- masuk rumah melalui pintu’ Ungkapan pase sapu-selek kope weda rewa-tuke mbaru merupakan idiom yang bermakna bahwa calon pengantin laki-laki datang meminang gadis secara resmi melalui upacara pongo (lamaran). (72) Anak pencang wa - ende lomes kole ‘ Anak dibiarkan tak terurus - ibu sibuk berdandan’ Ungkapan anak pencang wa - ende lomes kole merupakan idiom untuk menyindir seorang ibu (janda) yang tidak mengurus anaknya dengan baik karena sibuk mencari perhatian laki- laki untuk menikah lagi. (73) Hi nana lelo tana - hi enu lelo awang ‘ Laki-laki melihat bumi - perempuan melihat langit’ Ungkapan hi nana lelo tana - hi enu lelo awang merupakan idiom sindiran bagi pasangan yang melakukan hubungan seks di luar nikah (sebelum menikah resmi) Jika tidak ada halangan menurut adat, maka keduanya harus dinikahkan. Bila berhalangan menurut adat maka diadakan upacara pemutusan hubungan keduanya yang disebut pana mata leso (memanah matahari) atau juga yang biasa disebut kepu munak (memotong batang pisang). Dalam upacara ini diadakan upacara tobat dari kedua insan yang berdosa itu harus melakukan upacara tobat dihadapan semua penduduk kampung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
(74) Loma wina data ‘ Berzinah dengan isteri orang’ Ungkapan loma wina data merupakan ungkapan untuk menyindir seorang laki-laki yang berzinah dengan istri orang. Bila sang suami memergoki istrinya sedang berzinah, secara adat ia dibenarkan bila membunuh istri dan selingkuhannya asalkan langsung di tempat terjadinya perselingkuhan. Bila tidak tertangkap basah, tetapi sang suami dapat membuktikan bahwa si istri benar-benar melakukan perselingkuhan dan dikuatkan oleh saksi, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, si istri dikembalikan kepada orang tuanya (podo kole nggerone anak rona) atau dengan kata lain, diceraikan melalui upacara “saung leba”. Kedua, si istri dikembalikan kepada orang tuanya dan pihak orang tua wanita (anak rona) datang memohon ampun kepada suaminya, yang disebut dengan upacara “ somba rona” dan dilanjutkan dengan upacara pembersihan diri wanita yang disebut dengan upacara “cebong”. Ketiga, suami menceraikan istrinya dan si istri dinikahkan dengan selingkuhannya. (75) Pana mata leso ‘ Memanah matahari’ (76) Kepu munak ‘ Memotong batang pisang’ Ungkapan (75) dan (76) merupakan idiom untuk upacara pembersihan diri dari sepasang kekasih yang melakukan perselingkuhan. (77) Jarang pentang majung ‘ Kuda untuk membersihkan kutu busuk’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Ungkapan jarang pentang majung merupakan idiom untuk seorang laki-laki yang menikahi seorang janda. Menurut adat Manggarai, laki-laki tersebut harus menyerahkan seekor kuda kepada keluarga sang janda sebagai tanda penghormatan kepada almarhum suaminya. (78) Lage loce toko de rona ‘ Melewati tikar tidur suami’ Ungkapan lage loce toko de rona merupakan idiom untuk seorang istri yang berzinah dengan lelaki lain di kamarnya sendiri. (79) Polis wisi loced ga ‘ Sudah bentang tikar’ Ungkapan polis wisi loced ga merupakan idiom untuk sepasang kekasih yang telah mendapat restu dari kedua orang tua untuk menikah secara adat. (80) Api toe caing-wae toe haeng ‘ Sudah tidak dapat menyalakan api di dapur dan tak sanggup lagi mengambil air’ Ungkapan api toe caing - wae toe haeng merupakan idiom untuk seorang ibu yang menikahkan anaknya karena sang ibu sudah tidak sanggup lagi melaksanakan tugasnya untuk bekerja di dapur. Ia menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan dari saudara laki-lakinya. Dalam bahasa Manggarai, perkawinan antara anak laki-laki dari saudari dengan anak perempuan dari saudara disebut tungku. (81) Hang toe tanda - inung toe nipu ‘ Makan dan minum sembarangan’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Ungkapan hang toe tanda - inung toe nipu merupakan idiom bagi orang yang melanggar susila. (82) Tepi tana - mbokang wae ‘ Ibarat anak menampi tana dan memercik air lalu mengencinginya’ Ungkapan tepi tana-mbokang wae merupakan idiom bagi orang yang melanggar susila. (83) Neho anak wara ata toe di loda putes ‘ Seperti bayi yang belum jatuh tali pusarnya’ Ungkapan neho anak wara ata toe di loda putes merupakan idiom bagi orang dewasa yang bersifat kekanak-kanakkan. (84) Lada meka weru Ungkapan lada meka weru merupakan ungkapan untuk wanita yang sedang melahirkan. (85) Cai ata le mai puar ‘ Kedatangan tamu dari hutan’ Ungkapan cai ata le mai puar merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang ibu yang sedang melahirkan anaknya. Ata le mai puar merupakan kiasan bagi seorang bayi yang baru lahir. (86) Mbelos du lewo - pa’u du ngaung ‘ Jatuh lewat lubang ke kolong rumah’ Ungkapan mbelos du lewo - pa’u du ngaung merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang ibu yang mengalami keguguran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
(87) Wulang linga ‘ Bulan kosong’ Ungkapan wulang linga merupakan idiom untuk menyatakan makna bulan terakhir saat menantikan kelahiran bayi. (88) Rompe one Ungkapan
rompe one merupakan ungkapan untuk menyatakan makna
seorang ibu yang hamil setelah melahirkan, sebelum sempat mendapat tamu bulanan. (89) Mamur wulang Ungkapan mamur wulang merupakan ungkapan bagi wanita yang tidak mendapat tamu bulanan dan mulai hamil. Ungkapan mamur wulang dalam bahasa Manggarai mempunyai makna yang sama dengan berbadan dua dalam bahasa Indonesia. (90) Peci pase sapu - selek kope ‘ Tahu cara mengikat destar di kepala dan mengikat parang di pinggang’ Ungkapan peci pase sapu - selek kope merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa sebelum menikah, seorang laki-laki harus pandai bekerja atau sudah mempunyai pekerjaan, sehingga dapat menghidupi anak dan istrinya. Selain itu, ungkapan tersebut merupakan idiom untuk seorang anak lelaki yang menginjak usia remaja, yang ditandai dengan mengikat destar di kepala dan mengikat parang di pinggang untuk mencari kayu bakar atau ketika hendak berangkat ke ladang. (91) Oke rona ngoeng - di’an lelo ilang ‘ Melepaskan laki kawin - sedap bermain mata’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Ungkapan oke rona ngoeng - di’an lelo ilang merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang istri yang melakukan hubungan gelap dengan pria lain. (92) Reba-molas ‘ Laki-laki yang cakep - perempuan yang cantik’ Ungkapan reba molas merupakan idiom untuk menyatakan makna pasangan selingkuh. Menurut adat Manggarai, reba molas ada dua macam, yaitu reba molas (selingkuh) dengan seorang gadis dan reba molas dengan istri orang. Hukum adat yang berlaku untuk anak yang dilahirkan dari hasil perselingkuhan dengan istri orang adalah anak tersebut akan menjadi anak dari suami yang sah., sedangkan anak yang dilahirkan dari reba molas dengan seorang gadis tergantung pengakuan dari sang gadis mengenai ayah biologis dari anak yang dilahirkan. Jika sang ayah mau bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, maka ada kemungkinan keduanya akan menikah (tergantung situasi dan kondisi). Bila sang ayah tidak mau bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, maka anak tersebut akan menjadi tanggung jawab orang tua si gadis. (93) Nggoleng loce - dael tange ‘ Mengguling tikar - menumpuk bantal’ Ungkapan nggoleng loce - dael tange merupakan idiom bagi calon pengantin laki-laki yang mengurus pernikahannya tanpa melibatkan anggota keluarga. (94) Pa’u pacu ‘ Pipinya turun’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Ungkapan pa’u pacu merupakan idiom untuk perawan tua. Untuk mencegah hal tersebut, maka orang tua akan mendorong atau bahkan memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan calon mantu yang disenanginya. (95) Bom salang tuak - maik salang wae ‘ Bukan jalan menuju pohon enau yang airnya sesewaktu dapat berhenti tetapi jalan menuju mata air yang tidak pernah berhenti mengalir ‘ Ungkapan bom salang tuak- maik salang wae merupakan idiom untuk menunda pembayaran barang / benda pemberian orang tua pengantin wanita kepada sepasang pengantin baru. Setelah menikah, pengantin wanita mendapat hak berupa widang dan wida. Widang adalah pemberian orang tua atau saudara-saudara yang sudah berkeluarga, berupa barang-barang yang dapat dipakai setiap hari, seperti perhiasan, pakaian, kain songke, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Wida adalah barang pemberian pihak anak rona (orang tua pengantin wanita) kepada anak gadisnya yang telah berkeluarga. Pemberian tersebut diberikan saat upacara adat wagal / nempung sebagai balasan belis yang diberikan oleh anak wina (keluarga pengantin laki-laki) pada saat pongo (tunangan). Selain itu, ada pula wida yang diberikan di luar upacara adat, yaitu wida berupa sawah atau ladang. Menurut hukum adat Manggarai, wida yang diberikan berupa ladang atau sawah harus dibalas oleh pihak anak wina yang disebut wali wida. Wali wida berupa hewan ternak (kerbau, kuda, sapi, babi). Wali wida dapat ditunda pembayarannya, sesuai kemampuan sepasang pengantin baru / pihak anak wina. Untuk menunda pembayaran wali wida kepada anak rona, pihak anak wina akan mengatakan,” bom salang tuak, maik salang wae”, kepada pihak anak rona.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Pemberian widang dan wida mengarah kepada pemberian harta warisan dari orang tua kepada anak gadis mereka yang telah berkeluarga. Pemberian tersebut dipandang sebagai penghargaan dari pihak anak rona (pihak pemberi istri) kepada anak wina (pihak penerima istri) untuk menguatkan relasi antara anak rona dan anak wina. (96) Rekok reme lebon - ro’e lari ngoeln - gencok neho gentok - loda neho wela ‘ Patah ketika sedang mekar - dipetik ketika masih muda - dipetik seperti buah ketela muda - jatuh seperti pucuk bunga ketela’ Secara leksikal, kata gentok dan wela dalam bahasa Manggarai berarti buah ketela muda dan pucuk bunga ketela. Masyarakat Manggarai menggunakan gentok dan wela sebagai sayuran. Wela biasanya dipetik pada pagi hari agar tidak layu terkena paparan sinar matahari. Dalam ungkapan rekok reme lebon - ro’e lari ngoeln- gencok neho gentok - loda neho wela, gentok digunakan sebagai kiasan seorang anak muda dan wela digunakan sebagai kiasan kematian seseorang pada usia muda. Ungkapan rekok reme lebon - ro’e lari ngoeln - gencok neho gentok - loda neho wela merupakan idiom untuk anak yang meninggal pada usia sekolah (masa remaja). (97) Dempok neho teu - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo Ungkapan dempok neho teu - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo merupakan idiom untuk anak yang meninggal pada masa kanak-kanak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
(98) Kole okan mokang - kole ramin laki ‘ Kerbau betina kembali ke padang gembalanya dan kerbau jantan pun kembali ke semak belukar’ Ungkapan kole okan mokang - kole ramin laki merupakan idiom untuk sepasang kekasih yang memutuskan hubungan pertunangan. Pada acara pongo (lamaran), pihak anak rona (keluarga wanita / pihak pemberi istri) dan anak wina (keluarga pria / pihak penerima istri) membuat suatu kesepakatan mengenai sejumlah paca (belis / mas kawin). Belis / mas kawin merupakan rasa ungkapan terima kasih dari pihak anak wina kepada pihak anak rona karena
telah menjaga dan
membesarkan calon pengantin wanita. Selain sebagai rasa ungkapan terima kasih, belis tersebut kelak akan digunakan oleh sepasang pengantin baru dalam memulai kehidupan rumah tangganya. Belis / mas kawin tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu paca pe’ang tana (belis di luar rumah) dan paca one mbaru / one lutur (belis di dalam rumah). Paca pe’ang tana yaitu sejumlah belis berupa kerbau dan kuda, sedangkan paca one mbaru / one lutur yaitu berupa sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak anak wina kepada pihak anak rona sebagai penambah dari paca pe’ang tana. Besarnya jumlah belis ditentukan oleh pihak anak rona. Kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak kemudian dikukuhkan dalam suatu upacara yang disebut ela mbukut, yang menandai resminya pertunangan antara calon pengantin wanita dengan pengantin laki-laki. Bila acara pertunangan telah diresmikan, ada hukum yang wajib dipatuhi oleh kedua belah pihak, khususnya sepasang calon pengantin. Bila calon pengantin wanita memutuskan tali percintaan, maka orang tuanya dikenakan sanksi yaitu semua uang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
yang sudah dibayar dan belis yang sudah diterima harus dikembalikan kepada orang tua calon pengantin laki-laki. Selain itu, pihak anak rona harus menyiapkan seekor babi yang disebut ela podo wa’u. Demikian pun sebaliknya, jika calon pengantin pria memutuskan hubungan pertunangan, maka orang tuanya dikenakan sanksi yaitu semua belis serta sejumlah uang yang telah diberikan kepada pihak anak rona pada saat pongo tidak akan dikembalikan. Pihak anak wina harus menyiapkan seekor kerbau atau kuda yang disebut kaba cemu ritak atau jarang cemu ritak (kerbau atau kuda untuk menutupi rasa malu dari gadis yang telah diputuskan oleh tunangannya). (99) Wae de mendi ‘ Air dari hamba’ Ungkapan wae de mendi
merupakan idiom untuk menyatakan makna
keturunan hamba. (100) Congka lobo boa ‘ Lompat-lompat di atas makam’ Ungkapan congka lobo boa memiliki makna yang sama dengan ungkapan anak pencang wa - ende lomes kole. (101) Mejok déko - ngguing wuli - lélak médak - momang nggotak ‘ Jinak bila ditangkap - bergerak-gerak karena dibelai - meligas dengan penuh gairah’ Secara leksikal, kalimat mejok déko dan ngguing wuli dalam bahasa Manggarai berarti jinak bila ditangkap atau didekati dan bergerak-gerak karena merasa senang ketika dibelai. Kalimat mejok déko dan ngguing wuli ditujukan kepada hewan,dalam hal ini kuda. Seekor kuda bila didekati dan dibelai akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
menjadi jinak dan patuh pada perintah tuannya. Pada ungkapan di atas, kuda digunakan sebagai kiasan dari seorang gadis. Ungkapan mejok déko - ngguing wulilélak médak - momang nggotak merupakan idiom untuk menyatakan makna seorang wanita yang tidak menolak bila dipegang atau dibelai, melayani dengan penuh gairah serta menerima permintaan pria dengan senang hati. (102) Mohasn na’a ronag - kali rona agu kokak - jurak’n na’a tu’ag - kali tu’a agu kula Secara leksikal, kata koka dan kula dalam bahasa Manggarai berarti burung madu dan musang. Burung madu adalah sejenis burung yang tidak pernah diam, selalu berkicau bahkan di saat mencotol makanan. Musang adalah binatang yang mempunyai tabiat tidak mempedulikan sesama jenisnya tetapi selalu menunjukkan sifat bermusuhan serta memangsa sesamanya. Dalam ungkapan mohas’n na’a ronagkali rona agu kokak - jurak’n na’a tu’ag - kali tu’a agu kula, burung madu dan musang digunakan sebagai kiasan. Burung madu adalah kiasan atau perumpamaan mengenai sikap serta perilaku suami yang selalu mencela pekerjaan istrinya, memerintah sang istri untuk melakukan segala pekerjaan rumah tangga dan memarahi sang istri bila melakukan kesalahan atau kekeliruan. Sang suami selalu benar sedangkan istrinya dianggap serba salah. Sang istri diperlakukan sebagai seorang pembantu rumah tangga bukan sebagai patner hidup suami. Musang adalah kiasan atau perumpamaan mengenai tabiat mertua yang tidak mencerminkan pengganti orang tua bagi menantu wanita tetapi selalu menunjukkan sifat bermusuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Ungkapan mohasn na’a ronag - kali rona agu kokak - jurak’n na’a tu’agkali tu’a agu kula merupakan idiom untuk menyatakan makna penyesalan seorang wanita yang telah berumah tangga karena sering mendapat tekanan, baik dari sang suami maupun mertua. Sang istri dituntut untuk mengerjakan segala sesuatu yang diinginkan suaminya. Sikap sang suami terhadap istrinya seolah-olah antara seorang majikan dengan pembantu rumah tangga. Sang istri selalu ditegur oleh suaminya bila segala pekerjaan rumah tangga belum diselesaikan. Sang mertua yang diharapkan sebagai pengganti orang tua wanita tidak menunjukkan tanda-tanda atau sikap sebagai seorang ibu yang selalu siap mengayomi anaknya, melainkan menunjukkan sikap bermusuhan. Ia bersikap acuh tak acuh, tidak memberikan petunjuk yang baik terhadap menantu, dalam hal memperbaiki kekeliruan serta tidak mengakui kegiatan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh sang menantu. (103) Teti toe decing - lako toe baro Ungkapan teti toe decing - lako toe baro merupakan ungkapan bagi orang yang pergi tanpa pamit. (104) Ca pujut kali nuk - dako kali anor Ungkapan ca pujut kali nuk - dako kali anor merupakan idiom untuk menyatakan makna orang yang kurang bijaksana. (105) Tiwu lele - lewing lembak ‘ Danau yang lebar - panci bermulut lebar’ (106) Nai nganggil - tuka ngengga ‘ Hati yang lapang; luas - perut lebar’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Ungkapan (105) dan (106) merupakan idiom untuk menyatakan makna orang yang bijaksana. Ungkapan tiwu lele - lewing lembak dan nai nganggil - tuka ngengga dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan ungkapan lautan budi tepian akal dalam idiom bahasa Indonesia. (107) Purak mukang - wajo kampong Ungkapan purak mukang - wajo kampong merupakan ungkapan untuk menyatakan makna orang yang menyerang kampung secara langsung. (108) Ngampang tana - ngawe wae ‘ Jurang yang curam - tebing rendah di pinggir sungai’ Ungkapan ngampang tana - ngawe wae merupakan idiom untuk menyatakan makna permusuhan yang tidak boleh melanggar batas. Dalam ungkapan ngampang tana - ngawe wae, ngampang ( jurang) dan ngawe wae adalah batas suatu daerah kekuasaan / wilayah. (109) Sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa ‘ Mulut tertutup rapat – ternyata di dalam perut ada jurang yang dalam’ (110) Tu’ung le mu’u - toe le nai ‘ Mulut berkata ia - tapi hati berkata tidak’ Ungkapan (109) dan (110) menyatakan makna lain di bibir lain di hati. Apa yang diucapkan di bibir tidak sejalan dengan isi hati. Ungkapan sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa dan tu’ung le mu’u - toe le nai dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan peribahasa buah manis berulat di dalamnya. (111) Tekur cai retuk - lawo cai bao ‘ Burung tekukur yang baru menetas - tikus yang baru lahir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
(112) Anak koe loas weru ‘ Anak yang baru lahir’ Ungkapan (111) dan (112) merupakan idiom untuk orang yang belum berpengalaman dalam hal pekerjaan. Ungkapan tekur cai retuk - lawo cai bao dan anak koe loas weru dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan peribahasa belum tahu di pedas lada. (113) Mempo neho elong - puta neho munak ‘ Hancur bagai batang pisang - punah bagai batang pisang’ Ungkapan mempo neho elong - puta neho munak merupakan idiom untuk mengutuk seseorang yang melakukan tindakan kejahatan ( mencuri, membunuh).
3.2.6 Ungkapan yang Berkaitan dengan Ejekan (114) Ngong ata lombong lala - kali weki run lombong muku ‘ Mengatai orang lain ibarat pucuk pisang hutan - padahal diri sendiri ibarat pucuk pisang’ Ungkapan ngong ata lombong lala - kali weki run lombong muku merupakan idiom untuk menyatakan makna orang yang suka mengejek atau mencari-cari kesalahan orang lain padahal ia sendiri mempunyai kesalahan yang lebih besar.
3.2.7 Ungkapan yang Menunjukkan Pertalian Kekeluargaan Berikut ini diuraikan contoh-contoh ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan. (115) Neki weki manga ranga kudut bantang pa’aang olo - ngaung musi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
‘ Semua masyarakat berkumpul untuk melakukan musyawarah bersama’ Ungkapan neki weki manga ranga kudut bantang pa’ang olo - ngaung musi merupakan idiom dalam musyawarah untuk mengambil suatu keputusan. Musyawarah harus dihadiri oleh seluruh anggota masyarakat. Keputusan dalam musyawarah merupakan keputusan bersama yang telah disepakati oleh setiap anggota masyarakat. Ungkapan tersebut diucapkan oleh pemimpin adat ketika akan memulai musyawarah. Ungkapan tersebut menggambarkan kehidupan keseharian masyarakat Manggarai yang sangat menghargai persatuan dan kesatuan. (116) Alo dalo - pulu wungkut ‘ Delapan ruas bambu- sepuluh buku tangan’ Ungkapan alo dalo - pulu wungkut merupakan idiom untuk menyatakan hubungan kekerabatan yang sudah turun temurun antara keluarga anak rona (pihak pemberi istri / keluarga istri) dan anak wina (pihak penerima istri / keluarga suami). (117) Eme wakak betong - asa manga waken nipu tae ‘ Jika induk rumpun bambu tumbang - akarnya akan tumbuh dan melanjutkan kehidupan yang sama’ (118) Bete wase biring wae - tungku kole ndawir wali ‘ Putus tali di pinggir kali - bila bertunas akan sambung lagi’ Ungkapan (117) dan (118) merupakan idiom untuk menyatakan makna bila orang tua meninggal, maka anak atau cucu keturunannya akan menggantikannya. (119) Nio loda do - waen oke sale ‘ Buah kelapa jatuh - airnya terbuang-buang’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Ungkapan nio loda do - waen oke sale merupakan idiom untuk menyatakan makna keturunan dari suatu klan sudah banyak menyebar ke mana-mana. (120) Na’a waen pake - na’a uten kuse ‘ Katak ikut air dan udang ikut sayurnya’ Ungkapan na’a waen pake - na’a uten kuse merupakan idiom untuk menyatakan makna bahwa segala perilaku orang tua diwariskan kepada anak-anaknya. Ungkapan na’a waen pake - na’a uten kuse dalam bahasa Manggarai memiliki makna yang sama dengan peribahasa air di tulang bubungan, turunnya ke cucuran atap. (121) Bom tombo le run rukus - bom tura le run kula ‘ Kepiting tidak bicara - musang pun tidak memberitahukan warna kulitnya sendiri’ Ungkapan bom tombo le run rukus - bom tura le run kula merupakan idiom untuk menyatakan makna walaupun orang tidak menceritakan asal-usulnya, tetapi dapat diketahui dari tutur kata dan tingkah lakunya. (122) Muku ca pu’u - neka woleng curup ‘ Pisang serumpun - jangan berbeda kata’ (123) Teu ca ambu - neka woleng wintuk ‘ Tebu serumpun jangan berbeda jalan’ (124) Ipung ca tiwu - neka woleng wintuk ‘ Ipun (sejenis ikan) sekolam jangan berbeda tindakan’ (125) Nakeng ca wae - neka woleng tae ‘ Ikan se- kali jangan berbeda bicara’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
(126) Neka bike ata ca lide - neka behas ata ca cewak ‘ Jangan terrpecah saudara / saudari sebakul- jangan terbelah saudara/ saudari semangkuk’ Ungkapan (122), (123), (124),
(125) dan (126) merupakan idiom untuk
menyatakan makna bahwa dalam satu keturunan harus seia-sekata dalam setiap perkataan dan perbuatan, serta hidup rukun dan damai. Kalimat muku ca pu’u pada ungkapan (122) , teu ca ambu (123), ipung ca tiwu (124), nakeng ca wae (125), dan lide ( 126) merupakan kiasan untuk sebuah garis keturunan / keluarga dari sebuah klan. Muku (pisang) tumbuh dalam beberapa kelompok kecil yang terdiri dari tunastunas yang baru. Teu (tebu) merupakan tanaman berumpun dan tumbuh saling berdekatan. Ipung (ipun) sama seperti ikan laut lainnya selalu bergerombol kemana pun mereka pergi. Lide adalah keranjang kecil berbentuk bulat, yang terbuat dari pandan, biasa digunakan untuk berbagai keperluan. Kehidupan kekeluargaan dari sebuah keturunan suku / klan diumpamakan sebagai tanaman pisang, tebu, ipun, dan bakul. (127) Weki toe pecing - ranga toe tanda ‘ Wajah yang tak dikenal’ Ungkapan Weki toe pecing - ranga toe tanda merupakan idiom untuk tamu atau orang baru yang belum dikenal warga masyarakat setempat atau tamu yang tak diundang dalam suatu pesta. (128) Toe manga ata bengkar one mai belang ‘ Tak ada yang berkembang dari buluh belang , bertunas dari betung’
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
(129) Toe manga ata bok ane betong ‘ Tidak ada anak yang dilahirkan dari rumpun bambu’ Ungkapan (128) dan (129)
merupakan idiom untuk menyatakan makna
bahwa tak ada anak yang lahir tanpa orang tua. (130) Neka hemong kuni agu kalo ‘ Jangan lupa tali pusat bayi dan pohon dadap’ Ungkapan neka hemong kuni agu kalo merupakan idiom untuk menyatakan rasa cinta terhadap tanah tumpah darah (tanah kelahiran) serta tidak melupakan kebiasaan di kampung halaman.
3.3
Fungsi Go’ét (Ungkapan Ttradisional) dalam Bahasa Manggarai Dalam
lingkungan masyarakat Manggarai, go’ét
memiliki fungsi atau
peran dalam mengatur tata kehidupan sosial dalam masyarakat karena mengandung norma serta nilai-nilai kehidupan yang harus diketahui, dipahami serta dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai pendidikan, nilai religi, nilai sosial, dan nilai etis dan estetis. Go’ét yang mengandung nilai pendidikan berjumlah tiga puluh satu buah yang berfungsi untuk mendidik moral para generasi muda agar tumbuh menjadi seorang pribadi yang bertanggung jawab, baik dalam lingkungan
keluarga
maupun
dalam
lingkungan
masyarakat.
Go’ét
yang
mengandung nilai religi berjumlah enam belas buah yang berfungsi untuk menggambarkan keyakinan orang Manggarai akan adanya Wujud Tertinggi yang menguasai alam semesta. Go’ét
yang berfungsi untuk tujuan sosial berjumlah
delapan belas buah yang berfungsi untuk berbagai tujuan dalam kehidupan sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
masyarakat Manggarai. Go’ét yang berfungsi untuk menyindir orang berjumlah dua puluh empat buah, yang digunakan untuk menyindir perbuatan seseorang yang melanggar tata krama dan norma adat yang berlaku di lingkungan masyarakat. Go’ét yang digunakan dalam istilah perkawinan adat berjumlah enam belas buah yang berfungsi untuk menjelaskan macam-macam istilah yang digunakan dalam perkawinan adat Manggarai. Go’ét yang digunakan dalam pergantian keturunan berjumlah sebelas buah yang berfungsi untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan dalam suatu garis keturunan. Go’ét
yang mengandung nilai etis dan estetis
berjumlah sebelas buah yang berfungsi untuk memperindah sebuah kata atau ucapan seseorang agar enak didengar serta untuk menjaga perasaan orang yang dibicarakan. Go’ét yang mengandung pujian berjumlah tiga buah yang berfungsi untuk menyatakan kekaguman seseorang terhadap orang lain / mengungkapkan rasa ketertarikan. Go’ét yang digunakan untuk mengutuk berjumlah satu buah, yang berfungsi untuk mengutuk seseorang yang melalakukan tindakan kejahatan (mencuri, membunuh, memperkosa, dan lain-lain). Berikut ini akan diuraikan mengenai fungsi go’ét dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.
3.3.1 Go’et yang Berfungsi untuk Mendidik Go’ét yang berfungsi untuk mendidik digunakan oleh para orang tua, berupa nasihat serta teguran yang bertujuan untuk mendidik budi pekerti anak agar tumbuh menjadi seorang pribadi yang bertanggung jawab terhadap keluarga maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
di lingkungan masyarakat, serta untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sebelum masuk ke bangku pendidikan. Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap sikap anak ketika masuk dalam lingkungan pergaulan di masyarakat dan lingkungan sekolah. Go’ét yang berfungsi untuk mendidik merupakan tindak tutur ilokusi, karena selain mengandung informasi (pesan), tuturan tersebut dimaksudkan agar pesan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan (melakukan sesuatu berdasarkan pesan atau informasi). Para orang tua berharap pesan atau informasi yang disampaikan kepada para generasi muda dalam bentuk nasihat dapat diwujudnyatakan dalam keseharian di lingkungan masyarakat. Berikut ini akan diuraikan mengenai go’ét Manggarai yang berfungsi untuk mendidik. (1) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni Ungkapan duat gula -we’e mane - dempul wuku - tela toni berfungsi sebagai nasihat dari orang tua kepada sepasang suami-istri yang baru memulai kehidupan rumah tangganya. Dengan bekerja keras, mereka dapat menghidupi keluarganya dan diharapkan dapat memperoleh hasil yang berlimpah sehingga dapat mendukung kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga. (2) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io Ungkapan hiang koe hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io berfungsi sebagai nasihat dari orang tua kepada anaknya dalam lingkungan keluarga, yang berfungsi untuk mendidik budi pekerti anak agar tumbuh menjadi pribadi yang bermoral, menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta nilai sosial dalam kehidupan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
bermasyarakat dengan cara menghormati serta menghargai sesamanya yaitu berbicara dengan sopan terlebih kepada orang yang lebih tua. (3) Duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - wé’é nggerone mbaru sama régé ruék Ungkapan duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - wé’é nggerone mbaru sama régé ruék berfungsi sebagai nasihat dari orang tua kepada sepasang pengantin baru. Dalam kehidupan rumah tangga, keduanya harus hidup berdampingan dan saling membantu dalam mengerjakan segala sesuatu yang menyangkut urusan rumah tangga. Segala urusan serta pekerjaan yang menyangkut urusan rumah tangga merupakan tanggung jawab bersama bukan tanggung jawab individu. (4) Kantis ati - racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati Ungkapan Kantis ati - racang rak - cengka lemas / kantis nai rai ati merupakan nasihat orang tua kepada anaknya yang berfungsi untuk mendidik anak agar terbiasa : (a) melakukan segala pekerjaan, mencintai bidang usaha yang digelutinya; (b) mampu meniru pekerjaan orang tua; (c) mengembangkan kemampuan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup; (d) dapat memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki; (e) bekerja sendiri dan mandiri; (f) berinisiatif dan kreatif; (g) mengatasi tantangan (http:// kuniagukalo.blogspot.com).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Ungkapan tersebut diharapkan dapat diteladani dalam kehidupan nyata karena sebuah keberhasilan atau kesuksesan diperoleh dengan sebuah usaha serta kerja keras. (5) Na’a ngger wa rak - na’a nggger eta lemas Ungkapan na’a ngger wa rak - na’a nggger eta lemas merupakan sebuah nasihat dari orang tua kepada anggota keluarga, khususnya kepada anak yang berfungsi untuk mendidik sang anak agar bersikap sabar ketika menghadapi suatu permasalahan. (6) Asam ndusuk tana ru-konem lalen tana sale Ungkapan asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale merupakan nasihat dari orang tua kepada para generasi muda yang berfungsi untuk mendidik para generasi muda untuk memiliki rasa cinta tanah air (cinta akan kampung halaman). (7) Néka ngondé holés - néka mejéng hesé Ungkapan néka ngondé holés - néka mejéng hesé merupakan nasihat dari orang tua kepada para generasi muda agar tidak melupakan tugas serta tanggung jawab dalam keluarga atau pun di lingkungan masyarakat. (8) Toing le toming - taé le pandé Ungkapan toing le toming - taé le pandé merupakan nasihat dari orang tua kepada para generasi muda atau kepada orang yang memegang status sebagai pemimpin dalam masyarakat, atau orang yang akan menerima jabatan dalam masyarakat. (9) Toé ngoéng te karukak ka’éng tana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Ungkapan toé ngoéng te karukak ka’éng tana merupakan nasihat dari orang tua kepada anaknya agar tidak membuat keributan atau keonaran dalam kehidupan sosial masyarakat. Sebaliknya, orang tua sangat berharap sang anak ikut berpartisipasi dalam menjaga keamanan serta ketertiban lingkungan. (10) Toe mbasa saék - toé woro waés tipek Ungkapan toe mbasa saék - toé woro waés tipek merupakan nasihat dari orang tua kepada anaknya agar hidup sederhana dan tidak boros. (11) Neka inung toe nipu - neka hang toe tanda - neka lage loce data (12) Neka ngoeng ata - neka jurak - neka lage loce toko data Ungkapan (11) dan (12) merupakan nasihat dari orang tua kepada para generasi muda agar para generasi muda mengetahui ketentuan serta adat-istiadat yang berlaku di lingkungan masyarakat, khususnya hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Para generasi muda diharapkan dapat mengikuti norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat menurut tradisi dan adat-istiadat untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. (13) Eme inung toe nipu - hang toe tanda-anggom le anggom lau - ro’e ngoel rekok lebo cemoln de mosem Ungkapan eme inung toe nipu - hang toe tanda - anggom le anggom lau ro’e ngoel rekok lebo cemoln de mosem merupakan nasihat dari orang tua kepada para generasi muda agar menghormati serta menghargai harkat dan martabat sesama manusia dengan cara tidak mengambil atau merampas hak milik orang lain secara paksa. Bila hal tersebut terjadi, maka orang tersebut akan mati pada usia muda karena terkena kutukan dari orang yang hak miliknya diambil secara paksa. Selain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
sebagai sebuah nasihat, ungkapan tersebut mengandung sebuah norma yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat. (14) Néka toko - takak ného lema de nggalang Ungkapan néka toko - takak ného lema de nggalang merupakan nasihat serta teguran dari orang tua kepada anaknya yang berfungsi untuk mendidik budi pekerti anak agar selalu bersikap sopan dalam bertutur kata dan selalu bersikap jujur. (15) Neka beti nai agu mas mata Ungkapan neka beti nai agu mas mata merupakan nasihat dari orang tua kepada anaknya agar selalu bersikap rendah hati dan tidak merasa iri dengan kesukssesan orang lain melainkan turut merasa bahagia. (16) Néka wa’ek lewing naré Ungkapan néka wa’ek lewing naré merupakan nasihat dari orang tua kepada anaknya dalam hal menjari jodoh / pasangan hidup agar tidak mengawini wanita dari sesama klan. Selain sebagai sebuah nasihat, ungkapan tersebut mengandung norma susila yang harus diikuti serta ditaati oleh setiap anggota masyarakat. (17) Neka conga bail boto poka bokak-neka tengguk bail boto kepu tengu Ungkapan neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu tengu merupakan sebuah nasihat atau petuah dalam kehidupan bermasyarakat. (18) Mejok déko-ngguing wuli-lélak médak-momang nggotak Ungkapan
mejok
déko-ngguing
wuli-lélak
médak-momang
nggotak
merupakan sebuah pesan yang ditujukan bagi kaum wanita agar tidak terbuai oleh rayuan lelaki. Kaum wanita harus mempertahankan kehormatan, harga diri serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
harkat dan martabatnya sebagai seorang perempuan sehingga tidak disia-siakan oleh lelaki. (19) Mohas’n na’a ronag-kali rona agu koka-jurak’n tu’ung na’a tu’ag-kali tu’a agu kula Ungkapan mohas’n na’a ronag-kali rona agu koka-jurak’n tu’ung na’a tu’ag-kali tu’a agu kula merupakan nasihat dari orang tua kepada anak gadisnya agar berhati-hati, lebih cernat dan mempertimbangkan dengan matang sebelum menerima lamaran seorang pemuda (calon suami) agar tidak salah dalam memilih pasangan hidup. Hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah mengenai sifat serta watak calon suami sehingga sang gadis dapat mendapatkan gambaran bagaimana cara menghadapinya setelah hidup berumah tangga. (20) Oke rona ngoeng - di’an lelo ilang Ungkapan oke rona ngoeng - di’an lelo ilang mengandung nllai moral yang mendidik manusia agar menghindari perbuatan yang menodai kehidupan berumah tangga serta tidak mudah tergoda oleh rayuan atau godaan yang dapat menyebabkan seseorang jatuh ke dalam lembah nista. Selain mengandung nasihat, ungkapan tersebut juga digunakan untuk menyindir seorang wanita yang berselingkuh dengan lelaki lain. (21) Bahi gici arit - cingke gici irat Ungkapan bahi gici arit - cingke gici irat merupakan nasihat orang tua kepada para generasi muda yang berfungsi untuk mendidik para generasi muda agar selalu bersikap adil dan jujur terhadap sesama, terutama menyangkut kepentingan umum dalam kehidupan bermasyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
(22) Pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana Ungkapan pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana merupakan nasihat dari orang tua kepada para generasi muda, khususnya yang pergi merantau agar dapat menjaga sikap di tanah rantauan, sukses dalam usaha sehingga dapat menjadi orang yang sukses. (23) Kole le mai - selendang laing tarik Ungkapan kole le mai - selendang laing tarik merupakan nasihat serta harapan orang tua kepada anaknya yang pergi merantau (mengenyam pendidikan atau yang merantau untuk mengadu nasib) agar apa yang dicita-citakan atau yang diharapkan dapat tercapai. (24) Neka bea betan - ngampang be wan Ungkapan neka bea betan - ngampang be wan digunakan sebagai nasihat dari orang tua kepada anaknya agar selalu bersikap jujur dan konsisten terhadap segala perkataan serta perbuatan. (25) Toe manga ata bengkar one mai belang (26) Toe manga ata bok one betong Ungkapan (25) dan (26) digunakan para orang tua untuk menasehati anaknya bahwa tak ada anak yang dilahirkan tanpa orang tua. (27) Lalong pandong du ngo - lalong rombeng du kole (28) Lalong bakok du lako - lalong rombeng du kole Ungkapan (27) dan (28) digunakan oleh para orang tua untuk menasehati anaknya yang sedang berada di bangku pendidikan, berupa harapan serta dukungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
dari orang tua kepada sang anak agar sang anak sukses sehingga kelak dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. (29) Uwa haeng wulang - langkas haeng ntala Ungkapan uwa haeng wulang - langkas haeng ntala merupakan nasihat dari para orang tua kepada para generasi muda agar menggantungkan cita-cita setinggi langit dan berusaha untuk meraihnya, agar kelak dapat menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Ungkapan tersebut merupakan sebuah nasihat yang berfungsi untuk member motivasi kepada sang anak. Selain sebagai nasihat, ungkapan tersebut juga mengandung sebuah doa serta harapan dari para orang tua kepada anaknya. (30) Peci pase sapu - selek kope Ungkapan peci pase sapu - selek kope digunakan para orang tua dalam lingkungan keluarga untuk menasehati anak laki-lakinya agar tidak terburu-buru untuk hidup berumah tangga. Sebelum menikah, anak lelaki harus sudah mempunyai pekerjaan yang tetap agar dapat menghidupi anak dan istrinya. (31) Neka bike ata ca lide - neka behas at ace cewak Ungkapan neka bike ata ca lide - neka behas ata ce cewak digunakan sebagai nasihat oleh para orang tua kepada para generasi muda dalam lingkungan keluarga agar selalu seia-sekata dan tidak saling bermusuhan. Segala persoalan yang terjadi dalam lingkungan keluarga (khususnya dalam satu klan) diselesaikan dengan cara kekeluargaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3.3.2
89
Go’ét yang Berfungsi untuk Religi Ungkapan yang mengandung nilai religi merupakan tindak tutur lokusi
karena hanya berupa informasi yang berfungsi untuk menggambarkan hubungan masyarakat Manggarai dengan wujud tertinggi yang disebut Mori (Tuhan) yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Sebagai pencipta, Tuhan mempunyai kuasa untuk mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi. Masyarakat Manggarai percaya bahwa Tuhan itu adalah roh dan Ia tinggal di suatu tempat tertentu, manusia dan alam tidak berdaya terhadap kuasa-Nya. Berikut ini akan diuraikan mengenai go’et Manggrai untuk tujuan religi. (32) Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang’n eta Ungkapan Mori agu Ngara’n ata Jari Dedek tana wa awang eta merupakan gambaran kepercayaan masyarakat Manggarai yang meyakini adanya kekuasaan tertinggi, melebihi daya jangkauannya, yang mempunyai kuasa untuk menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. (33) Imbi Mori’n ai Hia ata Dedek ite - Mori Jari agu Dedek Ungkapan imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek merupakan sebuah ungkapan gambaran kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui bahwa hanya Tuhan-lah yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang menciptakan manusia beserta alam semesta dan segala isinya. (34) Mori ata pukul par agu kolep Ungkapan Mori ata pukul par agu kolep merupakan gambaran kepercayaan masyarakat Manggarai yang mengakui kekuasaan Tuhan sebagai Pencipta tak terbatas oleh waktu, dari terbitnya matahari hingga terbenamnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
(35) Mori nipu riwu ongko do Ungkapan Mori nipu riwu ongko do merupakan gambaran kepercayaan orang Manggarai yang menyakini bahwa Tuhan Allah-lah yang mengatur segala sesuatu yang ada di muka bumi. Segala sesuatu yang terjadi pada manusia adalah atas kehendak Tuhan sebagai seorang penguasa dan pencipta. Manusia hanya bisa pasrah dan tunduk pada kekuasaan-Nya. (36) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n - toe nganceng kepe’n ngoeng de Dedek Ungkapan toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n - toe nganceng kepe’n ngoeng de dedek merupakan gambaran keyakinan orang Manggarai yang meyakini bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Tuhan sebagai Sang Pencipta. Apa pun itu jika sudah menjadi kehendak Tuhan pasti akan terjadi. (37) Suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping jari Ungkapan suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping Jari merupakan gambaran kepercayaan serta keyakinan orang Manggarai yang selalu mengucap syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan. (38) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n bate Jari agu Dedek Ungkapan io agu naring Mori’n agu Ngara’n bate Jari agu dedek merupakan gambaran keyakinan orang Manggarai, bahwa sebagai Sang Pencipta, Tuhan harus disembah dan dipuji karena telah memberikan kehidupan bagi mausia. (39) Hiang Hia ata pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau awang’n eta - tana’n wa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Ungkapan hiang Hia ata pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le -wa’in lau awang’n eta - tana’n wa merupakan gambaran kewajiban orang Manggarai untuk menghormati Tuhan sebagai Pencipta yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas waktu, mengatur segala sesuatu yang ada di bumi, sebagai ungkapan rasa syukur atas segala karunia yang telah diberikan Tuhan. (40) Pong dopo ngalor masa Ungkapan pong dopo ngalor masa merupakan gambaran kepercayaan orang Manggarai yang meyakini bahwa di daerah berawa-rawa atau di palungan air yang kering, dihuni oleh makhluk halus yang bisa mendatangkan kesejahteraan sekaligus mendatangkan bencana. Walaupun mengakui Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, namun orang Manggarai juga meyakini ada kekuatan lain yang ada di muka bumi, berada di bawah kekuasaan Tuhan sebagai pencipta tetapi dapat mempengaruhi kehidupan manusia. (41) Hau muing be sina - ami muing be ce’e Ungkapan hau muing be sina - ami muing be ce’e merupakan sebuah doa agar orang yang telah meninggal tidak mengganggu keluarganya yang masih hidup. Ungkapan tersebut diucapkan oleh tetua adat pada saat upacara adat kematian. (42) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung Ungkapan porong hau kali pangga pa’ang - nggalu nggaung merupakan sebuah doa yang diucapkan oleh tetua adat pada saat upacara kematian. (43) Amé rinding mane - iné rinding wié (44) Ronan eta mai - winan wa mai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Ungkapan (43) dan (44) merupakan sebutan metonimis untuk Wujud Tertinggi. Ungkapan tersebut menggambarkan keyakinan orang Manggarai yang meyakini bahwa sebagai Wujud Tertinggi, Tuhan tidak hanya sekedar menciptakan manusia, tetapi Ia juga menjaga dan selalu menyertai manusia dalam keseharian mereka. (45) Mori Kraeng Ungkapan Mori Kraeng merupakan nama metonimis untuk Wujud Tertinggi. Nama tersebut sering diucapkan dalam doa-doa pribadi orang Manggarai.. (46) Porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise Ungkapan porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise digunakan pada saat upacara adat kematian kematian. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang berfungsi untuk menguatkan keluarga yang ditinggalkan. (47) Boto hamar one anak - dedam one wela - pao one bangkong Ungkapan boto hamar one anak - dedam one wela - pao one bangkong digunakan pada saat upacara ada kematian dan upacara penti, yang diucapkan oleh tetua adat. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa yang ditujukan kepada roh atau arwah para leluhur agar tidak mengambil keluarganya yang masih hidup. Untuk itu, para arwah tersebut diberi persembahan berupa sesajen. (48) Porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise Ungkapan porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise merupakan sebuah doa yang diucapkan oleh tetua adat pada saat upacara adat kematian, untuk menguatkan keluarga yang tertimpa musibah atau keluarga yang ditinggalkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
3.3.3 Go’ét yang Berfungsi untuk Tujuan Sosial Go’ét yang berfungsi untuk tujuan sosial merupakan tindak tutur lokusi karena hanya mengandung sebuah pesan atau informasi. Pesan atau informasi tersebut diucapkan dari mulut ke mulut, untuk berbagai kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut ini diuraikan mengenai fungsi go’et untuk tujuan sosial: (49) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil - padir wa’i rentu sa’i-manik deu main Ungkapan reje lele bantang cam - pantil cama laing kudut agil - padir wa’i rentu sa’i - manik deu main mengandung nilai sosial yang berfungsi untuk mengatur tata kehidupan sosial dalam masyarakat. (50) Gendang oné - lingko’n pé’ang Ungkapan gendang oné - lingko’n pé’ang berfungsi untuk menyatakan hak kepemilikan atas suatu wilayah, yang sering diucapkan tetua adat pada saat upacaraupacara adat. (51) Neki weki manga ranga kudut bantang pa’ang olo - nggaung musi Ungkapan neki weki manga ranga kudut bantang pa’ang olo - nggaung musi berfungsi untuk menyatakan rasa persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam mengambil suatu keputusan dilakukan melalui musyawarah bersama yang melibatkan semua anggota masyarakat. (52) Boto cuku nungan retak cepa - pora raci
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Ungkapan boto cuku nungan retak cepa - pora raci digunakan dalam istilah adat untuk mendamaikan orang yang bermusuhan. (53) Temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i Ungkapan temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i diucapkan oleh tetua adat ketika hendak membuka sebuah ladang baru. Ungkapan tersebut merupakan sebuah doa serta harapan dari para petani agar tanah di ladang yang digarap selalu subur, seperti halnya tanaman jengok dan wiko yang tak pernah mati walaupun di musim kemarau, sehingga para petani dapat mengandalkan hasil panen dari kebun yang digarap untuk memenuhi kebutuhan hidup. (54) Lada meka weru (55) Cai ata le mai puar Ungkapan (54) dan (55) digunakan dalam lingkungan masyarakat berupa percakapan untuk mengabarkan bahwa seorang wanita telah melahirkan anaknya. (56) Wulang linga (57) Rompe one (58) Mamur wulang Ungkapan (56), (57), dan (58) digunakan dalam lingkungan masyarakat berupa percakapan untuk mengabarkan bahwa seorang wanita (yang telah berumah tangga) sedang hamil. (59) Mbelos du lewo - pa’u du nggaung Ungkapan mbelos du lewo - pa’u du nggaung digunakan dalam lingkungan masyarakat berupa percakapan untuk mengabarkan bahwa seorang ibu telah mengalami keguguran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
(60) Penti weki - peso beo Ungkapan penti weki - peso beo digunakan pada saat upacara syukuran atas hasil panen, yang diucapkan oleh tetua adat di depan seluruh warga kampung pada saat melakukan proses ritual untuk memulai upacara syukuran. (61) Rekok reme lebon - ro’e lari ngoeln - gencok neho gentok - loda neho wela (62) Dempok neho teu - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo Ungkapan (61) dan (62)
biasa diucapkan oleh para ibu sebagai sebuah
bentuk ungkapan kesedihan karena anaknya meninggal pada usia kanak - kanak. (63) Purak mukang - wajo kampong Ungkapan purak mukang - wajo kampong digunakan untuk mengabarkan bahwa sebuah kampung telah diserang oleh musuh. (64) Ngampang tana - ngawe wae Ungkapan ngampang tana -ngawe wae digunakan sebagai sebuah peringatan terhadap musuh agar tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan atau disepakati. (65) Neka hemong kuni agu kalo Ungkapan neka hemong kuni agu kalo digunakan untuk mengingatkan serta mengajak seluruh warga masyarakat Manggarai untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air atau tanah kelahiran serta tidak melupakan kebiasaan di tanah kelahiran (khusus untuk orang yang merantau).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
3.3.4 Go’ét yang Berfungsi untuk Menyindir Go’ét yang berfungsi untuk menyindir merupakan tindak tutur perlokusi karena mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkannya, yaitu merasa malu. Efek dari tuturan tersebut adalah orang yang bersangkutan akan merasa jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Berikut ini diuraikan mengenai fungsi go’et yang digunakan untuk menyindir: (66) Raup cama rawuk - remong cama kebok Ungkapan raup cama rawuk - remong cama kebok digunakan untuk menyindir pernikahan sepasang pengantin yang sama-sama berasal dari keluarga miskin. (67) Nggepo kebor - dael tange (68) Kemu nggencung - nggépo kébor Ungkapan (67) dan (68) digunakan untuk menyindir seorang gadis yang datang menyerahkan dirinya kepada sang pacar untuk dijadikan istri, tanpa melalui prosedur adat. Ungkapan tersebut digunakan oleh mertua untuk menyindir menantunya bila ada sifat atau tutur kata menantu yang kurang berkenan di hati sang mertua. (69) Neho anak wara ata toe di loda putes Ungkapan neho anak wara ata toe di loda putes digunakan untuk menyindir orang dewasa yang bertingkah laku kekanak - kanakkan. (70) Neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Ungkapan neka maring jarang laki-neka tinang jarang kina digunakan untuk menyindir keluarga pengantin laki-laki agar segera melunasi pembayaran belis, yang diucapkan oleh keluarga pengantin wanita. (71) Teti toe decing - lako toe baro Ungkapan teti toe decing - lako toe baro digunakan untuk menyindir orang yang pergi tanpa pamit ketika hendak pulang atau bepergian ke suatu tempat. (72) Oke rona ngoeng - di’an lelo ilang Ungkapan oke rona ngoeng - di’an lelo ilang merupakan sindiran untuk seorang istri yang melakukan hubungan badan dengan pria lain. Ungkapan tersebut berupa percakapan di kalangan ibu rumah tangga atau berupa lagu yang dinyanyikan oleh kaum pria (http:// kuniagukalo.blogspot.com). Selain sebagai sindirin, ungkapan tersebut juga merupakan sebuah nasihat dari para orang tua kepada anak gadisnya agar setelah hidup berumah tangga tetap setia pada pasangan hidup, mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. (73) Ca pujut kali nuk - dako kali anor Ungkapan ca pujut kali nuk - dako kali anor digunakan untuk menyindir orang yang berpikiran dangkal, melakukan segala sesuatu dengan terburu-buru tanpa pertimbangan yang matang, mengenai segala resiko yang kelak akan dihadapi. (74) Sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa (75) Tu’ung le mu’u - toe le nai Ungkapan (74) dan (75) digunakan untuk menyindir orang yang bermuka dua. Selain sebagai sindiran, ungkapan tersebut juga berfungsi sebagai sebuah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
nasihat dari orang tua kepada anaknya agar berhati - hati dalam memilih teman dalam lingkungan pergaulan, serta tidak mudah percaya pada ucapan seseorang. (76) Tekur cai retuk - lawo cai bao (77) Anak koe loas weru Ungkapan (76) dan (77) digunakan untuk menyindir orang yang belum berpengalaman dalam bidang pekerjaan. (78) Loma wina data Ungkapan loma wina data digunakan untuk menyindir seorang lelaki yang berzinah dengan istri orang. (79) Anak bera Ungkapan anak bera digunakan untuk menyindir anak yang lahir sebagai hasil perselingkuhan ibunya dengan seorang lelaki di luar perkawinan resmi untuk tujuan insultif (penghinaan). Ungkapan tersebut biasa diucapkan di kalangan anakanak usia bermain. ( 80) Anak pencang wa - ende lomes kole Ungkapan anak pencang wa - ende lomes kole digunakan untuk menyindir seorang janda yang lupa akan kewajibannya sebagai seorang ibu yang mengurus dan merawat anaknya melainkan sibuk berdandan dan menggoda lelaki lain. ( 81) Hi nana lelo tana - hi enu lelo awang Ungkapan hi nana lelo tana - hi enu lelo awang digunakan untuk menyindir orang yang melanggar norma susila (melakukan hubungan seks sebelum menikah / di luar perkawinan resmi). (82) Lage loce toko de rona
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Ungkapan lage loce took de rona digunakan untuk menyindir seorang istri yang berselingkuh dengan lelaki lain di kamarnya sendiri. (83) Anak cir wua labe agu wua conco Ungkapan anak cir wua labe agu wua conco digunakan untuk menyindir seorang wanita yang mempunyai banyak kekasih. (84) Ine wai roto tong - beka lenga Ungkapan ine wai roto tong - beka lenga digunakan untuk menyindir wanita tuna susila. (85) Tepi tana mbokang wae Ungkapan tepi tana mbokang wae digunakan untuk menyindir orang yang melakukan perbuatan asusila. (86) Reba molas Ungkapan reba molas digunakan untuk menyindir pasangan selingkuh, biasa diucapkan oleh para ibu dalam pergaulan di lingkungan masyarakat. (87) Congka lobo boa Ungkapan congka lobo boa digunakan untuk menyindir seorang janda yang selalu menggoda lelaki lain . (88) Hang toe tanda - inung toe nipu Ungkapan hang toe tanda - inung toe nipu digunakan untuk menyindir orang yang berselingkuh. (89) Ngong ata lombong lala- kali weki run lombong muku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
Ungkapan ngong ata lombong lala - kali weki run lombong muku digunakan untuk menyindir seseorang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain padahal ia sendiri mempunyai kesalahan yang lebih besar. (90) Wae de mendi Ungkapan wae de mendi digunakan untuk tujuan insultif (penghinaan), biasa diucapkan oleh kaum bangsawan kepada bawahannya. (91) Mejok deko - ngguing wuli - lelak medak - momang nggotak Ungkapan mejok deko - ngguing wuli - lelak medak - momang nggotak digunakan untuk menyindir seorang wanita yang tak pernah menolak bila diajak atau didekati oleh lelaki. Selain digunakan sebagai sindiran, ungkapan tersebut juga merupakan sebuah nasihat dari para orang tua kepada anak gadisnya agar tidak terbuai oleh rayuan lelaki. Kaum wanita harus mempertahankan harga diri dan kehormatannya sebagai seorang perempuan sehingga tidak disia-siakan oleh lelaki.
3.3.5 Go’ét yang Berfungsi dalam Perkawinan Adat Manggarai Berikut akan diuraikan mengenai fungsi go’et yang digunakan dalam perkawinan adat Manggarai: (92) Baro ranggong - api pesa Ungkapan baro ranggong - api pesa merupakan salah satu istilah dalam perkawinan adat. Ungkapan tersebut diucapkan oleh juru bicara keluarga pihak lakilaki kepada orang tua calon pengantin wanita pada saat acara lamaran atau tunangan. (93) Ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Ungkapan ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau diucapkan oleh seorang pemuda untuk menyatakan keinginannya untuk meminang gadis pujaan hatinya. (94) Tu’us wa - cangkém éta - donggo mata olo - donggé mata one Ungkapan tu’us wa - cangkem eta - donggo mata olo - dongge mata one digunakan sebagai salah satu istilah dalam perkawinan adat, untuk perkawinan sepasang pengantin yang tinggal di rumah orang tua pengantin wanita setelah menikah karena pihak anak wina (pihak penerima istri atau keluarga pengantin lakilaki) belum menyerahkan belis yang diminta oleh pihak anak rona (pihak pemberi istri atau keluarga pengantin wanita). (95) Cikat kina - wagak kaba Ungkapan cikat kina - wagak kaba digunakan dalam upacara peresmian perkawinan adat Manggarai setelah semua belis diserahkan oleh pihak anak wina kepada pihak anak rona. (96) Céhi ri’i - wuka wancang - radi ngaung Ungkapan cehi ri’i - wuka wancang - radi ngaung adalah salah satu istilah dalam perkawinan adat Manggarai, digunakan untuk perkawinan adat sepasang pengantin yang belum sampai pada upacara wagal karena belis belum dibayar lunas oleh pihak anak wina. (97) Pase sapu - selek kope - weda rewa - tuke mbaru Ungkapan pase sapu - selek kope - weda rewa - tuke mbaru digunakan ketika meminang seorang gadis. (98) Pana mata leso (99) Kepu munak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Ungkapan (98) dan (99) digunakan untuk membuang dosa perzinahan yang dilakukan oleh pasangan selingkuh. (100) Jarang pentang majung Ungkapan jarang pentang majung digunakan dalam perkawinan adat Manggarai untuk seorang laki-laki yang menikah dengan seorang janda. (101) Polis wisi loced ga Ungkapan polis wisi loced ga digunakan sebagai salah satu istilah dalam perkawinan adat Manggarai untuk sepasang kekasih yang telah menikah secara adat. (102) Api toe caing - wae toe toe haeng Ungkapan
api toe caing - wae toe toe haeng digunakan ketika hendak
meminang wanita tungku yang diucapkan oleh juru bicara dari keluarga pihak lakilaki. (103) Nggoléng locé - daél tangé Ungkapan nggoleng loce - dael tange digunakan untuk perkawinan adat yang dilaksanakan tanpa melibatkan anggota keluarga calon pengantin laki-laki atau pihak anak rona. Segala urusan dalam perkawinan adat diurus oleh calon pengantin lakilaki. (104) Kolé okan mokang - kolé ramin laki Ungkapan kole okan mokang - kole ramin laki digunakan pada saat upacara pemutusan hubungan pertunangan sepasang pengantin. (105) Cawi neho wuas - dole neho ajos Ungkapan cawi neho wuas - dole neho ajos digunakan dalam upacara peresmian adat perkawinan. Ungkapan tersebut berfungsi sebagai sebuah doa serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
harapan dari orang tua kepada sepasang pengantin baru agar dijauhkan dari segala mara bahaya yang dapat mengganggu kelancaran hidup berumah tangga. (106) Bom salang tuak - maik salang wae Ungkapan bom salang tuak - maik salang wae digunakan pada saat upacara wagal, diucapkan oleh juru bicara pihak anak wina kepada pihak anak rona untuk meminta penundaan pembayaran widang dan wida yang diberikan oleh orang tua pengantin wanita setelah menikah.
3.3.6 Go’ét yang Berfungsi untuk Menyatakan Hubungan Kekerabatan Go’ét yang berfungsi untuk menyatakan hubungan kekerabatan merupakan tindak tutur lokusi dan ilokusi. Selain mengandung sebuah informasi atau pesan, tindak tutur tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan sesuatu, berdasarkan informasi yang disampaikan. Berikut diuraikan mengenai fungsi go’et yang digunakan dalam proses pergantian keturunan: (107) Eme wakak betong - asa manga waken nipu rae (108) Beté wasé biring waé - tungku kolé ndawir wali (109) Nio loda do - waen oke sale (110) Na’a waen pake - na’a uten kuse (111) Muku ca pu’u - neka woleng curup (112) Teu ca ambu - neka woleng wintuk (113) Ipung ca tiwu - neka woleng wintuk (114) Nakeng ca wae - neka woleng tae
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Ungkapan (107), (108), dan (109) berfungsi untuk menyatakan sebuah garis keturunan dari suatu klan atau untuk menyatakan pergantian keturunan (raja, kepala suku, tetua adat, dan lain-lain). Ungkapan (110) merupakan tindak tutur lokusi, yaitu sebuah informasi yang menyatakan bahwa sifat orang tua akan menurun pada anaknya. Sifat seorang anak tidak akan berbeda jauh dari sifat orang tuanya. Ungkapan (111), (112), (113), dan (114) merupakan tindak tutur ilokusi karena selain mengandung informasi, juga mengandung maksud untuk melakukan sesuatu berdasarkan isi pesan atau informasi penutur, yaitu diharapkan dalam suatu garis keturunan (satu keluarga) harus hidup rukun, berdampingan satu sama lain dan harus seia-sekata. (115) Weki toe pecing - ranga toe tanda Ungkapan weki toe pecing - ranga toe tanda digunakan ketika ada orang asing yang masuk ke suatu daerah / wilayah (perkampungan). (116) Bom tombo le run rukus - bom tura le run kula Ungkapan bom tombo le run rukus - bom tura le run kula digunakan oleh para orang tua berupa percakapan di lingkungan masyarakat bahwa sikap atau tabiat seseorang dapat menentukan asal-usulnya.
3.3.7
Go’ét yang Berfungsi untuk Tujuan Etis dan Estetis Go’ét yang berfungsi untuk tujuan etis dan estetis merupakan tindak tutur
lokusi karena hanya mengandung sebuah pesan atau informasi tanpa mempunyai maksud untuk melakukan sesuatu. Berikut diuraikan mengenai fungsi go’et yang digunakan untuk tujuan etis dan estetis:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
(117) Bengkar leke cebong (118) lerong welu Ungkapan (117) dan (118) biasa diucapkan oleh para ibu berupa percakapan dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan masyarakat ketika melihat anak gadis mereka telah menginjak usia remaja. (119) Anak ata ba le potang (120) Anak lerong Ungkapan (117), (118), (119), dan (120) biasa digunakan dalam pergaulan di lingkungan masyarakat. Ungkapan-ungkapan tersebut digunakan untuk tujuan etis agar tidak menyinggung perasaan orang yang sedang dibicarakan. (121) Tombo ata ba de buru Ungkapan tombo ata ba le buru mengandung nilai estetis (keindahan), digunakan dalam pergaulan di lingkungan masyarakat untuk menyampaikan sebuah kabar yang belum pasti. (122) Ine wina loce kambu de kraeng Ungkapan ine wina loce kambu de kraeng digunakan untuk seorang wanita simpanan seorang bangsawan, yang berfungsi untuk tujuan etis. (123) Pa’u pacu Ungkapan pa’u pacu digunakan untuk perawan tua, yang berfungsi untuk tujuan etis. (124) Kawe woja wole - long latung coko (125) Long bombo - kawe mbaek (126) Long latung coko - kawe woja mbaek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Ungkapan (124), (125), dan (126) berfungsi untuk tujuan estetis (keindahan), yang digunakan sebagai sebutan untuk orang - orang yang pergi merantau demi merubah nasib. (127)
Reba racang nggis - molas cerep nggis
Ungkapan reba racang nggis - molas cerep nggis berfungsi untuk tujuan etis dan estetis yang diucapkan oleh para orang tua berupa percakapan dalam lingkungan sosial masyarakat.
3.3.8
Go’ét yang Berfungsi untuk Memuji Go’ét
yang
berfungsi untuk memuji merupakan tindak tutur perlokusi
karena tuturan tersebut mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarkannya, yaitu merasa senang atau bangga karena dipuji. Berikut ini diuraikan mengenai fungsi go’et yang digunakan untuk memuji seseorang : (128) Ranga neho lasar pandang - pacu’n neho lasar pau Ungkapan ranga neho lasar pandang - pacu’n neho lasar pau biasa diucapkan oleh seorang pemuda untuk memuji atau mengagumi kecantikan seorang wanita. (129) Tiwu lele - lewing lembak (130) Nai anggil - tuka ngengga Ungkapan (129) dan (130) digunakan untuk memuji sifat seseorang (khususnya seorang pemimpin) yang sabar dan bijaksana dalam menyikapi segala persoalan dalam kehidupan bermasyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3.3.9
107
Go’et yang Berfungsi untuk Mengutuk Berikut ini diuraikan mengenai fungsi go’et yang digunakan untuk mengutuk:
(131) Mempo neho elong - puta neho munak Ungkapan mempo neho elong - puta neho munak digunakan untuk mengutuk seseorang yang telah melakukan tindakan kejahatan (mencuri, membunuh). Ungkapan tersebut merupakan tindak tutur perlokusi karena mempunyai efek, yaitu penutur mengharapkan agar orang yang melakukan tindakan kejahatan akan mati dan musnah atau hancur seperti ketela hutan dan batang pisang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan mengenai makna dan fungsi go’ét (ungkapan tradisional) Manggarai, dapat disimpulkan sebagai berikut: Go’ét sudah lama dikenal masyarakat Manggarai karena merupakan milik masyarakat Manggarai, namun hanya segelintir orang yang menguasai serta memahami go’ét dengan baik dan sempurna. Go’ét umumnya hanya dikuasai dengan baik dan sempurna oleh para orang tua tertentu di lingkungan masyarakat Manggarai (tetua adat, tokoh masyarakat) sedangkan dalam lingkungan orang-orang muda termasuk para intelektual, sangat jarang yang menguasainya apalagi menghafalnya. Jenis-jenis makna yang terdapat dalam go’et (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai adalah makna literal dan makna figuratif, dalam hal ini makna idiom dan makna kias. Go’et merupakan sebuah peribahasa, perumpamaan, bahasa kiasan serta kata-kata bijak yang digunakan untuk berbagai kepentingan tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai. Untuk dapat memahami pesan atau maksud yang disampaikan penutur, orang harus memahami situasi serta kondisi ketika go’ét diucapkan. Go’et merupakan tindak tutur lokusi, ilokusi, dan tindak tutur perlokusi. Tindak tutur tersebut digunakan untuk menganalisis maksud ujaran penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra wicara (pendengar). Manusia berbudaya memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan pesan dan mengungkapkan pikiran atau isi hatinya. Demikian halnya dengan masyarakat
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Manggarai yang menggunakan go’et sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada lawan bicara, yaitu sarana yang dianggap paling tepat dengan tetap berpegang teguh pada adat-istiadat serta norma yang berlaku di lingkungan masyarakat. Sebagai sebuah sarana dalam menyampaikan pesan, go’et mengandung nilai-nilai serta norma yang menjadi pegangan serta pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain, nilai pendidikan, nilai religi, nilai moral, nilai sosial, nilai etis, dan nilai estetis. Nilai-nilai tersebut harus diketahui serta dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat demi kelancaran dan kelangsungan hidup bermasyarakat serta untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan seratus tiga puluh satu buah tujuh ungkapan tradisional yang terdapat dalam lingkungan Manggarai. Ungkapanungkapan tersebut masih banyak yang tersebar luas dalam lingkungan masyarakat Manggarai dan belum berhasil dikumpulkan secara lengkap karena beberapa alasan tertentu. Ungkapan-ungkapan tersebut antara lain, ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berjumlah enam belas buah, berkaitan dengan kegiatan hidup berjumlah dua puluh satu buah, ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan berjumlah tiga buah, ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan berjumlah delapan buah, ungkapan yang berkaitan dengan status sosial seseorang berjumlah dua buah, ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia berjumlah enam puluh delapan buah, ungkapan yang berkaitan dengan ejekan berjumlah satu buah, dan ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan berjumlah tiga belas buah. Ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berfungsi untuk menggambarkan relasi masyarakat Manggarai dengan Sang Pencipta. Dalam kehidupan sehari-hari,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
ungkapan tersebut digunakan sebagai nasihat dari para orang tua kepada generasi muda yang berfungsi untuk mendidik moral para generasi muda. Dalam upacaraupacara tradisional, ungkapan yang berkaitan dengan kepercayaan berfungsi sebagai sebuah doa, pujian, serta harapan dari umat manusia
kepada Sang Pencipta.
Ungkapan yang berkaitan dengan kegiatan hidup berfungsi untuk menggambarkan keseharian masyarakat Manggarai dalam memenuhi kebutuhan hidup, serta mengungkapkan relasi dalam kehidupan bermasyarakat. Ungkapan yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan berfungsi untuk memperhalus kata / ucapan seseorang ketika hendak menyampaikan keinginan atau maksud tertentu dengan menggunakan bahasa kiasan. Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan berfungsi untuk mengatur tata kehidupan sosial dalam masyarakat, mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam lingkungan keluarga, ungkapan yang berkaitan dengan bahasa larangan digunakan sebagai nasihat para orang tua kepada para generasi muda agar tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Ungkapan yang berkaitan dengan bahasa rahasia digunakan
untuk berbagai kepentingan dalam masyarakat,
diantaranya untuk tujuan etis dan estetis, untuk menyindir, dan lain-lain. Ungkapan yang berkaitan dengan ejekan berfungsi untuk mengejek atau untuk menyindir seseorang. Ungkapan yang menunjukkan pertalian kekeluargaan berfungsi untuk mengungkapkan hubungan kekerabatan dalam lingkungan keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
4.2 Saran Dari hasil
penelitian
mengenai makna dan fungsi go’ét (ungkapan
tradisional) dalam bahasa Manggarai, dapat disimpulkan
bahwa
tidak semua
masyarakat Manggarai mengetahui serta menguasai go’ét dengan baik dan sempurna. Umumnya, go’ét hanya dikuasai dengan baik dan sempurna oleh para orang tua tertentu dalam lingkungan masyarakat Manggarai (tokoh adat, tokoh masyarakat). Hal tersebut terjadi karena proses pewarisan go’ét dilakukan melalui jalur informal dalam lingkungan masyarakat, yaitu pada saat upacara-upacara tradisional. Suatu hari nanti istilah go’ét akan hilang jika para penutur lisan telah meninggal dunia. Saran peneliti, sebaiknya proses pewarisan budaya go’ét Manggarai dilakukan melalui jalur pendidikan formal. Untuk penelitian selanjutnya, penelitian mengenai makna dan fungsi go’ét (ungkapan tradisional) dalam bahasa Manggarai
dikaji secara lebh mendetail,
misalnya dari segi gaya bahasa yaitu jenis-jenis gaya bahasa yang terdapat dalam go’et (ungkapan tradisional) Manggarai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA Athaillah dkk.1989. Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi Kebudayaan di Aceh. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Badudu, J.S.208. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Jakarta : Kompas. Chaer, Abdul.1984. Kamus Idiom Bahasa Indonesia. Ende : Nusa Indah. ___________1989. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Gaffar, Zainal Abidin. 1989. Struktur Lisan Musi. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Got, Nicolaus.2007. Tesis. Makna Adat - Istiadat Leluhur Putri Nggerang - Budaya dan Pariwisata Manggarai Bagi Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Hemo, Doroteus. 1988. Sejarah Daerah Manggarai Propinsi Nusa Tenggara Timur. Http: // Kraengadhy. Blogspot.com / 2009 / 05 / Sekilas Sejarah Manggarai. Html. Download April 2010. Http : // www.Pos- Kupang .com / read / artikel / 31664. Pembagian wilayah Manggarai. Download Juli 2010. Http : // Kuniagukalo.blogspot.com.download Juli 2010. Janggur, Petrus. 2008. Butir-Butir Adat Manggarai I. Ruteng : Percetakan Artha Gracia. ________ 2010. Butir-Butir Adat Manggarai II. Ruteng : Penerbit Yayasan Siri Bongkok. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : Balai Pustaka. Keraf, Gorys. 1987. Komposisi : Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende : Nusa Indah. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Mahjunir. 1967. Antropologi dan Kebudayaan. Jakarta: Bharatara. Mahsun, M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Nggoro, Adi M. 2004. Budaya Manggarai : Selayang Pandang. Ende : Nusa Indah. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguis. Yogyakarta : Duta Wacana University Press. Suarjana, I Nyoman dkk. 1995. Sastra Lisan Tetun. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Verheijen, Jilis. 1967. Kamus Manggarai – Indonesia. Koninklijk Institut Voor Taal – Land – en Volkenkunde. ___________1991. Manggarai dan Wujud Tertinggi. Seri LIPI – RUL Jilid I. Jakarta : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesian Institute Of Sciences) dan Universitas Negeri LEIDEN (Rijksuniversiteit te Leiden) Leiden, negeri Belanda. Wijaya, Choki. 2010. Buku Peribahasa Paling Lengkap. Yogyakarta: Second Hope. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. ___________________.1998. Reader Semantik. Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
NARA SUMBER 1. Nama
: Aloysius Cences
Tempat / tanggal lahir
: Meler, 31 Desember 1960
Asal
: Meler Kecamatan Ruteng , Kabupaten Manggarai
Pekerjaan
: pegawai negeri sipil
2. Nama
: Bruno Agut, BA
Tempat / tanggal lahir
: Lasang, 12 Agustus 1944
Pekerjaan
: pensiunan pegawai negeri sipil
Asal
:
Lasang, Desa Benteng Suru, Kecamatan Kubus,
Kabupaten
Manggarai
(berdomisili
di
Cancar
Kecamatan Ruteng). 3. Nama
: Petrus Janggur, BA
Tempat / tanggal lahir
: Cancar, 20 September 1947
Pekerjaan
: pensiunan pegawai negeri sipil
Asal
: Cancar Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai.
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
DAFTAR GO’ET (UNGKAPAN TRADISIONAL) MANGGARAI A. Go’et yang Berkaitan dengan kepercayaan (1) Morin agu Ngara’n ata Jari agu Dedek tana wa awang’n eta (2) Imbi Mori’n ai Hia ata dedek ite - Mori Jari agu Dedek (3) Mori ata pukul par agu kolep (4) Mori nipu riwu ongko do (5) Toe nganceng pangga’n kuasa de Ngara’n - toe nganceng kepe’n ngoeng de Dedek (6) Suju neka tumpus - ngaji neka caling - ngaji bilang bari kamping Jari (7) Io agu naring Mori’n agu Ngara’n - bate Jari agu Dedek (8) Hiang Hi ata pukul par’n awo - kolep’n sale - ulun le - wa’in lau -awang etatana’n wa (9) Mori Keraeng (10) Ronan eta mai - winan wa mai (11) Ame rinding mane - ine rinding wie (12) Pong dopo- ngalor masa (13) Hau muing be sina - ami muing be ce’e (14) Porong hau kali pangga pa’ang - nggalu ngggaung (15) Boto hamar one anak - dedam one wela – pao one bangkong B. Go’et yang Berkaitan dengan Kegiatan Hidup (16) Duat gula - we’e mane - dempul wuku - tela toni (17) Hiang ata ko hae etam - nggoes wale oe - inggos wale io (18) Reje lele bantang cama - pantil cama laing kudut agil - padir wa’i - rentu sa’i - manik deu main (19) Bahi gici arit - cingke gici irat (20) Duat nggerpe’ang uma sama rangka lama - we’e nggerone mbaru sama rege ruek 115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
(21)
Kantis ati - racang rak - cengka lemas = kantis nai rai ati
(22)
Na’a nggere wa rak - na’a ngger eta lemas
(23)
Kole le mai selendang laing tarik
(24)
Lalong pandong du ngo - lalong rombeng du kole
(25)
Lalong bakok du lako - lalong rombeng du kole
(26)
Pase sapu kole mbaru - pake panggal kole tana
(27)
Asam ndusuk tana ru - konem lalen tana sale
(28)
Gendang one - lingkon pe’ang
(29)
Temek wa - mbau eta - jengok le ulu - wiko lau wa’i
(30)
Uwa haeng wulang - langkas haeng ntala
(31) Neka ngonde holes - neka mejeng hese (32) Toing le toming - tae le pande (33) (34)
Toe ngoeng te karukak ka’eng tana Toe mbasa saek - toe woro waes tipek
(35) Penti weki - peso beo (36) Porong asi koe irus one isung - lu’u one mata - one kilo dise C. Go’et yang Berfungsi untuk Mengenakkan Pembicaraan (37)
Boto cuku nungan retak cepa - pora raci
(38) Baro ranggong api pesa (39) Ita kala le pa’ang - tuluk pu’u batu mbau D. Go’et yang Berkaitan dengan Bahasa Larangan (40) Neka inung toe nipu - neka hang toe tanda - neka lage loce toko data (41) Neka ngoeng ata - neka jurak - neka lage loce toko data (42) Eme inung toe nipu - hang toe tanda - anggom le - anggom lau - ro’e ngoelrekok lebo - cemol de mosem (43) Neka tuku takak - neho lema de nggalang (44) Neka beti nai agu mas mata (45) Neka wa’ek lewing nare (46) Neka conga bail boto poka bokak - neka tengguk bail boto kepu tengu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
(47) Neka bea betan - ngampang be wan E. Go’et yang Berkaitan dengan Status Sosial Seseorang (48) Raup cama rawuk - remong cama kebok (49) Kasiasi ceheng ati toe le jaji - lengge da’at ceheng tana toe le nanang F. Go’et yang Berkaitan dengan Bahasa Rahasia (50) Bengkar leke cebong (51) Lerong welu (52) Anak bera (53) Anak ata ba le potang (54) Anak lerong (55) Ine wina loce kambu de kraeng (56) Tombo ata ba de buru (57) Tu’us wa - cangkem eta - donggo mata olo - dongge mata one (58) Kawe woja wole - latung coko (59) Long bombo - kawe mbaek (60) Long latung coko - kawe woja mbaek (61) Cawi neho wuas - dole neho ajos (62) Reba racang nggis - molas cerep nggis (63) Nggepo kebor - dael tange (64) Kemu nggencung - nggepo kebor (65) Ine wai roto tong - beka lenga (66) Anak cir wua labe agu wua conco (67) Ranga neho lasar pandang - pacun neho lasar pau (68) Cikat kina - wagak kaba (69) Cehi ri’i - wuka wancang - radi nggaung (70) Neka maring jarang laki - neka tinang jarang kina (71) Pase sapu - selek kope - weda rewa - tuke mbaru (72) Anak pencang wa - ende lomes kole (73) Hi nana lelo tana - hi enu lelo awang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
(74) Loma wina data (75) Pana mata leso (76) Kepu munak (77) Jarang pentang majung (78) Lage loce toko de rona (79) Polis wisi loced ga (80) Api toe caing - wae toe haeng (81) Hang toe tanda - inung toe nipu (82) Tepi tana - mbokang wae (83) Neho anak wara ata toe di loda putes (84) Lada meka weru (85) Cai ata le mai puar (86) Mbelos du lewo – pa’u du ngaung (87) Wulang linga (88) Rompe one (89) Mamur wulang (90) Peci pase sapu - selek kope (91) Oke rona ngoeng - di’an lelo ilang (92) Reba - molas (93) Nggoleng loce - dael tange (94) Pa’u pacu (95) Bom salang tuak - maik salang wae (96) Rekok reme lebon - ro’e reme ngoel’n - gencok neho gentok - loda neho wela (97) Dempok neho teu - gencok neho gentok - ro’e ngoel - rekok lebo (98) Kole okan mokang - kole ramin laki (99) Wae de mendi (100) Congka lobo boa (101) Mejok deko - ngguning wuli - lelak medak - momang nggotak (102) Mohasn na’a ronag - kali rona agu koka - jurak’n na’a tu’ag - kali tu’a agu kula (103) Teti toe decing - lako toe baro
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
(104) Ca pujut kali nuk - dako kali anor (105) Tiwu lele - lewing lembak (106) Nai nganggil - tuka ngengga (107) Purak mukang - wajo kampong (108) Ngampang tana - ngawe wae (109) Sesa mu’u eta - kali ngampang kin tuka wa (110) Tu’ung le mu’u - toe le nai (111) Tekur cai retuk - lawo cai bao (112) Anak koe loas weru (113) Mempo neho elong - puta neho munak (114) Ngong ata lombong lala - kali weki run lombong muku (115) Neki weki manga ranga kudut bantang pa’ang olo ngaung musi (116) Alo dalo - pulu wungkut (117) Neka hemong kuni agu kalo G. Go’et yang Menunjukkan Pertalian Kekeluargaan (118) Eme wakak betong - asa manga waken nipu rae (119) Bête wase biring wae - tungku kole ndawir wali (120) Nio loda don - waen oke sale (121) Na’a waen pake - na’a uten kuse (122) Muku ca pu’u - neka woleng curup (123) Teu ca ambu - neka woleng wintuk (124) Ipung ca tiwu - neka woleng wintuk (125) Nakeng ca wae - neka woleng tae (126) Neka bike ata ca lide - neka behas ata ca cewak (127) Weki toe pecing - ranga toe tanda (128) Toe manga ata bengkar one mai belang (129) Toe manga ata bok one mai betong (130) Bom tombo le run rukus - bom tura le run kula
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
H. Go’et yang Berkaitan dengan Ejekan (131) Ngong ata lombong lala - kali weki run lombong muku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA (1) Apa yang dimaksudkan dengan go’et Manggarai (2) Bagaimana pola atau proses pewarisan budaya go’et dalam lingkungan masyarakat Manggarai. (3) Ada berapa macam jenis go’et yang terdapat di lingkungan masyarakat Manggarai? (4) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan kepercayaan? (5) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup? (6) Apa kaitan antara makna tekun dalam bekerja dengan kata dempul wuku -tela toni dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup? (7) Mengapa lalong pandong dan lalong bakok dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup digunakan sebagai kiasan untuk seseorang yang berhasil atau mempunyai status sosial yang tinggi. (8) Mengapa tumbuhan ndusuk dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup digunakan sebagai kiasan untuk kampung halaman? (9) Mengapa tumbuhan jengok dan wiko digunakan dalam go’et yang berkaitan dengan kegiatan hidup untuk menyatakan kehidupan yang penuh dengan kemakmuran. (10) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan bahasa rahasia? (11) Apakah makna dan fungsi go’et yang digunakan untuk menyatakan status sosial seseorang? (12) Mengapa tumbuhan raci (sirih pinang) digunakan sebagai kiasan untuk menyatakan persahabatan? (13) Pada saat meminang wanita tungku, juru bicara mengatakan baro ranggong api pesa kepada keluarga calon pengantin wanita. Mengapa kata api pesa digunakan? (14) Mengapa sirih pinang digunakan sebagai kiasan untuk seorang wanita? (15) Mengapa loce ( tikar) digunakan sebagai kiasan untuk seorang suami atau isteri?
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
(16) Mengapa panci yang digunakan untuk menanak nasi digunakan sebagai kiasan untuk menyatakan makna garis keturunan ibu? (17) Mengapa potang (sangkar ayam) digunakan sebagai kiasan untuk seorang anak yang lahir dari hasil perselingkuhan? (18) Mengapa kebor (irus) dan tange (bantal) digunakan dalam kiasan untuk menyatakan makna seorang gadis yang datang ke rumah sang pacar untuk dijadikan isteri tanpa melalui prosedur adat? (19) Mengapa buah ara dan buah conco digunakan sebagai kiasan untuk anak yang lahir dari hasil perselingkuhan? (20) Apa hubungan antara perkawinan adat Manggarai yang belum lengkap dengan tanaman alang-alang dan pelepah bambu? (21) Mengapa kata reba - molas digunakan untuk menyatakan makna pasangan selingkuh bukan untuk menyatakan makna laki-laki yang cakep atau perempuan yang cantik? (22) Apa kaitan antara pipi yang turun (pa’u pacu) dengan usia seseorang? (23) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan ejekan? (24) Apakah makna dan fungsi go’et yang berfungsi untuk mengenakkan pembicaraan? (25) Mengapa lombong lala dan lombong muku (pucuk pisang) digunakan dalam ungkapan yang berkaitan dengan ejekan untuk menyatakan makna orang yang suka mengejek orang lain. (26) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan kekeluargaan? (27) Mengapa kuni dan kalo digunakan untuk menyatakan makna cinta tanah air dan jangan melupakan kebiasaan di tanah kelahiran. (28) Apakah makna dan fungsi go’et yang berkaitan dengan bahasa larangan?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123