Hukum dan Pembangunan
334
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN
DITINjAU DARI SEGI HUKUM ANfAR TATA HUKUM PADA DEWASA INI Oleb : P. H. Sidharta
L-_---'
Unif'lkasi hukum mempunyai tujuan untuk melenyapkan pluralisme hukum yang berlaku. Dengan adanya uniflkasi hukum itu berarti akan mengurangi pula peranan dan ruang Iingkup Hukum Antar Tata Hukum. Salah satu tujuan dari kehadiran Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 yang berlaku saat ini adalah unif'lkasi nasional hukum di bidang perkawinan. TuIisan ini penulis mengkaji kedudukan hukum antar tata hukum dengan mengambil paradigma Undang-undang Perkawinan itu.
Sudah lebih dari 17 tahun lamanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sejak berlakunya secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 dalam perkembangannya hingga sekarang masih saja banyak penulis mengemukakan permasalahan- permasalahnnya, dan kini penulis hendak mengungkapkan dari segi Hukum Antar Tata Hukum.
Undang-undangPerkawinanNo.l Tahun 1974 Masih Mengandung Pluralisme Hukum Bertitik tolak dari pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Tahun 1974 ( dalam tulisan ini disingkat UUP -Red) berbunyi sebagai berikut: . "PerkawilllUl admah soh, apabi/a di/aJwkan menurul hukum 17UlSing-mJlSing agonuurya dan kEpercayaannya itu".
Nomor 4 Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan
335
Bahwa hal ini menunjukan masih dikenalnya Pluralisme Hukum Agama yang terdiri dari hukum agama Islam, hukum agama Kristen, terdiri dari Katolik dan Protestan, dan hukum kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa berdasarkan Bab XIV Ketentuan Penutup pasal 66 UUP, yang berbunyi sebagai berikut : UnllIk perkawinan dnn segaJa sesuotu yang berhubll1lgan dengan perkawinan berdasarkan IUltinng-lUItinng ini, makD dengan berloJamya IUltinng-lUItinng ini, kpentuan-ketentuan yang diatur dalmn Kilab Ilndnng-lUltinng Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.158) dnn Perallltan-peraturan lain yang mengatur tmUlng P~ sejaJlh telah diatur daJam Undnng-wndang i1U dinyatakalt tidoJ: beriaJ:.u.
ApabiJa kita perhatikan daIam konsideran Undang- undang No. 1 Tahun 1974 berbunyi:
"menimbang"
Bahwa sesuai dengan faJsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan Hukum Nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warganegara.
Ielaslah kiranya dari bimyi dan isi pasal 66 tersebut dapat ditafsirkan secara a contrario bahwa ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.158) dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang Perkawinan dinyatakan masih berlaku sejauhl tidak diatur dalam undang-undang ini, dengan demikian dapat disimpulkan masih ada tempat bagi berlakunya peraturan-peraturan lain tentang perkawinan yang dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974, dengan pembatasan hanya mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam UUP, dapat juga kita ketemukan dalam pidato sambutan Menteri Kahakiman atas nama Pemerintah Republik Indonesia , di DPR setelah persetujuan sidang pleno Dewan Perwakilan terhadap RUU ten tang Perkawinan menjadi Undangundang, yang antara lain dikemukakan sebagai berikut : " ..• Sebagai suatu undang-undang yang, Nasional sifatnya dan yang meliputi seluruh warganegara Indonsia rilerupakall suahl. .penggarisan lanjutan dari TAP MPR No. IV Il\U'RI1973 tentangGBHN, yang antara lain menentukakan bahwa selul'uh kepulauan Nusantara merupakan
Agustus 1992
Hukum dan Pembangunan
336
kesatuan hokum dalam arti bahwa hanya ada satu Hukum Nasional yang mengabdi kepada kepentingan Nasional KetunggaJ Ekaan dalam Hokum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan adanya ke-Bbinekaan n•
Kemudian dibagian lain dalam pidato sambutannya dijumpai lagi penegasan dengan kalimat sebagai berikut : "... Unclang-unclang tentang Perkawinan ini tidak merupakan kunci penutup dari peraturan penmclang-unclangan. "didampingi dengan peraturan-peraturan lain, yang masih berlaku ~aub tidak diatur oleb unclang-unclang inin.
Berlandaskan pasal 2 ayat 1 serta ketentuan penutup pasal 66 UUP dan diperkuatdengan pidato sambutan Menteri Kehakiman dihadapan DPR maka tidak ada keraguan-raguan lagi bahwa unifikasi dibidang hukum perkawinan yang dicapai melalui UU No. 1 Tahun 1974 adalahunifikasi yang bersifat terbatas dan masih mengandung unsur-unsur pluralisme hukum karena berlakunya UUP masih didampingi pula oleh peraturan-peraturan seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) dan Peraturan-peraturan lain dengan pembatasan sejauh hanya mengenai hal- hal yang tidak diatur oleh Undang-undang Perkawinan. Meskipun UUP hanya mencapai unifikasi di bidang hukum perkawinan secara terbatas dan masih mengandung unsur-unsur pluralisme hukum namun demikian tidak dapat disangkal bahwa hasil yang dicapai dengan terwujudnya UUP merupakan hasil usaha yang terjangkau secara maksimal oleh Pemerintah bersama-sama DPR. Tak dapat disangkal siapapun mendambakan terwujudnya suatu unifikasi dibidang hukum secara homogen dan menyeluruh, karena hal tersebut memang merupakan cita-cita ideal, namun kitapun harus menyadari adanya kenyataan-kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari bhineka suku bangsa, terbagi dalam berbagai lingkungan hukum adat dan terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan yang dianut secara resmi oleh pemerintah. Maka dalam situasi dan kondisi demikian kiranya tidak akan mungkin untuk menghasilkan suatu unifikasi UUP yang bersifat menyeluruh karena harus kita ingat pula bahwa soal-soal yang menyangkut perkawinan termasuk apa yang disebut Hymans sebagai 'verhittende Camilierecht" yang
Nomor 4 Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan
337
disatupadukan dan bersifat peka, berbeda sulcar untuk dibandingkan dengan "koelere zakenrecht" yang relatif lebih mudah. Hubungan PluraIisme Hukum Dengan Hukum Antar Tata Hukum Timbulnya persoalan Hukum Antar Tata Hukum adalah disebabkan lcarena berlakunya berbagai macam hukum yang berbeda satu sarna lain (pluralisme hukum) dalam suatu peristiwa hukum. Sebingga menimbulkan persoalan hukum manakah atau hukum apakah yang berlaku bila dalam suatu peristiwa hukum terdapat berbagai sistem hukum yang berbeda dipertautkan, dengan perkataan lain pluralisme hukum yang berlaku merupakan syarat mutlak untuk timbulnya persoalan hukum antar tata hukum. Bahwa lcarena unifikasi hukum adalah bertujuan justru untuk menlenyapkan pluralisme hukum yang berlaku, maka dengan demikian unifikasi di bidang hukum terbatas sekaligus akan mengurangi pula peranan dan ruang lingkup hukum antar tata hukum. Makin banyak dilakukan unifikasi dibidang hukum makin berkuranglah peranan dan ruang lingkup bidang Hukum Antar Tata Hukum. Adapun contoh-contoh unifikasi yang telah dilakukan setelah alam kemerdekaan dapat dikemukakan antara lain : a.
Unifikasi Dalam Bidang Hukum Acara Sebelum terjadinya unifikasi dibidang hukum acara pada masa Hindia Belanda terdapat pula pluralisme hukum acara. Hukum Acara tertera dalam • Reglement op de Rechtsvordering" (Rv) yang dipergunakn oleh Raad Van lustitie dan Hukum Acara tertera dalam Reglemen Indonesia (diperbaharui) yang dipergunakan oleh Landraad. Pemakaian masing-masing hukum acara ini tergantung dari status tergugatnya. Apabila status tergugatnya adalah orang Eropah maka pengadilan biasa sehari-hari adalah Raad van lustitie yang mempergunakan hukum acara Rv dan apabila status tergugatnya golongan Bumi Putera maka dipergunakan Reglement Indonesia (diperbaharui). Kemudian dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat No.1 tabun 1951 (kemudian diubah dengan Undang-undang No. 11 tabun 1953) maka terjadilah unifikasi dibidang hukum acara dan hapuslah Agustus 1992
Hukum dan Pembangunan
338
dualisme badan pengadilan atau hukum acaranya yang dipergunakan masing-masing badan peradilan tersebut. Kini hanya dikenal Pengadilan Negeri sebagai peradilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk Republik Indonesia memeriksa dan memutus dalam peradiJan tingkat pertama segala perkara perdata dengan Hukum Acara HIR untuk Jawa dan Madura, dan Reglement Buitengewesten untuk luar Jawa dan Madura. b. UnirIkasi dibidang Hukum Tanah Sebelum terjadinya unifikasi dibidang hukum tanah di Indonesia terdapat pula pluralisme hukum dibidang hukum Tanah. Ada tanah Indonesia yang tunduk pada hukum adat dan ada pula tanah Eropah yang tunduk pada Hukum perdata Barat (tanah yang terdaftar menurut ordonansi Balik Nama S. 1834/27). Dengan berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 roaka hapuslah pluralisme hukum tanah di Indonesia dan sebagai akibat logis menjadi hapus pula fungsi tanah sebagai faktor yang menciptakan persoalan hukum antar tata hukum intern. c.
Untuk unifikasi dibidang Hukum Acara Pidana telah dilakukan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) , yang mulai berlaku tanggal 31 Desember 1981 untuk seluruh rakyat Indonesia.
Perbedaan isi pengertian istilah "Perkawinan Campuran" menu rut GHR ( S. 1898 No. 158) dan Undang- Undang Perkawinan Apa yang dimaksud dengan istilah "Perkawinan Campuran" menurut GHR dapat diketemukan perumusannya dalam pasal 1, yaitu : "Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan".
Istilah "hukum yang berlainan" ini kalau meliputi pengertian sebagai berikut :
ditafsirkan secara luas
(1) Hukum yang berlainan itu dapat terjadi kombinasi antara sistem hukum Perdata Barat dan sistem hukum Adat perkawinan campuran demikian disebut PerkawinanCampuran antar golongan (intergentil).
Nomor 4 Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan
339
(2) Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara sistem Hukum Adat yang satu dengan sistem Hukum Adat yang lain, perkawinan campuran demikian disebut PerkawinanCampuran Antar Tempat (interlocal). (3) Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antara sistem hukum Islam dan sistem hukum Nasrani, perkawinan campuran demikian disebut Perkawinan Campuran Antar Agama. (3) Hukum yang berlainan dapat terjadi kombinasi antar sistem hukum Nasional dan sistem hukum Asing disebut Perkawinan Campuran Internasional. Pengertian istilah "Perkawinan Campuran" menurut UUP, perumusannya termaktub dalam pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut ; • Yang dimoksud dengan perkawinan campuran dolam IIlIIlang-lIlIIlang ini ialah perkawinan antara tWa orang yang di Indonesia tunduk palla hukum yang berIainan, huena perlJedaan kewarganegaraan dan salah saru pihak
berkewarganegaraan Indonesia·. lsi pengertian istilah "perkawinan campuran" menurut UUP adalah lebih sempit jika dibandingkan dengan isi pengertian istilah "perkawinan campuran" dalam GHR, karena kriteria "perkawinan campuran" menurut UUP hanya didasarkan atas adanya hukum yang berlainan karena perbedaan · kewarganegaraan semata-mata dan salah satu pihak berkewarganegarnan Indonesia, dengan alasan-alasan sebagai berikut : a.
Perkawinan campuran diatur dalam Bab XII bagian Ketiga dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 UUP.
b.
Pasal 58 yang untuk mudahnya dikutip bunyi sebagai berikut "Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan, yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewagranegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan RepubJik Indonesia yang berIaku". Jelas dalam pasal 58 ini mengatur perkawinan campuran antara dua orang yang berlainan kewarganegaraan dan salah satu pihak adalah warganegara Indonesia.
Agustus 1992
340 d.
Hukum dan Pembangunan Pasal 59 berbunyi sebagai berikut 1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagi akibat perkawinan alau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku baik mengenai hukum publik maupun mengenai perdala. 2. Perkawinan campuran dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini. Jelas pasal 59 ayat 1 merupakan ketentuan lanjutan dari pasal
58, yang menjelaskan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh karen a perkawinan alau putusnya perkawinan mengenai hukum yang berlaku baik hukum publik maupun hukum perdala. Disinipun jelas mengatur perkawinan campuran antara warganegara asing dan warganegara Indonesia. Pasal 59 ayat 2-nya hanya mengatur bahwa perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang ini. d.
Pasal 60 yang berbunyi sebagai berikut : 1. Perkawinan campuran tidak dapt dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut daalam ayat (I) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka menurut hukum yang berlaku bagi pihak masingmasing berwenang mencalat perkawinan diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu maka alas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keternagan itu beralasan alau tidak . 4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3). 5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak
Nomor 4 Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan dilangsungkan dalam masa 6 (enam) keterangan itu diberikan.
341 bulan
sesudah
Pasal 60 ayat 1 dapat dihubungkan dengan pasal 16 AB yang menerapkan prinsip Nasionalitas mengenai syarat materieel dari perkawinan masing-masing pihak. Pasal 60 ayat 2-nya adalah mengatur hubungan mengenai "certificate of ability to
marry"; Ayat 3-nya mengatur bilamana surat keterangan tersebut ditolak, maka yang bersangkutan dapat mengajukan kepada Pengadilan Negeri untuk dipertimbangkan apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak; Ayat 4-nya hanya mengatur bahwa bilamana pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan makan putusan pengadilan a quo menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat 3 (tiga). Ayat 5-nya hanya mengatur mengenai jangka waktu berlakunya surat keterangan keputusan hanya 6 bulan untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 61. 1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatatan yang berwenang. 2. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undangundang ini, dihukum dengan hukuman kurungan selamalamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada dihukum dengan kurungan selama-Iamanya 3(tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pada ayat 1-nya hanya mengatur bahwa perkawinan campuran dicatat oleh pegaw31 pencatat yang berwenang. Pada ayat 2-nya mengatur sanksi kepada barang siapa melangsungkan perkawinan tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat
Agustus 1992
342
Hukum dan Pembangunan keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4), dihukum dengan hukuman kurungan selama-Iamanya I (satu) bulan. Pada ayat 3-nya adalah mengatur sanksi kepada pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan campuran, sedangkan ia mengetahui bahwa surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada dihukum dengan hukuman kurungan selama-Iamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 sebagai pasal terakhir dati bagian ketiga yang mengatur perkawinan campuran berbunyi sebagai berikut :
.
"Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat (I) undang-undang ini". Sudah jelas dan gamblang bahwa pasal 62 inipun mengatur perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak warga negara Indonesia, karena mengatur kedudukan anak sebagai hasH dalam perkawinan campuran. Dati perumusan perkawinan campuran menurut pasal 57 tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran disini hanyalah perkawinan campuran internasional yang dilangsungkan antara warganegara Indonesia dan warga negara Asing, disini tersimpul lagi suatu perbedaan terhadap pengertian istilah perkawinan internasional menurut pengertian umum. Pengertian yang umum mengenai perkawinan Internasional dirumuskan sebagai suatu perkawinan yang dilangsungkan antara orang-orang yang tunduk pada hukum yang bedainan karen a perbedaan kewarganegaraan. Pengertian perbedaan kewarganegaraan dapat terjadi antara warganegara Indonesia dengan warganegara asing (seperti Belanda, Jerman, Inggeris, Jepang, dan sebagainya) atau dapat juga terjadi antara warganegara Asing yang satu dengan warganegara Asing lainnya, misalnya antara warganegara Belanda dengan warganegara Inggeris atau warganegara Jepang dengan warganegara malaysia dan sebagainya. Bahwa kalau kita berpegang teguh pada kualifikasi perkawinan campuran menurut pasal 57 UUP semata-mata, timbullah kesan seoalah-olah di Indonesia tidak mungkin dapat dilangsungkan perkawinan antara dua warganegara asing yang bedainan kewarganegaraannya, karen a pasal 57 memberi
Nomor 4 Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan
343
pembatasan pada istilah "perbedaan kewarganegaraan" dengan pengertian salah satu pihak harus warga negara Indonesia.
Mengenai Perkawinan Campuran Intem-Nasional Bahwa seperti telah duiraikan diatas dalam membahas lrualifikasi pengertian perkawinan campuran menurut pasal 57 tersebut hanya terbatas pada perkawinan campuran intemasional (dalam arti sempit), dimana salah satu pihak adalah warga negara Indonesia. Maka sudah jelaslah nampaknya UUP tidak mengatur perkawinan campuran Intem-Nasional. Mengenai Perkawinan Campuran Intem- Nasional meliputi : a.
Perkawinan campuran antar golongan yang satu tunduk pada sistem Hulrum Perdata Barat dan yang lain tunduk Hulrum Adat termasuk perkawinan campman antar agama, misalnya sistem hulrum Islam dengan sistem bulrum Nasrani.
b.
Perkawinan campuran Antar Tempat (Sistem bukum Adat yang satu dengan Sitem Hulrum Adat Yang Lain).
Karena sesuai dengan UUP berprinsip yang dititik beratkan . bukan dari sudut hulrum keperdataan, tetapi dari sudut hulrum keagamaan dan kepercayaan masing-masing. Perlu diteliti dengan seksama tentang apakah UUP sudah mengatur atau belum tentang perkawinan campuran antar agama '1 Ada dua pendapat mengenai sudah diatumya perkawinan antar agama dalam undang-undang perkawinan namun dalam landasan hukum yang berbeda. ~puran
I.
a. Pendapat pertama mempergunakan landasan dasar hulrum yaitu pasal 2 ayat 1 mengenai sahnya perkawinan dilangsungkan menurut hulrum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Dan pasal 8 f mengenai larangan perkawinan dirumuskan bahwa "perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin". Dengan demikian sudah jelas pendapat pertama butir a bahwa undang-undang perkawinan melarang melangsungkan atau disahkan perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam negara RI.
Agustus 1992
344
Hukum dan Pembangunan
b. Pendapat pertama butir b. mempergunakan landasan dasar hukum pasal 57 UUP ada tanda koma, setelah perkataan ... "perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan". Kemudian dihubungkan dengan pasa1 2 ayat 1, maka jelasn yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan tersebut adalah karena mereka berdua di Indonesia menganut agama yang berbeda. Jadi jelasnya perkawinan campuran · antar agama telah diatur dalam pasa1 57 dihubungkan dengan pasa1 2 ayat 1 dan berlainan pendapat dengan pendapat pertama (ad. a) yang berpendirian bahwa segala bentuk perkawinan campuran antar agam diJarang oleh hukum agama manapun. Setiap agama memang menghendaki agar umatnya untuk menikah dengan calon suamilisteri yang seAgama dan sepenganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi jelas sukar sekali untuk melangsungkan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama baik di KUA maupun di gereja dan tanpa melangsungkan perkawinan di KUA ataupun di gereja maka tidak mungkin dapat mencatatkan perkawinan di KUA atau di Kantor Catatan Sipil. Namun ada hal yang merupakan jalan keluamya terdapat dalam Surat Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah di Semarang, tanggal 25 Juli 1990 No. 477/2535/PUOD Perihal: Pencatatan Perkawinan Bagi Para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada butir 2 nya dapat dikutip sebagai berikut: Pada butir 2-nya dapat dikutip sebagai berikut: "Selanjutnya bagi mereka yang menyatakan tidak melaksanakan dari salah satu agama dari kelima agama yang ada di Indonesia, maka sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, pencatatan · terhadap perkawinan mereka tidak dapat dilaksanakan karena undang-undang tersebut mengatur pelaksanaan perkawinan berdasarkan agama. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum) dalam pelayanan kepentingan masyarakat dan kepastian hukum serta sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA172/IV/1981 tanggal 20 April 1980, perihal pelaksanaan Perkawinan Campuran maka perkawinan mereka dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setelah mereka terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan telah memperoieh Ketetapan/DispensasilPersetujuan bahwa mereka akan Nomor 4
Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan
345
melangsungkan perkawinan tanpa berdasarkan ketentuan sesuatu agama". Jelaslah kiranya agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechts vacuum) dalam kepentingan masyarakat dan keputusan hukum serta sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MAl72/IV11981 tanggal 20 April 1980, perihal pelaksanaan Per1cawinan Campuran tersebut dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setelah mereka terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan telah memperoleh ketetapan/dispensasilpersetujuan bahwa mereka akan melangsungkan perkawinan tanpa berdasarkan ketentuan sesuatu agama, namun hal ini adalah menjurus kearah yang kontradiksi terhadap pasa1 2 ayat 1 UUP yang menganut asas keagamaan. Jalan keluar yang lain untuk mengatasi kesulitan dalam melangsungkan perkawinan campuran antar agama adalah dengan cara menganjurkan kepada salah satu calon mempelai' untuk memilih hukum agama yang dianut oleh suamilisteri yang sang at dicintainya. Hal inipun sebenarnya tercermin dalam Surat Edaran Menteri Da1am negeri yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia tertanggal 13 Juni 1991 No. 477/2223/PUOD/1990 pada butir 1 berbunyi sebagai berikut : 1.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/2535/PUOD tanggal 25 Juli 1990 perihal pencatatan perkawinan para penghayat kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Esa terkandung maksud antara lain: Pada Prinsipnya Surat Edaran tersebut menegaskan bahwa untuk mengisi kevakuman hukum ' ma1ca pelaksanaan perkawinan antara warga negara Indonesia yan~ berbeda agama sebelum dicatatkan di Kantor Catatan Sipil harus mendapatkan penetapan pengadilan Negeri yang isinya memerintahkan kepada Kantor Catatan Sipil mencatatkan perkawinannya menurut Hukum Agama yang disepa1cati kedua mempelai.
II. Pendapat kedua adalah berdasarkan yurisprudensi putusan Mahkamah agung RI tanggal 11 April 1986 No. 382/Pdtl1986 dengan judul : " PERKAWINAN BEDA AGAMA RECHTVACUUM " yang merupakan catatan dari Ali Boediarto, yang dikutip dalam majalah Varia Peradilan. Untuk mudahnya dikutip sebagai berikut Agustus 1992
346
Hukum dan Pembangunan
Perkawinan Beda Agama Rechtsvacuum Kasus Posisi Seorang gadis Andi Vony, memeluk agama Islam ingin melangsungkan perkawinannya dengan pria Adrianus, yang memeluk agama Kristen Protestan. Calon mempelai tersebut datang menghadap Pejabat Bikah Kantor Urusan Agama (KUA) Jakarta. Memohon agar perkawinan mereka ini dapat dilangsungkan menurut agama Islam. Pejabat nikah KUA menolak melangsungkan perkawinan mereka dengan alasan bahwa calon suami pemohon memeluk agama Kristen. Penolakan mana dituangkan dalam surat KUA tanggal 5 Maret 1986 No. K.2.1Nj-1I834/IIJ/I986. Atas penolakan pejabat KUA ini, calon mempelai kemudian menghadap pegawai · Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, yang mohon agar perkawinan mereka dapat dilangsungkan dihadapan pegawai Kantor Catatan Sipil (Burgerlijke Stand). Pegawai Kantor Catatan Sipil inipun menolak melangsungkan perkawinan mereka dengan alsan bahwa calon isteri memeluk agama Islam. Penolakan tersebut dituangkan dalam suratnya tanggal 5 Maret 1986 No. 655/1.1755.4/C.S.l1986. Oleh karena itu baik KUA maupun pegawai KCS, keduanya menolak melangsungkan perkawinan antara calon suami isteri yang memeluk agama yang berbeda tersebut, maka mereka kemudian mengajukan kepada Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada Hakim agar supaya diberikan putusan berupa : - Menyatakan bahwa penolakkan dari pejabat KUA dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan mereka tidak beralasan/tidak sah. - Menyatakan Hakim pengadilan Negeri memberikan ijinnya kepada pemohon untuk melangsungkan perkawinan mereka dihadapan pegawai Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta. Pengadilan Negeri: Hakim perta~a. yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan 1m (voluntair jurisdictie) setelah mendengar pemohon dan memeriksa surat-surat bukti yang diajukan dalam persidangan, pada akhirnya hakim memberikan "Penetapan/beschikking" yang diktumnya : Nomor 4 Tahun XXII
Undang-Undang Perkawinan
347
- Menolak permohonan pemohon - Menyatakan penolakan melangsungkan perkawinan oleh: 1. Pejabat KUA dan 2. Pegawai Kantor Catatn Sipil Jakarta adalah beralasan dan karenanya patut dikuatkan. Penetapan Hakim Pengadilan Negeri tersebut diatas didasari oleh pertimbangan hukum yang pada pokoknya demikian: Bahwa Undang-undang Perkawinan No. 111974 tidak mengatur perkawinan yang berbeda agamanya. Yang diatur dan dicatat menurut undang-undangn ini adalah perkawinan dimana ca10n mernpelai memeluk agama yang sarna. Untuk mereka yang beragama Islam dicatat pada Kantor Urusan Agama, untuk yang beragama Kristen dicatat pada Kantor Catatan Sipil. Oleh karena "perkawinan berbeda agama" ini tidak diatur dalam UUP, dernikian pula menurut ajaran agama baik Islam maupun Kristen terdapat ketentuan tentang halangan dalarn me1angsungkan perkawinan bagi ca10n suamu-isteri yang rnemeluk agama yang berbeda. Maka hakim pertama berpendapat bahwa penolakan kedua instansi pencatat nikah tersebut diatas untuk melangsungkan perkawinan pemohon ini adalah sudah benar dan tepat. Bahwa adanya halangan dilangsungkan perkawinan yang beda agama oleh kedua instansi tersebut dinilai hakim sudah benar niaka penolakan ini oleh hakim dikukuhkan, dikuatkan. Mahkamah Agung RI:
Pihak pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi terhadap 'penetapan/beschikking' yang diterbitkan oleh hakirn Pengadilan Negeri tersebut diatas, dengan rnengernukakan memori kasasi yang pokoknya demikian:
1.
Bahwa pernohon berkeberatan atas penetapan hakim yang menolak keinginan pemohon untuk melangsungkan perkawman yang berbeda agama ini. Antara mereka telah terjalin cinta serta wali rnempelai kedua pihak telah menyetujui dan tidak keberatan dilangsungkannya perkawinan ini meskipun terhadap perbedaan agama.
2.
Bahwa pasal 21 (4) Undang-undang Perkawinan tidak melarang perkawinan calon suami isteri yang berbeda agama. Agustus 1992
Hukwn dan Pembangunan
348
Majelis Mahkamah Agung RI setelah memeriksa perkara ini mengemukakan pendiriannya yang inti sarinya demikian : Bahwa sebelum memeriksa materi pokok masalah Majelis MA RI terlebih dahlu membahas tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksan dan memutus perkara permohonan ini. Bahwa sekalipun pemohon beragama Islam dan menurut pasal 63 UUP dinyatakan bahwa bila diperlukan campur tangan dari pengadilan agama. Akan tetapi karen a "penolakan" melaksanakan perkawinan didasarkan atas "perbedaan agama" maka alasan penolakan tersebut tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan ex pasal 8 f UUP dan karen a kasus a quo bukan merupakan kasus seperti yang dimaksudkan ex pasal 60 (3) UUP makka sudah tepat bilamana kasus a quo menjadi kewenangan pengadilan negeri, bukan merupakan wewenang pengadilan agama. Bahwa mengenai materi pokok persoalan yaitu perkawinan yang berbeda agama, Majelis Mahkamah Agung berpendirian . sebagai berikut: - Bahwa Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon tidak memuat suatu ketentuan adalah merupakan Jarangan/halangan perkawinan. Hal ini sejalan dengan jiwa pasal 27 dari UUD 1945 yang berbunyi bahwa segal a warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum tercakup didalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agamanya. Asas yang demikian juga sejalan dengan jiwa pasal 29 dari UUD 1945. - Bahwa UUP tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami-isterinya memeluk agama yang berbeda. - Bahwa sebelum berlakunya UUP terdapat suatu peraturan perkawinan campuran (GHR). Meskipun terhadap kasus ini dapat ditetapkan ketentuan perkawinan campuran (GHR) tersebut berdasar ex pasaJ 66 UUP, akan tetapi ketentuan dalam GHR ini adalah tidak mung kin untuk diberlakukan karen a terdapat perbedaan prinsip dan perbedaan falsafah
Nomor 4 Tahun XXII
llndang-llndang Perka»inan
349
yang arnat besar antara UUP dengan peraturan perkawinan carnpuran (GHR S. 1898/156), yaitu : Pada UU No. 1 Tahun 1974. Perkawinan adalah sah bila dilakukan rnenurut hukurn rnasing-rnasing agama dan kepercayaannya (hal ini rnerupakan perwujudan falsafah Pancasila). Pada peraturan perkawinan rnenurut Burgerlijke Wetboek dan GHR perkawinan dipandang hanya sebagai suatu hubungan perdata. - Bahwa dalam rnenghadapi kasus aquo menurut Majelis MARl terdapat "suatu kekosongan hukurn (rechtsvacuurn) karena rnenurut kenyataan dan yurisprudensi dalam perkawinan antar agama ini ' ada dua stelsel hukum perkawinan yang berlaku pada saat yang sarna sehingga harns ditentukan pilihannya, hukum perkawinan yang rnanakah yang akan diterapkan. Ketentuan pasal 2 (1) UUP jo pasal 10 (2) PP No.9 Tahun 1975 hanya berlaku bagi rnereka yang rnerneluk agama yang sarna. Disarnping kekosongan hukurn ini juga di dalam kenyataan kehidupan di Indonesia yangmasyarakatnya bersifat pluralistik dan heterogen ternyata tidak sedikit terjadi perkawinan yang merneluk agama berbeda. Bertitik tolak pada asas bahwa perbedaan agama dari calon suami-isteri bukan rnerupakan halanganperkawinan dan didalam masyarakat sering terjadi perkawinan orang-orang yang rnemeluk agarna yang berlainan rnaka Mahkarnah Agung Rl berpendirian sebagai berikut: -- Bahwa tidak dapat dibenarkan terus berlangsungnya "kekosongan hukurn" terhadap kenyataan dan kebutuhan rnasyarakat seperti perkawinan beda agarna aquo sehingga rnajelis MA RI harns dapat rnenernukan hukumnya dalam rnasalah ini. -- Bahwa rnenurut pasal 2 ayat 1 & 2 UUP jo UU No. 32 /1954 penolakan rnelangsungkan perkawinan oleh pejabat KUA tersebut diatas adalah sudah benar dan tepat. Bahwa sekarang perlu diternukan jawaban apakah rnereka calon suarni-isteri berbeda agarna itu dapat dilangsungkan perkawinannya dihadapan pegawai pencatat perkawinan pada KCS Agustus 1992
Hukwn dan Pembangunan
350
sebagai satu-satunya kemungkinan sebab diluar itu sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk melangsungkan perkawinan tersebut. Bahwa untuk memecahkan masalah ini, MajeJis MA RI melakukan penelitian terhadap surat bukti yang ada didalam berkas perkara tersebut dan akhirnya memperoleh fakta sebagai berikut: calon suami isteri sudah berumur 21 tahun sehingga tidak diperJukan lagi ijin daari kedua orang tua mereka. ayah kandung calon mempelai wanita (wali) telah memberikan ijin kepada anak gadisnya untuk kawin dengan pria pilihannya. calon · mempelai wanita tetap berkeinginan kawin dengan pria tersebut. Bahwa dari fakta tersebut baik calon mempelai wanita maupun ayah kandungnya memang benar-benar menghendaki dilangsungkannya perkawinan yang berbeda agama ini. Bahwa dengan telah diajukannya permohonan untuk melangsungkan pernikahan kepada Pegawai Kantor Catatan Sipil (setelah ditolak oleh KUA), majelis Mahkamah Agung menafsirkan fakta ini bahwa pemohon (wanita) inc!. ayahnya berkeinginan melangsungkan perkawinan ini tidak menurut agama Islam. Dengan demikian maka hal ini harus ditafsirkan pula bahwa dengan diajukannya permohonan kepada KCS untuk melangsungkan perkawinan yang berbeda agama ini maka calon mempelai pemeluk agama Islam sudah tidak lagi dihiraukan status hukum agama Islam yang dipeluknya. Karena itu maka pasal 8 huruf f UUP tidak lagi merupakan halangan dilangsungkannya perkawinan yang mereka kehendaki. Dalam keadaan demikian ini seharusnya KCS sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan perkawinan atau membantu melangsungkan perkawinan, yang kedua pihaknya beragama Islam wajib menerima permohonan pemohon. Bahwa berdasar atas pendirian yang intinya diuraikan diatas tadi selanjutnya Majelis Mahkamah Agung RI memberikan putusan: - Membatalkan penetapan hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat - Mengadili sendiri
Nomor 4 Tahun XXll
351
Undang-Undang Perkawinan
- Membatalkan "surat penolakan melangsungkan perkawinan" dari pegawai luar biasa kantor catatan sipil DK! Jakarta. - Memerintahkan kepada Pegawai Pencatat nikah pada Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan setelah dipenuhi syarat perkawinan menurut undang-undang. Catatan Dari kasus ini kita dapat mengangkat abstrak hukum yang dapat digali dari putusan Mahkamah Agung RI yang intinya demikian:
Pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agamayangtelah menolak melangsungkan pernikahan antara seorang gadis yang beragama Islam dengan pria yang beragama Kristen. Kemudian dengan diajukannya permohonan kepada Kantor Catatan Sipil agar perkawinan mereka dilangsungkan di Kantor ini, harns ditafsirkan bahwa calon mempelai wanita yang beragama Islam tersebut sudah tidak menghiraukan Iagi ketentuan hukum agam Islam yang dipeluknya tentang perkawinan. Keadaan ini dapat ditafsirkan pula ia mengingikan agar perkawiIiannya dilangsungkan tidak menurut hukum agama Islam. Dengan demikian oleh karena mereka berdua (calon suamiisteri tersebut) berstatus tidak beragama Islam maka pegawai Kantor Catatan Sipil wajib melangsungkan perkawinan ini. Demikian catatan yang dapat diberikan atas kasus ini. ( Ali Budiarto) Keputusan Presiden RI No. 12 Taun 1983 Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil Dalam pasal 5 Keppres No. 12 tahun 1983 diatur mengenai tugas dan fungsi dari Kantor Catatan Sipil, yang untuk mudahnya diikutip sebagai berikut: 1.
Kantor Catatan Sipil dalam rangka melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab dibidang catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Keputusan Presiden ini adalah bertugas sebagai pembantu BupatilWalikotamadya
Agustus 1992
Hukum dan Pembangunan
352
Kepala Daerah Tingkat II, kecuali untuk daerah khusus Ibukota Jakarta bertugas sebagai pembantu gubemur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) pasal ini, Kantor Catatan Sipil mempunyai fungsi menyelenggarakan : a. pencatatan dan penerbitan kutipan Akta Kelahiran; b. pencatatan dan penerbitan kutipan Akta Perkawinan c. pencatatan dan penerbitan kutipan Akta Perceraian d. pencatan dan penerbitan kutipan Akta Pengakuan dan Pengesahan anak; e. Pencatatan dan penerbitan kutipan Akta Kematian; f. Penyimpanan dan pemeliharaan Akta Kelahiran, Akta Perkawinan, Akta Perceraian, Akta Pengakuan dan Akta Pengesahan Anak dan Akta Kematian;
Jelaslah kiranya bahwa fungsi Kantor Catatan SIpil berdasarkan Keputusan Presiden RI tidak 1agi menjalankan tugas me1angsungkan perkawinan bagi orang-orang yang bukan beragama Islam tetapi kini tugasnya hanya mencatat perkawinan dari orang yang telah melangsungkan perkawinan menurut hukum agamanya yang bukan Islam. Bahwa masih menjadi pertanyaan apakah diktum putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tgl 20 Januari 1989 No. 1400 K/Pdtl1986 berbunyi : "Memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta untuk melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan setelah dipenuhi syarat-syarat perkawinan menurut undangundang", dapat dilaksanakan oleh pegawai Catatan Sipil yang berdasarkan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 sudah berubah fungsinya menjadi pencatat perkawinan dan tidak lagi sebagai pejabat yang melangsungkan perkawinan (huwelijk sluiter). Kesimpu\an
1.
Dalam unifikasi undang-undang Perkawinan masih terdapat adanya unsur-unsur pluralisme hukum agama berdasarkan pasal 2 ayat 1 dan peraturan-peraturan lain berdasarkan pasal 66 UUP.
Nomor 4 Tahun XXII
353
Urulang-Urulang Perkawinan
2.
Masih ada perbedaan tentang telah diatur atau belum mengenai Perkawinan Campuran Antar Agama dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974.
3.
Bagi pendapat tentang telah diaturnya Perkawinan Campuran Antar Agama dalam UUP masih terdapat perbedaan paham, ada pendaapat yang melarang perkawinan campuran antar agama. Namun ada pula pendapat yang menyatakan dapat dilangsungkan perkawinan campuran antar agama.
4.
Masih terdapat perbedaan paham tentang lSI pengertian peraturan perkawinan campuran yang terdapat dalam pasal 57 UUP.
5.
Setelah berlakunya keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 1983 telah menetapkan fungsi Kantor Catata Sipil hanya sebgai pencatat perkawinan apakah masih dapat juga melnjalankan tugas melangsungkan perkawinan ?
Saran-saran Perlu adanya kerjasama koordinatif antara Departemen Dalam Negeri dan Mahkamah Agung terhadap Keputusan Presiden RI No. 12 Tahun 1983 mengenai fungsi Kantor Catatan Sipil sebagai Kantor Pencatat Perkawinan dan tidak berfungsi melangsungkan perkawinan. Dalam praktek sulit untuk melangsungkan perkawinan campuran antar agama baik di KUA maupun di gereja sehingga sulit pula untuk dapat mencatatkan perkawinan baik di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil maka jalan y'ang sebaiknya di tempuh adalah agar para calon mempelai memllih hukum agama calon suami/isteri yang dicintainya di KUA atau di gereja. Sehingga dapat dicatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama atau di kantor Catatan Sipil.
***
Agustus 1992