JURNAL ILMIAH TINDAKAN REPRESIF KEPOLISIAN TERHADAP DEMONSTRAN ANARKIS DITINJAU DARI SEGI HUKUM PIDANA
Oleh ITSNA KARUNIA DIA 107 074
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2013
2
TINDAKAN REPRESIF KEPOLISIAN TERHADAP DEMONSTRAN ANARKIS DITINJAU DARI SEGI HUKUM PIDANA
Oleh ITSNA KARUNIA DIA 107 074
Menyetujui,
Pada Tanggal:………………………..
Pembimbing Utama,
Lubis, SH.,M.Hum. NIP. 19590882 198703 1 002
1
ABSTRAK TINDAKAN REPRESIF KEPOLISIAN TERHADAP DEMONSTRAN ANARKIS DITINJAU DARI SEGI HUKUM PIDANA ITSNA KARUNIA DIA 107.074
Tujuan dan penelitian ini adalah untuk mengetahui bilamanakah suatu demonstrasi dikategorikan sebagai tindakan anarkis dan untuk mengetahui Dalam keadaan bagaimana aparat kepolisian dapat melakukan tindakan refresif terhadap demonstran yang bersifat anarkis? Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normative empiris yaitu dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan Prosedur Tetap (PROTAP) Kepolisian yang berlaku dan melakukan wawancara langsung dengan informan atau responden. Penelitian dilakukan berdasarkan kejadian di Desa Pengkelak Emas yang melibatkan demonstrasi secara anarkis pada tanggal 26 September 2011 pukul 09.00-10.30 WITA. Latar belakang unjuk rasa ini adalah ketidakpuasan masyarakat atas kalahnya salah satu calon kepala desa. Unjuk rasa yang berlangsung anarkis ini dilakukan oleh masa pendukung salah satu calon kepala desa yang kalah dan menyebabkan rusaknya satu gedung kantor desa dan satu unit rumah bidan desa yang letaknya berdekatan dengan kantor desa. Hasil dan pembahasan yang diperoleh adalah Kepolisian Resort Lombok Timur telah melakukan tindakan represif terhadap para pelaku unjuk rasa yang bersifat anarkis berupa penangkapan, penahanan, penyitaan barang bukti dan menyerahkan berkas perkaranya ke Kejaksaan Negeri Selong untuk mendapatkan keputusan dan kekuatan hukum yang tetap. Tindakan refresif Kepolisian ini mengacu pada Prosedur Tetap (PROTAP) No.1 Tahun 2009 "Yang apabila masa sudah melampaui batas tindakannya dalam menyampaikan pendapat dimuka umum maka Polri diberikan kewenangan untuk membubarkan massa pengunjuk rasa". Polri juga telah menyampaikan dengan bahasa yang santun agar masa memadamkan api dan membubarkan diri, dan apabila himbauan tersebut tidak diindahkan oleh masa maka Polri menyampaikan atas nama Undang-Undang melakukan tindakan membubarkan dengan mendorong masa dengan tangan kosong. Berdasarkan temuan penelitian, sesuai dengan PROTAP No. 1 Tahun 2009 maka POLRI juga telah melaksanakan pengamanan unjuk rasa berdasarkan lima tahapan sebagai berikut sebelum melakukan tindakan refresif: a) masa sudah mulai berkumpul dan tidak menghiraukan himbauan polisi, b) masa sudah menuju ke suatu titik pertemuan mendekati sasaran lokasi/kantor lembaga pemerintah yang di tuju mulai melempar sasaran dengan batu, Kata kunci: Tindakan Represif Kepolisian, Demonstrasi Anakis
2
ABSTRACT POLICEREPRESSIVE ACTIONSAGAINST ANARCHIST PROTESTERS IN TERMS OF THECRIMINALLAWREVIEWED ITSNA KARUNIA DIA 107.074
The purpose of this study was to determine the category of rally that can be said to know some of the anarchists and the circumstances under which police justified repressive actions against the anarchist protesters. The method used is a type of normative empirical research is to examine the legislation's regulations and Procedure (SOP) of the Police and conduct an interview with an informant or respondent directly. The study was conducted based on the incident in the village of Pengkelak Emas involving anarchist demonstration on September 26, 2011 at 9:00 to 10:30 pm. The background of this rally is public dissatisfaction over the defeat of a candidate for village chief. Anarchists held a rally was conducted by supporters during one of the losing candidates for village head and cause damage to the office building and the village midwife housing units adjacent to the village office. Results and discussion obtained is East Lombok Police Resort repressive action against the perpetrators rally anarchistic form of arrest, detention, confiscation exhibitand submit the case to the District Attorney files Selong to get a decision and legally enforceable. Repressive police action refers to the Procedure (SOP) 1 Year 2009 "What if the period exceeds the limit in the expression actions in public the police are given the authority to disperse the crowd of protesters." Police have also been expressed that the language of polite time to extinguish the fire and break up, and if the appeal was not heeded by the time it is delivered on behalf of the Police Act to encourage action dissolve the period with his bare hands. Based on the research findings, in accordance with SOP No. 1 In 2009, the police have also been carrying out safety demonstrations by the five phases as follows prior to repressive measures: a) the period has started to assemble and ignored police calls, b) the time was headed to a meeting point near the target location / office of a government agency the tenor began throwing stones at the target, c) the making rowdy atmosphere and convey threats, d) time together and began burning tires, and e) Mass began throwing anarchy, burning and vandalizing public property and the village government office building. Key Words: Police Repressive Action, Anarchist Demonstration
1
TINDAKAN REPRESIF KEPOLISIAN TERHADAP DEMONS TRAN ANARKIS DITINJAU DARI SEGI HUKUM PIDANA ITSNA KARUNIA DIA 107.074 A. Latar Belakang Seiring dengan bergulirnya era reformasi, segala ketidakpuasan atas beberapa kebijakan pemerintah, masyarakat diberikan keleluasaan untuk menyampaikan ketidakpuasannya secara santun dan melalui prosedur-prosedur tertentu
berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
9
Tahun
1998
Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pada prakteknya, Undang-Undang ini lebih banyak diterjemahkan oleh masyarakat dan mahasiswa dengan melakukan demonstrasi, karena menurut mereka, bahwa itulah jalan yang paling gampang dan cepat untuk menyampaikan aspirasinya. Tetapi yang disayangkan adalah munculnya berbagai bentuk anarkisme dalam usaha menyampaikan aspirasi tersebut. Di sisi lain, muncul sebuah fenomena bahwa ternyata tindakan anarkis tersebut bukan semata-mata karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, akan tetapi muncul karena egoisme pribadi dan kelompok. Hal ini sebenarnya tidaklah rasional. Katakanlah dalam berbagai pemilihan colon pejabat, pihak yang kalah sering kali melakukan tindak kriminal dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat. Dalam beberapa kasus, pihak kepolisian terpaksa bertindak tegas (represif) demi pihak tertentu yang merasa masih punya kepentingán, baik kepentingan politik maupun ekonomi, sehingga mereka juga menjadi golongan penentang demonstrasi yang dilakukan.
2
Namun dalam pelaksanaannya, kadangkala Polisi melakukan tindakantindakan kekerasan dan represif yang tidak berdasarkan aturan yang berlaku sesuai Undang-Undang atau Protap. Dalan upaya mengatasi massa demonstran yang anarkis sering terjadi bentrokan fisik antara demonstran dan Polisi, bahkan terkadang sampai menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Padahal di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Pasal 2 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dikatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum,
perlindungan,
pengayoman,
dan
pelayanan
kepada
masyarakat.1 Seharusnya Kepolisian melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap demonstran bukan melarang dan membubarkan demonstran dalam melakukan demonstrasi. Dalam mengambil tindakan tegas (refresif) terhadap demonstrasi anarkis, pihak Kepolisian berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisan Negara Repubik Indonesia berdasarkan pada Protap nomor 8 tahun 2010 Tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru-hara. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan hal yang menjadi pokok permasalahan adalah: 1) Bilamanakah suatu demonstrasi dikategorikan sebagai tindakan anarkis?, 2) Dalam keadaan bagaimana aparat kepolisian dapat melakukan tindakan refresif terhadap demonstran yang bersifat anarkis? Tujuan dari penelitian ini meliputi: 1) Untuk mengetahui kategori suatu demonstrasi dikatakan anarkis dan 2) Untuk mengetahui beberapa keadaan dimana Kepolisian dibenarkan melakukan tindakan refresif terhadap demonstran yang bersifat anarkis.
3
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normative sedangkan metode pendekatan yang digunakan penyusun dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas". Metode pendekatan empiris, yaitu metode pendekatan yang melakukan wawancara terhadap informan dan responden sebagai pelaku dan yang menangani masalah yang diteliti. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kepustakaan dan data lapangan. Jenis data yang digunakan merupakan bahan primer (bahan yang diperoleh dari lapangan) dan bahan sekunder (bahan yang diperoleh melalui studi pustaka). Dalam teknik Pengumpulan data dilakukan melalui teknik studi kepustakaan dan wawancara lapangan. Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dokumen hasil wawancara antara peneliti dengan pihak terkait (responden), yaitu dari pihak Kepolisian (Kapolsek Sakra Barat) dan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Lombok Timur yang berupa keterangan saksi pada peristiwa demonstrasi anarkhis. Penelitian ini dilaksanakan di daerah Kabupaten Lombok Timur yakni Desa Pengkelak Mas, Kecamatan Sakra Timur yang kasusnya terjadi pada tahun 2011 di mana lokasi tersebut berada di wilayah Kepolisian Resort Lombok Timur. Data yang telah diperoleh tersebut diolah dan dianalisis dengan metode
deskriptif yakni menggambarkan,
4
B. Pembahasan Aksi demonstrasi yang dilakukan di Desa Pengkelak Mas berdasarkan beberapa sumber yang dapat penyusun kemukakan merupakan aksi yang berawal dari suatu kebijakan pemerintah yang mendapat penolakan dari sebagian masyarakat atau golongan tertentu. Dan pada akhirnya melakukan aksi demonstrasi demi menyalurkan aspirasi mereka. Hal ini sesuai dengan pemaparan para saksi yang akan dikemukakan peneliti (penulis) pada penjelasan berikutnya. Di satu sisi, berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, ternyata demonstran yang melakukan aksinya di Desa Pengkelak Mas adalah suatu bentuk pelanggaran hukum. Semua ketentuan yang telah termaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sama sekali tidak sesuai dengan aksi tersebut. Beberapa pelanggaran dimaksud adalah: 1.
Aksi demonstrasi tersebut tidak memiliki izin dari pihak Kepolisian karena pihak demonstran tidak pernah mengajukan permohonan izin kepada pihak Kepolisian.
2.
Aksi tersebut dilakukan tanpa memperhatikan asas dan tujuan yang terdapat
pada Bab 2 Pasal 3 Undang-Undang tersebut. 3.
Aksi tersebut dilakukan tanpa memperhatikan hak dan kewajiban pelaku demonstrasi yang terdapat pada Bab 3 Pasal 6 dan 7 Undang-Undang tersebut.
4.
Pelaku demonstrasi telah terbukti berdasarkan hasil analisa penyusun terhadap hasil penyidikan pihak Kepolisian melanggar Pasal 9 ayat 3 dalam Undang-Undang tersebut. Mereka dengan sengaja membawa barang berbahaya yang selanjutnya digunakan untuk merusak fasilitas umum dalam aksi demonstrasinya.
5
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Kepala Keposilisian Sektor Sakra (Kapolsek) Inspektur Dua Polisi (IPDA) Lalu Irman, peristiwa demonstran berawal dari tidak diterimanya hasil pemilihan Kepala Desa yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 30 Maret 2011 oleh pihak calon Kepala Desa yang kalah dalam pemilihan tersebut yaitu atas nama Syamsul Rijal, S.Ag. melawan calon kepala desa yang menang yaitu atas nama Abdul Muhid, S.Ag. Tidak diterimanya hasil pemilihan Kepala Desa disebabkan oleh gugatan terhadap tidak diterimanya hasil pemilihan tersebut yaitu adanya Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang bukan penduduk Desa Pengkelak Mas ikut memilih. Padahal warga yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap tersebut tercatat sebagai warga Desa Sekaroh Kecamatan Jerowaru. Akan tetapi karena mereka adalah keluarga dari Calon Kepala Desa terpilih, maka mereka dimasukkan menjadi Anggota Wajib Pilih pada saat pemilihan kepala desa tersebut sehingga terjadi penggelembungan suara. Adapun hasil vonis gugatan (Tanggal berapa melakukan penggugatan dan keluar hasil gugatannya) tersebut yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Negeri Selong dimenangkan oleh pihak penggugat (Syamsul Rijal, S.Ag.), akan tetapi vonis tersebut tidak menyatakan kalah dalam pemilihan Kepala Desa terhadap tergugat (Abdul Muhid, S.Ag./Pemenang). Hal ini disebabkan oleh karena Kepala Desa terpilih sudah dilantik baru dilakukan gugatan dan yang digugat adalah Panitia Pemilihan Kepala Desa Pengkelak Mas. Pernyataan ini sesuai dengan Undang-Undang Tentang Pemilu yaitu Undang-Undang No 22 Tahun 2007 Tentang Tugas, Wewenang dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Pasal 8 bagian ketiga.
6
Karena keinginan dan gugatan pihak yang kalah tidak dikabulkan, maka sudah barang tentu pihak penggugat tidak puas dan terjadilah tindakan anarkhis yang berujung dengan pengerusakan Kantor Desa Pengkelak Mas. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Senin tanggal 26 September 2011. Pada peristiwa demonstrasi itu, Kepolisian mengindikasikan demonstrasi di Desa Pengkelak Mas, Kec. Sakra Baiat, Kabupaten Lombok Timur yang dilakukan oleh beberapa orang warga Desa Pengkelak Mas yaitu warga desa yang berasal dari beberapa kekadusan, yaitu Dusun Semanggleng, Dusun Pengkelak Mas, Dusun TanjahAnjah, dan Dusun Gerisak, serta Dusun Penandak. Sesuai dengan keterangan para saksi, maka dapat dikemukakan beberapa persamaan dan perbedaan keterangan para saksi, sebagai berikut: 1) Semua saksi melihat secara langsung kejadian tersebut dari jarak ±10 meter. 2) Kejadian tersebut terjadi pada hari Senin, 26 September 2011 pukul 09.00. 3) Barang bukti yang ditunjukkan oleh pihak Kepolisian mereka kenal dengan baik yang mana merupakan bagian dari Kantor Desa Pengkelak Mas. 4) Mat yang mereka gunakan untuk melakukan aksi perusakan adalah batu kali, bata merah, kayu, dan bambu. 5) Para warga yang melakukan perusakan berasal dari beberapa kekadusan yang ada di Desa Pengkelak Mas. Dari berbagai data yang telah dikumpulkan oleh peneliti, dapat dikatakan bahwa demonstrasi yang terjadi di Desa Pengkelak Mas tergolong demonstrasi yang anarkhis, karena: 1.
Dilakukan tanpa melalui prosedur yang jelas (sesuai ketentuan yang berlaku);
7
2.
Dilakukan secara anarkhis (tanpa memperhatikan asas dan tujuan dari demonstrasi itu sendiri);
3.
Para pelaku membawa barang yang membahayakan bagi keselamatan orang lain yaitu: batu, kayu, bata merah, bambu besi gali (linggis), dll;
4.
Melakukan perusahaan terhadap fasilitas umum yang merupakan suatu tindak pidana karena melanggar ketentuan pasal 406 dan
170 KUHP bahkan
menyerang aparat keamanan (anggota Kepolisian). Polisi telah berusaha membubarkan massa Van berusaha mencegah terjadinya pengerusakan fasilitas umum (Kantor Desa Pengkelak Mas), tetapi para demonstran malah menyerang polisi, bahkan mereka menyerang pihak aparat keamanan dengan berbagai macam senjata. Senjata yang mereka gunakan untuk menyerang polisi antara lain: parang, golok, sabit, batu, kayu dan bambu. Akhirnya, terpaksa Kepolisian membela diri dan melakukan penangkapan beberapa orang yang dianggap sebagai Provokator pada peristiwa itu. Tindakan represif juga dilakukan karena ketiga tahapan yang telah dilakukan Kepolisian dan koordintor lapangan demonstran tidak diindahkan oleh para demonstran. Pada saat itu, dan pihak penegak hukum (Kepolisian) melakukan penangkapan terhadap para pelaku dan berhasil menangkap 11 orang, yaitu: H. Ishak, Amaq Roi alias Satre, Hanapi, Sukri, Hapipuddin, S.Pd., Murdan, Abdul Kadir, Amaq Ida, Mung, Abdurrahim, dan Amaq Maini. Kepolisian Resort Lombok Timur telah melakukan tindakan represif terhadap para pelaku unjuk rasa yang bersifat anarkis berupa penangkapan, penahanan, penyitaan barang bukti dan menyerahkan berkas perkaranya ke
8
Kejaksaan Negeri Selong untuk mendapatkan keputusan dan kekuatan hukum yang tetap. Tindakan refresif Kepolisian ini mengacu pada Prosedur Tetap (PROTAP) No.1 Tahun 2009 "Yang apabila masa sudah melampaui batas tindakannya dalam menyampaikan pendapat dimuka umum maka Polri diberikan kewenangan untuk membubarkan massa pengunjuk rasa". Polri juga telah menyampaikan dengan bahasa yang santun agar masa memadamkan api dan membubarkan diri, dan apabila himbauan tersebut tidak diindahkan oleh masa maka Polri menyampaikan atas nama Undang- Undang melakukan tindakan membubarkan dengan mendorong masa dengan
tangan kosong,
berdasarkan temuan penelitian, sesuai dengan PROTAP No. 1 Tahun 2009 maka POLRI juga telah melaksanakan pengamanan unjuk rasa berdasarkan lima tahapan sebagai berikut sebelum melakukan tindakan refresif: a) masa sudah mulai berkumpul dan tidak menghiraukan himbauan polisi, b)
masa sudah
menuju ke suatu pertemuan mendekati sasaran lokasi/kantor lembaga pemerintah yang di tuju mulai melempar sasaran dengan batu, c) masa membuat suasana gaduh dan menyampaikan ancaman, d) masa berkumpul dan mulai membakar ban, dan e) Massa mulai melakukan tindakan anarkis melempar, membakar, dan merusak fasilitas umum dan gedung kantor pemerintah desa.
9
C. Penutup Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: C.1.
Kesimpulan
1. Suatu tindakan demonstrasi bisa dikatakan anarkhis apabila: a. Tindakan tersebut mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat; b. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum; c. Tindakan tersebut melanggar Undang-Undang (melanggar hukum); d. Tindakan tersebut membahayakan nyawa, mengancam pribadi dan orang orang lain; 2. Pihak Kepolisian diperkenankan melakukan tindakan represifjika dalam beberapa hal: a. Melindungi dan membela diri dari kejahatan orang lain; b. Melindungi dan membela kepentingan masyarakat umum serta untuk mewujudkan pertahanan, ketertiban umum, dan keamanan bangsa dan negara; c. Menjalankan perintah dan amanat negara dalam rangka mewujudkan tujuan penegakkan terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia; d. Untuk kepentingan penyidikan terhadap pelaku kejahatan. 3. Pihak Kepolisian melakukan tindakan refresif jika terlebih dahulu telah melakukan tindakan-tindakan preventif
10
4. Tindakan Kepolisian ini berdasarkan beberapa dasar-dasar hukum yaitu: a. Ketetapan-ketetapan
tentang
Kepolisian
yaitu:
TAP
MPR
No.
VI/MPR/2000 dan Kepres No. 89 Tahun 2000; b. Undang-undang Kepolisian: Undang-Undang No. 2 Tahun Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; c. KUHP: Pasa1406 Ayat 1 dan Pasal 170; d. KUHAP Pasal 18 yat 1, 2, dan 3; e. Protap Kepolisian: Protap Nomor 1 Tahun 2009 dan Protap Nomor 8 Tahun 2010.
C.2.
Saran
1. Masyarakat hams memahami batasan-batasan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sehingga berakibat pada tindakan anarkis yang dapat mengarah kepada tindak pidana. 2. Perlu dilakukan sosialisasi yang lebih intesif kepada masyarakat mengenai Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 3. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai permasalahan yang sama namun dengan indikator yang berbeda, seperti psikologi masa dan oknum Polisi dalam suatu demonstrasi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku dan Pedoman Amiruddin dan Zainal, A. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Asshiddiqie, J. 2006. Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press. Azmar dan Saifitddin. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Soebroto Brotodiredjo.Azas-azas Wewenang Kepolisian. Majalah Byangkara, No. 60 PTIK. Jakarta. September. 1983. Hamzah, A. 1993.Pengantar Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia. Kanter, E. Y. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika. Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Nusa Tenggara Barat Resort Lombok Timur. 2011. Berkas Perkara Tindak Piadana Secara Bersamasama Pada Kasus Demonstrasi Anarkis di Desa Pengkelak Mas. Kunarto. 2001. Bunga Rampai Polri Mandiri Menengok Ke Belakang Menatap Masa Depan. Jakarta: Panitia Workshop Wartawan Pohl Kunarto. 1996. Etika Kepolisian.Jakarta: PT. Cipta Manunggal. Kusumah, M. W. 1984. Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu Pengantar Ringkas. Bandung: Armico. Marpaung, L. 1991. Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika. Mertokusumo, S. 1996. Penemuan Hukum, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Moeljatno, 2009.Asas-Asas Hukum Pidana.Rineka Cipta, Jakarta. Narbukhoi_ Khnlid dan Actin-mil A 200R Metode Penelitian (Memheri hekal tenritic kenarla
12
Rizki, M. Gerry. 2008. Edisi Lengkap KUHP & KUHAP. Jakarta: Permata Press. Satjipto, R. 2002. Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Jakarta: Buku Kompas. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 1999. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono, dkk. 1985. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Radjawali. Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Suherman, A. M. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sutanto. 2006. Polmas Paradigma Baru. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Toriq, Ahmad. 2011. Polisi Juga Manusia.Detik News (25 Desember 2011, Pukul 09:31 WIB). http://makalah-hukum-pidana.blogspot.com/2012/05/penahanan.html