TINDAKAN HIPNOTERAPI DOKTER DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PIDANA THE CRIMINAL ASPECT OF MEDICAL HYPNOTHERAPY
A. Anggrainy,1 Andi Sofyan,2 Muhadar,2 1
Bagian Hukum Kesehatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin 2 Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : A. Anggrainy Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 082188344084 Email :
[email protected]
1
Abstrak Penelitian ini berlatarbelakang tentang penyelenggaraan hipnoterapi dokter yang dikaitkan dengan dunia hukum kesehatan. Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami (1) tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan (2) pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Penelitian ini dilaksanakan di Makassar. Penelitian ini menyangkut tindakan hipnoterapi yang dilakukan oleh dokter dalam pelayanan medis. Penelitian difokuskan pada klinik atau praktik pribadi dokter. Metode yang digunakan adalah survei lapangan dengan mewawancarai dua puluh satu orang dokter yang terdiri dari dokter umum, dokter spesialis anastesi, dokter spesialis jiwa, dokter spesialis saraf dan dokter gigi. Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan disajikan secara deskriptif yaitu mengguraikan kenyatan yang ada berdasarkan hasil penelitian sesuai permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan hipnoterapi merupakan tindakan yang memiliki dampak yang berisiko tinggi terhadap tubuh pasien, sehingga ada beberapa tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yaitu tindakan hipnoterapi yang dilakukan tanpa persetujuan pasien dan/atau keluarga pasien, tindakan hipnoterapi yang dilakukan terhadap pasien skizofrenia, tindakan hipnoterapi yang mengakibatkan over dosis obat setelah terapi dan penggunaan anestesi mental yang tidak tepat saat terapi. Tanggung jawab profesi dokter atas tindakan hipnoterapi dalam pelayanan medis akan berimplikasi yuridis jika terbukti adanya kesalahan/kelalaian, hubungan batin antara pelaku dan perbuatan dan tidak adanya alasan pemaaf atau alasan penghapusan pidana. Kata Kunci : Hipnoterapi Dokter, Hukum Pidana
Abstract The background research on the administration of hypnotherapy physycian associated with health law. The aims of the research are to understand (1) hypnotherapy action categorized as criminal action, and (2) criminal responsibility on hypnotherapy action that can be accounted for criminally. The research was conducted in Makassar City concerning with hypnotherapy action done by doctors in giving medical services, so it was focused on clinic or doctors' private practice. The method used was field survey by interviewing 21 doctors consisting of general practitioners, anesthesiologists, psychiatrists, neurologists and dentists. The data were arranged systematically and presented descriptively in order to describe the existing facts based on the results of research in accordance with the problems under research. The result of the research indicate that hypnotherapy action is in an action having high rick impact on patients. Therefore, there are several hypnotherapy actions that can be categorized as criminal action, i.e. hypnotherapy action done without any agreement with patients and/or patients' family (informed consent), hypnotherapy action causing over doze of drugs after therapy, and the use of mental anesthesia which is not appropriate at the time of therapy. The responsibility of doctors' profession on hypnotherapy action in medical services will give juridical implication if in fact, there is a mistake/negligence, psychological contact between actor and action, and there is no forgiveness reason or criminal abolition reason. Keywords : Medical Hypnotherapy, Criminal Aspect
2
PENDAHULUAN Kesehatan merupakan amanat konstitusi yang tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang secara tegas mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, hak atas kesehatan adalah hak asasi setiap manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan tujuan nasional bangsa Indonesia (Kusuma, 2010). Jaminan pengakuan hak atas kesehatan secara eksplisit dijelaskan dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 9 yang menyatakan
bahwa
“Setiap
orang
berhak
untuk
mempertahankan dan
meningkatkan taraf hidupnya serta berhak untuk hidup tentram, aman, damai, sejahtera lahir dan batin”. Dengan demikian, untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal maka senyatanya diperlukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang terpadu. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan setiap dokter dan dokter gigi wajib memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan mengacu pada Undang–undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Berdasakan pada peraturan perundangan-undangan tersebut maka dewasa ini berbagai macam upaya dilakukan oleh para dokter dan dokter gigi dalam rangka mencapai kesembuhan pasien. Keinginan dokter untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien inilah yang melatarbelakangi keinginan mereka untuk menempuh teknik penyembuhan melalui Hipnoterapi. Hipnoterapi dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan dengan Pikiran (mind), misalnya mengatasi insomnia dengan hipnoterapi dan mengatasi kebiasaan merokok dengan hipnoterapi. Terapi dengan hipnoterapi akan bekerja dengan mensugesti pikiran bawah sadar manusia (Hakim, 2010). Dewasa ini telah berkembang suatu disiplin ilmu baru yaitu Psikologi Kesehatan (Lukaningsih, 2011). Psikologi Kesehatan dalam latar belakang sejarah 3
Psikologi Klinis yang sudah dikenal dengan nama Medical Psychology dan sekarang selalu dikaitkan dengan behavioral medicine. Dasar pemikiran Psikologi Kesehatan adalah adanya hubungan antara pikiran manusia (mind) dan tubuhnya. Di Indonesia, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan praktik hipnoterapi sebagai terapi kedokteran komplementer atau pengobatan alternatif. Dengan demikian, hipnoterapi diselenggarakan berdasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
1109/MENKES/PER/IX/2007
tentang
Penyelenggaraan
Pengobatan
Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Pasal 1 bahwa “Pengobatan komplementer alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional”. Selanjutnya dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa penyelenggaraan pengobatan komplementer alternatif
bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan tenaga pengobatan komplementer alternatif. Kemudian dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1109/MENKES/PER/IX/2007 dijelaskan bahwa salah satu ruang lingkup pengobatan komplementer alternatif adalah intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) yang merupakan kriteria dari ruang lingkup hipnoterapi. Hipnoterapi merupakan suatu kata yang berasal dari kata “Hipnosis”. Hipnosis sendiri berasal dari kata “hypnos” yang merupakan nama dewa tidur orang Yunani. Namun, harus dipahami bahwa kondisi hipnosis tidaklah sama dengan tidur. Orang yang sedang tidur tidak menyadari dan tidak bisa mendengar suara-suara di sekitarnya. Sedangkan orang dengan kondisi hipnosis, meskipun tubuhnya beristirahat (seperti tidur), ia masih bisa mendengar dengan jelas dan merespon informasi yang diterimanya (Pangayoman, 2010). 4
Berbagai penelitian dalam dunia kedokteran telah memberikan bukti bahwa
tindakan
hipnoterapi
memiliki
berbagai
macam
manfaat
jika
diimplementasi sebagai tindakan komplementer dari tindakan kedokteran yang utama. Diantaranya, penelitian dari para dokter di Harvard menyatakan bahwa hipnosis merupakan salah satu praktik penyembuhan yang paling dapat diterima dan ampuh untuk mengendalikan segala gangguan psikosomatik dan hasil penelitian terakhir telah membuktikan bahwa Hipnosis dapat menginduksi relaksasi pada pasien penyakit jantung dan memiliki nilai terapeutik yang dapat diukur sehingga terapi hipnosis di Amerika dianggap sebagai terapi kedokteran komplementer (Mehmed, 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Bayu Hendriyanto untuk melihat pengaruh hipnoterapi terhadap tingkat
stress mahasiswa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Padjajaran menyatakan bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penurunan tingkat stress terbukti, yaitu dari persentase tingkat stress normal setelah dilakukan hipnoterapi yaitu sebanyak 16 responden (53,33%) dari 0 responden (0%) pada tingkat stress normal sebelum dilakukan hipnoterapi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 28 Mei – 15 Juni 2012. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara penggunaan hipnoterapi terhadap tingkat stress. Oleh karena, hipnosis mampu menurunkan hormon ACTH yang merupakan hormon stress sehingga penurunannya menyebabkan seseorang menjadi rileks dan tenang (Hendriyanto, 2012). Namun adanya realitas yang diungkapkan melalui situs online kompasiana menyatakan bahwa hipnoterapi dapat berdampak negatif yaitu terjadinya panic attack yang hampir tidak dapat dikendalikan terhadap pasien tersebut setelah mendapatkan direct suggestion post hipnoterapi (Andri, 2012). Dampak negatif yang ditimbulkan senyatanya membawa pengaruh yang bersinggungan dengan dunia hukum kesehatan sehingga diperlukan pengkajian mendalam dan spesifik terhadap pembatasan tindakan hipnoterapi. Tujuan penelitian ini adalah 5
mengetahui tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dan juga mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana. METODE PENELITIAN Lokasi dan Jenis Penelitian Lokasi penelitian data empiris dilakukan di wilayah Kota Makassar sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris atau sosiologis dengan menggunakan studi kasus berupa perilaku hukum masyarakat yang menekankan pada langkah-langkah observasi dan analisis yang bersifat empiris kualitatif (sociolegal research). Responden Penelitian Responden penelitian dalam penelitian ini adalah sebanyak 21 orang dokter yang menggunakan hipnoterapi sebagai terapi alternatif komplementer secara legal dan berpraktik di Kota Makassar. Responden penelitian terdiri dari dokter umum, dokter spesialis anastesi, dokter spesialis jiwa, dokter spesialis saraf dan dokter gigi yang telah mengikuti pelatihan hipnosis dan telah memperoleh sertifikasi dari suatu organisasi profesi praktisi hipnoterapis di Indonesia serta telah menerapkan teknik hipnoterapi sebagai terapi alternatif komplementer kedokteran secara legal dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien/klien. Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan cara interview atau wawancara, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah bebas terpimpin. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan cara menguraikan atau memaparkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, lalu
6
diinterpretasikan secara sistematis dengan persoalan yang ada sebagai kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. HASIL Dasar Kewenangan Dasar penyelenggaraan praktik hipnoterapi dokter yaitu : Undang-Undang No.29 Thn 2004 Tentang Praktik kedokteran, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 79. Undang-Undang No.36 thn 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 1, Pasal 144 ayat (1)
dan
(2).
PERMENKES
RI
No.1109/Menkes/Per/IX/2007
tentang
Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 ayat (1) dan (2). Persetujuan Tindakan Kedokteran Sebanyak 21 responden (100%) menyatakan bahwa sebelum melakukan tindakan hipnoterapi maka setiap dokter meminta persetujuan dari pasien dan/atau keluarga pasien. Bentuk Persetujuan Tindakan Kedokteran Sebanyak 18 responden (85,7%) menyatakan bahwa persetujuan tindakan hipnoterapi yang digunakan adalah dalam bentuk lisan dengan menggunakan bahasa yang sempurna sedangkan 3 responden (14,3%) lainnya menyatakan bahwa persetujuan tindakan hipnoterapi yang digunakan adalah dalam bentuk bahasa isyarat misalnya anggukan kepala dari pasien. Hipnoterapi Tanpa Persetujuan Pasien Sebanyak 15 responden (71,4%) menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi dapat dilakukan tanpa persetujuan pasein sedangkan 6 responden (28,6%) lainnya menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan dari pasien. Resiko Tindakan Hipnoterapi Sebanyak 19 responden (90,5%) menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi memiliki dampak yang berisiko tinggi terhadap pasien sedangkan 2 responden (9,5%) lainnya menyatakan tidak berisiko terhadap pasien. Malpraktik Hipnoterapi 7
Sebanyak 19 responden (90,5%) menyatakan bahwa tindakan hipnoterapi dapat berakibat malpraktik dan 2 responden (9,5%) lainnya menyatakan tidak. Kontraindikasi Hipnoterapi Sebanyak 17 responden (80,9%) menyatakan bahwa ada penyakit tertentu yang merupakan kontraindikasi terhadap dilakukannya suatu tindakan hipnoterapi sedangkan ada 4 responden (19,1%) menyatakan bahwa tidak ada kontraindikasi terhadap tindakan hipnoterapi. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa harus dilakukan pembatasanpembatasan terhadap penyelenggaraan tindakan hipnoterapi dikarenakan ada beberapa tindakan hipnoterapi yang dapat memenuhi indikator tindak pidana jikalau dilakukan tanpa pembatasan dan regulasi yang jelas. Senyatanya, hipnoterapi dapat dilakukan oleh dokter tanpa sepengetahuan pasien dikarenakan adanya nilai kepercayaan (trust) terhadap dokter. Tindakan ini merupakan suatu jenis kesengajaan dan pelanggaran dalam KUHP. Dengan demikian, setiap tindakan hipnoterapi yang akan dilakukan oleh dokter harus diawali dengan informed consent yang merupakan suatu bentuk persetujuan dari pihak dokter dan/atau keluarga pasien setelah menerima penjelasan tentang dampak positif dan negatif
dari
tindakan
tersebut.
Selain
itu,
Permenkes
No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran yang berisiko tinggi harus mendapat persetujuan secara tertulis dari pihak pasien. Adapun dampak negatif dari tindakan hipnoterapi
adalah terjadinya
manipulasi pikiran atau false memory yang terkait dengan indikator kategori tindak pidana yang kedua yaitu adanya perlakuan medis yang menyimpang. Oleh karena, tindakan hipnoterapi diharapkan dapat memberikan kesembuhan terhadap pasien tetapi jika pemberian sugesti berdampak memanipulasi pikiran pasien maka tindakan ini dikatakan sebagai perlakuan medis yang menyimpang sebab berdampak terhadap kejiwaan dan pikiran pasien. 8
Selain itu, tindakan hipnoterapi yang tidak benar dapat menimbulkan beberapa resiko malpraktik, diantaranya overdosis obat setelah hipnoterapi dan penggunaan anastesi mental yang tidak tepat serta tindakan hipnoterapi senyatanya memiliki kontraindikasi perawatan terhadap pasien dengan diagnosa skizofrenia dan pasien dengan gangguan mental sehingga jika dokter tetap melakukan perawatan terhadap pasien yang merupakan kontraindikasi dari tindakan tersebut dan menjanjikan kesembuhan seperti kesembuhan terhadap pasien psikosomatik maka perbuatan ini dikatakan malpraktik Dari hasil penelitian pada bagian sebelumnya dapat dilihat bahwa kasus yang pernah ditemui dokter adalah ada kasus penggunaan anastesi mental yang tidak tepat sehingga menyebabkan seorang pasien mengalami keparahan dislokasi tulang, yang seharusnya pasien tersebut harus menjalani terapi reposisi tulang terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan hipnoterapi untuk membantu menghilangkan rasa sakitnya. Khusus untuk profesi kedokteran maka standar profesi medis, standar pelayanan kesehatan, serta standar operasional prosedur harus mendapat perhatian yang lebih serius. Dikarenakan, kealpaan atau kelalaian dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, tolak ukur utamanya adalah dipenuhi atau tidaknya standarstandar dimaksud (Yunanto, 2010). Dengan demikian, penyelenggaraan tindakan hipnoterapi dokter yang bertalian dengan indikator-indikator pengkategorian tindakan pidana antara lain adanya kesengajaan, adanya perilaku medis yang menyimpang serta adanya kelalaian besar terhadap tubuh dan nyawa. Dalam KUHP beberapa pasal yang terkait dengan ketiga indikator tersebut yaitu Pasal 55 KUHP yang berkaitan dengan adanya penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, Pasal 89 KUHP yang menyebutkan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan tindakan kekerasan, Pasal 90 KUHP yang menyebutkan bahwa salah satu yang dimaksud luka berat dalam KUHP adalah terganggunya daya pikir seseorang lebih dari empat minggu, Pasal 289 KUHP yang menyebutkan tentang ancaman pidana penjara sembilan tahun terhadap seseorang 9
yang melakukan kekerasan atau memaksa melakukan kekerasan yang menyerang kehormatan kesusilaan, Pasal 290 KUHP yang menyebutkan tentang ancaman pidana penjara tujuh tahun bagi seseorang yang melakukan perbuatan asusila terhadap seseorang yang diketahui pingsan atau tidak berdaya, Pasal 335 KUHP yang berkaitan dengan ancaman pidana penjara satu tahun terhadap seseorang yang secara melawan hukum melakukan tindakan kekerasan terhadap orang lain, Pasal 359 KUHP yang menyebutkan tentang ancaman pidana penjara lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun terhadap seseorang yang melakukan suatu kealpaan sehingga menyebabkan matinya orang lain, Pasal 360 KUHP ayat 1 menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun terhadap seseorang yang karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, Pasal 360 ayat 2 menyebutkan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan terhadap
seseorang
yang
menyebabkan
orang
lain
luka-luka
sehingga
menimbulkan penyakit lain yang menjadi halangan menjalankan jabatan atau pencahariannya selama waktu tertentu serta Pasal 361 KUHP yang menerangkan bahwa pidana ditambah dengan sepertiga jika tindakan pidana kejahatan yang dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara tindak pidana biasa dengan tindak pidana medis. Oleh karena dalam tindak pidana biasa yang perlu diperhatikan adalah akibatnya, sedangkan untuk perbuatan/tindak pidana medis adalah penyebabnya. Maka, walaupun berakibat fatal, namun bila tidak didapati adanya kesalahan yaitu unsur kelalaian atau kealpaan yang berkaitan dengan profesi kedokteran, maka dokter tidak dapat dituntut (Machmud, 2012). Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam
perkembangan
dunia
kedokteran
muncul
permasalahan
pertanggungjawaban pidana dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian yang didasarkan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana (Wahjoepramono, 2012). Pertanggungjawaban pidana timbul jika perbuatan tersebut dapat 10
dibuktikan adanya unsur kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan atan perawatan. Dari segi hukum, kesalahan/kelalaian akan selalu berkaitan dengan sifat melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Wiyanto, 2012). Dengan demikian, kemampuan bertanggung jawab adalah keadaan mentalitas psikis dan kematangan yang mengarahkan pemikiran pada adanya tiga kemampuan penilaian yaitu mampu untuk mengerti nilai dan akibat-akibat dari perbuatannya sendiri, mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya tersebut tidak diperbolehkan dalam kehidupan bermasyarakat, serta mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sehubungan dengan itu maka dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak menurut hukum, ada 3 faktor indikator penentu yaitu pelaku menyadari atau tidak menyadari perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan adanya hubungan batin antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan yaitu berupa dolus atau culpa, serta tidak adanya alasan pemaaf (Isfandyarie, 2006). Di Indonesia, masalah pertanggungjwaban hukum pidana seorang dokter diatur dalam KUHP yang mencakup tanggung jawab hukum yang ditimbulkan oleh kesengajaan maupun kealpaan/kelalaian. Untuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, maka penegak hukum harus dapat
membuktikan adanya hubungan kausalitas
antara kelalaian dokter atau unprofessional conduct dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan dokter atau institusi kepada pasien. Oleh karena, dalam peradilan pidana, unsur sifat melawan hukum harus dapat dibuktikan secara formil dan materill, dapat diperkuat atau diperlemah oleh suatu perbuatan yang juga melanggar peraturan disiplin atau etik sekaligus. KESIMPULAN DAN SARAN
11
Tindakan hipnoterapi merupakan tindakan yang memiliki dampak yang beresiko tinggi terhadap tubuh pasien, sehingga ada beberapa tindakan hipnoterapi dokter yang bertalian dengan indikator-indikator pengkategorian tindakan pidana. Diantaranya indikator kesengajaan terhadap tindakan hipnoterapi yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pihak pasien dan/atau keluarga pasien, indikator perlakuan medis yang menyimpang terhadap tindakan hipnoterapi yang mengakibatkan terjadinya manipulasi pikiran terhadap pasien dan tindakan hipnoterapi yang melanggar norma kesusilaan serta indikator kelalaian besar terhadap kesehatan tubuh dan nyawa yaitu tindakan hipnoterapi yang menimbulkan resiko overdosis obat setelah hipnoterapi, penggunaan hipnoterapi sebagai anestesi mental yang tidak tepat serta tindakan hipnoterapi terhadap pasien skizofrenia atau gangguan mental bawaan dengan jaminan kesembuhan. Untuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan hipnoterapi yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, maka penegak hukum harus dapat membuktikan adanya hubungan kausalitas antara kelalaian dokter atau unprofessional conduct dengan kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan dokter atau institusi kepada pasien. Adapun beberapa kriteria yang harus dipenuhi, yaitu dokter menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang dan bertentangan dengan undang-undang, adanya hubungan batin antara pelaku dan perbuatan yang
dilakukan yaitu berupa dolus atau culpa, Tidak
adanya alasan penghapusan pidana atau alasan pemaaf. Dengan demikian, disarankan perlunya regulasi yang jelas tentang tindakan hipnoterapi secara khusus sehingga semua pihak mengerti batasan-batasan tindakan hipnoterapi yang diperbolehkan dan tidak bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia dan juga sebaiknya sebelum menerapkan teknik hipnoterapi membuat persetujuan tindakan kedokteran yang disertai dengan kesepakatan isi sugesti yang akan diberikan kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
12
(2012). Hipnoterapis, Bukan Dokter Tapi Resepkan Obat, Kompasiana.com,http://www/health.kompas.com/read/2012/09/27Hipnoterapis.Bukan .Dokter.Tapi.Resepkan.Obat/. Jakarta. Hakim, Andri. (2010). Hipnoterapi : Cara Tepat Mengatasi Stress, Fobis, Trauma dan Gangguan Mental Lainnya. Cet. I. PT.Transmedia Pustaka. Jakarta. Hendriyanto, Bayu. (2012). Pengaruh Hipnoterapi Terhadap Tingkat Stress Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran. Jurnal UNPAD, Vol.1 No. 1. http://www.journals.unpad.ac.id/ejournal/article/view/ 715. Bandung. Isfandyarie, Anny; Afandi, Fachrizal. (2006). Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Dokter Buku Ke II. PT. Prestasi Pustaka. Jakarta. Kusuma, Nelman. (2010). Postur Sehat dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmu Hukum Amanagappa. Vol. 18. No.4. Lukaningsih, Zuyina Luk; Bandiyah, Sitti. (2011). Psikologi Kesehatan. Cet. I. Nuha Medika. Yogyakarta. Machmud, Syahrul. (2012). Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek. Cet.I. Karya Putra Darwati. Bandung. Mehmet, C Oz. (2011). Healing From The Heart. Cetakan I. PT. Mizan Media Utama. Bandung. Pangayoman, Samudra. (2010). 3 Hari Master Hipnotis Paling Andal. Cetakan I. PT. Pustaka Araska Media Utama. Yogyakarta. Wahjoepramono, Eka Julianta. (2012). Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik. Karya Putra Darwati. Bandung. Wiyanto, Roni. (2012). Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. CV. Mandar Maju. Bandung. Yunanto, Adi; Helmi. (2010). Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dan Perspektif Medikolegal. Ed.I. CV. Andi Offset. Yogyakarta. Andri.
13