Volume 28, 2013
MUDRA Budaya Volume 28, Jurnal NomorSeni 2, Juli 2013 p 121 - 128
ISSN 0854-3461
Upacara Kaago-Ago dalam Tradisi Perladangan pada Masyarakat Muna: Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna LA NIAMPE Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Haluoleo Kendari, Indonesia E-mail :
[email protected]
Artikel ini membicarakan tentang Upacara Kaago-ago dalam tradisi perladangan pada masyarakat Muna, yang dikaji berdasarkan bentuk, fungsi dan maknanya. Upacara Kaago-ago telah dilakukan oleh masyarakat Muna sebelum Islam masuk di Pulau Muna. Upacara Kaago-ago dilakukan dengan maksud mendapatkan keselamatan dalam kegiatan perladangan, terhindar dari marabahaya serta hasil panen yang melimpah. Upacara Kaago-ago memiliki fungsi religius, sosial dan fungsi ekonomi. Selain itu pula pelaksanaan Upacara Kaago-ago mempunyai makna kebersamaan atau solidaritas, serta makna pelesatarian budaya.
The Kaago-Ago Ceremony in the Farming Tradition of the Muna Community: a Study of Form, Function and Meaning This article discusses the Kaago-ago ceremony in the farming tradition of the Muna community, which is analyzed based on its form, function and meaning. It had been performed by the Muna community before Islam was introduced to the Muna community. It is performed to propose that the people be avoided from any danger, be protected and that they be provided with high yields. It has religious, social and economic functions. The meanings it has are togetherness or solidarity and cultural maintenance. Keywords: Kaago-ago ceremony, customs, and the Muna community.
Muna, yang oleh penduduk lokalnya lebih mengenalnya dengan nama ”Wuna” merupakan salah satu wilayah kepulauan yang terletak di ujung jazirah tenggara pulau Sulawesi. Secara administrasi pemerintahan, Muna merupakan salah satu kabupaten dari 12 (dua belas) kabupaten dan kota dalam wilayah administrasi pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas kepulauan Muna ± 4.887 km2, jarak terjauh dari barat ke timur 112,5 km dan dari utara ke selatan 92,5 km. Secara umum, topografi pulau Muna dapat dikatakan sebagai tanah datar, pesisir Timur merupakan tebing, sedikit berbukit-bukit. Sepanjang tahun hanya mengenal dua musim, yaitu musim hujan (November hingga April) dan musim kemarau (Mei hingga Oktober). Musim hujan digunakan
oleh masyarakat Muna untuk menanam tanaman bahan makanan terutama jenis makanan pokoknya yaitu jagung. Jenis makanan lain adalah singkong, ubi jalar, dan sedikit padi. Pada musim kemarau, angin bertiup dari timur ke barat dengan sedikit membawa uap air sehingga menyebabkan turunnya curah hujan meskipun sedikit. Kesempatan musim ini digunakan juga oleh masyarakat Muna untuk menanam tanaman jagung (makanan pokoknya) meskipun produksinya lebih sedikit dari produksi jagung pada musim hujan. Meskipun dalam satu tahun terdapat dua musim untuk menanam jagung, akan tetapi dalam meningkatkan hasil produksi tanaman jagung ini, masyarakat Muna memiliki tradisi yang unik yang telah menjadi kesepakatan kolektif yaitu mulai dari 121
La Niampe (Upacara Kaago-Ago dalam Tradisi...)
pembukaan kawasan hutan baru sampai dengan pascapanen. Mereka memiliki keyakinan bahwa hutan-hutan di Muna banyak dihuni oleh makhluk ghaib yang berpotensi mengganggu kehidupan manusia. Mereka juga mengakui keberadaan makhluk ghaib ini memiliki hak dan kewajiban bahkan memiliki peranan penting di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Masyarakat Muna secara intensif melakukan hubungan komunikasi dengan mereka melalui upacara tradisional. Komunikasi mereka melalui upacara tradisional itu biasanya bersifat permohonan, permintaan, rasa syukur, dan permintaan berkah kepada makhluk ghaib agar produksi pertanian mereka dalam hal ini tanaman jagung bisa meningkat. Tampaknya tradisi seperti ini sampai sekarang masih tetap bertahan di tengahtengah komunitas petani di Muna. Dalam prilaku anggota-anggota masyarakat yang menyangkut hubungan sesamanya berlaku normanorma (1) norongga noroggamo bahda, sumanomo konorongga liwu (biarkan hancur badan, asalkan negeri tetap tegak); (2) norongga noronggamo liwu, sumanomo konorongga adhati (biarkan hancur negeri, asalkan adat tetap tagak); (3) norongga noronggamo adhati, sumanomo konorongga agama (biar hancur adat, asalkan agama tetap tegak). Nilai-nilai yang terkandung dalam norma tersebut merupakan nilai pengutamaan kepentingan masya rakat di atas kepentingan pribadi atau golongan, nilai penengakan dan ketaatan pada hukum, serta pengutamaan nilai-nilai kebenaran berdasarkan ajaran Agama Islam. Norma ini merupakan patokan dari berbagai aturan lainnya, seperti dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan termasuk perilaku sehari-hari, dalam mengelola mata pencaharian, dan dalam segala tingkahlaku masyarakat. Dalam hubungan dengan mata pencaharian, norma-norma adat di Muna telah memberikan aturan-aturan yang cukup. Mata pencaharian utama orang Muna adalah bertani. Sesuai dengan kondisi lahan yang pada umumnya merupakan lahan kering, bentuk pertanian yang dilakukan adalah pertanian lahan kering atau perladangan. Masalah tanah telah diatur penggunaannya menurut adat. Di zaman kerajaan dahulu, semua tanah merupakan milik Sarano Wite (Pemerintah Pusat). Pemanfaatan lahan telah ditetapkan oleh Sarano Wite yang mencakup berbagai keperluan, seperti batas-batas wilayah 122
MUDRA Jurnal Seni Budaya
pemerintahan, perladangan, hutan, perburuan, pekuburan, dan wilayah-wilayah larangan. Dalam banyak hal, pelaksanaannya dipercayakan pada Sarano Liwu (Pemerintah Kampung) untuk mencapai tingkat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang lebih efisien dan efektif. Status hak milik atas tanah secara pribadi, pada prinsipnya tidak dibenarkan oleh adat, yang ada hanyalah hak pakai. Sehubungan dengan hak pakai, menurut adat terdapat beberapa bentuk hak sebagai berikut. (a) Ome, ialah sebidang tanah bekas perladangan yang ditumbuhi hutan atau semak-semak tanpa tanda-tanda bukti yang menunjukan bahwa tanah itu pernah diolah, kecuali penyaksian oleh masyarakat setempat dan oleh Sarano Liwu (Pemerintah Kampung). Apabila tanah ome akan diolah kembali, prioritas utama diberikan kepada pengelola pertama. Kalau pengelola pertama pada kesempatan satu musim tanam tidak bersedia mengelolanya, Sarano Liwu dapat menunjuk orang lain untuk mengelolanya tanpa membayar kerugian.
Pengolahan oleh orang lain dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, apabila tanah itu hanya ditanami dengan tanaman jangka pendek untuk satu atau dua musim tanam dengan pagar kayu sederhana sekedar mencegah hama babi, dan setelah itu ditinggalkan lagi lalu menjadi ome kembali, hak untuk pengolahan berikutnya tetap diprioritaskan kepada pengelola pertama. Demikian seterusnya selama tanah itu berstatus ome pengolahannya dapat silih berganti, tetapi prioritas utama selalu diberikan kepada pengelola pertama. Prioritas pertama yang dimiliki dapat diturunkan kepada ahli warisnya. Kedua, apabila orang lain memagari tanah itu dengan pagar permanen berupa susunan batubatu yang teratur rapi, ditanami dengan tanaman jangka panjang, tanah ini beralih statusnya dan hilanglah hak pengelola pertama.
(b) Tando tando, yang biasa juga disebut Kalibu, ialah sebidang tanah yang pernah diolah beberapa musim tanam dan sedikit banyaknya telah mempunyai tanda-tanda bukti pengolahan. Hak pakai yang melekat pada pengolahannya lebih kuat dari pada hak pakai pada ome. Status
Volume 28, 2013
MUDRA Jurnal Seni Budaya
tanah ini agak kuat sehingga tidak bebas lagi untuk diolah oleh orang lain. Akan tetapi, kalau ditelantarkan secara terus menerus dalam jangka waktu lama sehingga ditumbuhi hutan atau semak-semak, status tanah itu dapat berubah kembali menjadi ome.
seperti yang sedang digalakkan sekarang, juga telah berakar pada adat mengenai tanah di Muna sejak zaman kerajaan dahulu. Sistem pertanian berpindah-pindah dimasa lampau, tidak lain adalah cara berpindah dari ome ke ome, bukan dari kawasan hutan ke kawasan hutan yang lain.
(c) Dasa, ialah sebidang tanah yang oleh pengolahannya telah dipagari dengan batu sacara permanen, baik telah ditanami dengan tanaman keras maupun belum, atau telah ditumbuhi hutan atau semak ataupun belum. Hak pakai jenis ini cukup kuat, tak bebas lagi diolah orang lain tanpa seizin pengolahnya yang harus diketahui oleh Sarano Liwu. Hak ini dapat diturunkan kepada ahli warisnya.
Perkembangan penduduk secara alamiah mengakibatkan tanah-tanah ome tidak dapat lagi menampung keluarga-keluarga baru untuk berladang, memungkinkan dapat menurunnya tingkat kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu, Sarano Wite bersidang untuk mencari dan menetapkan areal-areal hutan mana yang mungkin dapat dibuka sebagai lahan pertanian atau perladangan baru. Penetapan kawasan hutan untuk tanah perladangan baru selalu mempertimbangkan perlunya pelestarian hutan produksi, habitat satwa liar, seperti rusa, sapi, ayam hutan, dan lebah. Kawasan hutan yang dibuka, kelak menjadi tanah ome milik keluarga-keluarga baru.
(d) Kaindea, ialah sebidang tanah yang penuh dengan tanaman keras, seperti kelapa, aren, cempedak, dan langsat terus berproduksi. Hak pakai pengolahnya kuat sekali dan dapat diturunkan kepada ahli warisnya. (e) Bungi, ialah sebidang tanah yang diberikan kepada seseorang bangsawan karena jabatannya dalam Sarano Wite (Pemerintah Pusat) yang ditanami dengan tanaman keras. Hak pakai dapat diturunkan kepada ahli warisnya. Kalau tanah ini tidak diolah sehingga ditumbuhi hutan dapat beralih status menajadi ome. (f) Kegholei, ialah tanah-tanah jabatan yang diperuntukkan khusus bagi para pejabat Sarano Wite. Hak yang dimiliki hanyalah untuk memetik hasil. Hak ini hilang setelah berhenti dari jabatannya dan beralih kepada pejabat yang menggantinya. (g) Kasasi, ialah areal hutan, baik yang sudah pernah diolah maupun yang belum dilarang untuk diolah atau diolah kembali, kecuali atas izin Sarano Wite. Pada zaman kerajaan Muna, pemanfaatan tanah diatur dengan rapi menurut adat. Hutan-hutan tidak dapat dimusnahkan begitu saja, baik untuk keperluan pertanian / perladangan maupun untuk keperluan lain-lain. Jika ada seseorang yang membuka hutan tanpa seizin Sarano Wite, dikenakan hukuman berat. Gagasan dan pelaksanaan pelestarian lingkungan
Sesuai dengan status pemilikan tanah oleh penduduk, yakni hak pakai, norma adat tidak memperkenankan warga masyarakat menggadaikan, apalagi menjual tanahnya. Peminjaman tanah untuk di garap oleh orang lain dari luar kampung dapat dibenarkan, tetapi dengan setahu Sarano Liwu (Pemerintah Kampung). Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya ketika kedatangan Belanda, si pemilik hak pakai berhak memperoleh jaminan peminjaman sebesar 30 sen, yang ditetapkan oleh Sarano Liwu, tanpa memperhitungkan jenis, jumlah hasil, dan luas tanah. Orang asing yang tidak menetap di Muna, tidak berhak menggarap tanah. Akan tetapi, kalau menetap, dapat diberikan tanah garapan oleh Sarano Liwu atas persetujuan Sarano Wite. Proses produksi sehubungan dengan pembukaan kawasan hutan baru, sampai dengan pascapanen, dilakukan dengan upacara. Upacara itu dilakukan sehubungan dengan keyakinan orang Muna pada waktu itu yang percaya bahwa hampir semua tempat, termasuk di hutan dihuni oleh roh halus yang harus diakui peran dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Benda-benda, tumbuh-tumbuhan, dan binatang-binatang mempunyai roh, setidak-tidak nya pada tempat-tempat tertentu. Orang Muna 123
La Niampe (Upacara Kaago-Ago dalam Tradisi...)
mengakui kehadiran roh-roh halus, termasuk juga hak, kewajiban, dan bahkan peranannya di tengahtengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, manusia harus selalu berkomunikasi dengan mereka dalam berbagai kegiatannya. Sarana komunikasi yang utama ialah melalui berbagai upacara, baik upacara kelahiran, kematian, kegiatan pertanian yang bersifat permohonan, penyampaian rasa syukur, maupun permintaan berkah, dan lain-lain. Dalam perladangan, misalnya, mulai dari pembukaan hutan sampai dengan pascapanen, masyarakat Muna melakukan upacara Kaago-ago yang dilakukan secara adat dan harus dipatuhi oleh semua petani. Upacara ini dilakukan sebelum melakukan kegiatan perladangan yang wajib diikuti oleh seluruh masyarakat yang akan berladang pada satu kawasan atau areal perladangan. Jika tidak dipatuhi, roh-roh halus akan marah. Hal ini dapat mengakibatkan bencana berupa gagalnya panen atau sakit-sakitan, bahkan bisa mencabut nyawa. Sanksi terakhir dari suatu pelanggaran terhadap norma-norma tabu, jelas dan cepat akan mendapat hukuman dari roh-roh halus berupa penyakit dan penderitaan hingga mati. Penelitian ini merupakan penelitian kebudayaan yang menggunakan metode kualitatif dan teknik analisis deskriptif-kualitatif. Mengikuti pendapat Muhadjir (1994: 49) bahwa metode kualitatif merupakan suatu strategi penelitian yang menghasilkan keterangan atau data yang dapat mendiskripsikan realitas sosial, dan kejadian-kejadian yang terkait dengan kehidupan masyarakat, sejarah, perilaku, fungsionalisasi organisasi, hubungan kekerabatan, dan pergerakan-pergerakan sosial, maka sasaran utama penelitian ini adalah menjelaskan atau mendeskripsikan kearifan lokal komunitas petani etnis Muna dalam tradisi perladangan berpindah. Dengan demikian, penekanannya bukan pada pengukuran, akan tetapi lebih pada penjelasan yang bersifat holistik sehingga pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kajian budaya, yakni pendekatan etnografi, tekstual, dan resepsi (Barker, 2006: 29). Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Data yang sejak observasi ditelaah dari berbagai sumber, yaitu wawancara dan pengamatan yang terdiri dari catatan lapangan dan 124
MUDRA Jurnal Seni Budaya
komentar peneliti, gambar, foto, dokumen berupa laporan, biografi, artikel dan sebagainya. UPACARA KAAGO-AGO DALAM TRADISI PERLADAGAN PADA MASYARAKAT MUNA Bentuk Upacara Kaago-ago pada Masyarakat Muna 1). Waktu dan tempat pelaksanaan upacara Upacara Kaago-ago dilaksanakan pada waktu menyambut kedatangan musim bhara (Barat), yakni pada pertengahan bulan November. Ide pelaksanaan upacara ini, oleh masyarakat Muna diyakini bahwa pada musim bhara (Barat) merupakan musim yang akan banyak mendatangkan marabahaya, akan muncul berbagai macam penyakit, serta kegagalan dalam bercocok tanam khususnya pada tanaman jagung. Tempat pelaksanaan upacara Kaago-ago sebagai mana menurut Dhafamoni (2002: 106), pelaksanaan suatu ritual dapat dilaksanakan di tempat-tempat tertentu. Tempat-tempat itu adalah tempat-tempat suci, tempat-tempat yang diberkati di mana manusia religius bertingkah laku secara berbeda dari pada kalau berada di tempat-tempat profan. Sementara, pelaksanaan upacara Kaago-ago dilaksanakan ditengah-tengah bakal ladang yang akan ditanami jagung yang ditentukan sebelumnya dengan musyarawarah oleh seluruh petani yang akan berladang pada areal tersebut. 2). Pihak yang terlibat dalam upacara Kaago-ago Pelaksanaan upacara Kaago-ago diikuti oleh seluruh keluarga petani yang membuka ladang pada areal yang sama mulai dari orang tua, remaja dan anakanak yang dipimpin dukun kebun yang disebut parika. Seperti yang diungkapkan Dhafamony (2002: 106) bahwa orang yang memimpin jalannya ritual adalah orang-orang yang dipercayai oleh masyarakat. Begitu pula halnya dengan dukun kebun (parika) adalah orang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan mahluk ghaib dan mendapat kepercayaan dari sebagian besar masyarakat, khususnya para petani. 3). Materi yang digunakan dalam pelaksanan upacara Kaago-ago. Pelaksanaan upacara Kaago-ago dilengkapi dengan bahan-bahan material berupa alat-alat pertanian seperti parang, cangkul, tembilang, sabit, kampak,
Volume 28, 2013
bahan-bahan yang disediakan (telur ayam kampung yang sudah direbus 1 butir, air, dan kayu yang sudah diruncingkan, bendera (tombi), nasi, tembakau, dan sirih, pinang dan kapur sirih. 4). Prosesi pelaksanaan upacara Kaago-ago Pelaksanaan upacara Kaago-ago ditandai dengan penancapan kayu (kalombuno wite) oleh dukun kebun (parika) yang sudah diruncingkan sedalamdalamnya sehingga terbentuk sebuah lubang. Lubang tersebut digunakan untuk memasukkan telur ayam lalu disiram dengan air sebanyak-banyaknya. Selanjutnya menyediakan sesajian berupa telur, nasi, rokok, sirih, kelapa muda yang sajikan di atas para-para yang terbuat dari bambu, yang kemudian dukun kebun (parika) membacakan mantra sebagai berikut. E…, waompu lahataala fosakarino lima fosakarino ghaghe Fowurano, foburino gumantano karondo kamentae Aesalo tulumi omuru bhe adadi, konae amagoagoemo tora wite aini Tadawuluno limaku, tadawuno ghagheku Neago-ago kanandoono te aowalino Neago-ago Omputo Allah Ta’ala Neago-ago Omputo anabi Neago-ago te tumbuno tumbu Neago-ago te wawono wawo Lahae sosumoba-sobano lakunu Somodaino neati ne wite aini Naorepu, naosoka, naeghefi-ghefi, naeghabu-ghabu Natumumbulao fotuno we wite morani Notundae Barangka, Tongkuno, Peropa, Baluwu, Dete, Katapi Neago-ago Ali, neago-ago Muhmmadhi
Mantra tersebut dibacakan oleh parika dengan suara agak dikeraskan sehingga didengarkan oleh seluruh peserta upacara dengan tenang dan hikmad. Setelah pembacaan mantra tersebut, maka upacara Kaago-ago dianggap telah selesai. Fungsi Upacara Kaago-ago dalam Tradisi Perladangan pada Masyarakat Muna 1). Fungsi religius Tradisi megalitik tidak semata-mata hanya menghormati dan memuja roh nenek moyang, walaupun kultus terhadap nenek moyang terbukti sangat kuat dirasakan oleh masyarakat Muna. Hal ini terbukti dengan aktivitas masyarakat yang melakukan penghormatan kepada leluhur mereka
MUDRA Jurnal Seni Budaya
dengan berziarah kubur dalam setiap tahunnya, bahkan anggapan masyarakat tentang adanya kesaktian yang terdapat pada beberapa kuburan nenek moyang mereka (Suraya, 2011). Namun demikian, bagi masyarakat, hal ini juga difungsikan secara praktis untuk perbaikan-perbaikan dalam kehidupan seperti mengharapkan hasil panen yang lebih baik, terhindar dari bencana alam atau wabah penyakit, mepemperoleh keberuntungan dan pengungkapan rasa syukur. Begitu halnya dengan upacara Kaago-ago bagi masyarakat Muna merupakan salah satu kepercayaan tradisional yang bersumber dari nenek moyang mereka secara turun temurun yang di dalamnya terkandung beranekaragam fungsi yang mempunyai nilai dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Upacara Kaago-ago yang dilakukan masyarakat petani pada umumnya sebagai usaha manusia untuk memenuhi hasratnya untuk berkomunikasi dengan kekuatan adikodrat (supernatural), karena di dalamnya terdapat nilai-nilai atau simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi yang bersifat sakral dengan unsur-unsur yang bersifat profan sebagai pola bagi kelakuannya yang telah menjadi tradisi dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya masyarakat Muna, mereka dalam mengadakan hubungan baik dengan dunia lain mereka sangat mengutamakan motivasi dan emosi keagamaan dalam memanifestasikan keinginannya. Hal ini terlihat dalam asumsi mereka di dalam dunia di lingkungan mereka berada juga dihuni oleh rohroh yang akan mengganggu terhadap eksistensi kehidupan mereka. Menurut mereka ketika dalam memulai atau memasuki suatu daerah tertentu yang sudah lama ditinggalkan manusia, maka sudah tentu tempat akan dihuni oleh roh-roh halus atau arwah para leluhur. Salah satu upaya mereka untuk menjalin hubungan baik dengan roh-roh halus atau roh nenek moyang adalah melalui upacara keagamaan yaitu melakukan upacara Kaago-ago. Melalui pelaksanaan upacara tersebut terjalin hubungan kerjasama yang erat diantaranya, yakni maha pencipata, roh halus, serta roh leluhur, sebagaimana yang tertuang dalam mantra yang dibacakan parika. 125
La Niampe (Upacara Kaago-Ago dalam Tradisi...)
E…, waompu lahataala fosakarino lima fosakarino ghaghe Fowurano, foburino gumantano karondo kamentae Aesalo tulumi omuru bhe adadi, konae amagoagoemo tora wite aini Tadawuluno limaku, tadawuno ghagheku Neago-ago kanandoono te aowalino Neago-ago Omputo Allah Ta’ala Neago-ago Omputo anabi Neago-ago te tumbuno tumbu Neago-ago te wawono wawo Lahae sosumoba-sobano lakunu Somodaino neati ne wite aini Naorepu, naosoka, naeghefi-ghefi, naeghabu-ghabu Natumumbulao fotuno we wite morani Notundae Barangka, Tongkuno, Peropa, Baluwu, Dete, Katapi
Berdasarkan mantra tersebut, mengandung arti bahwa parika meminta atau memohon kepada sang penicipta, kepada roh-roh halus / ghaib juga kepada roh leluhur agar selalu melindungi seluruh petani yang akan berladang pada areal tersebut agar selalu mendapatkan keselamatan dan mendapatkan hasil yang melimpah dalam berkebun. 2). Fungsi sosial Budisantoso (1981: 28) fungsi upacara tradisional dapat dilihat dari kehidupan sosial masyarakat pendukungnya, keyakinan adanya pengendalian sosial, media sosial, norma sosial dan pengelompokan sosial. Dengan mengacu pendapat Sudisantoso, dalam upacara Kaago-ago terdapat fungsi pengendalian sosial. Sebagai norma pengendalian sosial pelaksanaan upacara Kaago-ago terdapat pantangan-pantangan yang harus dihindari oleh setiap petani. Pantanganpantangan tersebut mempunyai makna positif. Karena mengandung norma atau aturan yang mencerminkan nilai atau asumsi yang baik dan buruk, perintah dan larangan sehingga dapat dipakai sebagai kontrol sosial dan pedoman prilaku bagi masyarakat pendukungnya. Pantangan seperi tidak boleh berbicara saat parika membacakan mantra, tidak boleh berbicara keras dalam kebun, tidak boleh mengganggu tanaman orang lain merupakan pesan-pesan dan nilai-nilai luhur yang ditujukan kepada masyarakat Muna khususnya para petani. Nilai, aturan dan norma ini tidak saja berfungsi sebagai pengatur prilaku 126
MUDRA Jurnal Seni Budaya
antar individu dalam masyarakat tetapi juga menata hubungan manusia dengan alam lingkungannya dan terhadap Tuhan dan roh-roh halus 3). Fungsi ekonomi Salah satu komoditas andalan yang ditanam oleh petani adalah jagung. Selain tanaman jagung juga ditanam berbagai tanaman palawija lainnya seperti tomat, kacang panjang dan berbagai jenis tanaman lainnya yang dapat bernilai ekonomi. Upacara Kaago-ago dalam tradisi perladangan berpindah dilakukan oleh petani dengan harapan berbagai macam tanaman yang mereka tanam dapat berhasil, tidak mendapat gangguan baik itu serangan hama tanaman, maupun serangan binatang liar, dan bahkan juga adanya gangguan dari roh-roh halus yang menyerang tanaman sehingga tanaman yang ditanam menjadi kerdil. Upacaara Kaago-ago memberikan semangat bagi para petani, bahwa jika setelah melakukan Kaagoago maka tanaman yang mereka tanam akan jauh dari gangnguan-gangguan yang bisa merusak tanaman. Dengan kepercayaan diri mereka, semangat untuk menanam sangat tinggi. Dengan demikian hasil tanam yang mereka peroleh pula semakin banyak sehingga mendapatkan keuntungan ekonomi dari hasil penjualan komoditas hasil tanam mereka. Makna Upacara Kaago-ago dalam Tradisi Perladangan pada Masyarakat Muna 1). Makna solidaritas/kebersamaan Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Begitu pula halnya dengan masyarakat petani. Interaksi antara petani yang satu dengan petani yang lainnya merupakann suatu fenomena sosial yang dapat dilihat dalam prosesi upacara Kaagoago. Keterlibatan seluruh anggota keluarga petani dari yang tua, remaja sampai dengan anak-anak, merupakan bentuk kebersamaan yang solid yang patut dipertahankan dalam setiap aktivitas lain. Begitu pula halnya dengan kegiatan perladangan. Antara petani yang satu dengan petani yang lain selalu bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai macam pekerjaan. Sesuai dengan fungsi sosial upacara Kaago-ago dalam perladangan berpindah secara tidak langsung dapat memberikan manfaat yang besar bagi petani
Volume 28, 2013
pada Masyarakat Muna. Upacara Kaago-ago yang telah dilakukan secara turun temurun dilakukan secara kolektif dengan cara saling tolong menolong antara satu petani dan petani yang lainnya. Upacara Kaago-ago dari segi perspektif sosial, terutama dalam rangka memupuk dan melestarikan solidaritas dan partisipasi masyarakat, telah dikenalkan dengan konsep tradisi Muna yang dikenal dengan Pokadulu (gotong royong). Konsep inilah yang selalu dipegang teguh oleh masyarakat terutama dalam melaksanakan tradisi Kaago-ago. Konsep yang selama ini diyakini dapat memelihara kebersamaan antara petani baik yang masih dalam satu kerabat maupun dengan kerabat yang lain. Konsep pokadulu ini dimaksudkan, agar dalam setiap pekerjaan yang dilakukan tidak dirasa berat. Konsep pokadulu tersebut dapat dilihat dari keterlibatan semua petani dalam mempersiapkan perlengkapan pelaksanaan upacara dan dimplementasikan dalam kegiatan perladangan berpindah seperti dewei (membabat rumput), dekatondo (memagar), detisa (menanam), detunggu (menjaga kebun), sampai dengan detongka (memanen). Kegiatan pokadulu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh petani, meskipun tidak disadari oleh para petani, namun konsep pokadulu yang ada dalam kegiatan perladangan berpindah dapat memberikan manfaat secara tidak langsung terhadap kegiatan pertanian. Hal sebagai mana pendapat Merton (1975), yang mengungkapkan salah satu sifat fungsional adalah fungsi laten yakni fungsi yang tidak diharapkan akan tetapi memberikan mafaat kepada komunitas petani. Konsep-konsep di atas pada dasarnya mengajarkan sifat resiprositas di antara petani yang satu dengan petani yang lainnya. Konsep tersebut selalu ditanaman dalam diri setiap petani mulai dari generasi muda sampai dengan orang tua. Pokadulu tersebut dilakukan di mulai dari salah satu keluarga petani yang kemudian saling bergiliran untuk saling membantu, sehingga dengan demikian pekerjaan yang berat terasa ringan. 2). Makna pelestarian budaya Upacara Kaago-ago dalam masyarakat Muna telah ada sebelum masuknya ajaran Islam di Muna. Dalam proses pelembagaan tradisi budaya masyarakat
MUDRA Jurnal Seni Budaya
di Muna Kaago-ago masuk dalam konsep dasar adat yang non Islami (Malik, 1997). Selanjutnya upacara ini telah menjadi budaya sekaligus tradisi yang dilakukan secara turun temurun karena oleh pendukungnya dianggap memiliki berbagai macam fungsi dan makna yang sangat penting dalam kehiduapan masyarakat khususnya masyarakat petani. Seiring dengan perkembangan zaman serta kemajuan teknologi, di era globalisasi dan arus informasi yang semakin pesat tidak dapat dipungkiri bahwa budaya-budaya lokal lambat laun akan terkikis habis secara pelan-pelan (Pilliang, 2005). Selain itu juga budaya-budaya lokal akan kehilangan dayanya untuk mengontrol atau memotivasi pendukungnya karena mengalami gejala entropi (1996). Sehingga dengan demikian budaya-budaya lokal akan terasa asing bagi pendukungnya sendiri. Olehnya itu pelaksanaan upacara Kaago-ago yang dilakukan serangkaian dengan kegiatan perladangan pada Masayarakat muna merupakan salah satu bentuk pembertahanan sekaligus pelestarian budaya secara umum, dan lebih khusus lagi pada masyarakat petani. Dengan pelaksanaan upacara secara rutin yang dilakukan secara turun temurun, dapat berdampak pada pelestarian budaya Muna, hingga pada suatu saat nanti budaya Muna yang berhubungan dengan upacara atau ritual akan selalu hidup dan menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat Muna, tidak hanya dalam kegiatan perladangan, akan tetapi pada aspek kehidupan sosial lainnya. SIMPULAN Upacara Kaago-ago merupakan budaya / tradisi yang telah ada sejak sebelum agama Islam masuk ke Pulau Muna dan merupakan bentuk dasar budaya yang memiliki bentuk fungsi dan makna yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, terutama dalam memperoleh keselamatan dan keberhasilan panen dalam berladang. Upacara Kaaga-ago masih dilaksanakan karena adanya keyakinan masyarakat bahwa disekitar mereka ada mahluk ghaib yang mempengaruhi kesuksesan hidup dan dapat mengganggu apabila melanggar aturan yang ditetapkan dalam upacara tradisional itu. 127
La Niampe (Upacara Kaago-Ago dalam Tradisi...)
MUDRA Jurnal Seni Budaya
Upacara Kaago-ago sangat penting keberadaannya dalam upaya untuk mempertahankan atau melestarikan budaya ditengah derasnya arus globalisasi dan informasi serta kemajuan pengetahuan dan teknologi.
Piliang Yasraf, Amir. (2-3 April 2005), “Menciptakan Keunggulan Lokal untuk Merebut Peluang Global: Sebuah Pendekatan Kultural”, dalam Seminar Membedah Keunggulan Lokal dalam Konteks Global, di Institut Seni Indonesia Denpasar.
Fungsi dan makna upacara Kaago-ago dapat menjadi rujukan dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya sebatas pada masyarakat petani, akan tetapi juga sangat penting sebagai pedoman bagi seluruh masyarakat Muna ditengah kondisi kehidupan sosial yang bergejolak.
Rianse, U. dan Mukhrat. (April 2001), “Pengetahuan Tradisional Masyarakat Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tiworo Sulawesi Tenggara”, dalam Jurnal Enviroment & Development, Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, ISSN 0216-2717, Volume 21 Nomor 1 April 2001.
DAFTAR RUJUKAN Abdul Rauf, La Ode. (1996), Peranan Elite dalam Proses Modernnisasi di Muna, Balai Pustaka, Jakarta. Santoso, Budi S. (1989), Kebudayaan Tradisional dan Fungsinya pada Masa Kini, Depdikbud, Jakarta. Dhfamony, Mariasusai. (2003), Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta. Kleden, Ignatius. (1996), Pergesarn Nilai Moral, Perkembangan Kesenian dan Perubahan Sosial, Kolom 8, 5-6. Malik, Luthfi Muh. (1997), Islam dalam Budaya Muna: Suatu Ikhtiar Menatap Masa Depan, PT. Umitoha Ukhuwah Grafika, Ujung Pandang. Merton, Robert. (1975),”Structural Analysis in Sociology”, Approach to the Study of Social Structur, Free Press, New York. Moleong, Lexy J. (2011), Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Muhadjir, Noeng. (1994), Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realism Methaphisik, Rake Sarasin, Yogyakarta.
128
____________________. (2007), Kearifan Lokal Masyarakat Muna dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Tenggara. Masagena Press kerja sama dengan Pusat Pengelolaan lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku dan Papua. Kementrian Negara Lingkungan Hidup RI. Suyuti, N. dan La Ode Aris. (2007), Falia Bentuk Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan pada Suku Bangsa Wuna di Kabupaten Muna: Dalam Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Tenggara. Masagena Press kerja sama dengan Pusat Pengelolaan lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku dan Papua. Kementrian Negara Lingkungan Hidup RI. Suraya, Rahmat Sewa. (2011), Kearifan Lokal Tradisi Kasalasa dalam Perladangan Berpindah pada Komunitas Petani Etnis Muna Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara. Tesis Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Denpasar.