BENTUK DAN MAKNA NYANYIAN RAKYAT MUNA BERDASARKAN STATUS SOSIAL
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kependidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
OLEH
HENRA KARLINA A1D1 11 067
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2015
i
ii
iii
UCAPAN TERIMAH KASIH
Alhamdulillahirobil alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmat dan petunjuk-Nya sehingga skripsi ini dapat dipersembahkan kepada segenap pembaca sebagaimana wujudnya sekarang ini. Skripsi ini sebagai salah satu syarat akademik untuk penyelesaian program Sarjana (S1) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. Di dalam penyelesaian penelitian ini, banyak rintangan dan halangan yang penulis alami. Namun, berkat tekad dan semangat yang kuat, serta dorongan, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, semua hambatan dan rintangan itu dapat teratasi. Oleh karena itu, sudah seyogyanyalah penulis melalui kesempatan ini menyatakan rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan doa, terima kasih serta penghargaan penulis sampaikan khusus kepada keluarga, terutama kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda La Ndipa dan Ibunda Wa Pia yang penuh kasih sayang telah mengasuh, membimbing dan membesarkan penulis, serta berkorban baik moril maupun materil, semoga seluruh budi baik dan jasa mereka mendapatkan amal dan keselamatan di akhirat kelak. Terima kasih pula kepada saudara-saudaraku Hasrawati, Rusman, Rahayuliadi, Jois, serta iparku Herman dan Wa Ode Ani dan kemenakanku Isar, Tiar, dan Zea yang selalu memberikan dukungan, pengertian dan doa selama dalam penyelesaian skripsi ini.
iv
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini senantiasa mendapat bimbingan dan arahan dari Prof. Dr. La Niampe, M. Hum., selaku Pembimbing I dan Drs. La Ode Balawa, M.Hum., selaku Pembimbing II. Dengan penuh rasa hormat penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya yang senantiasa meluangkan waktu membimbing serta mengarahkan penulis dalam penyusunan penelitian ini. Ucapan penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan pula, kepada: 1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., selaku Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Prof. Dr. La Iru, S.H., M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 3. Dra. Lelly Suhartini, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 4. Yunus, S.Pd., M.Pd., selaku Koordinator Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo. 5. Seluruh Dosen dan Staf Tata Usaha Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halu Oleo yang telah memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan baik moral maupun keilmuan. 6. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra
Indonesia angkatan 2011 khususnya kelas Ganjil (Leksikal) yang senasib dan sepenanggungan dengan penulis dan telah berbagi rasa dan pengalaman serta senantiasa membina kerjasama yang baik selama proses perkuliahan hingga pada penyusunan hasil penelitian ini.
v
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan yang disebabkan keterbatasan penulis baik dari segi pengetahuan, tenaga maupun materi. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca yang budiman sangat penulis harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini. Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat. Amin
Kendari,
September 2015
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................ PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. HALAMAN PENGESAHAN.......................................................... UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................... DAFTAR ISI .................................................................................... ABSTRAK ........................................................................................
i ii iii iv vii ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................... 1.2 Masalah ............................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................. 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 1.5 Batasan Istilah .....................................................................
1 7 7 8 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sastra ............................................................................... 2.2 SastraLisan ............................................................................ 2.2.1 Ciri-CiriSastraLisan..................................................... 2.2.2 FungsiSastraLisan........................................................ 2.3 Puisi .................................................................................... 2.3.1 Puisi Lama .................................................................. 2.3.2Ciri-Ciri Puisi Lama..................................................... 2.3.2 Bentuk-BentukPuisi Lama .......................................... 2.4Konsep Bentuk....................................................................... 2.5Konsep Makna ....................................................................... 2.6Nyanyian Rakyat.................................................................... 2.6.1 PengertianNyanyian Rakyat ........................................ 2.6.2 Jenis-JenisNyanyian Rakyat ........................................ 2.6.3 Ciri-CiriNyanyian Rakyat............................................ 2.6.4 FungsiNyanyian Rakyat .............................................. 2.7 PendekatanStruktural ............................................................ 2.8 Pembelajaran Sastradi Sekolah .............................................
9 10 11 13 15 17 17 18 21 23 25 25 26 30 31 32 33
BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 3.1Metode Penelitian ................................................................. 3.2Jenis Penelitian ..................................................................... 3.3 Data dan Sumber Data Penelitian ........................................
36 36 37
vii
3.3.1 Data Peneltian ............................................................ 3.3.2 Sumber Data Penelitian............................................... 3.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................... 3.5 Teknik Analisis Data.............................................................
37 37 37 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data ...................................................................... 4.1.1 NyanyianPengantarTidur ........................................... 4.1.2 Kabhanti ..................................................................... 4.2 AnalisisBentuk...................................................................... 4.3 AnalisisMakna ......................................................................
39 39 41 43 61
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 5.2 Saran.............................................................................................
67 67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
ABSTRAK Penelitian ini membahas bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran deskriptif tentang bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode tersebut digunakan karena data dalam penelitian ini tanpa menggunakan angka-angka. Data dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa buku teks terjemahan yang berjudul Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna khususnya mengenai nyanyian rakyat oleh Rene van den Berg. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah teknik baca dan teknik catat dengan menggunakan pendekatan struktural. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa bentuk nyanyian rakyat Muna tidak dapat masuk dalam kategori bentuk puisi karena nyanyian rakyat Muna yang dimaksud memiliki bentuk bebas yang tidak terikat oleh baris, bait, kata, suku kata, dan persajakan. Tersusun atas larik-larik dalam sebuah bait, bersifat liris dan berisi lukisan perasaan tertentu yang dikandung pengarang. Sedangkan makna yang terkandung dalam nyanyian rakyat Muna meliputi nasihat, curahan hati, dan sindiran.
ix
1
ABSTRACT This study discusses the shape and meaning of folk songs Muna based on social status. The purpose of this study was to obtain a descriptive overview of the form and meaning of folk songs Muna based on social status. This study is a literature research. The method used in this research is descriptive qualitative method. The method is used because the data in this study without using figures. The data in this study is a written record of books translated text, entitled History and Culture of the Kingdom of Muna particularly on folk songs by Rene van den Berg. Techniques used in data collection in this study is a technique to read and record technique using a structural approach. From the analysis of the data shows that the form of folk songs Muna could not be included in the category of poetry form as folk songs Muna in question has a free form which is not bound by line, stanza, words, syllables, and poetry. Composed of lines-lines in a verse, is lyrical and contains paintings contained a certain feeling authors. While the meaning contained in folk songs Muna include advice, outpouring of the heart, and satire.
x
2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada umumnya tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki seni, sastra, bahasa lisan dan tulisan, adat istiadat, tata cara dan tata krama pergaulan, dan nilai-nilai kehidupan yang beranekaragam. Semuanya itu merupakan gambaran kekayaan budaya daerah di Indonesia dari masa ke masa. Oleh karena berkembangnya zaman dari masa tradisional ke masa modern seperti sekarang ini, maka semua unsur budaya tersebut berangsur-angsur berkurang bahkan punah. Berangkat dari kenyataan itu, maka sangatlah pantas jika hal-hal yang berkaitan dengan tradisi harus selalu dipertunjukkan agar kelestariannya tetap terjaga. Salah satu tradisi di Indonesia yang menjadi bagian dari seni adalah nyanyian rakyat. Walau pada kenyataannya, nyanyian ini bukan merupakan bagian dari seni musik secara utuh, sebagian kecil nyanyian ini dapat menyumbangkan sesuatu yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari tertuma dalam hal ajaran moral. Saat ini, di Sulawesi Tenggara khususnya pada masyarakat Muna kegiatan nyanyian rakyat masih dapat kita jumpai walaupun dari sisi kuantitas sudah banyak berkurang penggunanya. Tentu hal tersebut terjadi karena adanya akulturasi tradisi yang di dalamnya tidak terjadi adanya pemertahanan. Berangkat dari fenomena tersebut, munculah petak-petak 1
3
kehidupan masyarakat yang berakibat pada kecenderungan pola hidup sendirisendiri yang terbungkus dalam satu kelompok. Oleh karena itu, tidaklah heran jika di Indonesia kita mendengar banyak budaya lisan maupun tulisan tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Satu hal yang harus kita sadari bahwa kebiasaankabiasaan yang sudah menjadi tradisi di Indonesia antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya sangat jauh berbeda baik dari segi bentuk maupun prosesi pelaksanaanya. Kenyataan itu, tentu disebabkan oleh banyaknya daerah kepulauan yang ada di Indonesia. Atau dapat juga dikatakan bahwa tradisi di Indonesia terbentuk berdasarkan letak geografisnya sehingga terkadang dalam suatu pulau saja tradisinya dapat berbeda. Salah satu daerah yang dimaksud adalah pulau Muna di Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang banyak memiliki daerah-daerah kecil dan tentunya memilki adat dan kebiasaan masing-masing pula. Salah satu daerah yang dimaksud adalah kabupaten Muna. Di Kabupaten Muna banyak sekali tradisi yang dapat kita temukan misalnya yang menyangkut masalah perundang-undangan daerah, cara-cara pemimpin dalam mengatur berbagai hal suatu wilayah, proses perkawinan, hiburan rakyat baik dalam bentuk nyanyian maupun bentuk permainan, dan sebagainya. Di Kabupaten Muna, kita dapat menjumpai banyak sisi yang berkaitan dengan hiburan rakyat. Ada hiburan yang dapat menyenangkan hati sesama orang dewasa, ada hiburan khusus untuk anak-anak yang dapat mengobati rasa lelah karena aktivitas kesehariannya membantu orang tua di kebun, bahkan adapula hiburan rakyat yang khusus dilakukan oleh para kaum wanita yang sudah dipersunting dan sudah
4
mempunyai momongan. Salah satu hiburan yang dimaksud adalah nyanyian rakyat. Menurut Jan Harold Brunvand (Danandjaja, 2007: 141), nyanyian rakyat adalah salah satu genre folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan diantara kolektif tertentu dalam bentuk tradisional serta banyak mempunyai varian.
Setiap nyanyian rakyat, kata-kata dan lagu merupakan
dwitunggal yang tidak dapat terpisahkan. Teks nyanyian rakyat selalu dinyanyikan oleh informan dan jarang sekali yang hanya disajakkan (recite). Namun, teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering digunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda. Nyanyian rakyat dalam masyarakat Muna bertahan dengan memakai bahasa daerah setempat, yaitu bahasa Muna sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Namun, sekarang ini pengguna budaya Muna sudah semakin berkurang apalagi berkaitan dengan nyanyain rakyat. Untuk itu, penulis berkeinginan melakukan penelitian ini karena adanya fakta bahwa generasi muda masa kini sudah tidak lagi melihat trdisinya sebagai sesuatu yang penting untuk diri mereka. Padahal, tradisi-tradisi tersebut banyak mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diterapkan dalam masyarakat sosial. Yang terpenting untuk dipahami dalam penelitian ini adalah pembawaan nyanyian rakyat pada masyarakat Muna yang disesuaikan dengan strata sosial penuturnya. Seperti halnya pada masyarakat tradisional lainnya, di daerah Muna pun dikenal adanya sistem strata sosial atau stratifikasi sosial. Strata sosial tersebut oleh masyarakat Muna dianggap sangat sakral dan mengikat. Menurut
5
Couvreur (2001, 34-37) strata sosial tersebut terbagi atas 4 tingkatan yaitu (1) golongan
Kaomu
dan
Walaka, (2) golongan
Maradika, (3) golongan
Wesembali, (4) dan ghata atau para pudak. Golongan kaomu berasal dari keturunan dari mantan sugi yang berkuasa di Muna dengan gelar La Ode bagi laki-laki dan Wa Ode bagi perempuan. Istilah Sugi ini diberikan kepada yang mereka yang memiliki kelebihan. Kelebihan yang dimaksud adalah kharismatik dan kemampuan yang tidak dimiliki orang lain dalam menjalankan roda pemerintahan. Sugi merupakan sebutan seorang pemimpin wilayah sebelum munculnya istilah raja. Jadi, pada dasarnya sugi adalah raja. Sugi yang ada di Muna terdiri dari lima yakni sugi Patola, Sugi Patani, Sugi Laende, dan Sugi Manuru. Golongan walaka berasal dari keturunan anak sugi dalam hal ini anak perempuannya (Wa Ode) yang menikah dengan lakilaki yang bukan keturunan sugi sehingga golongna walaka masuk dalam golongan tertinggi ke dua di Muna. Golongan Maradika terbagi atas tiga. Pertama, tingkat Maradika tertinggi yakni Maradika Anangkolaki atau Anangkolaki atau Fitu bhengkauno yang berarti tujuh orang. Maradika ini bersaudara tujuh orang yang beasal dari keturunan Sugi Manuru. Karena ibu mereka seorang
budak dan
berayahkan seorang Sugi, maka mereka berhak menjabat sebagai pempimin kampung (sekarang desa) dan tidak berhak menyandang gelar La Ode. Kedua, Maradikano Ghoera atau Maradikano Papara. Mereka berasal dari keturunan komukula. Komukula adalah gelar yang diberikan pada orang yang terpilih untuk menjaga kampong dan mengarahkan warga untuk mengikuti acara-acara dalam kampong terutama pemilihan Kino atau Mino (pemimpin kampong). Ketiga,
6
Maradika yang terendah yaitu Maradika Poino kontu lokono sau yang berarti Maradika serupa sebuah batu sepotong kayu. Golongan Wasembali dikenal dua jenis yaitu La Ode Wasembali dan Walaka Wasembali. Mereka ini merupakan keturunan dari perkawinan yang terlarang yaitu keturunan Wa Ode dan Walaka yang menikah dengan golongan Maradika. Pada zaman terdahulu, kehidupan dalam masyarakat Muna mengenal yang namanya budak. Para budak berasal dari keturunan Maradika yang dihukum menjadi budak karena berbuat kejahatan atau tidak melunasi hutang-hutangnya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan yang demikian hampir tidak tampak bahkan tidak ditemukan lagi dalam kehidupan masyarakat Muna. Seiring dengan perkembangan zaman yang terus memaksa kebudayaan lokal harus terus berkompetisi agar tradisinya tidak tergesar dan menjadi punah, maka saat ini masyarakat Muna hanya mengenal dua golongan saja yakni Kaomu dan Maradika. Semua predikat yang disebutkan itu secara umum dapat disebut “Bangsawan”. Bangsawan di Muna ditentukan oleh asal keturunannya. Garis keturunan yang dimaksud adalah mereka yang berasal dari keturunan Kaoumu dan Maradika yang memgang tampuk kekuasaan maupun Kaoumu dan Maradika yang hidup sebagai anggota masyarakat pada umumnya. Bedasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa bangsawan di Muna bukan diukur dari materi namun dilihat berdasarkan keturunanya. Di sebagian wilayah di dunia, seorang bangsawan selain kerabat raja, awalnya adalah kerabat tuan tanah. Di samping itu, seorang raja atau seorang tuan tanah dapat menjadikan seseorang sebagai bawahannya dan menjadikannya juga bangsawan sebagai bentuk penghargaan
7
atas jasa oranng tersebut. Sistem tersebut dapat disebut dengan istilah feodalisme. Kemudian, di kerajaan dimana kekuasaan sudah terpusatkan pada seorang raja, hanya raja, atau tuan tanahlah yang berdaulat dan boleh mengangkat seseorang menjadi bangsawan. Nyanyian rakyat yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini yaitu nyanyian rakyat yang terdapat dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Pada awalnya buku ini ditulis dalam bahasa Belanda pada tahun 1935 dengan judul Ethnografi van Moena oleh J. Couvreur. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yang berjudul Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna oleh Rene van den Berg. Buku ini merupakan satu laporan mengenai sejarah dan kebudayaan kerajaan Muna yang memberikan gambaran tentang sejarah, adat istiadat, golongan masyarakat, struktur pemerintahan, perkawinan, peradilan, dan sastra daerah Muna seperti nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat yang dimaksud meliputi nyanyian ninabobok (pengantar tidur) dan kabhanti. Nyanyian rakyat pengantar tidur rakyat Muna termasuk produk budaya masyarakat Muna yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik sosial maupun spiritual. Keberadaan nyanyian pengantar tidur telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Muna. Nyanyian pengantar tidur ini dituturkan oleh orang tua sebagai sarana penyampaian pesan-pesan moral yang dibutuhkan anak dalam kehiduan sosialnya. Sementara, kabhanti merupakan sarana untuk menciptakan kedekatan secara emosional masyarakat dan memiliki fungsi mewariskan kearifan bahasa dan ekologi bagi masyarakat Muna. Lewat kabhanti dapat memberikan informasi mengenai pembangunan, agama, atau
8
nasehat-nasehat. Bahkan, bagi muda-mudi kesempatan seperti ini dapat digunakan untuk memperluas pergaulan. Kabhanti bagi masyarakat Muna merupakan ruang ekspresi masyarakat. Berbagai hal yang diekspresikan antara lain perasaan pada sesama atau nilai-nilai kehidupan yang lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosialnya. Dimana diketahui bahwa setiap nyanyian yang dibawakan memiliki bentuk dan makna yang berbeda-beda yang harus dan perlu diketahui oleh generasi muda. Dengan mengetahui bentuk dan
makna dalam nyanyian ini, penulis mengharapkan agar generasi muda
Indonesia umumnya, generasi muda masyarakat Kabupaten Muna khususnya dapat tertarik, serta memahami dan mengetahuinya demi melestarikan agar jauh dari kepunahan. 1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah dalam penelitin ini adalah “Bagaimanakah bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial? 1.3 Tujun Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran deskriptif tentang bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial.
1.4 Manfaat Penelitin
9
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka manfaat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai salah satu upaya pelestarian sastra daerah. 2. Sebagai bahan acuan dalam upaya penelitiaan selanjutnya yang dianggap relevan terutama yang menyangkut sastra daerah masyarakat Muna. 3. Sebagai informasi kepada masyarakat umum tentang bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial. 1.5 Batasan Istilah Untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka perlu adanya batasan istilah untuk memperjelas maksud dari penulis yaitu: 1. Bentuk adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah atau visual yang meliputi jumlah baris, jumlah suku kata, jumlah kata, dan persajakan. 2. Makna adalah sesuatu yang tidak terlihat secara lahiriah. Makna yang dimaksud adalah penggambaran secara harfiah dan secara konteks yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. 3. Nyanyian rakyat adalah bentuk tradisi lisan yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang berbentuk tradisional. 4. Stratifikasi sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sastra Sastra berasal dari kata Casatra dalam bahasa Sansekerta, yang berarti ‘pengetahuan; buku pelajaran’. Dalam bahasa Indonesia, kata sastra berkembang menjadi susastra, berarti ‘tulisan yang baik; tulisan yang indah. Sastra yaang baik dan indah ditentukan oleh : (a) bahasa yang indah; (b) isi yang bermanfaat; (c) penyajian yang menarik. Bahasa yang indah berarti bahasa yang digunakan dalam karya sastra dipilih, dipakai, dan disusun sedemikian rupa sehingga indah ketika didengar dan dibaca. Isi yang bermanfaat berati apapun yang dimuat dalam karya sastra bermanfaat bagi masyarakat tempat sastra itu lahir dan juga masyarakat umum. Sementara penyajian
yang
menarik
berati
cara-cara
tertentu
digunakan
dalam
mengungkapkan ide atau gagasan dalam karya sastra (Untung, 2007: 1-2). Menurut Sarjono (Rinurti, 2011: 11) yang dimaksud dengan sastra adalah (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa); (2) karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan,
11
keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama epik atau lirik; (3) kitab suci, ilmu pengetahuan; dan (4) pusaka, kitab primbon. Selain itu, menurut Darma (Siswanto, 2008: 67) sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sedangkan menurut Semi (Karrmudin, 2010: 9) sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra adalah dapat berupa pkiran, perasaan, pengalaman, manusia yang diungkapkan dalam bentuk bahasa yang indah hingga memberikan hiburan bagi pembacanya. 2.2 Sastra Lisan Sastra lisan merupakan suatu karya yang dikarang berdasarkan standar kesusastraan dan disampaikan secara paralel dari saatu orang ke orang lain dalam yang tetap secara lisan ( Laelasari dan Nurlailah, 2006: 225). Istilah sastra lisan di dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan bahasa Inggris oral literure. Sastra lisan adalah karya yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan dan diteruskan dari orang ke orang dalam bentuk yang tak berubah, dengan lisan, bukan tulisan (Kridalaksana, 2008: 214), sedangkan menurut Hutomo (1991: 1) mengemukakan bahwa sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sastra lisan adalah jenis karya sastra tertentu yang disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut dan bersifat anonim.
12
2.2.1 Ciri-ciri Sastra Lisan Ciri-ciri sastra lisan menurut Hutomo (dalam Taun, 2011:22-24) adalah sebagai berikut: a)
penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.
b) lahir dari masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. c)
menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat.
d) tidak diketahui siapa pengarang, karena itu menjadi milik masyarakat. e)
bercorak puitis dan berulang-ulang, maksudnya, (a) untuk menguatkan ingatan, (b) untuk menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepat berubah.
f)
tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khalayan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern.
g) terdiri dari berbagai versi. h) bahasa yaitu menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari) mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap. Dari segi bentuk penyampaiannya, Hutomo (1991: 60) membagi sastra lisan menjadi dua bagian besar yakni sebagai berikut: a) Sastra lisan yang lisan murni, yaitu sastra lisan yang benar-benar diturunkan secara lisan. Bentuk prosa murni (dongeng cerita rakyat, dan lain-lain) dan ada juga yang bebentuk prosa lirik penyampaianya dengan dinyanyikan dan dilagukan dalam bentuk puisi bewujud nyanyian rakyat (pantun, syair, tembang anak-anak, ungkapan tradisional, teka-teki berirama, dan lain-lain).
13
b) Sastra lisan yang setengah lisan yaitu sastra lisan yang penuturnya dibantu oleh bentuk-bentuk lisan yang lain, seperti: sastra luduk, sastra ketoprak, sastra wayang dan upacara tradisonal. Selain itu, ia juga membedakan sastra lisan atas sudut penggunaan bahasa atas tiga bagian sebagai berikut: a) Bahasa yang bukan cerita seperti: ungkapan, nyanyian rakyat, teka-teki, puisi lisan serta nyanyian sedih. b) Bahasa yang bercorak cerita seperi cerita biasa, mitos, legenda, memori, cerita tutur. c) Bahasa bercorak latihan seperti; drama dan fantasi. Sastra lisan atau budaya lisan dalam masyarakat Muna sekarang ini telah banyak berubah dan tidak dipakai lagi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dan perubahan dari masyarakat yang disebabkan oleh interaksi budaya yang ada. Perubahan yang terjadi pada sastra lisan disebabkan oleh pengaruh perkembangan masyarakat dalam berbagai segi, seperti pendidikan, ekonomi, politik, dan kepercayaannya. Senada dengan hal tersebut, Finnegan mengatakan bahwa keberadaan sastra lisan perlu dipertimbangkan dari hal-hal yang menyangkut geografi, sejarah, kepercayaan dan agama, serta semua aspek kebudayaan yang lainnya (Finnegan dalam Udu, 2009: 47 - 48).
2.2.2 Fungsi Sastra Lisan Wellek dan Werren (1989:32) memaparkan beberapa fungsi sastra, antara lain sebagai berikut:
14
a) sebagai pengalih dan penyebar pengetahuan, b) sebagai ilmu yang bersifat umum dan khusus, c) sarana pengungkapan bebagai faktor psikologik, d) sebagai sarana untuk melihat diri sendari, e) sebagai penyandang nila-nilai estetik, f) sebagai sarana pengungkapan kebenaran ekspresif, g) sebagai alat untuk mempengaruhi atau menarik hati orang lain, h) sebagai alat pelengkapan (catharsis), dan i) sebagai alat penggugah emosi. Menurut Horace dalam Wellek dan Werren (1989:25) merumuskan fungsi sastra dengan ungkapan yang padat yaitu ducle et utile, yang berarti menyenangkan dan berguna atau kenikamatan dan kehikmatan. Menyenangkan karena berkaiatan dengan aspek hiburan, harmoni bunyi, dan kata bersajak, sedangkan kegunaan diperoleh menambah pangalaman dan wawasan hidup yang ditawarkan dalam sastra. Pengalaman hidup dapat memperluas wawasan pembaca diharapkan memantapkan perjalanan hidup manusia pada esistensi dirinya yang hakiki. Hutomo (1991) juga mengemukakan bahwa fungsi atau guna adalah kaiatan saling ketergantungan secara utuh dan berstruktur antara sastra baik sastra itu sendiri maupun dengan lingkungannya. Berbicara fungsi sastra lisan, Hutomo (1991:69) memberikan gambaran sebagai berikut: a) sebagai sistem proyeksi yaitu sebagai pencerminan angan-angan suatu kolektif.
15
b) sebagai pengesahan kebudayaan, c) sebagai pemaksa berlakunya norma-norma sosial, d) sebagai pendidik anak, e) untuk memberikan jalan yang dibenarkan masyarakat agar dia lebih superior dari pada orang lain, f) untuk memberikan jalan seseorang agar dia dapat mencela orang lain, g) sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, h) untuk melarikan diri dari himpitan hidup sehari-hari, dengan kata lain untuk hiburan semata. Sibarani (1990:2) mengatakan bahwa sastra lisan memiliki dua fungsi utama yaitu menghibur dan mengajarkan. Hiburan dan ajaran karya sastra berkiblat pada kemanusiaan, yakni untuk memperkaya diri manusia sebagai makhluk sosial, yang pada hakikatnya juga untuk mengembangkan sosial budaya tempat berkiblatnya sastra budaya tersebut. Sejalan dengan pendapat itu, Atmazaki (1986:86) menyatakan bahwa fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut: a) Dengan sastra lisan, masyarakat atau nenek moyang umat manusia mengekspresikan gejolak jiwanya dan renungannya tentang kehidupan. Emosi cinta diungkapkan lewat puisi-puisi sentimental, binatang buas dihadang dan dijinakkan dengan mantra-mantra, asal usul daerah, hukum, adat dan bermacam-macam kearifan yang dicurahkan lewat berbagai mitos, dongeng dan riwayat termasuk di dalamnya permainan rakyat dan nyanyian sakral.
16
b) Sastra lisan juga berfungsi untuk mengukuhkan hubungan solidaritas dan menggerakan pikiran dan perasaan. Anak dininabobohkan dengan nyanyiannyanyian, kelelahan bekerja dihibur dengan pantun, opera dan adat agama disampaikan dengan pidato-pidato. c) Sastra lisan berfungsi untuk memuji raja, pemimpin yang dianggap suci, keramat, berwibawa oleh kolektif tertentu. 2.3 Puisi Kata puisi berasal dari bahasa Yunani kuno ‘poieo’ atau ‘poio’yang berarti saya mencipta. Menurut Waluyo (dalam Damayanti, 2013: 10) menyatakan bahwa puisi merupakan bentuk kesusastraan yang menggunakan pengulang suara sebagai ciri khasnya. Pengulangan kata tersebut menghasilakan rima, irama atau ritme. Adapun Pradopo (dalam Wardoyo, 2013: 19) menyatakan bahwa puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca dalam suasana yang berirama. Puisi juga didefinisikan sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya, diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu sehingga mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya. Masih dalam Damayanti, Wirdjosoedarmo (2013: 12), puisi merupakan karangan yang terikat oleh banyak baris dalam tiap bait, banyak kata dalam tiap baris, banyak suku kata dalam tiap baris, rima, dan irama. Sedangkan menurut Sayuti (2008: 3) puisi adalah pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya
17
aspek-aspek bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individu dan sosialnya, yang diungkapkan dengan teknik tertentu, sehingga puisi itu dapat mengakibatkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengarnya. Puisi merupakan hasil karya seni penyair yang bernilai rasa tinggi serta dapat menggairahkan jiwa pembacanya. Puisi juga dapat dikatakan sebagai suatu hasil tulisan kreatif yang berbentuk sajak, yang mengungkapkan ekspresi perasaan yang mendalam, baik itu perasaan sedih, gembira, atau sedang jatuh cinta. Dengan adanya landasan pengungkapan yang tidak sama, isi puisi juga berbeda-beda. Pada umumnya isi dari sebuah puisi mengungkapkan tentang realita yang ada dan terjadi ditengah masyarakat. Oleh karea itu, puisi bertujuan untuk menyampaikan gagasan, pandangan dan pengalaman. Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli di atas, dapatlah disimpulkan bahwa puisi merupakan karya seni imajinatif berbentuk sajian bahasa yang bernilai dan disusun dengan memperhatikan rima, irama, dan kata-kata. 2.3.1 Puisi Lama Puisi lama merupakan salah satu jenis karya sastra yang telah lama mendapat apresiasi masyarakat. Puisi lama merupakan karya masyarakat zaman dulu yang bermutu tinggi karena keindahan bahasa dan kesederhanaannya. Melalui bahasa yang indah dan ungkapan- ungkapan yang sederhana, masyarakat menuangkan ide, pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam bentuk puisi lama. Puisi lama merupakan pencerminan atau pancaran masyarakat lama, Ambary (Karmuddin, 2010: 15). Melalui karya sastra inilah masyarakat lama
18
mengungkapkan
pengalaman-pengalaman
jasmaniah
dan
rohaniah
dalam
kaitannya dengan perasaan suka dan duka serta cita-cita dan harapannya tentang kehidupan. Puisi lama ini adalah puisi yang terikat oleh aturan-aturan. Aturanaturan itu antara lain: -
Jumah kata dalam 1 baris.
-
Jumlah baris dalam1 bait.
-
Persajakan ( rima)
-
Banyak suku kata tiap baris.
-
Irama.
2.3.2 Ciri-Ciri Puisi Lama Menurut Ambary (Karmuddin, 2010: 15), puisi lama mempunyai ciri sebagai berikut: 1. Puisi lama pada umumnya merupakan puisi rakyat yang tidak dikenal pengarangnya (anonim). Hal ini disebabkan para pujangga tak mau menonjolkan diri serta mengabdikan hasil karyanya kepada masyarakat sehingga menjadi milik bersama. 2. Puisi lama pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut, jadi merupakan kesusastraan lisan. Setelah terdapat tulisan barulah kita jumpai puisi tertulis, seperti syair dan gurindam. 3. Puisi lama itu sangat terikat oleh syarat-syarat yang mutlak, yaitu jumlah baris dalam tiap bait, jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris, sajak, serta irama. 2.3.3 Bentuk-Bentuk Puisi Lama
19
Ambary (Karmuddin, 2010: 16), mengemukakan bentuk-bentuk puisi lama meliputi mantra, bidal, pantun, karmina, talibun, seloka, syair, dan gurindam. 1. Mantra Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmah atau kekuatan gaib. Kekuatan batin mantra berupa permainan bunyi dan biasanya bersuasana mitis dalam hubungan manusia dengan tuhan. 2. Bidal Bidal adalah kalimat singkat yang mengandung pengertian atau membayangkan sindiran atau kiasan. Bidal mempunyai gerak lagu atau irama yang tertentu, walaupun sifatnya tidak begitu kentara. Oleh karena itu, susunan pada bidal tidak dapat diubah. Bidal digunakan untuk menyampaikan sesuatu secara tersamar atau dengan jalan sehalus-halusnya, Nursisto (Karmuddin, 2010: 16).
3. Pantun Kata pantun mengandug arti sebagai,seperti, ibarat, umpama atau laksana (Nursito dalam Joko Santoso, 2013: 9). Pantun adalah puisi yang paling populer dalam sastra klasik. Bentuknya terdiri dari empat baris. Kedua baris pertama disebut sampiran dan kedua baris terakhir merupakan isinya. Umumnya, pantun terdiri atas empat larik (empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8 – 12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a. Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis.
20
4. Karmina Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek. Contoh : Dahulu parang sekarang besi
(a)
Dahulu sayang sekarang benci (a)
5. Talibun Talibun adalah pantun yang lebih panjang. Jumlah barisnya lebih dari empat, namun selalu genap. Talibun mempunyai cirri-ciri hampir sama dengan pantun, yakni: a. Tiap-tiap baitnya terdiri dari 6, 8, 10, 12 baris atau lebih, tetapi harus genap jumlahnya. b. Tiap baris terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, tetapi umumnya terdiri dari 10 suku kata. c. Sajaknya a-b-c, a-b-c atau a-b-c-d, a-b-c-d dan sebagainya.
Contohnya sebagai berikut:
Kalau anak pergi ke pecan Yu beli belanak pun beli sampiran Ikan panjang beli dahulu Kalau anak pergi berjalan Ibu cari sanak pun cari isi Indung semang cari dahulu
21
6. Seloka Kata seloka berasal dari bahasa sanskerta “ cloaka” atau bentuk puisi Hindu yang terdapat dalam kitab-kitab kesusastraan Indian seperti Ramayana dan Mahabarata, Ambary (Karmuddin, 2010: 20).
7. Syair Dalam kamus istilah sastra, syair adalah jenis puisi lama yang tiap baitnya terdiri atas empat larik, yang bersajak sama; isinya dapat merupakan kiasan yang mengandung mitos dan unsur sejarah, atau merupakan ajaran falsafah atau agama. Syair biasanya panjang-panjang, bentuknya sederhana dan biasa berisi cerita angan-angan, sejarah dan petua-petua. Pradopo (1998: 26) mengemukakan ciri-ciri formal syair adalah : a. Satu bait terdiri dari empat baris (larik). b. Tiap larik terdiri dari dua bagian yang sama. c. Pola sajak (rima) akhir syair berupa sajak sama: a-a-a-a. d. Keempat baris syair saling berhubungan membentuk cerita. e. Dalam syair satu bait, belum selesai. f. Syair bersifat epis, yaitu berupa cerita.
8. Gurindam Gurindam adalah suatu bentuk dalam kesusateraan lama yang berasal dari kesusateraan Tamil, yakni sebuah daerah di India bagian selatan, Ambary
22
(Karmuddin, 2010: 21). Kata gurindam berarti perhiasan atau bunga. Bentuk gurin dam memiliki syarat-syarat sebagai berikut: a. Tiap bait terdiri dari dua baris. b. Jumlah suku kata biasanya 10 hingga 14 suku kata. c. Sajaknya berumus a-a, biasanya sajak sempurna, tetapi banyak juga gurindam yang bersajak paruh. d. Gurindam terdiri dari dua kalimat tunggal yang membentuk kalimat majemuk. Baris (kalimat) yang pertama merupakan sebab atau alas an. e. Isi senantiasa berupa nasehat, petuah, atau filsafat.
2.4 Bentuk Puisi Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur
dan sarana-sarana
kepuitisannya. Unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik. Struktur fisik puisi adalah struktur yang terlihat dari puisi tersebut secara kasat mata. Struktur fisik puisi terdiri dari tipografi, diksi, imaji, gaya bahasa, kata konkret, dan rima atau irama. Pembagian lain yang dikenal dalam puisi adalah pembagian atas bentuk dan isi. Pada hakikatnya pembagian ini tidak banyak berbeda dengan pembagian struktur yang terdiri dari struktur batin atau mental. Bentuk adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah, tipografi (bentuk penulisan), kata-kata dan bunyi di dalam puisi. Isi adalah maksud yang terkandung di dalam bentuk yang tidak terlihat
23
secara visual atau lahiriah (Zulfahnur, 1996: 25). Dalam semua bentuk sastra yang dikemukakan tadi, ditilik dari persajakan atau persamaan bunyi, pengaturan larik, pembentukan irama, pilihan kata, hingga penggunaan gaya bahasa dan berbagai cara penampilan yang menonjolkan aspek estetik, pada hakikatnya adalah perwujudan karya sastra dari sisi pandang bentuk. Bertolak dari pendapat para ahli yang dikemukakan di atas maka yang dimaksud bentuk dalam penelitian ini adalah sesuatu yang terlihat secara lahiriah atau visual. Konsep bentuk yang dimaksud meliputi jumlah baris, jumlah bait, jumlah suku kata, dan persajakan. Sajak adalah karya sastra yang sangat puitis. Penciptaan sajak dapat bertujuan untuk menciptakan kepuitisan (Atmazaki, 1993: 14). Menurut penyesuaian bunyinya dalam kata dan suku kata, sajak dapat dibagi beberapa macam yaitu: a. Sajak asonansi, yaitu persamaan bunyi vokal pada kata. Contoh asonansi adalah bunyi /i/ pada frasa berani mati dan bunyi /u/ pada ungkapan satu padu. b. Sajak aliterasi, yaitu persamaan bunyi pada awal kata. Contoh: sedu-sedan. c. Sajak penuh, yaitu persamaan bunyi dari sebuah suku kata terakhir. Contoh: sayur-mayur. d. Sajak mutlak, yaitu persamaan bunyi dari seluruh kata. e. Sajak paruh, yaitu persamaan bunyi dari suku kata terakhir. Contoh: menderai sampai (Atmazaki, 1993: 67-68). Menurut letaknya kata dalam baris puisi, sajak dapat dibedakan beberapa macam, yaitu:
24
a. Sajak awal, yaitu persamaan kata pada awal baris. b. Sajak tengah, yaitu persamaan kata pada tengah baris. c. Sajak akhir, yaitu persamaan kata atau suku kata yang terletak di akhir baris puisi.
2.5 Konsep Makna Makna adalah (a) maksud pembicara, (b) pengaruh suatu bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia, (c) hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alamdi luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditujukannya, (d) cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Kridalaksana, 2008: 148). Pada umumnya pemaknaan sebuah kata dapat dibedakan atas dua makna, yaitu makna denotasi dan makna konotasi (Keraf dalam Zakiyah, 2010:14). Makna denotasi merupakan makna yang paling dasar pada suatu kata. Makna konotasi adalah jenis makna yang mengandung nilai-nilai tertentu dari suatu kata. Perbedaan makna pada naskah terjemahan dapat disebabkan oleh pilihan kata dan gaya bahasa. Pilihan kata dalam puisi (puisi lama dan puisi baru) cenderung berkaitan dengan pilihan kata yang bersifat konotatif. Adapun seorang pembaca atau penerjemah yang tidak mengenali gaya bahasa pengarangnya akan menciptakan satu ungkapan dengan gaya bahasa yang baru. Sejalan dengan itu, Hamid (dalam Haruddin dkk. 2008: 68) mengungkapkan bahwa makna adalah hubungan antara tanda berupa lambang bunyi ujaran dengan hal atau barang yang dimaksudkan. Dalam pengertian makna kita harus membedakan bermacam-
25
macam segi arti. Untuk sampai kepada perbedaan itu, kita harus bertolak pada peletakan dasar-dasar tentang makna, karena makna itu sesungguhnya ada dibalik kata (Alwasilah dalam Harudin dkk, 2008: 68). Dari batasan-batasan pegertian makna di atas dapat diketahui adanya tiga unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni: 1.
Makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar
2.
Hubungan yang dapat terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta
3.
Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat dimegerti (Aminudin, 1988: 103). Selain itu, Desasuurre dalam Chaer (2007: 287) mengatakan bahwa makna
adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau pendapat pada sebuah tanda linguistik. Sehubungan dengan hal tersebut, konsep makna menurut Odgen dan Richard (dalam Prawiramusantri, 1998: 43-44), menjelaskan bahwa makna adalah sebagai berikut: a) suatu sifat yang intrinsik. b) suatu hubungan yang unik atau khas dengan benda-benda lain yang tidak dapat dianalisis. c) kata-kata lain yang digabungkan dalam kamus. d) konotasi suatu kata. e) suatu esensi, inti sari, pokok. f) suatu kegiatan atau aktivitas yang diproyeksikan ke dalam suatu objek. g) suatu peristiwa yang diharapkan, suatu (keinginan) kemauan.
26
h) tempat atau wadah dalam suatu sistem. i) konsekuensi praktis dari suatu hal (benda) dalam pengalaman kita pada masa yang akan datang. Berdasarkan pendapat tersebut, disimpulkan bahwa makna adalah suatu maksud yang ingin disampaikan oleh penutur dengan melalui seperangkat bunyi atau simbol bahasa sesuai dengan aturan atau kesepakatan kebahasaan sehingga dapat dimengerti dan dipahami.
2.6 Nyanyian Rakyat 2.6.1 Pengertian Nyanyian Rakyat Menurut Jan Harold Brunvand (Danandjaja, 2007: 141), nyanyian rakyat adalah salah satu genre folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan diantara kolektif tertentu dalam bentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Nyanyian berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Sering kali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh penggubah nyanyian profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Walaupun demikian, identitas folkloristasnya masih dapat kita kenali karena masih ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission). Setiap nyanyian rakyat, kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tidak dapat terpisahkan. Teks nyanyian rakyat selalu dinyanyikan oleh informan dan jarang sekali yang hanya disajakkan (recite). Namun, teks yang sama tidak
27
selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering digunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda.
2.6.2 Jenis-Jenis Nyanyian Rakyat Menurut Brunvand (Danandjaja; 2007: 145) secara garis besar nyanyian rakyat terbagi atas dua jenis yaitu sebagai berikut: a. Nyanyian rakyat tidak sesungguhnya Pembagian ini didasari dengan ada tidaknya lirik dan lagu pada sebuah nyanyian. 1. Worldess folksong atau nyanyian rakyat tanpa kata-kata. Yakni suara yang dikeluarkan hanya menir u suara biola. Nyanyian jenis ini biasa digunakan untuk mengiringi suatu tarian rakyat. Jenis nyanyian rakyat yang menirukan suara biola itu disebut chin music atau didling. Seandainya ada kata-kata, maka kata-kata itu tidak bermakna apa-apa. Nyanyian rakyat di Indonesia yang digolongkan dalam nyanyian ini adalah nyanyian yang digunakan untuk mengiringi tarian Kecak atau Bali. 2. Near song atau nyanyian rakyat yang liriknya lebih menonjol daripada iramanya. Nyanyian rakyat di Indonesia yang tergolong nyanyian jenis ini adalah seruan yang digunakan oleh penjaja makanan ketikan berkeliling di kampung-kampung. b. Nyanyian rakyat yang sesungguhnya 1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (fungsional song)
28
Nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata-kata atau lagunya memegang peranan yang sama penting. Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama dan aktivitas khusus dalam kehidupan manusia. Jenis nyanyian ini selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi beberapa subkategori: a.
Nyanyian kelonan (lullaby). Yakni nyanyian yang mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, berulang-ulang, dan ditambah dengan kata-kata kasih sayang yang dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya kantuk bagi anak-anak yang mendengarnya. Contoh nyanyian semacam ini adalah lagu yang berjudul “Nina Bobok”.
b.
Nyanyian kerja (Working song). Yakni nyanyian yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggunggah semangat dan menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh nyanyian jenis ini adalah nyanyian “Holopis Kuntul Baris” dari Jawa Timur dan nyanyian “Rambate Rate” dari Sulawesi Selatan (Bugis Makassar).
c.
Nyanyian permainan (play song). Yakni nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan bermain (play) atau permainan bertanding (game). Salah satu contoh jenis nyanyian permainan ini adalah yang dipergunakan untuk mengiringi anakanak kecil bermain baris-berbaris di Jawa Timur.
2. Nyanyian yang bersifat liris
29
Nyanyian rakyat yang bersifat liris adalah nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya (yang anonim). Liriknya tidak menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Jenis nyanyian ini dibagi atas: a.
Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya. Yaitu nyanyian-nyanyian yang liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang bersambung. Banyak di antaranya yang mengungkapkan perasaan sedih dan putus asa. Contoh nyanyian jenis ini adalah lirik nyanyian rakyat betawi yang berjudul “Cinte manis”.
b.
Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya. Yaitu nyanyian rakyat yang liriknya menceritakan kisah bersambung (coherent). Nyanyian yang termasuk dalam golongan nyanyian ini adalah: 1) Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan. Yakni nyanyian-nyanyian rakyat yang liriknya mengenai cerita-cerita yang ada dalam kitab suci, legenda keagamaan, atau pelajaran keagamaan. Contoh nyanyian kerohanian ini adalah lagu kasidah yang digunakan sebagai nyanyian kerohanian bagi agama Islam. 2) Nyanyian rakyat yang memberi nasihat untuk berbuat baik (homiletic song). Contoh dari inggris adalah nyanyian rakyat yang berjudul Paddle Your On Canoe (Dayunglah Bidukmu dengan Tenagamu Sendiri). lirik nyanyian ini mengajarkan kita agar tetap berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan jangan menggantungkan diri pada orang lain.
30
3) Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan pernikahan. Contohnya adalah nyanyian “Oh Mama Saya Mau Kawin” dari folk Betawi. 4) Nyanyian bayi dan kanak-kanak. Nyanyian kanak-kanak digunakan untuk mengiringi suatu permainan. Nyanyian “Pok Ame-Ame” dari Jakarta adalah contoh nyanyian jenis ini. 5) Nyanyian bertimbun banyak. Yaitu nyanyian yang liriknya dapat bertimbun banyak, seperti halnya dengan dongeng bertimbun banyak (cumulative tales). Contoh nyanyian jenis ini adalah nyanyian kanakkanak yang berjudul “Sang Bango” dari Jakarta. 6) Nyanyian jenaka. Nyanyian ini berisi lirik yang lucu. Nyanyian ini dapat dibagi atas tiga: -
Nyanyian dialek atau nyanyian jenaka. kata-kata dalam nyanyian ini menirukan cara orang asing atau orang Indonesia dari daerah lain yang berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah yang lucu kedengarannya karena pelo. Seperti orang Cina totok berbicara bahasa Indonesia atau seperti orang Batak berbicara bahasa Indonesia.
-
Nyanyian yang bukan-bukan (nonsense song). Nyanyian ini adalah nyanyian jenaka yang isi liriknya tidak masuk akal. Contohnya dari Amerika Serikat adalah nyanyian yang liriknya sebagai berikut:
Tengah malam di tengah samudra, Tak sebuah bus pun lewat di sana.
31
-
Nyanyian ejekan (parody song). Nyanyian jenis ini bersifat mengajukan suatu nyanyian yang sifatnya serius dengan maksud untuk mengejek. Contoh lagu berbahasa Indonesia adalah sebuah lagu tamasya yang bejudul “Naik-Naik ke Puncak Gunung”. Lagu ini mempunyai versi parody yang berbunyi: Naik-naik ke gunung nyonya… Susu-susu melulu….
7) Nyanyian-nyanyian daerah dan orang-orang yang mempunyai mata pencaharian tertentu. Nyanyian rakyat ini beredar di antara para nelayan, penggembala sapi, petani, tukang kayu, dan sebagainya. 3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narrative song). Nyanyian rakyat yang yang bersifat berkisah adalah nyanyian yang menceritakan suatu kisah. Nyanyian yang termasuk dalam kategori ini adalah balada (ballad) dan epos (epic).
2.6.3 Ciri-Ciri Nyanyian Rakyat Danandjaja (2007: 141), menjelaskan ciri-ciri nyanyian rakyat adalah sebagai berikut: a. Kata-kata atau lagu merupakan dwi tunggal yang tak terpisahkan, sehingga salah besar jika dalam pengumpulan nyanyian rakyat tidak sekaligus mengumpulkan lagunya.
32
b. Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu komunitas daripada nyanyian non-tradisional. Selain beredar di antara komunitas buta huruf atau semi buta huruf, nyanyian ini beredar juga di antara mereka yang melek huruf. c. Bentuk nyanyian rakyat sangat beragam dari yang sederhana sampai yang cukup rumit. d. Umur nyanyian rakyat lebih panjang daripada nyanyian pop. Banyak nyanyian rakyat yang lebih tua daripada nyanyian seriosa. e. Teks yang sama tidak selalu dinyanyikan sama oleh informan. Sebaliknya, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda-beda. f. Sifatnya mudah berubah baik bentuk maupun isinya. g. Anonim. h. Penyebarannya secara lisan sehingga bersifat tradisi dan dapat menimbulkan varian-varian.
2.6.4 Fungsi Nyanyian Rakyat Danandjaja (2007: 152), menyatakan bahwa fungsi nyanyian rakyat yang paling menonjol adalah sebagai berikut: a. Untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari atau menghibur diri dari kesukaran hidup sehingga menjadi pelipur lara untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan yang akhirnya membawa kedamaian jiwa. b. Sebagai pembangkit semangat seperti nyanyian bekerja, nyanyian untuk barisberbaris, perjuangan, dan sebagainya.
33
c. Untuk memelihara sejarah setempat, klen, dan sebagainya. Contohnya nyanyian dalam masyarakat Nias yang disebut Hoho. Nyanyian ini digunakan untuk memelihara silsilah klen besar orang Nias yang disebut Mado. d. Sebagai protes sosial terhadap ketidakadilan dalam masyarakat, negara bahkan dunia.
2.7 Pendekatan Struktural Pendekatan
struktural
merupakan
pendekatan
intrinsik,
yakni
membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaitan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Menurut Taum (2011: 282) teori strukturalisme menekankan fungsi karya sastra sebagai sebuah struktur yang otonom, atau sebagai suatu kesatuan yang organik. Makna keseluruhan sastra ditentukan oleh aspek-aspek atau bagianbagian karya sastra tersebut. Bagi setiap peneliti sastra, analisis strukrural merupakan tugas utama atau pekerjaan pendahuluan karena karya sastra merupakan dunia dalam kata yang mempunyai kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra.
34
2.8 Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembinaan apresiasi sastra adalah pembinaan minat intelektual. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari mata pelajaran yang lain. Pembelajaran sastra di sekolah adalah pembelajaran kesenian. Para siswa dapat diajak bergaul dalam karya sastra dan dapat menciptakan karya sastra. Pembelajaran apresiasi sastra pada dasarnya adalah suatu proses panjang dalam rangka melatih dan meningkatkan keterampilan. Keterampilan sastra lebih banyak dikaitkan dengan pengalaman lingkungan siswa sesuai jenjang tingkatan usia dan pengalaman sehari-hari. Karya sastra yang baik dapat membekali siswa dengan sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan kita. Karya sastra dapat menarik karenanya diperoleh kenikmatan dan pemahaman. Pemahaman inilah yang perlu bagi siswa. Kalau ingin memahami karya sastra yang ingin digali kita terdahulu tertarik padanya, dan memahaminya sehingga kita akan jadi paham dan menikmatinya. Pembelajaran siswa tertuju pada kecakapan mengapresiasi. Usaha apresiasi jelas harus diiringi dengan penyediaan karya sastra untuk dibaca. Buku sastra yang dipilih untuk sekolah dapat berupa karya puisi, fiksi, dan drama. Pembelajaran sastra di sekolah pada prinsipnya bertujuan mengembangkan potensi siswa sesuai dengan kemampuannya. Sehubungan dengan kemampuan, kecerdesan, kejujuran, keterampilan, pengenalan kemampuan dan batas kemampuannya serta mengenali dan mempertahankan dirinya. Selain itu, pembelajaran sastra di sekolah dimaksudkan untuk mengembangkan kepekaan
35
siswa terhadap nilai-nilai indrawi, nilai hakiki, nilai efektif, nilai sosial, atau gabungan dari keseluruhan. Kenyataan sebelumnya menunjukkan bahwa pembelajaran sastra dewasa ini di sekolah (SMP dan SMA) bukanlah sekedar menelaah unsur- unsur intrinsik karya sastra, tetapi membawa misi yang luas, yaitu dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, dan mempunyai kepekaan terhadap masyarakat dan lingkungan budaya. Dengan demikian, siswa diharapkan menjadi manusia yang arif , peduli pada lingkungan, berbudaya dan memiliki kepribadian yang luhur.
36
BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif, penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat dengan menggunakan kata-kata atau kalimat. Semuanya diuraikan sesuai dengan kenyataan yang ditemukaan dalam penelitian. 3.2 Jenis Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research). Dikatakan penelitian kepustakaan karena peneliti dalam mengumpulkan data yang sesuai dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan dengan jalan mengkaji sumber tertulis yang berupa buku teks terjemahan “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna” oleh Rene van den Berg. 3.3 Data dan Sumber Data Penelitian 3.3.1 Data Peneltian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa buku teks yang memuat nyanyian rakyat Muna yang sudah ditransliterasi dan diterjemahkan.
35
37
3.3.2 Sumber Data Sumber data tertulis yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku teks terjemahan “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna” oleh Rene van den Berg dengan tebal buku 256 halaman diterbitkan oleh Artha Wacana Press tahun 2001. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tertulis. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik baca dan teknik catat. Teknik baca adalah membaca buku atau teks yang menjadi objek penelitian ini. Sedangkan teknik catat adalah mencatat data-data yang diperoleh dari hasil bacaan sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. 3.5 Teknik Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan struktural. Analisis struktural bertujuan untuk memaparkan secara cermat, teliti, mendetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw dalam Wahid, 2004:80). Dengan menggunakan analisis struktural maka dapat mencakup susunan nyanyian rakyat yang dianalisis. Kegiatan penelitian ini bersifat deskriptif yakni menguraikan, menginterpretasikan data berdasarkan apa yang diperoleh, khususnya bentuk dan makna nyanyian rakyat. Bentuk nyanyian rakyat mencakup jumlah baris dalam tiap bait, jumlah suku kata dalam baris dan persamaan bunyi.
38
Selanjutnya, untuk menemukan makna suatu karya, analisis struktural mesti dilanjutkan dengan analisis semiotik. Salden (dalam Kutha Ratna, 2008; 97) menganggap struktural dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Adapun proses pengolahan data dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut. a. Identifikasi data, yaitu data yang sudah ada diseleksi yakni menyisihkan mana data yang akan dipakai dalam penelitian ini. b. Klasifikasi data yaitu semua data dikumpulkan sesuai dengan karakteristik dan klasifikasi berdasarkan isi. c. Analisis data yaitu pada tahap ini peneliti menganalisis semua data yang terkumpul. d. Interprestasi data yaitu proses penafsiran data.
39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data 4.1.1 Nyanyian pengantar tidur 4.1.1.1 Nyanyian pengantar tidur untuk golongan Kaumu dan Walaka dhouna-una watiti dhouna-una dhololo-lolo watiti dhololo-lolo molodo tambo matamu dombue-mbuekoana ana-ana nempauti siwulu niparintangi. Artinya: La Ode anak-anak menyusui susu mamak supaya tidur Tidur dengan menyusu Tidur tutup baik-baik matamu, dengan senang agar nyenyak tidur. Anak keturunan raja yang wajib disembah dan disujud
4.1.1.2 Nyanyian pengantar tidur untuk golongan Maradika dan budak nabhalamo namandemo natikambo-kambowamo nabhalamo namandemo natiala ngkawasamo ale!ale!ale!wambhebhele labhala maka mbedhano
38
40
Artinya: Kalau saya punya anak sudah besar akan dibawa-bawa oleh raja-raja Besarlah dan menjadi pandai supaya bisa saja mengambil pekerjaan yang lain Sayang!sayang!sayang! bila besar maka saya menjadi senang
4.1.1.3 Nyanyian pengantar tidur secara umum Nabhala bhela ini Inano bhela nambebasimo Mbebasi koe undea Omarasai okodonsoso Nabhala kaawu ona mandemo Inamu bhela mbue-bueko Nabhala kaawu onamandemo Onatikambo-kambowamo Artinya: Kalau sudah besar ini Mamanya akan bahagia Senang jangan terlalu bersorak Susah jangan terlalu bersedih Hai buyung tidurlah nyenyak Mamamu membuai-buaimu Bila dewasa jadilah orang pandai
41
Ajaklah mama ke mana pergi
4.2.1 Kabhanti 4.2.1.1 Kabhanti Kaomu kepada Kaomu P : Notade anano kota ne ngkarame ‘ berdiri anaknya kota di keramaian’ karete nombibhiesa ‘ halaman (muka rumah) disegani’
L : Tawora ana Kaumu setaahano ‘Kami pandang anak kaum yang sedang bangsanya’ nsaidi tasinta dua. kami suka juga 4.2.1.2 Kabhanti Kaomu kepada Maradika P : Tawora bhela ingkoda sedunsaha ne ngkarame ‘Kami lihat laki-laki bujang bangsa maradika di tempat keramaian’ miina takonamiane. ‘ kami tidak hormat/hiraukan’
L : Kantibha mboka anagha dhenduduno ne ngkarame ‘Memang betul kamu bilang begitu wa ode perawan muda di tempat keramainan ini’ suano potalahano bhela indodi inia
42
‘bukan maksudmu dengan saya ini’ ane medano ihintu tantu ongkonamiane ‘kalau sebangsamu tentu kau hormati’
1.2.1.3 Kabhanti Maradika kepada Kaomu P : Dorato dhengkolakihi ne ngkarame ‘Kalau datang La Ode di tempat keramaian’ ndudu kamerindo maka ‘kami perawan muda segan sekali’
L : Sumano pake ngkaghewu ndudu wantimoasino ‘Asal suka keramaian perawan muda yang di sayangi’ koemo nsalameria ‘jangan takut’ niati pada pohala pedamo lalomu hintu ‘maksud kita tidak berbeda, seperti juga maksudmu itu’ Berikut hasil analisis bentuk dan makna nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial. 4.2 Analisis Bentuk 4.2.1 Nyanyian Pengantar Tidur 4.2.1.1 Nyanyian pengantar tidur untuk golongan Kaumu dan Walaka dhouna-una watiti dhouna-una
43
dhololo-lolo watiti dhololo-lolo molodo tambo matamu dombue-mbuekoana ana-ana nempauti siwulu niparintangi Jumlah baris dan bait : nyanyian tersebut terdiri dari empat baris dalam satu bait. Jumlah suka kata : dho-u-na-u-na-wa-ti-ti-dho-u-na-u-na
(13 suku kata)
dho-lo-lo-lo-lo-wa-ti-ti-dho-lo-lo-lo-lo
(13 suku kata)
mo-lo-do-ta-mbo-ma-ta-mu-do-mbu-e-mbu-e-ko-a-na
(16 suku kata)
a-na-a-na-nem-pa-u-ti-si-wu-lu-ni-pa-ri-nta-ngi
(16 suku kata)
Jumlah kata dhouna-una watiti dhouna-una
(3 kata)
dhololo-lolo watiti dhololo-lolo
(3 kata)
molodo tambo matamu dombue-mbuekoana
(4 kata)
ana-ana nempauti siwulu niparintangi
(4 kata)
Persamaan bunyi (persajakan) a. Persamaan bunyi (persajakan) berdasarkan letaknya dalam kata dan suku kata. 1. Sajak aliterasi : -
Terdapat persamaan bunyi /dho/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata dhouna dan baris kedua pada kata dhololo.
-
Terdapat persamaan bunyi /m/ pada awal kata baris ke dua yaitu pada kata molodo dan matamu.
44
-
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata baris ke tiga yaitu pada kata nempauti dan niparintangi.
2. Sajak mutlak: -
Terdapat persamaan bunyi daris seluruh kata yaitu kata watiti pada tengah baris pertama dan ke dua.
b. Persamaan bunyi berdasarkan letaknya dalam baris. 1. Sajak awal: -
Terdapat persamaan bunyi /dho/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata dhouna dan baris ke dua pada kata dhololo.
2. Sajak akhir -
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir baris yaitu baris pertama pada kata una dan baris ke dua pada kata dombuembuekoana.
4.2.1.2 Nyanyian pengantar tidur untuk golongan Maradika dan budak nabhalamo namandemo natikambo-kambowamo nabhalamo namandemo natiala ngkawasamo ale!ale!ale!wambhebhele labhala maka mbedhano Jumlah bait dan baris : nyanyian tersebut terdiri dari tiga bait dalam satu baris. Jumlah suku kata: na-bha-la-mo-na-ma-nde-mo-na-ti-kam-bo-kam-bo-wa-mo
(16 suku kata)
na-bha-la-mo-na-ma-nde-mo-na-ti-a-la-ngka-wa-sa-mo
(16 suku kata)
a-le-a-le-a-le-wam-bhe-bhe-le-la-bha-la-ma-ka-mbe-dha-no (18 suku kata)
45
Persajakan (persamaan bunyi) a. Persajakan (persamaan bunyi) berdasarkan letaknya dalam kata dan suku kata. 1. Sajak aliterasi: -
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata nabhalamo, namandemo, dan natikambokambowamo, baris ke dua pada kata nabhalamo, namandemo, natiala, dan ngkawasamo.
-
Terdapat persamaan bunyi /m/ pada awal kata baris ke tiga yaitu pada kata maka dan mbedahano.
2. Sajak mutlak: -
Terdapat persamaan bunyi dari seluruh kata yaitu kata nabhalamo pada awal baris pertama dan ke dua.
-
Terdapat persamaan bunyi dari seluruh kata yaitu kata namandemoo pada tengah baris pertama dan ke dua.
b. Persajakan (persamaan bunyi) berdasarkan letaknya dalam baris. 1. Sajak awal: -
Terdapat persamaan bunyi /nabhalamo/ pada awal baris pertama dan ke dua.
2. Sajak akhir: -
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir baris yaitu baris pertama, ke dua dan ke tiga.
46
c. Persamaan bunyi dalam satu baris. -
Baris pertama terdapat persamaan bunyi /na/ pada awal kata yaitu pada kata nabhalamo, namandemo, dan natikambokambowamo.
-
Baris ke dua terdapat persamaan bunyi /na/ pada awal kata yaitu pada kata nabhalamo, namandemo, natiala, dan ngkawasamo.
-
Baris ke tiga terdapat persamaan bunyi /m/ pada awal kata yaitu pada kata maka dan mbedhano.
4.2.1.3 Nyanyian pengantar tidur secara umum Nabhala bhela ini Inano bhela nambebasimo Mbebasi koe undea Omarasai okodonsoso Nabhala kaawu onamandemo Inamu bhela mbue-bueko Nabhala kaawu onamandemo Onati kambo-kambowamo Jumlah baris dan bait : nyanyian tesebut terdiri dari delapan baris dalam satu bait. Jumlah suku kata : Na-bha-la-bhe-la-i-ni
(7 suku kata)
47
I-na-no-bhe-la-na-mbe-ba-si-mo
(10 suku kata)
Mbe-ba-si-ko-e-u-nde-a
(8 suku kata)
O-ma-ra-sa-i-o-ko-don-so-so
(10 suku kata)
Na-bha-la-ka-a-wu-o-na-ma-nde-mo
(11 suku kata)
I-na-mu-bhe-la-mbu-e-bu-e-ko
(10 suku kata)
Na-bha-la-ka-a-wu-o-na-ma-nde-mo
(11 suku kata)
O-na-ti-ka-mbo-ka-mbo-wa-mo
(9 suku kata)
Jumlah kata : Nabhala bhela ini
(3 kata)
Inano bhela nambebasimo
(3 kata)
Mbebasi koe undea
(3 kata)
Omarasai okodonsoso
(2 kata)
Nabhala kaawu onamandemo
(3 kata)
Inamu bhela mbue-bueko
(3 kata)
Nabhala kaawu onamandemo
(3 kata)
Onati kambo-kambowamo
(2 kata)
Persamaan bunyi (persajakan): a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata dan suku kata. 1. Sajak aliterasi: -
Terdapat persamaan bunyi /na/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata nabhala, baris ke dua pada kata nambebasimo, baris ke lima pada kata nabhala, dan baris ke tujuh pada kata nabhala.
48
-
Terdapat persamaan bunyi /i/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata ini, baris ke dua pada kata inano, dan baris ke enam pada kata inamu.
-
Terdapat persamaan bunyi /m/ pada awal kata yaitu baris ke tiga pada kata mbebasi, baris ke lima pada kata mandemo, dan baris ke enam pada kata mbue-bueko.
-
Terdapat persamaan bunyi /k/ pada awal kata yaitu baris ke tiga pada kata koe, baris ke lima pada kata kaawu, baris ke tujuh pada kata kaawu, dan baris ke delapan pada kata kambokambowamo.
-
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada awal kata yaitu baris ke empat pada kata omarasai dan okodonsoso, baris ke lima pada kata onamandemo, baris ke tujuh pada kata onamandemo, dan baris ke delapan pada kata onati dan okambowamo.
2. Sajak mutlak -
Terdapat persamaan bunyi dari seluruh kata yaitu kata nabhala pada awal baris pertama, ke lima, dan ke tujuh.
-
Terdapat persamaan bunyi dari seluruh kata yaitu kata bhela pada tengah baris pertama, ke dua, dan ke enam.
-
Terdapat persamaan bunyi seluruh kata yaitu kata onamandemo pada akhir baris ke lima dan ke tujuh.
-
Terdapat persamaan bunyi seluruh kata yaitu kata kaawu pada tengah baris ke lima dan ke tujuh.
49
3. Sajak paruh: -
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata nabhala dan bhela, baris ke dua pada kata bhela, baris ke tiga pada kata undea, baris ke lima pada kata nabhala, baris ke enam pada kata bhela, dan baris ke tujuh pada kata nabhala.
-
Terdapat persamaan bunyi /i/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata ini, baris ke tiga pada kata mbebasi, dan baris ke empat pada kata omarasai.
-
Terdapat persamaan bunyi /u/ pada akhir kata yaitu baris ke lima pada kata kaawu, baris ke enam pada kata inamu, dan baris ketujuh pada kata kaawu.
-
Terdapat persamaan bunyi /e/ pada akhir kata yaitu baris ke tiga pada kata koe, baris ke enam pada kata mbue.
-
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir kata yaitu baris ke dua pada kata nambebasimo, baris ke empat pada kata okodonsoso, dan baris ke lima pada kata onamandemo, baris ke enam pada kata bueko, baris ke tujuh pada kata onamandemo, dan baris ke delapan pada kata kambo dan okambowamo.
c. Persajakan (persamaan bunyi) berdasarkan letaknya dalam baris. 1. Sajaak awal -
Terdapat persamaan bunyi /nabhala/ pada awal baris pertama dan ke dua.
50
-
Terdapat persamaan bunyi /ina/ pada awal kata yaitu baris ke dua pada kata inano dan baris ke enam pada kata inamu.
-
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada awal kata yaitu baris ke empat pada kata omarasai dan baris ke delapan pada kata onati.
2. Sajak akhir -
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir baris yaitu baris ke dua pada kata mbebasimo, baris ke empat pada kata okodonsoso, dan baris ke lima pada kata onamandemo, baris ke enam pada kata mbue-bueko, baris ke tujuh pada kata onamandemo, dan baris ke delapan pada kata okambowamo.
d. Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Baris pertama terdapat persamaan bunyi /la/ pada akhir kata nabhala dan bhela.
-
Baris ke dua terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir kata inano dan nambebasimo.
-
Baris ke empat terdapat persamaan bunyi /o/ pada awal kata omarasai dan okodonsoso.
-
Baris ke delapan terdapat persamaan bunyi /o/ pada awal kata onati dan okambowamo.
51
4.2.2 Kabhanti 4.2.2.1 Kabhanti Kaumu kepada Kaumu P : Notade anano kota ne ngkarame karete nombibhiesa. Jumlah baris dan bait : kabhanti tersebut terdiri dari dua baris dalam satu bait.
Jumlah suku kata : no-ta-de-a-na-no-ko-ta-ne-ngka-ra-me
(12 suku kata)
ka-re-te-no-mbi-bhi-e-sa
(8 suku kata)
Jumlah kata: notade anano kota ne ngkarame
( 5 kata )
karete nombibhiesa
( 2 kata )
Persamaan bunyi (persajakan) a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata dan suku kata. 1. Sajak aliterasi : -
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata notade, ne dan ngkarame dan baris ke dua pada kata nombibhiesa.
-
Terdapat persamaan bunyi /k/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata kota dan baris ke dua pada kata karete.
52
2. Sajak paruh: -
Terdapat persamaan bunyi /e/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata notade, ne, dan ngkarame dan baris ke dua pada kata karete.
-
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata kota dan baris ke dua pada kata nombibhiesa.
b. Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Baris pertama terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata dan bunyi /e/ pada akhir kata notade, ne, dan ngkarame.
-
Baris ke dua tidak memiliki persamaan bunyi.
L : Tawora ana Kaumu setaahano nsaidi tasinta dua
Jumlah baris dan bait : kabhanti tersebut terdiri dari dua baris dalam satu bait.
Jumlah suku kata ta-wo-ra-a-na-ka-u-mu-se-ta-a-ha-no
(13 suku kata)
nsa-i-di-ta-si-nta-du-a
(8 suku kata)
Jumlah kata tawora ana kaumu setaahano
(5 kata)
nsaidi tasinta dua
(3 kata)
Persamaan bunyi (persajakan) :
53
a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata dan suku kata. 1. Sajak aliterasi: -
Terdapat persamaan bunyi /ta/ pada awal kata baris pertama pada kata tawora dan baris ke dua pada kata tasinta.
2. Sajak paruh: -
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata tawora dan ana dan baris ke dua pada kata tasinta dan dua.
Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Baris pertama terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata tawora dan ana.
-
Baris ke dua terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata tasinta dan dua.
4.2.2.2 Kabhanti Kaumu kepada Maradika P : Tawora bhela ingkoda sedunsaha ne ngkarame miina takonamiane
Jumlah baris dan bait : kabhanti tersebut terdiri dari dua baris dalam satu bait.
Jumlah suku kata: ta-wo-ra-bhe-la-ing-ko-da-se-dun-sa-ha-ne-ngka-ra-me (16 suku kata) mi-i-na-ta-ko-na-mi-a-ne
(9 suku kata)
54
Jumlah kata: tawora bhela ingkoda sedunsaha ne ngkarame
(6 kata)
miina takonamiane
(2 kata)
Persamaan bunyi (persajakan): a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata dan suku kata. 1. Sajak aliterasi -
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata baris pertama pada kata ne dan ngkarame.
-
Terdapat persamaan bunyi /t/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata tawora dan baris ke dua pada kata takonamiane.
2. Sajak paruh: -
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata tawora, bhela, ingkoda, dan sedunsaha dan baris ke dua pada kata miina.
-
Terdapat persamaan bunyi /e/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata ne dan ngkarame dan baris ke dua pada kata takonamiane.
b. Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata baris pertama pada kata tawora, bhela, ingkoda, dan sedunsaha.
-
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata dan bunyi /e/ pada akhir kata baris pertama pada kata ne dan ngkarame.
55
L : Kantibha mboka anagha dhenduduno ne ngkarame suano potalahano bhela inodi inia ane medano ihintu tantu ongkonamiane.
Jumlah baris dan bait : pantun tersebut terdiri dari tiga baris dalam satu bait.
Jumlah suku kata: kan-ti-bha-mbo-ka-a-na-gha-dhe-ndu-du-no-ne-ngka-ra-me (16 suku kata)
su-a-no-po-ta-la-ha-no-bhe-la-i-no-di-i-ni-a
(16suku kata)
a-ne-me-da-no-i-hin-tu-tan-tu-o-ngko-na-mi-a-ne
(16 suku kata)
Jumlah kata: kantibha mboka anagha dhenduduno ne ngkarame
(6 kata)
suano potalahano bhela inodi inia
(5 kata)
ane medano ihintu tantu ongkonamiane
(5 kata)
Persajakan (persamaan bunyi): a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata atau suku kata. 1. Sajak aliterasi -
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata baris pertama yaitu pada kata ne dan ngkarame.
-
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata anagha dan baris ke dua pada kata ane.
56
-
Terdapat persamaan bunyi /i/ pada awal kata yaitu baris ke dua pada kata inodi dan inia dan baris ke tiga pada kata ihintu.
2. Sajak paruh : -
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata kantibha, mboka, dan anagha dan baris ke dua pada kata bhela dan inia.
-
Terdapat persamaan bunyi /no/ pada akhir kata yaitu pada kata dhenduduno baris pertama dengan kata suano dan potalahano pada baris kedua.
-
Terdapat persamaan bunyi /e/ pada akhir kata yaitu pada kata kata ne dan ngkarame pada baris pertama dan pada kata ane dan ongkonamiane pada baris ke tiga.
-
Terdapat persamaan bunyi /ntu/ pada akhir kata baris ke tiga pada kata ihintu dan tantu.
b. Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Pada baris pertama terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata kantibha, mboka, dan anagha dan persamaan bunyi /n/ pada
awal kata dan bunyi /e/ pada akhir kata ne dan
ngkarame. -
Pada baris ke dua terdapat persamaan bunyi /ano/ pada akhir kata suano dan potalahano; persamaan bunyi /in/
57
pada awal kata inodi dan inia; dan persamaan bunyi /a/ pada akhir kata bhela dan inia. -
Pada baris ketiga terdapat persamaan bunyi /ane/ pada kata ane dan kata ongkonamiane dan persamaan bunyi /ntu/ pada kata ihintu dan tantu.
4.2.2.3 Kabhanti Maradika kepada Kaumu P : Dorato dhengkolakihi ne ngkarame ndudu kamerindo maka.
Jumlah baris dan bait : kabhanti tersebut terdiri dari dua baris dalam satu bait.
Jumlah suku kata : do-ra-to-dhe-ngko-la-ki-hi-ne-ngka-ra-me
(12 suku kata)
ndu-du-ka-me-ri-ndo-ma-ka
(8 suku kata)
Jumlah kata : dorato dhengkolakihi ne ngkarame
(4 kata)
ndudu kamerindo maka
(3 kata)
Persajakan (persamaan bunyi): a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata atau suku kata. 1. Sajak aliterasi -
Terdapat persamaan bunyi /d/ pada awal kata baris pertama pada kata dorato dan dhengkolakihi.
58
-
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata ne dan ngkarame dan baris ke dua pada kata ndudu.
3. Sajak paruh : -
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir kata yaitu pada kata dorato baris pertama dengan kata kamerindo pada baris kedua.
-
Terdapat persamaan bunyi /e/ pada akhir kata yaitu pada kata kata ne dan ngkarame pada baris pertama.
c. Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Pada baris pertama terdapat persamaan bunyi /d/ pada awal kata dorato dan dhengkolakihi dan persamaan bunyi /n/ pada
awal kata dan bunyi /e/ pada akhir kata ne dan
ngkarame. -
Baris ke dua tidak memiliki persamaan bunyi.
L : Sumano pake ngkaghewu ndudu wantimoasino koemo nsalameria niati pada pohala pedamo lalomu hintu
Jumlah baris dan bait : kabhanti tersebut terdiri dari tiga baris dalam satu bait
Jumlah suku kata :
59
su-ma-no-pa-ke-ngka-ghe-wu-ndu-du-wan-ti-mo-a-si-no
(16 suku
kata)
ko-e-mo-nsa-la-me-ri-a
(8 suku kata)
ni-a-ti-pa-da-po-ha-la-pe-da-mo-la-lo-mu-hin-tu
(16 suku kata)
Jumlah kata : sumano pake ngkaghewu ndudu wantimoasino
( 5 kata)
koemo nsalameria
(2 kata)
niati pada pohala pedamo lalomu hintu
(6 kata)
Persajakan (persamaan bunyi): a. Persajakan (persamaan bunyi) dalam kata atau suku kata. 1. Sajak aliterasi -
Terdapat persamaan bunyi /p/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata pake dan baris ke tiga pada kata pada, pohala, dan pedamo.
-
Terdapat persamaan bunyi /n/ pada awal kata yaitu baris pertama pada kata ngkaghewu dan ndudu, baris ke dua pada kata nsalameria, dan baris ke tiga pada kata niati.
2. Sajak paruh : -
Terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata sumano dan wantimoasino, baris ke dua pada kata koemo dan baris ke tiga pada kata pedamo.
60
-
Terdapat persamaan bunyi /u/ pada akhir kata yaitu baris pertama pada kata ngkaghewu dan ndudu dan baris ke tiga pada kata lalomu dan hintu.
-
Terdapat persamaan bunyi /a/ pada akhir kata yaitu baris ke dua pada kata nsalameria dan baris ke tiga pada kata pada dan pohala.
b. Persajakan (persamaan bunyi) dalam satu baris. -
Pada baris pertama terdapat persamaan bunyi /o/ pada akhir kata sumano dan wantimoasino dan persamaan bunyi /n/ pada awal kata dan bunyi /u/ pada akhir kata ngkaghewu dan ndudu.
-
Baris ke dua tidak memiliki persamaan bunyi.
-
Baris ke tiga terdapat persamaan bunyi /p/ pada awal kata pada, pohala, dan pedamo; persamaan bunyi /a/ pada akhir kata pada dan pohala; dan persamaan bunyi /u/ pada akhir kata lalomu dan hintu.
4.3
Analisis Makna
4.3.1 Nyanyian Pengantar Tidur 4.3.1.1 Nyanyian pengantar tidur golongan Kaomu dan Walaka dhouna-una watiti dhouna-una dhololo-lolo watiti dhololo-lolo molodo tambo matamu dombue-mbuekoana
61
ana-ana nempauti siwulu niparintangi Nyanyian tersebut mengandung pesan kemasyarakatan. Pernyataan yang mendukung adalah kalimat ana-ana nempauti siwulu niparintangi yang berarti “anak-anak keturunan raja yang wajib disembah dan disujud”. Penggalan kalimat ini dapat dimaknai secara positif dan negatif. Makna positif dari kalimat ana-ana nempauti siwulu niparintangi yang berarti “anak-anak keturunan raja yang wajib disembah dan disujud” telah dipraktikan oleh Raja Lakilaponto. Dengan sifat-sifat baik yang dimilikinya, bangsawan ini patut diikuti dan ditaati. Hak istimewa sebagai seorang bangsawan yang dimilikinya akan mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Jadi, makna dari nyanyian tersebut adalah sebuah anjuran bagi anak-anak yang terlahir sebagai bangsawan dengan hak memimpin agar memiliki sikap-sikap yang baik. Mereka akan menjadi teladan dan akan memimpin negeri mereka dengan baik bila telah memiliki kebijaksanaan dan empati yang besar. Sedangkan secara negatif kalimat ini dipahami sebagai anjuran yang memotifasi anak yang berasal dari kalangan bangsawan (kaomu dan walaka) untuk bersikap angkuh. Anggapan bahwa mereka ditakdirkan terlahir dari orang tua bangsawan memberikan mereka hak istimewa untuk dipatuhi dalam segala hal, tidak peduli apakah mereka memerintahkan untuk melakukan sebuah kerusakan atau sebaliknya.
4.3.1.2 Nyanyian Pengantar Tidur Golongan Maradika Nabhalamo namandemo natikambo-kambowamo. Nabhalamo namandemo natiala ngkawasamo.
62
Ale!ale!ale!wambhebhele labhala maka mbedhano Kata kelas sosial maradika berasal dari kata “merdeka”. Golongaan ini dalam kelas sosial masyarakat Muna adalah golongan terendah yang mendapat hak kemerdekaan dan bertugas sebagai pelaksana lapangan. Meskipun Saat ini masyarakat Muna tidak lagi mengenal istilah perbudakan. Hanya saja sebagian keturunan dari kelas sosial maradika masih merasa bahwa mereka masih memiliki majikan. Walaupun telah dikatakan bahwa golongan ini tidak memiliki hak-hak dalam bermasyarakat, mereka tetap memilki peran penting dalam bidang ekonomi. Golongan maradika diibaratkan seperti kerikil yang menguatkan pondasi sebuah bangunan, merekalah pelopor pertama pembangunan Kerajaan Muna. Kelas sosial ini juga mendukung peran kaomu dan walaka dengan bertani, beternak, dan berburu. Di dalam nyanyian tersebut, yang menggambarkan hubungan sosial antara kelas sosial maradika dan kaomu adalah kalimat nabhalamo namandemo natikambo-kambowamo. Arti kalimat ini adalah “ kalau saya punya anak sudah besar akan dibawa-bawa raja-raja”. Jiwa pengabdian masyarakat kelas bawah tergambar dalam kalimat ini. Masyarakat kelas maradika menganggap bahwa bangsawan merupakan kelas sosial yang diduduki oleh sekelompok manusia paling takwa sehingga mereka akan bangga bila berdekatan dengan kelas sosial ini. Kaomu yang mendapatkan gelar ode adalah kelas sosial yang selalu dihargai, dihormati, bahkan dirindukan oleh masyarakat maradika. Masyarakat kelas sosial ini akan senang membantu para raja atau ode karena mereka adalah sosok yang
63
mematrikan sifat dan bakat kepemimpinan yang mumpuni. Kebijaksanaan mereka dalam memimpin diwujudkan dengan selalu melindungi maradika. Saat ini masyarakat Muna terkenal berwatak keras. Namun, kecerdasan intelektual yang mereka miliki adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Nyanyian pengantar tidur tersebut yang mewakili keinginan masyarakat Muna untuk berprestasi di bidang akademik adalah kalimat nabhalamo namandemo natiala ngkawasamo yang berarti ‘ besarlah dan menjadi pandai supaya bisa saja mengambil pekerjaan yang lain’. Kalimat ini adalah sebuah motivasi pada anak-anak yang terlahir dari golongan maradika untuk mengubah nasib mereka. Kecerdasan dalam pendidikan adalah modal besar untuk meningkatkan kesejahteraan. Pendidikanlah yang dapat menggesar pembagian kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Dahulu pemerintah adalah hak mutlak masyarakat yang berasal dari kelas sosial kaumu dan walaka. Namun, kemutlakan ini tidak lagi kita jumpai dalam masyarakat Muna masa kini. Mereka yang pantas menduduki sebuah jabatan dalam masyarakat ditentukan oleh kemampuan dan kecerdasan yang mereka miliki. 4.3.1.3 Nyanyian Pengantar Tidur Secara Umum Nabhala bhela ini Inano bhela nambebasimo Mbebasi koe undea Omarasai okodonsoso Nabhala kaawu ona mandemo
64
Inamu bhela mbue-bueko Nabhala kaawu onamandemo Onatikambo-kambowamo Di dalam kutipan nyanyian tersebut yakni kalimat nabhala bhela ini yang berarti “kalau sudah besar ini” dan kalimat inano bhela nambebasimo yang berarti “ mamanya akan bahagia” menggambarkan harapan orang tua kepada anaknya dan juga merupakan motivasi yang sangat kuat untuk orang tua di masyarakat Muna. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar orang tua dalam masyarakat Muna terkenal berkeinginan kuat anak-anak mereka menempuh pendidikan. Keinginan ini menyebabkan mereka tidak terlalu mempedulikan sarana kehidupan mereka. Misalnya, mereka lebih memilih menyekolahkan anak ke perguruan tinggi dibanding membuat rumah mewah. Mereka rela hidup susah asalkan anakanak mereka tetap menempuh pendidikan. Mereka akan mengerahkan seluruh daya upaya demi memberikan pendidikan terbaik bagi buah hati mereka. Kebanggaan mereka adalah melihat anak-anak mereka mendapatkan gelar sarjana. Nyanyian tersebut pula mengandung nasehat orang tua kepada anak-anaknya agar anak dapat menjadi orang yang bijaksana, selalu mawas diri, dan bersikap dewasa. Kesenangan yang diterima hendaknya tidak membuat seorang anak menjadi lupa diri, menjadi bangga, sombong, atau tinggi hati.
Kebahagiaan dalam hidup
menjadi sesuatu yang harus disyukuri. Dengan demikian, sikap waspada dan kontrol diri bisa tetap melekat dalam diri anak. Demikian pula, cobaan kesusahan dan kesedihan tidak disikapi dengan rasa sedih yang berlebihan. Kesedihan hendaknya dijadikan pelajaran untuk selalu berhati-hati dalam bertindak sehingga
65
tidak berujung pada kesalahan. Di dalam nyanyian tersebut, nasehat ini diwakili oleh kalimat mbebasi koe undea yang berarti “senang jangan terlalu bersorak” dan omarasai okodonsoso yang berarti “ susah jangan terlalu bersedih”.
4.3.2 Kabhanti 4.3.2.1 Kabhanti Kaomu kepada Kaomu P : Notade anano kota ne ngkarame karete nombibhiesa. Dalam kabhanti tersebut dikatakan bahwa jika datang golongan kaumu yang merupakan golongan tertinggi di Muna yang biasa disebut dengan La Ode di suatu tempat hajatan atau keramaian tempat diadakannya kegiatan kabhanti, maka di tempat itu tidak akan ada yang berani membuat kekacauan/ keributan. Dimana golongan Kaumu ini sangat disegani.
L : Tawora ana Kaumu setaahano nsaidi tasinta dua Dalam kabhanti tersebut dikatakan bahwa jika di tempat keramaian/ hajatan ada wanita/ gadis dari golongan Kaumu lelaki/pemuda suka atau senang.
4.3.3 Kabhanti Kaomu kepada Maradika P : Tawora bhela ingkoda sedunsaha ne ngkarame miina takonamiane
para
66
Dalam kabhanti tersebut dikatakan bahwa laki-laki/pemuda golongan maradika jika berkunjung di tempat keramaian tidak dipedulikan atau dianggap oleh para wanita/gadis dari golongan Kaumu. Dimana golongan maradika hanyalah orang biasa, sementara kaumu golongan tertinggi. L : Kantibha mboka anagha dhenduduno ne ngkarame suano potalahano bhela inodi inia ane medano ihintu tantu ongkonamiane. Dari kabhanti tersebut dikatakan bahwa laki-laki/pemuda golongan maradika tahu diri atas stutus sosialnya. Dia hanyalah golongan masyarakat biasa yang tak pantas bersanding dengan wanita golongan kaumu.
4.3.4 Kabhanti Maradika kepada Kaomu P : Dorato dhengkolakihi ne ngkarame ndudu kamerindo maka. Dalam
kabhanti tersebut dikatakan bahwa jika datang atau
berkunjung para lelaki/pemuda golongan Kaumu di suatu tempat hajatan/keramaian para gadis dari golongan maradika ini yang merupakan masyarakat biasa segan.
L : Sumano pake ngkaghewu ndudu wantimoasino koemo nsalameria niati pada pohala pedamo lalomu hintu
67
Dalam kabhanti tersebut dikatakan bahwa para gadis asal mereka suka juga keramaian, jangan takut/ segan. Karena tujuan mereka sebenarnya sama. Kabhanti ini termasuk jenis kabhanti percintaan.
68
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1.
Berdasarkan bentuknya, maka nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial yang terdapat dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna ini merupakan tradisi lisan yang berbentuk prosa lirik yang tidak terikat oleh jumlah kata dalam setiap lariknya, jumlah larik dalam setiap baitnya dan bersifat anonim.
2.
Makna yang terkandung dalam nyanyian rakyat Muna berdasarkan status sosial meliputi nasihat dan sindiran.
5.2 Saran Penelitian yang dilakukan ini belum bisa dikatakan lengkap dalam mengkaji sastra daerah masyarakat Muna. Masih banyak sastra daerah masyarakat Muna butuh penyelamatan dari generasi muda, khususnya sastra daerah yang penting untuk diteliti dan dipublikasikan. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian selanjutnya untuk turut mengambil bagian dalam penyelamatan sastra daerah yang merupakan asset untuk memperkaya kebudayaan nasional.
67
DAFTAR PUSTAKA Atmazaki. 1986. Ilmu Sastra (Teori dan Terapan) Bandung: Angkasa Raya. Couvreur, J. 2001. Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. (Rene van den Berg, penerjemah). Kupang: Arta Wacana Press. Damayanti, D. 2013. Buku Pintar Sastra Indonesia.Yogyakarta : Araska. Hutomo, S.S. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI. Karmudin. 2010. Analisis Bentuk, Isi, dan Makna Fakera, Salah Satu Sastra Lisan Masyarakat Kaledupa. Skripsi. Kendari: Universitas Halu Oleo. Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Gramedia Pustaka Utama.
Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta:
Laelasari dan Nurlailah. 2006. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia. La Mokui, 1991. Kabhanti Wuna. Raha: CV Astra. Padi, Editorial. 2013. Kumpulan Super Lengkap Sastra Indonesia. Jakarta: Padi. Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rahmawati. 2014. Ungkapan Tradisonal Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Sayuti, Suminto A. 2008. Berkenalan Dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media. Siswanto, Wahyudi, 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Grasindo. Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta : Lamera. Tarigan, Henry G untur. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Udu, Sumiman. 2009. Perempuan dalam Kabanti Tinjauan Sosiofeminis. Yogyakarta: Diandra.
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar: Universitas Negeri Makassar. Wahyuni, Risti. 2014. Kitab Lengkap Puisi, Prosa, dan Pantun Lama. Yogyakarta: Saufa. Waluyo, Herman J. 2005. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Gramedia Pustaka Utama. Wellek dan Wereen. 2010. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Yuwono, Untung. 2007. Gerbang Sastra Indonesia Klasik. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
LAMPIRAN
DATA PENELITIAN
1.
Nyanyian pengantar tidur untuk golongan Kaumu dan Walaka dhouna-una watiti dhouna-una dhololo-lolo watiti dhololo-lolo molodo tambo matamu dombue-mbuekoana ana-ana nempauti siwulu niparintangi. Artinya: La Ode anak-anak menyusui susu mamak supaya tidur Tidur dengan menyusu Tidur tutup baik-baik matamu, dengan senang agar nyenyak tidur. Anak keturunan raja yang wajib disembah dan disujud
2. Nyanyian pengantar tidur untuk golongan Maradika dan budak nabhalamo namandemo natikambo-kambowamo nabhalamo namandemo natiala ngkawasamo ale!ale!ale!wambhebhele labhala maka mbedhano Artinya: Kalau saya punya anak sudah besar akan dibawa-bawa oleh raja-raja Besarlah dan menjadi pandai supaya bisa saja mengambil pekerjaan yang lain Sayang!sayang!sayang! bila besar maka saya menjadi senang
3. Nyanyian pengantar tidur secara umum Nabhala bhela ini Inano bhela nambebasimo Mbebasi koe undea Omarasai okodonsoso Nabhala kaawu ona mandemo Inamu bhela mbue-bueko Nabhala kaawu onamandemo Onatikambo-kambowamo Artinya: Kalau sudah besar ini Mamanya akan bahagia Senang jangan terlalu bersorak Susah jangan terlalu bersedih Hai buyung tidurlah nyenyak Mamamu membuai-buaimu Bila dewasa jadilah orang pandai Ajaklah mama ke mana pergi
4. Kabhanti Kaomu kepada Kaomu P : Notade anano kota ne ngkarame ‘ berdiri anaknya kota di keramaian’
karete nombibhiesa ‘ halaman (muka rumah) disegani’
L : Tawora ana Kaumu setaahano ‘Kami pandang anak kaum yang sedang bangsanya’ nsaidi tasinta dua. kami suka juga
5. Kabhanti Kaomu kepada Maradika P : Tawora bhela ingkoda sedunsaha ne ngkarame ‘Kami lihat laki-laki bujang bangsa maradika di tempat keramaian’ miina takonamiane. ‘ kami tidak hormat/hiraukan’
L : Kantibha mboka anagha dhenduduno ne ngkarame ‘Memang betul kamu bilang begitu wa ode perawan muda di tempat keramainan ini’ suano potalahano bhela indodi inia ‘bukan maksudmu dengan saya ini’ ane medano ihintu tantu ongkonamiane ‘kalau sebangsamu tentu kau hormati’
6. Kabhanti Maradika kepada Kaomu P : Dorato dhengkolakihi ne ngkarame ‘Kalau datang La Ode di tempat keramaian’ ndudu kamerindo maka ‘kami perawan muda segan sekali’
L : Sumano pake ngkaghewu ndudu wantimoasino ‘Asal suka keramaian perawan muda yang di sayangi’ koemo nsalameria ‘jangan takut’ niati pada pohala pedamo lalomu hintu ‘maksud kita tidak berbeda, seperti juga maksudmu itu’