1
Bentuk dan Makna Sorban di Indonesia Hafshoh Arrobbaniyah Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 16424, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Artikel jurnal ini membahas mengenai “Bentuk dan Makna Sorban di Indonesia”. Latar belakang dari penulisan ini adalah banyaknya ragam bentuk sorban yang tersebar di seluruh dunia memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap agama, wilayah, kelompok masyarakat serta individu pemakainya. Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui bentuk sorban di Indonesia serta ragam makna di balik pemakaian sorban tersebut. Metode penulisan yang digunakan adalah studi kepustakaan (library search) dengan mencari sumber-sumber referensi yang berkaitan dengan sorban beserta perkembangannya di dunia dan Indonesia, serta metode wawancara dengan narasumber untuk menunjang sumber referensi. Jurnal ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis. Jurnal ini menggunakan teori akulturasi yang dikemukakan oleh Young Yun Kim untuk menganalisis bentuk sorban di Indonesia, serta konsep mengenai komodifikasi agama yang dikemukakan oleh Pattana Kitiarsa dalam menganalisis makna sorban di Indonesia. Hasil dari analisis penulisan ini yaitu bentuk sorban di Indonesia merupakan hasil akulturasi dengan bentuk sorban di Yaman dan India. Selain sebagai simbol agama, sorban juga dapat bermakna sebagai komoditas. Abstract Form and Meaning of Turban This journal article discusses about the "Form and Meaning Turbans in Indonesia". The background of this journal is the spreading forms of turban to all over the world which it has different meanings for each religion, region, community groups and individual wearers. The purpose of this paper is to determine the form of a turban in Indonesia and the meaning behind wearing the turban. The method which is used in this journal is the study of literature (library search) to find the sources of reference which relating to the turban and its development in the world and in Indonesia, and interviews with informants to support the references. This journal used descriptive research method. This journal used the theory of acculturation propounded by Young Yun Kim to analyze the forms of a turban in Indonesia, and the concept of commodification of religion propounded by Pattana Kitiarsa to analyze the meaning of turban in Indonesia. The result of the analysis of this paper is the form of a turban in Indonesia is the acculturation to Yemen and India. Aside from being a religious symbol, turban can also meaningful as a commodity. Keywords: social and culture; acculturation, turban, th form of turban, the meaning of turban.
Pendahuluan Beragam model pakaian khusus tiap agama memiliki ciri dan kesatuan tersendiri. Seperti pada pakaian tudung milik perempuan muslim maupun perempuan ortodoks Yahudi dan Kristen.1 Pada kaum laki-laki juga terdapat pakaian khusus yang dikategorikan sebagai pakaian keagamaan, diantaranya adalah sorban. Pemakaian serta pemaknaan sorban telah diatur oleh setiap agama, salah satunya agama Yahudi, seperti yang dikutip pada artikel berjudul “The Priestly Turban had a hole in the top” karya J.E Marchant, 1
Human Rights Commission, Op.Cit., paragraf 8.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
2 “(Exo) 29:6 You will place the turban on his head and put the holy insignia on the turban.” Artinya: Kau akan menempatkan sorban di atas kepalanya dan meletakkan lambang suci pada sorban itu.2 Sorban yang dimaksud adalah selilitan kain atau tembaga yang dipakai mengelilingi kepala, bukan menutupi seluruh kepala, sehingga nampak berlubang di tengah ketika dilihat dari atas. Sorban dalam agama Yahudi ini lebih mirip seperti donat. Pemaknaan dari pemakaian sorban ini mirip seperti dalam agama Kristen dan Islam, yaitu untuk melindungi kepala sekaligus sebagai simbol dan penopang kekuasaan hukum bagi peran dari pendeta atau rabi mereka.3 Kehadiran sorban di tengah masyarakat memberikan corak serta makna yang beragam dalam perkembangan kehidupan masyarakatnya. Sorban adalah sepotong kain yang panjang dan lebar, dikaitkan berlapis di atas kepala. Sorban menampilkan banyak variasi, diantaranya sebagai adat yang umumnya dipakai oleh kaum pria. Masyarakat dengan tradisi pemakaian sorban yang menonjol dapat ditemukan di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah, Jazirah Arab, Afrika Utara, Tanduk Afrika, dan bagian dari pesisir Swahili. Menurut Syeikh Gibril Fouad Haddad dalam artikelnya, “The Turban Tradition in Islam”, Sorban telah dipakai oleh masyarakat Arab bahkan sebelum Islam datang. Pemakaian sorban merupakan petanda hadirnya kehormatan manusia. Hal ini menjelaskan bahwa orangorang Arab asli berbangga hati untuk menerima aturan raja atas mereka, karena mereka tidak memiliki mahkota selain sorban yang dikenakan di atas kepala mereka. Mengutip salah satu penggalan dalam novel fiksi berjudul “Harald” karya David Friedman, menyebutkan bahwa ada cukup banyak peninggalan jejak-jejak dari pemakaian sorban di dunia, khususnya Islam. Di antaranya adalah penemuan tiga jenis sorban di The Metropolitan Museum of Art oleh para Ekspedisi Mesir.5 Di antaranya pemakaian sorban di kalangan pemeluk Yahudi, khususnya para rabi (pendeta), juga pada pemeluk agama Sikh yang masih terjaga hingga saat ini. Selain itu, ada beberapa bukti arkeologi dan sastra pada dimensi sorban berupa potongan kain yang diletakkan di kepala untuk membuat sorban dan topi.6 4
Pemakaian sorban terus berkembang seiring berkembangnya kebudayaan serta agama di dunia. Banyaknya fenomena pemakaian sorban di dunia, khususnya di Timur Tengah dan beberapa minoritas di negara barat, menghadirkan pemaknaan yang berbeda. Sorban tidak hanya dipakai oleh masyarakat muslim, tetapi juga menjadi salah satu identitas bagi pemeluk agama lain, seperti Sikh dan Hindu. Pada wilayah bumi bagian barat, pemakai sorban umumnya adalah
2
J.E Marchant dalam artikelnya yang berjudul “The Prietsly Turban had a Hole in The Top”, Juli 2009 http://yehspace.ning.com/profiles/blogs/the-priestly-turban-had-a-hole hlm.1 paragraf 2 (diakses pada 20 Agustus 2014 pukul 09:00 WIB) 3 J.E Marchant, “The Priestly Turban had a hole in the top”, 2009, hlm. 1 http://yehspace.ning.com/profiles/blogs/the-priestly-turban-had-a-hole (diakses pada 25 September 2014 pukul 22:00) 4 Gibril Fouad Haddad , “The turban tradition in Islam” http://www.caribbeanmuslims.com/articles/1286/1/Theturban-tradition-in-Islam/Page1.html (diakses pada 18 September 2014 pukul 20:00) 5 Nora E. Scott, Three Egyptian Turbans of the Late Roman Period, The Metropolitan Museum of Art Bulletin, Vol. 34, No. 10 (Oct., 1939), pp. 229-230The Metropolitan Museum of Art http://www.jstor.org/stable/3256428 (diakses pada 12 September 2014 pukul 09:00 WIB) 6 David D. Friedman, Harald, Baen Books, 2008, hal. 285.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
3 pemeluk Sikh dan jarang sekali ditemukan muslim yang mengenakan sorban selain pemuka agama di sana.7 Indonesia dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, memiliki kemajemukan paham religius yang dikembangkan dalam kelompok-kelompok agama mereka. Beragam kelompok Islam di Indonesia memaknai sorban sebagai sebuah tradisi sekaligus sunnah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok agama, memahami sorban sebagai suatu simbol keagamaan yang menurut Kitiarsa (2008) dipandang sebagai gerakan kesalehan berwatak kreatif secara kultural, melibatkan penekanan kuat pada praktik-praktik keagamaan atau penemuan praktik yang diklaim sebagai benar-benar ortodoks.8 Pemakaian sorban dijadikan sebagai rujukan oleh sebagian mayoritas masyarakat muslim di Indonesia, sehingga tidak sedikit ditemukan banyak dari mereka mengenakan sorban dengan bentuk yang beragam. Bentuk-bentuk sorban yang beragam itu juga menunjukkan kelompok atau tarekat Islam tertentu. Seperti pada jamaah tabligh yang tersebar di seluruh Indonesia, mereka mengenakan sorban berwarna putih dan menyisakan ekor di salah satu bahunya. Bagi kelompok Islam lainnya, pemakaian sorban merupakan bentuk penghormatan terhadap orang yang mereka anggap memiliki status yang tinggi. Seperti yang ditemui pada jamaah dari tarikat Alawiyah, sorban umumnya dikenakan oleh kalangan habaib, dengan ragam bentuk yang berbeda. Pada kelompok Islam lainnya, mereka meyakini sorban sebagai salah satu komponen dalam meningkatkan kualitas ibadah mereka, seperti pada jamaah Majelis al Fachriyah, Larangan, Tangerang. Mereka meyakini bahwa pemakaian sorban saat beribadah dapat menambah jumlah pahala hingga berlipat ganda ketika mengenakan sorban saat beribadah.9
Tinjauan Teoritis Berdasarkan tulisan Young Yun Kim (2010), proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya yang baru.10 Dalam proses akulturasi, terdapat tiga elemen komunikasi, di antaranya komunikasi persona, komunikasi sosial serta lingkungan komunikasi. Perspektif sistem komunikasi mengakui proses-prose interaksi dinamis antara ketiga elemen tersebut. Sorban yang berkembang di Indonesia hingga saat ini merupakan hasil dari proses akulturasi. Perkembangan sorban saat ini bukanlah murni produk kebudayaan di Indonesia, melainkan perpaduan banyak budaya di dalamnya, di antaranya Arab dan India. Perpaduan tersebut dapat terlihat dari berbagai hal yang mendukung kebudayaan tersebut, seperti sejarah awal, bentuk serta makna sorban pada berbagai negara maupun agama yang memberikan 7
Stanford Peace Innovation Lab, Turban Myths: The Opportunity and Challenges for Reframing a Cultural Symbol for Post -9/11 America, Stanford: California, (September 2013) hlm. 2 (diakses pada 9 Agustus 2014 pukul 10:00 WIB) 8 Pattana Kitiarsa, “Menuju Sosiologi Komodifikasi Agama”, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hlm. 1021. 9 Wawancara melalui email dengan Ahmad bin Novel – Pemimpin Majelis al Fachriyah pada 25 Oktober 2014. 10 Young Yun Kim, “Komunikasi dan Akulturasi”, dalam Deddy Mulyana & Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 140-144.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
4 pengaruh terhadap perkembangan sorban di Indonesia. Teori akulturasi ini penulis gunakan saat menganalisis tentang proses perubahan bentuk sorban menjadi blangkon di Jawa, misalnya. Penulis menggunakan tulisan Pattana Kitiarsa yang berjudul “Menuju Sosiologi Komodifikasi Agama” dalam buku Sosiologi Agama dengan editor Bryan S. Turner. Barangbarang agama hadir dalam beragam warna dan bentuk. Komoditas agama dapat dikategorikan ke dalam banyak variasi yang didasarkan pada ciri-ciri fisik, kultural atau institusional, dan simboliknya.11 Kitiarsa mengemukakan beberapa karakteristik unik yang membedakan barangbarang agama dengan produk-produk konsumen umum lainnya.12 Pertama, komoditas agama erat berkaitan dengan biografi suci para pendiri keyakinan/agama, peristiwa-peristiwa besar, atau lokalitas atau petilasan yang menonjol.13 Dalam kasus ini, tempat-tempat bersejarah, bangunan, dan peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam kitab suci merupakan daya tarik besar bagi pemeluk. Petilasan-petilasan semacam ini dapat dengan mudahnya diubah menjadi tujuan ziarah dan daya tarik wisatawan. Kedua, banyak komoditas agama lazimnya diproduksi, dikontrol dan direkayasa secara institusional oleh organisasi-organisasi tertentu.14 Barang-barang agama merupakan produk dari upaya-upaya terorganisasi. Institusionalisasi merupakan salah satu mekanisme ampuh bagi branding, pengiklanan, dan pemasaran agama. Ketiga, komoditas agama sarat dengan makna-makna simbolik, kualitas sakral dan reputasi karismatik.15 Simbolisme mengandung pesan-pesan keagamaan yang kuat dan melahirkan rasa memiliki dan identitas. Dengan cara ini, barang-barang keagamaan menjadi ikon-ikon agama yang dapat disembah, terutama dalam kasus pribadi-pribadi yang karismatik. Para pemilik barang-barang agama sering kali menjumpai diri mereka sendiri dalam perasaan hati yang kuat dengan pesan-pesan spiritual. Keempat, komoditas agama secara khusus dipromosikan melalui peristiwa-peristiwa publik seperti ritual, perayaan, festival, dan wisata rohani.16 Produksi, pemasaran dan konsumsi barangbarang agama merupakan aspek fundamental dari agama rakyat. Peristiwa-peristiwa keagamaan yang dapat diakses secara publik sungguh penting untuk memperlihatkan penggunaan efektif barang-barang keagamaan. Peristiwa-peristiwa semacam itu telah menjadi pasar dadakan, tempat berlangsungnya pembelian, penjualan, dan pertukaran barang-barang keagamaan secara aktual. Peristiwa-peristiwa publik tidak hanya mempertemukan pembuat atau pengolah, penjual, dan konsumen, namun juga menciptakan suasana hati dan atmosfer yang merangsang pertukaran bisnis atas nama pengeramatan alam sakral dan pengungkapan identitas keagamaan seseorang. Kelima, komoditas agama disalurkan kepada khalayak melalui media massa.17 Di negara-negara modern di seluruh dunia, media yang dapat dijangkau secara publik digunakan sebagai sarana untuk mengiklankan barang-barang keagamaan kepada masyarakat luas.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Metode penelitian ini merupakan pengembangan dari metode deskriptif. Selain itu penelitian ini 11
Ibid, hlm. 996. Ibid, hlm. 996-998. 13 Ibid, hlm. 996, paragraf 3. 14 Ibid, hlm. 997, paragraf 1. 15 Ibid, hlm. 997. 16 Ibid, hlm. 997. 17 Ibid, hlm. 997. 12
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
5 merupakan pengembangan dari metode penelitian kualitatif. Dalam penulisan skripsi ini, metode penulisan yang digunakan yaitu metode kepustakaan (library search). Untuk melengkapi sumber referensi, penulis juga melakukan metode wawancara kepada narasumber yang pemuka agama seperti ulama besar, habaib dan mursyid tarekat, pengikutnya serta masyarakat umum yang mengenakan sorban. Penulis menganalisis bentuk-bentuk pemakaian sorban yang digunakan secara umum maupun khusus pada berbagai negara dan agama serta yang berkembang di Indonesia. Penulis juga menganalisis contoh sorban di Indonesia dengan Tarekat Alawiyah, Majelis al Fachriyah, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah serta Jamaah Tabligh sebagai korpus data.
Hasil Penelitian Di antara bentuk sorban yang berkembang di Indonesia, khususnya dari berbagai tarekat serta kelompok Islam memiliki bentuk yang berbeda-beda. Dari seluruh bentuk sorban yang dianalisis oleh penulis, dapat disimpulkan bahwa bentuk sorban di Indonesia merupakan hasil akulturasi dengan bentuk sorban yang berkembang di Yaman, India serta wilayah jazirah dan semenanjung Arab. Adapun perbedaan yang ditemukan dari bentuk sorban tersebut adalah berdasarkan bentuk sorban yang dikenakan oleh para penyebar Islam di Indonesia serta para pemimpin kelompok atau tarekat. Sorban, di samping maknanya sebagai simbol, juga dapat diartikan sebagai barang komoditas. Sorban dimaknai oleh masyarakat Islam di Indonesia sebagai sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw sekaligus budaya Timur Tengah. Sorban dijadikan komoditas agama yang disalurkan melalui kegiatan keagamaan, seperti saat berhaji. Masyarakat Indonesia memaknai sorban sebagai simbol dari legalitas status mereka.
Pembahasan Sorban yang telah digunakan dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia memiliki ragam bentuk yang berbeda-beda. K.H Teungku Zulkarnain menyebutkan bahwa terdapat empat puluh dua cara mengikatkan kain sorban. Perbedaan bentuk sorban dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya topografi wilayah serta penyesuaian dengan para pendakwah Islam yang mengenakan model sorban tersebut.18 Para pembawa tersebut adalah saudagar asing yang berperan sekaligus sebagai penyiar agama Islam dan menyebarkan ajaran tarikat yang diyakini oleh mereka. Mereka tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Seiring perkembangan dan penyesuaian terhadap lingkungan baru mereka, bentuk sorban yang mereka gunakan juga disesuaikan dengan wilayah yang mereka singgahi. 1. Bentuk Sorban pada Tarekat Alawiyah 18
Wawancara dengan Husein Alhamid – salah satu habib Majelis Rasulullah 23 Oktober 2014, bertempat di kediamannya, Tangerang.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
6 1. Lilitan sorban yang tersusun rapi, lilitan dibuat tipis mengikuti pola awal bentukan sorban tersebut.
Gambar 1. Contoh sorban yang digunakan oleh Habib Umar (sumber : Dokumentasi pribadi milik Habib Husein Alhamid) Bentuk sorban yang dikenakan oleh Habib Umar di atas merupakan bentuk sorban hasil akulturasi dari wilayah Tarim, Yaman. Pemakaian sorban seperti bentuk di atas adalah dengan melilitkan kain sorban yang kain sorbannya dibuat berlapis sebelum dikenakan di atas kepala. Pemakaian bentuk sorban seperti ini terkadang menyisakan ekor pada salah satu sisi bahu atau keduanya. Bentuk sorban seperti ini umumnya dikenakan oleh kalangan guru besar atau syeikh atau kyai. Bentuk sorban seperti di atas dicontohkan oleh Habib Umar yang diturunkan oleh para pengikutnya.19 Meskipun bentuknya relatif sederhana, bentuk sorban seperti ini menggunakan kain sorban dengan panjang kain mencapai tiga hingga empat meter. 2. Kain dibentangkan dan digulung terlebih dahulu, kemudian dililitkan langsung di atas kepala. Gambar 1.(a) Contoh sorban yang dikenakan oleh Habib Abdullah bin Hasan bin Alattas (sumber : Dokumentasi pribadi milik Habib Husein Alhamid) Pada bentuk sorban yang kedua, sorban dililitkan secara acak di atas kepala. Pada beberapa contoh pemakaian, peci polos berwarna putih dikenakan terlebih dahulu sebelum dibalut dengan kain sorban. Menurut Husein Alhamid, bentuk sorban seperti ini merupakan bentuk sorban yang berasal dari wilayah Huraidhah, Yaman. Bentuk sorban seperti di atas merupakan ciri kedaerahan dari wilayah Yaman yang dikenakan oleh Wali Kutub. 3. Pemakaian sedikit rumit, dengan bantuan dua orang yang memegang sorban sementara pemakai sorban mengelilingi kain sorban di atas kepalanya. Bentuk sorban seperti ini umumnya terakulturasi dengan bentuk sorban yang terdapat di India. Gambar 1.(b) Contoh sorban yang dikenakan oleh Habaib (sumber : Dokumentasi pribadi milik Habib Husein Alhamid) Bentuk sorban di atas merupakan bentuk sorban yang umumnya berkembang di wilayah Afrika Utara. Bentuk sorban seperti di atas juga dikenakan oleh wali kutub. Mereka memakai sorban dengan tujuan sebagai identitas mereka karena mereka melakukan perjalanan panjang demi menyebarkan agama Islam. Bentuk sorban mereka dipahami sebagai ciri khas dari kalangan habib atau syeikh dan wali kutub. 4. Kain sorban yang habis dililit tanpa menyisakan ekor di belakang leher. 19
Wawancara dengan Husein Alhamid – salah satu habib Majelis Rasulullah 2 Januari 2015, bertempat di kediamannya, Tangerang.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
7
Gambar 1.(c) Contoh sorban yang dikenakan oleh Habib Rizieq Shihab (sumber : Dokumentasi pribadi milik Habib Husein Alhamid) Bentuk sorban yang dikenakan oleh Habib Rizieq merupakan bentuk sorban hasil akulturasi dari Afrika Utara. Model pemakaian sorban seperti di atas adalah dengan menggulung rapi kain sorban kemudian seluruhnya dililitkan di atas kepala dan menyisakan ekor di belakang lehernya sepanjang satu hasta. Menurut Husein Alhamid, masyarakat Mesir memaknai bentuk sorban seperti ini sebagai ciri khas kewilayahan mereka. Umumnya ulamaulama atau kyai besari di Indonesia meniru bentuk sorban seperti ini.20 Kain sorban yang dikenakan relatif berwarna putih. 5. Penggunaan rida yang menutup sorban yang telah dililit di atas kepala. Gambar 1.(d) Contoh sorban yang dikenakan oleh salah seorang Wali Kutub21 Al Alamah Habib Lutfi bin Yahya (sumber : Dokumentasi pribadi milik Habib Husein Alhamid) Pemakaian rida dikhususkan bagi alim ulama dengan level keilmuan yang sudah tinggi. Sorban yang telah dililitkan di atas kepala kemudian diselimuti oleh sepotong kain yang umumnya berwarna putih (seperti pada gambar di atas). Kain tersebut merupakan rida, yang pada beberapa contoh lainnya dikenakan di salah satu sisi bahu dengan cara dilipat menjadi dua membentuk persegi panjang. 2.
Bentuk Sorban pada Majelis Al Fachriyah
Gambar 2.(1) Habib Alwi bin Shahab (sumber : alfachriyah.org) Bentuk sorban pada kedua gambar di atas memiliki kemiripan, yaitu kain sorban yang dibuat berlapis pada sisi sebelah kiri dan sebelah kanan dibuat lebih sederhana tanpa lapisan. Bentuk sorban seperti ini sama seperti dengan bentuk sorban di kalangan habaib di wilayah Tahrim dan Hadramaout, Yaman. 3. Bentuk Sorban pada Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Penulis melakukan wawancara dengan salah seorang ustadz atau pengajar dari tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Tangerang dengan ustadz Muhammad Zuhri Bahrudin sebagai 20
Wawancara dengan Husein Alhamid – salah satu habib Majelis Rasulullah 2 Januari 2015, bertempat di kediamannya, Tangerang. 21 Wali Kutub adalah guru besar yang ditunjuk oleh para habib untuk menjadi rujukan mereka. Pada masanya hanya terdapat satu orang wali kutub hingga ia wafat dan digantikan oleh wali kutub berikutnya. (Penjelasan oleh Habib Husein Alhamid)
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
8 narasumber. Dia memberikan sedikit pemaparan mengenai bentuk sorban yang berlaku pada tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. “Sorban itu bahkan para malaikat pun memakainya, sehingga tidak ada perbedaan antara mursyid dengan muridnya. Karena sorban itu satu sunnah, hanya berbeda pemakaiannya. Ada yang bentuknya mengenakan igal dan ada yang mengenakan rida atau hiasan di baju. Dalam kitab tanhirul qaul dijelaskan, tidak ada perbedaan (bentuk sorban) antara mursyid dengan pengikut.”22 Menurutnya, tidak ada satu peraturan khusus yang mengharuskan seorang mursyid maupun pengikutnya untuk mengenakan bentuk atau cara mengikatkan sorban model tertentu. Perbedaan bentuk dan cara mengikatkan sorban disesuaikan dengan selera pemakai, tidak berkenaan dengan tata cara tertentu dalam tarekat ini. Gambar 3. Bentuk sorban yang dikenakan oleh Abah Anom (sumber: wwwahamid.blogspot.com) Abah Anom menggunakan dua sorban pada gambar di atas. Sorban pertama dikenakan di atas kepalanya dengan bentuk lilitan yang sederhana, menyerupai bentuk sorban Afrika Utara, sedangkan kain sorban kedua dikenakan di antara kedua bahunya. 4. Bentuk Sorban pada Jamaah Tabligh Bentuk sorban dari India dan Pakistan merupakan bentuk sorban yang dijadikan percontohan bagi pengikut Jamaah Tabligh. Seperti yang dikemukakan oleh Mohammad Arfan, salah seorang ustadz pengikut Jamaah Tabligh.23 “Diantara sekian banyak para jamaah yang mengenakan sorban, ya memang ada kaitannya dengan Timur Tengah, dengan wilayah Asia terutama di India dan Pakistan. Itu rata-rata masyarakat muslim dengan alim ulama maupun orang biasa, mereka mengenakan sorban.” Jamaah Tabligh memiliki paham yang serupa dengan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah mengenai bentuk sorban. Jamaah Tabligh tidak memiliki bentuk sorban secara khusus yang membedakan pemimpin jamaah dengan pengikutnya. Bentuk sorban pada jamaah ini disesuaikan dengan selera pemakai, tidak berdasarkan satu bentuk tertentu. Namun umumnya mereka memakai sorban mengikuti bentuk sorban dari India dan Pakistan. “Ada yang berbentuk imamah, ada yang di Arab Saudi yang dicontohkan Rasulullah yang seperti memakai jilbab wanita dan diatasnya memakai igal, ada yang diletakkan di pundak.” 24 22
Wawancara dengan Muhammad Zuhri Bahrudin – pengajar sekaligus pendiri pesantren tahfidzul Qur’an “Subulas Salam”, 1 November 2014, bertempat di pesantrennya, Tangerang. 23 Wawancara dengan Muhammad Arfan – pengikut Jamaah Tabligh, 4 November 2014, bertempat di kediaman ibu beliau, Tangerang.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
9 Gambar 4. Bentuk sorban pada Jamaah Tabligh (Sumber : nexlaip.wordpress.com) Bentuk sorban yang dikenakan oleh Jamaah Tabligh (gambar 4) memiliki ciri bentuk yang sama dengan bentuk sorban yang dikenakan oleh masyarakat India. Perbedaan terletak pada warna kain sorban yang dikenakan. Warna kain sorban pada Jamaah Tabligh umumnya berwarna putih, hitam atau abu-abu, sedangkan pada bentuk sorban yang berkembang di India umumnya memiliki warna-warna yang cenderung cerah. 5. Bentuk Sorban pada Jamaah An-Nadzir Penampilan fisik Jamaah An Nadzir sedikit berbeda dengan penampilan muslim pada umumnya. Anggota Jamaah An Nadzir memiliki rambut yang diwarnai pirang dengan panjang sebatas bahu, mengenakan peci lancip yang disertai sorban serta mengenakan jubah hitam.25 Gambar 5. Bentuk Sorban pada Jamaah An Nadzir (sumber: uniqpost.com) Pada gambar 5, bentuk sorban yang dikenakan oleh Jamaah An Nadzir memiliki bentuk sorban yang identik dengan bentuk sorban di India.26 Jamaah An Nadzir umumnya mengenakan kain sorban serta peci berwarna hitam. Namun pada beberapa jamaah lain ditemukan kain sorban serta peci yang berwarna putih, seperti pada gambar di atas. 6. Bentuk sorban di wilayah Sumatera Bentuk sorban yang tersebar di wilayah Sumatera, khususnya Sumatera Utara, Riau dan sekitarnya sedikit berbeda dengan bentuk sorban yang umumnya dikenakan di wilayah lainnya. Bentuk sorban di wilayah ini berbentuk kerucut di ujung kepalanya dan kain sorban dililitkan mengelilingi kerucutnya. Pemakaian sorban seperti ini melibatkan peci dan kain sorban. Peci dikenakan terlebih dahulu sebelum melilitkan kain sorban di atas kepala. Peci yang dikenakan umumnya berbentuk lancip menyerupai kerucut, kemudian kain sorban dililitkan mengelilingi permukaan bawah peci tersebut. Bentuk sorban ini mirip dengan bentuk sorban tentara India saat perang dunia I.27 Gambar 3.6.6. Bentuk sorban yang umum dikenakan di wilayah Sumatera (sumber : instagram.com/mutiasahira) Bentuk sorban yang dikenakan oleh masyarakat Sumatera (gambar 5.) memiliki bentuk yang sama dengan bentuk sorban tentara India pada saat 24
Wawancara dengan Muhammad Arfan – pengikut Jamaah Tabligh, 4 November 2014, bertempat di kediaman ibu beliau, Tangerang. 25
Sikumucha, “Jamaah An Nadzir”, Loc.Cit., paragraf 5. Peter Suciu, Turbans of Indian Army, Loc.Cit., paragraf 9 (diakses pada 12 November 2014 pukul 12:13 WIB) 27 Peter Suciu, Loc.Cit. paragraf 9-10. 26
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
10 Perang Dunia I. Bentuk sorban seperti di atas juga ditemukan pada Jamaah An Nadzir, namun Jamaah An Nadzir umumnya mengenakan kain sorban serta peci lancip berwarna hitam.
7. Blangkon Blangkon adalah penutup kepala yang digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Blangkon merupakan bentuk praktis dari iket,28 yang terbuat dari kain batik. Terdapat banyak versi legenda atau cerita rakyat mengenai asal usul blangkon, karena pada zaman tersebut masyarakat Indonesia, terutama Jawa dan Bali, menggunakan penutup kepala untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu mereka.29 Blangkon yang berkembang di Jawa merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya antara Jawa dan India, sedangkan bentuk akulturasi dari Arab itu lebih digunakan oleh masyarakat Jawa yang tinggal di pesisir pantai utara.30 Orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis yaitu keturunan Cina dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat, India. Para pedagang Gujarat tersebut merupakan keturunan Arab yang selalu mengenakan sorban di kepala mereka. Sorban inilah yang menginspirasi masyarakat Jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya masyarakat keturunan Arab tersebut.
Gambar 3.7
Blangkon Sunan Kalijaga
(sumber: medialunk.blogspot.com) Achmad Chodjim dalam bukunya Mistik dan makrifat Sunan Kalijaga, Sunan Kalijaga menggunakan blangkon dan merancang sendiri bajunya sebagai media mengajarkan Islam kepada masyarakat Jawa tanpa menimbulkan konflik di tengah mereka.31 Sunan Kalijaga tidak mengenakan sorban dan jubah seperti yang umumnya dikenakan oleh para ulama atau penyebar agama Islam lainnya. Blangkon dimaknai sebagai bentuk meleburkan kedua budaya antara Jawa dan India. Bentuk-bentuk sorban yang tersebar di Indonesia merupakan hasil akulturasi budaya dengan Arab dan India sebagaimana yang telah dibawa oleh para saudagar serta da’i dari sana. Bentuk sorban yang paling umum berkembang di Indonesia merupakan hasil adopsi bentuk sorban dari Hadramaut, salah satu wilayah bagian selatan negara Yaman, sebagaimana yang dikenakan oleh kalangan habaib. Sebagian bentuk lainnya merupakan hasil adopsi bentuk sorban dari Mesir, yaitu berupa lilitan yang memenuhi sekitar kepala tanpa menyisakan ekor di belakangnya. Berbeda dengan bentuk sorban kaum Sikh yang dililit menyilang, bentuk sorban yang berkembang di Indonesia cukup dililitkan secara sederhana di atas kepala. Bentuk tersebut 28
Iket adalah istilah penutup kepala bagi masyarakat Sunda Asal Usul dan Sejarah Blangkon, http://fonemena.blogspot.com/2012/04/asal-usul-dan-sejarah-blangkon.html (diakses pada 12 September 2014 pukul 10:00 WIB)
29
30 31
Wawancara dengan Karsono H Saputra – budayawan Jawa, 27 Oktober 2014, di Depok. Achmad Chodjim, Mistik dan makrifat Sunan Kalijaga, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007, hlm. 147.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
11 merupakan hasil akulturasi budaya antara India dan Arab. Bentuk sorban berupa lilitan kain tersebut dibawa ke Indonesia oleh Wali Songo. Selain itu, bentuk sorban mengerucut di ujung kepala, merupakan pengaruh dari bentuk sorban yang berkembang di negara India akibat pengaruh Turki Usmani yang melakukan ekspansi kekuasaan hingga ke India. Bentuk sorban model ini banyak tersebar di wilayah Sumatera. Pada contoh bentuk sorban yang menyisakan sedikit kain yang mirip ekor di belakang leher merupakan bentuk sorban dari Afrika Utara. Bentuk sorban seperti ini banyak berkembang di wilayah pulau Jawa. Bentuk sorban yang menyisakan ekor di belakang leher umumnya lebih disenangi di kalangan kyai dan ulama Jawa. Hal tersebut justru berkebalikan dengan para habib, sebagaimana telah dikemukakan oleh Husein Alhamid: “Para habib tidak menyisakan ekor pada sorban mereka karena terkesan sombong.”32 Alasan yang dikemukakan oleh Husein Alhamid adalah karena penyisaan ekor sorban meninggalkan kesan keangkuhan. Namun tidak semua habaib meniadakan ekor pada sorbannya. Perbedaan pedoman tersebut berdasarkan ajaran mengenai dalil-dalil terkait bentuk sorban Rasulullah yang disampaikan oleh wali kutub atau guru besar mereka.33 Perbedaan mengenai pemakaian ekor pada sorban bukanlah sesuatu yang penting, sebab beragam bentuk pemakaian sorban di Indonesia didasari pada selera dari pemakainya. Bentuk sorban di Indonesia juga dipengaruhi oleh ragam tarekat yang dibawa oleh para saudagar Timur Tengah dan India, atau masyarakat Indonesia yang menuntut ilmu ke sana. Umumnya bentuk sorban pada tarekat-tarekat di Indonesia tidak menggunakan ekor sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Bentuk sorban pada tarekat lebih sederhana, hanya berupa sepotong kain panjang yang dililit di atas kepala. Masyarakat Indonesia sendiri telah memiliki bentuk penutup atau ikat kepala yang terbuat dari sepotong kain. Pada contoh blangkon, yang umumnya digunakan oleh masyarakat Jawa, khususnya wilayah Yogyakarta dan Solo. Blangkon merupakan hasil akulturasi budaya antara Jawa dan India yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Pada masa tersebut, blangkon digunakan oleh kelompok abdi dalem atau pembantu keraton.34 8. Makna sorban pada tarekat Alawiyah Pemakaian sorban pada tarekat ini dapat ditemukan secara mudah di kalangan para habaib. Terdapat beberapa pendapat mengenai pemakaian sorban di kalangan habaib. Habib Husein menjelaskan bahwa sorban merupakan hak istimewa yang dimiliki oleh habaib. Pemakaian sorban oleh habaib merupakan bentuk penghormatan masyarakat atau pengikut tarekat ini terhadap jasa serta peran habaib sebagai pendakwah sekaligus sosok istimewa yang diyakini oleh mereka memiliki garis keturunan dengan Rasulullah Saw. Beragam bentuk pemakaian sorban dalam tarekat ini tidak memiliki pemaknaan yang berbeda, kecuali pada bentuk sorban yang terakhir (bentuk kelima pada bab 3). Pemakaian kain ridha yang menyelimuti 32
Wawancara dengan Husein Alhamid – salah satu habib Majelis Rasulullah 23 Oktober 2014. Wawancara dengan Ahmad bin Novel – Pemimpin Majelis al Fachriyah pada 25 Oktober 2014. 34 Akbar Tri Kurniawan, (2010, September 19), Blangkon Muhammadiyah dalam rubrik Buku kolom kedua, Koran Tempo, A4. 33
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
12 sorban hanya dikhususkan bagi wali kutub,35 para habaib tidak diperkenankan mengenakan bentuk sorban seperti itu karena bentuk tersebut merupakan tanda penghormatan dari kalangan habaib kepada wali kutub tersebut. Apabila ditemukan seorang santri mengenakan sorban, maka hal tersebut merupakan atas dasar perintah dari habib mereka. Tentunya para santri tersebut sudah memenuhi kualitas untuk menjadi pemakai sorban yang tepat. Di antaranya mampu menjaga akhlaq mereka, karena fungsi sorban lainnya yang diyakini dalam tarekat ini adalah, sorban sebagai bentuk peringatan terhadap pemakainya untuk senantiasa berhati-hati dalam bersikap. Pemakaian sorban merupakan bentuk refleksi dari sikap santun serta ketajaman ilmu agama yang dimiliki oleh pemakainya.36 9. Makna sorban pada Majelis Al Fachriyah Ahmad bin Novel memaparkan mengenai imamah serta keutamaannya dalam beribadah. Beliau menuturkan bahwa hukum memakai imamah atau sorban adalah sunnah, baik dalam beribadah maupun di luar peribadatan. Tujuan dari pengenaan sorban adalah untuk menghiasi diri pemakainya. Beliau juga menyampaikan dalil-dalil dalil yang menjadi pedoman bagi majelis Al Fachriyah dalam bersorban. Dalam hadits Rasulullah Saw bersabda: ﺻﻼﺓة ﺑﻌﻤﺎﻣﺔ ﺃأﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ ﻭوﻋﺸﺮﻳﯾﻦ ﺑﻐﻴﯿﺮ ﻋﻤﺎﻣﺔ ﻭو ﺟﻤﻌﺔ ﺑﻌﻤﺎﻣﺔ ﺃأﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺳﺒﻌﻴﯿﻦ ﺑﻐﻴﯿﺮ ﻋﻤﺎﻣﺔ. Artinya : "Satu sholat dengan memakai imamah itu lebih utama dari pada dua puluh lima sholat tanpa memakai imamah,dan satu jum'ah dengan memakai imamah itu lebih utama dari pada tujuh puluh jum'at tanpa memakai imamah". Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:
ﺍاﻋﺘﻤﻮﺍا ﺗﺰﺩدﺍاﺩدﻭوﺍا ﺣﻠﻤﺎ Artinya : "Pakailah imamah maka kalian bertambah arif (berakhlaq mulia)". dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib:
ﺍاﻟﻌﻤﺎﺋﻢ ﺗﻴﯿﺠﺎﻥن ﺍاﻟﻌﺮﺏب ﻭوﻛﺎﻧﺖ ﻋﻤﺎﺋﻢ ﺍاﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻳﯾﻮﻡم ﺑﺪﺭر ﺑﻴﯿﻀﺎء ﻭوﻳﯾﻮﻡم ﺣﻨﻴﯿﻦ ﺣﻤﺮﺍاء. Artinya :"Imamah adalah mahkota orang arab,dan imamah yg dipakai oleh malaikat ketika mengikuti perang badr adalah warna putih,dan ketika perang hunain adalah warna merah". Ahmad bin Novel memberikan catatan mengenai pemakaian sorban di kalangan orang awam. Pemakai sorban disarankan memiliki akhlaq serta pengetahuan agama yang baik, karena 35
Wali Kutub adalah guru besar yang ditunjuk oleh para habaib untuk menjadi rujukan mereka. Pada masanya hanya terdapat satu orang wali kutub hingga ia wafat dan digantikan oleh wali kutub berikutnya. (Penjelasan oleh Husein Alhamid) 36 Wawancara dengan Husein Alhamid – salah satu habib di Majelis Rasulullah, 4 November 2014.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
13 sorban merupakan sebuah media dakwah sekaligus cerminan agama, dan sebaiknya membaca ayat kursi serta basmallah sebelum mengenakan sorban. 10. Makna sorban pada Tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Tarikat ini meyakini bahwa pemakaian sorban adalah salah satu bentuk pembuktian umat Muslim terhadap sunnah Rasulullah Saw. Pemakaian sorban dimaknai sebagai seruan untuk menebarkan kebaikan kepada sesama manusia. Mereka menjadikan ayat Alquran sebagai landasan dalil mengenai pemakaian sorban dalam kelompok mereka, yaitu pada Surat Ali Imran ayat 104.
ُﻦ ِﺍاﻟﻤُ ﻨﻜَﺮﻭو ﺍاَُﻭوﻟﻚَﺌﻫﮬﮪھﻢ َﻑفِ َﻳﯾَﻨﻬﮭ َﻮﻥنَﻋ ﻥنَ ﺑِﺎﻟﻤَﻌﺮُﻭوﻭو ﺨَﻴﯿﺮ ِﻭوَ ﻳﯾ َﺄﻣُﺮُﻭو ﻥن َ ﺍاِﻟَﻰ ﺍاﻟ ﻦﻣِﻨﻜُﻢﺍاُﻣﱠ ﺔٌﻳﯾ َﺪ ﻋُﻮ ُ ﻭوَﻟﺘَﻜ ﺤُﻮﻥن ِﺍاﻟﻤُ ﻔﻠ Artinya : Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Mengenakan sorban diartikan sebagai salah satu cara untuk menyeru kepada kebaikan, dengan menjalankan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Pada tarikat ini tidak terdapat perbedaan makna dalam memaknai pemakaian sorban. 11. Makna sorban pada Jamaah Tabligh Jamaah Tabligh menjadikan Rasulullah dan para sahabat sebagai referensi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal berpakaian. Mereka terbiasa mengenakan sorban dan gamis dalam kegiatan sehari-hari. Seperti pada tarikat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, pemaknaan sorban dalam kelompok mereka diyakini sebagai sebuah perwujudan dalam menjalankan sunnah Rasulullah. Tidak ada perbedaan makna maupun peraturan khusus mengenai ragam bentuk sorban yang dikenakan oleh jamaah tabligh. Baik ulama maupun pengikut diizinkan untuk mengenakan sorban. 12. Makna sorban pada Jamaah An Nadzir Jamaah An Nadzir, baik imam maupun pengikut, umumnya mengenakan sorban disertai peci lancip. Sistem imamah dalam konteks pemahaman Jamaah An Nadzir adalah kepemimpinan spiritual dari seorang imam yang dianggap sebagai orang yang dapat menjamin kebenaran bagi para pengikutnya.37 Sebagaimana yang dikutip pada artikel fimadani.com berjudul “Mengenal Jamaah An Nadzir dari Sulawesi”, Jamaah An Nadzir menerapkan lima kriteria utama seseorang layak menjadi imam, di antaranya mengenal Allah sehingga syahadatnya benar, mempunyai wawasan yang luas bahkan ia dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok, seorang pemberani sehingga berani mengatakan kebenaran dalam semua situasi, memiliki kekuatan baik fisik maupun rohani serta memiliki kebijaksanaan.38 37
Mengenal Jama’ah An Nadzir dari Sulawesi, http://www.fimadani.com/mengenal-jamaah-an-nadzir-dari-sulawesi/ diakses pada 10 Oktober 2014 pukul 11:56 WIB (para. 12) 38 Mengenal Jama’ah An Nadzir dari Sulawesi, op.cit, para.13.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
14 Selain kelima syarat itu, Jamaah An Nadzir juga mensyaratkan imam sebagai bagian dari ulama yang mengamalkan amalan-amalan Nabi Muhammad dan menjadi saksi terhadap amalanamalan tersebut. Saat ini, imam besar Jamaah An Nadzir masih dipegang oleh Abah Syamsuri Madjid (meski ia telah meninggal), belum ada penetapan pengganti karena belum ada yang dianggap memenuhi kelima syarat. 13. Makna sorban menurut Majelis Ulama Indonesia Seperti yang telah dipaparkan pada subbab mengenai makna sorban pada kelompok Islam di Indonesia, sorban memiliki peran besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Sorban dimaknai sebagai simbol syi’ar Islam sekaligus sebagai salah satu perangkat pakaian dari para tokoh besar dalam dunia Islam di Indonesia. Keragaman bentuk sorban tidak memiliki perbedaan makna, kecuali disebabkan oleh pemahaman mengenai hadits-hadits terkait sorban Rasulullah. 14. Makna sorban menurut pemakai sorban Dengan narasumber seseorang yang kesehariannya mengenakan sorban, penulis mencari sudut pandang lainnya mengenai pemaknaan sorban bagi masyarakat Indonesia. Seperti yang dikutip dalam wawancara dengan Narasumber berikut “Ya fungsi sorban itu hanya bukan simbol ya, artinya karena Rasulullah mengenakan itu ya kita mengikuti apa yang sudah dicontohkan, dan kita alangkah bagusnya mengikuti. Ya Rasulullah mencontohkan itu memang bukan hanya bersorban. Rasulullah juga mencontohkan bersiwak, kemudian bersorban. Hanya saja umumnya di Indonesia memakai jubah dan salah satunya sorban. Di Indonesia pun orang-orang yang memakai sorban sudah jarang. Kita pun sebagai orang Indonesia dianjurkan untuk mengikuti cara Rasulullah dari segi berpakaian. Sunnah-sunnah nya banyak, dan paling tinggi itu akhlaqnya. Jadi, memakai sorban itu harus sesuai dengan akhlaqnya. Jadi harus serasi dari segi berpakaiannya, tingkah lakunya dan kesehariannya mestinya mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah. Cuma kita kan keimanan kita naik turun. Jadi kalau fungsi pemakaian sorban itu ya karena mengikuti sunnah Rasulullah.”39 Kesimpulan Bentuk sorban yang tersebar di Indonesia merupakan hasil akulturasi dengan bentuk sorban Timur Tengah, khususnya dari wilayah Yaman dan India. Beragam bentuk pemakaian sorban memiliki perbedaan makna dalam beragam tarekat maupun kelompok Islam di Indonesia. Pada tarekat Alawiyah, pemakaian sorban dimaknai sebagai wujud penghormatan kepada Habib. Pada Majelis Al Fachriyah, pemakaian sorban dimaknai sebagai peningkat kualitas ibadah, sedangkan pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah memaknainya sebagai wujud seruan kebaikan. Pemakaian sorban pada Jamaah Tabligh serta pemakai individu atau pribadi dimaknai sebagai tuntunan sunnah Rasulullah. Pada Jamaah An Nadzir, pemakaian sorban dimaknai sebagai pengukuhan atas sosok imam mereka. Saran 39
Wawancara dengan Ibnu Kaji, 26 November 2014.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
15 Perkembangan budaya di Indonesia sangat cocok menjadi ladang penelitian bagi para akademisi budaya. Bagi akademisi yang berminat mendalami bidang tersebut, diharapkan melakukan pendalaman analisis dalam penelitian serta pemahaman teori yang digunakan dalam menganalisis penelitian.
Daftar Referensi Buku
Abdus Salam Thawilah, Abdul Wahab. (2006). Adab Berpakaian dan Berhias. (Abu Uwais & Andi Syahril, Penerjemah.). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Arifin, Zainal. (2011). Penelitian Pendidikan: Metode dan PT Remaja Rosdakarya.
Paradigma baru. Bandung:
Al Lahjiy, Asy Syekh Abdullah. Kitab Al Muntaha As Suul. Juz 1. Darul Minhaj. Burke, Peter. (2001). Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Chodjim, Achmad. Mistik dan makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007. Endaswara, Suwardi. (2006). Metode, Teori Teknik Penelitian Kebudayaan:
Ideologi, Epistomologi,
dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Hasan, Ibrahim Hasan. (2006) Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Kapan Mulia.
Koentjoroningrat (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahjuhir. (1967). Mengenal Pokok-pokok Antropologi dan Kebudayaan. Jakarta: Bhratara. Al Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya & Maulana Fazlul Rahman
Aazami.(2008).
Kumpulan Hukum & Fadhilah Janggut, Rambut, Peci, Sorban, Gamis & Siwak. Bandung: Pustaka Ramadhan. Ridwan, M. Deden. (2001). Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan
Antardisiplin
Ilmu. Bandung: Nuansa. Mulyana, Deddy; Jalaluddin Rakhmat. (2010). Komunikasi Antarbudaya: Panduan berkomunikasi dengan orang-orang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
16 Puar, K. Jasbir. (2008). Sikh Formations. Vol. 4, No.1. New Brunswick: Routledge Taylor&Francis Group. Sjafei, Soewardji. (1989). Peran Local Genius dalam Kebudayaan (Ikhtiar Tanggapan Dalam Kepribadian Budaya Bangsa). Jakarta: Pustaka Jaya. Sunyoto, Agus. (2011). Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang disingkirkan, Jakarta: Transpustaka. Turner, Bryan S.. (2013). Sosiologi Agama. (Daryatno, penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ziadeh, Nicola A.. (1983). Sanusiyah: A Study of a Revivalist Movement in Islam. Leiden: JE. Brill. Netherlands. Ensiklopedia H. Algar. Ensiklopedia Iranica. (1989). Vol. I Fasc. 9. 1989. http://www.iranicaonline.org/articles/amama-or-ammama-arabic-emama-the-turban (diakses pada 27 November 2014) Hat, The Eastern World. The Encyclopedia of Americana. (1994). Intl. ed. Vol. XIII. Grolier Incorporated. USA. Hornby, A. S. (1974). Oxford Advanced Learner’s Dicitionary of Current English. Great Britain: Oxford University Press. Turban. Encyclopedia Americana. (1964). Intl. ed. Vol. XXVII. New York: Americana Corporation. Turban. Encyclopedia Brittannica. (n.d). http://www.britannica.com/EBchecked/topic/609509/turban (diakses pada 13 Oktober 2014 pukul 11:00 WIB) Kamus Salim, Peter, & Salim, Yenny. (2002). Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan 1 edisi ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 24. Zain, Sutan Mohammad. (1954). Kamus Moderen Bahasa Indonesia. Jakarta: Grafica.
Artikel Online
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
17 A.L. (n.d). How to differentiate between a Sunni and a Shiite? http://www.howtodothings.com/religion-spirituality/how-to-differentiate-between-a-sunni-muslim-and-ashiite-muslim (diakses pada 27 November 2014 pukul 12:00 WIB) Asal Usul dan Sejarah Blangkon. http://fonemena.blogspot.com/2012/04/ asal-usul-dan-sejarahblangkon.html (diakses pada 12 September 2014 pukul 10:00 WIB) Authors,
Ethiopian
Orthodox
Church
confused
about
some
thing's.
(2008).
http://www.orthodoxchristianity.net/forum/index.php?topic=16505.0 (diakses pada 17 Oktober 2014 pukul 14:00 WIB) British
Musem,
Sikh
fortress
Turban.
Sunderland
Museums&Winter
Gardens
http://www.britishmuseum.org/whats_on/uk_tours_and_loans/sikh_fortress_turban.aspx
(diakses
pada 20 September 2014 pukul 14:00 WIB) Gavin Harrington. Why do people wearing turban? http://www.answers.com/Q/Why_do_people_wear_turbans (diakses pada 22 September 2014 12:04)
Heritage the turban. fateh/sikhnet.com/s/WhyTurbans, (diakses pada 11 WIB)
September 2014 pukul 12.00
Islam and the Ottoman Empire. (n.d) http://lostislamichistory.com/islam-and-the-ottoman-empire/ (diakses pada 4 September 2014 pukul 09:40 WIB) Jirousek, Charlotte. Ottoman Influences in Western Dress. From S. Faroqhi and C. Neumann. (2005). Ottoman Costumes: From Textile to Identity. Ed. Istanbul: Eren Publishing. http://char.txa.cornell.edu/influences.htm (diakses pada 24 November 2014 pukul 12:00 WIB)
Marchant, J.E..“The Priestly Turban had a hole in the top”. (2009). http://yehspace.ning.com/profiles/blogs/the-priestly-turban-had-a-hole (diakses pada 25 September 2014 pukul 22:00)
Louis McLennan. The History and ettique of turbans. (n.d). http://www.lesn.appstate.edu/fryeem/christylitcircle/turban.html (diakses pada 11 September 2014 pukul 13:44) Standford Peace Innovation Lab. (2013). Turban Myths: The Opportunity and Reframing a Cultural Symbol for Post 9/11 America. California: Standford.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
Challenges
for
18 Sikumucha. Jamaah An Nadzir. http://sikumucha.blogdetik.com/2013/04/01/jamaah-an-nadzir-2/ (diakses pada 8 Desember 2014 pukul 04:13 WIB) Rubin,
Alissa J.. “Afghan Symbol of Identity Is Subject to Search”. (2011). http://www.nytimes.com/2011/10/16/world/asia/afghans-are-rattled-by-rule-on-searchingturbans.html?pagewanted=all&_r=0 (diakses pada 22 November 2014 pukul 15:00 WIB) Turbans-one of the most renown head dress http://www.millinerytechniques.com/turbans.html, (diakses pada 11 September 2014 pukul 11:00) The Turban Tradition in Islam. http://www.caribbeanmuslims.com/articles/1286/1/The-turban-traditionin-Islam/Page1.html (diakses pada 18 September 2014 pukul 20:00) Turban. (2013). http://www.britannica.com/EBchecked/topic/609509/turban (diakses pada 6 November 2014 pukul 22:00) Turban (n.d) http://www.worldheritage.org/articles/Turban (diakses pada 12 November 2014 pukul 12:30 WIB) Understanding turbans. (n.d). http://seattletimes.com/news/lifestyles/links/turbans_27.html pada 18 Agustus 2014 pukul 15:46)
(diakses
Buku Online Al-‘Arifi Muhammad ‘Abd al-Rahman (n.d). Enjoy Your Life: The Art of Interacting with People. Darussalam Research centre. Darussalam Publisher. Goldschmidt, Arthur; Amy Johnson, Barak A. Salmoni (Ed.). Re-envisioning Egypt 1919-1952. (2005). Cairo and New York: American Cairo University Press. Jwaideh, Wadi. The Kurdish National Movement: Its Origins and Development. New York: Syracuse University Press.
Lindisfarne-Tapper, Nancy & Ingham, Bruce. (1997). "Approaches to the Study of Dress in the Middle East", In Lindisfarne-Tapper, Nancy; Ingham, Bruce. Languages of Dress in the Middle East. Surrey UK: Curzon Press. ISBN 0-7007-0670-4. Saheb, Hazrat Moulana Fazlur Rahman. (1750). Turban, Kurta, Topee.(Hafez Ahmed Suleman penerjemah) Azaadville: Academy for the Revival of the Sunnah. Jurnal Basundoro, Purnawan. (2012). A.R. Baswedan: Dari Ampel ke Indonesia, Jurnal Lakon, Vol. 1 No. 1.
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
19
Bernard Haykel. (2002). Dissembling Descent, or How the Barber Lost His Turban: Identity and Evidence in Eighteenth-Century Zaydī Yemen. Islamic Law and Society, Vol. 9, No. 2, Evidence in Islamic Law. pp. 194-230 BRILLStable http://www.jstor.org/stable/3399325.
Bruinessen, Martin van. (1994). “The Origins and Development of Sufi Order (Tarekat) in Southeast Asia, Studia Islamika, Vol. I, No. 1 April-Juni 1994.
Bruinessen, Martin van. (2011). “Indonesian and Their Place in the Larger World of Islam”, Paper presented at the 29th Indonesia Update conference, Australian National University, Canberra, September 30 – October 2, 2011.
Christian Unkelbach, Joseph P. Forgas, Thomas F. Denson. (2008). The turban effect: The influence of Muslim headgear and induced affect on aggressive responses in the shooter bias paradigm. Journal of Experimental Social Psychology 44. www.elsevier.com/locate/jesp Hasan, Amna A., Nabiha S. Mehdi Al-Sammerai & Fakhrul Adabi Bin Abdul Kadir. (2011). How Colours are Semantically Construed in the Arabic and English Culture: A Comparative study. English Language Teaching, Vol. 4 No. 3, September 2011. http://www.ccsenet.org/journal/index.php/elt/article/viewFile/11893/8353
Levy, Howard S.. (n.d.) Yellow Turban Religion and Rebellion at the End of Han. Journal of the American Oriental Society, Vol. 76, No. 4 (Oktober-Desember 1956), hlm. 214-227. American Oriental Society, http://www.jstor.org/stable/596148
Michael Levey. Tulips, Arabesque and Turbans’ at Leighton House. The Burlington Magazine, Vol. 124, No. 952, Special Issue in Honour of Terence Hodgkinson (Juli 1982) pp. 466469. The Burlington Magazine Publications Ltd. http://www.jstor.org/stable/880746
Miyaji, Akira. (n.d).
Iconography of the Two Flanking Bodhisattvas in the Buddhist Triads from
Gandhāra: Bodhisattvas Siddhārtha, Maitreya and Avalokiteśvara. East and West. Vol. 58, No. 1/4
(December
2008),
pp.
123-156
Instituto
Italiano
per
l'Africa
http://www.jstor.org/stable/29757760
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014
e
l'Oriente
(IsIAO)
20 Monter, E. William. Calvinists In Turbans. (1967). Bibliothèque d'Humanisme et Renaissance, T. 29, No. 2, pp. 443-445 Published by: Librairie Droz http://www.jstor.org/stable/41609105 Sandikci, Ozlem, Ger Guliz. (2001). Fundamental Fashions: The Cultural Politics of The Turban and The Levi’s. Advances in Consumer Research Volume 28. Bilkent University. Scott, Nora E.. (n.d.). Three Egyptian Turbans of the Late Roman Period. The Metropolitan Museum of Art Bulletin, Vol. 34, No. 10 (Oktober, 1939), halaman 229-230. Published by: The Metropolitan Museum of Art http://www.jstor.org/stable/3256428
Novel Friedman, David D. (2008). Harald. Baen Books. Surat Kabar
Kurniawan, Akbar Tri. (2010, September 19). Blangkon Muhammadiyah. Koran Tempo, A4. Wawancara Alhamid, Husein. (23 Oktober 2014 pukul 08:00 WIB). Wawancara personal. Pinang Griya Permai, Tangerang. Arfan, Muhammad. (4 November 2014 pukul 08:00 WIB). Wawancara personal. Pinang Griya Permai, Tangerang. Bachrudin, M Zuhri. (1 November 2014 pukul 11:25 WIB). Wawancara personal. Pondok tahfidzul Qur’an “Subulas Salam”, Pinang, Tangerang. Kaji, Ibnu. (26 November 2014 pukul 19:05 WIB). Wawancara Personal. Pinang, Tangerang. Saputra, Karsono H. (27 Oktober 2014 pukul 10:00). Wawancara Personal. Gedung 3 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. Zulkarnain, Teungku. (4 November 2014 pukul 13:30 WIB). Wawancara personal. Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jl. Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat. Email
Salim, bin Novel bin Ahmad. (25 Oktober 2014 pukul 14:07 WIB). Masalah Imamah.
[email protected]
Bentuk dan makna..., Hafshoh Arrobbaniyah, FIB UI, 2014