BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyanyian rakyat Muna (selanjutnya di dalam karya ini disingkat NRM) adalah nyanyian tradisional yang didendangkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat etnis Muna sebagai masyarakat pendukungnya. Masyarakat etnis Muna atau masyarakat Muna (selanjutnya di dalam karya ini disingkat MM) adalah salah satu kelompok etnis lokal (indigenous ethnic) di Sulawesi Tenggara, di samping etnis Buton, Tolaki, dan Moronene. Masyarakat Muna (MM) mendiami wilayah Kabupaten Muna dan Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara. NRM memiliki karakteristik seperti halnya karakteristik nyanyian rakyat atau folksong pada umumnya. Danandjaja (1997:141) dengan mengadopsi teori Brunvard (1968:130) menegaskan bahwa nyanyian rakyat atau folksong terdiri atas kata-kata dan lagu, beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, dan banyak mempunyai varian. NRM secara substansial terdiri atas lirik dan lagu, beredar di kalangan MM secara lisan tanpa dokumentasi. Coraknya yang tradisional mengakibatkan tidak diketahui siapa penggubahnya (anonymous). Lirik-liriknya memiliki varian antara satu wilayah dengan wilayah lain, namun tidak menimbulkan perbedaan makna. NRM sebagai budaya profan dapat dinyanyikan oleh seluruh anggota komunitas MM tanpa kecuali. Hakikat nyanyian rakyat atau folksong adalah dapat dinyanyikan oleh siapa saja dalam masyarakat pendukungnya tanpa memandang status sosial. Kata folksong secara etimologis terdiri atas kata folk yang berarti
1
2
“rakyat” atau “komunitas masyarakat secara menyeluruh” dan song yang berarti “nyanyian”. Jadi, folksong atau nyanyian rakyat adalah jenis nyanyian milik komunitas masyarakat tertentu secara kolektif. Dengan demikian, NRM merupakan milik seluruh anggota MM secara kolektif sehingga dapat didendangkan oleh setiap anggota MM tanpa memandang usia, jenis kelamin, derajat keningratan, atau status sosial lainnya. MM pada umumnya gemar berdendang NRM. Dalam berbagai situasi, seperti: pada saat bersantai, bersedih atau merasa kalut, bergembira, sambil bekerja di ladang, sambil berjualan di pasar, sambil menjaga tanaman ladang dari serangan hama, sambil merapikan hasil panen, bahkan sambil menidurkan anak, mereka mendendangkan nyanyian tertentu. Nyanyian yang didendangkan tidak terbatas pada situasi yang sedang dialami atau aktivitas yang sedang dikerjakan, tetapi tergantung pada jenis yang dikehendaki. Ini berarti bahwa dendang NRM sifatnya tidak sektoral, tetapi tematik. NRM
berbeda
dengan lagu
daerah Muna,
walaupun keduanya
menggunakan bahasa Muna. Apabila lagu daerah Muna diketahui secara jelas pengarangnya/penggubahnya, NRM bersifat anonymous karena tidak diketahui yang menggubah atau yang mengarangnya. Ini disebabkan oleh status NRM sebagai bagian dari folklor Muna. Dundes (2007:55) menegaskan bahwa nyanyian rakyat atau folksong adalah bagian dari folklor di samping myths ‘mitos’, folktales ‘cerita rakyat’, proverbs ‘pepatah/teka-teki rakyat’, games ‘permaninan rakyat’, traditional dances ‘tarian tradisional’, dan sejenisnya. Kata folklor diadopsi dari istilah asing yang terdiri atas kata folk berarti “rakyat” atau “komunitas
3
masyarakat” dan lore berarti “tradisi yang tidak dituliskan”, baik pewarisannya maupun penyebarannya. Jadi, folklor adalah kebudayaan rakyat atau tradisi yang diwariskan dan disebarluaskan di dalam komunitas pemiliknya melalui kelisanan, tanpa teks tertulis. Folklor dihasilkan oleh masyarakat yang bercorak tradisional, yang menjunjung tinggi persatuan dan kebersamaan sehingga tidak mengenal hak cipta secara perorangan karena segala hasil kreasi yang diproduksi dianggap sebagai karya bersama. Selain sebagai bagian dari folklor Muna, NRM juga tergolong sastra lisan jenis puisi karena dua hal. Pertama, teksnya secara umum berbentuk puisi. Kedua, cara pengekspresiannya selain didendangkan juga diekspresikan dengan nada pembacaan puisi. Suastika (2011:51) menyatakan bahwa sastra lisan disampaikan secara lisan (oral) dari mulut ke mulut oleh pencerita ke pendengar atau dari penggubah ke khalayak. Ini berarti bahwa NRM yang diekspresikan secara lisan dengan cara didendangkan atau diekspresikan dengan nada pembacaan puisi merupakan bagian dari sastra lisan Muna. Berdendang NRM bagi MM Sulawesi Tenggara merupakan aktivitas keseharian. Bila dibandingkan dengan sastra lisan Muna lainnya, NRM paling tinggi frekuensi pengekspresiannya dalam kehidupan sehari-hari dan paling beraneka ragam jenis dan jumlahnya. NRM secara garis besarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: (1) kau-kaudara, (2) lagu ngkodau, dan (3) kabhanti. Nyanyian jenis kaukaudara biasanya didendangkan oleh anak-anak sambil bermain atau sambil menjaga tanaman ladang dari serangan kera pada siang hari. Teksnya berbentuk
4
puisi. Lirik-liriknya menyangkut hewan atau dunia hewan dan teknis permainan anak. Kemasan bahasanya banyak terdapat repetisi (pengulangan) yang berdampak pada munculnya unsur estetis dan penggunaan beberapa kata non sense ‘tidak bermakna’ yang menimbulkan efek jenaka. Nyanyian jenis lagu ngkodau biasanya didendangkan oleh orang dewasa atau orang tua. Teksnya berbentuk puisi lirik. Culler (1997:71-75) menyatakan bahwa puisi lirik ditandai dengan peran narrator ‘pembaca’ sebagai orang pertama dan liriknya merupakan imitasi fiksional terhadap dunia nyata. Pendendang nyanyian jenis lagu ngkodau memposisikan diri sebagai orang pertama dan lirik-liriknya merupakan refleksi kehidupan sehari-hari. Di samping itu, nyanyian jenis lagu ngkodau bentuknya sederhana dan berisi curahan perasaan. Semi (1988:106) dan Sulistyowati (2009:20-21) menyatakan bahwa puisi lirik berbentuk sederhana dan berisi curahan perasaan. Nyanyian jenis kabahnti biasanya didendangkan oleh orang dewasa atau orang tua. Liriknya berisi ekspresi emosional pribadi berupa cinta kasih, simpati, kerinduan, kebimbangan, atau kekecewaan yang ditujukan kepada orang tertentu. Teksnya berbentuk pantun, liriknya berjumlah empat baris atau pantun karmina, liriknya hanya dua baris. Nyanyian kabhanti jumlahnya tidak terbatas karena digubah dan didendangkan pada saat pelaksanaan acara modero, gambusu, atau kusapi. Acara tersebut adalah aktivitas budaya yang dilaksanakan dengan cara berdendang secara berbalasan (resiprokal) antara kelompok pria dengan kelompok wanita semalam suntuk. Setiap pelaksanaan acara modero, gambusu, atau kusapi dihasilkan ratusan nyanyian kabhanti.
5
Tidak semua nyanyian kabhanti tergolong NRM. Hal ini berbeda dengan nyanyian kau-kaudara dan lagu ngkodau karena semua nyanyian kau-kaudara dan lagu ngkodau tergolong NRM. Nyanyian kabhanti yang jumlahnya tidak terbatas dan didendangkan dalam acara modero, gambusu, atau kusapi, tidak semua warga MM mengetahuinya. Dundes (2007:154) menyatakan bahwa folklor termasuk di dalamnya folksong ‘nyanyian rakyat’ adalah pengetahuan bersama bagi anggota masyarakat secara kolektif, bukan sekadar bentuk kekayaan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Ini berarti bahwa NRM sebagai bagian dari folklor MM, salah satu cirinya adalah lirik-liriknya diketahui oleh segenap warga MM sebagai pengetahuan bersama. Berdasarkan hal ini, nyanyian kabhanti yang tergolong NRM hanya yang telah mengalami proses re-create ‘penciptaan kembali’ saja. Proses re-create ‘penciptaan kembali’ nyanyian kabhanti adalah pengekspresian kembali sejumlah nyanyian kabhanti secara berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari setelah didendangkan dalam acara modero, gambusu, atau kusapi. Lambat laun lirik sejumlah nyanyian kabhanti dimaksud diketahui oleh anggota komunitas MM sebagai pengetahuan bersama. Dengan demikian, sejumlah nyanyian kabhanti tersebut telah tergolong NRM. Perubahan status beberapa nyanyian kabhanti yang mengalami proses recreate ‘penciptaan kembali’ menjadi NRM menyebabkan MM Sulawesi Tenggara produktif menghasilkan NRM. Fenomena ini jarang dijumpai pada masyarakat lain di Nusantara karena pada umumnya menghasilkan satu nyanyian rakyat memerlukan waktu yang relatif lama. Berbeda dengan nyanyian modern seperti pop atau dangdut yang dapat dihasilkan dalam kurun waktu yang singkat,
6
nyanyian rakyat dihasilkan dalam kurun waktu yang cukup lama karena salah satu cirinya adalah lirik-liriknya merupakan common ground ‘pegetahuan bersama’ bagi seluruh anggota masyarakat. Keanekaragaman NRM didukung oleh status MM pada zaman dahulu sebelum memasuki akhir abad XX sebagai masyarakat yang niraksara (illiterate society). Akasara dikenal setelah masuknya agama Islam pada abad XVI dan setelah masuknya bangsa Belanda pada awal abad XX, tepatnya pada tahun 1906 (Tamburaka, 2004:371). Sebagai masyarakat yang niraksara, segala aktivitas sosial dilakukan melalui tradisi lisan (oral tradition) tanpa dokumentasi. Rahman (1999: Viii) menegaskan bahwa masyarakat yang niraksara mengabadikan hasilhasil kebudayaannya ke dalam tradisi lisan. Posisi tradisi lisan di dalam masyarakat yang niraksara merupakan keseluruhan wacana yang tidak tertulis, sebagai konsep dasar yang melandasi pola pikir, perkataan, dan perlakuan anggota masyarakat (Djuweng, 2008:169). Oleh karena tidak memiliki aksara, tradisi baca tulis tidak ada. Seluruh aspek kehidupan senantiasa dijalani melalui tradisi lisan, mulai dari tradisi bersastra, penyebarluasan pengetahuan dan teknologi tradisional, pelaksanaan adat dan perundang-undangan, penyebarluasan unsurunsur religi dan kepercayaan, bahkan pelaksnaan tata pemerintahan. Keberadaan NRM di dalam MM yang bercorak niraksara (sebelum memasuki akhir abad XX) tidak hanya sebagai sastra lisan yang digunakan untuk berekspresi estetis, tetapi juga sebagai tradisi lisan yang digunakan untuk menyampaikan berbagai hal, baik menyangkut diri sendiri maupun masyarakat. Dalam kaitan ini, NRM tidak hanya berstatus sebagai sastra lisan, tetapi juga
7
sebagai tradisi lisan sekaligus sebagai media sosial yang multi fungsi dan sarat makna. Sebagai media sosial, NRM merupakan pengejawantahan pikiran, perasaan, dan sikap MM dalam memandang dan memaknai realitas sehingga pengkajian terhadap NRM merupakan gerbang untuk memahami kondisi sosiokultural MM, sebagai bagian masyarakat Nusantara. Sibarani (2012:31) menyatakan bahwa sastra lisan mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai budaya masyarakatnya sehingga diperlakukan sebagai gerbang untuk memahami salah satu atau keseluruhan unsur kebudayaan masyarakat pendukungnya. Status NRM sebagai sastra lisan sekaligus sebagai media sosial, di dalamnya terkandung aspek-aspek kultural masyarakat pendukungnya, yakni MM Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, hasil pengkajian NRM selayaknya dijadikan rujukan pengambilan kebijakan yang link and match ‘bersesuaian’ dengan kondisi sosiokultural masyarakat, khususnya di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Keberadaan NRM memasuki akhir abad XX semakin memudar akibat tidak mampu bersaing dengan seni modern. Seiring beranjaknya MM dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, NRM sebagai produk masyarakat tradisional tidak kontekstual lagi. Seni modern lebih digemari dari pada NRM, utamanya generasi muda Muna. Unsur-unsur seni modern dirasakan lebih memuaskan dari pada NRM yang konservatif. Fenomena ini menyebabkan NRM sebagai salah satu kekayaan budaya kian terpinggirkan. Tradisi berdendang NRM mulai ditinggalkan dan warga MM utamanya generasi muda lebih meminati nyanyian-nyanyian modern seperti pop, dangdut, dan keroncong. Kondisi ini
8
menyebabkan NRM teralienasi dari MM, seperti yang terjadi saat ini. Akibatnya, generasi muda Muna tidak mengetahui nyanyian kau-kaudara, lagu ngkodau, maupun kabhanti. Fenomena ini merupakan bukti bahwa cabang-cabang kebudayaan tradisional Muna tidak mampu bertahan dalam kehidupan masyarakat yang beranjak modern dan bergelut dengan budaya modern. Hal ini merupakan ancaman serius bagi kelestarian cabang-cabang kebudayaan Muna. Apabila tidak dilakukan upaya pelestarian sedini mungkin, akan mengalami kepunahan. Fenomena terkikisnya aspek-aspek budaya tradisional tidak hanya terjadi pada MM, tetapi juga pada seluruh kelompok etnis di Nusantara, bahkan di negara-negara berkembang lainnya. Berdasarkan fenomena ini, UNESCO mengeluarkan Konvensi tahun 2003 yang berisi safeguarding and developing intangible cultural heritage ‘mempertahankan dan mengembangkan warisan budaya tak benda’. Konvensi UNESCO ini menandai era baru, yakni era postmodern atau pascamodern yang merupakan era kebangkitan aspek-aspek budaya tradisional. Konvensi ini didasari oleh munculnya slogan back to basic, back to nature ‘kembali ke dasar, kembali ke alam’, sebagai refleksi kejenuhan masyarakat dunia bergelut dengan budaya modern yang melahirkan prinsipprinsip hedonis, sekuleris, materialis, penindasan antar kelas, gejala alienasi (keterasingan manusia dari kulturnya sendiri), eksploitasi alam untuk kepentingan pribadi, dan semacamnya. Faruk (1993: 4) menyatakan bahwa slogan back to basic ‘kembali ke dasar’ dan back to nature ‘kembali ke alam’ adalah refleksi masyarakat dunia dewasa ini yang mulai rindu dengan nilai-nilai tradisional yang lebih humanistis.
9
Penelitian ini diilhami oleh adanya keinginan yang kuat untuk melakukan telaah secara sistematis dan komprehensif atas NRM yang beraneka ragam sebagai bagian dari kekayaan budaya tak benda yang tidak terhingga nilainya. Penelitian ini menghasilkan deskripsi dan penjelasan mengenai struktur NRM; identifikasi, deskripsi, dan penjelasan mengenai fungsi NRM; identifikasi, deskripsi, dan pejelasan mengenai kandungan makna NRM; serta rumusan strategi yang tepat sesuai dengan kondisi kekinian MM Sulawesi Tenggara dalam merevitalisasi NRM. Kondisi NRM dewasa ini yang terancam punah memerlukan perhatian khusus untuk dihidupkan kembali atau direvitalisasi. Pelaksanaan revitalisasi NRM merupakan wujud nyata pemertahannya sekaligus pewarisannya. Melalui program revitalisasi yang dilaksanakan dengan strategi yang sesuai dengan kondisi MM dewasa ini, NRM akan memiliki daya kebertahanan sekaligus keberlangsungan. Mengingat NRM merupakan sastra lisan yang tidak dipentaskan, pengkajian fungsi dan maknanya menggunakan pendekatan antropologi sastra. Ratna (2011:359)
menegaskan
bahwa
antropologi
sastra
adalah
pendekatan
interdisipliner yang mengaitkan karya sastra dengan konten atau situasi masa lampau masyarakat pendukungnya. Kajian atau pendekatan antropologi sastra di dalam penelitian ini mengaitkan teks NRM sebagai sastra lisan yang tidak dipentaskan dengan budaya lokal MM. Oleh karena NRM merupakan produk masyarakat lama yang bercorak tradisional, pemaknaannya dikaitkan dengan konten dan situasi MM pada masa lampau.
10
1.2 Rumusan Masalah NRM sebagai produk sastra (sastra lisan) memiliki kesatuan struktur yang terbangun melalui satun-satuan lingual dan kesatuan makna yang disampaikan secara simbolik. Sebagai produk budaya dan wacana kelisanan bagi masyarakat pendukungnya, eksistensi NRM memiliki keanekaragaman fungsi dan sarat makna. Memasuki akhir abad XX, eksistensi NRM mengalami degradasi sehingga memunculkan kesadaran akan pentingnya merevitalisasi NRM sebagai warisan kekayaan budaya tak benda yang tidak terhingga nilainya. Oleh karena itu, permasalahan di dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana struktur NRM? 2. Bagaimana fungsi NRM bagi MM Sulawesi Tenggara? 3. Makna apa saja yang terkandung di dalam NRM? 4. Bagaimana stategi revitalisasi NRM sesuai kondisi kekinian MM Sulawesi Tenggara?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dirumuskan dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujun untuk mendokumentasikan, mengkaji, dan menggugah perhatian pemerintah dan seluruh elemen masyarakat di Kabupaten Muna untuk berperan aktif dalam upaya mempertahankan NRM sebagai kekayaan budaya daerah Muna. Di samping sebagai kekayaan budaya
11
yang tidak terhingga nilainya, NRM merupakan pengejawantahan bentuk ekspresi bagi MM sehingga hasil pengkajian terhadap NRM dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan yang
tepat
sesuai kondisi
sosiokultural masyarakat pendukungnya, yakni MM di Sulawesi Tenggara. Pada saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara sedang menggalakkan Program Revitalisasi Budaya Muna. Terkait dengan program tersebut, penelitian ini juga bertujuan untuk mendukung program dimaksud dalam mengahasilkan dokumentasi lirik-lirik NRM yang selama ini belum didokumentasikan.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan struktur NRM. 2. Mengidentifikasi, mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan fungsi NRM bagi MM Sulawesi Tenggara. 3. Mengidentifikasi, mendeskripsikan, menganalisis, dan menjelaskan makna yang terkandung di dalam NRM. 4.
Merumuskan, mendeskripsikan, dan merekomendasikan stategi revitalisasi NRM sesuai kondisi kekinian MM Sulawesi Tenggara.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terbagi ke dalam manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoretis berupa kegunaan hasil dan temuan penelitian ini di ranah akademik, sedangkan manfaat praktis adalah kegunaan hasil dan temuan dalam
12
hal-hal yang bersifat aplikatif yang berhubungan dengan pemertahanan dan pengembangan NRM sebagai budaya lokal Muna. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal-hal sebagai berikut. 1. Memperkaya referensi pengkajian ilmiah terhadap sastra lisan khususnya nyanyian rakyat yang beraneka ragam di Nusantara. Masih banyak sastra lisan berupa nyanyian rakyat milik kelompok etnis tertentu yang belum diteliti dan dikaji secara ilmiah. 2. Memperkaya bahkan melengkapi konsep mengenai nyanyian rakyat yang telah ada sebelumnya. Dewasa ini batasan antara nyanyian rakyat dengan lagu daerah masih belum jelas karena keduanya menggunakan bahasa daerah. Karakteristik atau ciri-ciri nyanyian rakyat sebagai pembedanya dengan lagu daerah masih belum terjabarkan secara jelas. 3. Menjadi salah satu resource ‘sumber kepustakaan’ dalam pengkajian dan penelitian selanjutnya mengenai aspek-aspek sastra lisan daerah Muna Sulawesi Tenggara. 4. Menjadi patron atau rujukan dalam merevitalisasi NRM, sebagai salah satu target dalam Program Revitalisasi Budaya Muna yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Muna.
13
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam hal-hal praktis, sebagai berikut: 1. Memenuhi kebutuhan masyarakat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara terhadap perlunya mendokumentasikan NRM yang beraneka ragam sebagai bagian dari khasanah kebudayaan daerah Muna Sulawesi Tenggara, yang saat ini belum terdokumentasikan. 2. Membangkitkan kesadaran dan semangat kepada pemerintah, akademisi, pemerhati
sosial,
aktifis
LSM,
dan
seluruh
elemen
MM
untuk
mempertahankan aspek-aspek budaya lokal Muna yang kian termarginalkan, bahkan teralienasi (terasing) dari MM. 3. Memberikan inspirasi kepada para pengambil kebijakan di daerah khususnya di Kabupaten Muna
Provinsi Sulawesi Tenggara tentang
perlunya
menghidupkan kembali NRM sebagai bagian dari kebudayaan asli MM yang merefleksikan filosofi dan jati diri MM secara kolektif. 4. Memberikan sumbangan pemikiran berupa strategi yang tepat sesuai kondisi kekinian MM Sulawesi Tenggara dalam upaya menghidupkan kembali dan mempertahankan keberadaan NRM agar tetap lestari.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Objek penelitian ini adalah sastra lisan Muna, yakni NRM. Aspek-aspek yang dikaji meliputi beberapa hal. 1. Struktur NRM, difokuskan pada struktur internal teks lirik-liriknya yang terwujud melalui satuan-satuan lingual berupa fonem, morfem, kata, frasa, dan
14
kalimat sebagai satu kesatuan yang padu, dan di dalamnya mengandung makna. Struktur NRM terdiri atas kesatuan bentuk dan kesatuan arti. Kesatuan bentuk merupakan struktur luar atau struktur fisik (surface structure), meliputi irama dendangnya, diksi, majas dan gaya bahasa, citraan, dan rima/sajak. Kesatuan arti (makna) merupakan struktur dalam atau struktur batin (deep structure), meliputi tema dan amanat. 2. Fungsi NRM bagi masyarakat pendukungnya, yakni MM di Sulawesi Tenggara. 3. Makna yang terkandung di dalam lirik-lirik NRM. 4. Strategi revitalisasi NRM berdasarkan kondisi MM di Sulawesi Tenggara dewasa ini.