BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan campuran merupakan fenomena sosial yang semakin berkembang di Kabupaten Badung. Perkawinan campuran berimplikasi terhadap berbagai peristiwa lain yang bersifat ekonomi, sosial maupun hukum. Salah satu implikasi perkawinan campuran adalah Hak Pakai atas rumah hunian Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang melakukan perkawinan campuran dengan Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat WNI) tanpa membuat perjanjian kawin. Pulau Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang terdiri dari 8 (delapan) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya. Diantara semuanya itu, Kabupaten Badung merupakan pusat dari aktivitas pariwisata masyarakat Bali. Kabupaten Badung banyak terdapat obyek pariwisata dan akomodasi berupa hotel-hotel bertaraf nasional dan internasional. Hal inilah kemudian yang membuat tidak sedikit wisatawan mancanegara berkunjung ke Bali dan menetap di Kabupaten Badung. Kehadiran orang asing di Kabupaten Badung tidak semata-mata untuk tujuan wisata melihat keindahan alam Bali berupa sumber daya yang terdiri dari sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Banyak juga orang asing yang bertujuan untuk melakukan investasi. Sumber daya tersebut menjadi modal dan menjadi daya tarik tersendiri
1
2 bagi orang asing untuk datang ke Kabupaten Badung melalui penyelenggaraan kepariwisataan. Implikasi orang asing datang ke Kabupaten Badung sebagai salah satu daerah pariwisata di Bali telah melahirkan salah satu hubungan hukum keperdataan antara orang asing dengan penduduk WNI setempat, yakni berupa perkawinan. Secara teoretik, perkawinan antara orang-orang yang melintasi wilayah negara disebut perkawinan campuran internasional. Hal ihwal tentang perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) diatur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Ditentukan dalam Pasal 57 UU Perkawinan bahwa, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Ketentuan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU Perkawinan mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Harta benda dalam perkawinan yang dimiliki oleh pasangan suami istri kerap sekali memunculkan persoalan hukum yang berkepanjangan manakala perkawinan suami istri itu putus di pertengahan jalan dengan putusan cerai. Masing-masing suami atau istri merasa yang paling berhak atas harta yang dihasilkan dalam perkawinannya. Permasalahan harta benda dalam perkawinan dihadapi pula oleh pasangan perkawinan campuran khususnya harta berupa tanah.1 Permasalahan yang muncul bagi pasangan WNA dan WNI yang melangsungkan perkawinan adalah, kebanyakan dari mereka tidak membuat 1
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 8.
3 perjanjian kawin sebelum melangsungkan perkawinan. Akibat dari perkawinan yang tidak membuat perjanjian kawin adalah, adanya persatuan harta antara WNA dan WNI tersebut. Akibat hukum dari penyatuan harta dalam perkawinan ini adalah, segala sesuatu dalam perkawinan yang dimiliki oleh WNA adalah juga milik WNI yang terikat perkawinan. Begitu pula sebaliknya, apabila WNI kawin dengan WNA dengan penyatuan harta, maka WNI tidak dapat memiliki Hak Milik atas tanah di Indonesia, karena secara tidak langsung kepemilikan tanah juga menjadi milik pihak WNA. Hal itu dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA) yang menyebutkan seorang WNA dilarang memiliki tanah dengan status Hak Milik di Indonesia. 2 Larangan WNA untuk memiliki tanah di Indonesia dilandasi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang menyatakan bahwa, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan bahwa, negara memiliki hak untuk menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya atau dikenal dengan istilah “hak menguasai dari Negara”. Hak menguasai dari Negara merupakan bagian dari hak bangsa yang beraspek publik. Aspek publik memposisikan negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.3
2 Aslan Noor, 2006, Konsepsi Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, CV Mandar Maju, Bandung, hal. 85. 3 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, 2008, Hak-Hak Atas Tanah : Seri Hukum Harta Kekayaan, Penerbit Kencana, Jakarta, hal. 13.
4 Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada Pasal 2 UUPA yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak menguasai tanah oleh
Negara,
dijabarkan
dalam
bentuk
kewenangan
tertentu
untuk
penyelenggaraan hak tersebut. Kewenangan yang diberikan oleh UUPA digolongkan dalam tiga bagian, yaitu pengaturan peruntukan, pengaturan hubungan hukum antara orang dengan bagian-bagian tanah dan pengaturan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum. Hal tersebut merupakan intisari dari pengaturan Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menyangkut kewenangan yang diturunkan oleh negara kepada Pemerintah.4 Asas utama dalam UUPA terkait dengan pembentukan Hukum Tanah Nasional adalah asas nasionalitas, yaitu asas yang hanya memberikan hak kepada WNI dalam hal pemilikan hak atas tanah, yang menutup kemungkinan WNA untuk dapat memilikinya. Penerapan asas nasionalitas dalam UUPA, terutama dalam kepemilikan hak atas tanah, memberikan konsekuensi adanya perbedaan perlakuan antara WNI dengan WNA. Perbedaan perlakuan tersebut adalah wajar, terutama terkait dengan kedudukan tanah bagi masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan yang penting. Asas nasionalitas dalam UUPA, seperti dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA dan dalam penerapan pada pasal-pasal yang mengatur Hak Milik atas tanah, tidak sepenuhnya melarang WNA untuk memiliki hak atas tanah. Menurut 4
Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 46-47 (selanjutnya disebut Boedi Harsono I).
5 ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA, pada intinya hanya WNI yang memiliki Hak Milik. Ketentuan tersebut dipertegas pada ketentuan Pasal 21 ayat (3) UUPA yang pada intinya mengatur pelepasan hak bagi WNA yang karena kondisi tertentu memperoleh Hak Milik setelah berlakunya UUPA. Orang asing atau Badan Hukum Asing (BHA) hanya dapat memiliki Hak Pakai, sementara bagi Hak Guna Usaha pada Pasal 30 UUPA yang pada intinya tidak dapat dimiliki asing walaupun terdapat pengecualian tertentu, sebagaimana diatur pada Pasal 55 ayat (2) UUPA. 5 Dengan demikian, perbedaan perlakuan antara WNI dan WNA sebagai konsekuensi dari asas nasionalitas, tidak secara kaku diterapkan. Artinya, pembentuk UUPA memiliki pandangan bahwa penguasaan asing terhadap tanah dimungkinkan dalam rangka pembangunan nasional walaupun hubungan WNA dengan tanah berbeda dengan hubungan antara WNI dengan tanah yang memiliki hubungan sepenuhnya. Bahwa WNA hanya dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, selama kepentingan WNI tidak terganggu, dan juga pengusahaan tanah oleh WNA itu dibutuhkan oleh pemerintah dalam rangka ekonomi Indonesia.6 Jadi, bagi pasangan WNA-WNI yang tidak dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik, masih dapat memiliki tanah dengan status Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 UUPA, definisi dari Hak Pakai adalah sebagai berikut : “Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang 5 Iwan Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet. 1, Arkola, Surabaya, hal. 26. 6 Hasan Wargakusumah, 2010, Hukum Agraria, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 33.
6 memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini”. Pemberian Hak Pakai kepada WNA sepatutnya dapat memberikan kenyamanan bagi WNA yang menguasai tanah di Indonesia. Begitu pula terkait pemberian Hak Pakai bagi pasangan suami-istri WNA dan WNI. Terlebih lagi pada masa yang akan datang, mobilitas dari WNA yang masuk ke Indonesia diyakini akan semakin bertambah sebagai akibat kemajuan masyarakat di berbagai bidang, dan tentunya perkawinan beda kewarganegaraan semakin banyak terjadi. Melihat kondisi tersebut, maka dibutuhkan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi WNA serta pasangan perkawinan campuran WNA dan WNI yang ingin memiliki tanah untuk dijadikan tempat tinggal di Indonesia. Peraturan dimaksud sepatutnya dapat perlindungan hukum bagi WNA dan pasangan perkawinan campuran antara WNA dengan WNI.7 Pemberian Hak Pakai kepada WNA selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (selanjutnya disebut PP Nomor 103 Tahun 2015). Ketentuan Pasal 2 PP Nomor 103 Tahun 2015 ini menyebutkan orang asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai. Orang asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian adalah orang asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal orang asing
7
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Cet. 4, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 122.
7 meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian dapat diwariskan. Dalam hal ahli waris merupakan orang asing, ahli waris harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 PP Nomor 103 Tahun 2015, rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing merupakan rumah tunggal di atas tanah Hak Pakai atau Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Masih berdasarkan ketentuan Pasal 4 di atas, selain merupakan rumah tunggal, rumah tempat tinggal atau hunian yang dimiliki oleh orang asing dapat juga berupa Satuan Rumah Susun (Sarusun) yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 PP Nomor 103 Tahun 2015, pengertian Rumah Tunggal adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 PP Nomor 103 Tahun 2015, pengertian Satuan Rumah Susun (Sarusun) adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum. Ketentuan Pasal 6 PP Nomor 103 Tahun 2015 menyatakan bahwa, rumah tinggal yang diberikan di atas tanah Hak Pakai diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. Hak Pakai dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu perpanjangan berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun. Sedangkan ketentuan Pasal 7 PP Nomor 103 Tahun 2015 rumah tunggal di atas tanah Hak Pakai di atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan perjanjian
8 diberikan Hak Pakai untuk jangka waktu yang disepakati tidak lebih lama dari 30 (tiga puluh) tahun. Dalam hal jangka waktu berakhir, Hak Pakai dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah. Dalam hal jangka waktu perpanjangan berakhir, Hak Pakai dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun sesuai kesepakatan dengan pemegang hak atas tanah. Meskipun Hak Pakai bagi WNA telah diatur dalam PP Nomor 103 Tahun 2015, namun Hak Pakai masih dianggap tidak mampu memberikan kepastian hukum bagi para WNA dan pasangan WNA dan WNI. Mereka merasa Hak Pakai masih banyak memiliki celah-celah yang dapat merugikan mereka. Salah satunya adalah, adanya syarat untuk mengajukan permohonan Hak Pakai bagi WNA, yaitu WNA harus memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (selanjutnya disingkat KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (selanjutnya disingkat KITAP). Permasalahan muncul apabila KITAS tidak dapat diperpanjang sedangkan Hak Pakai sudah akan habis dan harus diperpanjang. Selain itu, mereka juga terus dihadapkan pada ketakutan suatu saat Hak Pakai mereka dapat dicabut sewaktu-waktu oleh pemerintah Indonesia dengan alasan demi kepentingan umum, dengan atau tanpa ganti rugi yang jelas yang tentunya bukan merupakan suatu kepastian hukum yang dikehendaki oleh WNA. Ketakutan-ketakutan tersebut di atas kemudian membuat banyaknya WNA dan pasangan WNA-WNI yang kemudian memilih untuk memiliki tanah di Indonesia dengan berdasarkan kepercayaan. Maksudnya adalah, seorang WNA atau pasangan perkawinan WNA-WNI, karena telah menjalin hubungan baik
9 dengan seorang WNI maka muncul kepercayaan di antara mereka. Kepercayaan ini kemudian menjadi dasar bagi WNA atau pasangan WNA-WNI dan WNI tersebut untuk sepakat membeli sebidang tanah atas nama WNI tersebut dengan biaya dari pihak WNA atau pasangan perkawinan WNA-WNI tersebut. Selanjutnya tanah tersebut dipergunakan oleh pihak WNA atau pasangan WNAWNI sebagai tempat tinggal sampai batas waktu yang tidak terbatas. Hal ini sering menjadi pilihan oleh karena tidak terbatasnya waktu Hak Milik atas tanah, serta kemudahan untuk menjual tanah tersebut suatu saat nanti apabila pihak WNA atau pasangan WNA-WNI tersebut tidak lagi menggunakan tanah tersebut. Akan menjadi lebih rumit apabila suatu tanah dengan Hak Pakai (di atas tanah negara) milik WNA atau pasangan WNA-WNI hendak dijual kepada orang lain (terutama WNI), oleh karena proses administrasi tanah yang harus dilakukan lebih rumit daripada pengalihan tanah Hak Milik, serta adanya tambahan biaya kompensasi ke negara untuk meningkatkan Hak Pakai ke Hak Milik. Hal-hal tersebut tentunya membuat minat pembeli (terutama WNI) terhadap tanah tersebut menurun drastis. Kesulitan dalam penjualan tentunya tidak mau dihadapi oleh para WNA dan pasangan WNA-WNI ketika mereka hendak mengalihkan tanah mereka.8 Berdasarkan kesulitan yang dihadapi WNA ketika bermaksud membeli rumah di Indonesia seperti yang dikemukakan di atas, maka kebanyakan WNA memiliki cara kepemilikan hak atas tanah secara terselubung yang merupakan bentuk kepemilikan hak atas tanah yang secara formal diatasnamakan orang lain 8
Maria S.W. Sumardjono, 2010, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria I), hal.42.
10 berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Hal seperti itu tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di Indonesia, dan dianggap sebagai penyelundupan hukum. Hal ini yang disebut sebagai perjanjian nominee yang memperjanjikan secara administratif tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama WNI, tetapi penguasaan fisik tanah hak milik tersebut dikuasai oleh WNA. 9 Sementara itu, meskipun kepemilikan rumah atau tanah sebagai Hak Pakai oleh WNA sudah diatur dalam PP Nomor 103 Tahun 2015, namun dalam PP Nomor 103 Tahun 2015 sendiri masih terdapat ketidakjelasan pengaturan (norma kabur). Norma kabur ini terdapat dalam ketentuan Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 yang mengatur sebagai berikut :10 (1) Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan dengan Orang Asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan Warga Negara Indonesia lainnya. (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bukan merupakan harta bersama yang dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris. Ketentuan Pasal 3 ayat (1) tersebut di atas tidak menjelaskan WNI lainnya yang tidak melakukan perkawinan campuran dapat memiliki hak atas tanah yang dipersamakan dengan dengan WNI yang melaksanakan perkawinan dengan WNA. Selain itu kekaburan atau ketidakjelasan dari ketentuan Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 tersebut di atas hanya mengatur bagi pasangan WNA dan WNI yang menikah dengan perjanjian pemisahan harta yang dibuat dengan akta Notaris. Pengaturan ini tidak menjelaskan bagaimana dengan pasangan WNA dan WNI yang hanya membuat perjanjian kawin secara di bawah tangan atau bahkan 9
Adrian Sutedi, 2006, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 52. 10 Aslan Noor, loc. cit.
11 tidak membuat perjanjian kawin sama sekali, mengingat banyak pasangan WNA dan WNI yang membuat perjanjian kawin di bawah tangan atau tidak membuat perjanjian kawin (berlaku seperti halaman 3). Ketentuan Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 yang hanya mengatur perkawinan campuran yang membuat perjanjian pemisahan harta dengan akta Notaris bertentangan pula dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Selain itu dalam bagian ketiga mengenai Perkawinan Campuran yang diatur dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 62 UU Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan campuran tidak mempersyaratkan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta Notaris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, terjadi norma konflik antara Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal 29 dan Pasal 57 sampai dengan Pasal 62 UU Perkawinan. Berangkat dari adanya norma kabur dalam Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 yang tidak mengatur bagaimana dengan pasangan WNA dan WNI yang hanya membuat perjanjian kawin secara di bawah tangan atau bahkan tidak membuat perjanjian kawin sama sekali dan norma konflik antara Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 yang hanya mengatur perkawinan campuran yang membuat perjanjian pemisahan harta dengan akta Notaris, padahal Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 57 sampai Pasal 62 UU Perkawinan menyatakan bahwa suatu
12 perkawinan campuran tidak mempersyaratkan adanya perjanjian perkawinan terlebih-lebih dibuat dengan akta Notaris, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis. Menurut peneliti hal tersebut menarik dan penting untuk dibahas agar tidak terjadi kebingungan dalam praktek Notaris sehubungan dengan jaminan kepastian hukum. Adapun judul dari tesis ini adalah “Hak Pakai Atas Rumah Hunian Warga Negara Asing Dalam Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pengaturan Hak Pakai atas Rumah Hunian bagi Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran?
2.
Bagaimanakah akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap tanah yang telah dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin sebelumnya?
1.3 Orisinalitas Penelitian Berdasarkan
penelitian
kepustakaan
baik
melalui
perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan Hak Pakai atas rumah hunian WNA yang Melakukan Perkawinan Campuran tanpa Membuat Perjanjian Kawin, yaitu : 1.
Penelitian Ni Made Irpiana Prahandari dengan judul “Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing Dengan
13 Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kasus)”. Tesis dari Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2014 dengan rumusan masalah : a. Bagaimanakah keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Warga Negara Asing (WNA) yang dilakukan oleh Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah? b. Apakah akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah? Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kepemilikan tanah oleh WNA. Perbedaannya, jika penelitian Ni Made Irpiana Prahandari meneliti tentang penguasaan Hak Milik atas tanah milik WNI oleh WNA dengan akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka penelitian yang akan dilakukan ini meneliti tentang Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin. Selain itu perbedaan yang lainnya, penelitian Ni Made Irpiana Prahandari menggunakan pendekatan penelitian perundang-undangan, pendekatan fakta dan pendekatan analisis konsep hukum, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekaan konsep dan pendekatan kasus. 2.
Penelitian Michael Wisnoe Barata dengan judul “Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing dan Kewarganegaraan Ganda”. Tesis dari Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia Tahun 2012 dengan rumusan masalah :
14 a. Bagaimana dengan kepemilikan hak-hak atas tanah beserta bangunan bagi warga negara asing dan badan-badan hukum asing, menurut UndangUndang Pokok Agraria? b. Bagaimana dengan status kepemilikan hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh
anak
hasil
dari
perkawinan
campuran
yang
berstatus
kewarganegaraan ganda menurut Undang-Undang kewarganegaraan dan Undang-Undang Pokok Agraria? Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kepemilikan tanah oleh WNA. Perbedaannya, jika penelitian Michael Wisnoe Barata meneliti tentang kepemilikan hak atas tanah bagi WNA dan kewarganegaraan ganda, maka pada penelitian yang akan dilakukan ini meneliti tentang Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin. Selain itu perbedaan yang lainnya, penelitian Michael Wisnoe Barata menggunakan metode penelitian gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan empiris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundangundangan, pendekaan konsep dan pendekatan kasus. 3.
Penelitian I Putu Indra Mandhala Putra dengan judul “Kepemilikan Hak Pakai Atas TanahBagi Warga Negara Asingdi Kabupaten BadungProvinsi Bali”. Tesis dari Program Studi Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2012 dengan rumusan masalah : a. Hak-hak atas tanah apa saja yang dapat dimiliki oleh WNA? b. Bagaimana mekanisme perolehan hak atas tanah bagi WNA di Kabupaten Badung?
15 Kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang kepemilikan tanah oleh WNA di Kabupaten Badung. Perbedaannya, jika penelitian I Putu Indra Mandhala Putra meneliti tentang kepemilikan Hak Pakai atas tanah bagi WNAdi Kabupaten Badung, maka pada penelitian yang akan dilakukan ini meneliti tentang Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin. Selain itu perbedaan yang lainnya, penelitian I Putu Indra Mandhala Putra menggunakan metode penelitian hukum
empiris,
sedangkan
pada
penelitian
yang
akan
dilakukan
menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundangundangan, pendekaan konsep dan pendekatan kasus. Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali, menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian hukum ini adalah : 1.4.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini, yaitu untuk mengetahui dan menganalisis Hak Pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang
16 kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin.Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran secara konseptual dalam bidang hukum Agraria terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). 1.4.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis yang akan dilakukan ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan Hak Pakai atas Rumah Hunian bagi Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran.
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap tanah yang telah dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin sebelumnya.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis maupun manfaat praktis, sebagai berikut : 1.5.1 Manfaat Teoritis 1.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum Agraria dan hukum perkawinan campuran dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah tanpa perjanjian kawin.
2.
Dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang bermaksud meneliti kepemilikan tanah bagi WNA atau WNA yang kawin dengan WNI.
1.5.2 Manfaat Praktis 1.
Memberikan pandangan kepada masyarakat khususnya WNA dan WNA yang kawin dengan WNI mengenai pengaturan yang seharusnya terhadap pemilikan tanah dan bangunan oleh WNA.
17 2.
Memberikan pemahaman bagi Notaris/PPAT dalam rangka mencegah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh WNA dalam penguasaan atas tanah dan bangunan di wilayah Indonesia.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.6.1 Landasan Teoritis Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger, 11 sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian. Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun teori dan konsep serta asas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum, dan Teori Perjanjian.
1.6.1.1 Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum digunakan untuk membahas rumusan masalah yang pertama dan kedua mengingat kepastian hukum bagi WNA atau WNA yang kawin dengan WNI tanpa perjanjian kawin untuk dapat memiliki tanah di Indonesia. Dalam Teori Kepastian Hukum, kepastian memiliki arti “ketentuan, ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum 11
Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research,Holt, Rinehart, hal. 16-17.
18 menjadi Kepastian Hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.” 12 Mengingat pembicaraan di sini dalam perspektif hukum, maka tema kepastian pada prinsipnya selalu dikaitkan dengan hukum. Oleh sebab itu, pengertian kepastian yang relevan untuk diambil di sini, yaitu pengertian kedua dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Namun, sebelum itu, ada baiknya untuk mengetahui latar belakang pemikiran mengenai nilai Kepastian dalam hukum terlebih dahulu. Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam Penegakan Hukum. Menurut Mertokusumo, Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.13 Tema Kepastian hukum sendiri secara historis, merupakan tema yang muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan yang dinyatakan oleh Montesquieu,14 yaitu dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas penciptaan undang-undang itu di tangan pembentuk undang-undang, sedangkan
12
Anton M. Moeliono, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal.
652. 13
Soedikno Mertokusumo, 1992, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Soedikno I), hal. 145. 14 Pada dasarnya, konsep Pemisahan Kekuasan mengandung 3 hal pokok, yakni; (1) bahwa tidak seorangpun yang diperbolehkan membentuk lebih dari satu cabang kekuasaan; (2) bahwa lembaga kekuasaan pemerintah tidak diperbolehkan mengendalikan atau mempengaruhi pelaksanaan dari fungsi cabang kekuasaan lainnya; dan (3) tidak satupun lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi dari cabang-cabang kekuasaan lainnya. Lihat dalam E. C. S. Wade and Godfrey Phillips, 1971, Constitutional Law: An Outline of the Law and Practive of the Constitution Including Central and local Government, the citizen and the State and Administrative Law by E.C. C. Wade and G. Godfrey Phillips, Eighth Edition, Longman Limited Group, London.
19 hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan ini undang-undang saja.15 Pendapat Montesquieu, yang ditulis dalam bukunya De I’esprit des lois (The Spirirt of Laws) pada tahun 1748, merupakan reaksi terhadap kesewenangwenangan kaum monarki karena kepala kerajaan amat menentukan sistem hukum dan peradilan pada saat itu dan secara nyata menjadi pelayan monarki.16 Pada tahun 1764, seorang pemikir hukum Italia, Casare Beccaria, menulis buku berjudul De delitti e delle pene, yang menerapkan gagasan Montesquieu dalam bidang hukum pidana. Baginya, seseorang dapat dihukum jika tindakan itu telah diputuskan oleh legislatif sebelumnya, dan oleh sebab itu, eksekutif dapat menindak dan menghukum apabila terdapat seseorang yang melanggar apa yang telah diputuskan oleh pihak legislatif. Gagasannya ini kemudian dikenal sebagai asas nullum crimen sine lege, yang pada tujuannya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara terhadap kesewenang-wenangan negara.17 Persoalan kepastian yang diungkapkan di atas, karena selalu dikaitkan dengan hukum, memberikan konsekuensi bahwa kepastian hukum di sini selalu 15
Kodifikasi hukum ke dalam buku-buku hukum turut menguatkan pengaruh pemikiran ini, karena para ahlihukum dewasa itu sepaham bahwa hukum yang lengkap itu adalah hukum yang ada dalam buku-buku hukum (undang-undang) yang telah dimodifikasi. Pandangan yang mengikuti pemikiran Monstesquieu ini, mempengaruhi tugas hakim di peradilan pada abad 19, ketika itu, apa yang tidak pasti dalam Hukum Kebiasaan harus dihilangkan demi Kepastian (Hukum). Pendapat ini merupakan sebuah buah aliran Legisme yang berkembang kuat pada abad itu. Lihat L.J van Apeldoorn, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 25, Pradnya Paramita, Jakarta,hal. 391-394. 16 Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta,hal. 388. 17 Machtel Boot, 2002, Nullum Crimen Sine Lege and Subjek Matter Jurisdiction of the International Criminal Curt: Genocide, Crimes Agaist Humanity, War Crimess, Intersentia, Antwerpen, hal. 83-85; istilah lain terhadap asas ini, yang dikenal dalam Hukum Pidana di Indonesia, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poeneli, atau asa Legalitas. Lihat dalam E. Utrecth dan Moh. Saleh Djindang, op. cit., hal. 388. Pemikiran Legalitas ini oleh Immanuel Kant pada tahun 1797, di dalam bukunya Metaphysik der Sittn (Metafisika Kesusilaan), mendapat tantangan yang amat kuat. Bagi Kant, kesesuaian atau ketidaksesuaian dalam tindakan hukum yang lahirlah tidak berarti memperoleh nilai moralnya. Jadi apa yang menurut atau tidak menurut hukum, tidak bisa dinilai motif moralnya, karena orang pada dasarnya tidak sanggup untuk dinilai mutlak moralitas orang lain. Lihat dalam S. P Lili Tjahjadi, 1991, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, Kanisius, Yogyakarta, hal. 47-48.
20 mempersoalkan hubungan hukum antara warga dan negara. Padahal sebagai sebuah nilai, kepastian hukum tidak semata-mata selalu berkaitan dengan negara, karena esensi dari kepastian hukum adalah masalah perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan. Maka dari itu, aktor-aktor yang mungkin melakukan kesewenang-wenangan, tidak terbatas pada negara saja, tetapi juga oleh sekelompok pihak lain di luar negara. Mengapa dalam diskursus hukum, persoalan kepastian hukum selalu dikaitkan dengan negara ? Dalam diskursus orisinalnya, pada masa Yunani Kuno,18 perdebatan mengenai peran negara, dan relasinya dengan hukum, dalam melindungi warga negara merupakan salah satu topik utamanya. 19 Perlindungan terhadap warga negara memang terletak pada negara, jika negara itu mengakui adanya konsep Rechtstaat.20 Dalam konsep ini, suatu negara dianggap menganut prinsip Rechtstaat, apabila dalam penyelenggaraan negara itu dilakukan menurut hukum, yang dituangkan dalam konstitusi.21 Jadi, apabila ada sekelompok pihak di luar negara yang mempunyai kekuasaan dan berpotensi untuk digunakan secara sewenang-wenang, negaralah yang pertama-tama bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan bagi warga negaranya. Karena negara adalah subjek yang mendapat perintah dari konstitusi dan hukum untuk melaksanakan kepentigan umum menurut ketententuan hukum yang baik. 18
Penggunaan kembali tema-tema yang ada dalam masa Yunani Kuno (dan sebagian pada masa Romawi, karena Romawi masih mendapat pengaruh dari pemikiran Yunani Kuno) pada dasarnya merupakan pilihan untuk tetap konsisten pada metode kajian yang telah ditetapkan pada bagian permulaan tulisan ini (bab utama). 19 Franz Magnis-Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.79. 20 Perihal Rechstaat dapat dilihat dalam Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 19. 21 Ibid., mengaitkan tema hukum dengan negara, sebagaimana telah ditunjukan pada bagian bab pertama, sesungguhnya lebih tepat ditempatkan pada masa pasca Abad Pertengahan, ketika hukum telah disistematiskan dalam sistem hukum negara ini inkonsisten secara metodis, karena terdapat perbedaan mendasar yakni; bahwa tema hukum Abad Pertengahan dan sesudahnya, mulai membahs hubungan hukum dan negara dalam tatanan yang konkret.
21 Keberadaan negara dan hukum (konstitusi) pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bersama rakyat yang berdaulat, oleh sebab itu nilai kepastian yang dalam hal ini berkaitan dengan hukum, merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang-wenang. Secara lain, hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Disinilah letak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan peranan negara terlihat. Terkait dengan pemahaman nilai kepastian hukum, yang harus diperhatikan adalah bahwa nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Bahkan peranan negara itu tidak saja sebatas pada tataran itu saja, negara pun mempunyai tanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkannya. Pemahaman semacam inilah yang menjadi latar belakang, mengapa pengertian kepastian hukum oleh Anton M. Moeliono dan Soedikno Mertokusumo, dirumuskan seperti di atas. Jaman sekarang, ketika konsep Rechstaat yang telah dianggap klasik itu telah mulai diperkaya dengan gagasan-gagasan lainnya, maka persoalan kepastian hukum bukan lagi semata-mata menjadi tanggung jawab negara seorang. Kepastian hukum itu harus menjadi nilai bagi setiap pihak dalam setiap sendi kehidupan, di luar peranan negara itu sendiri dalam penerapan hukum legislasi maupun yudikasi. Setiap orang atau pihak tidak diperkenankan untuk bersikap tindak semena-mena. Dengan demikian, pada
era
sekarang prinsip kepastian hukum
menekankan pada penegakan hukum yang berdasarkan pembuktian secara formil,
22 artinya suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu. Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya. 22 Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya sama-sama ada di dalam konsepsi negara hukum.23 Prinsip kepastian hukum lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep negara hukum rechstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon dengan konsep negara hukum the rule of law. Definisi
kepastian
hukum
yang
berkaitan
dengan
permasalahan
penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian atau kontrak belum diatur secara holistic dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan demikian, ukuran kepastian hukum dalam permasalahan penyalahgunaan keadaan dalam kontrak terbatas pada ada atau tidaknya peraturan yang mengatur perbuatan tersebut. Selama perbuatan tersebut tidak dilarang dalam hukum materiil, maka perbuatan tersebut dianggap boleh. Kepastian hukum merupakan produk dari
Mahfud M.D., 2007, “Kepastian Hukum Tabrak Keadilan”, dalam Fajar Laksono, (Ed.); Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Mahfud I), hal. 91. 23 Mahfud M.D., 2007, “Dilema Sifat Melawan Hukum: Kepastian Hukum atau Keadilan?”, dalam Fajar Laksono, (Ed.); Ibid., (selanjutnya disingkat Mahfud II), hal. 89. 22
23 hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum maka datanglah kepastian.24 Di Indonesia prinsip kepastian hukum tidak berlaku sebagai prinsip tunggal dalam sistem hukum Indonesia. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti oleh Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selain menerapkan bunyi undang-undang, hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal ini berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan pada rasa keadilan. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 hasil amandemen juga menyatakan Indonesia adalah ‘negara hukum’ tanpa lagi mencantumkan istilah rechstaat. Perubahan ini untuk memberikan ruang, baik pada asas kepastian hukum sekaligus pada asas keadilan yang dipertegas di dalam ketentuan Pasal 28 huruf h UUD NRI 1945, yang menekankan pentingnya kemanfaatan dan keadilan.25 Baik itu kepastian hukum maupun pemenuhan rasa keadilan, diakomodasi di dalam sistem hukum Indonesia. Akomodasi atas keduanya kemudian menimbulkan dilema karena dalam praktek keduanya tidak diperlakukan secara integratif tetapi secara alternatif.26 Akomodasi kedua prinsip tersebut yang dalam kenyataannya
sering
termanifestasi
menjadi
prinsip
yang
bertentangan
menimbulkan ambiguitas orientasi dan cenderung kontradiktif. Aparat penegak hukum menjadi mempunyai dalih untuk memilih prinsip mana yang akan digunakan demi mencari kemenangan semata dan bukan mencari kebenaran.
24 Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 85. 25 Mahfud I, op. cit.,hal. 102. 26 Mahfud I, op. cit.,hal. 102.
24 Permasalahan lain menurut Satjipto Rahardjo adalah, bahwa di Indonesia kepastian hukum seakan menjadi cap dagang dan primadona setiap wacana mengenai hukum dan peraturan-peraturan formil. Doktrin ini bermasalah karena hubungan hukum dan kepastian hukum tidaklah bersifat mutlak. Peraturan hukum tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Hal yang sebenarnya terjadi dan mutlak adalah bahwa hukum menciptakan kepastian peraturan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum. Pengejawantahan doktrin ini secara ekstrim terdapat dalam prinsip “hakim sebagai mulut undang-undang” yang dikemukan oleh Montesquieu. Tragedi hukum modern sebenarnya dimulai dari prinsip tersebut. Sejak hukum dituliskan, maka dalam berhukum, orang terpaku pada pembacaan peraturan. Dengan demikian, memiliki resiko besar untuk meminggirkan keadilan, kemanfaatan, dan segala hal ihwal yang masuk akal (reasonableness). Jika diproyeksikan kepada tuntutan keadilan dan kemanfaatan, maka kepastian hukum dapat menjadi penghambat, karena apabila kepastian hukum diikuti secara mutlak maka hukum hanya akan berguna bagi hukum sendiri tetapi tidak untuk masyarakat. 27 Ada juga konsep kepastian hukum yang lain dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono, yang menyatakan bahwa secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris, keberadaan peraturan perundang-undangan itu perlu dilaksanakan secara konsisten dan
27
Satjipto Rahardjo, op. cit.,hal. 90.
25 konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya. 28 Kemudian menurut Van Apeldoorn kepastian hukum meliputi dua hal, yakni: 1.
Kepastian hukum adalah hal yang dapat ditentukan (bepaalbaarheid) dari hukum, dalam hal-hal yang konkrit. Pihak-pihak pencari keadilan (yustisiabelen) ingin mengetahui apakah hukum dalam suatu keadaan atau hal tertentu, sebelum ia memulai dengan perkara;
2.
Kepastian hukum berarti pula keamanan hukum, artinya melindungi para pihak
terhadap
kewenang-wenangan
hakim.
Roscoe
Pound
juga
menambahkan bahwa yang disebut dengan kepastian hukum adalah predictability yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.29 Peraturan perundang-undangan memuat norma hukum yang dijabarkan secara tertulis dalam ketentuan pasal-pasal. Peraturan perundang-undangan akan memberikan jaminan kepastian hukum dan mengikat secara umum setelah diundangkan secara resmi. Sehubungan dengan terdapatnya kekaburan norma dan konflik norma dalam penelitian ini, hal-hal tersebut dapat menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam praktek hukum. Terkait dengan kepastian hukum bahwa hanya WNI yang bisa memiliki tanah dengan status Hak Milik, dalam UUPA diatur mengenai Asas Nasionalitas. Asas nasionalitas adalah asas utama dalam UUPA terkait dengan pembentukan Hukum Tanah Nasional yang hanya memberikan hak kepada WNI dalam hal pemilikan hak atas tanah, yang mana telah menutup kemungkinan WNA untuk
Maria S.W Sumardjono, 1997, “Kepastian Hukum dalam Pendaftaran Tanah dan Manfaatnya Bagi Bisnis Perbankan dan Properti”, Makalah disampaikan dalam Seminar Kebijaksanaan Baru di BidangPertanahan, Dampak dan Peluang Bagi Bisnis Properti dan Perbankan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria II), hal. 1. 29 Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal. 134 -135. 28
26 dapat memilikinya. Penerapan asas nasionalitas dalam UUPA, terutama dalam kepemilikan hak atas tanah, memberikan konsekuensi adanya perbedaan perlakuan antara WNI dengan WNA. Perbedaan perlakuan tersebut adalah wajar, terutama terkait dengan kedudukan tanah bagi masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan yang penting. Asas nasionalitas dalam UUPA tidak sepenuhnya melarang orang asing untuk memiliki hak atas tanah, seperti dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA dan dalam penerapan pada pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1), pada intinya hanya WNI yang memiliki Hak Milik. 30 Ketentuan tersebut dipertegas pada Pasal 21 ayat (3), yang pada intinya mengatur pelepasan hak bagi WNA yang karena kondisi tertentu memperoleh Hak Milik setelah berlakunya UUPA. 31 Orang asing atau badan hukum asing hanya dapat memiliki Hak Pakai, sementara bagi Hak Guna Usaha pada Pasal 30 yang pada intinya tidak dapat dimiliki asing walaupun terdapat pengecualian tertentu, sebagaimana diatur pada Pasal 55 ayat (2) UUPA. 32 Dengan demikian, perbedaan perlakuan antara WNI dan WNA sebagai konsekuensi dari asas nasionalitas, tidak secara kaku diterapkan. Artinya, pembentuk UUPA memiliki pandangan bahwa penguasaan asing terhadap tanah dimungkinkan dalam rangka pembangunan nasional walaupun hubungan asing dengan tanah berbeda dengan hubungan antara WNI dengan tanah yang memiliki hubungan sepenuhnya. Bahwa orang asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, selama kepentingan WNI tidak terganggu, dan juga pengusahaan
30 Martin Roestamy, 2011, Konsep-konsep Hukum Kepemilikan Properti bagi asing dihubungkan dengan Hukum Pertanahan, Alumni, Bandung, hal.99. 31 Ibid. 32 Ibid.
27 tanah oleh orang asing itu dibutuhkan oleh pemerintah dalam rangka ekonomi Indonesia. Kepastian hukum juga dapat memberikan kepastian terhadap adanya norma kabur yang melatarbelakangi penelitian ini. Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undangundang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Salah satu metode yang dapat dipergunakan adalah metode interpretasi. Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum, yaitu: interpretasi gramatikal, historis,
teleologis/sosiologis,
komparatif,
futuristik/antisipatif,
restriktif,
ekstensif, autentik, interdisipliner, dan multidisipliner,33 yang diuraikan sebagai berikut: 1. Interpretasi Gramatikal Interpretasi gramatikal atau penafsiran tata bahasa adalah suatu penafsiran dengan mencari arti atau makna ketentuan aturan hukum (undang-undang) dari kata-katanya menurut pemakaian bahasa sehari-hari dan/atau pemakaiannya secara teknis yuridis.34 Interpretasi gramatikal atau interpretasi menurut bahasa ini memberikan penekanan pada pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap sesuatu objek. Sukar dibayangkan, hukum ada tanpa adanya bahasa. Positief recht
33 Habibul Umam Taqiuddin, 2013, Teori Penalaran Hukum, http://habibulumamt. blogspot.com. Akses 4 Desember 2016. 34 I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran Hukum dan Argumentasi Hukum, Bali Aga, Denpasar, hal. 42-44.
28 bestaat dus alleen maar dankzij het feit dat de mens een taal heeft35 hukum positif itu ada hanya karena kenyataan bahwa manusia memiliki bahasa. Menurut Bruggink, men kan zelfs nog verder gaan en stellen dat ook het recht als conceptueel systeem alleen maar vorm kan krijgen in het denken van de mens, dankzij de taal die hij spreekt.36 Hukum sebagai sistem konseptual hanya dapat memperoleh bentuk dalam pikiran manusia adalah karena bahasa yang digunakan untuk berbicara. Oleh sebab itu pula, James A Holland dan Julian S. Webb mengemukakan, bahwa bahasa merupakan salah satu faktor kunci untuk bagaimana kita dapat mengetahui sengketa hukum (legal disputes) yang sebenarnya dikonstruksi oleh hakim (pengadilan). Law and fact, dan law and language hukum dan fakta, dan hukum dan bahasa merupakan 2 (dua) variabel kunci untuk memahami sengketa hukum di peradilan. The legal process is intrinsically bound up with language proses hukum secara intriksik diikat dengan bahasa.37 Metode interpretasi gramatikal yang disebut juga metode penafsiran obyektif merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari sekedar ‘membaca undang-undang.’ Dari sini arti atau makna ketentuan undang-
35
J.J.H. Bruggink, 1993, Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Den Haag: Kluwer-Deventer, hal.13. 36 Ibid. 37 James A. Holland and Julian S. Webb, 1991, Learning Legal Rules, Blackstone Limited, Great Britain, hal.73, 82.
29 undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari undang-undang. Interpretasi menurut bahasa ini juga harus logis. 38 Terdapat 3 (tiga) pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam metode penafsiran ini, yaitu: a. Noscitur a socis, yaitu suatu hal diketahui dari associated-nya. Artinya, suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya; b. Ejusdem generis, artinya, sesuai dengan genusnya. Maksudnya, suatu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya. Misalnya: konsep rechtmatigheid dalam hukum administrasi belum tentu sama maknanya dalam hukum perdata dan pidana. c. Expressum facit cassare tacitum, artinya kalau suatu konsep sudah digunakan untuk satu hal, berarti tidak berlaku untuk hal lain. Contoh: kalau konsep rechtmatigheid sudah digunakan dalam hukum tata usaha negara maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata atau hukum pidana.39 2. Interpretasi Historis Interpretasi historis atau interpretasi sejarah dibedakan menjadi “sejarah hukum” dan “sejarah undang-undang”. Dalam interpretasi sejarah hukum, suatu ketentuan aturan hukum (undang-undang) dicari arti atau maknanya dari sejarah perkembangan suatu lembaga hukum atau figur hukum. Sedangkan dalam interpretasi sejarah undang-undang, makna atau
38 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2002, Penemuan Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal.14-15. 39 Ian McLeod, 2013, Legal Method, Basingstoke, 9th Edition, Palgrave Macmillan, hal.279282.
30 arti dari suatu ketentuan aturan hukum (undang-undang) dicari dengan cara menelusuri sejarah terbentuknya undang-undang tersebut.40 Makna ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dapat juga ditafsirkan dengan cara meneliti sejarah pembentukan peraturan itu sendiri. Penafsiran ini dikenal dengan interpretasi historis. Ada 2 (dua) macam interpretasi historis, yaitu: penafsiran menurut sejarah undangundang; dan penafsiran menurut sejarah hukum. Dengan penafsiran menurut sejarah undang-undang hendak dicari maksud ketentuan undang-undang seperti yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu pembentukkannya. Pikiran yang mendasari metode interpretasi ini ialah bahwa undang-undang adalah kehendak pembentuk undang-undang yang tercantum dalam teks undangundang. Interpretasi menurut sejarah undang-undang ini disebut juga interpretasi subjektif, karena penafsir menempatkan diri pada pandangan subjektif pembentuk undang-undang, sebagai lawan interpretasi menurut bahasa yang disebut metode objektif. Sedangkan, metode interpretasi yang hendak memahami undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut dengan interpretasi menurut sejarah hukum.41 3. Interpretasi Teleologis/Sosiologis Interpretasi sistematis adalah suatu penafsiran untuk menentukan arti atau makna suatu ketentuan peraturan hukum (undang-undang) dengan cara mengkaitkannya dengan ketentuan pasal-pasal lainnya.42 Interpretasi
40
I Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.44. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal.17-18. 42 I Dewa Gede Atmadja, op.cit, hal.44. 41
31 teleologis atau sosiologis adalah apabila makna undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau tidak sesuai lagi, diterapkan pada peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Jadi peraturan hukum yang lama disesuaikan dengan keadaan baru atau dengan kata lain peraturan yang lama dibuat aktual.43 4. Interpretasi Komparatif Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara beberapa aturan hukum. Tujuan hakim memperbandingkan adalah dimaksudkan untuk mencari kejelasan mengenai makna dari suatu ketentuan undang-undang.44 Interpretasi perbandingan dapat dilakukan dengan
jalan
membandingkan
penerapan
asas-asas
hukumnya
(rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping perbandingan tentang latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya. 5. Interpretasi Futuristik/Antisipatif Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang yang belum
43 44
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal. 15-16. Ibid, hal.19.
32 mempunyai kekuatan hukum.45 Dengan demikian, interpretasi ini lebih bersifat ius constituendum (hukum atau undang-undang yang dicitakan) daripada ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku pada saat sekarang). 6. Interpretasi Restriktif Interpretasi restriktif adalah penjelasan atau penafsiran yang bersifat membatasi. Untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang, ruang lingkup ketentuan itu dibatasi. Prinsip yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan itu sendiri. 7. Interpretasi Ekstensif Interpretasi ekstensif adalah penjelasan yang bersifat melampaui batasbatas yang ditetapkan oleh interpretasi gramatikal.46 Interpretasi ekstensif merupakan metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batasbatas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal.47 Jadi, maksudnya adalah bahwa interpretasi ekstensif ini digunakan dengan
45
Ibid. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit., hal.19-20. 47 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal.71. 46
33 maksud untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan cara melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal. 8. Interpretasi Autentik Interpretasi autentik dalam bahasa Belanda disebut sebagai volledig bewijs opleverend, yang berarti bahwa interpretasi autentik ini “... memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau yang resmi”.48 Penafsiran autentik ini dilakukan oleh pembuat undangundang itu sendiri, jadi hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan dalam pengertiannya dalam undang-undang itu sendiri. 9. Interpretasi Interdisipliner Johnny Ibrahim dalam bukunya mengungkapkan bahwa metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila ia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata substansinya menyangkut berbagai disiplin atau bidang kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi atau hukum internasional. Hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmonisasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum.49 Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut tindak pidana “korupsi”, dimana
48 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, hal.118. 49 Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal.48.
34 hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal tersebut dari berbagai disiplin yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan hukum perdata. 10. Interpretasi Multidisipliner Dalam metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim juga harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum.50 Hal ini berarti hakim membutuhkan bantuan dari disiplin ilmu yang lain dalam menjatuhkan putusan, demi membuat suatu putusan yang adil dan memberi kepastian hukum. Biasanya dalam melakukan interpretasi multidisipliner tersebut, hakim akan mendatangkan para ahli atau pakar dalam disiplin ilmu terkait untuk dimintakan keterangan mereka sebagai saksi ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah. Terkait dengan permasalahan norma konflik yang juga menjadi dasar penelitian ini, menurut Brower sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja, solusinya adalah dengan berpegang pada asas preferensi.51 Di dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hierarki (kewerdaan atau urutan). Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Jika ternyata ada pertentangan yang terjadi dalam suatu sistem peraturan perundang-undangan maka salah satu dari keduanya harus ada 50
Ibid. Ibid., hal. 33 dikutip dari P.W. Brower (Ed.), 1991, Coherence and Conflict in Law, Kluwer, W.E. Tjeenk Wilink, Zwole, hal. 205. 51
35 yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan. Oleh karena itu diperlukan asas-asas yang mengatur mengenai kedudukan masing-masing peraturan perundangundangan, terkait dengan hal tersebut setidaknya terdapat 3 asas (adagium) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang dikenal sebagai asas preferensi, yaitu: 1. Asas lex superior derogat legi inferiori Terkait asas lex superior derogat legi inferiori Kusnu Goesniadhie menyatakan bahwa: Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi pertentangan, maka peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah, dan karena adanya hirarki dalam peraturan perundang-undangan maka hal demikian berlaku asas lex superior derogat legi inferiori.52 2. Asas lex posteriori derogat legi priori Selanjutnya terkait asas lex posteriori derogat legi priori Kusnu Goesniadhie yang menyatakan bahwa: Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan peraturan perundang-undangan yang baru, yang mengatur materi normatif yang sama. Kalau diundangkan peraturan perundangundangan yang baru dengan tidak mencabut peraturan perundangundangan yang lama yang mengatur materi normatif yang sama sedangkan kedua-duanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama, hal demikian berlaku asas lex posteriori derogat legi priori.53 3. Asas lex specialis derogat legi generali
52
Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik, A3, Malang, hal. 36. 53 Ibid., hal.36.
36 Terkait dengan asas lex specialis derogat legi generali, Kusnu Goesniadhie menyatakan bahwa: Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, sedangkan kedua-duanya mengatur materi normatif yang sama. Jika terjadi demikian maka peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus akan mengesampingkan peraturan perundangundangan yang bersifat umum, hal demikian akan berlaku asas lex specialis derogat legi generali.54 Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antar norma hukum, dapatlah dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu: Pertama, Pengingkaran (disavowal). Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan juga hukum publik dengan berargumentasi bahwasanya 2 (dua) hukum tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut ada konflik norma. Kedua, yaitu Penafsiran ulang (reinterpretation). Dalam kaitan penerapan 3 (tiga) asas preverensi hukum haruslah dibedakan, yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preverensi, menginterpretasikan lagi norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel
54
Ibid., hal.37.
37 Ketiga, Pembatalan (invalidation). Terdapat 2 (dua) macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan Peraturan Pemerintah (PP) ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret. Dalam praktik peradilan Indonesia, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Keempat,
Pemulihan
(remedy).
Dengan
melakukan
pertimbangan
pemulihan, dapat untuk membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, dengan memberikan kompensasi.55 Selain itu, untuk menyelesaikan norma konflik juga digunakan harmonisasi dari norma-norma yang berkonflik tersebut. Harmonisasi hukum dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan antara
55
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009 Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal.31.
38 individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler "a just law aims at harmonizing individual purposes with that of society".56 Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia" yang artinya :"terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan kerjasama antaraberbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Dalam perspektif psikologi diartikan sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran, dan perbuatan individu,sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang berlebihan.57 Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas, dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara individu-individu dengan negara atau pemerintah sehingga menampakkan teori harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya: 1. L.M.Gandhi,
memaknai
harmonisasi
hukum
adalah
mencakup
penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, system hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan peningkatan
kesatuan
hukum,
kepastian
hukum,
keadilan
dan
kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum.58
56
Kusni Goesniadhi S., 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Nusa Media, Malang, hal. 2. 57 Hasan Sadzily, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, hal.1262. 58 L.M. Gandhi, 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum, Kanisius, Yogyakarta, hal.88.
39 2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam suatu kesatuan kerangka system hukum nasional.59 3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih
rendah
dan
hal-hal
lain
selain
peraturan
perundang-
undangansehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping).60 4. Juniarso Ridwan menyatakan harmonisasi merupakan suatu upaya atau proses melakukan pembatasan-pembatasan perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.61 5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilainilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis, pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam berbagai aspek apakah 59
Kusni Goesniadhie S., op.cit. Wicipto Setiadi, 2007, ”Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Perundang-undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, hal. 48. 61 Juniarso Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hal. 219-220 60
40 telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,... dan seterusnya.62 Sidharta mengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam system hukum dan instrument penyelesaiannya, yaitu: 1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dan dari segi format peraturan yakni peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dengan undang-undang. Instrumen penyelesaiannya adalah asas hukum lex superior derogat legi inferiori, yang artinya adalah peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. 2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex posteriori derogat legi priori, yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. 3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex specialis derogat legi generali, yang artinya adalah peraturan yang lebih khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang lebih umum. 62
Ibid, hal.223.
41 4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 dari satu undang-undang yang sama. Instrument penyelesaian adalah asas hukum lex posteriori derogat legi priori, yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan yang sebelumnya. 5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya antara undang-undang dan putusan hakim (instrument penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habeteur, yang artinya putusan hakim harus dianggap benar sekalipun bertentangan dengan undangundang sampai ada putusan hakim lain yang mengoreksinya), antara undang-undang yang bersifat memaksa dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah lex dura sed tamen scripta, yang artinya undangundang tidak dapat diganggu gugat Pasal 15AE/Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) atau antara Undang-Undang yang bersifat mengatur dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie ven kraft des faktis chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan memberi kekuatan berlaku normatif).63 Secara umum, dalam instrument penyelesaian disharmonisasi hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman, dimasa lalu memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu yang akhirnya diperoleh 63
Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II, Jakarta, hal. 62-64.
42 sekadar petunjuk yang kabur. Hal ini karena sulit memperoleh pemahaman tentang motif-motif sesungguhnya dari hakim dalam mengambil keputusan karena yangterlihat hanya argument yang dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya. Selain melalui metode interpretasi dan konstruksi, yang berkaitan dengan instrument penyelesaian disharmonisasi hukum ini adalah melalui penemuan hukum (rechtsvinding).
1.6.1.2 Teori Perjanjian Teori perjanjian digunakan untuk membahas dan menganalisis rumusan masalah yang kedua, yaitu mengenai akibat hukum apabila dalam perkawinan campuran pasangan WNA-WNI telah memiliki tanah atas nama WNI tanpa membuat perjanjian kawin sebelumnya. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah hubungan hukum, hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan dalam lingkup harta kekayaan.64 Mengenai pengertian perjanjian ini, J. Satrio mengemukakan pendapatnya bahwa perjanjian adalah peristiwa yang menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak atau dengan perkataan lain bahwa perjanjian berisi perikatan.65 Scanlon menyatakan bahwa perjanjian merupakan janji antara para pihak yang membuatnya yang mempunyai aspek moral dan aspek kekuatan memaksa sebagai kekuatan mengikatnya. 66
64
Abdulkadir Muhammad, 2003, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 199. 65 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5 (selanjutnya disebut J. Satrio I). 66 T.M. Scanlon, 2001, “Promise and Contracts”, dalam Peter Benson, (Ed.);The Theory of Contract Law, Cambridge University Press, New York, hal. 99.
43 Menurut Pasal 1313 Burgerljik Wetboek , Stb. 1847: 23 (selanjutnya disebut BW), suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dari peristiwa ini, muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dengan kata lain, perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian, adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan.67 Berdasarkan uraian di atas, penulis berpendapat bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Hubungan hukum tersebut didasarkan pada kata sepakat atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dalam hukum perjanjian berlaku beberapa asas, dan asas-asas hukum perjanjian terdapat dalam Buku III BW, yaitu :68 1. Asas kebebasan berkontrak Adalah setiap orang bebas mengadakan perjanjian, hal ini dikarenakan hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang berupa apa saja, baik itu
67 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, hal. 1 (selanjutnya disebut subekti I). 68 Salim H. S., 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9-13.
44 bentuknya, isinya serta pada siapa perjanjian itu hendak ditujukan. Asas ini merupakan kesimpulan dari isi Pasal 1338 BW, yang berbunyi, semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Berdasarkan Pasal 1338 BW tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah menurut undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan hak asasi manusia dalam mengadakan perjanjian sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan hukum perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian yang meskipun tidak tertulis dengan kata-kata yang banyak dalam undang-undang, tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan padanya. 69 2.
Asas konsensualisme Perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir dengan adanya kata sepakat dari pihak yang membuat perjanjian. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 BW yang menyebutkan adanya empat syarat sahnya perjanjian, salah satunya adalah kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan diri.
3. Asas kekuatan mengikat atau asas Pacta Sunt Servanda 69
Purwahid Patrik, 2006, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 4.
45 Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat mereka yang membuatnya dan perjanjian tersebut berlaku seperti undang-undang. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW yang menyatakan, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat. 4. Asas itikad baik Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seorang pada waktu perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif, adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. 5. Asas kepribadian atau personalitas Merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat diketahui dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW yang menyebutkan pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Teori perjanjian dalam penelitin ini digunakan untuk membahas mengenai perjanjian kawin dalam perkawinan campuran. Sebelum membahas perjanjian kawin, disini diuraikan terlebih dahulu tentang perkawinan campuran.
46 Seperti telah diutarakan sebelumnya setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, telah terjadi unifikasi di lapangan hukum perkawinan. Walaupun demikian, pembuat undang-undang tidak menutup kemungkinan bagi terjadinya perkawinan campuran di kalangan penduduk negara Indonesia. Oleh karenanya, masalah perkawinan campuran ini tetap masih dapat dijumpai pengaturannya dalam undang-undang tersebut, sebagaimana yang diatur dalam Bagian Ketiga dari Bab XII, Ketentuan-Ketentuan Lain. Bagian Ketiga dari Bab XII UU Perkawinan, terdiri dari 6 pasal, yaitu dimulai dari Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Ditentukan dalam Pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari perumusan Pasal 57 UU Perkawinan tersebut, berarti bahwa UndangUndang Perkawinan telah mempersempit pengertian perkawinan campuran dengan membatasinya hanya pada perkawinan antara seorang WNI dengan WNA. Pengertian tersebut berbeda dari pengertian perkawinan campuran yang selama ini, baik menurut ilmu hukum maupun yurisprudensi tentang perkawinan campuran sebelum diundangkannya UU Perkawinan. Dengan demikian, perkawinan antar sesama WNI yang tunduk kepada hukum yang berlainan tidak termasuk dalam rumusan Pasal 57 UU Perkawinan tersebut. Hal ini sejalan dengan pandangan pemerintah Indonesia yang hanya mengenal pembagian penduduk atas warga negara dan sejalan pula dengan cita-cita unifikasi hukum yang dituangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut.
47 Pasal 58 UU Perkawinan selanjutnya mengatakan, bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UndangUndang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Sedangkan Pasal 59 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Sementara pada Pasal 59 ayat (2) UU Perkawinan ditentukan bahwa, perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan ini. Pasal 60 UU Perkawinan kemudian menyatakan, perkawinan campuran baru dapat dilangsungkan bilamana para pihak telah memenuhi syarat-syarat perkawinan sebagai ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak (ayat (1)). Hal mana haruslah dibuktikan dengan surat keterangan dari mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan (ayat (2)). Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak (ayat (3)). Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang dimkasud dalam ayat (3) tersebut (ayat (4)). Selain syarat-syarat yang
48 ditentukan dalam Pasal 60 UU Perkawinan tersebut, UU Perkawinan memerintahkan pula supaya perkawinan campuran itu dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (ketentuan Pasal 61 ayat (1)). Bagi
mereka
yang
melangsungkan
perkawinan
campuran
tanpa
memperlihatkan terlebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan yang membuktikan bahwa syarat-syarat sebagai yang telah ditentukan oleh Pasal 60 UU Perkawinan, diancam dengan hukuman pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Sedangkan bagi pegawai yang mencatat perkawinan tersebut ancaman hukumannya ditingkatkan menjadi hukuman kurungan 3 (tiga) bulan dan ditambah pula dengan hukuman jabatan (ketentuan Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3)). Ketentuan terakhir mengenai perkawinan campuran menurut Pasal 62 UU Perkawinan, mengatur masalah kedudukan anak yang lahir dari perkawinan campuran. Ditentukan dalam pasal tersebut bahwa, dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam perkawinan campuran sangat rentan terjadi perselisihan, mengingat perkawinan campuran berlangsung dari 2 (dua) individu yang menganut hukum dari negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam perkawinan campuran disarankan untuk membuat perjanjian kawin atau prenuptial agreement sebelum perkawinan dilangsungkan. Untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi dalam perkawinan campuran. Prenuptial agreement atau perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah. Perjanjian pra nikah berlaku sejak pernikahan
49 dilangsungkan dan isinya mengatur bagaimana harta kekayaan suami istri akan dibagi jika terjadi perceraiaan atau kematian dari salah satu pasangan. Perjanjian ini juga bisa memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung. 70 Sudikno Mertokusomo menyatakan pengertian perjanjian kawin sebagai suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. 71 Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa kata perjanjian kawin diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.72 R. Soetojo Prawirohamidjodo, mengatakan bahwa, perjanjian kawin adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibatakibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.73 Berdasarkan pengertian perjanjian kawin yang diberikan oleh ketiga ahli tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa perjanjian kawin merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami isteri sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. Dari ketentuan ini perjanjian kawin tidak boleh dibuat sesudah perkawinan dilangsungkan. Pada umumnya perjanjian kawin berisi
70
Happy Susanto, 2008, Pembagian harta gono-gini saat terjadi perceraiaan, Visimedia, Jakarta, hal. 35. 71 Sudikno Mertukusomo, 2009, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Soedikno II), hal. 97. 72 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Perseujuan Tertentu, Sumur, Bandung, hal. 11 (selanjutnya disebut Wirjono Prodjodikoro I). 73 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1982, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, hal .57.
50 tentang kesepakatan mengenai harta ataupun kesepakatan lainnya yang dirasa perlu diperjanjikan oleh calon pasangan suami istri. Selanjutnya perjanjian kawin ini diatur baik dalam BW maupun UU Perkawinan yang diuraikan sebagai berikut. 1. Perjanjian kawin menurut BW Pasal 119 BW mengatur sejak perkawinan dilangsungkan berlaku persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. Hal ini berlaku jika tidak dibuat perjanjian kawin yang membuat kesepakatan lain. Dari ketentuan tersebut dapatlah dibuat perjanjian kawin yang menyimpang dari asas percampuran bulat harta kekayaan. Kesepakatan dalam perjanjian kawin dibuat dengan tidak melanggar kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 167 BW. Dalam arti formal perjanjian kawin adalah tiap perjanjian kawin yang dilangsungkan sesuai ketentuan undang-undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya. 74 Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata perjanjian kawin diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.75 Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, pengertian perjanjian kawin merupakan perjanjian antara calon suami dengan
74
H.A. Damanhuri, 2007, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Mandar Maju Bandung, hal. 1. 75 Wirjono Prodjodikoro I, op. cit., hal. 11.
51 calon istri yang dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan yang
pada
intinya mengatur persatuan dan/atau pemisahan harta bawaan dari calon suami atau calon istri. Dengan membuat perjanjian kawin, suami isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka dapat berbagi rasa atas keinginankeinginan yang hendak disepakati tanpa harus merugikan salah satu pihak. Dilihat dari status hukumnya, perjanjian kawin itu sifat dan hukumnya tidak wajib dan juga tidak diharamkan. Artinya, perjanjian kawin itu sifat dan hukumnya adalah diperbolehkan tergantung kemauan para pihak. Namun dengan adanya perjanjian kawin, hubungan suami isteri akan terasa aman karena jika suatu saat hubungan mereka ternyata retak bahkan berujung pada pembatalan perkawinan ataupun perceraian, maka ada sesuatu yang dapat dijadikan pegangan dan dasar hukum.76 Dengan demikian maksud perjanjian kawin untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta. Jika dibuat perjanjian kawin maka tidak ada harta bersama lagi. Pembuatan perjanjian kawin tidak boleh dengan paksaan, ancaman, dan kekhilafan. Tujuan pembuatan perjanjian kawin diatur dalam Pasal 139 dan Pasal 140 BW sebagai berikut: a. Membatasi atau bahkan meniadakan kebersamaan harta menurut undangundang (Pasal 139 BW); b. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan sehingga tanpa bantuan isteri maka suami tidak dapat melakukan perbuatan yang bersifat memutus (agar suami tidak bisa berlaku semenamena), diatur dalam Pasal 140 BW. Anak di bawah umur yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan juga dianggap cakap untuk membuat perjanjian kawin, Muchsin, 2008, “Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif HukumNasional”, Varia Peradilan, No. 273, Jakarta, hal. 33. 76
52 dengan syarat dalam pembuatan perjanjian kawin tersebut, anak yang masih di bawah umur itu dibantu oleh orang yang mengerti isi dari perjanjian kawin yang dibuat. Hal ini diatur dalam Pasal 151 BW yang mempersyaratkan halhal sebagai berikut: a. Harus memenuhi syarat cakap untuk melangsungkan perkawinan (batas umur untuk laki-laki 18 tahun dan 15 tahun untuk perempuan); b. Harus dibuat dengan bantuan orang tua atau wali yang berupa izin : 1) izin tertulis; 2) orang yang berhak memberikan izin hadir dan turut menandatangani perjanjian tersebut. Bagi anak luar kawin, yang mendampingi dan memberi izin untuk membuat perjanjian kawin adalah wali atau wali pengawas. Pasal 147 BW mengatur bahwa perjanjian kawin harus dibuat dengan akta
notariil
(ketentuan
hukumnya
sempurna)
sebelum
pernikahan
berlangsung dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu. Berlakunya perjanjian kawin sampai terjadi perceraian atau kematian menurut asas kebebasan berkontrak untuk perjanjian kawin ada batasanbatasan yang harus dipatuhi, untuk isi batasan tersebut adalah : a. Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan pasal 1335 BW, yaitu suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. b. Tidak dibuat janji yang menyimpang dari hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala keluarga. Hak yang timbul dari kekuasaan orang tua,
53 hak yang ditentukan oleh undang-undang untuk suami-isteri yang hidup terlama (Pasal 140 ayat (1) BW). c. Tidak dibuat janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang menurunkannya (Pasal 141 BW). d. Tidak dibuat janji yang menyatakan salah satu pihak akan memikul hutang yang lebih besar dari bagiannya dalam aktiva (Pasal 142 BW). e. Calon suami istri tidak boleh membuat janji dengan kata-kata umum bahwa hukum harta perkawinan mereka akan diatur oleh hukum negara asing (menurut Pasal 143 BW). 2. Perjanjian Kawin menurut Undang-Undang tentang Perkawinan Menurut Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengatur masalah-masalah kapan dan dalam bentuk apa perjanjian perkawinan diadakan. Perjanjian kawin dapat diadakan oleh calon suami isteri “pada waktu” perkawinan atau “sebelum” perkawinan dilangsungkan. Berapa lama waktu “sebelum” tersebut tidak dijelaskan/diatur lebih lanjut. Jadi “sebelum” menunjuk pada waktu yang tidak tentu, tetapi jelas tidak menunjuk pada masa perkawinan. Pada masa perkawinan (selama perkawinan berlangsung), suami istri tidak diperbolehkan membuat perjanjian kawin. Berdasarkan peraturan tersebut di atas maka perjanjian kawin hanya dapat diadakan sebelum perkawinan atau pada waktu perkawinan. Pada waktu perkawinan berarti saat dilangsungkannya upacara perkawinan. Bentuk perjanjian kawin yang ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan ini adalah perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tentu saja sangat
54 berkaitan dengan suatu akta otentik yang merupakan suatu akta dalam bentuk undang-undang dan dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang (misalkan Notaris).77 Dalam bagian akhir ayat (1) ini dinyatakan “... setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”, sehingga apabila perjanjian kawin tertulis tersebut berlaku juga bagi pihak ketiga, itu berarti perjanjian tertulis sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik, sehingga akan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Menurut R. Subekti, tiga kekuatan akta otentik adalah kekuatan pembuktian formal dan materil serta pembuktian kepada pihak ketiga (kekuatan pembuktian keluar). Kekuatan yang terakhir itu hanya dimiliki oleh akta otentik, sedangkan akta dibawah tangan hanya memiliki kekuatan pembuktian formal dan materil (sempurna bagi para pihak yang membuatnya, tapi tidak untuk pihak ketiga), sepanjang diakui atau tidak dipungkiri oleh pembuatnya. 78 Kekuatan pembuktian formal adalah bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulisnya dalam akta tersebut, sedangkan kekuatan pembuktian materil berarti apa yang diterangkan dalam akta tersebut adalah benar adanya. 79 Apabila perjanjian kawin dibuat dibawah tangan maka perjanjian kawin tersebut tidak diketahui oleh masyarakat sehingga perjanjian kawin tersebut hanya mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya dalam hal ini pasangan suami istri dan tidak mengikat bagi pihak ketiga. Sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengatur perjanjian kawin belaku juga terhadap pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai pencatat 77
R. Subekti, 1985, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 28. Ibid., hal. 31-32. 79 Ibid., hal. 30. 78
55 perkawinan. Akan tetapi perjanjian itu tidak serta merta dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan tersebut, karena apabila perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan calon suami istri tadi melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan), maka pegawai pencatat perkawinan berwenang menolak mengesahkannya. Batas-batas hukum tentu menunjuk pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat memaksa, bukan suatu anjuran atau kebolehan. Begitu pula batas-batas agama yang berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang berupa larangan dari agama pasangan calon suami isteri tidak boleh dilanggar. Unsur kesusilaan yang tumbuh dalam masyarakat juga harus diperhatikan, misalnya walaupun UU Perkawinan tidak mengatur soal perceraian, karena sepakat dari pasangan calon suami istri memperjanjikan bahwa perkawinan dapat putus karena kesepakatan dari pasangan tersebut. Isi perjanjian itu tidak layak dan melanggar kesusilaan dalam masyarakat, karena pada hakekatnya perkawinan adalah kekal, abadi dan untuk selamanya.
1.6.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :
56
UUPA
Asas Nasionalitas
Pasal 21 UUPA Larangan Kepemilikan Tanah oleh Warga Negara Asing
Pasal 42 UUPA, Hak Pakai dapat dipunyai orang asing yang berkedudukan di Indonesia
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia
Norma konflik antara Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 57 sampai Pasal 62 UU Perkawinan
Norma Kabur : Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015
Hak Pakai Atas Rumah Hunian Warga Negara Asing dan/atau Warga Negara Indonesia yang Kawin dengan Warga Negara Asing tanpa Perjanjian Kawin Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan Hak Pakai atas Rumah Hunian bagi Warga Negara Asing yang melakukan perkawinan campuran? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari perkawinan campuran terhadap tanah yang telah dimiliki atas nama Warga Negara Indonesia tanpa membuat perjanjian kawin sebelumnya?
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Berangkat dari adanya norma kabur dalam Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dan norma konflik antara Pasal 3 PP Nomor 103 Tahun 2015 dengan Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 57 sampai Pasal 62 UU Perkawinan, maka dalam penelitian
57 ini digunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.80 Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.81 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata. 82
1.7.2 Jenis Pendekatan Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan, yaitu:83 1.
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2.
Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3.
Pendekatan Perbandingan (comparative approach). 80
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal. 34. Johny Ibrahim, op.cit, hal. 295. 82 Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14. 83 Johnny Ibrahim, op. cit., hal. 300-301. 81
58 4.
Pendekatan Historis (historical approach).
5.
Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6.
Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai hak pakai atas rumah hunian WNA atau WNI yang kawin dengan WNA tanpa perjanjian kawin. Oleh karenanya, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach).
1.7.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Masing-masing sumber bahan hukum yang diteliti tersebut akan diuraikan di bawah ini sebagai berikut : 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
59 d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. e. Burgerljik Wetboek , Stb. 1847: 23. f. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Warga Negara Asing yang Berkedudukan di Indonesia. g. Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. 2.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal ilmiah, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini.84
3.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,85 Surat kabar, majalah mingguan, buletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.86
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Mengenai teknik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study 84
Johny Ibrahim,op. cit., hal. 392. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15. 86 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23. 85
60 document) dengan sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi penelitian yang digunakan. 87 Sistem kartu yang digunakan dalam penulisan ini adalah kartu kutipan untuk mencatat nama pengarang/penulis, judul buku, halaman dan mengutip hal-hal yang dianggap penting agar bisa menjawab permasalahan dalam penulisan ini. Dalam penerapan teknik telaahan kepustakaan ini didukung pula dengan penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni dengan menemukan bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literatur ke literatur lainnya.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai berikut :88 1.
Teknik deskriptif, yaitu dengan menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum apa adanya.
2.
Teknik interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum. Penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran
87
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hal. 13. Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, 2015, Buku Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal. 55. 88
61 gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan teks pada proposisi-proposisi hukum atau non hukum. 3.
Teknik sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.