1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Bahasa Jawa (selanjutnya disingkat BJ) merupakan bahasa ibu bagi penduduk
provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia, yakni sejumlah 75 juta penutur (Marsono, 2011:4). Selain kedua daerah tersebut, BJ juga digunakan di beberapa daerah yang beretnis Jawa, antara lain daerah Bekasi-Cirebon, sebagian provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan bahkan di luar Indonesia, yakni Suriname dan Malaysia (Tim Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1976:4). Selajutnya, Sudaryono dkk (1990:1) dalam Geogarafi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Demak) menjelaskan bahwa wilayah pemakai BJ terus mengalami perkembangan ke wilayah provinsi Jawa Barat, yakni Indramayu, Serang Banten, dan Pantai Selatan Pangandaran serta beberapa wilayah transmigrasi suku Jawa yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Luasnya daerah persebaran BJ tersebut menyebabkan munculnya banyak variasi bahasa. Berdasarkan penelitian Uhlenbeck dalam Zulaeha (2000:1-2), variasi BJ terbagi atas empat dialek yakni (1) Banyumas, (2) Pesisir, (3) Surakarta, dan (4) Jawa Timur. Adapun keempat dialek tersebut masih terbagi atas tiga belas subdialek, yakni (1) Purwokerto, (2) Kebumen, (3) Pemalang, (4) Banten Utara, (5) Tegal, (6) Semarang, (7) Rembang, (8) Surakarta (Solo), (9) Yogyakarta, (10) Madiun, (11) Surabaya, (12) Banyuwangi, dan (13) Cirebon.
2
Selain keempat dialek dan tiga belas subdialek BJ sebagaimana telah disampaikan di atas, keberadaan BJ di luar pulau Jawa juga menarik untuk diteliti. Daerah kantong bahasa yang dikelilingi oleh budaya dan bahasa yang berbeda dapat dipastikan memiliki variasi-variasi kebahasaan, yang memperlihatkan ciri khas atau karakteristik tertentu yang membedakannya dengan dialek yang lain atau bahasa induknya. Studi tentang daerah-daerah kantong bahasa tersebut juga dikenal dengan istilah enklave bahasa. Enklave merupakan negara atau bagian negara yang dikelilingi oleh wilayah suatu negara lain atau daerah (wilayah) budaya yang terdapat di wilayah budaya lain (Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat). Jika dikaitakan dengan ilmu bahasa, dapat dikatakan bahwa enklave bahasa adalah bahasa yang terdapat di sebuah wilayah atau daerah yang dikelilingi oleh budaya dan bahasa yang berbeda. Salah satu wilayah kantong bahasa atau enklave BJ yang jarang disinggung yaitu BJ yang berada di Tondano ibu kota kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara. Perlu diinformasikan, cikal bakal keberadaan BJ di Tondano bermula pada saat Belanda mengasingkan Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo beserta para pengikut mereka di Manado (Babcok, 1989:249-250). Pangeran Diponegoro kemudian diberangkatkan dan ditahan di Benteng Rotterdaam Makasar, sedangkan Kyai Modjo dan para pengikutnya dibawa ke Tondano dengan berjalan kaki selama delapan jam dari Manado. Di Tondano, Kepala walak (pemimpin sebuah wilayah, cabang, atau keturunan) Minahasa memberikan tempat tinggal dan tanah garapan kepada rombongan Kyai Modjo.
3
Selanjutnya, rombongan Kyai Modjo hidup dan berbaur dengan penduduk Minahasa, yang kemudian diikuti dengan perkawinan antara laki-laki Jawa dengan perempuan Minahasa sehingga terbentuklah sebuah komunitas atau budaya dan bahasa Jaton (Jawa Tondano). Berdasarkan pengamatan awal, BJ di Tondano dihipotesiskan telah mengalami banyak perubahan akibat pengaruh dari bahasa lokal. Ditilik dari segi penamaan bahasa, secara konsisten BJ di Tondano disebut bahasa Jaton. Bahasa Jaton atau bahasa Jawa Tondano sebagai sebuah enklave bahasa (selanjutnya disingkat EBJt atau Enklave Bahasa Jaton), mengindikasikan bahwa unsur BJ merupakan unsur pusat atau unsur koordinat sementara unsur bahasa Tondano (selanjutnya disingkat BT) merupakan subkoordinat. Artinya, BJ sebagai unsur pusat adalah unsur yang mendominasi EBJt sedangkan unsur BT ialah unsur subordinat yang memberikan hiasan atau sedikit pengaruh terhadap EBJt. Pengaruh BT terhadap EBJt dapat dipastikan karena masyarakat Jaton tinggal dan menetap di sebuah kelurahan yang secara geografis berbatasan langsung dengan kelurahan Luan, Ranowangko, dan desa Tonsea yang notabenenya menggunakan BT sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Oleh karenanya, dapat diasumsikan bahwa EBJt pada masyarakat Jaton telah memiliki banyak perbedaan sebagai akibat atau pengaruh dari BT. Namun demikian, seberapa jauh pengaruh BT terhadap EBJt belum dapat dipastikan secara konkrit, karena penelitian-penelitian terdahulu mengenai Jaton lebih bersifat historis dan antropologis, sementara kajian EBJt sebagai sebuah bahasa yang berada dalam wilayah yang berbahasa dan berbudaya
4
yang berbeda belum ditemukan. Oleh karenanya, penelitian mengenai EBJt dilakukan untuk memastikan status dan posisi EBJt di Minahasa saat ini. Berikut ini beberapa contoh data leksikon EBJt yang disajikan di dalam tabel.
No.
Bahasa
EBJt
Makna Asli
Jawa 1.
sadran
Makna pada Kampung Jawa
adəran
ritual nyekar
selamatan yang
sebelum bulan puasa diadakan pada hari Jumat sebelum bulan puasa 2.
dikir
dikər
iŋkuŋ
3.
əŋkoŋ
Jenis nyanyian
Jenis nyanyian
relijius yang
relijius yang
diulang-ulang
diulang-ulang
ayam masak yang
ayam masak yang
disajikan secara utuh disajikan secara utuh pada saat selamatan
pada saat slamatan
4.
kemul
kembul
selimut
selimut
5.
segawon
gawon
bentuk krama
anjing
6.
kləbəs
kələbəs
basah
basah
7.
jraŋkoŋ
jəraŋkoŋ
roh jahat berwujud
penyihir perempuan
tengkorak
berlidah tajam
Tabel 1.
Contoh Kosakata EBJt berdasarkan penelitian Tim Babcock
Tabel data di atas jelas memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan pada kosakata EBJt jika dibandingkan dengan kosakata BJ asli. Seperti yang dapat
5
dicermati pada data no. 1 bahwa bentuk asli [sadran] pada BJ menjadi [aderan] dalam EBJt. Secara fonologis, bunyi [s] pada awal kata [sandran] menjadi [Ø] pada [adəran] dalam EBJt; sedangkan gugus konsonan [dr] pada bentuk asli mendapatkan penyisipan bunyi atau epentesis [ə] pada bentuk EBJt sehingga menjadi dua silabe. Perubahan bunyi pada data tersebut juga telah cukup representatif untuk menjelaskan perubahan atau variasi leksikal pada EBJt [sadran] > [adəran]. Selain itu, secara semantis, data tersebut juga telah menujukan terjadinya pergerseran makna pada kosakata EBJt. Selain penyisipan bunyi, terdapat juga penghilangan bunyi atau gejala haplologi, bentuk ini dapat dilihat pada data 5 yakni bunyi [s] pada [sgawon] menjadi /Ø/ pada bentuk EBJt [gawon]. Perubahan bunyi juga dapat diteliti dengan adaya penurunan bunyi vokal, seperti terlihat pada data 2 yakni bunyi [i] pada bentuk BJ [dikir] turun menjadi [ə] pada bentuk EBJt [dikər]. Hal yang sama juga terjadi pada data 3 [iŋkuŋ] > [əŋkong] yang sekaligus mengubah bunyi vokal [u] turun menjadi vokal [o]. Data 6 BJ [kləbəs] mengalami perubahan menjadi [kələbəs] pada EBJt. Dapat dijelaskan bahwa data tersebut mengalami penyisipan bunyi [ə] pada bentuk EBJt karena pengaruh BT yang tidak memiliki gugus konsonan [kl]. Begitu juga yang dapat dicermati pada data 7 BJ [jraŋkoŋ] yang mendapatkan penambahan bunyi [ə] di antara gugus kosonan [jr] pada bentuk EBJt sehingga memisahkan bunyi [j] dan [r] ke dalam dua silabe yang berbeda.
6
Adapun data yang disodorkan di atas belum cukup representatif untuk memperlihatkan secara komprehensif dan menyeluruh variasi kebahasaan yang terjadi pada EBJt. Berdasarkan asumsi tersebut, peneliti tertarik untuk menelusuri lebih jauh seperti apa perubahan bentuk EBJt di Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: 1.
Bagaimana struktur sinkronis fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur di daerah penelitian EBJt pada umumnya?
2.
Bagaimana variasi struktur fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur di titik-titik pengamatan daerah penelitian secara khusus?
3.
Mengapa terjadi saling pengaruh antara BT dan BJ di daerah penelitian EBJt?
1.3
Tujuaan Penelitian Bertumpu pada perumusan masalah yang diangkat, penelitian ini bertujuan
untuk: 1. Mendeskripsikan struktur sinkronis fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur bahasa Jawa Tondano pada umumnya di daerah EBJt. 2. Mendeskripsikan variasi struktur fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur bahasa di titik-titik pengamatan EBJt secara khusus. 3. Menjelaskan saling pengaruh antara BT dan BJ di daerah penelitian.
7
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berfokus pada penemuan ciri khas atau karakteristik struktur
bahasa pada EBJt baik pada dimensi vertikal maupun dimensi horisontal. Penelitian bahasa pada dimensi vertikal meliputi tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon; sedangkan secara horisontal, penelitian ini meliputi variasi bahasa yang menyangkut tingkat tutur.
1.5
Manfaat Penelitian Secara teoretis, penelitian ini dapat memperkaya khazanah penelitian tentang
lingusitik secara umum, dan dialektologi secara khusus, terutama pemakaian bahasa di daerah-daerah kantong (enklave) bahasa. Secara
praktis,
penelitian
ini
dapat
menginventarisasi
dan
mendokumentasikan keberadaan EBJt di Tondano kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara. Selain itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat sebagai patokan atau pemetaan awal terhadap keberadaan EBJt yang kini juga terdapat di Gorontalo dan beberapa daerah di luar Minahasa.
1.6
Tinjauan Pustaka Kajian mengenai enklave bahasa-bahasa di Indonesia telah banyak dilakukan
oleh para ahli dan peneliti lain baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun demikian, sepanjang pengetahun peneliti, belum ada yang mengangkat secara
8
mendalam mengenai EBJt. Berikut ini dipaparkan beberapa kajian yang ditemukan berkaitan dengan EBJt di Tondano. Julaiha Kiay Modjo (1998) dalam tesisnya yang berjudul Konvergensi Etnolinguistik Masyarakat Jawa Tondano membahas mengenai pengaruh atau peran bahasa dan kebudayaan Tondano terhadap bahasa dan kebudayaan masyarakat Jawa Tondano. Julaiha melakukan penelusuran domain atau bidang-bidang apa saja yang didominasi oleh bahasa dan kebudayaan Tondano dan domain apa yang didominasi oleh budaya Jawa. Namun demikian, penelitian ini belum mampu menjawab seperti apa kedudukan BJ di Tondano. Hal ini dapat dimaklumi, karena Julaiha membatasi ruang lingkup penelitiannya hanya pada acara-acara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan kacamata etnolinguistik berdasarkan teori Haugen tentang kontak bahasa. Selanjutnya, sebuah disertasi yang telah dibukukan karya Tim G. Babcock (1989) yang berjudul Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity. Buku ini berisi penelitian Babcock tentang kebudayaan orang Jawa Tondano yang dititikberatkan pada identitas dan aspek keagaaman masyarakat Jaton. Buku ini juga mejelaskan sedikit mengenai sejarah terbentuknya Kampung Jawa dan bagaimana Belanda membawa Kyai Modjo dan pengikutnya di Tondano. Meskipun masuk dengan menggunakan etic approach tentang kebudayaan, peneliti sangat terbantu karena Babcock menyisipi penelitiannya ini dengan beberapa kosakata EBJt, yang dijadikan sebagai data sekunder oleh peneliti yang sebagian dipaparkan di atas.
9
Artikel terbaru serupa Babcock juga ditulis oleh Kinayati Djojosuroto, dalam tulisasnnya yang berjudul Dialek dan Identitas Jawa Tondano di Minahasa, Suatu Kajian Historis yang memaparkan proses terbentuknya Kampung Jawa di Tondano berawal dari pengasingan pageran Diponegoro dan Kyai Modjo ke Manado oleh pemerintah Belanda pada saat itu. Dari artikel ini juga peneliti bisa mengetahui bahwa BJ di Tondano masih ada meskipun persentasenya hanya tinggal 40% dan sedang menuju kepunahan. Selain itu, ditemukan juga kamus mini bahasa Jaton yang berbasis android. Kamus yang berjudul Injaton ini merupakan kamus offline yang dikembangkan oleh ID Dev Android dan baru saja di-update pada tanggal 19 Januari 2015. Aplikasi ini dapat diunduh di google playstore pada ponsel yang berbasis android dengan versi minimum 2.3 Gingerbread.
1.7
Landasan Teori Penelitian ini didasarkan pada beberapa teori mengenai dialektologi, seperti
Kridalaksana (1983:34) yang mengungkapkan bahwa dialektologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa-bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh; Mahsun (1995:11) memperkuat apa yang telah dikemukakan oleh Kridalaksana bahwa dialektologi merupakan ilmu tentang dialek, atau cabang linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan-perbedaan tersebut secara utuh.
10
Menurut Weinjen dkk. (Ayatrohaedi, 1983:1), Panitia Atlas Bahasa-bahasa Eropa merumuskan dialek sebagai sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dengan masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya. Nothofer (1987) dalam Cita-cita Penelitian Dialek menyebutkan bahwa kajian dialektologi, tidak hanya terbatas pada kajian vertikal dalam suatu bidang saja tetapi juga mencakup kajian horizontal antarbidang dalam hal ini sosiolinguistik. Selanjutnya, ditambahkan oleh Fernandez (1993/1994:1) bahwa kajian sosiodialek adalah kajian yang mempelajari tentang variasi bahasa dalam dialek yang berbeda dari suatu bahasa sebagai suatu sistem yang meliputi berbagai tuturan bahasa. Variasi bahasa yang dikaji adalah variasi bahasa berdasarkan perbedaan kelompok-kelompok masyarakat atau sosial dalam dialek tertentu. Dapat disimpulkan bahwa sosiodialek mengkaji perubahan tuturan dalam suatu bahasa karena kontak sosial yang terjadi antarwilayah atau ruang geografis yang berbeda sehingga timbul daerah pembaruan (inovasi) dan daerah peninggalan (relik). Selaras dengan beberapa pendapat yang dijabarkan di atas, penelitian ini akan menggunakan teori yang memfokuskan masalah variasi bahasa pada tataran fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis, dan tingkat tutur dengan dasar asumsi bahwa EBJt memiliki variasi-variasi kebahasaan tertentu karena secara geografis berada di luar daerah bahasa asalnya sehingga diduga mendapat pengaruh dari BT.
11
1.8
Hipotesis Sebagai asumsi awal, dihipotesiskan bahwa EBJt memiliki perbedaan dengan
BJ dari wilayah penutur asli. Perbedaan ini perkirakan dapat terjadi karena letak geografis kelurahan Kampung Jawa sebagai daerah kantong berbatasan langsung dengan daerah penutur asli BT. Kondisi geografis yang sedemikian berlanjut pada frekuensi komunikasi yang tinggi antara penduduk penutur EBJt dan penduduk penutur BT. Intensitas pertemuan yang tinggi di antara kedua suku yang berbeda bahasa tersebut juga menyebabkan banyak terjadi perkawinan antara masyarakat penutur EBJt dan masyrakat lokal penutur BT. Berdasarkan hal tersebut, diasumsikan bahwa terdapat pengaruh BT terhadap EBJt. Masalah inipun telah dipastikan oleh salah seorang antropolog bernama Tim Babcock yang sempat menginventarisasi beberapa kosakata bahasa Jaton dalam disertasinya yang berjudul Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity yang menunjukkan adanya perbedaan antara EBJt di Minahasa dan BJ di daerah asal.
1.9
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini dimaksudkan untuk
mendapatkan
temuan-temuan
permasalahan-permasalahan
yang
yang
mendalam
diangkat.
menggunakan pendekatan sosiodialektologi.
serta
Pada
menyeluruh
praktiknya,
terhadap
mentode
ini
12
Pendekatan sosiodialektologi dikembangkan oleh Nothofer (1987) dan Fernandez (1993/1994) yang menitikberatkan penelitian terhadap gejala bahasa yang bersifat dialektal serta keterkaitannya dengan variabel sosial penutur. Secara rinci, penelitian ini memfokuskan kajian pada penemuan variasi dialektal, yakni variasi pemakaian EBJt pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur. Selanjutnya, variasi tersebut dikaitkan dengan variabel pekerjaan, pendidikan, dan usia penutur. Adapun, temuan-temuan pada masing-masing tataran kebahasaan EBJt tersebut dideskripsikan secara sinkronis baik dalam dimensi horisontal maupun dimensi vertikal. Selanjutnya, variasi-variasi yang terdapat pada EBJt dieksplanasi berdasarkan variabel sosial penutur. Dengan demikian metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksplanatif kualitatif. Secara prosedural, penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama merupakan tahap penyediaan data, tahap kedua merupakan tahap analisis data, dan tahap ketiga ialah tahap penyajian hasil analisis data. Sebelum dipaparkan secara mendetail mengenai ketiga tahap penelitian tersebut, berikut ini dijelaskan terlebih dahulu mengenai objek, populasi, sampel, dan titip pengamatan dalam penelitian ini. Objek dalam penelitian ini adalah EBJt yang dipakai oleh penutur di kelurahan Kampung Jawa. Objek tersebut berada dalam satu populasi yakni masyarakat kelurahan Kampung Jawa di Tondano kabupaten Minahasa provinsi Sulawesi Utara.
13
Terkait populasi penelitian, ditentukan pula sampel penelitian. Sampel penelitian ialah sejumlah informan yang dianggap dapat mewakili keseluruhan populasi penelitian, yang ditentukan secara acak pada setiap titik pengamatan (TP). Titik pengamatan ditentukan dengan cara mengamati letak geografis kelurahan Kampung Jawa berdasarkan pembagian lingkungan dan kedekatannya dengan pemukiman penduduk asli sebagai penutur bahasa lokal. Terdapat empat TP dalam penelitian ini, TP pertama (TP1) berlokasi di lingkungan lima, pemilihan ini didasarkan atas asumsi bahwa lingkungan ini paling rawan mengalami pengaruh budaya luar karena berbatasan langsung dengan warga desa Tonsealama sebagai penutur BT di sebelah utara; TP kedua (TP2) berlokasi di lingkungan enam, pemilihan TP ini didasarkan atas asumsi bahwa lingkungan ini berdampingan dengan sungai Tondano yang membatasi kelurahan Kampung Jawa dengan kelurahan Luaan di sebelah barat serta pemakaman umum Tondano yang termasuk wilayah administratif kelurahan Ranowangko di sebelah selatan sehingga dapat diperkirakan bahwa daerah ini cukup aman dari pengaruh luar; TP ketiga (TP3) berlokasi di lingkungan dua yang berbatasan dengan kelurahan Wulauan; dan TP keempat (TP4) berlokasi di lingkungan empat yang berada di tengah-tengah desa, dengan dasar pemikiran bahwa TP ini paling aman atau paling minim mendapatkan pengaruh dari bahasa lokal karena meskipun berbatasan dengan kelurahan Wulauan di sebelah Timur, tetapi masih dipisahkan oleh lahan persawahan yang luas. Berikut ini gambar peta TP di kelurahan Kampung Jawa kecamatan Tondano Utara kabupaten Minahasa.
14
Gambar Peta Titik Pengamatan Penelitian EBJt di kelurahan Kampung Jawa kabupaten Minahasa.
1.9.1
Tahap Penyediaan Data Tahap penyedian data dalam penelitian ini terbagi atas tiga bagian, yakni
penyediaan data sekunder, refresh data, dan penyediaan data primer. Data sekunder dalam penelitian ini diambil dari penelitian sebelumnya, yakni penelitian Tim Babcok (1989) yang berjudul Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity. Babcock dalam penelitian ini menginventarisasi sejumlah kosakata EBJt dan membandingkannya dengan BJ di daerah asal. Data tersebut dimaksudkan sebagai data untuk analisis awal guna mengetahui secara sepintas mengenai keberadaan EBJt pada masyarakat kelurahan Kampung Jawa di Tondano.
15
Setelah tahap penyediaan data sekunder selesai, tahap selanjutnya adalah tahap refresh. Tahap refresh merupakan tahap penyediaan data primer dengan cara mengonfirmasi ulang data sekunder yang telah diperoleh secara langsung kepada penutur bahasa. Konfirmasi data sekunder atau refresh data langsung dilanjutkan dengan pengambilan data primer. Pada pelaksanaannya, peneliti melakukan kunjungan langsung dan mengadakan wawancara pada penutur asli EBJt. Metode ini disebut metode pupuan lapangan (Ayatrohaedi, 1979:33-34), yakni penjaringan data yang dilakukan dengan cara mengunjungi langsung objek penelitian. Metode ini direalisasikan dengan dua cara, yakni teknik pencatatan langsung dan teknik perekaman. Namun demikian, demi memastikan kesahihan dan eksistensi data, peneliti menggunakan kedua teknik tersebut secara bersamaan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 kosakata dasar Swadesh, 700 kosakata dasar budaya, 150 struktur frasa, dan 50 kalimat sederhana. Dari segi informan, peneliti telah menetapkan beberapa informan yang sebelumnya telah dipastikan memenuhi beberapa syarat sebagaimana yang disampaikan Ayatrohedi (1979;45) yakni: 1) informan berumur 40-50 tahun, karena pada usia tersebut mereka telah menguasai bahasa dan dialeknya, tetapi belum sampai pada taraf pikun, 2) pendidikan informan tidak terlalu tinggi, karena dikhawatirkan informan berpendidikan tinggi telah mendapatkan banyak pengaruh dari bahasa luar, 3) asal-usul pembahan benar-benar berasal dari desa yang diteliti, 4) kemurnian bahasa informan, kemurnaian bahasa ini dimaksudkan bahwa bahasa informan hanya
16
seminim mungkin terkena pengaruh dari bahasa yang lain. Guna memastikan keaslian dan kualitas data, peneliti juga telah mengadakan observasi secara langsung dengan ikut terlibat dalam kegiatan keseharian masyarakat, dalam hal ini penutur EBJt pada kelurahan Kampung Jawa di kecamatan Tondano Utara.
1.9.2
Tahap Analisis Data Tahap analisis data dimulai dengan mentraskripsi dan mengklasifikasikan
setiap data satuan lingual kebahasaan EBJt secara fonologis, morfologis, sintaksis, leksikon dan tingkat tutur. Pada praktiknya, usaha ini dilakukan dengan memanfaatkan
metode
padan
teknik
dasar
bagi
unsur
langsung
guna
mengklasifikasikan setiap satuan lingual kebahasaan EBJt. Klasifikasi tersebut dipaparkan secara deskriptif, kemudian dilanjutkan dengan pencarian variasi-variasi unsur kebahasaan dan dieksplanasikan berdasarkan keterkaitannya dengan variabel sosial penutur EBJt.
1.9.3
Tahap Penyajian Hasil Aalisis Data. Tahap penyajian hasil analisis data meliputi penjabaran awal mengenai latar
belakang penelitian, perumumusan masalah, landasan teori, dan metodologi penelitian. Penjabaran tersebut kemudian dilanjutkan dengan deskripsi ekologis daerah penelitian. Deskripsi ekologis daerah penelitian dimaksudkan untuk mengetahui kondisi geografis, sosial-budaya, dan penutur EBJt itu sendiri.
17
Pengetahuan daerah tutur tersebut bermanfaat dalam menentukan hasil penelitian karena penggunaan suatu bahasa ikut dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang ada di masyarakat. Selain deskripsi ekologis daerah penelitian, sangat penting juga untuk mendeskripsikan unsur-unsur kebahasaan secara sinkronis. Deskripsi sinkronis dibagi atas dua bagian, yakni deskripsi sinkronis dimensi vertikal dan deskripsi sinkronis dimensi horisontal. Secara vertikal, pendeskripsian dimulai pada tataran fonologi, morfologi,
sintaksis,
dan
leksikon;
kemudian
secara
horisontal
deskripsi
dititikberatkan pada penggunaan tingkat tutur. Deskripsi tersebut berguna untuk membatu peneliti melakukan analisis kualitatif demi mendapatkan variasi-variasi dialektal unsur-unsur kebahasaan EBJt. Setelah deskripsi sinkronis, dilakukan penjelasan mengenai variasi-variasi kebahasaan EBJt mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan tingkat tutur. Penjelasan variasi tersebut dikaitkan dengan adanya varibel sosial penutur EBJt seperti usia, pekerjaan, dan pendidikan. Terakhir, dilakukan perumusan kesimpulan berdasarkan hasil analisis data, kemudian ditutup dengan pemberian saran yang mengacu terhadap kemungkinankemungkinan adanya penelitian lanjutan. Hasil tersebut disajikan dalam bentuk formal dan informal.
18
1.10
Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas lima bab, yakni Bab I Pendahuluan berisi:
1.1 Latar
Belakang, 1.2 Rumusan Masalah, 1.3 Tujuan Penelitian, 1.4 Ruang
Lingkup Penelitian, 1.5 Manfaat Penelitian, 1.6 Tinjauan Pustaka, 1.7 Landasan Teori, 1.8 Hipotesos, 1.9 Metode Penelitian, 1.10 Sistematika Penulisan Bab II Deskripsi Ekologis Daerah Penelitian berisi: 2.1 Sejarah Singkat Kelurahan Kampung Jawa Tondano, 2.2 Kondisi Geografis, 2.3 Demografi Kelurahan Kampung Jawa, 2.4 Sarana dan Prasarana Kelurahan Kampung Jawa, 2. 5 Situasi Kebudayaan, 2.6 Situasi Kebahasaan. Bab III Deskripsi Sinkronis EBJt berisi: 3.1 Deskripsi Dimensi Vertikal, 3.1.2 Deskripsi Fonologi, 3.1.2 Deskripsi Morfologi, 3.1.3 Deskripsi Sintaksis, 3.1.4 Deskripsi Leksikon, 3.2 Deskripsi Sinkronis Dimensi Horisontal. Bab IV Variasi Pemakaian Struktur EBJt berisi: 4.1 Variasi Fonologi, 4.2 Variasi Morfologi, 4.3 Variasi Leksikon, 4.5 Variasi Sintaksis. Bab V. Penutup yang berisi: 5.1 Kesimpulan dan 5.2 Saran.