BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tema penelitian ini tentang kebijakan pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR) di Indonesia. Kasus kebijakan yang dipilih untuk menjelaskan kebijakan pengawasan BPR adalah periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2013. Pemilihan periode ini karena pada tahun 2005 Bank Indonesia melakukan tahapan monumental dan dapat dikatakan sebuah revolusi pengawasan bank yaitu ketika memberlakukan sistem pengawasan berbasis risiko (Risk Based Supervision) di tahun 2005 dan kegiatan pengawasan Bank Indonesia berakhir pada tahun 2013 untuk kemudian kegiatan pengawasan perbankan dialihkan pada Otoritas Jasa Keuangan. Fokus penelitian untuk melihat pengaruh kebijakan pengawasan BPR terhadap terjadinya fraud di BPR. Data di Bank Indonesia yang dirangkum mulai tahun 1988 sampai dengan tahun 2013 menunjukkan lebih banyak BPR yang ditutup dibandingkan bank umum. Tesis yang dibangun pada studi ini adalah analisis kebijakan pengawasan Bank Indonesia terhadap terjadinya fraud di BPR sejak diberlakukannya pengawasan berbasis risiko. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mulai dikenal dan berdiri sebagai salah satu agen pembangunan sejak dikeluarkannya paket kebijakan
2
deregulasi yaitu dengan dibukanya izin pendirian bank-bank baru pada bulan Oktober 1988. Tujuan pendirian BPR adalah untuk mendorong dan meningkatkan pembangunan ekonomi di pedesaan sehingga memperkuat sistem keuangan di pedesaan1. Namun demikian terdapat fakta yang menunjukkan ada masalah di BPR, masalah tersebut diindikasikan dari banyaknya BPR yang ditutup serta banyaknya tindak pidana perbankan dan fraud yang terjadi di BPR, Dari tahun 2000 sampai tahun 2013 sebanyak 373
BPR dicabut
izinnya (lihat grafik 1.1), mulai tahun 2005 mengalami penurunan namun jumlah BPR yang ditutup masih tetap ada . Akibat dari BPR dicabutnya izin usaha BPR , maka kesempatan sektor UMKM untuk mendapatkan kredit dari BPR menurun, walaupun lembaga keuangan mikro non bank lainnya masih banyak yang dapat memberikan kredit. Pada tahun 2005 tercatat sebanyak 36.466 unit lembaga keuangan mikro non bank lainnya yaitu 67% dari lembaga keuangan mikro yang menyalurkan kredit ke UMKM (Meagher P, dkk, 2006 : 25) . Pada bagan 1.1 ditampilkan sistem keuangan di Indonesia sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan.
In developing countries, most poor people do not have access to financial services. Either credit is not available from any source or only from unscrupulous lenders (Phil Smith and Eric Thurman, 2007 : 39). 1
3
Grafik 1.1 BPR yang dicabut izin usaha dan dibekukan
Sumber : Bank Indonesia
Bagan 1.1 Sistem Keuangan di Indonesia sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan Sistem Lembaga Keuangan Bukan Bank
Sistem Moneter/Perbankan
Bank Indonesia
Departemen Keuangan RI
Lembaga Pembiayaan
Leasing
Modal Pembiaya an
Asuransi
Dana Pensiun
PMV Daerah
As. Kerugian
PMV Nasional
As. Jiwa
Dn Pensiun Peberi Kerja
Factoring Consumer Finance Credit Card Company
PMV Patungan
As. Sosial Reasuransi Broker
Dn Pensiun Lembaga Keuangan
Pasar Modal
Pegadaian
Perusahaan Penjaminan
Secondary Mortgage
Lembaga Penjamin Simpanan
Bank Umum
Bank Perkreditan Rakyat
Bursa Efek Perush . Efek
Bank BUMN Bank BPD
Reksa Dana
Asuransi
Sumber : Bank Indonesia, tahun 2013
Bank Asing Bank Campuran
4
Bank Indonesia menyatakan hampir 70% bank perkreditan rakyat yang tutup selama ini disebabkan oleh kasus kecurangan perbankan atau fraud. Pernyataan bahwa hampir 70% bank perkreditan rakyat yang tutup selama ini disebabkan oleh kasus kecurangan perbankan atau fraud tersebut diperkuat oleh pendapat mantan Direktur Departemen Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia (BI) di tahun 2011, yang juga menyatakan bahwa sebagian besar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berstatus pengawasan khusus disebabkan pembobolan dana oleh manajemen atau pemilik bank mikro itu. Secara nasional dari jumlah BPR yang saat ini dalam pengawasan khusus, 70% di antaranya karena fraud dan selebihnya akibat miss management. Lebih jauh dijelaskan bahwa sebagian BPR dengan status pengawasan tersebut tidak dapat diselamatkan sehingga harus dicabut izinnya atau ditutup. Fraud diartikan sebagai “the criminal offence of knowingly executing, or attempting to execute, a scheme or artifice to defraud a financial institution, or to obtain property owned by or under the control of financial institution, by means of false or fraudulent pretenses, representations or promises (CFE, 2004:2). Industri perbankan dikenal sebagai industri yang sarat dengan aturan (heavily regulated industry) (CFE, 2004:2), sehingga setiap pelaku industri perbankan diwajibkan untuk mengikuti setiap aturan yang telah ditetapkan. Fraud (kecurangan) itu sendiri secara umum merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar
5
organisasi, yang bermaksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain. Orang awam seringkali mengasumsikan secara sempit bahwa fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan korupsi. Dari sisi kredit bermasalah (Non Performing Loan-NPL) BPR, pada periode yang sama rata-rata NPL BPR yaitu sebesar 5,22% lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Umum yang sebesar 2,60%. Hendy (2013:5) berkesimpulan bahwa tingkat NPL yang tinggi akan berakibat pada kegagalan bank. Dari sisi Return on Asset (ROA) BPR selama lima tahun terakhir, rata-rata ROA BPR mencapai 3,32% lebih baik dibandingkan dengan Bank Umum yang mencapai 2,90%. Berdasarkan sektor ekonominya, BPR di negara Indonesia tercatat bahwa kreditnya sebagian besar tersalur ke sektor modal kerja (47,58%) walaupun 58,13% di antaranya digunakan untuk bidang perdagangan besar dan eceran, untuk sektor investasi sebesar 5,75%, dan untuk sektor konsumsi sebesar 46,67%. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya peruntukan kredit tidak sejalan dengan visi dan misi BPR yaitu pembangunan ekonomi rakyat, sebagian besar kreditnya digunakan untuk kebutuhan konsumtif dan modal kerja perdagangan besar dan eceran, bukan digunakan untuk kebutuhan produktif atau mengembangkan sektor pertanian, perburuhan, kehutanan, maupun perikanan (Data Bank Indonesia, 2011 : 11) .
6
Tabel 1.1. Indikator Perkembangan Bank Umum dan BPR
Sumber : Diolah dari Bank Indonesia, tahun 2011. Keterangan : - Total aset : menunjukkan total harta yang dimiliki oleh bank - Dana pihak ketiga : dana yang diperoleh oleh bank yang berasal dari masyarakat - Kredit : kredit merupakan suatu fasilitas keuangan yang memungkinkan seseorang atau badan usaha untuk meminjam uang - CAR : rasio kecukupan modal yang berfungsi menampung risiko kerugian yang kemungkinan dihadapi oleh bank - Gross NPL : rasio kredit bermasalah - ROA : salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan - BOPO : beban operasional dibandingkan pendapatan operasional - LDR : perbandingan kredit yang diberikan terhadap jumlah dana pihak ketiga Data Statistik Investigasi Dugaan Tindak Pidana Perbankan berdasarkan tahun proses yang dicatat oleh Bank Indonesia sampai dengan tahun 2013 ditemukan 441 kasus yang telah diproses. Jumlah ini jauh lebih
7
banyak daripada yang terjadi di bank umum yang hanya tercatat 287 kasus. Banyaknya fraud yang terjadi di BPR menunjukkan fungsi pengawasan masih lemah (Burghof, 1996:40 sebagaimana dikutip dalam Neuberger, 1997:12). Pengaturan prinsip kehati-hatian akan mengurangi kemungkinan kegagalan dan krisis bank. Kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor perbankan merupakan instrumen atau sarana komunikasi yang mengatur interaksi antara Bank Indonesia sebagai bank sentral (pengawas dan pembina bank) dengan lembaga perbankan di satu sisi dan antara lembaga perbankan dengan masyarakat (nasabah) di sisi lain. Kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor perbankan tersebut merupakan penggabungan moralitas sosial. Lembaga perbankan harus mempunyai kecenderungan pandangan untuk menentukan atau mengorientasikan sikap arah dan tindakannya sesuai dengan moral suasion dan pemerintah. Moral suasion dimaksud antara lain berisikan norma kehati-hatian (prudential regulations) yang memiliki dimensi efisiensi, pemerataan, keseimbangan dan perlindungan terhadap masyarakat (nasabah) (Kusnu, 2006:1). Timbulnya
berbagai
kasus
kejahatan
perbankan,
mengundang
pertanyaan seputar sistem pengawasan dan pengamanan yang diberlakukan. Sering terjadi kasus kejahatan perbankan dalam bentuk pembobolan, sementara cara-cara melakukan atau modus operandinya di seputar
8
pembukuan fiktif melalui dokumen yang asli tapi palsu dan penyalahgunaan wewenang. Sistem kebijakan pengawasan perbankan adalah kesatuan unsurunsur kebijakan, substansi, dan budaya (moral), berinteraksi satu sama lain di bawah pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia sebagai bank sentral (three elements of legal system, Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, 1975: 14). Terjadinya kasus banking fraudulent atau bahkan banking criminal menunjukkan lemahnya kualitas pemeriksaan atau pengawasan eksternal maupun internal di lembaga perbankan, maupun secara individu perorangan selaku pegawai bank. Dapat dimungkinkan para oknum pelaku bisa begitu mudah membobol dana sangat besar tanpa unsur pengawas bank mampu mendeteksi. Lebih memprihatinkan, bahwa sistem pengawasan yang dibuat berlapis-lapis dengan maksud memperkuat aspek pengawasan, namun upaya ini mampu diterabas oleh oknum pegawai bank. Villanueva dan Mirakhor (1990:33) berpendapat bahwa sistem dari prinsip kehati-hatian selama ini masih lemah, baik
dipandang dari sisi
desainnya ataupun kekuatan hukum maupun keduanya, seperti tingkatan modal bank dan provisi
(dalam kaitannya dengan risiko aset) untuk
menghadapi kerugian pinjaman yang cukup besar, praktik perbankan yang tidak sehat tidak berkurang. Sedangkan Lovett (2005:15)
menuliskan
beberapa langkah dalam ketentuan perbankan antara lain (1) menetapkan
9
jumlah modal minimum, (2) kebijakan jaminan simpanan, (3) pengawasan yang ketat, (4) penetapan bank rating melalui CAMELS, (5) penguatan pengawasan melalui The Financial Institutions Supervisory Act tahun 1966 dan pengaturan yang ketat terhadap holding company melalui The Financial Institutions Regulatory and Rate Control Act tahun 1978. Penguatan sistem perbankan lainnya adalah batas maksimum pemberian kredit (lending limit), pembatasan transaksi pihak terafiliasi, insider lending, borrowing limit, surat berharga, kartu kredit pelaporan dan kerahasiaan. Arming (2005: 27) menuliskan bahwa pemerintah dengan contohcontoh baik dari pengawasan dan pengaturan politik dapat secara potensial memperbaiki stabilitas sistem perbankan, namun berdasarkan pengalaman di Amerika menunjukkan bahwa implementasi tersebut sulit dilaksanakan. Berbeda dengan Mishkin (2001: 11) yang menekankan bahwa pengawasan berbasis kehati-hatian berjalan seiring dengan pengaturan untuk mengurangi permasalahan ketidaksamaan informasi (asymmetric information problems) yang terjadi antara nasabah dan bank serta dengan upaya mengurangi ketidakstabilan keuangan.2 Breuer (2006:266-285) menambahkan bahwa pengawasan dan peraturan perbankan termasuk The Basel Accord, merupakan institusi utama
2
Untuk menjembataninya, bank perlu lebih aktif menggali informasi dari calon debitur, jika bank tidak melakukan hal ini maka bisa terjadi apa yang disebut adverse selection yakni calon debitur yang beresiko tinggi diterima, hal ini dapat menimbulkan moral hazard di pihal bank.
10
yang mempengaruhi tingkah laku bank. Institusi ini dapat langsung menekan potensi munculnya benturan kepentingan antara kedua hubungan tersebut, sehingga masalah perbankan dapat dihindari. Sejumlah institusi yang ada dan merupakan infrastruktur sosial suatu negara dapat mempengaruhi tingkah laku bank. Institusi yang dimaksud adalah hukum, politik, sosiologi, dan ekonomi dalam konteks hubungan perbankan. Agar fraud dengan berbagai sebab itu tidak terjadi maka diperlukan pengawasan. Penataan keharmonisan standar internasional pengawasan bank tersebut dilakukan oleh The Basel Committee on Banking Supervision atau sering disingkat The Basel Committee yang didirikan dan disponsori oleh kelompok negara Group of Ten dan diadopsi oleh negara-negara lainnya. Merujuk pendapat Breuer di atas bahwa kebijakan pengawasan dapat mempengaruhi tingkah laku bank, maka kebijakan pengawasan BPR tentunya dapat mempengaruhi tingkah laku bank. Kebijakan pengawasan BPR dan bank umum di Indonesia berbeda, kebijakan pengawasan pada BPR lebih lunak dibandingkan dengan bank umum, hal tersebut dimaksudkan agar memberikan kemudahan bagi BPR untuk berkembang sesuai tujuan pendirian BPR dalam Pakto 1988, yaitu memberikan kemudahan kredit bagi masyarakat pedesaan. Penelitian ini melihat pengaruh kebijakan pengawasan BPR tersebut mempengaruhi perilaku laku bank khususnya terhadap banyaknya fraud yang terjadi.
11
Karakteristik BPR dan bank umum adalah berbeda, contohnya adalah pola dan struktur kepemilikan bank. Pola dan struktur kepemilikan bank adalah aspek penting yang dideteksi sebagai penyebab fraud. Kepemilikan secara mayoritas memungkinkan timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam kepengurusan bank.
Basel Committe on Banking
menyarankan agar masalah kepemilikan saham bank mendapat perhatian serius. Rekomendasi tersebut meminta agar pengawas bank memiliki kewenangan untuk menilai struktur kepemilikan suatu bank. Apabila bank merupakan bagian dari suatu organisasi besar maka harus ada jaminan bahwa struktur organisasi dan kepemilikan tersebut bukan merupakan sumber kelemahan bagi bank. Risiko bagi nasabah penyimpan akibat kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan satu grup harus diminimalkan dan bank dilarang dijadikan sebagai sumber dana bagi pemiliknya. Dalam hubungannya dengan kepemilikan, di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia, bank dan perusahaan besar sering berada pada satu tangan kepemilikan.
BPR biasanya berbentuk perusahaan keluarga dan
perusahaan ini biasanya tidak berbentuk holding company.
Kepemilikan
BPR cenderung terpusat pada satu keluarga atau antara pemegang saham pengendali, yang melahirkan budaya bisnis yang berdasarkan relasi daripada berdasarkan aturan. Struktur kepemilikan tersebut, bila digabung dengan
12
lingkungan regulasi yang lemah, mendorong praktek-praktek yang kurang transparan. Masalah
selanjutnya
adalah
adanya
asymmetric
information
(ketidaksamaan informasi), hal ini merupakan fenomena bahwa bank sebagai lembaga keuangan memiliki informasi yang tidak sempurna, maka aspek kedua yang dapat menjadi sumber permasalahan fraud yakni menyangkut terjadinya asimetri/ketidaksamaan informasi (asymmetric information) (Mishkin, 2001:6) yakni suatu situasi di mana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding pihak lain, sebagai contoh : biasanya peminjam (debitur) memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan dengan pihak pemberi pinjaman (kreditur), dengan demikian, kreditur tidak dapat membedakan antara pinjaman yang sehat dan tidak sehat. Banyak permasalahan yang terjadi di BPR akibat permasalahan informasi asimetris, baik itu mengenai kebijakan suku bunga maupun produk perbankan. Masyarakat biasanya awam mengenai kebijakan suku bunga dan di lain pihak ketika BPR mengeluarkan produknya maka masyarakat tidak tahu seperti apakah karakteristik produk tersebut. Peminjam dengan kualitas yang rendah (memiliki risiko kredit tinggi) biasanya akan mau mencari pinjaman dengan suku bunga tinggi, dan bank yang memberikan suku bunga
13
dibandingkan Bank Umum adalah BPR. 3Berawal dari masalah inilah sebagian besar pinjaman biasanya merupakan kredit bermasalah. Dari pihak nasabah, mereka juga ingin mendapatkan informasi yang lengkap mengenai produk bank, sedangkan manajemen tidak bisa memberikan informasi yang lengkap. Informasi lain yang cukup penting terkait produk bank adalah informasi tentang standar pelayanan nasabah sehingga nasabah memperoleh perlindungan atas hak-haknya saat berhubungan dengan pihak bank. Masalah berikutnya berkaitan dengan persoalan agen dan majikan (agent-principal problems). Menurut ahli ekonomi Amerika, Mishkin (2001), masalah agen dan majikan terjadi karena masing-masing pihak memiliki keinginan dan tujuan yang berbeda, sehingga timbul benturan kepentingan. Aspek ketiga yang diangkat adalah masalah keagenan, di mana pemerintah adalah majikan, dan bank adalah agen, di lain pihak pemegang saham adalah majikan, dan manajer bank adalah agen. Masalah majikan-agen timbul karena kepentingan-kepentingan majikan dan agen berbeda dan karena majikan tidak mempunyai informasi yang memadai tentang perilaku agen (informasi asimetris) sedangkan agen memiliki kepentingan untuk menyembunyikan informasi. Fenomena terjadinya asimetri informasi yaitu kesenjangan (gap) dan pihak lain yang mempunyai sumber dan akses yang memadai untuk
3
Likuiditas lebih mendorong bank biayai proyek tidak likuid., jika bank trs membiayai maka terjadi balon (bubble) di sektor tsb (George Soros -‐pendapat CEO Citibank, 2008:84, The New Paradigm for Financial Market )
14
memonitor semua tindakan manajer karena perusahaan merupakan kumpulan berbagai kepentingan-kepentingan tersebut akan sangat ditentukan oleh pengelolaan manajemen (Jatiningrum dan Rofiqoh, 2004:2). Manajer berusaha mentransfer kemakmuran pemilik perusahaan kepada dirinya, salah satunya dengan menggeser laba atau biaya masa mendatang ke periode sekarang atau sebaliknya untuk memoles laporan keuangannya (fashioning reports).4 Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa tujuan utama perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan kemakmuran pemilik atau pemegang saham (Bathala, dkk, 1994), yang terjadi adalah baik manajemen atau perusahaan sering mempunyai tujuan yang berbeda yang mungkin bertentangan dengan tujuan utama tersebut, maka timbul konflik kepentingan antara para manajer dan para pemegang saham perusahaan (agency problem).5Hal ini terjadi karena pengelola (manajer) mempunyai informasi mengenai perusahaan yang tidak dimiliki oleh pemegang saham (asymmetry information) dan mempergunakannya untuk meningkatkan utilitasnya,
padahal
setiap
pemakai
membutuhkan
informasi
untuk
pengambilan keputusan ekonomi (Hendry, 2013 :54).
4
Pontell menyebut hal ini sebagai dominasi orang dalam. Dengan kata lain Pontell menyebutkan cara terbaik untuk merampok bank adalah dengan memiliki bank (to rob a bank is to own the bank). 5 Kathleen M. Eisenhardt mengatakan bahwa agen dan majikan memiliki keinginan dan/atau tujuan yang berbeda sehingga menimbulkan benturan kepentingan.
15
Konflik kepentingan antara pemerintah dan bank adalah ketika bank mengeluarkan berbagai produk, dan pemerintah tidak mengetahui berbagai produk yang diterbitkan oleh bank, dan ketika terjadi masalah pada bank maka pemerintah harus menanggungnya. 6Sedangkan konflik antara manajer dan pemegang saham dapat diminimumkan melalui mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan-kepentingan yang terkait (Ujiyanto, 2010 : 7), akan tetapi dengan munculnya mekanisme pengawasan tersebut akan menimbulkan biaya yaitu agency cost. Penelitian Richardson (1998 : 8) menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dengan fraud.Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. (Shleifer dan Vishny, 1997: 7). Para manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya ditanggung oleh pihak lain (Sanjaya, 2004 : 6), perilaku ini disebut sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality). Masalah keagenan merupakan masalah yang tak dapat diabaikan yang dipengaruhi oleh struktur modal perusahaan. Masalah struktur permodalan ini
6
juga menjadi salah satu faktor yang
Krisna Wijaya menyatakan hal ini sebagai minimal ethical barriers to insider fraud, suatu etos yang menganggap kerakusan sebagai suatu kebajikan , atau yang menganggap peraturan pemerintah tidak diperlukan dan hanya memperlemah standar kepercayaan (fiduciary standard).
16
berperan dalam menimbulkan fraud di perbankan (Anup Agrawal, 1999 : 316). Aspek selanjutnya adalah penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) (Stilpon Nestor, John K. Thompson : 37). Good Corporate Governance (GCG) pada prinsipnya merupakan pola pelaksanaan bagaimana suatu unit usaha dikelola, yaitu mengatur hubunganhubungan antara organ-organ di dalam perusahaan, termasuk pengaturan hak dan kewajiban setiap pihak yang berpartisipasi dalam korporasi, dengan memperhatikan para stakeholder, sehingga menciptakan nilai tambah bagi mereka. Untuk menerapkan prinsip itu hukum harus diterapkan dengan tegas. Sanksi optimal harus diterapkan kepada siapa saja yang mencoba bermainmain dengan ketentuan. Seiring dengan perkembangan situasi lingkungan internal dan eksternal bank yang diikuti oleh semakin kompleksnya risiko dalam kegiatan usaha perbankan dan BPR, kebutuhan akan adanya praktek tata kelola yang sehat (good governance) dan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko bank semakin meningkat. Penegakan Good Corporate Governance (GCG) seyogyanya menjadi prioritas bagi setiap pelaku di industri perbankan dan BPR karena hal ini diyakini selain dapat memperkuat pengelolaan risiko yang semakin kompleks juga akan melindungi kepentingan stakeholder, meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan serta nilai-nilai yang berlaku, serta dapat memperkuat
17
kondisi internal BPR dan perbankan dalam lingkup nasional. GCG harus menjadi komitmen bersama seluruh unsur yang terlibat dalam operasional BPR baik langsung maupun tidak langsung, dari pengurus hingga pelaksana teknis, serta didukung komitmen Pemegang Saham. Dewatripont, dkk.
(2010 : 53) menyatakan bahwa transparansi
mutlak dibutuhkan dalam lembaga keuangan. “Through reforms are necessary in order to restore transparency and to prevent the emergence of situations in which public authorities are held hostage by a risk of contagion—and don’t even know whether it is real or imagined. Reforms follow from this reasoning: Transparency of mutual exposures or absence thereof. Regulators need to have a clear view of the exposure of regulated institutions to the failure of other institutions. As we have noted, they have little information about counterparty risk for the moment. Even financial institutions have only a very partial view of the stability of the financial system”. Bagi BPR, persaingan yang semakin ketat baik dengan bank umum maupun lembaga keuangan lain dalam pemberian pelayanan kepada UMKM dan masyarakat di komunitasnya wajib diimbangi dengan upaya peningkatan integritas selain kompetensi SDM insan BPR. Salah satu tuntutan pasar yang tidak dapat dihindari BPR adalah penegakan profesionalitas yang bisa diwujudkan melalui penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) sebagai langkah preventif yang diperlukan untuk menjaga kredibilitas dan pemberantasan tindak kejahatan. Lima prinsip yang mendasari penerapan GCG seharusnya telah menjadi jiwa kegiatan operasional BPR dewasa ini. Tantangan yang dihadapi industri BPR ke depan tidaklah ringan. Tingkat
18
persaingan yang ketat dalam pelayanan Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) menuntut kesiapan pelaku bisnis BPR untuk lebih kompeten dan profesional. Berbagai tantangan tersebut diharapkan dapat direspon secara positif oleh pelaku bisnis BPR dengan melakukan pembenahan dan perbaikan secara terus menerus baik dari aspek manajerial maupun operasional guna terciptanya Good Corporate Governance dalam pengelolaan BPR. Perlu digarisbawahi tentang pentingnya peran GCG mengingat pelajaran dari berbagai kejadian yang menimpa industri BPR menunjukkan bahwa keberlanjutan bisnis BPR sangat rentan dipengaruhi oleh isu moral dan integritas pengelola dan pemiliknya.7 Villanueva dan Mirakhor
menyebutkan bahwa dampak dari
lemahnya pengawasan bank dan sistem regulasi yaitu kolapsnya suatu bank dari sistem perbankan, baik itu lemah karena desain peraturan maupun lemahnya penegakan hukum. Polizato (1990 : 21) telah mengelaborasi 11 (sebelas) point bagi terwujudnya prudential regulations yang mampu menjamin sistem keuangan yang sehat. Patterson (2009 : 15) menyatakan bahwa
dengan
adanya
supervisi
maka
akan
mempertinggi
pertanggungjawaban terhadap adanya bank gagal.
7
Bank tidak terlepas dari bentuk kerawanan, bank harus dikelola dengan baik dan penuh kehati-‐ hatian. Menurut Viotti, kultur lama yang mengandung konservatisme harus dipertahankan, dewasa ini penekanan berorientasikan pada kegiatan penjualan yang cenderung melupakan keharusan untuk menilai resiko. Perbankan perlu diatur sedemikian rupa sehingga bersifat highly regulated dengan tujuan kepentingan masyarakat terlindungi.
19
“With such supervision, therefore, would go a great deal of responsibility for a bank failure, and this responsibility the government was naturally reluctant to assume. Another objection to government supervision would be the fact that the appointments of examiners would run the risk of being occasionally based on political expediency rather than on expert knowledge and fitness for the positions. The Canadian government was well advised in not allowing itself to be burdened with a new and unknown responsibility”. Brownbridge dan Kirkpatrick (1999) dan Bosworth dan Collins (2000) menunjukkan bahwa regulasi dan kualitas pengawasan di Indonesia masih lemah, meskipun kerangka kerjanya regulasinya (regulatory framework)
telah
memuaskan
(satisfactory).
Beberapa
faktor
yang
menyebabkan kelemahan kualitas dari penegakan dan pengawasan regulasi perbankan antara lain meliputi keterbatasan kapasitas institusional bank sentral (Feridhanusetyawan, dkk.,
1998 : 6 dan Delhaise, 1998 : 15),
lemahnya penegakan hukum (Nasution, 1994 : 10), tidak adanya independensi bank sentral (Jiwandono, 1999:12 dan Nasution, 1999 : 7), dan praktek korupsi di bank sentral (Nasution, 1999 : 8) . Kembali Patterson (2009 : 71) menyatakan : “Expert supervision by the central office prevents bad banking. The boards of directors of the large banks are responsible for all the branches and they are therefore forced to put into practice a method of examination and supervision which is much more effective than government examination in the United States”.
20
Menurutnya penyebab bank gagal adalah (p.181-182) : 1. Kekurangan modal (Lack of capital) 2. Tidak kompeten – terlepas dari penyebab lain (Incompetence irrespective of other causes) 3. Disposisi penipuan properti (Fraudulent disposition of property) 4. Kurang berpengalaman – tanpa ketidakmampuan (Inexperience without otherincompetence) 5. Mengabaikan bisnis – karena kebiasaan diragukan (Neglect of business (due to doubtful habits) 6. Pemberian kredit yang tidak bijaksana (Unwise granting of credits) 7. Pemborosan pribadi (Personal extravagance) 8. Spekulasi - di luar bisnis yang umum (Speculation - outside of regular business) Tabel 1.2. Indikator Kekuatan dan Kualitas Regulasi dan Pengawasan Perbankan di Beberapa Negara Asia
Negara
Bank regulatory framework
Enforcement quality of regulation
Quality of bank supervision
Index of regulatory environtment 1/ NA 52 45 41 16 52
Hongkong very good Good Good Indonesia Satisfactory Weak Weak Korea Weak Weak Fair Malaysia Satisfactory Weak Weak Singapore very good Strong very good Thailand Weak Weak Weak 1/ low values indicate a high ranking Sumber : Brownbridge dan Kirkpatrick (1999) serta Bosworth dan Collins (2000).
Pardede (2001:56-71) menyebutkan bahwa setiap lembaga perbankan harus memiliki sumber daya yang cukup dan harus independen dalam menjalankan aktivitasnya, suatu dasar hukum yang memadai untuk sistem pengawasan, termasuk ketentuan yang berkaitan dengan pengawasan perbankan. Pengawasan perbankan yang efektif merupakan suatu komponen dasar dalam lingkup pembangunan perekonomian, sehingga sistem
21
perbankan memainkan peranan penting dalam lalu lintas pembayaran maupun memobilisasi dana masyarakat. Panourgias (2006 : 11-12) mensyaratkan bagi perbankan : “Preventive regulation involves those techniques, which are designed to forestall crises by reducing the risks facing banks. These include vetting the controllers and monitoring the management of banks, capital, solvency, and liquidity standards, and large exposure limits. Protective techniques, on the other hand, provide support to banks once a crisis threatens. Lender-of-last-resort facilities are of immediate benefit, but ultimately rescue operations may be necessary, as well as payments under deposit insurance schemes (emphasis added)”. Dapat ditarik kesimpulannya bahwa regulasi yang bersifat pencegahan dirancang untuk mencegah krisis dengan mengurangi risiko yang dihadapi oleh bank, termasuk di dalamnya dengan pemeriksaan oleh pengawas dan memonitor manajemen bank, modal, kemampuan membayar hutang, standar likuiditas dan batas pemberian kredit. Darsana (2009:1) dan Nasution (2001 :1) meneliti bahwa dari sisi perbankan, sejumlah regulasi untuk memperkuat intermediasi perbankan dan menyempurnakan
pengawasan
agar
lebih
menyeluruh,
maka
harus
diprioritaskan untuk mewujudkan sektor perbankan yang semakin tangguh dalam menopang pembiayaan perekonomian dan sekaligus mampu menghadapi praktek bisnis yang semakin modern dan inovatif. Chaniago (2001 : 168) menyebutkan terdapat beberapa ketimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto yang mengakibatkan terjadinya krisis mata uang Krisis mata uang berlanjut yang menjadi krisis likuiditas karena kelemahan
22
fundamental yang ada pada perekonomian Indonesia yang seharusnya diperhatikan namun tidak ditangani dengan baik (Syamsul Hadi 180 :6). Salah satunya adalah kelemahan di sektor perbankan yang sejak dilakukannya liberalisasi sektor perbankan dengan kebijakan Paket Oktober 1988 (Pakto 88), sektor perbankan Indonesia tumbuh sangat pesat. Di pihak lain, pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan berbagai infrastruktur yang diperlukan, seperti peraturan kehati-hatian (prudential regulation) yang menyeluruh, terinci, dan terdefinisi secara baik, ditambah dengan lemahnya kontrol terhadap implementasi peraturan perundang-undangan yang ada. Guna mencari jawab atas pertanyaan pengaruh kebijakan pengawasan BPR tersebut apakah mempengaruhi terhadap banyaknya fraud yang terjadi, penulis meneliti pengaruh kebijakan pengawasan BPR selama periode 20052013. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pada kebijakan pengawasan BPR terhadap fraud yang terjadi di BPR. Kebijakan pengawasan BPR yang relatif lebih lunak dibandingkan dengan bank umum menyebabkan lebih banyak terjadi fraud pada BPR. Pada proses perubahan kebijakan pengawasan BPR terjadi penurunan jumlah BPR yang ditutup. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, penelitian ini mempelajari kebijakan perbankan mikro di Indonesia khususnya untuk BPR secara lebih komprehensif sejak Bank Indonesia mengadopsi ketentuan Basel pada tahun 2005 sampai dengan
23
beralihnya pengawasan BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan pada akhir tahun 2013. Pada periode ini tetap ada BPR yang ditutup dibandingkan dengan bank umum, sebagian besar BPR yang ditutup adalah akibat fraud, walaupun secara kuantitas telah mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya. Penelitian ini berdasarkan pendekatan fraud dan pengawasan mencakup teori agensi, teori asimetri informasi, dan nilai-nilai (value) pada good corporate governance, khususnya pada Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka kesenjangan penelitian (research gap) yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perlunya mengkaji kebijakan perbankan mikro khususnya bagi BPR yang menjadi penyebab terjadinya fraud dengan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan kecenderungan terjadinya fraud pada Bank Perkreditan Rakyat di Indonesia. Studi kebijakan ini diharapkan dapat menganalisis serta efektivitas peranan aktor pengambil kebijakan pengawasan dan pelaksana kebijakan pengawasan dan dampak penetapan kebijakan perbankan untuk BPR terhadap kemungkinan timbulnya fraud dalam pengelolaan BPR. 1.2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana keterkaitan antara pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap kejadian fraud di
24
BPR, khususnya pada periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2013?” Untuk menjawab masalah tersebut penulis mengemukakan beberapa pertanyaan penelitian. Secara spesifik pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apa tipologi fraud yang terjadi di BPR ? 2. Bagaimana bentuk kebijakan pengawasan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia? 3. Bagaimana bentuk keterkaitan antara berbagai jenis fraud dengan
pengawasan ? 1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian a.
Mendeskripsikan proses terjadinya fraud di Bank Perkreditan Rakyat ditinjau dari aspek kebijakan pengawasan.
b.
Mengevaluasi kebijakan pengawasan yang menjadi penyebab terjadinya fraud pada Bank Perkreditan Rakyat.
c.
Mengevaluasi bentuk keterkaitan antara berbagai jenis fraud dengan pengawasan ?
25
2.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Implikasi Praktis Penelitian
ini
diharapkan
pemikiran kepada
dapat
memberikan
sumbangan
dunia perbankan dan khususnya kepada
lembaga yang berwenang dalam menentukan kebijakan lebih lanjut terhadap pencegahan fraud pada BPR untuk menjamin penerapan good corporate governance dalam mendukung upaya implementasi prinsip kehati-hatian. b.
Secara Praktis Penelitian
ini
diharapkan
pemikiran kepada lembaga
yang
dapat
memberikan
sumbangan
dunia perbankan dan khususnya kepada
berwenang
dalam
mewujudkan
kebijakan
perbankan mikro khususnya BPR agar dapat mendukung aktivitas perekonomian bagi sektor UMKM sesuai tujuan pembangunan perekonomian nasional.