BAB I PENDAHULUAN
Dalam penanganan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bermasalah yang tidak lagi dapat terselamatkan, ditempuh langkah terakhir dengan pencabutan izin usaha BPR yang dilanjutkan dengan proses likuidasi BPR. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini akan membahas mengenai kendala yang dihadapi dalam penyelesaian proses likuidasi BPR sebelum berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan serta perumusan strategi dan
langkah-langkah
yang dapat
diterapkan untuk
penyelesaian proses likuidasi BPR. Penelitian ini diawali dengan latar belakang dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, batasan dan metode penelitian serta metode analisis yang digunakan.
1.1. Latar Belakang Mengacu pada Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.10 tahun 1998 tentang Perbankan bahwa yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan tidak adanya izin BPR untuk berpartisipasi dalam lalu lintas pembayaran seperti yang kita kenal dengan sebutan kliring, maka produk dan layanan BPR yang ditawarkan kepada masyarakat dibatasi dalam
1
bentuk simpanan (tabungan, deposito) dan pinjaman (kredit usaha/mikro, kredit multiguna, dan sebagainya) maupun produk perbankan lainnya sesuai ketentuan. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) merupakan target pasar utama bagi BPR dimana kehadiran UKM sangat
bermanfaat untuk menggerakkan roda
perekonomian, pemerataan distribusi ekonomi dan membuat masyarakat Indonesia mandiri sehingga tidak bergantung pada produk-produk maupun komoditas impor. Bank Umum hingga saat ini belum dinilai maksimal dalam penyaluran kredit kepada UMKM sehingga Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.14/22/PBI/2012 mengenai kebijakan yang akan mewajibkan bank umum untuk menyalurkan kredit untuk UMKM sebesar minimal 20% dari total kreditnya guna mendorong pertumbuhan sektor tersebut, dimulai dengan minimal penyaluran kredit sebesar 5% di tahun 2015, 10% di tahun 2016, kemudian 15% di tahun 2017 dan minimal 20% di tahun 2018. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan BPR di Indonesia dimulai pada tahun 1988 saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui Keputusan Presiden RI Nomor 38. Sesuai UndangUndang No 7 Tahun 1992 yang sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No 10 Tahun 1998, “BPR adalah bank yang menerima pinjaman hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu”. Kebijakan dan Undang-Undang tersebut memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha BPR di Indonesia. Seiring berjalan, jumlah BPR di seluruh Indonesia menurut data Statistik Perbankan Indonesia per bulan Maret 2014 adalah sebanyak 1.636 unit. Jumlah
2
BPR yang banyak ini juga dilatarbelakangi aturan modal disetor untuk mendirikan BPR berdasarkan Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, yaitu sekurang-kurangnya Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan modal disetor minimum ini diperbarui dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 menjadi sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta) sampai Rp 5.000.000.000,- (lima milyar) tergantung wilayah operasional. BPR sebagai sebagai lembaga penghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana dan menyalurkannya kepada pihak yang kekurangan dana (intermediary function) membutuhkan pengelolaan berdasar prinsip kehatihatian. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank ditandai dengan keluarnya Paket Kebijakan Februari 1991 dan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Prinsip kehati-hatian bank meliputi ketentuan mengenai permodalan, likuiditas, manajemen risiko, struktur perbankan, syarat pendirian, dan lain sebagainya. Kedua ketentuan tersebut berlaku pada Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sehubungan dengan banyaknya jumlah BPR di Indonesia, berdasarkan catatan/dokumentasi hasil pengawasan terhadap BPR yang dilakukan oleh para pengawas bank yang tersebar di seluruh Indonesia baik yang berada di Kantor Perwakilan Bank Indonesia/Kantor Regional OJK maupun BPR dalam pengawasan Kantor Pusat, masih ditemui adanya pelanggaran-pelanggaran ketentuan perbankan yang dilakukan baik oleh pegawai, pengurus maupun pemilik BPR. Beberapa contoh pelanggaran ketentuan perbankan yang terjadi misalnya pemberian kredit yang tidak menaati prinsip kehati-hatian, penyaluran
3
kredit yang melampaui BMPK (Batas Maksimal Pemberian Kredit), agunan kredit yang tidak diikat dengan sempurna ataupun pemilik BPR yang menggunakan aset BPR untuk kepentingan pribadi maupun grup usaha terkait. Dampak dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan tersebut secara langsung menyebabkan kondisi keuangan BPR yang tidak sehat, pengenaan denda kepada BPR sesuai ketentuan dan apabila kondisi BPR sudah tidak dapat lagi diselamatkan maka ditempuh langkah pencabutan izin usaha yang dilanjutkan dengan proses likuidasi. Lemahnya penerapan prinsip kehati-hatian bank pada BPR ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 menjadi penyebab banyak BPR yang dilikuidasi. Lemahnya penerapan prinsip tersebut dapat terlihat dari catatan/dokumentasi hasil pengawasan BI/OJK terhadap BPR yang termasuk dalam kategori Dalam Perhatian Khusus (BPR DPK) dimana ditemui beberapa pelanggaran yang menyebabkan kondisi keuangan BPR menjadi tidak sehat, antara lain kurangnya kemampuan manajemen dalam mengelola BPR, analisa pemberian kredit yang tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian, adanya intervensi pemegang saham dalam kegiatan internal bank, dan penyalahgunaan wewenang dari pejabat BPR. Hal ini menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR menurun, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan dalam rangka pemulihan kepercayaan masyarakat melalui Keputusan Presiden RI Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat. Kepres ini bertujuan agar dana nasabah dijamin oleh pemerintah apabila terjadi likuidasi BPR. Pada tahun 2005, penjaminan simpanan nasabah tersebut
4
dialihkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai amanat UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Likuidasi bank menurut Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 1999 adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran badan hukum bank. Berdasarkan dokumentasi yang dimiliki oleh Bank Indonesia terkait pencabutan izin usaha BPR, bahwa sejak tanggal 24 Januari 1987 sampai dengan berlakunya Undang-Undang No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Bank Indonesia telah mencabut izin usaha dan melikuidasi sebanyak 318 BPR. Adapun BPR yang dilikuidasi setelah tanggal 22 September 2005, berdasarkan Undang-Undang LPS maka penanganan likuidasi BPR tersebut diselesaikan oleh LPS. Sampai dengan beralihnya fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 31 Desember 2013, masih terdapat 123 BPR Dalam Likuidasi (BPR DL) yang proses likuidasinya belum dapat diselesaikan sehingga proses penyelesaian likuidasinya dilanjutkan oleh OJK. Dari hasil pemetaan kewajiban BPR DL yang telah dilakukan, dari 123 BPR DL yang belum selesai proses likuidasinya, terdapat 19 BPR DL berbentuk badan hukum Perusahaan Daerah (PD) yang belum melunasi kewajibannya kepada Pemerintah dengan sisa kewajiban total sebesar Rp10,68 miliar. Nominal kewajiban PD BPR DL tersebut sangat potensial untuk dilunasi seluruhnya sampai dengan tahun 2016, mengingat Pemilik PD BPR DL telah membuat komitmen pelunasan yang bersumber dari APBD.
5
Selanjutnya, masih terdapat 33 BPR DL berbentuk badan hukum PT yang masih memiliki kewajiban kepada Pemerintah dengan total sebesar Rp83,96 miliar. OJK telah melakukan koordinasi langsung dengan Tim Likuidasi dan Pemilik/Pemegang Saham dalam rangka pembuatan komitmen pelunasan kewajiban dan penyelesaian proses likuidasi. Sisa kewajiban sebesar Rp83,96 miliar akan diusahakan pengembaliannya melalui penagihan piutang, pencairan aset PT BPR DL yang masih tersisa maupun harta pribadi Pemegang Saham (PS) apabila PS terbukti dan bertanggung jawab atas penyebab BPR bangkrut. Di lain hal, terdapat kendala yang ditemui dalam proses penyelesaian likuidasi BPR, misalnya dokumen-dokumen bank yang tidak lengkap, Tim Likuidasi yang belum terbentuk, mengundurkan diri maupun membubarkan diri, Pemegang Saham BPR yang tidak kooperatif, aset BPR DL yang sudah tidak ada/pengikatannya bermasalah serta permasalahan-permasalahan lainnya. Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga baru yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan sehingga stabilitas sistem keuangan dapat tetap terjaga, berusaha mencari strategi terbaik dalam penyelesaian proses likuidasi BPR DL dan mengoptimalkan pengembalian kewajiban BPR DL kepada Pemerintah.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan ragam kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian likuidasi BPR DL menyebabkan adanya pending penyelesaian BPR DL yang
6
cukup banyak, sementara kewenangan proses penyelesaian likuidasi bank saat ini telah diambil alih oleh LPS. OJK memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan, dalam hal ini dikhususkan pada bank yang masih hidup/masih beroperasi. Permasalahan dalam thesis ini adalah kendala-kendala dalam proses penyelesaian likuidasi BPR DL dan identifikasi strategi yang efektif dalam penyelesaian proses likuidasi 123 BPR DL.
1.3. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Apakah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi BPR DL? 2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman dalam penyelesaian proses likuidasi BPR DL? 3. Bagaimana strategi yang efektif diterapkan Otoritas Jasa Keuangan dalam penyelesaian proses likuidasi BPR DL?
Tujuan Penelitian ini adalah : 1.
Untuk menganalisis kendala yang dihadapi dalam penyelesaian proses likuidasi BPR DL dan mencari solusi atas kendala dimaksud.
7
2.
Menganalisis faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman dalam penyelesaian proses likuidasi BPR DL sebagai dasar untuk merumuskan strategi penyelesaian proses likuidasi BPR DL.
3.
Menentukan strategi efektif yang dapat diterapkan OJK dalam menyelesaikan proses likuidasi BPR DL.
1.4. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat digunakan sebagai berikut: 1. Manfaat bagi akademisi Diharapkan penelitian ini dapat menjadi tambahan literatur yang berfungsi sebagai tambahan referensi bagi akademisi yang tertarik untuk melakukan penelitian secara lebih lanjut di bidang ini. 2. Manfaat bagi praktisi Diharapkan penelitian ini berguna sebagai masukan informasi bagi OJK untuk perumusan strategi yang efektif dalamrangka mempercepat penyelesaian proses likuidasi BPR DL
1.5. Penjelasan Metoda Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif atas kasus BPR DL. Data deskriptif, yaitu berupa informasi lisan dari hasil wawancara, hasil pemetaan kondisi dan permasalahan BPR DL dan data pokok/asli yang tidak diubah berupa dokumen-dokumen BPR DL.
8
1.5.1. Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan Konsultan Likuidasi BPR DL di OJK maupun Tim Likuidasi BPR DL dan melakukan observasi ke lapangan (kantor BPR DL). Data sekunder didapatkan dari arsip data perusahaan, catatan-catatan, laporan dan data-data lain yang dibuat dan didokumentasikan oleh OJK (dahulu Bank Indonesia).
1.5.2. Metode Pengumpulan Data Wawancara (interview) Peneliti melakukan wawancara dengan Konsultan Likuidasi BPR DL di OJKmaupun Tim Likuidasi BPR DL. Wawancara ini dilakukan untuk menggali data dan informasi untuk menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian likuidasi BPR DL dan merumuskan strategi yang efektif untuk mempercepat penyelesaian proses likuidasi BPR DL.
1.5.3. Metode Analisis Data Analisis data dengan menggunakan deskriptif kualitatif dengan pendekatan strategi dari analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan Matriks TOWS.
9
1.6. Sistematika Tesis Thesis ini dibagi menjadi 5 (lima) bab beserta lampiran pendukung yang diperlukan. Adapun susunan selengkapnya, tesis ini terbagi dalam sistematika sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN Dalam bab ini akan menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan dan tujuan penelitian, metoda penelitian, manfaat penelitian dan susunan penelitian. BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai perbandingan program penyelesaian krisis perbankan di beberapa negara, Bank Perkreditan Rakyat, likuidasi bank, ketentuan dan peraturan yang mendasarinya, teori dan implementasi analisa SWOT, serta matrik TOWS. BAB III: PROFIL INSTITUSI Bab ini berisi pemaparan profil Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang memiliki fungsi dan kewenangan pengawasan bank, mencabut izin usaha bank dan mengawasi proses likuidasi bank. Kewenangan proses likuidasi bank sejak berlakunya UU No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) beralih ke LPS, kecuali untuk bank yang dilikuidasi sebelum berlakunya UU LPS. Selanjutnya, berdasarkan UU OJK No.21 Tahun 2011, sejak tanggal 31 Desember 2013 seluruh kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia tersebut beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai
10
institusi negara yang menangani proses penyelesaian likuidasi Bank Perkreditan Rakyat Dalam Likuidasi. BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan memuat hasil penelitian dan pembahasan mengenai kendala yang dihadapi dalam proses penyelesaian likuidasi BPR DL yang disajikan dalam analisa SWOT dan matrik TOWS. Selanjutnya hasil perumusan strategi penyelesaian likuidasi BPR DL yang diperoleh dari hasil pemetaan kondisi BPR DL, kendala BPR DL serta tahap proses likuidasi BPR DL yang telah dicapai. BAB V: SIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan disampaikan beberapa kesimpulan dari hasil penelitian dan saran ke depannya dalam penyelesaian proses likuidasi BPR DL.
11