Laporan Penelitian
Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Diserahkan kepada: GTZ dan BANK INDONESIA
Disiapkan oleh: Bramantyo Djohanputro & Ronny Kountur
Juli 2007
RINGKASAN EKSEKUTIF
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya NPL Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, perumusan ketentuan Bank Indonesia akan lebih efektif dalam mengarahkan BPR dalam menekan NPL yang saat ini cukup tinggi. Penelitian ini mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab NPL ke dalam tiga kategori, yaitu faktor internal BPR, faktor debitur, dan faktor eksternal selain debitur. Data terkait dengan faktor-faktor tersebut dikumpulkan dari tiga sumber, yaitu para pemeriksa Bank Indonesia, pengurus BPR, dan nasabah BPR. Metode kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Metode kuantitatif multiple regression dengan dummy variables dan logistic regression. Data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada 223 BPR dan 917 nasabah sampel yang tersebar di 7 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
Dummy variables digunakan untuk variabel-variabel
kualitatif yang perlu diuji dan variabel tersebut dapat dikategorikan ke dalam nilai 1 dan 0. Dalam analisis kuantitatif, terdapat dua model yang digunakan. Model pertama menggunakan NPL sebagai variabel dependen dan 30 variabel independen yang diturunkan dari kondisi internal BPR. Model kedua menggunakan tingkat kolektibilitas sebagai variabel dependen dan 32 variabel independen yang diturunkan dari kondisi debitur maupun kondisi eksternal selain debitur. Kedua model
tersebut
menghasilkan
12
variabel
independen
yang
signifikan
mempengaruhi NPL atau tingkat kolektibilitas kredit BPR dengan tingkat signifikansi maksimum 10%. Untuk mengkonfirmasi hasil analisa regresi dan mendapatkan variabel lain yang belum tercakup dan tidak diwakili melalui analisis secara kuantitatif, serta untuk mengkonfirmasi keterkaitan antar variabel tersebut, penelitian ini menggunakan i
metode in-depth interview melalui focus group discussion dengan peserta para Pengawas BPR dari Bank Indonesia. Sampel penelitian dengan metode ini berasal dari 5 wilayah yang tersebar di Indonesia, yaitu Jabotabek, Bandung, Semarang, Medan, dan Palembang. Berdasarkan kedua metode analisis tersebut ditemukan 12 penyebab terjadinya NPL Keduabelas variabel tersebut adalah sebagai berikut: •
Integritas pemilik, pengurus dan pegawai BPR berupa intervensi yang bersumber pada tiga hal: ketidakjelasan prosedur, ketidakdisiplinan pencatatan, dan kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik.
•
Kompetensi pemilik dan pengurus, baik terhadap ketentuan Bank Indonesia maupun dalam menjalankan proses bisnis BPR.
•
Pergantian direksi BPR yang dapat menyebabkan perpindahan nasabah dengan kolektibilitas yang lancar.
•
Kompetensi pegawai BPR dalam menerapkan prosedur, penerapan 5C, pengawasan dan penanganan kredit bermasalah, dan administrasi.
•
Pembayaran dengan pemotongan gaji dari tabungan, sekalipun efektif tetapi menimbulkan potensi penyimpangan.
•
Pembayaran kredit dengan jemputan dapat berdampak negatif.
•
Strategi pemasaran BPR yang masih lemah dan perlu mendapat perhatian.
•
Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit yang lebih baik dan konsisten.
•
Pengikatan agunan yang tidak hati-hati.
•
Tidak mempertimbangkan kondisi nasabah
•
Kerjasama pemberian kredit dengan pihak luar.
•
Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery kredit.
Berdasarkan keduabelas sumber pemasalahan tersebut, rekomendasi yang dapat kami berikan kepada BI adalah sebagai berikut: -
Perlunya program sertifikasi dan pendidikan reguler baik untuk pengurus maupun karyawan BPR.
-
Perlunya pembinaan dan pengawasan terhadap ketersediaan kelengkapan sistem dan prosedur di BPR. ii
-
Perlunya pedoman mengenai agunan dan membantu ketersediaan lembaga fiducia atau sejenisnya.
-
Perlunya penelitian lanjutan untuk menguji beberapa faktor yang diduga mempengaruhi NPL tidak termasuk dalam ruang lingkup penelitian ini, yaitu asal daerah, usia, dan lainnya.
iii
DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif
Hal. i
Daftar Isi
iv
Pendahuluan
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Lingkup Penelitian
2
Kerangka Konsep
3
Metodologi
8
Metode Penelitian
8
Penentuan Sampel
9
Instrumen Penelitian
9
Prosedure Pengumpulan Data
10
Teknik Analisa Data
10
Diskripsi Model Prediksi
12
Gambaran Umum BPR dan Debitur yang Diteliti
12
Model Prediksi NPL BPR
18
Interpretasi Model Prediksi NPL BPR
23
Model Prediksi Kolektibilitas Kredit
26
Interpretasi Model Prediksi Kolektibilitas Kredit
30
Analisa Data In-Depth Interview
34
Penyebab NPL dari Kondisi Internal
34
Penyebab NPL dari Kondisi Eksternal
44
Hasil Temuan Penyebab NPL
48
Kesimpulan dan Saran
63
Kesimpulan
63
Rekomendasi
65
Lampiran 1: Kuesioner
69
Lampiran 2: Faktor-Faktor Kondisi Internal BPR
84
Lampiran 3: Hasil Pengolahan Data Kondisi Internal BPR dan Rasio NPL Lampiran 4: Faktor-Faktor Kondisi Debitur dan Kondisi Eksternal
87 92
iv
Lampiran 5: Hasil Pengolahan Data Kondisi Debitur dan Kondisi Eksternal Lampiran 6: Profil BPR
95 99
v
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) merupakan salah satu tulang punggung penting dalam pembangunan nasional. Di dalam kerangka perbankan nasional, seperti tertuang di dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan cetak biru Pengembangan BPR, BPR diharapkan untuk berperan serta dalam mendorong pembangunan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan memberikan akses finansial kepada mereka. Peran BPR juga menjadi semakin penting sejalan dengan program Pemerintah untuk mendukung dan mengembangkan UMKM sebagai salah satu tulang punggung perekonomian. Oleh karena itu, kinerja dan kesehatan BPR menjadi sangat penting untuk menjaga kesehatan sektor perbankan, yang berpengaruh pada pertumbuhan sektor UMKM. Dalam arahan Gubernur Bank Indonesia pada acara Bankers’ Dinner disampaikan bahwa sudah saatnya untuk menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di pedesaan, pedagang di pasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung kelontong) di barisan terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the Last First). Terkait dengan hal tersebut, serta dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga keuangan daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat penting.
BPR dianggap yang paling dekat dan paling
mengetahui nasabahnya dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Kinerja BPR secara nasional pada kurun waktu akhir tahun 2004 hingga 2006 menunjukkan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun demikian, hal tersebut diikuti dengan memburuknya rasio NPL BPR dari tahun ke tahun masingmasing sebesar 7,59%; 7,98% dan 9,73%. Berdasarkan review terhadap data NPL diketahui bahwa kredit dengan skala usaha mikro memiliki rasio NPL tertinggi dibandingkan skala usaha kecil dan menengah, dan apabila dirinci lebih lanjut rasio NPL terbesar disumbangkan oleh kredit mikro dengan plafon di bawah Rp. 5 juta. Selain itu, kredit dengan agunan memiliki NPL yang lebih tinggi (11,51%) dibandingkan dengan kredit tanpa agunan yang memiliki NPL (6,15%). 1
Buruknya rasio NPL tersebut tentunya cukup memprihatinkan mengingat berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR dalam melayani UMKM seperti beberapa kebijakan Bank Indonesia yaitu pelaksanaan Linkage Program, penyelenggaraan workshop/seminar pembiayaan sektor produktif dan relaksasi ketentuan dalam Paket Oktober-November 2006.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tingginya dan terus meningkatnya rasio NPL BPR di beberapa wilayah di Indonesia. 2. Agar Bank Indonesia dapat menyusun rumusan ketentuan dan kebijakan yang dapat mendorong terciptanya industri BPR yang sehat dan kuat yang tercermin dari rendahnya rasio NPL.
Lingkup Penelitian Lingkup penelitian ini mencakup seluruh BPR di Indonesia, namun tidak dilakukan terhadap seluruh populasi tetapi berdasarkan sampel. Penelitian ini mengambil sampel BPR dari 7 wilayah, yaitu Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi), Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Ketujuh wilayah tersebut dipilih dengan pertimbangan sebaran BPR terbanyak di Indonesia berada di ketujuh wilayah dengan rasio NPL yang cenderung meningkat sehingga dianggap sudah dapat merepresentasikan BPR di seluruh wilayah Indonesia. Dalam penelitian ini, faktor-faktor penyebab NPL dikelompokkan menjadi 3, yaitu: (1) kondisi internal BPR, (2) kondisi debitur, dan (3) faktor eksternal yang berhubungan dengan persaingan dan kondisi usaha. Faktor-faktor lain seperti budaya, latar belakang asal-usul
suku dan agama
pemilik/pengelola BPR, latar belakang asal-usul suku dan agama debitur dan peran Bank Indonesia tidak termasuk dalam lingkup penelitian ini. 2
Kerangka Konsep Non Performing Loan (NPL) adalah kredit yang masuk ke dalam kategori kredit Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Status NPL pada prinsipnya didasarkan pada ketepatan waktu bagi nasabah untuk membayarkan kewajiban, baik berupa pembayaran bunga maupun pengembalian pokok pinjaman. Proses pemberian dan pengelolaan kredit yang baik diharapkan dapat menekan NPL sekecil mungkin. Dengan kata lain, tingginya NPL sangat dipengaruhi oleh kemampuan BPR dalam menjalankan proses pemberian kredit dengan baik maupun dalam hal pengelolaan kredit, termasuk tindakan pemantauan (monitoring) setelah kredit disalurkan dan tindakan pengendalian bila terdapat indikasi penyimpangan kredit maupun indikasi gagal bayar. Faktor-faktor utama penyebab NPL dapat dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu: faktor internal BPR, faktor kondisi debitur (termasuk calon debitur), dan faktor eksternal. Kerangka konsep penyebab NPL ditunjukkan dalam Gambar 1. Faktor internal BPR adalah hal-hal berkaitan dengan kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) BPR itu sendiri, kualitas proses bisnis BPR, dan keterlibatan pihak lain dalam bisnis. Kondisi SDM menyangkut seberapa jauh integritas, kelalaian, kesengajaan, dan kemungkinan melakukan moral hazard dari komisaris, direksi, dan karyawan untuk memenuhi kebutuhan BPR dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas proses bisnis BPR berkaitan dengan strategi pemasaran yang diterapkan, kualitas proses persetujuan kredit, syarat pemberian kredit, kualitas proses penagihan, dan proses pengawasan dan pengendalian. Sedangkan keterlibatan pihak lain dalam bisnis BPR terutama terkait dengan penerapan linkage program dalam pengembangan usaha BPR melalui kerjasama dengan pihak lain seperti bank umum.
3
Gambar 1 KERANGKA KONSEP PENYEBAB NPL BPR
KONDISI INTERNAL BPR
• • • • • • • •
Proses Persetujuan Kredit Syarat Pemberian Kredit Proses Penagihan Strategi Pemasaran Peran Pemilik/Pengelola Kapasitas AO Proses Pengendalian Linkage Program
KONDISI EKSTERNAL BPR DEBITUR
• • • • • •
Integritas Debitur Keadaan Debitur Profil Kredit Kategori Kredit Pemanfaatan Kredit Pengelolaan Administrasi Kredit
LINGKUNGAN
• •
Persaingan Kondisi Usaha
4
Faktor kondisi debitur umumnya dikategorikan berdasarkan 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition). Pada prakteknya kelima komponen C tersebut diterjemahkan ke dalam credit rating atau credit scoring sehingga BPR dapat menilai risiko yang akan ditanggungnya pada saat menyalurkan kredit kepada nasabah-nasabahnya. Dengan demikian, BPR dapat memutuskan pemberian kredit ke nasabah yang bersangkutan, mengenai jumlah pinjaman, suku bunga, dan jatuh tempo, berdasarkan rating atau scoring tersebut. Penerapan 5C bagi nasabah besar (biasanya oleh bank umum) bisa berbeda dengan penerapannya bagi nasabah mikro, kecil, dan menengah karena masalah teknis. Misalnya, ketidaktersediaan laporan keuangan, dan pengelolaan keuangan yang tidak terpisah antara keuangan usaha dan keuangan rumah tangga. Dalam penelitian ini, faktor kondisi debitur adalah integritas debitur, keadaan debitur, profil kredit, kategori kredit, pemanfaatan kredit, dan pengelolaan administrasi kredit. Faktor eksternal pada dasarnya dapat dimasukkan ke dalam komponen condition. Termasuk ke dalam faktor eksternal ini adalah persaingan usaha, kondisi usaha, dan faktor alam. Istilah-istilah yang digunakan pada kerangka konsep diatas diartikan sebagai berikut: Proses Persetujuan Kredit. Proses persetujuan kredit adalah cara BPR melakukan penilaian terhadap usulan kredit. Dalam proses persetujuan kredit yang ingin diketahui adalah jenjang persetujuan kredit, waktu persetujuan kredit dalam hari, intervensi pemilik, dan intervensi komisaris. Syarat Pemberian Kredit. Dalam memberikan kredit, BPR menilai syarat utama yang harus dipenuhi debitur. Beberapa syarat yang ingin dilihat antara lain nilai agunan, kesanggupan debitur memperoleh pendapatan, riwayat debitur, keabsahan/legalitas usaha, karakter calon debitur, dan hubungan antara pengurus/pemilik BPR dengan calon debitur. Proses Penagihan. Proses penagihan adalah cara BPR menagih kredit dari debitur. Hal-hal yang dilihat dalam proses penagihan adalah cara pembayaran angsuran, adanya kunjungan rutin account officer (AO) dalam mengamati kemampuan debitur membayar, sistem insentif bagi AO yang berhasil menagih, serta adanya petugas khusus untuk menagih angsuran.
5
Strategi Pemasaran. Strategi pemasaran adalah cara yang digunakan BPR dalam menjaring debitur. Strategi pemasaran menyangkut target market keterlibatan direksi dalam pemasaran dan penyebaran lokasi target market. Peran Pemilik/Pengelola.
Peran pemilik/pengelola mencakup keterlibatan pemilik/pengelola
dalam operasional BPR dan bisnis lain yang dimiliki oleh pemilik atau komisaris selain bisnis BPR, pemenuhan sertifikasi dari Lembaga Sertifikasi Profesi oleh Direksi BPR serta perputaran direksi selama tiga tahun terakhir. Kapasitas Account Officer (AO). Kapasitas AO mencakup tingkat pendidikan AO, pelatihan kepada AO, rasio antara AO dan nasabahnya, tingkat perputaran AO selama satu tahun serta masa kerja AO (dalam tahun). Proses Pengendalian.
Proses pengendalian mencakup pengendalian BPR atas kegiatan
operasionalnya serta pemeriksaan terhadap pekerjaan AO. Linkage Program. Keikutsertaan BPR dalam kerjasama Linkage Program dengan Bank Umum. Integritas Debitur. Itikad debitur dan tanggung jawab debitur untuk mengembalikan kreditnya. Keadaan Debitur. Keadaan debitur mencakup jangka waktu debitur menjadi nasabah BPR, hubungan antar debitur dan pemilik/pengelola BPR, status kepemilikan tempat usaha dan tempat tinggal debitur serta kondisi debitur. Profil Kredit. Profil kredit menyangkut besarnya plafon kredit, besarnya baki debit, besarnya suku bunga yang diberikan, besarnya biaya tambahan yang dibebankan, dan jangka waktu pelunasan kredit (dalam bulan). Kategori Kredit. Kategori kredit mencakup pola pemberian kredit (kelompok atau individu), kepemilikan agunan, nilai agunan, asuransi kredit dan status kredit (baru atau pengulangan). Pemanfaatan Kredit. Pemanfaatan kredit mencakup tujuan penggunaan kredit (konsumsi, modal kerja, investasi) dan sektor pembiayaan kredit (pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa, lainnya). 6
Pengelolaan Administrasi Kredit. Pengelolaan keuangan debitur untuk pembayaran angsurannya (terpisah dari keuangan keluarga atau menyatu). Persaingan. Persaingan mencakup pesaing utama dan tingkat persaingan. Kondisi Usaha. Kondisi usaha yang dialami debitur pada saat dia menunggak.
7
METODOLOGI
Metodologi menyangkut metode penelitian yang digunakan, teknik menentukan sampel dan besar sampel, instrumen yang digunakan, prosedur pengumpulan data, serta teknik analisa data yang digunakan.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan penggunaan kedua pendekatan tersebut adalah untuk saling melengkapi informasi dan analisis. Dalam pendekatan kualitatif, penelitian ini menerapkan in-depth group interview melalui Focus Group Discussion (FGD) kepada para pengawas BPR di 5 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Metode ini digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang dapat mempengaruhi NPL BPR. Dalam FGD ini, pengawas BPR dipilih karena memiliki akumulasi informasi, pengetahuan, dan pengalaman mengenai bisnis BPR dan hal-hal yang terkait dengan kinerja BPR, khususnya dalam aspek NPL. Melalui pendekatan kualitatif dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya NPL, baik faktor yang sulit dikuantifikasi maupun faktor yang dapat dikuantifikasi. Dalam hal faktor yang dapat dikuantifikasi, temuan faktor penyebab NPL dengan pendekatan kualitatif dapat memperkuat kesimpulan mengenai pengaruh faktor tersebut terhadap NPL. Pendekatan kuantitatif diterapkan dengan mengunakan model multiple regression dan logistic regression. Variabel-variabel yang bersifat kualitatif dikonversi menjadi variabel kuantitatif dengan menggunakan dummy variable. Dengan pendekatan kuantitatif diharapkan dapat ditemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab NPL, dan faktor-faktor tersebut dapat digeneralisasi atau diberlakukan secara umum. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Bank Indonesia dalam membuat ketentuan atau kebijakan bagi BPR.
8
Penentuan Sampel Pengawas-pengawas Bank Indonesia di 5 wilayah yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan dipilih untuk dijadikan responden dalam in-depth group interveiw. Pengalaman dan fakta-fakta yang mereka temukan di lapangan ketika memeriksa BPR digali secara berkelompok dalam FGD. Beberapa variabel yang dianggap berpengaruh pada NPL kemudian diuji pada sampel yang diambil dari 7 wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada ketujuh wilayah tersebut, terdapat kecenderungan bahwa rasio NPL terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir dengan jumlah BPR yang cukup besar di wilayah dimaksud. Dengan demikian, pemilihan sampel di ketujuh wilayah tersebut diharapkan dapat menggali faktor-faktor penyebab NPL secara komprehensif. Sampel yang terpilih terdiri dari 223 BPR dan 915 debitur yang tersebar di 7 wilayah tersebut.
Gambaran umum tentang sampel dapat dilihat pada Lampiran 6.
Profil yang
digambarkan menyangkut bentuk organisasi BPR, jumlah kreditnya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit, cara pembayaran angsuran kredit, sertifikasi direksi, karakteristik debitur utama, kolektibilitas kredit, dan linkage program. Selain itu, juga disajikan gambaran tentang jenis usaha debitur, suku bunga yang dikenakan kepada debitur, persentase tambahan biaya-biaya pinjaman selain bunga, tujuan penggunaan kredit, dan sektor ekonomi yang dibiayai oleh pinjaman. Sedangkan keterangan lebih terperienci tentang profil BPR di masing-masing wilayah yang diambil sebagai sampel dari penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 7.
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner merupakan hasil dari FGD yang dilakukan kepada para direksi dan komisaris BPR. Dari hasil FGD diperoleh beberapa pertanyaan yang dikelompokkan kedalam 3 kelompok pertanyaan yaitu (1) pertanyaan-pertanyaan tentang “Proses Pemberian Kredit,” (2) pertanyaan-pertanyaan tentang “Status Kredit Debitur,” dan (3) pertanyaan-pertanyaan tentang “Nasabah BPR.” Masing-masing kelompok pertanyaan ini kemudian menjadi kuesioner sehingga 9
terdapat 3 kuesioner. Validitas dari kuesioner diuji melalui pilot testing kepada beberapa direksi dan komisaris BPR yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Maksud dari pilot testing ini adalah untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner sudah baik secara format dan benar secara content. Masukan dari pilot testing ini kemudian digunakan untuk memperbaiki kuesioner yang telah dibuat. Kuesioner akhir dihasilkan dan terdiri dari tiga jenis, masing-masing menyangkut (1) Proses Pemberian Kredit, (2) Status Kredit Debitur, dan (3) Nasabah BPR. Kuesioner pertama dan kedua ditujukan kepada BPR untuk diisi sedangkan kuesioner ketiga ditujukan kepada. Contoh kuesioner disajikan di Lampiran 2.
Prosedur Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui in-depth interview dan melalui kuesioner. In-depth interview dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dilakukan terhadap para pengawas BPR di 7 wilayah. FGD menghasilkan sejumlah faktor atau variabel yang menjadi penyebab NPL berdasarkan pengalaman pemeriksa BPR. Faktor-faktor atau variabel tersebut diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi faktor yang dituangkan ke dalam kuesioner supaya hasil FGD dapat dipadukan dengan hasil dari kuesioner. Pengisian kuesioner dilakukan oleh peneliti yang secara langsung melakukan wawancara kepada responden sekaligus melakukan pengisian kuesioner berdasarkan hasil wawancara tersebut.
Teknik ini dilakukan untuk meminimalisasi kesalahan dalam
menginterpretasikan pertanyaan serta mendapatkan hasil yang akurat. Sebelumnya diadakan pembekalan kepada para pewawancara mengenai panduan pengisian kuesioner, cara input data serta input data pada worksheet.
Teknik Analisa Data Data dianalisa dengan dua pendekatan yaitu pendekatan (1) kuantitatif dan (2) pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kualitatif, analisa data dilakukan dengan mengumpulkan temuantemuan berupa pernyataan-pernyataan pemeriksa Bank Indonesia yang mengindikasikan 10
penyebab NPL yang dicatat dari beberapa kali in-depth interview yang dilakukan dalam bentuk FGD. Hasil temuan pada catatan-catatan yang dikumpulkan tersebut kemudian disusun sesuai dengan kategori yang telah ditetapkan, yaitu faktor internal BPR, faktor eksternal BPR yang yang berkaitan dengan debitur dan lingkungan. Catatan yang telah dikumpulkan kemudian disusun sesuai dengan coding tertentu. Cara ini dilakukan untuk menjamin bahwa penelitian ini objective, auditable, dan credible sebagai syarat dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif sangat rentan terhadap subyektifitas, itu sebabnya diperlukan suatu pendekatan yang dapat meminimalisasi subjektifitas ini sehingga hasil yang diperoleh dapat dianggap obyektif.
Obyektifitas penelitian kualitatif harus dapat dibuktikan sehingga dapat
diperiksa kebenarannya atau dikenal dengan istilah auditable (dapat diperiksa kebenarannya). Penggunaan coding dan kategorisasi adalah salah satu cara untuk menjamin objectivity dan auditability penelitian kualitatif.
Oleh karena penelitian kualitatif sangat rentan terhadap
subyektifitas, penelitian kualitatif harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman dan telah dilatih dalam melakukan penelitian kualitatif sehingga kredibilitas hasil penelitian dapat dijamin. Pada pendekatan kuantitatif, data dianalisa dengan menggunakan teknik statistik yang diuji pada tingkat signifikansi (level of significant) 10% atau pada tingkat keyakinan (confidence level) 90%. Teknik statistik yang digunakan adalah: 1. Multiple regression with dummy variables, dan 2. Logistic regression. Untuk mempermudah pengolahan data kuantitatif, piranti lunak SPSS (statistical program for social sciences) digunakan.
11
DESKRIPSI MODEL PREDIKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor berpengaruh terhadap NPL BPR di Indonesia. Faktor-faktor ini dikelompokkan ke dalam 2 kelompok besar yaitu faktor-faktor internal BPR dan faktor-faktor eksternal BPR. Faktor eksternal terdiri dari 2 aspek yaitu debitur dan lingkungan sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 1 di bab pendahuluan. Variabel-variabel yang berhubungan dengan kondisi internal BPR digunakan untuk menentukan Rasio NPL. Sedangkan variabel-variabel yang berhubungan dengan kondisi eksternal BPR (debitur dan lingkungan) digunakan untuk menentukan Kolektibilitas Kredit. Rasio NPL adalah variabel dependen yang digunakan untuk BPR sedangkan Kolektibilitas Kredit adalah variabel dependen yang digunakan untuk nasabah sebagai pihak eksternal.
Namun sebelum melihat pengaruh
kondisi internal dan eksternal BPR terhadap NPL dan kolektibilitas kredit, akan diberikan gambaran umum tentang BPR dan debitur yang diteliti.
Gambaran Umum BPR dan Debitur yang Diteliti Penelitian tentang penyebab tingginya rasio NPL di Indonesia dilakukan dengan memperoleh data dari tujuh wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Responden terdiri dari direksi BPR dan debitur BPR.
Masing-masing wilayah memiliki profil BPRnya sendiri-sendiri sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran 6. Masing-masing wilayah mungkin saja memiliki keunikannya sendiri-sendiri atau bisa saja malah tidak ada perbedaan. Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan analisa apakah memang ada perbedaan yang menyolok untuk beberapa aspek. Setelah dianalisa didapati bahwa:
•
Sebagian besar BPR yang diteliti berbentuk perseroan terbatas (PT), bahkan dibeberapa wilayah seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan seluruh BPR yang ditieliti berbentuk PT. Kecuali didaerah NTB, sebagian besar BPR berbentuk perusahaan daerah (PD). 12
•
Dibeberapa wilayah, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit berkisar antara 1 s/d 3 hari seperti didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Namun didaerah lain, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit antara 4 s/d 7 hari seperti didaerah Jabotabek, Sumatera Utara, dan NTB.
•
Sebagian besar BPR menerapkan cara pembayaran angsuran dengan meminta debitur menyetor langsung ke BPR. Ini berlaku diseluruh wilayah. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengambil ke debitur, sedangkan yang dipotong langsung pada gaji atau tabungan hanya sedikit.
Khusus
daerah Jabotabek dan Jawa Barat, ada beberapa BPR yang pembayaran cicilan kreditnya dilakukan dengan mentransfer ke rekening BPR.
•
Masyarakat umum (mereka yang tidak punya hubungan istimewa dengan BPR seperti non karyawan/kerabat) adalah debitur utama BPR. Rata-rata 85% debitur BPR adalah masyarakat umum. Ini berlaku diseluruh wilayah yang diteliti.
•
BPR yang tidak mengikuti linkage program lebih banyak dari pada yang mengikuti linkage program, bahkan dibeberapa daerah seperti Sulawesi Selatan dan NTB perbedaannya sangat menyolok yaitu 2 : 8.
•
Sebagian besar (54 s/d 83 persen) BPR di ketujuh wilayah yang diteliti memiliki debitur yang berusaha pada bidang perdagangan. Hanya sedikit yang bergerak dalam bidang pertanian, industri, dan jasa. Yang bergerak dalam bidang ini hanya berkisar antara 2 s/d 16 persen.
•
Suku bunga per bulan yang dikenakan berkisar antara 1 s/d 4 persen walaupun ada sebagian kecil yang mengenakan diatas 4 persen. Sebagian besar BPR mengenakan biaya bunga antara 2 s/d 3 persen flat perbulan. Kecuali wilayah Jawa Tengah dan Sumatera Utara sebagian besar BPRnya mengenakan biaya bunga antara 1 s/d 2 persen flat per bulan.
13
•
Pada umumnya BPR mengenakan biaya tambahan diluar biaya bunga berkisar antara 1 s/d 3 persen dari nilai pinjaman yang dibayarkan sekali saja (bukan per bulan). Namun ada juga yang tidak mengenakan biaya tambahan. Khusus wilayah Jabotabek, Jawa Barat dan Sumatera Selatan cukup banyak (18 s/d 23 persen) BPR yang mengenakan biaya tambahan lebih besar dari 4 persen.
•
Tujuan penggunaan kredit pada umumnya untuk modal kerja. 64 s/d 89 persen debitur diseluruh wilayah menggunakan kredit untuk modal kerja. Sedangkan untuk konsumsi rata-rata hanya 11 persen. Investasi rata-rata hanya 4 persen.
•
Sektor ekonomi debitur pada umumnya perdagangan. Itu berarti pinjaman terbesar adalah untuk modal kerja pada sektor ekonomi perdangangan dan ini berlaku diseluruh wilayah yang diteliti.
Menyangkut sebaran rasio NPL yang rendah dan tinggi, dapat dilihat pada Gambar 2. Wilayah Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan NTB jumlah BPR memiliki rasio NPL yang tinggi/high (lebih besar atau sama dengan 10%) lebih banyak dibandingkan BPR dengan NPL yang rendah (lebih kecil dari 10%). Sedangkan sebaran debitur di ketujuh wilayah yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 3.
Pemilihan debitur sampel didasarkan atas populasi
debitur yang berada di setiap wilayah dan karena jumlah debitur di Jateng, Jabar dan Jabotabek lebih banyak maka nampak bahwa jumlah debitur terbesar berasal dari wilayah-wilayah tersebut. Sedangkan Sumatera Utara dan Sumatera Selatan hanya terpilih sedikit debitur.
14
Gambar 2 SEBARAN RASIO NPL RENDAH DAN TINGGI 35 30
BPR
25 20
Low
15
High
10 5
NT B
l Su lse
se l Su m
ut Su m
Ja te ng
Ja ba r
Ja bo t
ab ek
0
Wilayah
Gambar 3 SEBARAN DEBITUR 250
Debitur
200 150 100 50
NT B
Su lse l
se l Su m
ut Su m
Ja te ng
Ja ba r
Ja bo t
ab ek
0
Wilayah
Dari segi plafon kredit yang diberikan kepada debitur, dapat dilihat pada Gambar 4, dari 917 nasabah yang diteliti sebagian besar pinjaman berada pada plafon Rp 5 juta s/d Rp 25 juta dan pinjaman Rp 1 juta s/d Rp 5 juta. Proporsi kredit yang lancar dan tidak lancar hampir sama pada semua plafon dimana yang lancar lebih sedikit. Kecuali pada plafon Rp 50 s/d Rp 500 juta kredit yang lancar sama 15
dengan yang tidak lancar. Dari segi proporsi kredit yang lancar dan tidak lancar nampaknya tidak ada perbedaan yang berarti pada setiap plafon. Gambar 4 PLAFON KREDIT 350 300 Nasabah
250 200
Lancar
150
Tidak Lancar
100 50 0 < 1jt
1jt - 5jt
5jt 25jt
25jt 50jt
50jt 500jt
> 500jt
Plafon
Menyangkut jawaban yang diberikan oleh BPR maupun debitur, ada beberapa pertanyaan yang sama tentang debitur yang diberikan baik kepada BPR maupun kepada debitur. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan pengecekan silang (crosscheck). Gambar 5 menunjukkan jawaban yang diberikan BPR dan yang diberikan debitur untuk pertanyaan tentang kondisi usaha yang sedang dijalankan. Dari Gambar 5 tersebut dapat dilihat bahwa jawaban yang diberikan relatif hampir sama. Kecuali pada jawaban kategori A dan D (lihat Lampiran 1 tentang kuesioner) yang kelihatannya ada perbedaan namun tidak signifikan. Jika terjadi perbedaan maka jawaban yang dianggap lebih akurat adalah yang diberikan oleh debitur mengingat yang paling memahami kondisi usaha yang sedang dijalankan adalah debitur itu sendiri.
16
Gambar 5 PERBANDINGAN JAWABAN BPR DAN DEBITUR 400 350
Responden
300 250 BPR
200
Debitur
150 100 50 0 A
B
C
D
E
Kategori Pertanyaan
Dari segi jenis kelamin dan kolektibilitas kredit, didapati bahwa proporsi kredit yang lancar pada pria dan wanita sama saja. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa ada 209 debitur pria yang kreditnya lancar dibandingkan dengan 388 debitur pria yang kreditnya tidak lancar atau dengan proporsi 1 : 1,85. Sedangkan pada wanita, ada 112 debitur wanita yang lancar dibandingkan dengan 208 yang tidak lancar atau dengan proporsi yang sama yaitu 1 : 1,85.
17
Gambar 6 Jenis Kelamin dan Kolektibilitas 450 400 Jumlah Debitur
350 300 250 200 150 100 50 0 Pria
Wanita Jenis Kelamin Lancar
Tidak Lancar
Model Prediksi NPL BPR Besarnya rasio NPL suatu BPR ditentukan oleh kolektibilitas kreditnya karena rasio NPL adalah perbandingan antara kredit yang tidak lancar dengan jumlah kredit yang diberikan. Namun, ada beberapa variabel internal BPR yang bisa secara langsung dan tidak langsung berpengaruh pada rasio NPL sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 1 di bab pendahuluan. Disini akan diketahui apakah variabel-variabel internal BPR dari hasil in-depth interview dapat digunakan untuk menentukan rasio NPL? Hipotesa penelitian (H1) adalah variabel-variabel internal BPR dapat digunakan menentukan rasio NPL. Kuesioner tentang kondisi internal BPR diberikan kepada 223 BPR untuk diisi oleh direksi. Data yang diperoleh dari kuesioner diuji dengan teknik statistik multiple linear regression.
Teknik ini dipilih oleh karena variabel dependen
terukur dengan skala interval yang merupakan syarat menggunakan multiple regression.
Predictors (independent variables) pada umumnya dalam bentuk
nominal dan interval, oleh karena itu maka teknik regresi yang digunakan adalah multiple linear regression with dummy variable. 18
Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa dari 26 variabel yang berhubungan dengan kondisi internal BPR yang diteliti (sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran 2), 22 faktor ternyata tidak signifikan untuk digunakan dalam menentukan rasio NPL. Pengujian ini dilakukan dengan tingkat signifikansi 10% atau pada tingkat keyakinan 90% (lihat Lampiran 3). Hanya 4 variabel yang signifikan dimana satu variabel terdiri dari 2 variabel dummy sehingga seluruhnya ada 5 variabel yaitu (1) pembayaran kredit dengan jemputan, (2) cara pembayaran dengan potongan, (3) insentif kepada Account Officer (AO), (4) perputaran direksi, dan (5) program linkage. Oleh karena ada variabel-variabel yang signifikan analisa data diulang dengan hanya memasukkan variabel-variabel yang signifikan ini saja. Setelah variabelvariabel yang signifikan ini dimasukkan, uji ANOVA (uji F) seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 menunjukkan nilai yang signifikan yaitu 0,000 lebih kecil dari 0,10 tingkat signfikansi yang disyaratkan.
Itu berarti bahwa predictors (cara
pembayaran dengan menjemput, cara pembayaran dengan potongan, insentif yang diberikan kepada AO, perputaran direksi, dan program linkage) dapat digunakan untuk menentukan rasio NPL. Tabel 1 ANOVA(b) Mo del 1
Regression
Sum of Squares ,997
5
Mean Square ,199 ,023
df
Residual
4,924
213
Total
5,921
218
F 8,624
Sig. ,000(a)
a Predictors: (Constant), LINKAGE, TURNOVER, BAYARC, INSENTIF, BAYARB b Dependent Variable: RASIONPL
Hasil pengolahan data dengan SPSS seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2, selanjutnya menunjukkan nilai Adjusted R Square = 0,149 yang berarti bahwa 14,9% variasi pada rasio NPL bisa dijelaskan oleh variasi dari cara pembayaran dengan menjemput, cara pembayaran dengan potongan, pemberian insentif kepada AO, perputaran direksi, dan program linkage. kelihatan
kecil
namun
perlu
diketahui
bahwa
Walaupun angka ini
variabel
yang
terbesar
mempengaruhi rasio NPL adalah kolektibilitas kredit yang akan dianalisa 19
kemudian pada model penentu kolektibilitas kredit.
Faktor lain diluar
kolektibilitas kredit memang diharapkan tidak sebesar kolektibilitas kredit.
20
Tabel 2 Model Summary(b)
Model 1
R ,410(a)
R Square ,168
Adjusted R Square ,149
Std. Error of the Estimate ,15204
DurbinWatson 1,896
a Predictors: (Constant), LINKAGE, TURNOVER, BAYARC, INSENTIF, BAYARB b Dependent Variable: RASIONPL
Hasil uji t seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa kelima predictors
yaitu
cara
pembayaran
dengan
menjemput
(BAYARB),
cara
pembayaran dengan potongan (BAYARC), pemberian insentif kepada AO (INSENTIF), perputaran direksi (TURNDIR), dan program linkage (LINKAGE) signifikan dengan nilai dibawah tingkat signifikansi yang disyaratkan yaitu 0,10. Signifikan disini berarti bahwa variabel independen (predictors) yaitu kelima variabel diatas berpengaruh pada variabel dependen yaitu Rasio NPL. Tabel 3 Coefficients(a)
(Constant)
9,802
,000
BAYARB
,057
,025
,148
2,309
,022
,954
1,049
BAYARC
-,071
,032
-,142
-2,223
,027
,955
1,047
INSENTIF
-,037
,021
-,113
-1,781
,076
,973
1,028
,031
,014
,141
2,253
,025
,995
1,005
-,090
,022
-,262
-4,146
,000
,975
1,025
Mo del
1
Standar dized Coeffici ents
Unstandardiz ed Coefficients Std. B Error ,191 ,019
TURNOVE R LINKAGE
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Toleran ce VIF
a Dependent Variable: RASIONPL
Model regresi yang baik adalah predictors (independen variables) tidak saling berkorelasi atau dengan istilah statistik yang dikenal dengan multicollinearity. Angka VIF (Variance Inflation Factor) dan Tolerance pada Tabel 3 menunjukkan nilai VIF yang berada pada sekitar angka 1, dan nilai TOLERANCE mendekati 1. Ini berarti bahwa model regresi ini bebas collinearity.
Dengan kata lain, tidak
terdapat multicolinearity. Begitu juga dengan uji scedasticity sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2. Sebaran pada Gambar 2 tidak menunjukkan suatu pola tertentu yang teratur. Tidak ada pola tertentu pada titik-titik yang menyebar 21
diatas dan dibawah angka 0 dari sumbu Y. Ini berarti bahwa tidak terdapat heteroscedasticity.
Model regressi yang baik adalah jika tidak terdapat
heteroscedasticity yaitu error variance dari variabel-variabel independen maupun dependen sama.
Jika error variance berbeda, model regresi tidak dapat
memberikan hasil yang baik. Gambar 7
Scatterplot Dependent Variable: RASIONPL Regression Studentized Residual
6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
Setelah yakin bahwa model ini baik, maka model ini dapat digunakan untuk menentukan rasio NPL BPR sehingga model ini disebut MODEL PENENTU NPL, dengan persamaan sebagai berikut: YNPL = 0,191 + 0,057X1 – 0,071X2 – 0,037X3 + 0,031X4 – 0,09X5 Dimana: YNPL = rasio NPL X1
= Pembayaran kredit dengan jemputan. Jika ada, diberikan nilai 1 dan jika tidak ada diberikan nilai 0.
X2
= Pembayaran kredit dengan potongan. Jika BPR melakukan pembayaran kredit dengan memotong dari gaji atau tabungan debitur, maka nilai yang diberikan adalah 1 jika 22
tidak 0. Seandainya BPR memberlakukan cara lain selain pemotongan gaji/tabungan bersama-sama, maka yang dilihat adalah mana jumlah kredit yang paling besar. Jika kredit yang paling besar dilakukan dengan memotong gaji/tabungan maka nilai yang diberikan 1 jika tidak 0. X3
= Pemberian insentif kepada account officer atas kredit yang ditagih.
Jika BPR memberikan insentif atas kredit yang
ditagih kepada account officer maka nilai yang diberikan 1 jika tidak 0. X4
= Perputaran direksi. Berapa kali direksi keluar dalam tiga tahun terakhir.
X5
= Program linkage.
Apabila BPR menjalankan program
linkage maka nilai yang diberikan adalah 1 jika tidak 0.
Interpretasi Model Penentu NPL: Pembayaran Angsuran dengan Jemputan (X1) BPR yang menerapkan pembayaran angsuran kredit dengan menjemput cenderung meningkatkan rasio NPL.
Rasio NPL akan meningkat 0,284 atau
28,4% (diperoleh dari 0,191 + 0,057) jika BPR menerapkan pembayaran angsuran dengan jemputan.
Asumsi, variabel-variabel lain yang berpengaruh
pada rasio NPL tetap. Pembayaran angsuran kredit yang dilakukan dengan menjemput hanya akan efektif apabila: (1) Ada pengawasan yang ketat oleh BPR pada petugas yang menjemput angsuran, (2) petugas yang menjemput angsuran perlu dirotasi pada waktu-waktu tertentu, dan (3) petugas penagih secara rutin dan konsisten menjemput angsuran. Jika ketiga syarat ini tidak dipenuhi, pembayaran angsuran kredit
dengan
menjemput
justru
cenderung
meningkatkan
rasio
NPL.
Pengawasan BPR yang lemah dan petugas tetap melayani debitur tanpa rotasi membuat peluang bagi petugas penagih untuk melakukan fraud dan ini justru akan memperbesar rasio NPL. Demikian pula kunjungan petugas penagih yang tidak rutin membuat kolektibilitas kredit tidak lancar. Debitur mengharapkan 23
angsuran dijemput dan jika tidak dijemput debitur cenderung tidak akan membayar dan terkesan seolah-olah tidak mau membayar padahal karena angsuran tidak dijemput sehingga rasio NPL justru meningkat. Selain itu, dari hasil in-depth interview diketahui pula kalau sebagian BPR memiliki sistem pengendalian yang lemah, satu orang petugas per lokasi yang tidak berubah-ubah; dan sebagian BPR tidak melakukan pembinaan dan pemantauan penggunaan kredit secara rutin. Hasil in-depth interview ini dapat menjelaskan mengapa justru angsuran yang dijemput cenderung meningkatkan rasio NPL.
Namun apabila ketiga persyaratan tersebut dipenuhi, menjemput
angsuran dapat menurunkan rasio NPL. Dari in-depth interview diketahui pula kalau ada beberapa BPR yang menjemput angsuran memiliki rasio NPL yang lebih baik. Pembayaran Angsuran dengan Potongan (X2) BPR yang melakukan pembayaran angsuran kredit dengan potongan akan menurunkan rasio NPL sebesar 0,116 atau 11,6% (diperoleh dari 0,191 - 0,071). Asumsi, variabel-variabel lain yang berpengaruh pada rasio NPL tetap. Dengan memotong langsung pada tabungan atau gaji, permasalahan keengganan debitur untuk membayar langsung ke BPR karena lokasi yang jauh menjadi tersolusi. Demikian pula kemungkinan fraud yang bisa dilakukan oleh petugas penagih menjadi tidak ada. Bagi debitur dengan plafon kredit yang besar dapat disyaratkan untuk memiliki tabungan dengan minimal sejumlah uang sehingga BPR dapat langsung memotong angsurannya dari tabungan tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan rasio NPL akan lebih baik. Pemberian Insentif kepada AO (X3) BPR yang memberikan insentif kepada AO atas kredit yang tertagih cenderung menurunkan rasio NPL sebesar 0,154 atau 15,4% (diperoleh dari 0,191 – 0,037) dengan asumsi bahwa semua variabel-variabel lainnya yang berpengaruh pada rasio NPL tetap. 24
Dari in-depth interview diketahui kalau kunjungan rutin AO kepada debitur untuk memantau penggunaan kredit dapat memperkecil rasio NPL BPR. Pembinaan harus sudah dilakukan sebelum kredit menjadi tidak lancar agar kredit tersebut bisa tetap lancar. Demikian pula komunikasi yang baik antara BPR dan debitur yang dilakukan oleh AO berdampak pada rasio NPL yang lebih kecil. Kunjungan rutin AO dalam memantau penggunaan kredit hanya dapat dilakukan dengan baik jika AO tersebut termotivasi. Itu sebabnya BPR yang memberikan insentif kepada AO atas kredit yang tertagih dapat memotivasi AO untuk melaksanakan tugas pembinaan dan penagihan yang lebih baik sehingga rasio NPL dapat ditekan untuk semakin kecil. Perputaran Direksi (X4) BPR yang dalam tiga tahun terakhir mengalami perputaran direksi cenderung meningkatkan rasio NPL sebesar 0,16 atau 16% (diperoleh dari 0,191 ─ 0,031) untuk setiap kali perputaran.
Ini menunjukkan kalau peran direktur dalam
mengelola debiturnya cukup signifikan mengingat BPR dengan tingkat perputaran direksi yang cukup besar berdampak pada peningkatan rasio NPL.
Semakin
tinggi perputaran direksi cenderung semakin tinggi pula rasio NPL dari BPR tersebut. Program Linkage (X5) BPR yang menjalankan linkage program cenderung mempunyai rasio NPL yang lebih kecil.
BPR yang menjalankan linkage program nampaknya dapat
mengecilkan rasio NPL sebesar 0,11 atau 11% (diperoleh dari 0,191 – 0,09) dengan asumsi variabel-variabel lain yang mempengaruhi rasio NPL tetap. Namun, perlu diketahui pula bahwa bisa saja terjadi bank umum hanya mau bekerja sama untuk linkage program pada BPR dengan NPL yang kecil sehingga cenderung mereka yang mendapatkan linkage program adalah BPR yang rasio NPLnya kecil. Walaupun demikian, linkage program dapat dijadikan salah satu indikator yang menunjukkan penurunan rasio NPL.
25
Model Prediksi Kolektibilitas Kredit Rasio NPL adalah juga kolektibilitas kredit oleh karena rasio NPL adalah perbandingan antara kredit yang tidak lancar dan jumlah kredit yang diberikan. Semakin lancar kolektibilitas kredit semakin baik rasio NPL.
Namun dalam
penelitian ini, rasio NPL digunakan sebagai dependent variabel untuk BPR dan kolektibilitas kredit digunakan sebagai dependent variabel untuk nasabah. Ada 19 variabel yang berhubungan dengan debitur dan ada 2 variabel yang berhubungan dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi kolektibilitas kredit sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Dengan demikian ada 21 variabel. Data dikumpulkan dari 917 debitur yang tersebar ditujuh wilayah di Indonesia dan dianalisa menggunakan teknik statistik multiple linear regression with dummy variables dengan tingkat signifikansi 10% atau pada tingkat keyakinan 90%. Hasil dari pengujian ini sebagaimana yang dapat dilihat pada Lampiran 4, menunjukkan bahwa hanya 8 variabel yang signifikan sementara ada 13 varibel yang berpengaruh namun tidak signifikan. Agar interpretasi hasil pengolahan data bisa lebih baik, mengingat dependent variable lebih tepat diinterpretasi sebagai variabel dengan skala nominal maka dalam pengolahan data selanjutnya digunakan teknik statistik logistic regression dengan tingkat signifikansi 10%.
Dengan demikian kedelapan variabel yang
diketahui signifikan kemudian diolah kembali dengan teknik logistic regression. Dengan menggunakan SPSS dan diolah dengan logistic regression diperoleh hasil sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Kelayakan model logistic regression ini diuji dengan Hosmer and Lemeshow Test. Model layak apabila nilai signifikansi Hosmer and Lemeshow diatas 0,10 tingkat signifikansi yang disyaratkan. Dari Tabel 4. diketahui bahwa nilai Hosmer and Lemeshow = 0,599 jauh diatas 0,10 yang disyaratkan. Ini berarti bahwa model regresi ini dapat digunakan.
26
Tabel 4 Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 6,434
df
Sig. 8
,599
Pada Tabel 5 nampak bahwa ada tiga variabel yang tidak signifikan yaitu ASURANSI, TUJUAND, dan USAHAB dengan nilai signifikan lebih besar dari 0,10 tingkat signifikansi yang disyaratkan.
27
Tabel 5 Variables in the Equation
Step 1(a)
BUNGA JNSTB NILAIAGC ULANG ASURANSI TUJUAND KONDISB KONDISC KONDISD ADM USAHAB USAHAC Constant
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
,359
,164
4,790
1
,029
1,432
,813
,211
14,842
1
,000
2,255
-1,232
,300
16,889
1
,000
,292
-,288 -,002
,082 ,198
12,343 ,000
1 1
,000 ,990
,750 ,998
1,525
,985
2,397
1
,122
4,593
1,765 1,286
,565 ,479
9,758 7,212
1 1
,002 ,007
5,841 3,619
-1,400
,310
20,391
1
,000
,247
,396 ,348
,199 ,244
3,970 2,035
1 1
,046 ,154
1,486 1,416
2,443
,265
84,996
1
,000
11,510
,528
,545
,938
1
,333
1,695
a Variable(s) entered on step 1: BUNGA, JNSTB, NILAIAGC, ULANG, ASURANSI, TUJUAND, KONDISB, KONDISC, KONDISD, ADM, USAHAB, USAHAC.
Karena ada variabel yang tidak signifikan dan ada yang signifikan maka pengolahan data diulang dengan hanya memasukkan variabel-variabel yang signifikan saja.
Setelah pengulangan, hasil uji Hosmer and Lemeshow
menunjukkan nilai yang lebih baik dari sebelumnya yaitu 0,952 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 6. Ini berarti bahwa model logistic regression ini dapat digunakan. Tabel 6 Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 2,704
df
Sig. 8
,952
Dari Tabel 7 diketahui bahwa variabel-variabel berupa tingkat bunga (BUNGA), jenis agunan (JNSTB), nilai agunan (NILAGC), pengulangan kredit (ULANG), kondisi debtur (KONDB, KONDC, dan KONDD), pengelolaan administrasi kredit (ADM), dan kondisi usaha (USAHAC) signifikan yang berarti dapat digunakan untuk menentukan kolektibilitas kredit. Jika variabel-variabel yang signifikan ini diuji dengan multiple linear regression menghasilkan nilai adjusted R square sebesar
28
41,4%. Artinya 41,4% variance dari kolektibilitas kredit dapat dijelaskan oleh kesembilan variabel predictors ini. Tabel 7 Variables in the Equation
Step 1(a)
BUNGA JNSTB
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
,363
,163
4,950
1
,026
1,438
,821
,209
15,486
1
,000
2,272
-1,211
,296
16,750
1
,000
,298
-,295
,081
13,137
1
,000
,745
1,842
,563
10,712
1
,001
6,310
KONDISC
1,349
,476
8,029
1
,005
3,855
KONDISD
-1,414
,308
21,089
1
,000
,243
,415
,198
1
,036
1,514
2,224
,212
1
,000
9,242
,748
,511
4,408 110,04 6 2,141
1
,143
2,112
NILAIAGC ULANG KONDISB
ADM USAHAC Constant
a Variable(s) entered on step 1: BUNGA, JNSTB, NILAIAGC, ULANG, KONDISB, KONDISC, KONDISD, ADM, USAHAC.
Model regresi logistik yang dihasilkan dari hasil pengolahan data ini disebut sebagai MODEL PENENTU KOLEKTIBILITAS KREDIT dengan persamaan sebagai berikut (nilai constant tidak dimasukkan oleh karena tidak signifikan):
YK = 0,363X1 + 0,821X2 – 1,211X3 – 0,295X4 + 1,842X5 + 1,349X6 – 1,414X7 + 0,415X8 + 2,224X9 Dimana: YK = Probabilitas kolektibilitas kredit menjadi tidak lancar. X1 =
Tingkat bunga.
Besarnya tingkat bunga yang dikenakan
pada kredit yang diterima nasabah.
Tingkat bunga ini
dinyatakan dalam persentasi angka dan bukan dalam desimal. X2 =
Jenis agunan. Jika agunan menggunakan tanah atau tanah dan bangunan, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X3 =
Nilai agunan. Jika nilai agunan lebih besar dari nilai kredit, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0. 29
X4 =
Pengulangan kredit. Jika kredit yang diterima merupakan pengulangan, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X5 =
Masalah keluarga. Jika debitur memiliki masalah keluarga yang serius, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X6 =
Kehilangan pekerjaan (PHK)/bisnis bangkrut. Jika debitur kehilangan pekerjaan atau bisnis debitur bangkrut, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
X7 =
Integritas debitur.
Jika debitur punya etikat untuk
mengembalikan kredit, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0. X8 =
Pengelolaan
administrasi
kredit.
Jika
debitur
menggabungkan administrasi keuangan kredit dengan administrasi keuangan pribadi, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0. X9 =
Persaingan. Jika usaha debitur mengalami persaingan yang serius, nilai yang diberikan 1 jika tidak 0.
Interpretasi Model Prediksi Kolektibilitas Kredit Tingkat Bunga (X1) Meningkatkan bunga pinjaman akan membuat kredit semakin tidak lancar. Jika tingkat bunga dinaikkan 1% saja ada kemungkinan 36,3% kredit tersebut tidak lancar. Jenis Angsuran (X2) Kredit yang diagunkan dengan tanah lebih tidak lancar jika dibandingkan dengan kredit yang diagunkan dengan agunan yang lain selain tanah atau bahkan tanpa agunan sama sekali dengan probabilitas 82,1%. Mengapa demikian? Bagi BPR, agunan dengan tanah atau tanah dan bangunan dianggap lebih aman jika dibandingkan dengan agunan yang lain karena jika kredit tidak tertagih agunan dapat dijual untuk menggantikan kredit yang tak tertagih tersebut dengan nilai yang kurang lebih sama atau bahkan lebih besar sehingga pada saat pemberian kredit, selama agunan mencukupi, kredit cenderung diberikan tanpa banyak 30
mempertimbangkan faktor lainnya seperti potensi usaha, kondisi persaingan, dan karakter debitur. Ternyata tidak mudah bagi BPR untuk menyita agunan oleh karena biaya yang dikeluarkan justru sangat besar.
Bahkan dari in-depth
interview diketahui kalau ada legalitas agunan yang tidak jelas sehingga mempersulit eksekusi jika kredit ternyata macet.
Akhirnya pihak bank
membiarkan kredit tersebut dan berusaha untuk menagih daripada menyita agunan dan ini yang membuat rasio NPL BPR yang lebih tinggi pada kredit-kredit yang diagunkan dengan tanah atau tanah dan bangunan. Bank ketika memberikan kredit yang tanpa agunan atau dengan agunan lain selain tanah lebih berhati-hati sehingga kreditnya cenderung lebih baik daripada kredit yang diagunkan dengan tanah/tanah dan bangunan. Nilai Agunan (X3) Kredit yang agunannya lebih besar dari nilai kreditnya memiliki kemungkinan kolektibilitas 1,2 kali lebih lancar dari kredit yang agunannya sama atau lebih kecil dari nilai kreditnya. Ini berlaku untuk bentuk agunan apa saja. Pengulangan Kredit (X4) Kredit yang diulang lebih lancar dibandingkan dengan kredit perdana.
Ada
kemungkinan 29,5% kredit yang diulang lebih lancar dari kredit perdana. Kredit yang diulang berarti nasabah telah melunasi kredit sebelumnya, sehingga kemungkinan kredit pengulangan ini lebih lancar dibandingkan dengan kredit yang masih pertama kali (perdana) karena integritas debitur pada umumnya sudah diketahui oleh BPR. Masalah Keluarga (X5) Kolektibilitas kredit akan lebih buruk pada debitur yang memiliki masalah keluarga yang serius. Kemungkinan kolektibilitas kredit tidak lancar pada debitur yang memiliki masalah keluarga yang serius 1,84 kali dari mereka yang tidak memiliki masalah keluarga yang serius.
Dengan demikian penting bagi BPR 31
untuk memperhatikan masalah keluarga calon debitur sebelum kredit disetujui, tentu jika hal ini memungkinkan.
32
Kehilangan Pekerjaan/Bangkrut (X6) Kemungkinan besar kredit akan macet pada debitur yang kehilangan pekerjaan atau usahanya bangkrut.
Kolektibilitas kredit pada debitur yang kehilangan
pekerjaan atau usahanya bangkrut 1,35 kali lebih buruk dari yang tidak kehilangan pekerjaan atau usahanya bangkrut. Ini menunjukkan bahwa banyak kredit yang tidak lancar dikarenakan usaha debitur bangkrut atau debitur kehilangan pekerjaan jika kreditnya kredit konsumtif. BPR harus cukup jeli untuk melihat risiko bisnis debitur apakah memiliki kemungkinan bangkrut yang cukup besar atau kemungkinan hilang pekerjaan yang cukup besar sehingga lebih berhati-hati dalam memberikan kredit. Integritas (X7) Integritas debitur sangat penting mengingat kolektibilitas kredit dari debitur yang tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kredit 1,4 kali lebih buruk dari mereka yang punya itikad baik untuk mengembalikan kreditnya. Administrasi Keuangan Kredit (X8) Lebih baik memisahkan administrasi keuangan kredit dari pada menggabungkan dengan administrasi keuangan keluarga karena debitur yang memisahkan administrasi
keuangan
kredit
dengan
keuangan
keluarga
mempunyai
kemungkinan 41,5% lebih lancar kolektibilitas kreditnya dari debitur yang menggabungkan administrasi keuangan kredit dengan keuangan keluarga. Persaingan (X9) Persaingan adalah variabel yang paling besar pengaruhnya pada kolektibilitas kredit. Kolektibilitas kredit debitur yang memiliki usaha dengan persaingan yang serius 2,2 kali lebih buruk dibandingkan yang tidak punya persaingan bisnis yang serius.
Nampaknya sangat penting bagi BPR untuk memperhatikan faktor
persaingan dalam proses persetujuan kredit. 33
Analisa Data In-Depth Interview In-depth interview dilakukan melalui focus group discussion di 5 wilayah di Indonesia. Data dari in-depth interview ini kemudian dianalisa untuk mengetahui penyebab NPL BPR. Analisa dilakukan dengan mengelompokkan penyebab NPL dari faktor-faktor menyangkut kondisi internal BPR dan menyangkut kondisi eksternal BPR. Penyebab NPL dari Kondisi Internal Para direktur dan komisaris BPR termasuk juga para pengawas BPR Bank Indonesia adalah pihak-pihak yang paling mengetahui kondisi internal BPR. Untuk mendapatkan informasi tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi rasio NPL BPR, dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada para direksi, komisaris, dan terutama pengawas-pengawas BPR Bank Indonesia.
Wawancara dilakukan dalam bentuk focus group discussion
(FGD). Dari hasil beberapa kali FGD diperoleh 8 kelompok variabel internal BPR yang dianggap berpengaruh pada rasio NPL BPR seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Kedelapan faktor ini adalah (1) Proses Persetujuan Kredit, (2) Syarat Pemberian Kredit, (3) Proses Penagihan, (4) Strategi Pemasaran, (5) Peran Pemilik/Pengelola, (6) Kapasitas AO, (7) Proses Pengendalian, dan (8) Linkage Program. Proses Persetujuan Kredit Beberapa persoalan menyangkut proses persetujuan kredit terungkap dari indepth interview yang dilakukan terutama kepada para pengawas BPR Bank Indonesia. Diketahui bahwa BPR dengan rasio NPL yang tinggi pada umumnya memberikan kredit tidak melalui prosedur yang benar. Ada tiga aspek pada proses persetujuan kredit yang dilakukan dengan tidak benar yang teridentifikasi yaitu pada aspek (a) wewenang, (b) intervensi, dan (c) pengendalian.
34
Wewenang.
Wewenang memutuskan dan mencairkan kredit seharusnya
mengikuti prosedur yang sehat diantaranya ada jenjang persetujuan kredit. Kredit dengan jumlah tertentu cukup disetujui pada tingkat manajer sedangkan pada jumlah tertentu disetujui pada tingkat direktur, seterusnya sampai pada tingkat komite kredit. Namun, didapati bahwa beberapa BPR yang rasio NPL-nya tinggi karena wewenang menyetujui dan mencairkan kredit dilakukan diluar jenjang persetujuan kredit internal manajemen BPR. Misalnya diketahui ada BPR yang kreditnya diputuskan dan dicairkan di pos pelayanan. Ada juga BPR yang bekerja sama dengan kantor pos untuk menagih angsuran kredit pensiunan. Pembayaran pensiunnya dilakukan lewat kantor pos dimana kantor pos akan memotong dari gaji sebesar angsuran kreditnya.
Namun
ternyata kantor pos bukan saja berperan sebagai penagih tetapi dapat memutuskan untuk memberikan kredit. Kredit yang diputuskan oleh kantor pos menjadi tidak lancar oleh karena kantor pos bukan institusi yang memiliki kompetensi dalam menganalisa dan memutuskan kredit. Disamping itu, kantor pos tidak menanggung risiko kredit sehingga memungkinkan dalam pemberian kredit tidak dilakukan analisa yang benar dan teliti. Demikian pula BPR yang bekerja sama dengan koperasi dalam memberikan dan menagih kredit.
Ketika koperasi diberikan wewenang untuk memutuskan
persetujuan kredit, disini kredit menjadi bermasalah. Koperasi akan mendanai kredit yang baik sedangkan kredit yang bermasalah diberikan kepada BPR. Dengan demikian BPR yang menanggung kredit yang bermasalah ini. Jenjang persetujuan kredit apakah cukup disetujui sampai pada tingkat manager, atau harus sampai tingkat direksi dan seterusnya sampai tingkat komite kredit diteliti pada 223 BPR.
Dengan tingkat keyakinan 90% ternyata tidak ada
hubungan yang signifikan terhadap rasio NPL. Apakah pemberian kredit perlu berjenjang atau seluruhnya harus disetujui oleh direksi atau komite kredit ternyata tidak berpengaruh pada rasio NPL. Hal ini mungkin terjadi oleh karena alat analisa yang digunakan baik pada manajemen tingkat bawah maupun pada tingkat yang lebih tinggi sama sehingga apakah persetujuan kredit berjenjang tidak berpengaruh pada rasio NPL. Namun diketahui pula kalau ada BPR yang berbentuk
perusahaan
daerah
(PD)
memberikan
insentif
kepada
para 35
manajemen-nya atas kredit yang diberikan.
Semakin banyak kredit yang
diberikan semakin besar insentif yang diterima.
Ini membuat manajemen
berusaha untuk sebanyak-banyaknya menyetujui kredit tanpa memperhatikan dengan teliti kelayakannya. Dengan cara seperti ini justru membuat rasio NPL di BPR ini menjadi sangat besar. Jika demikian maka jenjang persetujuan kredit diperlukan supaya ada kontrol pada level yang lebih tinggi untuk menghindari pemberian kredit yang tidak sesuai terutama jika jumlahnya besar. Cara lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan insentif berdasarkan kredit yang lancar dan bukan kredit yang diberikan. Nampaknya yang membuat rasio NPL tinggi bukan pada jenjang persetujuan kredit internal manajemen BPR (apakah pemberian kredit perlu berjenjang mulai dari manajer atau seluruhnya harus disetujui oleh direksi atau komite kredit) tetapi justru apabila wewenang persetujuan kredit diberikan pada pihak diluar internal manajemen BPR seperti diberikan pada kantor pos, koperasi, atau pada pos pelayanan. Walaupun kantor pelayanan dapat dianggap sebagai bagian dari internal BPR
namun masih diluar internal manajemen BPR
sehingga
memungkinkan rasio NPL yang tinggi. Intervensi. Intervensi pemilik dan komisaris dalam pemberian kredit ditanyakan kepada 223 BPR. Apakah pemilik atau komisaris ikut memberikan rekomendasi calon debitur tertentu berpengaruh pada rasio NPL BPR?
Dengan tingkat
keyakinan 90% didapati bahwa tidak ada hubungan yang signifikan. Pemilik ataupun komisaris bisa saja ikut atau tidak ikut campur dalam memberikan rekomendasi calon debitur yang akan dibiayai. Namun dari hasil in-depth interveiw kepada para pengawas BPR Bank Indonesia diketahui kalau BPR yang berbentuk perusahaan daerah (PD) sering kali memiliki rasio NPL yang tinggi oleh karena intervensi pemilik (dalam hal ini pemerintah daerah) dalam pemberian kredit. Pemerintah Daerah (Pemda) merasa memiliki BPR PD namun tidak perduli apakah BPR tersebut akan untung atau rugi sebab jika rugi, BPR akan meminta pembiayaan dari pemerintah.
Itu sebabnya, debitur yang direkomendasikan
Pemda dengan debitur yang direkomendasi pemilik atau komisaris BPR yang non PD berbeda.
Pemilik atau komisaris BPR non PD pada umumnya 36
merekomendasikan debitur yang baik mengingat jika BPRnya rugi dia juga sebagai pemilik atau komisaris akan rugi. pemda.
Namun berbeda jika pemiliknya
Pemda cenderung merekomendasikan debitur yang mempunyai
hubungan-hubungan istimewa tertentu walaupun debitur tersebut sebenarnya tidak layak mendapatkan kredit. Itu sebabnya intervensi pemilik BPR PD (dalam hal ini Pemda) cenderung membuat rasio NPL lebih besar. Sedangkan intervensi pemilik atau komisaris BPR pada umumnya (sebagian besar berbentuk perseroan terbatas) tidak berpengaruh pada rasio NPL. Pengendalian.
Dari hasil in-depth interview diketahui kalau ada BPR yang
memberikan kredit kepada debitur tanpa memeriksa dengan benar apakah usulan pinjaman kredit tersebut sudah benar. Dalam hal ini BPR lepas kendali. Kredit menjadi macet oleh karena ternyata nama-nama karyawan yang diajukan untuk mendapatkan kredit sebenarnya sudah mendapatkan kredit dari bank lain dan nama mereka digunakan untuk diajukan lagi di BPR. Hal ini bisa terjadi karena ketidak mampuan BPR dalam mengecek calon debiturnya. Diperlukan prosedur pengendalian yang baik dimana dalam prosedur tersebut dimasukkan pengecekan pada calon debitur. Dari in-depth interview diketahui kalau banyak BPR yang prosedur pemberian kreditnya masih sangat lemah. Ditambah lagi, lemahnya fungsi dewan komisaris dan dewan pengawas. Akan menjadi lebih parah lagi jika insentif bagi manajemen diberikan atas dasar banyaknya kredit yang diberikan sehingga cenderung untuk memberikan lebih banyak kredit tanpa pengendalian yang baik.
Permasalahan ini bisa diatasi jika BPR memiliki
prosedur pemberian kredit yang baik, dan dewan komisaris/dewan pengawas menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik. Syarat Pemberian Kredit Menyangkut syarat pemberian kredit, diketahui kalau banyak BPR dengan rasio NPL yang tinggi memberikan kredit tidak mengikuti syarat 5C yang benar. Kredit tidak memiliki agunan yang sesuai (collateral), integritas debitur yang kurang baik (character), dan kapasitas pengembalian yang kurang (capacity). Agunan. Beberapa BPR dengan rasio NPL yang tinggi mensyaratkan agunan yang tidak sesuai. Nilai agunan lebih kecil dari nilai kredit. Khusus pada pemberian 37
kredit motor-motor buatan China (mochin) banyak yang macet oleh karena nilai motor setelah beberapa lama menjadi lebih kecil dari nilai kredit. Ketika pemilik motor mendapat kesulitan membayar cicilan, mereka cenderung untuk membiarkan motor diambil dari pada berusaha untuk mengembalikan kreditnya. Dengan demikian rasio NPL menjadi tinggi. Namun didapati pula kalau BPR dengan rasio NPL yang kecil karena mensyaratkan agunan yang bergerak. Ternyata agunan yang bergerak lebih mudah dilikuidasi. Dengan demikian, penggunaan agunan yang bergerak lebih baik selama nilai agunannya lebih besar dari nilai kredit. Jika tidak, debitur cenderung membiarkan agunannya disita pada saat mendapatkan kesulitan membayar angsuran. Karakter. Dari in-depth interview terungkap kalau ada cukup banyak debitur yang integritasnya kurang baik. kewajibannya kepada bank.
Debitur dengan sengaja tidak mau memenuhi Bahkan ada yang merasa bahwa kredit yang
diberikan itu sebagai pemberian dan tidak harus dikembalikan. Beberapa BPR nampaknya belum memiliki keahlian yang diperlukan atau alat/metode untuk mendeteksi integritas debitur sehingga memungkinkan cukup banyak
debitur
yang
sebenarnya
tidak
mempunyai
keinginan
untuk
mengembalikan pinjamannya diberikan kredit. Dari in-depth interview diketahui memang terungkap banyak BPR yang tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang kompeten. Namun ada juga yang sukses menangani permasalahan karakter ini. Ada direktur BPR yang memanggil calon debitur sebelum diberikan kredit untuk diberikan penjelasan secara pribadi bahwa hutang harus dibayar dan jika tidak akan diberikan sangsi. Sangsi benar-benar dilaksanakan jika debitur lalai membayar angsuran. Cara ini dilakukan untuk mengantisipasi debitur yang menganggap bahwa kredit yang diberikan itu tidak perlu dikembalikan. BPR dengan cara seperti ini ternyata memiliki rasio NPL yang hampir nihil. Kapasitas.
Kemampuan debitur mengembalikan kredit tergantung pada
penghasilannya. Ketika penghasilan tidak sesuai dengan yang diharapkan, kredit menjadi tidak lancar yang menyebabkan rasio NPL BPR meningkat. Ditemukan 38
ada beberapa BPR yang rasio NPLnya tinggi karena debiturnya petani atau nelayan yang gagal panen.
Namun dari hasil kuesioner yang diberikan pada
sampel BPR diketahui bahwa tidak semua debitur yang tujuan kreditnya untuk pertanian mengalami ketidak lancaran tagihan. Sehingga memang diperlukan AO yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang memadai mengenai sektor tertentu. Dari in-depth interview dapat teridentifikasi tiga ”C” dari 5C seperti yang diutarakan diatas. Untuk mengetahui prioritas ”C” mana yang lebih diutamakan dalam menentukan syarat kredit, pertanyaan diajukan kepada sampel BPR untuk melihat kalau ada hubungan yang signifikan antara syarat utama pemberian kredit yang diberlakukan BPR dengan rasio NPL. Ternyata pada tingkat keyakinan 90%, tidak ada hubungan antara syarat pemberian kredit dan rasio NPL. Ini berarti apakah BPR mensyaratkan kesanggupan debitur memperoleh pendapatan (capacity) lebih utama dari integritas debitur (character) atau sebaliknya tidak berpengaruh pada rasio NPL BPR demikian juga untuk ”C” yang lainnya. Namun, ini hanya berlaku selama syarat 5C digunakan. Jika syarat 5C diabaikan ada kemungkinan rasio NPL meningkat sebagaimana yang terungkap dari in-depth interview. Proses Penagihan Proses penagihan berhubungan dengan: (a) cara pembayaran angsuran, dan (b) perlakuan terhadap personel yang terlibat dalam penagihan. Cara Pembayaran Angsuran. Beberapa BPR bekerjasama dengan kantor pos dalam proses pembayaran angsuran kredit.
Kantor pos memotong langsung
angsuran kredit dari gaji yang akan diambil oleh karyawan (khususnya para pensiunan) di kantor pos.
Permasalahan yang membuat rasio NPL BPR
meningkat adalah kantor pos tidak secara otomatis memotong angsuran setiap bulan.
Angsuran dipotong hanya pada saat debitur mengambil gajinya.
Bagaimana jika gajinya diambil setelah enam bulan?
Angsuran kredit akan
tertunggak sampai enam bulan tersebut.
39
Selain itu, ada beberapa debitur yang lokasinya jauh dari BPR sehingga menimbulkan kesulitan ketika akan membayar angsuran kredit setiap bulan apalagi jika dia harus menyetor langsung ke BPR. Itu sebabnya ada beberapa BPR yang sukses menurunkan rasio NPL karena penagihan kredit dilakukan secara menjemput bola. Namun ternyata ”menjemput bola” ini bisa menjadi bumerang apabila pengawasan bank terhadap account officer (AO) lemah. Ditambah lagi jika penempatan AO pada suatu lokasi tidak berubah-ubah. Fraud bisa saja dilakukan oleh AO tersebut. Selain itu, tagihan dengan menjemput bola ini harus dilakukan secara konsisten oleh karena jika AO lalai, debitur cenderung tidak akan ke BPR untuk melunasi angsurannya karena berharap tagihannya akan dijemput. Hubungan antara cara pembayaran angsuran dan rasio NPL diteliti pada 223 BPR dengan tingkat keyakinan 90%, didapati bahwa ada hubungan yang signifikan antara cara pembayaran dan rasio NPL. BPR yang melakukan pembayaran dengan jemput bola justru membuat rasio NPL meningkat sebesar 24,8% dengan asumsi variabel-variabel lainnya yang berpengaruh pada rasio NPL tetap. Hal ini dapat terjadi oleh karena sebagian besar BPR yang melakukan jemput bola kemungkinan lemah dalam pengawasan pada petugas penagih dan penempatan yang tidak pernah berubah-ubah sehingga memungkinkan timbulnya fraud yang seterusnya menyebabkan rasio NPL justru meningkat. Diperparah lagi jika kunjungan petugas penagih tidak rutin menyebabkan angsuran beberapa kredit terkesan tidak lancar bukan karena debitur yang tidak mau membayar tetapi petugas tidak menjemput angsuran tersebut. Angsuran kredit yang dilakukan dengan memotong langsung dari gaji (pada debitur karyawan) atau dengan memotong langsung dari tabungan debitur (debitur yang memiliki tabungan) dapat menurunkan rasio NPL sebesar 11,6% dengan asumsi variabel-variabel lain yang berpengaruh pada rasio NPL tetap dan sistem pembayaran seperti ini dilakukan oleh sebagian debitur dari BPR tersebut. Apabila hanya sebagian kecil debitur yang melakukan pembayaran seperti ini maka dampaknya pada rasio NPL akan lebih kecil dari 11,6%.
Dengan
memotong langsung pada tabungan atau gaji, permasalahan keengganan debitur 40
untuk pergi membayar langsung ke BPR karena lokasi yang jauh menjadi tidak bermasalah. Demikian pula kemungkinan fraud yang bisa dilakukan oleh petugas penagih menjadi tidak ada. Perlakuan AO. Diketahui bahwa kunjungan yang rutin AO kepada debitur dalam memantau penggunaan kredit akan dapat memperkecil rasio NPL BPR. BPR yang tidak melakukan pembinaan dan pemantauan penggunaan kredit baru menyadari setelah kredit menjadi tidak lancar dan sudah terlambat. Pembinaan harus sudah dilakukan sebelum kredit menjadi tidak lancar agar kredit tersebut bisa tetap lancar. Demikian pula komunikasi yang baik antara BPR dan debitur yang dilakukan oleh AO berdampak pada rasio NPL yang lebih kecil. Kunjungan rutin AO dalam memantau penggunaan kredit dan komunikasi yang baik hanya dapat dilakukan dengan efektif jika AO tersebut termotivasi. BPR yang memberikan insentif kepada AO atas kredit yang tertagih akan termotivasi untuk melakukan pemantauan dan komunikasi dengan baik sehingga dapat menurunkan rasio NPL dengan probability sebesar 15,4%. Strategi Pemasaran Aspek strategi pemasaran yang terungkap dari in-depth interview kepada pengawas BPR Bank Indonesia adalah menyangkut target market kredit berkelompok.
Diketahui kalau kredit yang diberikan berkelompok kepada
mereka yang mempunyai usaha misalnya pertanian atau perkebunan, sesuai dengan hasil in-depth interview membuat rasio NPL BPR lebih baik oleh karena dengan target market seperti ini kredit menjadi lebih mudah tertagih. Selama penyebaran anggotanya tidak terlalu jauh kredit berkelompok baik namun jika penyebaran anggota dalam satu kelompok jauh satu sama lain, kredit berkelompok tidak efektif karena jika terlalu jauh dan pembayaran angsuran dengan menyetor langsung ke BPR akan berpengaruh pada kelancaran pembayaran.
41
Peran Pemilik/Pengelola Dari hasil in-depth interview diketahui bahwa pemilik dan pengelola BPR berperan dalam memperburuk atau memperbaiki rasio NPL.
Peran pemilik maupun
pengelola terutama menyangkut integritas, kompetensi, dan pengawasan. Integritas. Rekayasa kredit fiktif, pencatatan palsu, dan pemberian kredit yang melanggar prinsip kehati-hatian dilakukan oleh pengelola BPR lebih dikarenakan faktor integritas.
Pengola memang tidak memiliki etikad yang baik dalam
menjalankan BPR. Hal-hal seperti ini ditemukan pemeriksa Bank Indonesia di beberapa BPR. Kompetensi.
Pada umumnya kualitas sumber daya manusia (SDM) BPR
sebagaimana yang terungkap pada saat in-depth interview lemah.
Ini
kemungkinan disebabkan karena insentif yang diberikan tidak menarik.
Itu
sebabnya SDM yang berkualitas cenderung tidak tertarik bekerja di BPR. Kecuali pada beberapa BPR yang sanggup memberikan insentif yang menarik kepada pengelolanya. Peran direktur dalam mengelola debiturnya cukup signifikan mengingat BPR dengan tingkat perputaran direksi yang besar berdampak pada rasio NPL. Semakin tinggi perputaran direksi cenderung menunjukkan semakin tinggi pula rasio NPL dari BPR tersebut. Pengawasan. Didapati beberapa koperasi memberikan kredit yang bermasalah kepada BPR sehingga BPR yang menanggung ketidak lancaran pembayaran angsuran kredit tersebut. Hal ini terjadi oleh karena pengelola BPR adalah juga pengurus koperasi.
Fungsi pengawasan komisaris sebagai pengelola BPR
menjadi tidak berfungsi oleh karena rangkap jabatan yang memiliki conflict of interest. Demikian juga didapati bahwa ada pengurus BPR yang memiliki usaha sampingan sehingga dalam mengelola BPR tidak serius.
42
Peran Account Officer (AO) Account officer (AO) memiliki peran yang cukup penting dalam suatu BPR oleh karena AO-lah yang mengelola dan memelihara debitur. Dari in-depth interview terungkap beberapa aspek kualitas dan kuantitas AO. Kualitas. Didapati kalau kualitas SDM AO pada umumnya rendah. Rendahnya kualitas SDM ini bukan karena tingkat pendidikan tetapi pada pemahaman atas praktek-praktek perbankan. Dari sampel BPR yang diteliti didapati bahwa tidak ada hubungan yang berarti antara tingkat pendidikan AO dan rasio NPL. Demikian pula dengan keberadaan pelatihan, apakah ada tidaknya pelatihan pada AO yang diberikan BPR tidak berdampak pada rasio NPL.
Temuan Ini
menunjukkan kalau tingkat pendidikan AO apakah lulus SMP, SMA, atau diploma belum dapat memberikan sumbangan pada perbaikan NPL. Jika pelatihan yang diberikan tidak berpengaruh pada semakin baiknya rasio NPL bukan berarti bahwa keberadaan pelatihan tidak diperlukan tetapi materi dari pelatihan tersebut yang mungkin perlu diperbaiki. Perlu diketahui apakah materi pelatihan sudah sesuai dengan kebutuhan AO dalam usaha memperbaiki rasio NPL. Terungkap dari hasil in-depth interview kalau pelatihan staf kredit di BPR sangat lemah.
Petugas kredit masih banyak yang kurang memahami prosedur
pemberian kredit. Kuantitas. Di beberapa BPR khususnya yang berbentuk PD, terdapat jumlah SDM yang cukup banyak. Jumlah yang banyak ini ternyata tidak dapat memperbaiki rasio NPL malah justru meningkatkan rasio NPL. Jumlah SDM yang banyak ini dikarenakan titipan dari Pemda. Dengan jumlah SDM yang banyak ini justru memperumit birokrasi persetujuan maupun penagihan kredit sehingga rasio NPL di BPR tersebut justru tinggi.
43
Proses Pengendalian Pada umumnya BPR tidak memiliki internal control yang baik karena ukurannya yang kecil. Jumlah personel yang sedikit tidak memungkinkan terlaksananya sistem internal control yang baik. Dari hasil in-depth interview diketahui kalau sistem internal control yang tidak baik ini yang turut membuat rasio NPL BPR menjadi semakin besar. Ditambah lagi, beberapa BPR tidak mempunyai action plan penyelesaian kredit yang bermasalah. Ini yang membuat semakin besarnya rasio NPL di BPR-BPR tersebut. Linkage Program Dari hasil in-depth interview diketahui kalau BPR pada umumnya mengejar target sehingga asal memberikan kredit dari linkage program ini. Namun, dari hasil penelitian pada sampel BPR didapati bahwa BPR yang menjalankan linkage program justru cenderung memiliki rasio NPL yang lebih kecil dibandingkan mereka yang tidak menjalankan linkage program. Namun bisa saja sebaliknya bahwa bank umum hanya mau bekerja sama dengan BPR yang memiliki rasio NPL yang kecil sehingga seolah-olah linkage program membuat NPL lebih kecil. Walaupun demikian, linkage program dapat digunakan sebagai indikator NPL yang lebih kecil. Penyebab NPL dari Kondisi Eksternal Kolektibilitas kredit ditentukan oleh sedikitnya dua aspek yaitu aspek debitur dan aspek lingkungan. Kedua aspek ini merupakan kondisi eksternal BPR. Ada 5 variabel penting dari aspek debitur yaitu (1) profil kredit yang diterima debitur, (2) kategori kredit yang diterima debitur, (3) pemanfaatan kredit oleh debitur, (4) keadaan debitur, dan (5) pengolahan administrasi kredit yang dilakukan debitur.
Sedangkan aspek lingkungan menyangkut variabel (6)
persaingan, dan (7) kondisi usaha. 44
Profil Kredit Dari hasil in-depth interview ada yang menemukan kalau plafon dibawah Rp 5 juta rupiah lebih lancar kolektibilitasnya dibandingkan kredit dengan plafon yang lebih besar. Namun ada juga yang menemukan kalau kredit pada BPR yang berbentuk PT justru tidak lancar pada plafon dibawah Rp 5 juta dan yang lancar kolektibilitas kreditnya dibawah Rp 5 juta adalah BPR milik Pemda (PD). Selanjutnya, diketahui kalau ada BPR yang sengaja menciptakan kredit yang kecil-kecil karena Bank Indonesia cuma memeriksa kredit yang besar, bahkan sengaja dimacetkan karena NPL sehat syaratnya terlalu tinggi. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara besarnya plafon dengan tingkat kolektibilitas kredit, data dari 917 debitur dikumpulkan. Ternyata setelah diuji dengan tingkat keyakinan 90% tidak ada hubungan yang berarti antara besarnya plafon dan tingkat kolektibilitas kredit. Itu berarti bahwa memang ada sebagian kredit dengan plafon dibawah Rp 5 juta yang kolektibilitasnya lancar dan ada pula sebagian lagi yang kolektibilitasnya justru tidak lancar. Kategori Kredit Kredit dapat dikategorikan sebagai kredit berkelompok atau berdiri sendiri, kredit dengan atau tanpa agunan, dan kredit dengan atau tanpa asuransi. Kelompok. Disebagian daerah kredit berkelompok lebih lancar kolektibilitasnya dibandingkan kredit berdiri sendiri, namun pada sebagian daerah yang lain didapati bahwa kredit berkelompok justru kolektibilitasnya tidak lancar. Dengan demikian apakah kredit berkelompok atau tidak, tidak berpengaruh pada tingkat kolektibilitas kredit. Agunan.
Sebagian kredit diberikan dengan agunan dan sebagian lagi tanpa
agunan. Dari in-depth interview terungkap kalau kredit dengan agunan motor China (mochin) cenderung tidak lancar.
45
Didapati pula kalau beberapa kredit agunannya tidak jelas. Bahkan didapati ada kredit yang diagunkan dengan tanah kuburan tanpa diketahui oleh BPR. Selain itu, beberapa agunan yang legalitasnya tidak jelas sehingga sulit dieksekusi apabila kreditnya macet. Untuk mengetahui apakah jenis agunan berpengaruh pada kolektibilitas kredit, data dari 917 debitur dianalisa dengan tingkat keyakinan 90% dan didapati kalau kredit yang diangunkan dengan tanah atau tanah dan bangunan justru kemungkinan besar tidak lancar dengan probability sebesar 82,1% dibandingkan jika kredit diagunkan dengan bentuk agunan yang lain atau yang tidak diagunkan (interpretasi lebih lanjut pada analisa tentang model penentu kolektibilitas). Juga didapati kalau besar nilai agunan menentukan tingkat kolektibilitas kredit. Agunan yang nilainya lebih besar dari nilai kredit cenderung lebih lancar jika dibandingkan agunan yang nilainya lebih kecil dari nilai kredit. Asuransi. Diketahui kalau beberapa kredit yang kolektibilitasnya lancar adalah kredit yang diasuransikan. Dengan diasuransikannya kredit, pihak asuransi juga turut menilai kredit tersebut dan tentu pihak asuransi akan cenderung memberikan perlindungan pada kredit yang diketahui kolektibilitasnya lancar. Pemanfaatan Kredit Didapati bahwa ada sebagian debitur yang menyalah gunakan kredit yang diberikan.
Kredit diperuntukkan pada tujuan yang berbeda dengan usulan.
Perlakuan debitur seperti ini yang membuat kolektibilitas kredit tidak lancar. Pada umumnya, kredit konsumtif karyawan yang angsurannya dipotong dari gaji, kolektibilitasnya lancar.
Namun didapati kasus debitur sudah mendapatkan
kredit dari bank umum dengan pembayaran melalui pemotongan gaji dan meminta lagi dari BPR.
Akhirnya, debitur tidak mampu mengembalikan
angsurannya.
46
Keadaan Debitur Banyak ditemukan debitur yang memiliki kredit di tempat lain dan ini membuat kolektibilitas kreditnya menjadi tidak lancar.
Bahkan ada debitur yang
mendapatkan kredit lebih dari satu BPR. Hal ini dapat terjadi oleh karena BPR tidak bisa memperoleh informasi jika calon debitur sudah memiliki kredit ditempat lain. Selanjutnya diketahui kalau beberapa debitur yang kolektibilitasnya tidak lancar dikarenakan tidak memiliki tempat usaha yang tetap. berpindah-pindah
sehingga
sulit
bagi
BPR
untuk
Tempat usahanya melacak
sekiranya
kolektibilitasnya tidak lancar. Pengelolaan Administrasi Kredit Beberapa debitur
diketahui menggabungkan administrasi kredit dengan
administrasi keuangan keluarga, terutama pada kredit dengan jumlah yang kecil. Namun ada juga yang memisahkan urusan administrasi kredit dan administrasi keuangan keluarga.
Debitur yang memisahkan administrasi kredit dengan
administrasi keuangan keluarga memiliki tingkat kolektibilitas kredit yang lebih baik dengan probabilitas sebesar 41,5% lebih baik dibandingkan administrasi yang digabungkan.
47
HASIL TEMUAN PENYEBAB NPL
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dan FGD, berikut ini disajikan faktor-faktor yang menjadi penyebab NPL di lingkungan BPR. Daftar berikut ini tidak disusun terhadap besarnya kontribusi masing-masing faktor pada NPL. Susunan faktorfaktor yang disajikan berikut ini disajikan dengan pendekatan proses bisnis pemberian kredit. Integritas Pemilik, Pengurus, dan Pegawai BPR Hasil FGD di seluruh wilayah sampel menunjukkan adanya temuan berkaitan dengan masalah integritas pihak internal BPR, baik komisaris, pengurus, maupun pegawai BPR. Indikasi dominan ditunjukkan adanya intervensi pihak internal sehingga terjadi penyimpangan kredit, antara lain: munculnya kredit fiktif dan kepada pihak terkait tanpa melalui analisis kredit yang benar dan akurat dan tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian, dan ditemukannya penyalahgunaan kredit berupa kredit topengan atau transaksi tidak tercatat (unrecorded transaction). •
Temuan di lapangan juga menunjukkan, terdapat kecenderungan bahwa intervensi yang kuat oleh pemilik terhadap operasional BPR terjadi pada BPR berstatus PD. Sebaliknya, intervensi pemilik relatif kecil di BPR berstatus selain PD. Terdapat kemungkinan bahwa operasional BPR berstatus PD terpengaruh oleh gaya birokrasi pemerintahan sedangkan BPR berstatus bukan PD lebih berorientasi pada pendekatan bisnis.
•
Selain status BPR, rendahnya integritas pemilik dan pengurus diperkuat oleh tiga hal berikut. Pertama, ketidakjelasan atau ketidaktersediaan prosedur baku dan pedoman dalam proses pemberian kredit. Termasuk di dalam prosedur adalah penjenjangan wewenang dalam memutuskan kredit. Hal tersebut membuka peluang pemilik dan pengurus untuk mencampuri keputusan pemberian kredit yang tidak sepantasnya. Didapati ada pemilik dan pengelola BPR yang juga pengurus koperasi yang memutuskan 48
memberikan kredit kepada nasabah yang sudah ditolak oleh koperasi. Hal ini menyebabkan kredit menjadi tidak lancar.
Kedua, tidak disiplinnya
pencatatan pemberian dan pelunasan kredit sehingga memudahkan pihakpihak yang terkait dengan pemutusan kredit untuk memanfaatkan celah kelemahan tersebut. Misalnya ditemukan kredit topengan. Ketiga, kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik pada perkembangan BPR antara lain karena kesibukan di luar BPR dan lokasi pemilik yang jauh dari BPR sehingga pegawasan menjadi tidak efektif. •
Integritas pegawai BPR juga perlu mendapat perhatian. Beberapa indikasi masalah
integritas
pegawai
antara
lain:
terdapat
kredit
fiktif
dan
penyalahgunaan kredit yang melibatkan pegawai, ditemukannya pelunasan kredit yang tidak didukung bukti penerimaan setoran, ditemukannya angsuran kredit yang tidak disetorkan ke bank oleh pegawai. Kompetensi Pemilik dan Pengurus •
Juga terdapat indikasi adanya masalah kompetensi pemilik, pengurus, dan pegawai di beberapa BPR. Kemungkinan terdapat masalah pemahaman terhadap ketentuan perbankan, khususnya BPR, dan ketidaksanggupan bertindak dengan cepat sehingga ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat dipenuhi sesuai jadwal. Kurang terlibatnya komisaris dalam pengawasan operasional BPR dan terjadinya kesalahan dalam pemutusan pemberian kredit juga diduga sebagai akibat kurangnya kompetensi pengurus dalam hal bisnis BPR, selain disebabkan karena integritas.
•
Kompetensi pengurus BPR perlu mendapat perhatian supaya proses bisnis BPR berjalan dengan baik. Temuan menunjukkan tiga hal pokok. Pertama, kompetensi pengurus dalam hal manajemen strategi dan manajemen operasional BPR perlu mendapat peningkatan. Salah satu indikasinya adalah kekeliruan dalam menerapkan sistem insentif dalam penyaluran kredit yang terlalu menekankan pada target penyalurannya tetapi kurang memperhatikan unsur kehati-hatian. Hal tersebut mendorong penyaluran kredit secara kurang hati-hati sehingga potensial menjadi NPL. Kedua, kompetensi dalam perumusan prosedur dan kebijakan perkreditan. Peningkatan kompetensi ini 49
akan sangat membantu dalam meminimalisasi masalah integritas dan pengelolaan bank oleh pihak internal BPR. Ketiga, pemahaman mengenai pengawasan dan pendokumentasian transaksi juga perlu mendapat perhatian, terutama
dalam
hal
pendokumentasian
transaksi
pemberian
kredit,
penagihan kredit, dan biaya representasi.
50
Pergantian Direksi •
Analisis kuantitatif menunjukkan, pergantian direksi karena keluar dari BPR (turnover direksi) mempengaruhi NPL secara signifikan. Semakin sering direksi keluar dan berganti, semakin tinggi nilai NPL.
•
Penelitian tidak berhasil mendapatkan data lebih lanjut mengenai hubungan antara pergantian direksi dengan NPL. Namun berdasarkan kebiasaan yang terjadi di perusahaan keuangan, termasuk perbankan, karyawan kunci perusahaan, termasuk direksi, mampu mempengaruhi nasabah untuk mengikutinya. Dengan demikian, kemungkinan besar direksi yang keluar dan berpindah ke bank lain cenderung mempengaruhi nasabah untuk ikut beralih ke perusahaan direksi yang baru. Nasabah yang diajak berpindah hanya nasabah yang baik sedangkan nasabah yang tidak baik dibiarkan berada di BPR yang bersangkutan. Akibatnya, kualitas BPR secara rata-rata menurun dan NPL cenderung meningkat.
•
Dalam in-depth interview diketahui pula bahwa pergantian direksi dilakukan oleh pemilik BPR karena kinerja BPR yang buruk antara lain ditandai dengan rasio NPL yang tinggi. Direksi baru diharapkan dapat memperbaiki kinerja BPR tersebut.
Kompetensi Pegawai BPR •
Masalah kompetensi pegawai BPR dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok: masalah prosedur, penerapan 5C, pengawasan dan penanganan kredit bermasalah, dan administrasi.
•
Pertama, terdapat indikasi kurangnya pemahaman prosedur pemberian kredit sehingga menjadi sumber potensi penyimpangan dan kesalahan penyaluran kredit. Beberapa BPR memiliki sistem dan prosedur pemberian kredit namun pegawai tidak dapat menjalankan prosedur tersebut dengan baik. Salah satu sumber tingginya NPL adalah bila keputusan kredit melibatkan, bahkan menyerahkan kepada kantorpos, koperasi, dan kantor pelayanan. Ditemukan 51
kasus, bahwa keputusan kredit dapat dibuat oleh kantor pos yang bekerjasama dengan BPR sebagai tempat penagihan angsuran kredit pensiunan. Yang dilakukan oleh kantor pos tentunya tidak mengikuti prosedur pemberian kredit berdasarkan prinsip kehati-hatian. Ada juga BPR yang bekerjasama dengan koperasi untuk menyalurkan kredit. Masalah yang dihadapi adalah, ditemukan bahwa nasabah yang baik diberi kredit oleh koperasi yang bersangkutan sedangkan nasabah yang kurang baik diserahkan ke BPR untuk mendapatkan kredit. Hal ini sangat potensial menimbulkan NPL. •
Kedua, kurangnya pemahaman dalam melakukan analisis kredit, yaitu dalam hal menerapkan prinsip 5C dalam melakukan analisis. Kekurangan pemahaman ini menyebabkan pegawai menekankan pada ketersediaan dan nilai agunan. Namun demikian, penilaian dan penetapan agunan pun tidak selalu akurat untuk mengatasi recovery rate bila terjadi gagal bayar, khususnya bila agunan berupa sepeda motor. Untuk beberapa kasus, nilai kredit yang masih tertunggak lebih besar dari nilai pasar sepeda motor setelah kredit berjalan sehingga recovery rate jauh di bawah 100%.
•
Ketiga, kurangnya kompetensi dalam mengawasi dan menangani kredit bermasalah. Pegawai kurang dalam pengawasan penggunaan kredit oleh nasabah dan dalam melakukan kunjungan sehingga temuan kredit bermasalah dan gagal bayar terlambat. Selain itu, terdapat indikasi bahwa pegawai juga kurang memiliki kemampuan untuk membuat rencana tindakan untuk mengatasi kredit bermasalah tersebut.
•
Keempat, terdapat kelemahan administrasi dalam perkreditan, baik sebelum kredit
disalurkan,
pada
saat
kredit
disalurkan,
pengawasan
kredit,
pengawasan kondisi debitur, maupun administrasi penyetoran cicilan. •
Untuk beberapa BPR, masalah kompetensi pegawai diperparah oleh kurangnya jumlah pegawai. Di satu sisi, kekurangan pegawai menyebabkan tidak optimalnya penanganan nasabah dalam hal analisis kredit, penanganan kredit, dan penagihan.
52
Pembayaran dengan pemotongan gaji/tabungan •
Pembayaran atau penyicilan kredit dengan cara pemotongan gaji/tabungan diharapkan meningkatkan kelancaran pembayaran dan menurunkan NPL. Hal ini karena dapat mengurangi ketidaknyaman nasabah untuk menyetor dan meringankan beban pegawai BPR. Secara umum, seperti dibuktikan melalui analisis kuantitatif, terdapat kecenderungan bahwa pembayaran dengan sistem ini mampu menekan NPL secara signifikan.
•
Namun demikian, terdapat kasus yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan penerapan metoda ini, khususnya berkaitan dengan pemotongan gaji melalui kantor pos. Pemotongan hanya dilakukan bila nasabah mengambil gaji dan kemudian kantor pos melakukan pemotongan. Masalah yang muncul adalah, terjadi beberapa kasus bahwa nasabah tidak mengambil gaji ke kantor pos untuk periode yang cukup lama, ada yang sampai enam bulan. Hal ini menyebabkan kantor pos tidak dapat memotong gaji dan menyetor ke BPR sehingga menimbulkan kemacetan kredit.
Pembayaran kredit dengan jemputan (jemput bola) justru berdampak negatif •
Demikian pula dengan sistem jemput bola, di mana pegawai BPR mendatangi nasabah untuk menagih. Hal ini diharapkan dapat menekan NPL karena dapat mengurangi ketidaknyamanan nasabah untuk membayar tagihan kredit. Dari sisi nasabah, cara ini cukup efektif. Namun tidak demikian halnya dari sisi BPR. Analisis kuantitatif menunjukkan, cara menjemput bola justru meningkatkan NPL secara signifikan. Hal ini berarti terdapat masalah di dalam BPR, dan masalah ini terjadi secara umum di seluruh wilayah.
•
Ternyata ditemukan penyimpangan yang signifikan. Pertama, Account Officer (AO) tidak secara disiplin dan rutin untuk mengunjungi nasabah sehingga tidak dilakukan penagihan. Dalam kondisi ini, nasabah tidak merasa perlu berupaya menyetor langsung ke BPR. Kunjungan yang tidak rutin ini bisa karena jadwal AO yang padat atau penjadwalan yang tidak baik. Kedua, dicurigai bahwa AO yang bertugas terlalu lama untuk berhubungan dengan nasabah tertentu dan 53
menggunakan sistem jemput bola dapat memunculkan terjadinya fraud. Ketiga, terkait dengan masalah integritas di atas, AO dengan sengaja tidak menyetorkan atau menunda penyetoran hasil tagihan. •
NPL sebagai akibat penerapan sistem jemput bola dapat ditekan bila sistem administrasi dan pengawasan cukup baik. Administrasi dan pencatatan kunjungan AO perlu dilakukan dengan baik dan diketahui oleh atasan sehingga atasan dapat melakukan pengawasan. Demikian juga administrasi terhadap hasil kunjungan, termasuk pembayaran kredit atau cicilan oleh nasabah, sangat penting untuk memastikan bahwa setoran nasabah masuk ke bank.
Strategi pemasaran BPR perlu mendapat pembenahan •
Strategi pemasaran terkait dengan beberapa aspek, terutama aspek bauran pasar, target pasar, dan penetapan harga (suku bunga), dan sistem insentif bagi AO.
•
Dalam hal bauran pasar, ditemukan bahwa sebagian besar NPL tertanam pada sektor perdagangan dan konsumsi. Kenyataannya, kredit BPR terpusat di kedua sektor ini karena sebagian besar BPR melayani usaha mikro dan kecil di daerah perkotaan, dan kedua sektor tersebut yang paling menjanjikan. Namun demikian, kurangnya diversifikasi sektor dalam penyaluran kredit meningkatkan risiko portofolio kredit.
•
Dalam hal target pasar, terdapat kecenderungan bahwa kredit yang diberikan kepada kelompok cenderung lebih baik dengan NPL lebih rendah. Hal ini terutama bila pembayaran juga dilakukan dalam pool. Misalnya, penyaluran kredit secara kelompok kepada karyawan suatu institusi. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah prosedur, administrasi, dan pengawasan dalam penagihan kredit. Ditemukan kasus bahwa bagian pemotong gaji menyalahgunakan hasil pemotongan gaji untuk kepentingan sendiri dan tidak langsung disetorkan ke BPR. Hal ini menimbulkan NPL.
54
•
Dalam hal penetapan suku bunga, analisis kuantitatif menujukkan bahwa semakin tinggi suku bunga menyebabkan NPL semakin tinggi, dan dampaknya signifikan. Sekalipun suku bunga pinjaman BPR rata-rata lebih tinggi dari suku bunga pinjaman bank umum, BPR tetap perlu memperhatikan kemampuan membayar dari nasabah untuk memastikan kelancaran pembayaran pinjaman.
•
Dalam hal insentif bagi AO, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa sistem insentif yang diberikan kepada AO cukup efektif dan secara signifikan mendorong penyaluran kredit dengan baik sehingga NPL rendah. Namun demikian, seperti disampaikan di atas, kompetensi pengurus BPR perlu mendapat perhatian untuk memastikan bahwa desain dan impementasi sistem insentif cukup baik untuk menghindari kecenderungan AO yang berusaha menyalurkan kredit sebanyak mungkin untuk mengejar insentif tetapi mengabaikan kualitas nasabah. Seperti ditemukan di beberapa kasus, AO berusaha mengejar target penyaluran target tetapi mengorbankan kualitas kredit.
•
Selain hal-hal tersebut di atas, ditemukan juga bahwa beberapa BPR meringankan persyaratan kredit supaya dapat memperoleh nasabah karena situasi persaingan yang sudah ketat di suatu wilayah. Tindakan ini tentu saja sangat potensial menyebabkan terjadinya NPL.
Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit dengan lebih baik dan konsisten •
Terdapat temuan yang cukup kuat bahwa penggunaan analisis kredit dengan berdasarkan 5C masih perlu mendapat pembenahan untuk menekan NPL.
•
Penerapan analisis kelayakan kredit berdasarkan 5C memerlukan dua prayarat yang perlu dipenuhi, dan dalam kenyataan kedua hal tersebut tidak dipenuhi oleh sebagian BPR. Prasyarat pertama adalah kompetensi petugas atau analis kredit untuk menerapkan analisis. Seperti disampaikan di bagian depan, sebagian BPR menghadapi masalah kurangnya kompetensi analis 55
kredit, selain masalah jumlah tenaga yang kurang. Prasyarat kedua adalah tersedianya data atau dokumen yang akurat dan terkini (up to date) untuk kepentingan analisis kredit, baik untuk kredit bagi nasabah baru maupun perpanjang kredit. Selain kedua prasyarat tersebut masih menjadi masalah, temuan di sebagian BPR menunjukkan kurangnya pemeriksaan ulang oleh direksi terhadap keakuratan dan kekinian data dan terhadap hasil analisis dari bawahannya. •
Berkaitan dengan karakter debitur, temuan di seluruh wilayah sampel menunjukkan bahwa karakter atau itikad debitur merupakan masalah penting, yang menyangkut beberapa hal. Menurut hasil analisis kuantitatif, itikad debitur secara signifikan mempengaruhi NPL. Semakin baik karakter debitur, semakin rendah NPL, demikian juga sebaliknya. Menurut temuan dalam FGD, BPR mengalami kesulitan untuk mendapatkan debitur yang memiliki karakter yang baik di suatu daerah. Kemungkinan besar yang terjadi adalah ketidakmampuan BPR untuk mengidentifikasi karakter calon debitur sehingga kredit hanya disalurkan kepada yang beritikad baik.
•
Karakter yang tidak baik diketahui setelah terjadi kredit bermasalah dalam berbagai bentuk, misalnya: debitur sulit atau tidak dapat ditemui, pindah domisili atau tugas tetapi tidak memberitahu ke bank, berada dalam tahanan polisi, gaji debitur tidak dapat dipotong untuk membayar pinjaman karena dalam kondisi minus, tidak menunjukkan kemauan untuk memenuhi kewajiban kepada bank, penggunaan dana pinjaman untuk keperluan yang tidak sesuai dengan peruntukan kredit, pinjaman diserahkan dan digunakan oleh pihak lain tanpa sepengetahuan bank, dan munculnya kredit fiktif sehingga berakibat pada kredit bermasalah.
•
Kredit yang merupakan pengulangan, atau dari nasabah yang sama, cenderung lebih aman. Berdasarkan analisis kuantitatif, diperoleh kesimpulan bahwa kredit yang berulang cenderung berakibat pada NPL yang rendah, dan hubungan antara pengulangan kredit dengan rendahnya NPL ternyata signifikan. Hal ini karena BPR sudah mengenal debitur sehingga keputusan pemberian kredit menjadi lebih baik dan data tentang debitur berdasarkan 56
track record selama menjadi nasabah cukup baik dijadikan pedoman penilain karakter nasabah yang bersangkutan. Berdasarkan kesimpulan ini, perbaikan metoda penilaian karakter bagi nasabah baru perlu mendapat prioritas untuk mengurangi potensi terjadinya NPL. •
Untuk kredit kelompok, terdapat dua temuan yang berakibat pada NPL. Pertama, terjadi penyalahgunaan angsuran kredit oleh ketua kelompok. Sekalipun menurut anggota kelompok seharusnya kredit tidak bermasalah, menurut bank kredit tersebut menjadi bermasalah karena tidak ada setoran yang masuk ke bank. Demikian juga bila terjadi penyimpangan oleh petugas pemotong gaji untuk pembayaran cicilan pinjaman yang tidak langsung menyetorkan cicilan tersebut ke bank.
•
BPR juga relatif lemah dalam melakukan analisis kelayakan kredit berdasarkan kemampuan pemenuhan kewajibannya (capacity to repay oleh debitur). Beberapa kasus yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut. Pertama, terdapat kesalahan dalam pemberian kredit sepeda motor karena tidak didukung oleh analisis yang akurat. Setelah kredit diberikan, nilai pinjaman masih tinggi tetapi nilai pasar motor sudah turun jauh di bawah nilai pinjaman. Akibatnya, debitur membiarkan pinjaman menjadi macet dan menyerahkan sepeda motornya untuk disita. Kedua, petugas BPR melakukan kesalahan dalam memprediksi kemampuan membayar dari nasabah berdasarkan gaji, karena gaji tersebut sudah digunakan untuk keperluan lain. Bahkan ditemukan juga ternyata debitur tidak dapat membayar karena penghasilan debitur dalam kondisi minus. Ketiga, beberapa petugas BPR tidak mampu menghitung kebutuhan modal kerja sehingga terjadi kesalahan dalam menetapkan besarnya kredit yang disetujui. Keempat, petugas tidak memasukkan faktor risiko dalam menghitung kelayakan kredit.
•
Kekurangan lainnya adalah dalam memprediksi kondisi debitur, baik yang berkaitan dengan kondisi debitur itu sendiri maupun kondisi usaha. Oleh karena itu, BPR kemudian bergantung pada agunan. Tetapi ternyata agunan tidak menjamin rendahnya NPL, seperti diuraikan di bawah ini.
57
Pengikatan agunan yang tidak hati-hati •
Seperti telah diidentifikasi oleh bank Indonesia, dan didukung oleh hasil analisis, pengikatan agunan tidak otomatis bisa menekan NPL. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan fenomena bahwa jenis agunan dan nilai agunan berpengaruh pada tingginya NPL.
•
Dalam hal nilai agunan, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai agunan maka tingkat NPL semakin rendah secara signifikan. Hasil ini seperti yang diperkirakan. Di sisi lain, agunan tanah dan bangunan cenderung berdampak pada tingginya NPL dibandingkan dengan agunan jenis lain.
•
Temuan dari analisis kuantitatif dan FGD menunjukkan, masalah agunan terletak pada kemudahan likuidasi dan recovery rate. Temuan di hampir semua wilayah menunjukkan, pengikatan agunan berupa tanah dan bangunan menghadapi masalah legal. Selain itu, ditemukan juga bahwa survey tanah dan bangunan oleh petugas BPR kurang memadai.
•
Pengikatan agunan seringkali tidak memadai dari sisi hukum sehingga BPR mengalami kesulitan pada saat melakukan eksekusi pada saat terjadi kredit bermasalah. Salah satu kesulitan pengikatan yang memadai adalah karena tidak tersedianya lembaga fiducia di kota kecil atau daerah. Lembaga fiducia hanya terdapat di kota-kota besar. Dengan demikian BPR yang berada di kota kecil atau daerah harus menanggung biaya yang besar bila harus melakukan pengikatan di lembaga fiducia.
•
Hal-hal tersebut di atas menyebabkan kesulitan bagi BPR untuk menjual tanah dan bangunan sitaan, sekalipun agunan tersebut memiliki sertifikat yang lengkap. Sebagai akibatnya, recovery rate menjadi rendah dan tidak cukup untuk menutup NPL.
58
Faktor Persaingan •
Persaingan pendanaan bagi sektor UMKM juga semakin besar dengan munculnya lembaga-lembaga pendanaan yang menawarkan dana, dan saat ini di beberapa daerah sudah terasa kelebihan dana. Persaingan yang dihadapi oleh BPR di suatu wilayah tidak saja terhadap sesama BPR tetapi juga dengan pihak lain, di antaranya koperasi. Di Nusa tenggara Barat, misalnya, persaingan BPr dengan koperasi sangat ketat.
•
Salah satu akibatnya, BPR harus menggali pasar baru atau sektor yang belum banyak digarap. Selama ini, sebagian besar dana BPR disalurkan ke sektor perdagangan. BPR yang menyalurkan sebagian besar dananya ke sektor pertanian sangat sedikit, sekalipun sektor ini cukup besar dan diharapkan oleh BI untuk mendapat pendanaan dari BPR.
Perkembangan Perekonomian •
Salah satu sumber NPL yang dirasakan cukup besar adalah memburuknya kondisi perekonomian, yang ditandai dengan tingginya laju inflasi. Laju inflasi yang tinggi sehingga meningkatkan biaya hidup rumah tangga dan menurunkan daya beli masyarakat sedangkan debitur tidak dapat dengan cepat merespon kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan penjualan, penurunan order, bahkan pembatalan order, yang kemudian berakibat pada kemunduran bahkan kegagalan usaha debitur. Secara khusus, kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan transportasi menyebabkan tingginya biaya produksi. Hal ini berdampak pada kemampuan debitur BPR untuk mengembalikan
kewajiban
pinjaman,
dan
menurunnya
permintaan
pendanaan. •
Dampak penurunan kondisi ekonomi pada NPL diperparah oleh dua kondisi. Pertama, kondisi BPR yang kurang melakukan diversifikasi sektoral cenderung terkena dampak yang semakin besar. Kedua, ketersediaan dan pengikatan agunan yang kurang kuat secara hukum, dan kemudahan dala eksekusi ikut mempengaruhi tingginya NPL pada saat ekonomi terlanjur terpuruk.
Kondisi Spesifik Nasabah
59
•
Kondisi spesifik yang dimaksud di sini dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis. Pertama, terjadinya double financing, yang kemungkinan besar tidak disengaja oleh BPR karena ketidaktahuan.
•
Kedua, hal-hal yang terjadi pada nasabah yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di luar bisnis mereka tetapi mempengaruhi kelangsungan dan kinerja bisnis. Kondisi spesifik tersebut antara lain debitur menikah lagi, uang terpakai untuk biaya sekolah atau kuliah anak, modal usaha terpakai untuk menikahkan anak, uang digunakan untuk ke dokter karena sakit, kecelakaan, bahkan meninggal dunia.
•
Ketiga, nasabah kehilangan pekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban pinjaman, khususnya untuk kredit konsumsi.
•
Keempat, nasabah yang mencampuradukkan keuangan usaha dengan keuangan keluarga cenderung memiliki NPL yang tinggi secara signifikan.
Faktor alam •
Selain
itu,
faktor
alam
juga
mempengaruhi
NPL.
Beberapa
kasus
menunjukkan, kemarau berkepanjangan menyebabkan gagal panen dan berakibat kredit macet di sektor pertanian. Demikian juga dengan bencana alam, seperti banjir dan gempa bumi, berdampak pada kinerja debitur. •
Berbeda dengan bank umum yang memiliki wilayah operasi lebih luas, BPR sangat rentan terhadap kejadian-kejadian alam seperti di atas, yang umumnya terjadi di wilayah terbatas. Sebagai contoh, BPR di Yogyakarta mengalami masalah serius dengan adanya bencana alam di wilayah DIY. Tidak demikian dengan BRI. Sekalipun BRI yang beroperasi di wilayah DIY mengalami musibah yang parah, misibah tersebut dinilai kecil oleh BRI secara korporat.
Kerjasama pemberian kredit dengan pihak luar •
BPR melakukan kerjasama dengan beberapa pihak, antara lain koperasi, institusi, dan kantor pos. Kerjasama dengan koperasi bertujuan untuk menyalurkan kredit kepada anggota koperasi sedangkan kerjasama dengan institusi dalam rangka penyaluran kredit kepada karyawan dari institusi yang bersangkutan. Kerjasama dengan kantor pos bertujuan untuk menyalurkan kredit kepada pensiunan. 60
•
Kredit melalui kerjasama tersebut menimbulkan NPL biasanya terkait dengan dua hal pokok: kewenangan pihak luar yang terlalu besar dan penyalahgunaan uang oleh pihak luar.
•
Pertama, pemberian wewenang kepada pihak luar terlalu besar. Dalam beberapa
kasus,
lembaga-lembaga
tersebut
diberi
wewenang
untuk
memutuskan kredit, yang seharusnya diputuskan oleh BPR setelah melalui analisis kredit. Lembaga-lembaga tersebut tidak melakukan analisis dengan baik sehingga kualitas kredit rendah sejak awal. •
Dalam hal koperasi, BPR cenderung menerima nasabah yang berkualitas rendah. Nasabah-nasabah yang baik dan berkualitas tinggi diambil dan diberi kredit oleh koperasi yang bersangkutan sedangkan nasabah yang dianggap kurang baik diserahkan ke BPR untuk diberi kredit.
•
Dalam hal kantor pos, beberapa BPR memberi kewenangan untuk memutuskan pemberian kredit sehingga keputusan tidak melalui mekanisme analisis yang baik.
•
Kedua, dana kredit yang diserahkan kepada lembaga tersebut oleh BPR dan cicilan yang diserahkan oleh nasabah digunakan sendiri oleh oknum dari lembaga terssebut.
Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery •
Pengawasan dan tindakan terhadap penyimpangan kredit relatif lemah di hampir semua wilayah sampel. Beberapa masalah yang terkait dengan sistem dan mekanisme ini adalah sebagai berikut. Pertama, BPR kurang melakukan pengawasan terhadap penggunaan kredit oleh nasabah dan penyimpangan biasanya diketahui setelah kredit berstatus kredit non lancar atau NPL. Kedua, BPR kurang melakukan kunjungan ke nasabah setelah kredit diberikan. Ketiga, BPR gagal menagih. Keempat, kurangnya tindakan recovery yang baik bila ditemukan penyimpangan atau NPL.
•
Hal tersebut dapat terjadi diduga karena faktor berikut. Pertama, sistem dan prosedur pengawasan tidak dibakukan sehingga setiap petugas menjalankan pengawasan berdasarkan kebiasaan atau kewajaran. Kedua, kompetensi petugas yang kurang memadai dalam hal pengawasan dan penyusunan recovery plan.
Ketiga, sistem insentif hanya ditekankan pada penyaluran 61
kredit tetapi tidak dikaitkan pada kesehatan kredit, tingkat NPL atau tingkat pengembalian dari kredit.
62
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Untuk meneliti faktor-faktor penyebab NPL di BPR, penelitian ini berhasil mengidentifikasi tigabelas dari 62 variabel independen yang diuji secara kuantitatif. Dengan dilakukan konfirmasi dan dilengkapi melalui metoda kualitatif dengan cara focus group discussion, dapat disimpulkan duabelas faktor penyebab munculnya NPL. Faktor-faktor penyebab munculnya NPL adalah sebagai berikut: •
Masalah integritas pemilik, pengurus dan pegawai BPR berupa intervensi yang bersumber
pada
tiga
hal:
ketidakjelasan
prosedur,
ketidakdisiplinan
pencatatan, dan kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik. Lemahnya integritas tersebut memunculkan beberapa persoalan, terutama munculnya kredit fiktif, kredit kepada pihak terkait tanpa melalui prosedur yang sesuai, kredit topengan, dan adanya transaksi yang tidak dicatat. •
Masalah kompetensi pengurus, baik terhadap ketentuan Bank Indonesia maupun dalam menjalankan proses bisnis BPR. Yang perlu mendapat perhatian adalah: kemampuan pemenuhan ketentuan Bank Indonesia, kemampuan merumuskan strategi dan operasionalisasi BPR, kompetensi perumusan prosedur dan kebijakan perkreditan, dan pemahaman tentang pengawasan dan pendokumentasian transaksi.
•
Masalah kompetensi pegawai BPR dalam menerapkan prosedur, penerapan 5C, pengawasan dan penanganan kredit bermasalah, dan administrasi. Halhal yang perlu mendapat perhatian adalah: kesalahan dalam menerapkan prosedur perkreditan, kesalahan dalam melibatkan pihak luar dalam keputusan kredit, terlalu menekankan pada penggunaan agunan untuk menutupi kelemahan analisis kelayakan kredit, kurangnya kompetensi menangani kredit bermasalah, dan kelemahan dalam administrasi kredit. 63
•
Pembayaran dengan pemotongan gaji/tabungan, sekalipun efektif tetapi menimbulkan potensi penyimpangan. NPL muncul terutama disebabkan oleh ketidakteraturan nasabah untuk mengambil gaji sehingga setoran cicilan kredit tidak dapat diterima oleh BPR.
•
Pembayaran kredit dengan jemput bola yang dapat berdampak negatif. NPL dapat terjadi karena ketidakdisiplinan dan ketidakrutinan AO untuk menagih, kemungkinan terjadi fraud oleh AO, dan terdapat kemungkinan AO tidak menyetorkan hasil penagihan ke BPR.
•
Strategi pemasaran BPR yang masih lemah dan perlu mendapat perhatian. NPL dapat muncul karena kurangnya diversifikasi portofolio kredit nasabah, kredit diberikan kepada individu yang cenderung memunculkan NPL lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian kredit kepada kelompok, tingginya suku bunga, dan ketidaktepatan menerapkan sistem insentif yang terlalu menekankan pada target penyaluran kredit.
•
Perlunya peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit dengan lebih baik dan konsisten. NPL tinggi karena kurang disiplinnya penerapan 5C dalam analisis kredit terutama karena masalah kompetensi pegawai BPR kurang tersedianya data/ dokumen nasabah, dan kurangnya pemeriksaan ulang oleh direksi.
•
Pengikatan agunan yang tidak hati-hati. Kelemahan analisis kredit menyebabkan BPR tergantung pada agunan. Namun pengikatan dan kualitas agunan ternyata menjadi masalah.
•
Tingginya persaingan antara sesama BPR dan antara BPR dengan lembaga keuangan lainnya, terutama koperasi, mendorong BPR untuk melakukan ekspansi ke sektor atau pasar yang belum terlalu dikenal.
•
Menurunnya kondisi perekonomian, yang ditunjukkan oleh tingginya laju inflasi atau kenaikan harga komoditas pokok, menyebabkan aktivitas 64
perekonomian menurun dan kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya menurun. •
Faktor-faktor khusus nasabah yang berpengaruh terhadap NPL antara lain: perilaku nasabah sehingga menimbulkan double financing, kehidupan keluarga nasabah yang dapat menyebabkan penyimpangan penggunaan keuangan, kehilangan pekerjaan, dan pencampuradukan keuangan bisnis dan rumah tangga.
•
Faktor alam seperti bencana, sekalipun terjadi di satu daerah saja, bisa berdampak secara signifikan terhadap NPL BPR karena wilayah operasional BPR yang dibatasi pada wilayah kabupaten/kota. Secara khusus, bencana alam juga sering mengakibatkan gagal panen sehingga NPL dapat tinggi bagi BPR yang menyalurkan pinjaman ke sektor pertanian.
•
Kerjasama
pemberian
kredit
dengan
pihak
luar
secara
potensial
memunculkan NPL karena pemberian kewenangan kepada pihak luar yang terlalu besar, terutama karena pihak luar berwenang memutuskan kredit, dan penyalahgunaan setoran cicilan oleh pihak luar tersebut. •
Sistem dan mekanisme pengawasan dan program recovery, terutama karena kurangnya pengawasan penggunaan kredit, kurangnya kunjungan ke nasabah, kelalaian menagih, dan masalah kompetensi BPR untuk mendesain program recovery.
Rekomendasi Terkait dengan temuan-temuan di atas, beberapa tindakan yang dapat diambil Bank Indonesia untuk menekan NPL BPR adalah sebagai berikut. •
Program sertifikasi dan pendidikan reguler. Program sertifikasi bagi pengurus BPR tetap diperlukan. Demikian juga program sertifikasi bagi karyawan BPR, khususnya petugas analisis dan pengelola kredit, perlu dipertimbangkan. Selain itu, pendidikan rutin untuk pemilik, pengurus, dan karyawan secara reguler perlu dipertimbangkan. Bagi pemilik dan pengurus, program 65
pendidikan reguler bertujuan untuk media informasi dan komunikasi terhadap perkembangan baru, termasuk ketentuan BI, supaya selalu diikuti dan dipahami oleh pemilik dan pengurus. Bagi direksi BPR, pendidikan tersebut bertujuan untuk memastikan kompetensi dalam hal perumusan strategi BPR sehingga mampu merumuskan kebijakan yang sejalan dengan upaya penyaluran kredit sekaligus menjaga kesehatan BPR. Bagi karyawan BPR, tujuan pendidikan reguler adalah untuk memastikan kompetensi karyawan dalam melalukan analisis kredit, mengawasi, dan melakukan tindakan recovery bila terjadi masalah dengan kredit. Program sertifikasi disarankan mengingat adanya indikasi permasalahan kompetensi pada pengurus, pengelola, dan karyawan BPR termasuk permasalahan integritas. Namun, oleh karena didapati pula kalau variabel sertififkasi tidak signifikan menentukan NPL padahal keberadaannya sangat dibutuhkan dalam pengembangan kompetensi sumber daya manusia di BPRBPR maka diperlukan perubahan pada materi dan metode ujian sertifikasi termasuk pelatihan-pelatihannya. Dalam rangka memperoleh kurikulum yang benar-benar sesuai dengan ketutuhan, disarankan untuk: 1. Dilakukan studi lanjutan tentang efektifitas pelaksanaan sertifikasi pengurus BPR. 2. Dilakukan training need assessment untuk mengetahui kebutuhan pelatihan yang benar-benar dibutuhkan untuk program-program pelatihan/pendidikan reguler bagi pengurus maupun karyawan BPR. Salah satu modul pelatihan yang sudah teridentifikasi dan diperlukan oleh BPR adalah analisis kredit untuk sektor di luar perdagangan, khususnya kredit sektor pertanian. •
Pembinaan dan pengawasan kelengkapan sistem dan prosedur. Bank Indonesia perlu memastikan tersedianya sistem dan prosedur terhadap analisis kredit, pemantauan kredit, pembayaran angsuran kredit, recovery action, dan prosedur persetujuan kredit, dan pedoman kerjasama dengan pihak lain.
66
•
Pedoman agunan. Perlu juga disediakan pedoman penetapan agunan sehingga pengikatan agunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bank Indonesia dirasa perlu untuk membantu
untuk mendorong berdirinya
lembaga fiducia atau sejenisnya supaya BPR di daerah atau kota kecil dapat mengurus pengikatan agunan dengan biaya yang terjangkau. •
Oleh karena ditemukan kalau pemberian insentif kepada AO atas kredit yang tertagih dapat memperbaiki NPL, sedangkan terdapat indikasi NPL tinggi oleh karena pemberian insentif yang keliru (memberikan insentif sesuai dengan banyaknya kredit yang diberikan) kepada pengurus BPR, maka BI dapat menyarankan BPR untuk memiliki sistem insentif, baik kepada AO maupun kepada pengurus atas dasar kredit yang tertagih dan bukan banyaknya kredit yang diberikan. Pemberian insentif yang benar yang diberikan atas dasar kredit yang tertagih dapat memperkecil rasio NPL BPR.
•
Mengingat kredit yang diberikan BPR adalah kepada nasabah-nasabah kecil yang pada umumnya adalah sektor informal maka cara penilaian kelayakan kredit yang digunakan perbankan pada umumnya perlu disesuaikan dengan kondisi nasabah BPR. Beberapa variabel pada Model Penentuan Kolektibilitas Kredit yang ditemukan pada penelitian ini dapat diusulkan kepada BPR untuk digunakan sebagai kriteria dalam mengevaluasi kelayakan kredit. Kriteria dan pembobotan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut: Kriteria
Bobot
1. Jenis agunan yang digunakan adalah tanah/bangunan
+ 0,8
2. Nilai agunan lebih besar dari nilai kredit
- 1,2
3. Merupakan kredit pengulangan
- 0,3
4. Memiliki masalah keluarga yang serius
+ 1,8
5. Ada indikasi/kesan akan mengembalikan kredit
- 1,4
6. Menggabungkan administrasi kredit dan pribadi
+ 0,4
7. Persaingan bisnis debitur cukup ketat
+ 2,2
Jika kriteria tidak sesuai, berarti bobot yang diberikan adalah 0. Misalnya pada
kriteria
pertama,
jika
jenis
agunan
yang
digunakan
bukan
tanah/bangunan maka bobot yang diberikan adalah 0 (nol). Demikian juga pada kriteria kedua, jika nilai agunan ternyata lebih kecil dari nilai kredit 67
bobot yang diberikan 0, demikian seterusnya. bobotnya.
Setelah itu jumlahkan
Total bobot yang diperoleh menunjukkan angka probabilitas
apakah akan menurunkan atau malah meningkatkan NPL. Jika total bobot menunjukkan angka yang negatif berarti menurunkan NPL sedangkan jika positif berarti meningkatkan NPL.
Total bobot dengan nilai negatif yang
diharapkan dan semakin kecil total bobotnya semakin baik. Nilai negatif dan semakin kecil berarti bahwa kemungkinan kolektibilitasnya akan semakin lancar. •
Diperlukan lembaga pengaman risiko kredit. BPR menghadapi risiko kredit tidak tertagih. Dengan NPL yang tinggi membutktikan bahwa risiko kredit tidak tertagih cukup besar. Untuk itu, dirakasan perlu untuk membentuk badan penjamin risiko kredit, misalnya lembaga pemberi asuransi kredit.
•
Penelitian lanjutan diperlukan. Seperti disampaikan di bab Pendahuluan, penelitian tidak memasukkan beberapa variabel yang kemungkinan mempengaruhi tingkat NPL dari kredit BPR, antara lain faktor asal daerah, usia, dan lainnya. Bank Indonesia perlu mempertimbangkan untuk melakukan penelitian tentang pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap NPL untuk melengkapi informasi sehingga kebijakan dan ketentuan yang dibuat bisa lebih komprehensif.
68
Lampiran 1
Kuesioner
69
KUESIONER UNTUK BPR Kuesioner ini Digunakan dalam Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
PROSES PEMBERIAN KREDIT KETERANGAN : •
Angket ini dibuat semata-mata untuk maksud penelitian/survey dan bukan untuk maksud evaluasi atau penilaian. Informasi yang ingin diketahui menyangkut proses pemberian kredit di suatu BPR. Semua informasi yang diperoleh dari angket ini akan disimpan kerahasiaannya.
•
Orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang proses pemberian kredit adalah Direksi di BPR yang bersangkutan. Peneliti diharapkan menuntun Direksi dalam mengisi angket ini. Cara mengisi angket adalah dengan menuliskan pada tempat yang telah disediakan (pada titik-titik) atau dengan memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak didepan jawaban.
•
Posisi kredit adalah per 31 Desember 2006.
1. Data umum BPR Saudara: Nama BPR : ………………………………………………………………………………….. Alamat : ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. Kabupaten/Kota : ………………………………………………………………………………….. Propinsi : ………………………………………………………………………………….. No. Telepon : ………………… ………… fax: …………………………..........………….. Bentuk organisasi: [ ] PT [ ] PD [ ] Koperasi 2. Berapa jumlah kredit BPR Saudara? Rp ........................................ dan berapa yang dikategorikan sebagai non Lancar (Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet)? Rp.................................................. 3. Faktor mana yang paling menentukan di BPR Saudara ketika akan menilai kelayakan suatu kredit? [ ] Nilai agunan. [ ] Kesanggupan debitur memperoleh pendapatan.
70
[ [ [ [
] ] ] ]
Riwayat peminjam. Keabsahan/legalitas usaha. Karakter calon debitur. Hubungan antara pengurus/pemilik dengan debitur.
4. Berapa rata-rata waktu yang BPR Saudara butuhkan untuk menyetujui kredit? ........... hari 5. Bagaimana proses persetujuan kredit yang berlaku di BPR Saudara? [ ] Persetujuan kredit dilakukan secara berjenjang (sampai tingkat manajer atau Direktur atau Komite Kredit) sesuai dengan besarnya plafond kredit [ ] Persetujuan kredit dilakukan secara berjenjang (sampai tingkat Direktur atau Komite Kredit) sesuai dengan besarnya plafond kredit [ ] Semua persetujuan kredit harus dilakukan melalui Komite Kredit 6. Bagaimana cara pembayaran angsuran kredit yang paling dominan di BPR Saudara? [ ] Angsuran disetor langsung ke BPR [ ] Angsuran diambil/dijemput ke debitur [ ] Angsuran dipotong secara langsung dari gaji/tabungan debitur [ ] Angsuran dibayar secara transfer ke rekening BPR di bank umum 7. Apakah Direktur di BPR Saudara telah memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP LKM Certif)? [ ] Ya [ ] Tidak 8. Apakah Saudara sebagai anggota Direksi ikut memasarkan kredit? [ ] Ya [ ] Tidak, yang melaksanakan: ........................................................................ ………… 9.
Selama tiga tahun terakhir, sudah berapa kali direksi di BPR Saudara keluar atau pindah kerja? [ ] Belum pernah [ ] Satu kali [ ] Dua kali [ ] Lebih dari dua kali
10. Apa peran Dewan Pengawas atau Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan kegiatan operasional di BPR Saudara? [ ] Memantau dan memberikan tanggapan terhadap pencapaian target yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran BPR [ ] Memantau pemenuhan/kepatuhan BPR pada ketentuan terkait [ ] Telah menjalankan kedua fungsi di atas [ ] Belum melakukan fungsi tersebut di atas
71
11. Bagaimanakah peran Pemilik dalam pemberian kredit? [ ] Ikut merekomendasikan calon debitur tertentu yang akan dibiayai [ ] Tidak pernah ikut campur dalam pemberian kredit [ ] Merekomendasikan sebagian besar calon debitur yang akan dibiayai 12. Bagaimanakah peran Komisaris dalam pemberian kredit? [ ] Ikut merekomendasikan calon debitur tertentu yang akan dibiayai [ ] Tidak pernah ikut campur dalam pemberian kredit [ ] Merekomendasikan sebagian besar calon debitur yang akan dibiayai
13. Apakah Pemilik memiliki bisnis selain usaha BPR? [ ] Tidak memiliki bisnis lain sama sekali [ ] Memiliki bisnis lain di bidang pembiayaan, sebutkan.................................................. [ ] Memiliki bisnis lain di luar bidang pembiayaan, sebutkan........................................... 14. Apakah Komisaris memiliki bisnis selain usaha BPR? [ ] Tidak memiliki bisnis lain sama sekali [ ] Memiliki bisnis lain di bidang pembiayaan, sebutkan.................................................. [ ] Memiliki bisnis lain di luar bidang pembiayaan, sebutkan........................................... 15. Siapakah debitur utama Saudara? [ ] Keluarga/teman/kenalan [ ] Karyawan perusahaan/instansi pemerintah dalam rangka kerjasama dengan pengurus perusahaan/instansi tersebut [ ] Masyarakat sekitar 16. Apakah Saudara memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB)? [ ] Ya [ ] Tidak 17. Bagaimana kolektibilitas kredit dari debitur yang merupakan binaan KKMB tersebut? [ ] Seluruhnya lancar [ ] Lebih dari 50% debitur mempunyai kolektibilitas kredit Lancar [ ] Lebih dari 50% debitur mempunyai kolektibilitas kredit Non Lancar 18. Apa persyaratan pendidikan minimal dalam merekrut Account Officer? [ ] Lulus SMP [ ] Lulus SMA [ ] Lulus Diploma [ ] Lulus Sarjana Strata 1
72
19. Apakah BPR Saudara melakukan pelatihan khusus kepada Account Officer? [ ] Ya [ ] Tidak, alasan: .............................................................................. …………………….. 20. Berapa besar perbandingan antara Account Officer dengan jumlah nasabah di BPR Saudara? .............................. 21. Selama 1 (satu) tahun terakhir, berapa banyak Account Officer yang sudah keluar/dikeluarkan atau pindah kerja? ...................... orang. Berapa jumlah Account Officer di BPR Saudara saat ini? ...................... orang. 22. Berapa rata-rata masa kerja sebagai Account Officer di BPR Saudara? ............... tahun 23. Bagaimana penyebaran lokasi usaha debitur yang ditangani oleh masing-masing Account Officer di BPR Saudara? [ ] Mengelompok [ ] Tersebar 24. Apakah Account Officer Saudara melakukan kunjungan rutin dalam rangka memonitor kondisi dan kegiatan usaha nasabah? [ ] Ya. Frekuensi kunjungan: ............................ per bulan. [ ] Tidak. Alasan: ............................................................................................................ 25. Apakah ada pemantauan yang dilakukan untuk memeriksa pekerjaan staf pemasaran (Account Officer) dalam rangka penagihan? [ ] Ya, berupa: ............................................................................................................ [ ] Tidak, alasan: ........................................................................................................ 26. Apakah BPR Saudara menerapkan sistem insentif bagi Account Officer? [ ] Ya, berupa: ............................................................................................................ [ ] Tidak 27. Apakah BPR Saudara telah memiliki petugas/bagian khusus yang menangani kredit bermasalah? [ ] Ya [ ] Tidak, alasan: .......................................................................................................... 28. Apakah dalam struktur organisasi BPR Saudara memiliki tim pengendalian intern? [ ] Ya
73
[ ] Tidak, alasan: .......................................................................................................... 29. Siapa pesaing utama dalam penyaluran kredit (pilih satu)? [ ] Sesama BPR [ ] Koperasi [ ] Bank umum [ ] Lembaga keuangan non bank [ ] Lainnya, sebutkan: ..................................................................................................... 30. Seberapa besar dampak persaingan BPR Saudara dengan lembaga keuangan lain dalam pemberian kredit ? [ ] Rendah [ ] Sedang [ ] Tinggi [ ] Sangat Tinggi 31. Apakah BPR Saudara mendapatkan kredit dari bank umum dalam rangka Linkage Program? [ ] Ya, jumlah plafond : Rp .................................. Baki debet : ........................................ [ ] Tidak
74
KUESIONER UNTUK BPR Kuesioner ini Digunakan dalam Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
STATUS KREDIT DEBITUR KETERANGAN : •
Angket ini dibuat semata-mata untuk maksud penelitian/survey dan bukan untuk maksud evaluasi atau penilaian. Semua informasi yang diperoleh akan disimpan kerahasiaannya.
•
Tujuan angket ”Status Kredit Debitur” ini adalah untuk memperoleh informasi tentang status kredit debitur di suatu BPR. Orang yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang debitur adalah Direksi atau salah satu Account Officer di BPR tersebut.
•
Peneliti harus memilih debitur dari setiap BPR yang menjadi sampel dengan jumlah yang proporsional. Debitur yang dipilih diharapkan: o
Sama dengan debitur yang menjadi responden dalam angket nasabah BPR
o
Berdomisili disekitar BPR agar lebih mudah dijangkau.
o
Terdiri dari debitur dengan kredit kurang dari Rp 5 juta dan sebagiannya lagi adalah debitur dengan kredit yang sama atau lebih besar dari Rp 5 juta. Diharapkan proporsinya sama.
o
Merepresentasikan debitur yang kreditnya lancar, kurang lancar, diragukan, dan macet.
•
Peneliti memberikan angket ini kepada Direksi atau Account Officer untuk diisi. Cara mengisi angket ini adalah dengan menuliskan pada tempat yang telah disediakan (pada titik-titik) atau dengan memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak didepan jawaban.
•
Posisi kredit adalah per 31 Desember 2006.
32. Debitur yang akan dinilai: Nama : …………………………................…………………………………………… Alamat : …………………………………………………………………………………. …………………………………………………………………………………. Kabupaten/Kota : …………………………………………………………………………………. Propinsi : …………………………………………………………………………………. Jenis Usaha : ………………………………………………………………………………….
75
No. Telp. 33.
: ………………………………….
Berapa besar plafond kredit yang diberikan kepada debitur ini? [ ] < Rp 1 jt. [ ] Rp 1 jt. s/d < Rp 5 jt. [ ] Rp 5 jt. s/d < Rp 25 jt. [ ] Rp 25 jt. s/d < Rp 50 jt. [ ] Rp 50 jt. s/d < Rp 500 jt. [ ] > Rp 500 jt.
34. Berapa besar baki debet kredit tersebut? Rp ........................................ 35. Berapa besar suku bunga yang dikenakan pada kredit tersebut? .................. % (flat per bulan). 36. Berapa persen tambahan biaya yang dikenakan BPR selain bunga? ................ % (dibandingkan dengan plafond). 37. Berapa lama jangka waktu pelunasannya? .................... bulan. (jangka waktu yang terlama apabila debitur tersebut memperoleh lebih dari satu fasilitas kredit) 38.
Apakah kredit yang diberikan ini dalam bentuk berkelompok? [ ] Ya [ ] Tidak
39. Saat ini (pada posisi 31 Desember 2006), bagaimana kolektibilitas kredit debitur? [ ] Lancar [ ] Kurang Lancar [ ] Diragukan [ ] Macet 40. Apa tujuan dari pengajuan kredit tersebut? [ ] Dipakai untuk keperluan pribadi (konsumsi). [ ] Digunakan untuk membiayai operasional usaha (modal kerja). [ ] Digunakan untuk membeli peralatan/mendirikan usaha baru (investasi). [ ] Digunakan untuk beberapa tujuan (kombinasi) [ ] Lainnya, sebutkan: .................................................................................................... 41. Masuk pada sektor ekonomi apa penggunaan dari kredit tersebut? [ ] Pertanian [ ] Perindustrian [ ] Perdagangan [ ] Jasa-jasa [ ] Lainnya (untuk keperluan konsumtif atau lainnya), sebutkan: ..................................
76
42. Apakah kredit tersebut memiliki agunan? [ ] Ya, agunan kendaraan. [ ] Ya, agunan tanah. [ ] Ya, agunan tanah dan bangunan. [ ] Ya, agunan lainnya, sebutkan: ................................................................................... [ ] Tidak 43. Bagaimana nilai agunan jika dibandingkan dengan plafond kredit? [ ] Nilai agunan lebih kecil dari nilai kredit. [ ] Nilai agunan sama dengan nilai kredit. [ ] Nilai agunan lebih besar dari nilai kredit. [ ] Tidak ada agunan sehingga tidak dapat dibandingkan.
44. Sudah berapa kali debitur yang bersangkutan mendapat fasilitas kredit di BPR Saudara? [ ] Baru pertama kali. [ ] Sudah kedua kalinya. [ ] Sudah yang ketiga kalinya. [ ] Sudah lebih dari tiga kali. 45. Apakah terdapat program asuransi dalam pemberian kredit terhadap debitur tersebut? [ ] Ya. Sebutkan .................. (asuransi jiwa/asuransi kredit) [ ] Tidak Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas Lancar 46. Bagaimana keadaan debitur pada akhir tahun 2006 (bln Desember)? [ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut/dll) [ ] Tidak punya itikad untuk mengembalikan kredit. [ ] Baik-baik saja 47. Bagaimana kondisi usaha yang sedang dijalankan debitur pada akhir tahun 2006 (bln Desember)? [ ] Tidak mengalami masalah [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan: ....................................................................................................
77
Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas non lancar (Kurang Lancar, Diragukan, atau Macet) 48. Bagaimana keadaan debitur pada saat kredit mulai menunggak? [ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut/dll) [ ] Tidak punya itikad untuk mengembalikan kredit. [ ] Baik-baik saja 49. Bagaimana kondisi usaha yang sedang dijalankan debitur pada saat kredit mulai menunggak? [ ] Tidak mengalami masalah [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan: ....................................................................................................
78
KUESIONER UNTUK DEBITUR BPR Kuesioner ini Digunakan dalam Penelitian Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
NASABAH BPR KETERANGAN : •
Tujuan angket ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kondisi nasabah dari suatu BPR.
•
Angket ini dipegang oleh peneliti (research assistant) sebagai bahan dalam mewawancarai nasabah/debitur. Angket ini diisi oleh peneliti.
•
Sebelum memulai wawancara, sangat penting untuk mengingatkan responden (dalam hal ini debitur) bahwa angket ini dibuat untuk maksud penelitian/survey dan bukan untuk bahan evaluasi. Semua informasi yang diperoleh akan disimpan kerahasiaannya.
•
Cara mengisi angket ini adalah dengan menuliskan pada tempat yang telah disediakan (pada titik-titik) atau dengan memilih salah satu jawaban yang sesuai dengan cara memberi tanda silang (X) pada kotak didepan jawaban.
•
Posisi kredit adalah per 31 Desember 2006.
•
Debitur yang yang menjadi responden dalam angket ini sama dengan debitur yang dipilih untuk angket status kredit debitur.
50. Tuliskan nama dan alamat Saudara: Nama : …………………………………………...................………………… Jenis Kelamin : [ ] Pria [ ] Wanita Usia : ……….. tahun. Status : [ ] Kawin [ ] Belum kawin Jumlah Tanggungan : ................ orang Jenis Pekerjaan/Usaha : …………………………………………………………….…………. Lama Usaha/Pekerjaan : ............... tahun No. Telp : ....................................................................................................
[ ] Cerai
51. Sudah berapa lama Saudara menjadi nasabah kredit di BPR ini? ............... bulan.
79
52. Berapa besar kredit yang diberikan? [ ] Sama dengan yang diminta [ ] Lebih kecil dari yang diminta Darimana kekurangan dana diperoleh untuk mencukupi kebutuhan usaha? ....................................................................................................................... .......... [ ] Lebih besar dari yang diminta Untuk apa kelebihan dana yang didapatkan? .........................................................
53. Apakah Saudara memiliki kredit di bank atau lembaga keuangan lain atau pihak lainnya? [ ] Ya, sebutkan: ........................................................................................................... [ ] Tidak 54. Apakah kredit yang Saudara terima masuk pada kategori kredit berkelompok? [ ] Ya [ ] Tidak 55. Hubungan apa yang Saudara miliki dengan pengurus/pemilik bank? [ ] Keluarga/saudara [ ] Pertemanan [ ] Tidak ada 56. Bagaimana status kepemilikan tempat tinggal Saudara? [ ] Milik sendiri [ ] Sewa [ ] Milik orangtua/saudara/teman 57. Bagaimana status kepemilikan tempat usaha Saudara? [ ] Milik sendiri [ ] Sewa [ ] Milik orangtua/saudara/teman 58. Bagaimana anda menangani keuangan untuk pembayaran angsuran kredit Saudara? [ ] Dipisahkan dari keuangan keluarga. [ ] Digabung dengan keuangan keluarga. 59. Apakah terdapat program asuransi dalam kredit yang Saudara terima? [ ] Ya. Sebutkan ......................................................... (asuransi jiwa/asuransi kredit) [ ] Tidak
80
Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas Lancar 60. Bagaimana keadaan Saudara pada akhir tahun 2006 (bln Desember)? [ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut,dll) [ ] Baik-baik saja 61. Bagaimana kondisi usaha Saudara pada akhir tahun 2006 (bln Desember)? [ ] Meningkat [ ] Tetap [ ] Menurun 62. Bagaimana kondisi usaha yang sedang Saudara jalankan pada akhir tahun 2006 (bln Desember)? [ ] Tidak mengalami masalah apapun. [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan: ................................................................................................ Khusus untuk debitur dengan kolektibilitas Non Lancar (Kurang Lancar, Diragukan, Macet) 63. Bagaimana keadaan Saudara pada saat kredit mulai menunggak? [ ] Memiliki masalah kesehatan yang serius. [ ] Memiliki masalah keluarga yang serius. [ ] Kehilangan pekerjaan (PHK/perusahaan bangkrut,dll) [ ] Baik-baik saja 64. Bagaimana kondisi usaha Saudara pada saat kredit mulai menunggak? [ ] Meningkat [ ] Tetap [ ] Menurun
81
65. Bagaimana kondisi usaha yang sedang Saudara jalankan pada saat kredit mulai menunggak? [ ] Tidak mengalami masalah apapun. [ ] Mengalami musibah (bencana alam, kecelakaan, penipuan). [ ] Mengalami persaingan usaha yang sangat ketat. [ ] Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga. [ ] Lainnya, sebutkan: ................................................................................................
82
Lampiran 2
Kondisi Internal BPR
83
KONDISI INTERNAL BPR
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Proses Persetujuan Kredit 1. Jenjang persetujuan kredit 2. Lama kredit memperoleh persetujuan 3. Intervensi pemilik dalam pemberian kredit 4. Intervensi komisaris dalam pemberian kredit Variabel-variabel yang berhubungan dengan Syarat Pemberikan Kredit 5. Syarat permberian kredit Variabel-variabel yang berhubungan dengan Proses Penagihan Kredit 6. Cara pembayaran 7. Kunjungan rutin Account Officer 8. Sistem insentif bagi Account Officer 9. Keberadaan petugas khusu penagihan. Variabel-variabel yang berhubungan dengan Strategi Pemasaran Kredit. 10. Direksi ikut memasarkan 11. Target market tertentu 12. Mendapatkan binaan keuangan 13. Sebaran lokasi dibitur Variabel-variabel yang berhubungan dengan Peran Direksi dan Komisaris 14. Direksi memiliki bisnis lain 15. Komisaris memiliki bisnis lain 16. Pengawasan komisaris 17. Sertifikasi yang diperoleh oleh direksi 18. Perputaran direksi Variabel-variabel yang berhubungan dengan Peran Account Officer 19. Tingkat pendidikan formal 84
20. Pelatihan yang diberikan 21. Rasio antara Account Officer dan nasabah 22. Perputaran Account Officer 23. Masa kerja Variabel-variabel yang berhubungan dengan Proses Pengendalian 24. Keberadaan internal auditor 25. Pemantauan rutin kepada Account Officer Variabel-variabel yang berhubungan dengan linkage program 26. Pemanfaatan linkage program
85
Lampiran 3
Hasil Pengolahan Data Kondisi Internal BPR dan Rasio NPL
86
HASIL PENGOLAHAN DATA KONDISI INTERNAL BPR DAN RASIO NPL Faktor-faktor yang berhubungan dengan Proses Persetujuan Kredit:
Unstandardized Coefficients B 1
Std. Error
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
(Constant)
,175
,046
3,835
,000
BIROKRB
-,016
,028
-,044
-,568
,571
BIROKRC
-,003
,026
-,008
-,102
,919
WAKTU
,005
,005
,072
1,047
,296
PEMILIKB
-,026
,039
-,051
-,651
,515
PEMILIKC
,028
,080
,028
,355
,723
KOMISB
-,014
,024
-,044
-,598
,550
KOMISC
,043
,053
,059
,801
,424
a Dependent Variable:
RASIONPL b Predictors: (Constant), KOMISC, BIROKRB, WAKTU, PEMILIKB, KOMISB, BIROKRC, PEMILIKC
Faktor yang berhubungan dengan Syarat Pemberikan Kredit (Pengecualian, khusus faktor Syarat Pemberian Kredit diuji dengan ChiSquare)
χ2computed = 18,71. Sedangkan χ2 dari tabel,
χ2table = 25 Oleh karena χ2computed < χ2tabel , Syarat Pemberikan Kredit tidak berhubungan dengan rasio NPL
87
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Proses Penagihan Kredit Unstandardized Coefficients
Model
B 1
(Constant)
Standardized Coefficients
Std. Error
t
Sig.
Beta
,244
,041
BAYARB
5,886
,000
,052
,026
BAYARC
-,083
,033
,133
1,976
,049
-,165
-2,484
BAYARD
-,079
,052
,014
-,100
-1,510
KUNJUNG
-,038
,133
,039
-,064
-,979
INSENTIF
,329
-,049
,021
-,149
-2,270
TAGIH
,024
-,024
,027
-,060
-,905
,367
a Predictors: (Constant), TAGIH, BAYARC, INSENTIF, BAYARD, KUNJUNG, BAYARB b Dependent Variable: NPL
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Strategi Pemasaran Kredit. Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Std. Error
(Constant)
,081
,089
DIREKSI
,017
,028
TARGETB
,032
,088
TARGETC
,053
BINAAN LOKASI
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta ,911
,363
,043
,620
,536
,072
,367
,714
,084
,125
,638
,524
-,063
,042
-,102
-1,490
,138
,031
,030
,074
1,045
,297
a Predictors: (Constant), LOKASI, BINAAN, TARGETC, DIREKSI, TARGETB b Dependent Variable: RASIONPL
88
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Peran Direksi dan Komisaris
Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Standardized Coefficients
Std. Error
t
Sig.
Beta
(Constant)
,208
,069
DIREKSIB
-,052
,043
-,093
DIREKSIC
-,016
,026
KOMISB
-,088
,062
KOMISC
-,008
,027
ENGAWB
,019
,081
PENGAWC
-,037
,026
PENGAWD
,010
,057
SERTIFIK
-,030
,061
TURNOVER
,046
,015
,215
3,026
,003
-1,208
,228
-,049
-,604
,546
-,101
-1,419
,158
-,022
-,286
,775
,017
,236
,813
-,108
-1,426
,155
,013
,179
,858
-,035
-,499
,619
3,027
,003
a Predictors: (Constant), TURNOVER, PENGAWD, ENGAWB, KOMISB, DIREKSIC, SERTIFIK, KOMISC, PENGAWC, DIREKSIB b Dependent Variable: RASIONPL
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Peran Account Officer Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Std. Error
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
(Constant)
-,018
,170
-,108
,914
LULUSB
,107
,166
,323
,645
,520
LULUSC
,090
,165
,266
,545
,587
LULUSD
,085
,167
,202
,508
,612
PELATIH
,062
,039
,107
1,577
,116
RASIO
,074
,431
,012
,171
,864
TURNOVER
,076
,041
,133
1,861
,064
MKERJA
,004
,003
,076
1,065
,288
a Predictors: (Constant), MKERJA, PELATIH, LULUSD, RASIO, TURNOVER, LULUSC, LULUSB b Dependent Variable: RASIONPL
89
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Proses Pengendalian Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Standardized Coefficients
Std. Error
(Constant)
,171
,052
INTAUDIT
-,021
,027
PANTAU
,008
,051
t
Sig.
Beta 3,305
,001
-,053
-,773
,440
,010
,147
,883
Standardized Coefficients
t
Sig.
15,082
,000
-4,401
,000
a Predictors: (Constant), PANTAU, INTAUDIT b Dependent Variable: RASIONPL
Faktor yang berhubungan dengan linkage program Unstandardized Coefficients
Model
B 1
Std. Error
(Constant)
,198
,013
LINKAGE
-,097
,022
Beta -,284
a Predictors: (Constant), LINKAGE b Dependent Variable: RASIONPL
90
Lampiran 4
Kondisi Eksternal BPR
91
KONDISI EKSTERNAL BPR KONDISI DEBITUR Variabel-variabel yang berhubungan dengan Profil Kredit Debitur 27. Plafon kredit yang diberikan 28. Baki debit yang diperoleh 29. Suku bunga yang diberikan 30. Biaya tambahan selain bunga 31. Jangka waktu pelunasan Variabel-variabel yang berhubungan dengan Kategori Kredit yang diperoleh Debitur 32. Apakah berkelompok atau tidak 33. Jenis agunan yang digunakan 34. Nilai agunannya 35. Kredit berupa pengulangan atau tidak 36. Apakah kredit diasuransikan atau tidak Variabel-variabel yang berhubungan dengan Pemanfaatan Kredit oleh Debitur 37. Tujuan pengajuan kredit 38. Sektor ekonomi penggunaan kredit Variabel-variabel yang berhubungan dengan Keadaan Debitur 39. Lama menjadi debitur 40. Memiliki kredit ditempat lain 41. Hubungan dengan BPR 42. Status tempat tinggal 43. Status tempat usaha 44. Kondisi pribadi debitur
92
Variabel-variabel yang berhubungan dengan Administrasi Kredit oleh Debitur 45. Pengelolaan administrasi kredit
KONDISI LINGKUNGAN Variabel yang berhubungan dengan Tingkat Persaingan 46. Persaingan Variabel yang berhubungan dengan Kondisi Usaha 47. Kondisi usaha
93
Lampiran 5
Hasil Pengolahan Data Kondisi Eksternal BPR
94
HASIL PENGOLAHAN DATA KONDISI EKSTERNAL BPR FAKTOR KONDISI DEBITUR Faktor-faktor yang berhubungan dengan Profil Kredit Debitur
Unstandardized Coefficients Std. B Error
Model
1
(Constant)
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
2,326
,168
13,825
,000
PLAFON
-,070
,047
-,052
-1,465
,143
KREDITB
,065
,082
,026
,790
,430
KREDITC
,340
,414
,027
,822
,412
BUNGA
,032
,017
,064
1,883
,060
BIAYA
,035
,023
,049
1,485
,138
WKTLUNAS
-,001
,004
-,007
-,199
,842
a Predictors: (Constant), WKTLUNAS, BIAYA, KREDITC, KREDITB, BUNGA, PLAFON
b Dependent Variable: KOLEK
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kategori Kredit yang diperoleh Debitur Unstandardized Coefficients Std. B Error
Model
1
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
(Constant)
3,035
,223
13,583
,000
KELOMPOK
-,009
,175
-,002
-,049
,961
JNSAGB
,311
,116
,100
2,671
,008
JNSAGC
,440
,098
,176
4,505
,000
JNSAGD
,004
,138
,001
,028
,978
JNSAGE
-,336
,283
-,072
-1,190
,234
NLAGB
,011
,301
,002
,037
,970
NLAGC
-,709
,208
-,226
-3,400
,001
NLAGD
,039
,280
,010
,141
,888
ULANG
-,104
,032
-,108
-3,248
,001
ASURANSI
-,182
,078
-,078
-2,339
,020
a Predictors: (Constant), ASURANSI, NLAGC, ULANG, JNSAGB, KELOMPOK, JNSAGD, NLAGB, JNSAGC, JNSAGE, NLAGD b Dependent Variable: KOLEK Pada analisa selanjutnya, variabel JNSAGB dan variabel JNSAGC digabung menjadi variabel JNSTB.
95
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Pemanfaatan Kredit oleh Debitur Unstandardized Coefficients Std. B Error
Model
1
(Constant)
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
2,316
,256
TUJUANB
-,004
,193
-,001
TUJUANC
-,171
,261
-,029
,611
,313
,077
9,03 0 -,020
,000 ,984
,241
,229
,041
EKONB
-,102
,254
-,021
-,657 1,95 4 1,05 4 -,402
EKONC
-,042
,204
-,017
-,206
,836
EKOND
-,095
,222
-,029
-,430
,668
EKONE
,175
,260
,050
,673
,501
TUJUAND TUJUANE
,511 ,051 ,292 ,688
a Predictors: (Constant), EKONE, TUJUAND, TUJUANC, EKONB, EKOND, TUJUANE, TUJUANB, EKONC b Dependent Variable: KOLEK
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Keadaan Debitur
Unstandardized Coefficients Std. B Error
Model
1
(Constant)
2,456 8,923 E-05 ,001
,240
HUBUNGB
,059
HUBUNGC
LAMA
Standardize d Coefficients
t
Sig.
Beta 10,211
,000
,001
-,004
-,127
,899
,082
,000
,014
,989
,238
,017
,249
,804
,104
,222
,033
,469
,639
RUMAHB
,188
,137
,042
1,372
,170
RUMAHC
,102
,114
,028
,893
,372
USAHAB
,005
,084
,002
,054
,957
USAHAC
,032
,134
,008
,238
,812
KONDISIB
,255
,143
,072
1,787
,074
KONDISIC
,475
,126
,172
3,769
,000
KONDISID
-,780
,113
-,334
-6,878
,000
LAIN
(Constant), KONDISID, LAIN, USAHAC, RUMAHB, HUBUNGB, LAMA, USAHAB, RUMAHC, KONDISIB, KONDISIC, HUBUNGC b Dependent Variable: KOLEK
a Predictors:
96
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Administrasi Kredit oleh Debitur Unstandardized Coefficients
Model
Std. Error
B 1
(Constant) ADM
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
2,161
,050
,338
,077
42,958
,000
4,373
,000
,143
a Predictors: (Constant), ADM b Dependent Variable: KOLEL
KONDISI EKSTERNAL Faktor yang berhubungan dengan Tingkat Persaingan Unstandardized Coefficients Std. Error B
Model
1
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
(Constant)
,134
,040
PESAINGB
-,006
,040
-,011
3,376
,001 ,879
-,026
,025
-,078
PESAINGD
-,034
,041
-,059
-,153 1,033 -,827
PESAINGE
,020
,084
,016
,231
,817
TINGKAT
,018
,016
,078
1,134
,258
PESAINGC
,303 ,409
a Predictors: (Constant), TINGKAT, PESAINGD, PESAINGE, PESAINGB, PESAINGC b Dependent Variable: RASIONPL
Faktor yang berhubungan dengan Kondisi Usaha Unstandardized Coefficients
Model
B 1
(Constant)
Std. Error
1,554
,080
KONDISIB
,326
,102
KONDISIC
1,257
,093
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta 19,309
,000
,128
3,196
,001
,538
13,444
,000
a Predictors: (Constant), KONDISIC, KONDISIB b Dependent Variable: KOLEK
97
Lampiran 6
Profil BPR yang Diteliti Hal. Profil BPR Jabotabek
99
Profil BPR Jawa Barat
107
Profil BPR Jawa Tengah
116
Profil BPR Sumatera Utara
129
Profil BPR Sumatera Selatan
139
Profil BPR Sulawesi Selatan
146
Profil BPR Nusa Tenggara Barat (NTB)
166
Kesimpulan
175
98
Profil BPR Jabotabek Dilaporkan oleh:
Diyah Duma Sari Siregar (Lembaga Manajemen PPM)
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL di BPR Jabodetabek rencananya dilakukan terhadap 48 BPR yang tersebar di KBI Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Namun ada satu BPR yang tidak bersedia di survey. Sehingga total BPR yang disurvey adalah 47 BPR. BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, dan Koperasi. Hampir seluruh BPR yang disurvey di wilayah Jabodetabek atau sebanyak 46 BPR (98%) berbentuk PT dan hanya 1 BPR (2 %) berbentuk PD. Gambar 1. Bentuk Organisasi BPR Yang Disurvey
PD 2%
PT 98%
PT
PD
Status badan usaha apakah PT atau PD memiliki peluang yang sama untuk menarik nasabah. Artinya tidak selalu BPR yang berbadan usaha PT memiliki posisi kredit lebih besar bila dibandingkan dengan BPR yang berbadan usaha PD.
Dari survey diperoleh gambaran
bahwa dari 47 BPR yang berbentuk PT, 20 diantaranya memiliki posisi kredit dibawah BPR yang berbentuk PD. Dari 47 BPR yang disurvey sebagian besar yakni 40 BPR memiliki posisi kredit per Desember 2006 di bawah 20 milyar rupiah. Dengan demikian hanya 7 BPR yang memiliki posisi kredit per Desember 2006 di atas 20 milyar rupiah. Dari 7 BPR tersebut kesemuanya berbentuk PT yang berlokasi di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok dan Bekasi.
Namun demikian tidak selalu BPR yang terletak di wilayah pusat aktivitas
ekonomi, memiliki posisi kredit yang tinggi. Bahkan dari sampel yang diambil terdapat BPR
99
yang berlokasi di pusat aktivitas ekonomi - Jakarta sudah terhenti aktivitasnya selama kurun waktu tertentu.
Gambar 2. Posisi Kredit BPR Per Desember 2006 16
15
14 12 Jumlah BPR
10 10 8
7 6
6
5 4
4 2 0 <2000
2000-3999
4000-5999
6000-7999
8000-9999
>10000
Jum lah Kredit (Juta Rupiah)
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 59% hanya membutuhkan waktu rata-rata empat sampai tujuh hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 30% perlu waktu satu sampai tiga hari, sedangkan BPR yang membutuhkan waktu hingga dua minggu untuk menyetujui kredit 11% atau 5 BPR. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 89% membutuhkan waktu tidak lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit.
100
Gambar 3. Rata-rata Waktu Menyetujui Kredit
8 s/d14 11%
1 s/d 3 30%
4 s/d 7 59% 1 s/d 3
4 s/d 7
8 s/d14
Dalam melakukan pembayaran angsuran sebagian besar disetor langsung ke BPR atau diambil ke debitur. Terdapat empat BPR dari 47 BPR yang disurvey yang menyatakan bahwa angsuran dibayar secara bervariasi antara disetor langsung, diambil langsung ke debitur dan transfer ke rekening BPR. Gambar 4. Cara Pembayaran Angsuran Kredit 20
18
18
18
JUmlah BPR
16 14 11
12 10 8
6
6 4 2 0 Disetor langsung ke BPR
Diambil ke debitur
Dipotong langsung dari gaji/tabungan debitur
Transfer ke rekening BPR
Cara Pembayaran Angsuran Kredit
Hal ini menggambarkan bahwa kemudahan dalam bertransaksi pembayaran bukanlah hal yang utama yang ditawarkan oleh BPR kepada debiturnya, tetapi BPR lebih menawarkan kemudahan dalam memperoleh pinjaman. Walaupun BPR tidak menawarkan kemudahan dalam pembayaran, hal ini tidak menyurutkan keinginan calon debitur untuk meminjam di BPR. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kemudahan dalam pembayaran atau kedekatan lokasi, namun karena keunggulan kemudahan memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro.
101
Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan Bank Indonesia. Salah satu buktinya, dari 47 BPR hampir seluruh direksi BPR yang disurvey, atau 45 BPR telah memiliki sertifikasi. Sedangkan 2 direksi BPR belum memiliki sertifikasi. Gambar 5. Debitur Utama BPR Keluarga/teman/ken alan 2%
Keryaw an perusahaan/instansi pemerintah 18%
Masyarakat sekitar 80%
Keluarga/teman/kenalan
Keryaw an perusahaan/instansi pemerintah
Masyarakat sekitar
Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 39 dari 47 BPR yang disurvey menyatakan kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Hanya 18% yakni 9 BPR yang menyalurkan kreditnya ke karyawan perusahaan dan PNS dan 2% yakni 1 BPR yang menyalurkan kreditnya disekitar keluarga, teman dan kenalan. Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar memberikan harapan besar untuk terjadinya pengembangan usaha mikro yang berkelanjutan. Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah kredit non lancar diperlukan pendampingan terhadap debitur yang berbentuk fasilitas konsultasi yang terkait dengan usahanya. Namun disayangkan seluruh BPR yang disurvey di Jabodetabek tidak satu pun BPR yang memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir penurunan Rasio NPL BPR. Bila berkelanjutan, permasalahan ini bisa menghambat kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah berperan signifikan dalam mendorong pengembanga usaha mikro. Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada usaha kecil dan mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui 21 BPR dari 47 BPR yang disurvey yang telah mengikuti linkage program.
102
Gambar 6. BPR Yang Mengikuti linkage program
Mengikuti 45%
Tidak Mengikuti 55%
Mengikuti
Tidak Mengikuti
Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha perdagangan. Dari 180 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 95 atau 54% merupakan debitur yang menggeluti usaha perdagangan. Gambar 7. Jenis Usaha Debitur Pertanian 2%
Lain-lain 4%
Jasa-jasa 24%
Karyaw an 12%
Perdagangan 54%
Jasa-jasa
Pengolahan 4%
Karyaw an
Pengolahan
Perdagangan
Pertanian
Lain-lain
Jenis usaha perdagangan terbesar di jalankan oleh debitur adalah perdagangan eceran komoditas pangan dan kelontongan yang tersebar di hampir seluruh wilayah survey. Sedangkan debitur yang bergerak di sektor jasa-jasa diantaranya jasa angkutan, bengkel, dan kesehatan besarnya 24%. Hanya 4 BPR yang tersurvey yang memberikan kredit kepada petani, sehingga persentase pembiayaan sektor pertanian paling rendah diantara seluruh jenis usaha yakni 2%. Dalam memberikan kredit kepada debitur, antar BPR menetapkan suku bunga secara flat yang sangat bervariasi. Sebagian besar BPR menetapkan suku bunga pinjaman secara flat antara 2% – 2,9%. Dari 180 debitur yang jadi sampel, 77 debitur dibebani suku bunga sebesar 2% – 2,9% per bulan. Bahkan sebanyak 58 debitur menanggung bunga sebesar 3% - 3,9% secara flat per bulannya. Mengejutkan, ada pula debitur yang membayar bunga di atas 4% per bulannya. Dibandingkan dengan bank umum besaran suku bunga tersebut jelas jauh lebih besar. Kondisi yang ironis, pelaku usaha skala mikro ini harus menanggung biaya modal yang
103
sangat tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku bunga sebesar itu untuk menutup biaya operasi yang tinggi per satuan kredit yang dikucurkannya. Gambar 8. Suku Bunga Yang Dikenakan >4 2%
1-1,999 23%
3-3,999 32%
2-2,999 43% 1-1,999
2-2,999
3-3,999
>4
Selain besaran suku bunga, debitur pun terkena biaya tambahan disaat akad kredit yang besarnya cukup signifikan. Sebanyak 89% dari total debitur dikenakan biaya tambahan yang bervariasi. Bahkan ada debitur yang dikenakan biaya tambahan hingga 8,6% Gambar 9. Besarnya Biaya Tambahan 0 11%
>4 23%
3-3,999 26%
1-1,999 6%
2-2,999 34% 0
1-1,999
2-2,999
3-3,999
>4
Ada pula BPR yang tidak mengenakan biaya tambahan, hal ini dialami oleh 19 debitur. Mengejutkan, terdapat debitur dibebani biaya tambahan di atas 4%. Dilihat berdasarkan besarnya pinjaman tampaknya tidak terdapat korelasi antara besarnya biaya tambahan dengan pinjaman. Berdasarkan temuan ini menunjukan bahwa dibalik kemudahan prosedur peminjaman dan kecepatan pencairan sebenarnya biaya transaksi perolehan kredit di BPR sangat tinggi. Hal ini bertolak belakang dengan fungdi BPR sebagai pendorong pengembangan usaha mikro menjadi tidak sinkron, karena pembebanan ini dikhawatirkan bukannya mendorong usaha malah menghambat. Survey terhadap 180 debitur, 22% merupakan debitur dengan kolektibilitas non lancar dimana 27% nya merupakan debitur yang kolektibilitasnya macet.
104
Gambar 11. Kolektibilitas Kredit Debitur
Macet 27%
Lancar 28%
Diragukan 23%
Lancar
Kurang Lancar 22%
Kurang Lancar
Diragukan
Macet
Kenyataan yang dihadapi BPR yang bermasalah bahwa sebagian besar nasabahnya memiliki kolektibilitas non lancar dapat menjadi ancaman terhadap keberlangsungan usahanya. Menurut pihak BPR sebagian besar tujuan pemakaian kredit tersebut untuk kredit modal kerja. Namun kenyataannya terdapat pula nasabah yang menggunakan pinjaman tersebut untuk keperluan konsumsi. Dari lapangan diperoleh informasi salah satu contoh penggunaan pinjaman untuk keperluan konsumsi adalah untuk renovasi rumah.
105
Gambar 12. Tujuan Penggunaan Kredit Kombinasi 2%
Investasi 5%
Lainnya 2%
Konsumsi 17%
Modal Kerja 74%
Konsumsi
Modal Kerja
Investasi
Kombinasi
Lainnya
Berdasarkan survey terhadap 180 debitur, terdapat 133 debitur atau 74% nya memanfaatkan kredit untuk membiayai operasional usaha atau modal kerja. Menariknya sektor usaha yang paling banyak digeluti debitur adalah sektor perdagangan. Artinya, dimungkinkan modal kerja yang dimaksud adalah pembelian barang untuk dijual kembali tanpa proses nilai tambah produk. Hal ini diperkuat oleh hasil survey dimana sektor industri hanya menyerap 4% dari total kredit yang disalurkan oleh BPR. Gambar 13. Alokasi Kredit Per Sektor Ekonomi Lainnya 18%
Pertanian 1%
Perindustrian 4%
Jasa-jasa 19%
Perdagangan 58%
Pertanian
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lainnya
Kenyataan ini mengandung resiko tinggi, bahwa fluktuasi harga dan lemahnya pengelolaan usaha para debitur menggiring pada macetnya kredit. Apabila debitur tidak lihai dalam mengelolan pinjaman sebagai biaya operasionalnya, hal ini akan mendatangkan kerugian dan sangat memungkinkan terjadinya kredit macet. Oleh karena itu sangat penting digalakkan program dari BPR untuk melibatkan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB) sebagai pembina debitur.
106
Profil BPR Jawa Barat
Dilaporkan oleh:
Tim Peneliti Universitas Islam Bandung
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL di BPR Jawa Barat dilakukan terhadap 40 BPR yang tersebar di KBI Wilayah Bandung, Tasikmalaya dan Cirebon. BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, dan Koperasi. Sebagian besar yakni 67,5% BPR yang disurvey di wilayah Jawa Barat berbentuk PT dan 37,5% berbentuk PD. Perusahaan Daerah BPR umumnya dimiliki oleh tiga pihak yakni Pemprov Jabar, Pemda setempat
dan Bank Jabar. Sedangkan yang berbentuk PT, murni
dimiliki oleh swasta. Gambar 1. Bentuk Organisasi BPR Yang Disurvey
PD 33%
PT 67%
PT
PD
Status badan usaha apakah PT atau PD ternyata tidak menghambat operasi aktivitas BPR. Artinya, mereka tetap memiliki peluang yang sama untuk menarik nasabah. Hal ini tercermin pada besarnya posisi kredit BPR Desember 2006 baik yang berbentuk PT maupuan PD, secara umum tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Dari 40 BPR yang disurvey sebagian besar yakni 31 BPR memiliki posisi kredit per Desember 2006 di bawah 20 milyar rupiah. Dengan demikian hanya 9 BPR yang memiliki posisi kredit per Desember 2006 di atas 20 milyar rupiah. Dari 9 BPR tersebut yang berbentuk PT sebanyak 8 dengan lokasi di wilayah Bandung (Kota dan Kabupaten Bandung) dan 1 BPR berbentuk PD yang berlokasi di Kota Cirebon. Hal ini secara implisit menunjukan bahwa BPR yang berada di pusat aktivitas
107
ekonomi, memiliki
peluang usaha relatif lebih besar. Kota/Kabupaten Bandung dan Kota
Cirebon merupakan wilayah industri dan jasa sekaligus, dimana terdapat banyak pelaku usaha di dua sektor ekonomi tersebut yang tersebar di kota dan pinggirannya. Gambar 2. Posisi Kredit BPR Per Desember 2006 80 72.5 70
60
Persentase
50
40
30
20
10
7.5
5
7.5 2.5
2.5
2.5
60000 - 79999
80000 - 99999
> 100000
0 < 1000
1000 - 19999
20000 - 39999
40000 - 59999 Jumlah Kredit (Juta Rupiah)
BPR besar tersebut mampu meraih nasabah diluar batas administrasi lokasi bank. Contoh kasus BPR di Kota Bandung, nasabahnya tersebar sampai ke Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi. Demikian halnya BPR di Kota Cirebon, banyak nasabahnya berada di Kabupaten Cirebon. Performa ini menunjukan bahwa BPR memiliki daya tarik tersendiri bagi kelompok masyarakat tertentu untuk dijadikan mitra usaha sekalipun lokasi jauh dari tempat tinggalnya. Dimungkinkan salah satu daya tariknya tersebut adalah kecepatan pencairan dana dan kemudahan cara pembayaran angsuran. Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 52% hanya membutuhkan waktu rata-rata satu sampai tiga hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 43% perlu waktu empat sampai tujuh hari. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 95% membutuhkan waktu tidak lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit. Hanya terdapat dua BPR yang memerlukan waktu sampai dua minggu untuk menyetujui kredit.
108
Gambar 3. Rata-rata Waktu Menyetujui Kredit 12 s/d 14 5%
8 s/d 11 0%
1 s/d 3 52%
4 s/d 7 43%
1 s/d 3
4 s/d 7
8 s/d 11
12 s/d 14
Namun ternyata dalam membayar angsuran sebagian besar disetor langsung ke BPR. Hanya delapan BPR dari 40 BPR yang disurvey yang menyatakan bahwa angsuran diambil langsung ke debitur. Gambar 4. Cara Pembayaran Angsuran Kredit 60
55
50
Persentase
40
30
20
20
20
10
5
0 Disetor langsung ke BPR Diambil/dijemput langsung Dipotong secara langsung Transfer ke rekening BPR ke debitur dari gaji/tabungan debitur di bank umum Cara Pembayaran Angsuran Kredit
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar BPR tidak memberikan fasilitas kemudahan dalam membayar. Hal ini bisa dipahami karena pengambilan cicilan oleh bank atau fasilitas lainnya akan menimbulkan biaya operasi buat BPR. Namun di sisi lain, nasabah yang jauh dari lokasi bank harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi untuk setiap kedatangan dalam membayar cicilannya. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kedekatan lokasi, namun karena keunggulan kemudahan memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro. Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan Bank Indonesia. Salah satu buktinya, seluruh direksi BPR yang disurvey memiliki sertifikasi.
109
Selain itu, mereka tidak memilih nasabah karena ada hubungan khusus. Sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar. Gambar 5. Debitur Utama BPR Keluarga/Teman/ Kenalan 0% Karyawan Perusahaan/ Instansi Pemerintah 18%
Masyarakat Sekitar 82%
Keluarga/Teman/Kenalan
Karyawan Perusahaan/Instansi Pemerintah
Masyarakat Sekitar
Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 33 dari 40 BPR yang disurvey menyatakan kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Hanya 18% yakni 7 BPR yang menyalurkan kreditnya ke karyawan perusahaan dan PNS. Kredit khusus untuk karyawan perusahaan terjadi di BPR dimana pemilik dan dewan komisarisnya merangkap sebagai pemilik dan dewan komisaris sebuah perusahaan swasta. Sedangkan kredit khusus untuk PNS lebih banyak dilakukan oleh BPR milik pemerintah. Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar memberikan harapan besar untuk terjadinya pengembangan usaha mikro yang berkelanjutan. Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah kredit non lancar diperlukan pendampingan terhadap debitur yang berbentuk fasilitas konsultasi yang terkati dengan usahanya. Namun disayangkan seluruh BPR yang disurvey di Jawa Barat tidak ada satu pun BPR yang memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir kinerja BPR menunjukan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun sayangnya, kinerja tersebut diikuti dengan memburuknya Rasio NPL BPR. Permasalahan ini bisa menghambat kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah berperan signifikan dalam mendorong pengembanga usaha mikro. Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada usaha kecil dan mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui ternyata hanya 15 BPR dari 40 BPR yang disurvey yang telah mengikuti linkage program.
110
Gambar 6. BPR Yang Mengikuti linkage program
Mengikuti 38%
Tidak 62%
Mengikuti
Tidak
Dari 15 BPR tersebut, sebagian besar yakni 67% mendapatkan plafon kredit di bawah tiga milyar rupiah. Hanya terdapat dua BPR yang memperoleh plafon kredit di atas lima milyar rupiah. Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha perdagangan. Dari 193 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 104 atau 54% merupakan debitur yang menggeluti usaha perdagangan. Gambar 7. Jenis Usaha Debitur 60
54
Persentase
50 40 30 20 10
15
12
7 3
5
4
Profesi
Lainnya
0 Pertanian
Industri Pengolahan
Perdagangan
Jasa-Jasa
Pegawai
Jenis Usaha Debitur
Usaha perdagangan yang dimaksud merupakan usaha kecil dan mikro yang sebagian besar meliputi perdagangan eceran komoditas pangan dan kelontongan. Debitur yang bergerak di usaha perdagangan ini mencakup seluruh wilayah survey. Sedangkan debitur yang bergerak di sektor jasa-jasa diantaranya jasa angkutan terkonsentrasi di Kabupaten/Kota Bandung. Hanya satu BPR yang tersurvey yang memberikan kredit kepada petani, sehingga persentase pembiayaan sektor pertanian paling rendah diantara seluruh jenis usaha yakni 3% atau enam orang debitur.
111
Dalam memberikan kredit kepada debitur, antar BPR menetapkan suku bunga secara flat yang sangat bervariasi. Hanya dua BPR yang menetapkan sistem bunga menurun dengan besaran antara 3% dan 4% yang dialami oleh 10 debitur. Sebagian besar BPR menetapkan suku bunga pinjaman secara flat antara 2% – 2,9%. Dari 193 debitur yang jadi sampel, 97 debitur dibebani suku bunga sebesar 2% – 2,9% per bulan. Bahkan sebanyak 42 debitur menanggung bunga sebesar 3% - 3,9% secara flat per bulannya. Mengejutkan, ada pula debitur yang membayar bunga sebesar 4% per bulannya. Dibandingkan dengan bank umum besaran suku bunga tersebut jelas jauh lebih besar. Kondisi yang ironis, pelaku usaha skala mikro ini harus menanggung biaya modal yang sangat tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku bunga sebesar itu untuk menutup biaya operasi yang tinggi per satuan kredit yang dikucurkannya. Gambar 8. Suku Bunga Yang Dikenakan < 2 18%
> 4 6%
3 - 3,99 23%
2 - 2,999 53% < 2
2 - 2,999
3 - 3,99
> 4
Selain besaran suku bunga yang sangat fantastis, debitur pun terkena biaya tambahan disaat akad kredit yang besarnya cukup signifikan. Sebanyak 51% dari total debitur dikenakan biaya tambahan 2% - 4% dari total kredit yang diajukannya. Gambar 9. Besarnya Biaya Tambahan 30 26
25
25 21 19
P ersentase
20
15 9
10
5 0 0
1 - 1,992
2 - 2,999
3 - 3,99
>4
Biaya tambahan (%)
112
Ada pula BPR yang tidak mengenakan biaya tambahan, hal ini dialami oleh 41 debitur. Mengejutkan, terdapat debitur dibebani biaya tambahan di atas 4% yakni sampai 8% dan 10%. Dilihat berdasarkan besarnya pinjaman tampaknya tidak terdapat korelasi antara besarnya biaya tambahan dengan pinjaman. Berdasarkan temuan ini menunjukan bahwa dibalik kemudahan prosedur peminjaman dan kecepatan pencairan sebenarnya biaya transaksi perolehan kredit di BPR sangat tinggi. Ketika dikaitkan dengan eksistensi BPR sebagai pendorong pengembangan usaha mikro menjadi tidak sinkron, karena dikhawatirkan bukannya mendorong usaha malah menghambat. Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti, tercermin pada besarnya kredit macet di BPR. Dari 40 BPR yang disurvey rata-rata kredit macetnya 19,5% dari posisi kredit per Desember 2006. Gambar 10. Kondisi Kredit Non Lancar Di BPR 30
27
J u m la h B P R
25 20 15 9
10 5
2
2
40-59,99
>60
0 <20
20-39,99
Persentase Kredit Non Lancaar
Bahkan terdapat empat BPR yang memiliki kredit non lancar di atas 40% dan 60% yang berada di wilayah KBI Tasikmalaya dan Cirebon. Faktor utama yang paling menentukan BPR yang sangat kronis tersebut dalam menyalurkan kreditnya selama ini adalah nilai agunan dan kesanggupan debitur memperoleh pendapatan. Kesulitan membayar cicilan dari sebagian besar pihak debitur yang tidak terantisipasi sejak dini berdampak pada besarnya kredit non lancar. Survey terhadap 193 debitur, 74% merupakan debitur dengan kolektibilitas non lancar dimana 34% nya merupakan debitur yang kolektibilitasnya macet.
113
Gambar 11. Kolektibilitas Kredit Debitur 40 34
35
Persentase
30
26
25 21
19
20 15 10 5 0 Lancar
Kurang Lancar
Diragukan
Macet
Kolektibilitas Kredit Debitur
Kenyataan yang dihadapi BPR yang bermasalah bahwa sebagian besar nasabahnya memiliki kolektibilitas non lancar dapat menjadi ancaman terhadap keberlangsungan usahanya. Menurut pihak BPR sebagian besar tujuan pemakaian kredit tersebut untuk kredit modal kerja. Namun kenyataannya terdapat pula nasabah yang menggunakan pinjaman tersebut untuk keperluan konsumsi. Gambar 12. Tujuan Penggunaan Kredit 90 77
80
Persentase
70 60 50 40 30 20
14
10
3
2
Investasi
Kombinasi
5
0 Konsumsi
Modal Kerja
Lainnya
Tujuan Kredit
Berdasarkan survey terhadap 193 debitur, terdapat 148 debitur atau 77% nya memanfaatkan kredit untuk membiayai operasional usaha atau modal kerja. Menariknya sektor usaha yang paling banyak digeluti debitur adalah sektor perdagangan. Artinya, dimungkinkan modal kerja yang dimaksud adalah pembelian barang untuk dijual kembali tanpa proses nilai tambah produk. Hal ini diperkuat oleh hasil survey dimana sektor industri hanya menyerap 3% dari total kredit yang disalurkan oleh BPR.
114
Gambar 13. Alokasi Kredit Per Sektor Ekonomi 70
63
60
Persentase
50 40 30 17
20 10
3
3
Pertanian
Perindustrian
13
0 Perdagangan
Jasa - Jasa
Lainnya/Konsumtif
Sektor Ekonomi
Kenyataan ini mengandung resiko tinggi, bahwa fluktuasi harga dan lemahnya pengelolaan usaha para debitur menggiring pada macetnya kredit. Apalagi sebagian besar debitur cenderung menyatukan keuangan keluarga dengan usahanya.
115
Profil BPR Jawa Tengah
Dilaporlan oleh:
Tim Peneliti Universitas Kristen Satya Wacana
1. Pendahuluan Telah disadari bahwa selama ini sebagian besar pengusaha mikro dan kecil, serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan secara memadai. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), hal ini sesuai dengan UU nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 10 tahun 1998. Perkembangan industri BPR yang terus mengalami peningkatan secara pesat, baik dari sisi total aset, penghimpunan dana pihak ketiga, maupun kredit yang diberikan, menunjukkan bahwa jangkauan pelayanan BPR semakin luas dan keberadaan BPR semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Gubernur Bank Indonesia pada acara Bankers’ Dinner memberikan arahan bahwa sudah saatnya untuk menempatkan sektor informal (seperti petani kecil di pedesaan, pedagang di pasar-pasar tradisional, penjual rokok dan pedagang warung kelontong) di barisan terdepan dalam penetapan kebijakan Bank Indonesia (Putting the Last First). Terkait dengan hal tersebut, dalam rangka pemberdayaan dan pengembangan sektor informal, peran dan kontribusi BPR sebagai ujung tombak lembaga keuangan daerah dalam pembiayaan sektor informal tentunya menjadi sangat penting. Kinerja BPR secara nasional pada kurun waktu akhir tahun 2004 hingga 2006 menunjukan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun demikian, hal tersebut diikuti dengn memburuknya rasio NPL BPR dari tahun ke tahun (masing-masing sebesar 7.59%; 7.98% dan 9.73%). Berdasarkan review terhadap data NPL diketahui bahwa kredit dengan skala usaha mikro memiliki rasio NPL tertinggi dibandingkan skala usaha kecil dan menengah, dan apabila dirinci lebih lanjut rasio NPL terbesar disumbangkan oleh kredit mikro dengan plafon di bawah Rp 5 juta. Di lain pihak kredit tanpa agunan memiliki NPL yang lebih rendah (6.15%) dibandingkan dengan kredit dengan agunan (11.51). Memburuknya rasio NPL tersebut tentunya cukup memprihatinkan mengingat berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR dalam melayani
116
UMKM seperti beberapa kebijakan Bank Indonesia yaitu pelaksanaan Linkage Program, penyelenggaran workshop/seminar pembiayaan sektor produktif dan relaksasi ketentuan dalam Paket Oktober-November 2006. 2. Gambaran Umum BPR di Jawa Tengah Secara kuantitas jumlah BPR di Jawa Tengah terus mengalami penurunan karena adanya penggabungan (merger). Langkah ini sesuai dengan kebijakan KBI Semarang yang mendorong dilakukannya merger antar BPR, khususnya PD BPR BKK. Dengan langkah tersebut diharapkan mampu memperkuat permodalan dan meningkatkan kemampuan BPR dalam menghimpun dana dan menyalurkan kredit, sehingga pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing BPR. Tabel 1. Perkembangan BPR di Jawa Tengah
Tahun
Jml BPR
%
2004
598
-
2005
526
12.04
2006
395
24.90
Sumber : Perkembangan Perekonomian Daerah Jawa Tengah
Dalam tiga tahun terakhir, jumlah BPR di Jawa Tengah telah berkurang sebanyak 203 bank, atau telah berkurang hampir sebesar 40%. Sebagian besar BPR yang merger tersebut adalah PD BPR yang tersebar di 18 kabupaten dan diantara itu, terdapat juga 2 PT BPR. Total aset BPR di Jawa Tengah pada akhir tahun 2006 tercatat sebesar Rp.5.709 milyar, meningkat 15,43% dibandingkan dengan posisi yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan tersebut sejalan dengan peningkatan dana pihak ketiga sebesar 16,26% dibanding tahun sebelumnya sehingga menjadi Rp. 4.076 milyar. Sementara itu kredit meningkat sebesar 12,58% dibanding tahun sebelumnya sehingga menjadi Rp.4.421 milyar. Dilihat dari fungsi intermediasinya, peningkatan dana pihak ketiga tidak sebanding dengan peningkatan kredit, hal ini mengakibatkan nilai LDR pada akhir tahun 2006 menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu dari 112,28% menjadi 108,46%. Nilai LDR yang melebihi angka 100% tersebut menunjukkan bahwa selain dari dana pihak ketiga, BPR telah menggunakan sebagian modal yang dimiliki untuk disalurkan dalam
117
bentuk kredit. Namun demikian, perkembangan kualitas aktiva produktif BPR nampak kurang menggembirakan. Trend kenaikan NPL masih terjadi pada kredit yang disalurkan BPR di Jawa tengah, yaitu dari 10,03% pada akhir tahun 2005 menjadi 13,55% pada akhir tahun 2006. 3. Hasil awal penelitian Di Jawa Tengah pengumpulan data primer dilakukan dengan cara penyampaian kuesioner dan pelaksanaan in depth interview kepada responden. Fokus dari sampel penelitian akan ditujukan pada BPR dan debitur BPR terkait. Sesuai dengan TOR penelitian, jumlah sampel BPR di Jawa Tengah sebanyak 58 BPR dan 198 debitur yang bersangkutan. Sebagai gambaran awal hasil penelitian akan disajikan hasil olahan data primer beberapa variabel di bawah ini.
3.1. Profil BPR Dari 58 BPR yang menjadi sampel dalam penelitian ini, 55% atau 26 BPR berbentuk Perusahaan Daerah (PD) dan 45% atau 32 BPR berbentuk PT (Perseroan Terbatas). PD BPR memiliki dua pola, pola pertama dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah daerah setempat umumnya merupakan PD Bank Pasar dan umumnya merupakan BPR gaya lama (berdiri sebelum 1988), sedang pola kedua dimiliki oleh pemerintah daerah setempat, pemerintah provinsi dan Bank Jateng (Eks BPD Jateng) umumnya merupakan PD BPR BKK. Sedangkan yang berbentuk PT umumnya dimiliki oleh swasta murni. Gambar 1. Bentuk Organisasi
0(0%) 26(45%) 32(55%)
PT
PD
Koperasi
Sumber : Data Primer, 2007
Nilai penyaluran kredit terendah dari responden yang ada adalah sebesar Rp. 3,2 milyar dan tertinggi Rp. 168,5 milyar. Distribusi nilai penyaluran kredit responden BPR di Jawa Tengah berdasarkan posisi akhir tahun 2006 dapat dilihat pada gambar 2 di bawah. Sebagian besar responden BPR (40%) memiliki posisi penyaluran kredit
118
kepada masyarakat berkisar antara RP. 1 milyar dan Rp. 25 milyar. Bahkan terdapat 5 BPR atau 9% responden BPR memiliki posisi penyaluran kredit di atas Rp.100 milyar. Gambar 2. Posisi Penyaluran Kredit 31 Desember 2006 75 milyar - 100 milyar 2, (3%)
100 milyar < 5 (9%) 1 milyar - 25 milyar, 23 (40%)
50 milyar - 75 milyar 10, (17%)
25 milyar - 50 milyar 18, (31%)
Sumber : Data Primer, 2007
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa telah terjadi peningkatan angka NPL BPR baik di tingkat nasional maupun tingkat regional jawa tengah. Berdasarkan data mengenai jumlah kredit non-lancar BPR responden, sebagian besar (71%) atau yang dialami oleh 41 BPR memiliki jumlah kredit non-lancar pada kisaran Rp. 1 milyar hingga Rp. 10 milyar, seperti yang nampak pada gambar 3 mengenai Jumlah kredit non-lancar. Jumlah kredit terkecil adalah sebesar Rp.263,8 juta dan yang tertinggi adalah Rp.23,4 milyar. Secara umum nampak bahwa, BPR-BPR dengan NPL yang tinggi adalah BPR-BPR yang dimiliki oleh pemerintah daerah, terutama BPR BKK. Salah satu ciri yang membedakan industri keuangan dengan jenis industri yang lain adalah aturan yang lebih ketat. Aturan yang ketat tersebut diperlukan untuk menekan terjadinya resiko adverse selection dan moral hazard dalam setiap transaksi keuangan yang terjadi.
119
Gambar 3. Jumlah Kredit Non-Lancar > 20 milyar 2, (3%)
10 milyar - 20 milyar 7, (12%)
< 1 milyar 8, (14%)
1 milyar - 10 milyar 41, (71%)
Sumber : Data Primer, 2007
Namun dipihak lain adanya aturan yang ketat tersebut dipersepsikan sebagai birokrasi perbankan yang berbelit. Hal itu juga yang sering dikeluhkan masyarakat terhadap pelayanan jasa keuangan oleh pihak perbankan. Dari survey yang dilakukan ternyata hal tersebut tidak terbukti. Hal tersebut nampak pada gambar 4 di bawah. Gambar 4. Rata-rata waktu (hari) Menyetujui kredit
30 25 20 15 10 5 0 1-2 hari 17 (29%)
3-4 hari 28, (48%)
5-6 hari 5, (9%)
7-8 hari 6, (10%)
9-10 hari 1,(2%)
11-12 hari 1,(2%)
Sumber : Data Primer, 2007 Persetujuan kredit menurut responden BPR rata-rata atau sebagian besar (48%) memakan waktu 3-4 hari dari sejak permohonan diajukan. Bahkan 29% responden cukup memprosesnya dalam 1-2 hari.
120
Gambar 5. Cara pembayaran angsuran kredit 6 (10%) 8 (14%)
44 (76%) Angsuran disetor Langsung ke BPR Angsuran diambil/dijemput ke debitur Angsuran dipotong langsung dari gaji/tabungan debitur
Sumber : Data Primer, 2007
Sedangkan mengenai cara pembayaran angsuran kredit, 76% responden BPR menyatakan bahwa angsuran disetorkan langsung ke BPR. Cara angsuran yang langsung disetorkan ke BPR dari satu sisi menjamin keamanan pembayaran uang angsuran debitur dari penyelewengan setoran, namun dipihak lain menimbulkan biaya transaksi dalam hal pengeluaran biaya transport, waktu yang harus dikorbankan oleh seorang debitur. Cara kedua yang cukup banyak dipraktekkan adalah angsuran diambil/dijemput ditempat debitur (14%). Hal ini, mayoritas dilakukan oleh PT BPR. Tingkat persaingan antar BPR mendorong untuk bisa memberikan pelayanan jasa perbankan
yang
unik.
Meskipun
dalam
cara
ini
riskan
munculnya
resiko
penyelewengan. Cara ketiga yang dilakukan oleh responden BPR adalah angsuran dipotong langsung dari gaji/tabungan debitur (10%). Cara ketiga ini banyak dilakukan oleh PD BPR. Dalam hal kepemilikan sertifikasi oleh pengelola BPR, mayoritas (93%) responden BPR menyatakan telah memilikinya. Dari 7% responden BPR yang belum memilikinya terdiri dari 2 PD BPR dan 2 PT BPR. Sebagian besar alasan yang diajukan adalah baru saja BPR yang bersangkutan melakukan pergantian direksi.
121
Gambar 6. Direksi yang memiliki sertifikasi
4 (7%)
54 (93%) Tidak
Ya
Sumber : Data Primer, 2007
3.2. Status Pinjaman Debitur Berdasarkan informasi dari para responden BPR dalam survey ini, mayoritas BPR (64%) menetapkan tingkat bunga kredit sebesar antara 1,1% - 2% perbulan atau 13,2% - 24% pertahun. Bahkan ada 33% BPR yang menetapkan tingkat bunga kredit antara 2,1%-3% perbulan atau 25,2% - 36% pertahun, relatif tinggi dibandingkan tingkat bunga kredit bank umum. Gambar 7. Suku Bunga (dalam %) 1(1%)
3(2%)
65(33%)
129 (64%) 1
1.1 - 2
2.1 - 3
>3
Sumber : Data Primer, 2007
122
Gambar 8. Tambahan Biaya (dalam %) 15(8%) 9(5%) 79(40%)
95(47%)
1-2
2.1 - 3
3.1 - 4
>4
Sumber : Data Primer, 2007
Debitur responden BPR juga membayar biaya-biaya tambahan, seperti asuransi, provisi dll, yang besarnya berkisar antara 2,1%-3% dari total pinjaman, hal itu dilakukan oleh 47% responden BPR. Sebagian besar lainnya (40%) menetapkan biayabiaya tambahan lebih rendah, antara 1%-2% dari total pinjaman. Namun ada juga yang menetapkan di atas 4%, hal itu dilakukan oleh 8% responden BPR. Relatif tingginya biaya-biaya tambahan yang ditetapkan oleh BPR tentu akan semakin memberatkan debitur dalam mengembalikan pinjaman. Sehingga BPR perlu didorong untuk lebih meningkatkan efisiensi biaya transaksi agar mampu menekan biaya-biaya tambahan tersebut.
123
Gambar 9. Kolektibiltas Kredit 13(7%)
67(38%)
96(55%)
Lancar
Kurang Lancar
Diragukan
Sumber : Data Primer, 2007
Tingkat kolektibilitas kredit para debitur responden BPR nampak pada gambar 8 di atas. Proporsi kolektibilitas kredit kurang lancar cukup besar, yaitu mencapai 38% dan kelektibilitas diragukan sebesar 7%. Hal ini merupakan gambaran kinerja yang cukup buruk. Sehingga perlu dicari solusi atas fakta tersebut, agar fungsi BPR sebagaii lembaga penyedia layanan jasa perbankan untuk masyarakat pedesaan menjadi lebih bermakna dan mampu mendorong dinamika ekonomi masyarakat pedesaan. Gambar 10.Tujuan Kredit 12(6%)
4(2%)
17(9%)
165 (83%)
Keperluan Pribadi
Modal Kerja
Investasi
Kombinasi
Sumber : Data Primer, 2007
Berdasarkan pengajuan kredit yang dilakukan oleh dibitur, tujuan pemanfaatan kredit sebagian besar (83%) adalah untuk modal kerja, dan hanya 6% yang menggunakannya untuk keperluan membiayai tujuan investasi. Melihat relatif tingginya tingkat bunga kredit yang ditetapkan oleh BPR responden, cukup beralasan apabila hanya sedikit debitur yang menggunakannya bagi keperluan tujuan investasi.
124
Melihat gambaran temuan di atas bisa diambil suatu kesimpulan bahwa rendahnya efisiensi BPR, seperti yang tercermin pada relatif tingginya tingkat bunga kredit maupun biaya-biaya tambahan yang harus ditanggung oleh debitur, menjadi salah satu alasan yang cukup kuat bagi terciptanya kinerja kredit BPR yang buruk, tanpa mengabaikan faktor-faktor lainnya, seperti pengelolaan kredit oleh BPR, SDM pengelola kredit dll. Tren penurunan tingkat bunga yang terjadi akhir-akhir ini, apabila kualitas kredit BPR masih buruk, maka akan menjadi hambatan yang besar bagi BPR untuk melakukan penyesuaian dengan tren tersebut. Akhirnya menjauhkan kesempatan bagi masyarakat di pedesaan untuk turut menikmati tingkat bunga kredit yang rendah dan menjadi hambatan bagi pemulihan sektor riil, khususnya di pedesaan.
3.3. Profil Debitur Sesuai
dengan
tujuan
pembentukan
BPR
sebagai
lembaga
perbankan
yang
memfokuskan pelanannya kepada masyarakat pedesaan, debitur utama responden BPR mayoritas (72%) adalah masyarakat sekitar BPR yang bersangkutan. Adapun sisanya 28% debitur utamanya adalah perusahaan/instansi pemerintah. Hal ini tidak mengherankan karena 55% responden BPR berbentuk Perusahaan Daerah (PD) BPR. Gambar 11. Debitur Utama 0(0%) 16(28%)
42(72%) Keluarga/Teman/Kenalan Karyaw an Perusahaan/instansi pemerintah Masyarakat Sekitar
Sumber : Data Primer, 2007
Temuan menarik dalam survey ini adalah sebagian besar resonden memiliki usaha produktif. Meskipun 28% debitur adalah karyawan instansi/perusahaan daerah, namun mereka umumnya memiliki usaha sampingan. Hanya 4 orang debitur saja yang mengaku tidak memiliki usaha. Hal itu nampak pada gambar 12 di bawah.
125
Sebagian besar usaha debitur merupakan usaha perdagangan dan jasa. Pada gambar tersebut 49 orang memiliki usaha perdagangan makanan atau usaha yang sejenis, 69 orang usaha perdagangan eceran. Dan 29 orang debitur memiliki usaha non perdagangan dan jasa, seperti pertanian, peternakan, furnitur dll. Melihat kenyataan ini, kredit yang disalurkan oleh BPR memiliki potensi yang tinggi dalam pengembangan UMKM di pedesaan. Gambar 12. Jenis Usaha Debitur
Tidak Punya Usaha Restoran/Rumah Makan, Bar dan Jasa Boga Real Estate, sew a, kontrakan Peternakan Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, Dll Perdagangan Makanan, Minuman atau tembakau Perdagangan Eceran Lainnya Perdagangan Eceran Berbagai Macam Barang Perdagangan Eceran Barang Bekas Penjualan Suku Cadang Penjualan Sepeda Motor Penjualan Mobil Penggalian Organisasi Bisnis, Pengusaha, Dll Kegiatan Perfilman, Radio, Televisi dan hiburan Jasa Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Jasa Perorangan Yang Melayani Rumah Tangga Jasa Penunjang Angkutan Jasa Konsultasi Arsitek, Tehnik, Dll Jasa Kegiatan Lainnya Industri Percetakan Dll Industri Peralatan Listrik Industri Pengolahan Tembakau Industri Pengolahan Tanah Liat Industri Penggilingan Padi-padian, Tepung Industri Penggergajian Kayu, Dll Industri Pemintalan, Pertenunan, Pengolahan Akhir Industri Pakaian Jadi Industri Makanan Industri Lainnya Industri Furniture Industri Barang Dari Logam Industri Barang Dari Kayu Dsb Angkutan Jalan Raya Penjualan Sepeda Motor
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
4 3
10
2 3 3
3 5
12
3 2 2 2 8
1 1 1 1 0
49 46
23
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Sumber : Data Primer, 2007
Apabila jenis usaha pada gambar 12 dikelompokkan berdasarkan pada sektor usahanya, maka penggunaan kredit berdasarkan sektor usaha debitur terdistribusi seperti pada tabel 2 di bawah ini.
Nampak sektor usaha yang dominan adalah
perdagangan (66,7%), disusul sektor jasa-jasa 13,6%.
126
Tabel 2. Sektor Usaha Debitur
No
Sektor
Jumlah
%
1
Pertanian
10
5.1
2
Perindustrian
19
9.6
3
Perdagangan
132
66.7
4
Jasa-jasa
27
13.6
5
Lainnya
10
5.1
198
100
Total Sumber : Data Primer, 2007
3.4. Linkage Program Di bawah ini diperoleh gambaran mengenai linkage program yang dilakukan oleh responden BPR. 60% responden BPR menyatakan tidak memiliki linkage program. Dari 40% BPR yang memiliki linkage program adalah BPR-BPR besar dan berkinerja bagus. Nampak bahwa BU partner sangat selektif dalam memilih partner BPR dalam linkage program. Gambar 13. Linkage Program
Ya, 23, 40%
Tidak, 35, 60%
Sebagian besar responden BPR (65%) memiliki plafon antara 1-25 milyar. Namun ada 19% yang mampu menyerap plafon hingga di atas Rp. 25 milyar. Hal ini menandakan masih kurang meratanya akses linkage program diantara BPR yang ada. Padahal dalam era tren penurunan tingkat bunga seperti sekarang ini, program ini menjadi lebih menarik untuk diterapkan. Gambar 14. Plafon Linkage Program
127
2(9%)
1(4%)
3(13%)
2(9%)
15(65%)
< 1 milyar
1 - 25 milyar
50 milyar - 75 miyar
> 75 milyar
25 milyar - 50 milyar
Sumber : Data Primer, 2007
4. Kesimpulan 1. BPR dengan NPL yang tinggi adalah BPR yang dimiliki oleh pemerintah daerah, terutama BPR BKK 2. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melakukan pencairan kredit kurang dari 4 hari. 3. Cara pembayaran angsuran yang langsung disetorkan ke BPR menjamin keamanan pembayaran uang angsuran debitur dari penyelewengan setoran, namun dari sisi debitur menambah biaya transport, dan waktu. 4. Manajemen BPR sudah ditangani oleh orang yang kompeten dibidangnya, hal ini ditunjukkan dengan kepemilikan sertifikat pada jajaran direksinya. 5. Tingkat suku bunga yang dikenakan pada debitur BPR cukup tinggi hal ini ditunjukkan dengan bunga yang dikenakan lebih dari 3% flat/bulan. 6. Biaya tambahan yang dibebankkan kepada debitur cukup tinggi, sehingga BPR perlu didorong untuk lebih meningkatkan efisiensi biaya transaksi sehingga dapat menurunkan biaya tambahan yang ditanggung debitur. 7. Sektor perdagangan merupakan sektor terbesar menyerap dan memanfaatkan kredit dari BPR. 8. Linkage program belum banyak dilakukan oleh BPR, hal ini menunjukkan masih kurang meratanya akses linkage program.
128
Profil BPR Sumatera Utara
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Nomensen Medan
LATAR BELAKANG Survey ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya meningkatnya NPL (kredit macet) yang ada di BPR. Ini sangat penting diketahui dikarenakan BPR adalah lembaga keuangan mikro yang langsung berhubungan dengan masyarakat kecil dan indutri kecil dan rumah tangga. Di Sumatera Utara, survey dilakukan pada 24 BPR yang telah ditentukan terlebih dahulu dan tersebar di beberapa kabupaten/kota yang ada di propinsi ini. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang dilakukan oleh enumerator pada BPR dan debitur BPR yang telah ditentukan. DESKRIPSI HASIL PENGUMPULAN DATA Dari hasil survey yang dialkuakn terhadap 24 BPR, maka diperoleh data bahwa keseluruhan BPR berbentuk PT (Perseroan Terbatas) yang dimiliki oleh pribadi maupun kelompok. Tidak ada satupun yang berbentuk Perusahaan Daerah (PD) ataupun Koperasi. Walaupun berbentuk PT, beberapa diantaranya memiliki dewan komisaris, sedangkan sisanya tidak memiliki dewan komisaris atau pengawas. Gambar 1. Jenis Organisasi BPR 30 20 Jumlah 10 Jenis Org 0 Jenis Org
PT
PD
Koper
24
0
0
Jenis Organisasi
Posisi kredit per Desember 2006 menunjukkan hasil yang berbeda antar BPR. Dari 24 BPR, 5 diantaranya memiliki posisi kredit di atas 10 milyar rupiah. Setelah dilihat lebih mendalam ternyata ke-5 BPR tersebut adalah BPR yang berlokasi di kota besar dan berada dekat dengan 129
pusat-pusat ekonomi sehingga memiliki nasabah yang cukup banyak. BPR lainnya memiliki jumlah kredit di bawah 10 milyar rupiah karena berada pada daerah pinggiran kota dan atau berada pada kabupaten/kota yang bukan merupakan pusat-pusat perekonomian. Akan tetapi, secara keseluruhan posisi kredit BPR tersebut sudah cukup besar bila dibandingkan dengan kegiatannya yang hanya membantu keuangan masyarakat kecil dan industri mikro dan kecil.
Gambar 2. Jumlah Kredit 8 7 6 5 4 3 2 1 0
8
5
5
3
Kredit
2 1 0 - 2 2,01 - 44,01 - 66,01 - 8 8,01 - > 10 10
Dalam melakukan pinjaman di BPR, maka seorang nasabah harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sehinnga proses peminjaman bisa berlangsung beberapa hari kerja. Berdasarkan data yang diperoleh rata-rata proses peminjaman kredit dilakukan antara 3 – 6 hari kerja (19 BPR) dan sisanya proses peminjaman kredit dilakukan lebih kecil dari 3 hari (2 BPR) dan lebih dari 6 hari kerja (3 BPR). Perbedaan waktu yang terjadi secara umum diakibatkan oleh perbedaan besar dan tujuan penggunaan kredit yang diajukan oleh debitur. Tetapi secara umum, proses pencairan pinjaman dilakukan dengan secepat mungkin apabila bisa dilakukan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan yang cepat bagi kelayakannya.
130
Gambar 3. Waktu Proses Peminjaman
>6 13%
<3 8% <3 3,01 - 6 >6 3,01 - 6 79%
Dalam melakukan pembayaran kembali kredit yang diperoleh, debitur dapat memilih beberapa cara, seperti bisa langsung membayar di BPR, diambil ketempat usaha/rumah, dipotong dari tabungan dan melakukan transfer antar bank. Dari data yang dikumpulkan, ternyata sebagian besar debitur lebih suka melakukan pembayaran langsung ke BPR (16), dijemput (7) dan hanya 1 yang melakukannya dengan memotong tabungan yang ada di BPR tersebut. Gejala ini memperlihatkan bahwa BPR memang lembaga keuangan mikro yang dekat dengan masyarakat dimana masyarakat perlu untuk datang ke BPR untuk melakukan diskusi atau pembicaraan apabila mereka menemukan beberapa masalah dalam pelaksanaan kegiatan usaha dan lainnya.
16 7 0 D (Transfer rekening)
Cara Pembayaran
1 C (Potong Gaji)
B (Angsuran dijemput)
20 15 10 5 0
A (Langsung disetor)
JUmlah
Gambar 4. Cara Pembayaran
Jenis Pembayaran
Pengelolaan suatu usaha yang baik akan dipengaruhi oleh kemampuan pengelolanya atau pimpinannya sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan baik. Demikian juga dengan BPR dimana pimpinan juga memerlukan sertifikasi dalam bidang perbankan sehingga dapat mengelola BPR dengan baik. Dari hasil survey dapat dilihat bahwa 23 131
BPR telah memiliki pimpinan yang bersertifikat dan hanya 1 yang pimpinannya belum ada sertifikat. Apabila dilihat dari pengelolaan kredit, maka BPR yang pimpinannya belum memiliki sertifikat hanya mampu mengelola kredit dalam jumlah yang kecil. Ini menunjukkan bahwa sertifikasi sangat diperlukan untuk mengelola BPR.
Gambar 5. Sertifikasi Pimpinan BPR 0 (Tidak memiliki sertifikat) 4%
1 (Memiliki Sertifikat) 0 (Tidak memiliki sertifikat)
1 (Memiliki Sertifikat) 96%
Kehidupan BPR akan sangat tergantung dari jumlah atau banyaknya nasabah yang dimiliki karena mereka tidak dapat bertahan apabila nasabahnya tidak cukup besar untuk menopang perputaran dana yang tersedia. Kemampuan marketing officer yang dimiliki oleh BPR sangat dinutuhkan dalam mendatangkan nasabah. Sumber nasabah bisa berasal dari keluarga/teman, bisa berasal dari karyawan dan bisa berasal dari masyarakat/dunia usaha sekitar BPR tersebut. Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa nasabah BPR rata-rata berasal dari masyarakat/dunia usaha sekutarnya (22) dan sisanya berasal dari keluarga/teman (1) dan karyawannya sendiri (1). Dengan melihat jumlah ini, maka tujuan BPR untuk membatu keuangan dari industri dan masyarakat kecil dapat dipenuhi.
Gambar 6. Debitur Utama 25 20 15 10 5 1 0 A (Keluarga)
22
Debitur Utama
1 C (Masyarakat sekitar)
Jenis debitur BPR biasanya dapat dibagi menjadi 2, yaitu debitur yang merupakan bekas anggota KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank) dan yang bukan anggota KKMB. Dengan menjadi anggota KKMB, maka debitur tersebut dapat mengelola kredit atau pinjamannya dengan benar sehingga tidak akan terjadi kredit kurang lancar atau macet. Ternyata 132
dari data yang diperoleh, terlihat bahwa hanya 3 BPR yang memiliki debitur anggota KKMB dan sisanya diluar itu. Dihubungkan dengan pembayaran kredit/pinjaman yang dilakukan, maka terlihat bahwa debitur anggota KKMB tersebut dapat dengan lancar membayar pinjamannya 100%. Ini berimplikasi bahwa seharusnya debitur secara bertahap harus menjadi anggota KKMB sehingga pengembalian kredit/pinjaman dapat berlangsung dengan lancar dan baik. Gambar 7. Kolektibilitas KKMB dan Lancar 13%
Bukan anggota KKMB 87%
KKMB dan Lancar Bukan anggota KKMB
BPR dapat melakukan pinjaman pada Bank Umum yang ada melalui suatu program yang dinamakan Linkage Program guna memenuhi kebutuhan likuiditas BPR tersebut atau tujuan-tujuan lainnya. Dengan melakukan linkage program, maka BPR dalat melakukan pinjaman pada bank umum. Dari 24 BPR sampel di Sumatera Utara, BPR yang melakukan linkage program sebanyak 9 dan yang tidak melakukan sebanyak 15. Ini menunjukkan bahwa kebanyakan BPR yang ada masih memiliki kemampuan dana yang cukup baik untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya atau dengan kata lain, pemiliki memiliki dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dana BPRnya. Dar5i 9 BPR yang melakukan linkage program 6 diantaranya melakukan pinjaman di bawah 2 milyar rupiah, 1 melakukan pinjaman antara 2 sampai 5 milyar rupiah dan hanya 2 yang melakukan pinjaman di atas 5 milyar rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tingkat keuangan yang dimiliki oleh BPR ini masih cukup besar dengan melihat tidak terlalu besarnya jumlah pinjaman yang dilakukan. Kemudian, pinjaman yang dicairkan/disetujui bank umum juga tidak sebesar plafond pinjaman yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat bahwa hanya 7 BPR yang mendapatkan baki debet antara 0 – 2 milyar rupiah dan hanya 2 yang memperoleh di atas 2 - 5 milyar rupiah.
133
Gambar8. Linkage Program
1 (Ya) 38%
1 (Ya) 0 (Tidak)
0 (Tidak) 62%
Gambar 9. Plafond Linkage Program
>5 11% 2 ,01 - 5 22%
0-2 2 ,01 - 5 0-2 67%
>5
Gambar 10. Baki Debet Linkage Program
>2 22% 0-2 >2 0-2 78%
Kemanakah kredit/dana yang dipinjam dari BPR ditujukan oleh kreditur dalam penggunaannya? Ini merupakan pertanyaan yang penting untuk dijawab agar pengembalian kredit dapat dilakukan dengan lancar. Tanpa tahu kemana digunakan, maka akan mempengaruhi pengembalian kredit yang dilakukan. Dari 72 orang debitur yang melakukan pinjaman, maka jenis usaha yang dilakoni oleh debitur tersebut juga berbeda-beda. Kebanyakan debitur memiliki jenis usaha perdagangan atau berdagang (42), diikuti oleh bidang pertanian (11), bidang jasa (10), lainnya (6) dan industri (3). Hal ini menunjukkan bahwa memang debitur BPR sebagian besar adalah pedagang yang berada di sekitar BPR tersebut yang sangat membutuhkan dana secara cepat untuk melakukan pembelian barang. Ini menandakan perputaran uang yang dilakukan relatif lebih 134
cepat dibandingkan dengan debitur yang berada di bidang pertanian yang mengandalkan musim untuk mengembalikan pinjamannya. Gambar 11. Jenis Usaha 50 42
40 30 20 10
Jenis Usaha
11
0 Pertanian
10 3
6
Jasa
Pinjaman yang diberikan oleh BPR, seperti layaknya pinjaman yang dilakukan pada bank umum, juga harus dikembalikan dengan bunganya. Dari data yang diperoleh, terlihat bahwa rata-rata bungan yang dibebankan pada debitur berkisar antara 2 – 3% per bulannya (56), < 2% per bulannya (12) dan lebih besar dari 3% per bulannya (4). Ini menandakan bahwa walaupun BPR tersebut terletak pada kabupaten/kota yang berbeda, mereka rata-rata menerapkan besaran suku bunga yang hanpir sama. Dengan rata-rata bunga yang dibayar 2 – 3% perbulannya, maka besaran bunga ini memang lebih besar dari bunga bank umum, akan tetapi nasabah BPR tersebut tetap melakukan pinjaman. Ini menandakan bahwa BPR memang memiliki kelebihan dibandingkan dengan bank umum dalam melakukan pendekatan pada masyarakat dan industri kecil dengan jumlah pinjaman yang cukup kecil.
Gambar 12. Suku Bunga
<2 20%
2,01 - 3 5%
<2 2,01 - 3 >3
>3 75%
Disamping membayar bunga, debitur juga biasanya dibebankan biaya lain-lain termasuk biaya administrasi dan biaya lainnya. Hal ini juga terlihat pada debitur BPR. Debitur yang dibebankan membayar biaya 135
tambahan 2 – 3% merupakan yang terbesar (34), 1 – 2% menempati urutan berikutnya (26), yang tidak dibebankan biaya (7) dan yang dibebankan biaya cukup besar > 3% ada 5 debitur. Apabila dihubungkan dengan variabel lain dalam daftar pertanyaan, terlihat bahwa besaran biaya tambahan yang dikenakan akan sangat tergantung dari jenis pinjaman, besarnya pinjaman dan tujuan pinjaman, serta lamanya proses pelaksanaan pinjaman dan pemrosesan pinjaman. Kelihatannya, besaran tambahan biaya ini merupakan hal yang biasa di BPR, karena terlihat bahwa sebagian besar diharuskan membayar biaya tambahan dan hanya 7 debitur yang tidak dibebankan atau sekitar 10%.
Gambar13. Biaya Tambahan
>3 7%
0 10%
0 1,01 - 2
2,01 - 3 47%
1,01 - 2 36%
2,01 - 3 >3
Dalam melakukan pengembalian kredit, ada beberapa kategori yang dimiliki oleh BPR, yaitu lancar, kurang lancar, diragukan dan macet. Ternyata, dari data diperoleh bahwa pengembalian kredit yang dilakukan menunjukkan tingkat yang kurang lancar (41%), lancar (33%), diragukan dan macet masing-masing 13%. Ini menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh BPR terhadap pengembalian kredit belum sepenuhnya baik, dimana sebagian besar masih dalam kategori kurang lancar dan di bawahnya (67%) dan hanya 33% yang tergolong lancar. Hal ini harus diatasi oleh BPR sehingga NPL BPR tidak bertambah dari waktu ke waktu seperti yang tercantum dalam data saat ini, dimana NPL BPR menunjukkan angka yang meningkat. Kondisi yang ditemui di lapangan ini sejalan dengan indikasi data dan ini menunjukkan bahwa BPR harus lebih hati-hati lagi dalam menyalurkan kreditnya sehingga pengembalian modal dapat dilakukan dengan baik. Prinsip ketelitian dan kehati-hatian harus segera diterapkan agar persoalan pengembalian kredit bisa berjalan dengan lancar di kemudian hari.
136
Gambar 14. Kolektibilitas Kredit Debitur
D (Macet) C 13% (Diragukan) 13%
A ((Lancar) 33%
B (Kurang Lancar) 41%
A ((Lancar) B (Kurang Lancar) C (Diragukan) D (Macet)
Dalam melakukan pinjaman, seorang debitur harus menunjukkan alasan penggunaan kredit yang akan diperolehnya. Dari daftar pertanyaan yang tersedia terlihat bahwa tujuan kredit bisa dilakukan untuk konsumsi, modal kerja, investasi, kombinasi dan lainnya. Dari data yang dikumpulkan, terlihat bahwa tujuan peminjaman dana sebagian besar dilakukan untuk modal kerja (83%) dan sisanya untuk kebutuhan lainnya. Hal ini sangat menggembirakan karena dengan m,enggunakannya sebagai modal kerja, maka ini akan menjalan roda perekonomian sektor riil sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah. Hanya saja sekarang diperlukan bagaimana menggalakkan sektor riil tersebut sehingga pengembalian pinjaman dapat dilakukan dengan baik. Tak dapat dipungkiri, dengan data yang dikumpulkan, bahwa telah terbukti bahwa pinjaman yang dilakukan memang betul-betul digunakan untuk kebutuhan yang menjadi kelemahan industri kecil saat ini, yaitu sektor permodalan.
Gambar15. Tujuan Dari Kredit
6% 3% 4%
4%
A (Konsumsi) B (Modal Kerja) C (Investasi) D(Kombinasi)
83%
E (Lainnya)
Kredit yang diperoleh dari BPR oleh nasabah akan digunakan pada usaha mereka. Terlihat bahwa jenis usaha debitur sebagian besar berada pada sektor perdagangan (68%) diikuti oleh sektor jasa (13%), sektor lain (8%), sektor pertanian (7%) dan sektor industri (4%). Ini menandakan bahwa debiturnya merupakan pelaku pasar dalam bidang perdagangan atau dunia usaha. Pertanian yang merupakan tulang 137
belakang perekonomian propinsi ini, hanya kecil saja memanfaatkan kebutuhan dana dari BPR yang hanya ditunjukkan oleh persentase yang cukup kecil dalam keterlibatannya dalam menggunakan dana BPR.
Gambarl 16. Sektor Ekonomi Penggunaan Kredit B E (Lainnya) A (Pertanian) (Perindustrian) D (Jasa)8% 7% 4% 13%
A (Pertanian) B (Perindustrian) C (Perdagangan) D (Jasa)
C (Perdagangan) 68%
E (Lainnya)
KESIMPULAN SECARA UMUM Dari penjelasan (deskripsi) terhadap data yang diperoleh, maka secara umum telah dapat dilihat benang merah kondisi BPR yang ada di Sumatera Utara, siapa debiturnya dan bagaimanakah pengelolaan kredit yang dilakukan oleh BPR. Secara umum terlihat bahwa sebagian besar dana yang dipinjamkan oleh BPR berada pada tengan pedagang kecil dan masyarakat kecil dimana pengembaliannya masih tergolong kurang lancar yang diakibatkan kendala-kendala yang dihadapi di perekonomian (pasar). Pengembalian yang lancar hanya dilakukan oleh debitur yang usahanya memang benar-benar meyakinkan sehingga kelancaran pengembalian kredit bisa dilakukan dengan tepat waktu.
138
PROFIL BPR SUMATERA SELATAN
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Sriwijaya
Bentuk organisasi semua BPR yang menjadi sampel penelitian adalah berbentuk perseroan terbatas (PT) yang berarti telah berbadan hukum.
Tabel 1 Bentuk Organisasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Nama BPR Agitrans Batumarta Cinta Manis Agroloka Multidana Mandiri Musi Artha Lestari Prabumengah Kencana Rarat Ganda Sukasada Tahap Ganda Tiur Ganda Tri Gunung Selatan
Kabupaten OKU Timur OI Palembang OKU Timur Palembang Banyuasin Palembang Prabumulih OI Palembang
Bentuk Organisasi PT PT PT PT PT PT PT PT PT PT
Jumlah kredit masing-masing BPR yang telah disalurkan mulai dari 3.590.207.118 sampai dengan
Rp
Rp 25.708.517.585, sedangkan yang
dikategorikan kredit non lancar (kurang lancar, diragukan, dan macet) mulai dari Rp 11.769.300 sampai dengan
Rp 11.300.000.000. Berarti terdapat
kecenderungan semakin besar krdit yang disalurkan maka semakin besar pula kredit non lancar masing-masing BPR.
139
Tabel 2 Jumlah Kredit No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Nama BPR Agitrans Batumarta Cinta Manis Agroloka Multidana Mandiri Musi Artha Lestari Prabumengah Kencana Rarat Ganda Sukasada Tahap Ganda Tiur Ganda Tri Gunung Selatan
Kabupaten OKU Timur OI Palembang OKU Timur Palembang Banyuasin Palembang Prabumulih OI Palembang
Nilai Kredit 7.310.597.521 4.183.066.500 23.450.000.000 3.590.207.118 15.604.965.437 3.939.115.500 25.708.517.585 6.647.067.800 5.630.073.250 23.498.695.845
Tabel 3 Jumlah Kredit Non Lancar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Nama BPR Agitrans Batumarta Cinta Manis Agroloka Multidana Mandiri Musi Artha Lestari Prabumengah Kencana Rarat Ganda Sukasada Tahap Ganda Tiur Ganda Tri Gunung Selatan
Kabupaten OKU OKI Palembang OKU Timur Palembang Musi Banyuasin Palembang Prabumulih OKI Palembang
Nilai Kredit 224.305.085 345.493.500 11.300.000.000 177.453.021 517.578.241 59.072.000 807.019.775 11.769.300 152.243.000 968.537.751
Waktu yang dibutuhkan BPR untuk menyetujui kredit mulai dari 3 hari sampai dengan 7 hari, jadi tidak ada patokan waktu yang sama dan singkat dalam pemberian kredit ke nasabah, semua membutuhkan proses
dari
pengajuan, penilaian sampai dengan persetujuan dan pencairan dana kredit.
140
Tabel 4 Rata-Rata Waktu Menyetujui Kredit
Valid
3 5 6 7 Total
Frequency 5 1 1 3 10
Percent 50.0 10.0 10.0 30.0 100.0
Valid Percent 50.0 10.0 10.0 30.0 100.0
Cumulative Percent 50.0 60.0 70.0 100.0
Cara pembayaran angsuran kredit yang palin dominan adalah dengan angsuran disetor langsung ke BPR sebanyak 8 responden (80%), dan dipotong secara langsung dari gaji/tabungan debitur sebanyak 2 responden (20%). Tabel 5 Cara Pembayaran Angsuran Kredit
Valid
Disetor Langsung Ke BPR Dipotong Langsung Dari Gaji/Tabungan Total
Frequency 8 2 10
Percent 80.0 20.0 100.0
Valid Percent 80.0 20.0 100.0
Cumulative Percent 80.0 100.0
Direktur / Direksi BPR semuanya telah memiliki sertifikat kelulusan dari Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP LKM Certif) sehingga BPR tersebut memiliki pimpinan yang telah memenuhi syarat mengenai seluk beluk perkreditan dan perbankan. Tabel 6 Direktur Memiliki Sertifikat Kelulusan (LSP LKM Certif)
Valid
Ya
Frequency 10
Percent 100.0
Valid Percent 100.0
Cumulative Percent 100.0
Hampir semua debitur utama masing-masing BPR adalah masyarakat sekitar sebesar 9 responden (90%), sisanya sebesar 1 responden (10%) adalah karyawan perusahaan/instansi pemerintah dalam rangka kerjasama dengan pengurus perusahaan/instansi tersebut..
141
Tabel 7 Debitur Utama BPR Frequency Valid
Karyawan Perusahaan / Instansi Pemerintah Masyarakat Sekitar Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
10.0
10.0
10.0
9 10
90.0 100.0
90.0 100.0
100.0
Kolektibilitas kredit dari debitur yang merpakan binaan KKMB tersebut, seluruhnya lancer. Tabel 8 Kolektibilitas Kredit Kolektibilitas Kredit KKMB
Frequency Valid Missing
Seluruhnya lancar System
Percent
2
Total
20.0
8
80.0
10
100.0
Valid Percen t 100.0
Cumulative Percent 100.0
Dari 10 responden BPR, hanya 3 responden BPR (30%) yang memiliki linkage program, sedangkan sisanya 7 responden BPR (70%) tidak memiliki linkage program.
Tabel 9 Linkage Program
Valid
Tidak Ya Total
Frequency 7 3 10
Percent 70.0 30.0 100.0
Valid Percent 70.0 30.0 100.0
Cumulative Percent 70.0 100.0
Jenis usaha para debitur yang menjadi nasabah BPR beraneka ragam, mulai dari petani, pedagang, pengusaha industri kecil, pegawai negeri sipil, dan lainlain (Ibu rumah tangga, sopir, dan pegawai swasta).
142
Tabel 1 Jenis Pekerjaan / Usaha
Valid
Petani Pedagang Industri Kecil PNS Lainnya Total
Frequency 10 28 6 5 12 61
Percent 16.4 45.9 9.8 8.2 19.7 100.0
Valid Percent 16.4 45.9 9.8 8.2 19.7 100.0
Cumulative Percent 16.4 62.3 72.1 80.3 100.0
Besar suku bunga yang ditetapkan di masing-masing BPR bervariasi mulai dari 1 persen sampai dengan 3 persen per bulannya, yang paling banyak adalah nasabah yang ditetapkan tingkat bunga sebesar 2,5 persen pertahun sebanyak 21 responden (34,4%).
Tabel 2
Besar Suku Bunga (Persen/Bulan)
Valid
.00 .90 1.00 1.16 1.25 1.46 1.50 1.67 1.75 1.91 2.00 2.08 2.50 2.75 3.00 Total
Frequency 1 2 2 8 1 1 2 4 5 3 3 1 21 6 1 61
Percent 1.6 3.3 3.3 13.1 1.6 1.6 3.3 6.6 8.2 4.9 4.9 1.6 34.4 9.8 1.6 100.0
Valid Percent 1.6 3.3 3.3 13.1 1.6 1.6 3.3 6.6 8.2 4.9 4.9 1.6 34.4 9.8 1.6 100.0
Cumulative Percent 1.6 4.9 8.2 21.3 23.0 24.6 27.9 34.4 42.6 47.5 52.5 54.1 88.5 98.4 100.0
Tambahan biaya yang dikenakan BPR selain bunga sebanyak 15 nasabah (24,6%) tidak dikenakan biaya tambahan, dan yang lain berfluktuasi mulai 1 persen sampai dengan 16,3 persen.
143
Tabel 3 Besar Tambahan Biaya (Persen)
Valid
.00 1.00 1.30 1.77 2.00 2.25 2.46 2.50 3.00 3.50 4.41 4.42 5.00 6.43 6.50 12.00 16.30 Total
Frequency 15 1 1 1 5 1 1 14 3 7 1 1 6 1 1 1 1 61
Percent 24.6 1.6 1.6 1.6 8.2 1.6 1.6 23.0 4.9 11.5 1.6 1.6 9.8 1.6 1.6 1.6 1.6 100.0
Valid Percent 24.6 1.6 1.6 1.6 8.2 1.6 1.6 23.0 4.9 11.5 1.6 1.6 9.8 1.6 1.6 1.6 1.6 100.0
Cumulative Percent 24.6 26.2 27.9 29.5 37.7 39.3 41.0 63.9 68.9 80.3 82.0 83.6 93.4 95.1 96.7 98.4 100.0
Pada posisi Desember 2006, kolektibiltas kredit debitur lancar sebanyak 11 nasabah (18%), kurang lancar sebanyak 11 nasabah (18%), diragukan sebanyak 19 nasabah (31,1%) dan macet sebanyak 20 nasabah (32,8%). Tabel 4 Kolektibilitas Kredit Debitur
Valid
Lancar Kurang Lancar Diragukan Macet Total
Frequency 11 11 19 20 61
Percent 18.0 18.0 31.1 32.8 100.0
Valid Percent 18.0 18.0 31.1 32.8 100.0
Cumulative Percent 18.0 36.1 67.2 100.0
Tujuan dari pengajuan kredit tersebut, dipakai untuk keperluan pribadi (konsumsi) sebanyak 14 nasabah (23%), digunakan untuk membiayai operasional usaha (modal kerja) sebanyak 39 nasabah (63,9%), digunakan untuk membeli perlatan/mendirikan usaha baru (investasi) sebanyak 1 144
nasabah (1,6%), digunakan untuk beberapa tujuan (kombinasi) sebanyak 1 nasabah (1,6%), dan lainnya sebanyak 6 nasabah (9,8%).
Tabel 5 Tujuan Pengajuan Kredit
Valid
Konsumsi Modal Kerja Investasi Kombinasi Lainnya Total
Frequency 14 39 1 1 6 61
Percent 23.0 63.9 1.6 1.6 9.8 100.0
Valid Percent 23.0 63.9 1.6 1.6 9.8 100.0
Cumulative Percent 23.0 86.9 88.5 90.2 100.0
Penggunaan kredit tersebut digunakan untuk berbagai sektor, yakni kredit di sektor pertanian sebanyak 7 nasabah (11,5%), perindustrian sebanyak 3 nasabah (4,9%), perdagangan sebanyak 34 nasabah (55,7%), dan jasa-jasa sebanyak 5 nasabah (8,2%) serta lainnya sebanyak 12 nasabah (19,7%). Tabel 6 Sektor Ekonomi Kredit
Valid
Pertanian Perindustrian Perdagangan Jasa-Jasa Lainnya Total
Frequency 7 3 34 5 12 61
Percent 11.5 4.9 55.7 8.2 19.7 100.0
Valid Percent 11.5 4.9 55.7 8.2 19.7 100.0
Cumulative Percent 11.5 16.4 72.1 80.3 100.0
145
PROFIL BPR DI SULAWESI SELATAN
Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Hasanuddin
1. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat di Sulawesi Selatan a. Perkembangan Kantor Sampai saat ini (per september 2006), jumlah kantor BPR termasuk BPR Syariah yang berada di wilayah kerja Kantor Bank Indonesia Makassar sebanyak 30 buah, termasuk 7 BPR Syariah di dalamnya. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan pulau Jawa dan Bali, yang rata-rata mempunyai sekitar 150an kantor BPR dan BPRS. Gambar 1. Sebaran BPR di Propinsi Sulawesi Selatan Luwu Utara • B P R
Palopo • BPR : 1 (KK) :1
Tator • BPR : 2 (KK) : 1
Luwu Timur • BPR : 1
Wajo • BPR : 2 (KK) : 6 • BPRS : 2
Maros • BPR : 1
Makassar • BPR : 7 • BPRS : 3
Bone • BPR : 1
Takalar • BPR : 2 • BPRS : 1
Gowa • BPR : 2 • BPRS : 2
Sumber : Bank Indonesia Makassar.
b. Kegiatan Usaha BPR Sulsel Kegiatan usaha BPR Sul-Sel secara umum menunjukkan perkembangan yang cukup memuaskan. Penghimpunan dana dan penyaluran dana mengalami peningkatan
dari
tahun
ketahun.
Peningkatan
penyaluran
dana
dan
146
penghimpunan dana secara terus menerus selama kurun waktu 5 tahun tersebut seiring dengan meningkatnya jumlah BPR Sulawesi Selatan. Penyaluran dana khususnya kredit untuk tahun 2002 sebesar 38,219,511 mengalami peningkatan sebesar 16,32 % dari tahun sebelumnya, tahun 2003 nilai nominal kredit yang dapat disalurkan sebesar 42,778,469 yang artinya meningkat sebesar 20,83 % dari tahun sebelumnya, peningkatan yang sangat besar terjadi di tahun 2004, penyaluran kredit mencapai angka nominal 57,033,598 mencapai peningkatan sebesar 57,36 %, dan untuk tahun 2005 nominal kredit yang dapat tersalurkan secara umum sebesar 75,517,118 meningkat sebesar 16,99 %, seperti yang terlihat pada tabel 1. di bawah ini.
TABEL 1. KEGIATAN USAHA BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005(dalam ribu rupiah ) KEGIATAN USAHA
2001
2002
2003
2004
2005
*
Penyaluran Dana a. Kredit b. Antar Bank Aktiva
32,775,320 25,785,518 6,989,802
38,219,511 29,995,110 8,224,401
42,778,469 36,243,149 6,535,320
68,157,899 57,033,598 11,124,301
75,517,118 66,728,119 8,788,999
*
Penghimpunan Dana a. DPK Deposito Tabungan b. Antar Bank Passiva Pinjaman Yang c. Diterima d. Kewajiban Segera
24,610,072 19,969,992 9,306,644 10,663,348 1,282,197
29,820,259 22,144,961 6,951,894 15,193,067 2,819,980
32,844,043 26,382,019 9,860,736 16,521,283 2,988,085
56,409,614 39,513,970 17,998,626 21,515,344 8,707,972
60,317,708 43,096,095 25,815,486 17,280,609 8,159,007
3,121,992 235,891
4,535,416 319,902
3,148,018 325,921
7,385,386 802,286
8,389,786 672,820
8,441,928 433,715 959,352 (1,458,847)
11,382,193 545,448 319,643 (2,417,083)
13,823,551 350,464 1,129,821 (2,895,395)
19,032,851 825,857 1,614,747 (3,295,860)
22,247,851 1,083,786 1,447,433 (3,437,360)
Beberapa Komponen Modal a. Modal disetor b. Cadangan c. L/R Tahun Berjalan d. L/R Tahun Lalu Data: Hasil Olahan *
Untuk penghimpunan dana, peningkatan yang terbesar dalam kurun waktu 5 tahun terjadi di tahun 2004, nominal DPK (Dana Pihak Ketiga) yang dapat terhimpun sebesar 56,409,614 meningkat sebesar 71,75 % dari tahun sebelumnya, di tahun 2005 dana yang dapat terhimpun sebesar 60,317,708 147
meningkat sebesar 6,92 %, sangat jauh dibanding dengan tanun sebelumnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya provinsi Sulawesi Barat sehingga BPR yang masuk wilayah Sulawesi Barat tidak terhitung lagi dalam BPR Sulawesi Selatan. c. Kinerja BPR Sulsel Kinerja BPR memberikan gambaran tentang efisiensi alokasi sumber daya keuangan, hal ini dapat mencerminkan kondisi internal perusahaan. Dua aspek penting yang paling perlu diperhatikan dalam analisis kinerja perbankan adalah profitabilitas (profitability) dan likuiditas (liquidity). Profitabilitas mencerminkan seberapa besar kemampuan bank mencetak keuntungan. Sedangkan liquiditas mencerminkan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban kepada nassabah, khususnya penarikan uang tunai dari deposito maupun tabungan masyarakat. Aspek permodalan merupakan elemen yang paling penting dalam dunia perbankan. Kesehatan sebuah BPR dan kualitas manajerialnya dapat diukur dari ketaatan memenuhi ketentuan permodalan. a) CAR (Capital Adequacy Ratio) Kewajiban penyediaan modal minimum (KPMM) bagi BPR didasarkan pada risiko aktiva yang tercantum pada neraca. Kecukupan modal BPR diukur berdasarkan prosentase antara modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dengan prosentase di atas atau lebih dari 4% (>4%), apabila kurang atau di bawah dari 4% maka BPR ditetapkan dalam pengawasan khusus dan pembekuan kegiatan usaha. Dari pengolahan data selama kurun waktu penelitian CAR BPR Sul-Sel tahun 2001-2005 menunjukkan prosentase yang berfluktuasi namun tetap sesuai dengan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh BI. Rasio kecukupan modal yang terbesar selama tahun penelitian terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 35,70 % dan kemudian menurun ditahun 2002 sebesar 3,84%, sehingga prosentase CAR menjadi 34,33%, di tahun 2003, prosentase CAR meningkat sebesar 0,36% sehingga prosentase CAR mencapai 34,46 %, selanjutnya untuk tahun 2004 prosentase CAR menurun sebesar 9,95 % sehingga CAR menjadi 31,03%, tahun 2005 CAR 148
meningkat sebesar 7,68 % sehingga prosentase nilai CAR di akhir tahun penelitian sebesar 33,41 %. TABEL 3.13. PERMODALAN DAN LIQUIDITAS BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005 *
*
*
2001
2002
2003
2004
2005
CAR Modal
(%) (Rp.000)
35.70 11,167,974
34.33 12,327,173
34.46 14,594,144
31.03 20,849,803
33.41 25,555,991
ATMR
(Rp.000)
31,279,464
35,904,070
42,353,845
67,195,084
76,486,895
CR (Cash Ratio)
(%)
37.99
34.46
25.47
12.41
7.61
a. Alat Liquid Kas
(Rp.000) (Rp.000)
7,677,011 1,969,406
7,742,071 2,337,650
6,802,922 3,255,687
5,001,375 2,585,046
3,332,273 2,702,281
(ABA-ABP)
(Rp.000)
5,707,605
5,404,421
3,547,235
2,416,329
629,992
b.Hutang Lancar Kewajiban Segera Tabungan
(Rp.000)
20,205,883
22,464,863
26,707,940
40,316,256
43,768,915
(Rp.000)
235,891
319,902
325,921
802,286
672,820
(Rp.000)
10,663,348
15,193,067
16,521,283
21,515,344
17,280,609
Deposito
(Rp.000)
9,306,644
6,951,894
9,860,736
17,998,626
25,815,486
77.20
74.34
79.74
76.41
81.26
(Rp.000)
25,785,518
29,995,110
36,243,149
57,033,598
66,728,119
(Rp.000)
24,610,072
29,820,259
32,844,043
56,409,614
60,317,708
(Rp.000)
8,788,719
10,526,960
12,608,817
18,229,416
21,799,945
LDR (Loan to Deposit Ratio) Total Kredit Penghimpunan Dana Modal Inti
(%)
Data : Hasil Olahan
b) CR (Cash Ratio) Likuiditas merupakan kemampuan BPR untuk memenuhi kewajibankewajibannya yang jatuh tempo dalam jangka pendek. Salah satu cara untuk
melihat
kemampuan
BPR
dalam
memenuhi
kewajiban-
kewajibannya yang jatuh tempo adalah dengan melihat Cash Ratio. Kecukupan cash ratio BPR diukur berdasarkan prosentase antara alat liquid dengan hutang lancar, dengan prosentase CR di atas atau lebih dari 3% (>3%) TABEL 2. PERKEMBANGAN CAR, CR DAN LDR BPR SUL-SEL TAHUN 20012005 2001
2002
2003
2004
2005
CAR
(%)
0
(3.84)
0.36
(9.95)
7.68
CR
(%)
0
(9.29)
(26.09)
(51.30)
(38.63)
LDR (%) Data : Hasil Olahan
0
(3.71)
7.26
(4.17)
6.34
149
GAMBAR 2. PERKEMBANGAN CAR, CR DAN LDR BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005 PERKEMBANGAN CAR, CR DAN LDR BPR SUL-SEL TAHUN 2001-2005 20 10
Prosentase (%)
0 (10)
(3.71) (3.84) 2002 (9.29)
0 2001
(20)
7.26 0.36 2003
7.68 (4.17) 2004 (9.95)
6.34 2005
(26.09)
(30)
(38.63)
(40) (50)
(51.30)
(60)
Tahun CAR
CR
LDR
Data: Hasil olahan 2. Hasil Survey Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL di BPR Sulawesi Selatan dilakukan terhadap 14 BPR yang tersebar di KTI Wilayah Makassar, Maros, Bone, Wajo, Palopo, Gowa dan Takalar. BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. Menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 bentuk hukum BPR dapat berupa Perseroan Terbatas, Perusahaan Daerah, dan Koperasi.
Lokasi BPR Menurut Daerah
1
1
Makassar
1
Maros Takalar Gowa 7
2
Palopo Bone
1
1
Wajo
150
a. Menyangkut BPR (dari kuesioner "Proses Pemberian Kredit"): •
Bentuk organisasinya (pertanyaan no. 1) Sebagian besar yakni 86% BPR yang disurvey di wilayah Sulawesi Selatan berbentuk PT dan 7% berbentuk PD serta 7% berbentuk koperasi. Perusahaan Daerah BPR dimiliki oleh satu pihak yakni Pemerintah Kodya Makassar dan Koperasi BPR dimiliki oleh koperasi Abang Pasar. Sedangkan yang berbentuk PT, murni dimiliki oleh swasta.
Gambar 1. Bentuk Organisasi Yang Di Survei
7%
7% PT PD Koperasi 86%
•
Jumlah kreditnya (no. 2) Status badan usaha apakah PT, PD dan Koperasi ternyata tidak menghambat operasi aktivitas BPR. Artinya, mereka tetap memiliki peluang yang sama untuk menarik nasabah. Hal ini tercermin pada besarnya posisi kredit BPR Desember 2006 baik yang berbentuk PT, PD, maupun Koperasi secara umum tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Dari 14 BPR yang disurvey sebagian besar yakni 11 BPR memiliki posisi kredit per Desember 2006 di atas 1 milyar rupiah. Dengan demikian hanya 3 BPR yang memiliki posisi kredit per Desember 2006 di bawah 1 milyar rupiah. Dari 11 BPR tersebut yang berbentuk PT sebanyak 9 dengan lokasi di wilayah Sulawesi Selatan (Kota dan Kabupaten) dan 1 BPR berbentuk PD yang berlokasi di Kota Makassar serta 1 BPR berbentuk Koperasi. Hal ini secara implisit menunjukan bahwa BPR yang berada di pusat aktivitas ekonomi, memiliki peluang usaha relatif lebih besar. Kota/Kabupaten Makassar merupakan wilayah niaga dan jasa sekaligus, dimana terdapat banyak 151
pelaku usaha di dua sektor ekonomi tersebut yang tersebar di kota dan pinggirannya. •
Rata-rata waktu menyetujui kredit (no. 4) Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 58% hanya membutuhkan waktu rata-rata tiga hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 7% perlu waktu 2 hari, sebanyak 21% membutuhkan waktu 4 hari serta 14% membutuhkan membutuhkan waktu 6 hari. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 100% membutuhkan waktu tidak lebih dari enam hari untuk menyetujui kredit. RATA-RATA WAKTU PENCAIRAN KREDIT
14%
7% 2 Hari 3 hari 4 hari
21%
6 hari 58%
•
Cara pembayaran angsuran kredit (no. 6) ok BPR besar tersebut mampu meraih nasabah diluar batas administrasi lokasi bank. Contoh kasus BPR di Kota Makassar, nasabahnya tersebar sampai ke Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa. Demikian halnya BPR di Kabupaten Gowa, banyak nasabahnya berada di Kota Makassar. Performa ini menunjukan bahwa BPR memiliki daya tarik tersendiri bagi kelompok masyarakat tertentu untuk dijadikan mitra usaha sekalipun lokasi jauh dari tempat tinggalnya. Dimungkinkan salah satu daya tariknya tersebut adalah kecepatan pencairan dana dan kemudahan cara pembayaran angsuran. Namun ternyata dalam membayar angsuran sebagian besar disetor langsung ke BPR. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar BPR tidak memberikan fasilitas kemudahan dalam membayar. Hal ini bisa dipahami karena pengambilan cicilan oleh bank atau fasilitas lainnya akan menimbulkan biaya operasi buat BPR. Namun di sisi lain, nasabah yang jauh dari lokasi bank harus menanggung biaya 152
transportasi yang lebih tinggi untuk setiap kedatangan dalam membayar cicilannya. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kedekatan lokasi, namun karena keunggulan kemudahan memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro. •
Direksi yang memiliki sertifikasi (no. 7) Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan Bank Indonesia. Salah satu buktinya, seluruh direksi BPR yang disurvey memiliki sertifikasi. Selain itu, mereka tidak memilih nasabah karena ada hubungan khusus. Sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar.
•
Debitur utama (no. 15) Hasil survey menunjukan bahwa sebanyak 11 BPR yang disurvey menyatakan kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar memberikan harapan besar untuk terjadinya pengembangan usaha mikro yang berkelanjutan. Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah kredit non lancar perlu pendampingan terhadap debitur yang berbentuk fasilitas konsultasi yang terkait dengan usahanya. Namun disayangkan seluruh BPR yang disurvey di Sulawesi Selatan tidak ada satu pun BPR yang memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). Dalam
perkembangan
beberapa
tahun
terakhir
kinerja
BPR
menunjukan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun sayangnya, kinerja tersebut diikuti dengan memburuknya Rasio NPL BPR. Permasalahan ini bisa menghambat kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah berperan signifikan dalam mendorong pengembanga usaha mikro.
153
Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya
telah
dilakukan
oleh
Bank
Indonesia
dalam
rangka
meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada usaha kecil dan mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui ternyata hanya 2 BPR dari 14 BPR yang disurvey yang telah mengikuti linkage program. •
Kolektibilitas kredit (no. 17) Dari 14 BPR tersebut, sebagian kecil yakni 21% mendapatkan plafon kredit di bawah satu milyar rupiah. Hanya terdapat tiga BPR yang memperoleh plafon kredit di atas lima milyar rupiah.
PD. BPR KODYA TK II MAKASSAR 4% PT. BPR TARUNA JUJUR SAKTI
0% 5% 3% 3% 13%
8% 3% 5%2%2%
6%
33% 13%
PT. BPR SULAWESI DANAJAYA PT. BPR HASAMITRA
PT. BPR Sulawesi Mandiri
•
Linkage program (no. 31)
Dari 14 BPR tersebut, hanya 3 BPR yang mengikuti Linkage program
154
Program Linkage & Non Linkage
21% Linkage Program Non Linkage 79%
b. Menyangkut debitur (dari kuesioner "Status Kredit Debitur") •
Jenis usaha (no. 1) Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha perdagangan. Dari 100 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 83 atau 83% merupakan debitur yang menggeluti usaha perdagangan. Usaha perdagangan yang dimaksud merupakan usaha kecil dan mikro yang sebagian besar meliputi perdagangan eceran komoditas pangan dan kelontongan. Debitur yang bergerak di usaha perdagangan ini mencakup seluruh wilayah survey.
Perdagangan & Non Perdagangan
17% Perdagangan Non Perdagangan 83%
•
Suku bunga yang dikenakan (no. 4) Dalam memberikan kredit kepada debitur, antar BPR menetapkan suku bunga secara flat yang sangat bervariasi. Sebagian besar BPR menetapkan suku bunga pinjaman secara flat antara 1% – 3%. Dari 100 debitur yang jadi sampel, 99 debitur dibebani suku bunga sebesar 155
1% – 3% per bulan. Bahkan hanya 1 debitur menanggung bunga sebesar 3,5% secara flat per bulannya. Dibandingkan dengan bank umum besaran suku bunga tersebut jelas jauh lebih besar. Kondisi yang ironis, pelaku usaha skala mikro ini harus menanggung biaya modal yang sangat tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku bunga sebesar itu untuk menutup biaya operasi yang tinggi per satuan kredit yang dikucurkannya.
Suku Bunga Yang Dikenakan Pada Nasabah BPR 1% 1%
1%1%1%1%
1.125%
7%
1.2% 24%
1.25% 1.8% 2%
55%
2.25% 9%
2.5% 3.5%
•
Persentasi tambahan biaya selain bunga (5) Selain besaran suku bunga yang sangat fantastis, debitur pun terkena biaya tambahan disaat akad kredit yang besarnya cukup signifikan. Sebanyak 97% dari total debitur dikenakan biaya tambahan sampai 4% dari total kredit yang diajukannya. Ada pula BPR yang tidak mengenakan biaya tambahan, hal ini dialami oleh 23 debitur. Mengejutkan, terdapat debitur dibebani biaya tambahan di atas 4% yakni sampai 5%. Dilihat berdasarkan besarnya pinjaman tampaknya tidak terdapat korelasi antara besarnya biaya tambahan dengan pinjaman. Berdasarkan temuan ini menunjukan bahwa dibalik kemudahan prosedur peminjaman dan kecepatan pencairan sebenarnya biaya transaksi perolehan kredit di BPR sangat tinggi. Ketika dikaitkan dengan eksistensi BPR sebagai pendorong pengembangan
usaha
mikro
menjadi
tidak
sinkron,
karena
dikhawatirkan bukannya mendorong usaha malah menghambat. 156
0%
Tambahan Biaya 2%
0,135% 0,25%
1% 5%
6%
0,5%
23%
2%
1% 1,5%
2%
16%
2% 2,5%
7% 7%
3%
2%
4%
27%
3,5% 5%
•
Kolektibilitas kredit (no. 8) Kekhawatiran tersebut ternyata terbukti, tercermin pada besarnya kredit macet di BPR. Dari 14 BPR yang disurvey rata-rata kredit macetnya 64% dari posisi kredit per Desember 2006. Survey terhadap 100 debitur, 64% merupakan debitur dengan kolektibilitas non lancar dimana 34% nya merupakan debitur yang kolektibilitasnya macet.
Kredit Lancar & Non Lancar
Lancar Non Lancar
•
Tujuan kredit (no. 9) Kenyataan yang dihadapi BPR yang bermasalah bahwa sebagian besar nasabahnya memiliki kolektibilitas non lancar dapat menjadi ancaman terhadap keberlangsungan usahanya. Menurut pihak BPR sebagian besar tujuan pemakaian kredit tersebut untuk kredit modal kerja. Namun kenyataannya terdapat pula nasabah yang menggunakan pinjaman tersebut untuk keperluan konsumsi. 157
•
Sektor ekonomi kredit (no. 10) Berdasarkan survey terhadap 100 debitur, terdapat 90 debitur atau 90% nya memanfaatkan kredit untuk membiayai operasional usaha atau modal kerja. Menariknya sektor usaha yang paling banyak digeluti debitur adalah sektor perdagangan. Artinya, dimungkinkan modal kerja yang dimaksud adalah pembelian barang untuk dijual kembali tanpa proses nilai tambah produk. Hal ini diperkuat oleh hasil survey dimana sektor industri hanya menyerap 3% dari total kredit yang disalurkan oleh BPR. Kenyataan ini mengandung resiko tinggi, bahwa fluktuasi harga dan lemahnya pengelolaan usaha para debitur menggiring pada macetnya kredit. Apalagi sebagian besar debitur cenderung menyatukan keuangan keluarga dengan usahanya.
Penggunaan Pinjaman
10% c
Pengembangan Usaha Konsumtif
90%
3. Deskripsi Surveyor terhadap Hasil Survey di Lapangan a. BPR Kotamadya
•
Nasabah pengambil Kredit yang masuk kategori kurang lancar , diragukan dan macet banyak berkelit ketika diwawancara
•
Masih ada beberapa nasabah kategori lancar belum beritikad mambayar cicilan pinjaman kreditnya
158
b. BPR Taruna Jujur Sakti
•
Manajemen Baru yang menyebabkan belum maksimalnya kegiatan operasional seperti perekrutan karyawan
•
Berpindah Kantor.(Kantor sebelumnya bertempat di maros sekarang Jl. Gunung Bawakaraeng )
•
Jumlah Nasabah yang masih minim diikuti dengan minimnya SDM para karyawan.
•
Nasabah yang masuk kategori Kurang Lancar banyak berkelit dan cenderung tidak ingin diwawancarai langsung
•
Banyaknya Nasabah yang belum mampu melunasi pinjamannya dikarenakan musibah ( Penipuan)
c. Sulawesi Danajaya
•
Tinggi tingkat bunga yang ditawarkan oleh BPR kepada nasabah yang disebabkan oleh berbagai faktor.
•
Persyaratan kredit yang ditawarkan khususnya mengenai nilai agunan cenderung lebih memberatkan nasabah
•
Tidak adanya solusi yang dilakukan BPR dalam menangani nasabah yang terkena musibah penipuan
•
Kurangnya SDM BPR dalam mengelola dan memasarkan produkproduknya
159
d. BPR Hasa Mitra
•
Pada akhir desember 2006 ,akumulasi nilai kredit bagi nasabah yang tergolong lancar lebih tinggi daripada kredit macet ,diragukan dan kurang lancar tergolong rendah.
•
Kebanyakan nasabah berasal dari kalangan PNS yang mana tujuan utama pengambilan kredit lebih cenderung untuk konsumtif
e. BPR Sulawesi Mandiri
•
Nasabah pengambil Kredit yang masuk kategori kurang lancar , diragukan dan macet banyak berkelit ketika diwawancara
•
Bunga Pinjaman agak Terlalu tinggi
•
Jangka Waktu Pelunasan yang cepat
f. BPR Batara Wajo Alamat nasabah kredit yang menjadi responden dalam penelitian NPL pada umumnya berada di wil. Daya, namun terdapat beberapa Responden Non lancar yang sulit ditemui, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan wawancara, berikut Masalah- masalah yang dihadapi oleh PT.BPR BATARA WAJO dalam hal pengembalian kredit dari nasabah –nasabah yang termasuk dalam kategori kolektibilitas Non Lancar : 1. Nasabah sulit ditemui 2. Penundaan oleh nasabah untuk membayar angsuran pada saat penagihan oleh AO
160
Komentar-komentar Responden (Non – Lancar), mengenai masalah – masalah yang dihadapi : 1. Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga 2. Memiliki masalah keluarga yang serius 3.Tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kredit Adapun mengenai Suku bunga yang ditetapkan oleh PT.BPR Batara Wajo, menurut beberapa responden cukup tinggi bila dibandingkan dengan bank umum sehingga responden tersebut juga menjadi nasabah kredit bank umum. Berdasarkan Informasi yang diperoleh enumerator, pekerjaan beberapa nasabah yang termasuk dalam kolektibilitas non lancar adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS)
g. BPR Makkareso Leteng Pammase Alamat nasabah kredit yang menjadi responden dalam penelitian NPL terhadap PT.BPR Makkareso relative mudah didapat, meskipun jarak antara BPR ini dengan alamat beberapa responden cukup jauh, terutama setelah dipindahkannya lokasi dari Maros ke Makassar. Pada
umumnya
responden
sangat
kooperatif
dalam
menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh enumerator sehingga tidak ditemukan kesulitan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat dikemukakan berikut adalah masalah-masalah yang dihadapi oleh PT.BPR MATEPE dalam hal pengembalian kredit dari nasabah –nasabah yang termasuk dalam kategori kolektibilitas Non Lancar : 1. Penundaan oleh nasabah untuk membayar angsuran pada saat penagihan oleh AO 2. Tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan kredit, meskipun pada umumnya nasabah tidak mempunyai masalah dengan usaha yang dirintis. 161
Komentar-komentar Responden (Non – Lancar), mengenai masalah – masalah yang dihadapi : 1. Kehilangan pekerjaan 2. Kondisi usaha mengalami penurunan 3. Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga 4. Mengalami musibah. Adapun mengenai Suku bunga yang ditetapkan oleh PT.BPR Makkareso tidak mendapat keluhan dari Responden begitupun dengan prosedur administrasi.
h. BPR Abang Pasar Alamat nasabah kredit yang menjadi responden dalam penelitian NPL pada umumnya berada di wil. Sungguminasa – Gowa. Responden cukup tanggap dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari enumerator. Masalah- masalah yang dihadapi oleh Koperasi Abang Pasar dalam hal pengembalian kredit dari nasabah –nasabah yang termasuk dalam kategori kolektibilitas Non Lancar : 1. Nasabah sulit ditemui 2. Penundaan oleh nasabah untuk membayar angsuran pada saat penagihan oleh AO Komentar-komentar Responden (Non – Lancar), mengenai masalah – masalah yang dihadapi : 1. Kesulitan modal kerja akibat peningkatan harga-harga 2. Persaingan usaha
i. BPR Gerbang Masa Depan Tangapan BPR terhadap Nasabah
162
1.Banyak
Debitur
yang
kurang
mempunyai
kesadaran
untuk
membayar. 2.Jaminan Banyak Yang milik Orang Lain dan Bukan Atas Nama peminjam. Tangapan Nasabah Terhadap BPR 1.Bank Tersebut memberikan kredit lebih kecil dari jaminan. 2.Bunga Kredit tinggi 3.Kurangnya sosialisasi pihak BPR tentang bagaimana mengelola usaha dengan baik sehinga para debitur bisa mengembangkan usahanya.
j. BPR Pataru Laba Tanggapan BPR terhadap Nasabah 1.Banyak Debitur yang telah pindah rumah. 2.Banyak Debitur yang kurang kesadaran untuk membayar. Tanggapan Nasabah Terhadap BPR 1. Bank Tersebut memberikan kredit lebih kecil dari jaminan. 2. Bunga Kredit tinggi
k. BPR Dana Niaga Mandiri
•
Tingginya tingkat bunga yang ditawarkan oleh BPR kepada nasabah lebih banyak disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya cost of fund, biaya operasional termasuk besarnya pemotongan untuk biaya lain diluar bunga untuk pengembalian kredit
163
•
Minimnya SDM BPR didalam mengelola dan mengembangkan produkproduknya
•
Keterbatasan jumlah modal BPR yang menghambat mereka melakukan perluasan kredit
•
Keterlambatan nasabah membayar kredit dalam beberapa hari dikenakan denda dan bunga yang tinggi sehingga nasabah merasa terbebani oleh bunga kredit yang diberikan BPR
Saran Nasabah : •
Agar sebaiknya BPR itu ditutup dikarenakan bunga yang terlalu tinggi terutama bagi BPR yang bermitra dengan Bank Konvensional atau Umum
l. BPR Suar Data Tangapan BPR terhadap Nasabah ; 1.Nasabah Kurang kesadaran akan waktu pembayaran sehingga petugas kami yang harus sering menagih. 2.Nasabah Banyak yang meminta kredit tinggi tapi tidak sesuai dengan jaminan. Tangapan Nasabah Terhadap BPR 1.Kredit yang diminta tidak sesuai dengan yang diberikan. 2.Jaminan Nilainya Lebih besar daripada kredit yang diberikan.
m. BPR Puangrimanggalatung Pihak BPR Puangrimanggalatung mempunyai komentar terhadap nasabah, antara lain:
164
1) Banyak dari nasabah BPR puangrimanggalatung yang telah menunggak dalam jangka yang lama dan telah pindah tempat tinggal dan tempat usaha. Oleh karena itu, pihak BPR sendiri kewalahan dalam hal menagih. 2) Pihak BPR sendiri ingin mencoba menarik jaminan nasabah yang menunggak, akan tetapi, pihak BPR belum mempunyai kekuatan akan hal tersebut. Komentar dari pihak nasabah terhadap BPR Puangrimanggalatung adalah sebagai berikut: 1) Dimungkinkan kepada pihak BPR untuk mengurangi jaminan/agunan dalam pemberian kredit. 2) Pihak BPR mengerti terhadap kondisi ekonomi pada saat ini. n. BPR Daramandiri Banyak dari nasabah yang telah meninggalkan lokasi usaha dan tempat tinggal mereka sehingga pihak keluarga mengambil alih usaha mereka dan melanjutkan cicilan tunggakan mereka. Saran terhadap pihak BPR agar lebih dipermudah dalam proses administrasi dan kiranya membuka kantor kas pembantu untuk daerah-daerah pelosok. Dan dimohon agar bunga kredit diturunkan dan pihak BPR mengerti kondisi ekonomi saat sekarang ini.
165
Profil BPR Nusa Tenggara Barat Dipersiapkan oleh: Tim Peneliti Universitas Mataram
Survey tentang faktor pemicu meningkatnya NPL pada BPR di Propinsi NTB dilakukan pada 30 BPR yang tersebar di wilayah kerja KBI Mataram meliputi dua pulau yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawai. Propinsi NTB terdiri dari 7 pemerintah daerah kabupaten dan 2 pemerintah kota. Kegiatan pengumpulan data dilakukan pada 30 BPR yang tersebar di 5 kabupaten/kota sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Lokasi BPR yang disurvey Persentase Sumbawa 7% Mataram 3% Lombok Barat 36% Lombok Timur 27%
Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Mataram Sumbawa
Lombok Tengah 27%
Terkait dengan bentuk organisasi, hasil pengumpulan data menunjukkan sebagian besar yakni 63% BPR yang disurvey di wilayah kerja KBI Mataram berbentuk PD dan 37% lainnya berbentuk PT. Perusahaan Daerah BPR umumnya dimiliki oleh dua pihak yakni Pemprov NTB dan Pemda Kabupaten setempat dengan komposisi kepemilikan pemprop 80% dan pemkab 20%. Sementara itu, BPR yang berbentuk PT, kepemilikannya dimiliki oleh pihak swasta. Proporsi bentuk organisasi pada 30 BPR wilayah kerja KBI Mataram ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah.
166
Gambar 2. Bentuk Organisasi BPR Yang Disurvey
PT 37%
PD 63%
PD
PT
Hasil survey menunjukan bahwa sebagian besar BPR yakni 73% membutuhkan waktu rata-rata empat sampai tujuh hari untuk menyetujui kredit. Sebanyak 20% membutuhkan waktu satu sampai tiga hari, dan 7% membutuhkan waktu antara delapan sampai sepuluh hari untuk menyetujui kredit. Dengan demikian hampir seluruh BPR yakni 93% membutuhkan waktu tidak lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit. Hanya terdapat dua BPR yang memerlukan waktu lebih dari tujuh hari untuk menyetujui kredit. Gambar 3. Rata-rata Waktu Menyetujui Kredit Waktu Proses Pinjaman
8 s/d10 7%
1 s/d 3 20% 1 s/d 3 4 s/d 7 8 s/d10
4 s/d 7 73%
Data isian mengenai cara pembayaran angsuran kredit menunjukkan bahwa sebagian besar angsuran kredit disetor langsung oleh debitur ke BPR. Tercatat hanya duabelas BPR dari 30 BPR yang disurvey yang menyatakan bahwa angsuran kredit diambil langsung ke debitur.
167
Gambar 4. Cara Pembayaran Angsuran Kredit Cara Pembayaran Angsuran Kredit 16 14
60%
15 50%
50%
12
12 40% Persentase
40%
10 Jumlah 8
30%
6
jumlah Persentase
20%
4
3 10%
2 0
10% 0%
disetor langsung
dijemput
C
Cara Pembayaran
Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar BPR tidak memberikan fasilitas kemudahan dalam membayar. Hal ini bisa dipahami karena pengambilan cicilan oleh bank atau fasilitas lainnya akan menimbulkan biaya operasi buat BPR. Namun di sisi lain, nasabah yang jauh dari lokasi bank harus menanggung biaya transportasi yang lebih tinggi untuk setiap kedatangan dalam membayar cicilannya. Kenyataan ini semakin memperkuat pernyataan bahwa BPR tetap dipilih bukan karena kedekatan lokasi, namun karena keunggulan kemudahan memperoleh pinjaman dengan nilai kredit yang tergolong mikro. Kemudahan memberikan kredit mikro oleh BPR sesuai eksistensi mereka yang bermain di segmen pasar masyarakat menengah ke bawah. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan bisnis perbankan mikro ini dengan prinsip kehati-hatian dan mengikuti aturan Bank Indonesia. Salah satu buktinya, seluruh direksi pada 30 BPR yang disurvey telah memiliki sertifikasi. Bukti dipedomaninya prinsip kehati-hatian tampak tercermin bahwa mereka tidak memilih nasabah karena ada hubungan khusus. Terkait dengan penyaluran kredit, tampak bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar.
168
Gambar 5. Debitur Utama BPR
Debitur Utama BPR A, 0%
B, 7%
C, 93%
Hasil survey menunjukan bahwa 93% dari 30 BPR yang disurvey menyatakan kreditnya tersalurkan ke masyarakat sekitar. Hanya 7% BPR yang menyalurkan kreditnya ke karyawan perusahaan dan PNS. Kredit khusus untuk karyawan perusahaan terjadi di BPR dimana pemilik dan dewan komisarisnya merangkap sebagai pemilik dan dewan komisaris sebuah perusahaan swasta. Sedangkan kredit khusus untuk PNS lebih banyak dilakukan oleh BPR milik pemerintah. Kenyataan bahwa sebagian besar BPR menyalurkan kredit ke masyarakat sekitar tampaknya sesuai dengan tujuan dibentuknya BPR. Untuk merealisasikan hal ini dan mencegah kredit non lancar diperlukan pendampingan terhadap debitur yang berbentuk fasilitas konsultasi yang terkati dengan usahanya. Namun disayangkan dari 30 BPR yang disurvey di Propinsi NTB tercatat hanya satu BPR yang memiliki debitur yang merupakan binaan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir kinerja BPR menunjukan peningkatan baik dari sisi penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Namun sayangnya, kinerja tersebut diikuti dengan memburuknya Rasio NPL BPR. Permasalahan ini bisa menghambat kesinambungan eksistensi BPR sebagai lembaga keuangan yang telah berperan signifikan dalam mendorong pengembanga usaha mikro. Memburuknya rasio NPL cukup memprihatinkan karena berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR diantaranya linkage program antara Bank Umum dan BPR dalam rangka penyaluran kredit kepada usaha kecil dan mikro (UKM). Berdasarkan hasil survey diketahui ternyata hanya 6 BPR dari 30 BPR yang disurvey yang telah mengikuti linkage program.
169
Gambar 6. BPR Yang Mengikuti linkage program
BPR yang mengikuti linkage program
Ikut, 20%
Tidak, 80%
Tidak
Ikut
Sebagian besar kredit dari BPR yang disurvey dialokasikan ke jenis usaha perdagangan. Dari 110 debitur yang dijadikan sampel, sebanyak 82 atau 73% merupakan debitur yang berusaha disektor perdagangan. Gambar 7. Jenis Usaha Debitur 82
73% 16 10%
2 2%
La in ny a
14% Ja sa -ja sa
11
Pe rd ag an ga n
2% 2
P er In ta du ni an st ri P en go la ha n
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Jumlah Tiap Jenis Usaha Debitur Persentase
Usaha perdagangan yang dimaksud merupakan usaha kecil dan mikro yang sebagian besar meliputi perdagangan eceran komoditas pangan dan kelontongan. Debitur yang berusaha di sektor perdagangan ini mencakup seluruh wilayah survey. Hasil survey menunjukkan terdapat 14% dari 110 debitur berusaha di sektor jasa, dan selebihnya 2% merupakan debitur yang berusaha di sektor pertanian. Terkait dengan suku bunga yang dibebankan kepada debitur, masing-masing BPR menetapkan suku bunga flat yang cukup bervariasi. Sebagian besar BPR menetapkan suku bunga pinjaman secara flat antara 2,1 persen – 3,5 persen. Berturut-turut berikutnya 26% BPR yang disurvey menetapkan tingkat bunga yang berkisar antara 1 persen sampai dengan 2 persen, dan hanya 3% BPR yang disurvey menetapkan tingkat bunga di atas 3,6 persen kepada debitur. Memperbandingkan dengan tingkat bunga bank umum, tentu saja tingkat bunga yang ditetapkan oleh BPR masih tinggi. Hal ini menjadi konsekuensi bagi debitur sebagai pelaku usaha skala mikro yang harus menanggung biaya modal yang tinggi. Dimungkinkan kebijakan BPR menetapkan suku bunga sebesar itu disebabkan karena BPR sendiri memperoleh pendanaan yang berbiaya tinggi.
170
Gambar 8. Suku Bunga Yang Dikenakan
Suku Bunga yang dikenakan di atas 3.6% 3%
1% s/d 2% 26%
2.1% s/d 3.5% 71%
1% s/d 2% 2.1% s/d 3.5% di atas 3.6%
Terungkap pula berdasarkan survey bahwa debitur dikenakan biaya tambahan disaat akad kredit yang besarnya cukup signifikan Tampaknya tidak terdapat korelasi antara besar/kecilnya biaya tambahan dengan besar/kecilnya pinjaman debitur. Temuan ini menunjukan bahwa sebenarnya biaya transaksi perolehan kredit di BPR lebih tinggi dibandingkan dengan bank umum walaupun masih lebih rendah dibandingkan dengan koperasi. Realitas menunjukkan bahwa walaupun biaya bunga dan biaya tambahan yang dibebankan Koperasi lebih tinggi dibandingkan BPR, para pelaku usaha khususnya usaha mikro di NTB pada umumnya lebih cenderung menjadi debitur Koperasi tersebut. Di kalangan pelaku usaha mikro tersebut, populer apa yang disebut dengan “Bank Subuh” atau “Bank Rontok”- rontok diambil dari bahasa daerah setempat yang mengacu pada arti mengetuk pintu-. Fenomena ini dimungkinkan karena proses pemberian kredit/pinjaman oleh Koperasi dipandang jauh lebih mudah, lebih cepat dan tidak membutuhkan agunan. Telah diungkapkan di atas, bahwa BPR telah menerapkan prinsip kehati-hatian dan mematuhi aturan yang digariskan oleh Bank Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar BPR selalu dapat dikategorikan sebagai bank yang sehat. Salah satu indikator kesehatan BPR yang harus dipertahankan adalah NPL. Hasil survey menunjukkan dalam pelaksanaannya BPR tidak dapat menghindari munculnya kredit bermasalah. Kondisi kredit yang dikategorikan sebagai kredit non lancar pada 30 BPR yang disurvey dapat dilihat pada Gambar 10.
171
Gambar 10. Kondisi Kredit Non Lancar Di BPR
12
35%
10
30% 25%
8
jumlah BPR
20%
6
15%
4
10%
2
5%
0
0% 0% s/d 12% s/d 20% s/d 11% 19.99% 30.99%
persentase kredit non lancar
di atas 31%
Berdasarkan Gambar 10 di atas, 33% dari 30 BPR yang disurvey memiliki kredit non lancar per Desember 2006 dibawah 11 persen. Selanjutnya berturut-turut 54% BPR yang disurvey memiliki tingkat kredit non lancar berkisar antara 12 persen hingga 30 persen. Sisanya sebesar 13% dari BPR yang disurvey memiliki kredit non lancar diatas 31 persen. Menarik untuk diungkapkan adanya pengakuan dari pihak BPR yang menyatakan bahwa karakter debitur (character) menjadi faktor ekstern yang dominan menjadi pemicu meningkatnya tingkat NPL. Atas pernyataan ini tim peneliti memperoleh kenyataan tidak sedikit dari debitur yang didatangi sebenarnya mampu untuk memenuhi kewajibannya mengangsur/melunasi pinjaman. Pihak BPR juga mengakui kelemahan mendasar yang melekat yaitu pada bagian analis kredit. Kelemahan ini mereka akui sebagai salah satu faktor intern yang signifikan memberikan kontribusi pada meningkatnya angka NPL. Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, tim peneliti juga menemukan adanya side streaming yaitu penyimpangan penggunaan kredit yang dilakukan oleh debitur sebagai faktor ekstern yang kontribusinya cukup besar mempengaruhi angka NPL. Temuan yang cukup mengejutkan diperoleh pada salah satu BPR yang disurvey yaitu ketidak telitian dalam memutuskan persetujuan kredit yang mengakibatkan melonjaknya angka NPL pada BPR tersebut. Di samping itu, tidak dapat dihindarkan adanya pengaruh bencana alam pada sektor usaha pertanian sebagai faktor ekstern yang mempengaruhi meningkatnya NPL. Terkait dengan faktor-faktor yang telah diuraikan secara singkat di atas, Gambar 11 berikut ini menunjukkan kolektibilitas kredit debitur pada 30 BPR yang disurvey.
172
Gambar 11. Kolektibilitas Kredit Debitur 39 36
20
35%
18 32% 16% 18%
Lancar
kurang lancar
diragukan
Macet
Secara umum, Gambar 11 menunjukkan dari 113 debitur yang disurvey 65% termasuk sebagai debitur kategori kredit non lancar dan sisanya 35% merupakan debitur kategori kredit lancar. Hal ini dapat mengancam keberlangsungan usaha BPR apabila tidak mendapat perhatian dan penanganan yang tepat dari pengelola. Gambar 12. Tujuan Penggunaan Kredit Tujuan Penggunaan Kredit 120 101
Jumlah Debitur
100 80 60 40
89%
20 2 2%
0 0%
4
4%
6
5%
0 Konsumsi
Modal Kerja
Investasi
Kombinasi
Lainnya
Tujuan
Berdasarkan survey terhadap 113 debitur, 89% debitur memanfaatkan kredit untuk modal kerja. Modal kerja yang diperoleh dari pinjaman tersebut oleh debitur dialokasikan pada sektor perdagangan. Tercatat hanya sebagian kecil saja dari kredit yang digunakan oleh debitur pada sektor pertanian. Hal ini agak mengherankan karena kondisi alam NTB khususnya Pulau Lombok sebenarnya termasuk subur. Gamabar 13 menunjukkan alokasi kredit per sektor ekonomi.
173
Gambar 13. Alokasi Kredit Per Sektor Ekonomi Alokasi Kre dit Pe r Se ktor
PersentaseAlokasi
0.689198649
0.162658724 0.048167122
Pertanian
0.084406057 0.015569448
Perdagangan
Lainnya
Sektor Ekonomi
174
Kesimpulan
Penelitian tentang penyebab tingginya rasio NPL di Indonesia dilakukan dengan memperoleh data dari tujuh wilayah di Indonesia yaitu Jabotabek, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Responden terdiri dari direksi BPR dan debitur BPR.
Masing-masing wilayah memiliki profil BPRnya sendiri-sendiri sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya. Masing-masing wilayah mungkin saja memiliki keunikannya sendiri-sendiri atau bisa saja malah tidak ada perbedaan. Untuk mengetahui hal ini maka dilakukan analisa apakah memang ada perbedaan yang menyolok untuk beberapa aspek sebagaimana yang telah diuraikan dalam profil BPR per wilayah.
Setelah
dianalisa didapati bahwa:
•
Sebagian besar BPR yang diteliti berbentuk perseroan terbatas (PT), bahkan dibeberapa wilayah seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan seluruh BPR yang ditiliti berbentuk PT. Kecuali didaerah NTB, sebagian besar BPR berbentuk perusahaan daerah (PD).
•
Dibeberapa wilayah, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit berkisar antara 1 s/d 3 hari seperti didaerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Namun didaerah lain, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menyetujui kredit antara 4 s/d 7 hari seperti didaerah Jabotabek, Sumatera Utara, dan NTB.
•
Sebagian besar BPR menerapkan cara pembayaran angsuran dengan meminta debitur menyetor langsung ke BPR. Ini berlaku diseluruh wilayah. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengambil ke debitur, sedangkan yang dipotong langsung pada gaji atau tabungan hanya sedikit.
Khusus
daerah Jabotabek dan Jawa Barat, ada beberapa BPR yang pembayaran cicilan kreditnya dilakukan dengan mentransfer ke rekening BPR.
175
•
Masyarat adalah debitur utama BPR. Rata-rata 85% debitur BPR adalah masyarakat umum (bukan karyawan atau kerabat). Ini berlaku diseluruh wilayah yang diteliti.
•
BPR yang tidak mengikuti linkage program lebih banyak dari pada yang mengikuti linkage program, bahkan dibeberapa daerah seperti Sulawesi Selatan dan NTB perbedaannya sangat menyolok yaitu 2 : 8.
•
Sebagian besar (54 s/d 83 persen) BPR di ketujuh wilayah yang diteliti memiliki debitur yang berusaha pada bidang perdagangan. Hanya sedikit yang bergerak dalam bidang pertanian, industri, dan jasa. Yang bergerak dalam bidang ini hanya berkisar antara 2 s/d 16 persen.
•
Suku bunga yang dikenakan berkisar antara 1 s/d 4 persen walaupun ada sebagian kecil yang mengenakan diatas 4 persen.
Sebagian besar BPR
mengenakan biaya bunga antara 2 s/d 3 persen flat perbulan.
Kecuali
wilayah Jawa Tengah dan Sumatera Utara sebagian besar BPRnya mengenakan biaya bunga antara 1 s/d 2 persen flat per bulan.
•
Pada umumnya BPR mengenakan biaya tambahan diluar biaya bunga berkisar antara 1 s/d 3 persen. Namun ada juga yang tidak mengenakan biaya tambahan.
Khusus wilayah Jabotabek, Jawa Barat dan Sumatera
Selatan cukup banyak (18 s/d 23 persen) BPR yang mengenakan biaya tambahan lebih besar dari 4 persen.
•
Tujuan penggunaan kredit pada umumnya untuk modal kerja. 64 s/d 89 persen debitur diseluruh wilayah menggunakan kredit untuk modal kerja. Sedangkan untuk konsumsi rata-rata hanya 11 persen. Investasi rata-rata hanya 4 persen.
•
Sektor ekonomi debitur pada umumnya perdagangan. Itu berarti pinjaman terbesar adalah untuk modal kerja pada sektor ekonomi perdangangan dan ini berlaku diseluruh wilayah yang diteliti.
176