BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perbedaan bahasa sudah tidak lagi menjadi hambatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Tuntutan mendapatkan informasi inilah yang memunculkan pengalihbahasaan suatu bahasa ke bahasa lain, yang dapat disebut terjemahan. Terjemahan adalah pengalihan dari suatu bahasa atau bahasa sumber (selanjutnya disingkat Bsu) ke bahasa lain atau bahasa sasaran (selanjutnya disingkat Bsa) se-alami mungkin baik secara arti dan secara gaya bahasa (Nida dan Taber ,1964: 166). Dengan adanya terjemahan, masyarakat bisa menikmati karya-karya yang berasal dari bahasa asing dalam bahasa yang lebih dipahami. Peter Newmark (1988 :7) dengan tegas mengatakan bahwa terjemahan tidak hanya mentransfer suatu bahasa ke bahasa lain tapi juga sebagai alat untuk mengalihkan kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Setiap bahasa di seluruh dunia mempunyai ciri khas dan karakternya masingmasing dan berbeda satu sama lain. Salah satu faktor yang memunculkan perbedaan itu adalah adanya perbedaan budaya, kebiasaan dan sifat kelompok yang menggunakan bahasa tersebut. Merupakan tanggung jawab dari seorang penerjemah untuk menjembatani perbedaan itu dan menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami pembaca dalam Bsa serta menyampaikan pesan yang sedekat mungkin dengan Bsu. Noam Chomsky (1965) mengemukakan teori mengenai
Competence
and
Performance.
Menurutnya,
setiap
manusia 1
mempunyai competence (kompetensi) yaitu penguasaan bahasa secara tidak sadar. Sedangkan performance (performansi) adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga seseorang memiliki performansi dalam berbahasa. Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti suatu struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya. Dalam penelitian ini, kompetensi penerjemah tidak diragukan lagi atau lebih tepatnya, dianggap sudah benar. Performansi penerjemah secara langsung dipengaruhi oleh kompetensinya, sehingga karakter bahasa ibu yang dimengertinya itu memaksanya untuk menerjemahkan teks sesuai dengan karakter bahasa tersebut pula. Ataupun dapat dikatakan bahwa terjemahannya dapat mencerminkan karakter yang ada dalam bahasa ibu alih-alih karakter yang bersifat individual. Salah satu perbedaan yang ditemukan saat menerjemah suatu teks dari bahasa Prancis (selanjutnya disingkat bP) ke bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat bI) adalah kecenderungan konstruksi aktif-pasifnya. BP cenderung menghindari bentuk pasif. Meskipun demikian, di dalam bP terdapat bentuk aktif bermakna pasif yaitu dengan menggunakan pronom on
dan bentuk pronominal. Kedua
bentuk tersebut lebih sering digunakan untuk menggantikan bentuk pasif. Beda halnya dalam bI, penutur bI banyak sekali menggunakan bentuk pasif. Pada terjemahan teks bP ke bI, kalimat berbentuk pasif serta kalimat berbentuk aktif bermakna pasif bP seringkali diterjemahkan menjadi bentuk pasif bI.
2
Kecenderungan bP menghindari bentuk pasif dan kecenderungan bI menggunakan bentuk pasif diasumsikan karena adanya perbedaan pola pikir antara penutur kedua bahasa tersebut. Baik dalam bP maupun bI, bentuk pasif menganut prinsip pasien + verba + agentif sehingga pasien yang menderita atau menerima perlakuan, terkesan lebih inferior daripada agen yang melakukan aksi. Prancis merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi kesetaraan, hal tersebut tercermin dalam semboyannya yaitu liberté, égalité, fraternité. Oleh karena itu, diduga adanya hubungan antara prinsip égalité (yang menjadi salah satu faktor pembentukan pola pikir) orang Prancis dengan kecenderungan penghindaran bentuk pasif dalam bP. Dalam bI bentuk pasif digunakan supaya penyampaian kalimat lebih sopan, karena dalam bentuk pasif, hasil tindakan yang lebih ditonjolkan dan bukan pelakunya. Perhatikan contoh berikut yang dikutip dari buku Rampai Bahasa, Pendidikan dan Budaya (2003:137) karya Soejono Djardjowidjojo: (1)
Apa ikannya sudah dikasih makan?
(2)
Apa kamu sudah kasih makan ikan?
Pada kalimat (2), agen ‘kamu’ hadir dan menghadirkan kesan memerintah dalam kalimat interogatif tersebut, sedangkan dalam kalimat (1) agen tidak hadir dan yang lebih dipentingkan adalah hasil tindakannya yaitu apakah ikannya sudah diberi makan, dan bukan siapa yang memberi makan. Maka pada kalimat (1) kesan memerintah dan diperintah pun dilenyapkan untuk menjaga perasaan penutur . Hal ini dijaga oleh penutur Indonesia untuk menciptakan keharmonisan antara penutur. Mengapa demikian? Hal ini mungkin ada hubungannya dengan 3
pengaruh bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerah terbanyak di Indonesia. BI banyak terpengaruhi oleh bahasa daerah, dan sebagai bahasa daerah dengan penutur terbanyak di Indonesia, hubungan dan pengaruh bahasa jawa terhadap bI pun cukup besar. Kesopanan dan keharmonisan merupakan dua nilai yang sangat dijunjung dalam bahasa Jawa dan nilai ini juga menular ke bI. Hal lainnya yang diduga dapat menjadi alasan mengapa bI sering menggunakan bentuk pasif adalah bahwa inferioritas pada bentuk pasif tidak dirasa mengganggu oleh penutur Indonesia. Indonesia adalah bangsa yang pernah dijajah selama 300 tahun lebih dan barangkali mental inferior pun terbentuk pada orang Indonesia. Maka, dalam penggunaan bahasa pun, inferioritas dalam bahasa tidak dipermasalahkan. Perbedaan anggapan terhadap bentuk pasif dan aktif inilah yang diduga menjadi alasan mengapa bP cenderung menghindari bentuk pasif dan bI lebih banyak menggunakan bentuk pasif. Dalam gagasan “keterkaitan antara bahasa dan pikiran” yang dikemukan oleh Sapir (1931) dan Whorf (1956) dinyatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Pikiran manusia ditentukan oleh sistem klasifikasi dari bahasa tertentu yang digunakan manusia. Dengan demikian, berdasarkan pandangan di atas, pola pikir orang Prancis berbeda dengan pola pikir orang Indonesia karena mereka menggunakan bahasa yang berbeda.
4
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan yang terdapat di latar belakang, maka muncul permasalahan yaitu: 1. Bagaimana konstruksi bentuk aktif-pasif dalam terjemahan bP ke bI ? 2.Bagaimana hubungan antara kecenderungan pemakaian dan penghindaran bentuk aktif dan pasif dengan pola pikir penutur? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan konstruksi bentuk aktif-pasif yang ada pada karya terjemahan serta mengetahui korelasi antara kecenderungan pemakaian dan penghindaran bentuk pasif-aktif dengan pola pikir penutur. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini akan membandingkan sifat-sifat yang muncul pada penggunaan bentuk pasif dalam bP maupun bI dan menjelaskan hubungan dari sifat tersebut dengan pola pikir penuturnya, sehingga, pemaparan sintaksis bentuk aktif dan pasif akan lebih dibatasi dalam penelitian ini. 1.5 Landasan Teori 1.5.1 Teori Tanda Saussure dan Hipotesis Sapir-Whorf Teori Tanda Saussure (Thomas dan Wareing, 2007 : 28-29) menjelaskan hubungan antara konsep dan label yang pada dasarnya bersifat sewenang-wenang,
5
namun keduanya selalunya dihubungkan untuk membentuk tanda. Makna dari sebuah tanda dipengaruhi oleh makna dari tanda-tanda lain dalam sistem dan bahwa bagi para penutur bahasa itu, tanda adalah cara yang alami, wajar dan transparan untuk merepresentasikan realita. Sapir dan Whorf mengemukakan teori relativitas linguistik dan teori determinisme linguistik (Thomas dan Wareing, 2007:37) Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang berbeda-beda dan perbedaan ini terkodekan dalam bahasa. Perbedaan persepsi akan tampak dalam bahasa karena para penurut bahasa harus menjelaskan cara mereka memandang dunia sehingga perbedaan pandangan dunia itu akan tercermin dalam bahasanya, sedangkan teori determinisme linguistik menyatakan bahwa bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang memengaruhi bahasa kita, tapi bahasa yang kita gunakan juga memengaruhi cara kita berpikir secara mendalam. Sapir berpendapat bahwa cara seseorang melihat, merasakan atau
mengalami
suatu
hal
dipengaruhi
oleh
kebiasaan
bahasa
dalam
masyarakatnya dan membuatnya condong pada bentuk penafsiran tertentu. Bahasa dapat dikatakan sebagai kerangka dari pemikiran kita, dan menurut teori determinisme linguistik, orang akan sulit untuk bisa berpikir di luar kerangka itu ( Thomas dan Wareing, 2007 : 37). 1.5.2 Sintaksis dan Semantik Sintaksis adalah tatabahasa yang membahas hubungan antar-kata dalam tuturan. Tuturan adalah apa yang dituturkan orang, salah satu tuturan adalah
6
kalimat. Pada dasarnya, sintaksis itu berurusan dengan hubungan antar-kata dalam kalimat (Verhaar, 2010: 161). Di dalam ilmu sintaksis, kita mengenal istilah transformasi yaitu suatu kaidah untuk mengubah struktur gramatikal suatu klausa menjadi struktur yang berbeda dengan menambah,mengurangi atau mengatur kembali susunan konstituennya (Kridalaksana, 2008: 245).
Bentuk pasif
dihasilkan dari proses transformasi. Semantik adalah bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa (Chaer,1995:2). Berdasarkan jenis semantiknya dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi. Makna sebuah kata baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal ini sering juga disebut makna tekstual atau makna situasional (Chaer, 1995:62). Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan berkonotasi netral atau tidak memiliki konotasi. Makna denotatif adalah makna yang menyangkut informasi-informasi faktual objektif. (Chaer, 1995 : 65-66)
7
1.5.3 Terjemahan Definisi terjemahan menurut Catford (1965 : 20) adalah The replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL) Dalam proses pengalihan bahasa ini, yang paling utama adalah tersampainya makna atau pesan yang paling dekat dari Bsu ke Bsa dan bukan terjemahan kata per kata (Catford, 1965: 49). Terjemahan bukan hanya sekedar mentransfer suatu bahasa ke bahasa lain, tapi juga sebagai suatu alat untuk mengalihkan kebudayaan yang terkandung dalam bahasa tersebut (Newmark, 1988 : 7). 1.6 Tinjauan Pustaka Ramlan dalam laporan penelitiannya berjudul Masalah Aktif-Pasif Dalam Bahasa Indonesia (1977), membahas jenis-jenis bentuk aktif dan pasif dalam bahasa Indonesia. Ramlan memaparkan proses pemasifan dengan menggunakan imbuhan di-, ter-, ke-/-an, di-/-kan, ter-/-kan dan pasif zero, sedangkan bentuk aktif ditandai dengan adanya imbuhan me-, dan ber-. Dalam penelitiannya ini, Ramlan membahas bentuk aktif-pasif dari sisi gramatikalnya. Penelitian Ramlan juga menjadi tinjauan pustaka dalam laporan penelitian “Pasif” bahasa Indonesia dan Prancis: Kajian Perbandingan (1992) yang ditulis oleh Suryo Baskoro. Dalam penelitian tersebut, Baskoro mengemukakan perbandingan gramatikal pasif dan aktif dalam bI dan bP. Dengan kata lain,
8
masalah aktif-pasif lebih ditinjau dari segi sintaksis dan semantis pada penelitian tersebut. Kecenderungan penghindaran bentuk pasif dalam bahasa prancis dibahas oleh Lusia Marliana Nurani dalam skripsinya yang berjudul Kecenderungan penghindaran bentuk pasif dalam bahasa prancis (1999). Dalam skripsi tersebut, Nurani membuktikan bahwa bentuk pasif memang cenderung dihindari dalam bP, namun tidak menjelaskan lebih jauh alasan dari fenomena tersebut. 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini berkenaan dengan terjemahan tulis maka data yang diperlukan adalah data tulis. Data tersebut berupa wacana roman Prancis Le Rocher de Tanios (Amin Maalouf : 1993) serta terjemahannya dalam bI Cadas Tanios (Ida Sundari Husen : 1999) dan La Vie et Vendredi Sauvage (Michel Tournier : 1987) serta terjemahannya Kehidupan Liar ( Ida Sundari Husen : 1992). Metode yang digunakan dalam analisis pada skripsi ini adalah sebagai berikut. •
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan adalah klausa aktif bP yang diterjemahkan menjadi klausa pasif bI serta klausa pasif bP yang diterjemahkan menjadi klausa pasif bI. Jumlah bentuk pasif yang ada pada teks Bsu dan terjemahannya dalam bI juga dicatat •
Klasifikasi data
9
Data yang terkumpulkan diklasifikasi dua kali. Pertama, diklasifikasi berdasarkan bentuknya yaitu klausa pasif bP yang diterjemahkan menjadi klausa pasif bI, klausa aktif bP yang diterjemahkan menjadi klausa pasif bI, klausa aktif bermakna pasif bP yang menggunakan pronom on yang diterjemahkan menjadi klausa pasif bI serta klausa aktif bermakna pasif bP pronominal yang diterjemahkan menjadi klausa pasif bI. Ada pun data-data diklasifikasikan berdasarkan sifat agen dan pasiennya. •
Analisis data
Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif analisis. Data-data akan dideskripsikan dan diinterpretasikan sesuai kondisi atau hubungan yang ada. Dengan menggunakan metode ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas dan akurat tentang fenomena yang diteliti
10