1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kajian tentang bahasa-bahasa di Indonesia serta variasinya hingga saat ini sudah banyak dilakukan, baik yang dilakukan secara individual maupun secara kelembagaan. Akan tetapi, hasil kajian itu belum dapat memastikan berapa banyak jumlah bahasa daerah dan variasinya. Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional yang sekarang menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, misalnya, telah melaksanakan program penelitian kekerabatan bahasa-bahasa daerah dan pemetaannya sejak tahun 1975. Sampai saat ini penelitian itu belum dapat menunjukkan jumlah pasti berapa bahasa daerah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian Badan Bahasa yang bertujuan untuk memetakan bahasa-bahasa daerah di Indonesia yang dilakukan di seluruh wilayah Indonesia itu mencakupi wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Irian. Berdasarkan buku Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (2013) Badan Bahasa baru dapat menginventarisasi sebanyak 596 bahasa daerah di Indonesia. Sebagian besar bahasa yang berada di wilayah Indonesia, khususnya, di bagian barat dan tengah serta bagian timur sudah selesai dipetakan. Akan tetapi, masih banyak bahasa, terutama di wilayah Maluku, Maluku Utara, dan Papua belum seluruhnya dapat
Bab I Pendahuluan
2
dipetakan. Berbagai kendala yang dihadapi, di antaranya, disebabkan oleh karena wilayah pakai bahasa daerah tertentu berada di lokasi yang sulit dijangkau oleh para peneliti. Pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di wilayah tersebut masih harus terus dilakukan agar diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang jumlah bahasa daerah yang ada di Indonesia. Selain itu, berapa jumlah bahasa yang ada di Indonesia masih simpang siur dan masih perlu dipertanyakan, seperti yang dikemukakan Kurniawati et al. (2008: 1): “Kesimpangsiuran itu disebabkan oleh ketidakseragaman kuesioner, teori, metode, dan teknik yang digunakan. Lebih jauh lagi, penelitian ilmiah mengenai distribusi variasi bahasa dengan metode dialektometri sebagai sebagai salah satu metode yang secara spesifik bertujuan untuk menentukan jumlah bahasa dan dialek belum pernah dilakukan secara serempak di seluruh Indonesia.”
Dari pendapat tersebut, jelas bahwa perbedaan teori, metode, dan teknik yang digunakan dalam penelitian akan menghasilkan temuan yang berbeda. Apalagi jika metode yang digunakan satu sama lain saling bertentangan. Demikian pula, jika penelitian yang dilakukan itu memiliki tujuan yang berbeda, seperti halnya penelitian tentang keberadaan suatu bahasa yang sudah dilakukan oleh beberapa pakar pada umumnya yang berupa kajian dialek geografi terhadap bahasa-bahasa tertentu (Periksa Kurniawati, et al., 2013:1). Sesungguhnya, selain yang dilakukan oleh Badan Bahasa, penelitian terhadap bahasa-bahasa di Indonesia sebelumnya telah dilakukan oleh Summer Institut of Linguistics (SIL: 2006). SIL telah mencatat bahwa terdapat 743 bahasa di Indonesia. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh SIL itu masih perlu mendapat catatan karena apa yang sudah dipublikasi SIL itu hanya mendasarkan pada
Bab I Pendahuluan
3
penelitian lapangan dan kompilasi hasil penelitian pakar seperti yang diungkapkan Kurniawati et al. dalam buku Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia (2013:2): Perlu dicatat bahwa publikasi itu cukup banyak mendasarkan diri pada penelitian lapangan dan juga kompilasi hasil penelitian berbagai pakar, seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Dapat dibayangkan kesulitan melakukan kompilasi mengingat antara satu pakar dengan pakar lainnya menggunakan teori dan metode yang berbeda.
Sekalipun penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia itu sudah dilakukan oleh Badan Bahasa dan SIL, penelitian tersebut baru berhasil mendeskripsikan jumlah bahasa dan dialek/subdialek di sebagian besar wilayah di Indonesia. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Badan Bahasa itu cenderung pada penentuan jumlah bahasa, dialek/subdialek dalam rangka pemetaan bahasa. Penelitian itu belum secara komprehensif mengamati evidensi kebahasaan dari setiap bahasa atau dialek yang ada. Penelitian kuantitatif saja tampaknya tidak cukup karena penelitian seperti itu biasanya hanya bertujuan untuk mendapat gambaran secara garis besar. Untuk itu, diperlukan penelitian secara kualitatif yang dapat memerikan bahasa-bahasa dengan aneka dialek atau subdialeknya. Penelitian yang bersifat kualitatif dapat memberi gambaran yang lebih rinci dan memuaskan tentang status sebuah bahasa, dialek, dan subdialek. Sekalipun demikian, dapat diakui bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Badan Bahasa dan SIL itu merupakan penelitian yang sangat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya, terutama penelitian tentang jumlah dan sebaran geografis bahasa-bahasa yang ada di Indonesia.
Bab I Pendahuluan
4
Oleh karena itu, untuk menembah khazanah penelitian tentang bahasabahasa daerah di Indonesia diperlukan kajian yang mendalam tentang variasi dialektal bahasa-bahasa daerah bukan hanya untuk tujuan pemerolehan informasi secara kuantitatif, melainkan juga kajian kualitatif untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif mengenai sistem bahasa daerah tertentu. Salah satu kajian yang menarik tentang bahasa daerah adalah kajian tentang bahasa Jawa. Sekalipun sudah banyak kajian tentang bahasa Jawa, masih ada hal yang menarik yang dapat diangkat sebagai objek kajian, yakni ikhwal keberadaan bahasa Jawa di daerah pakai bahasa lain yang bukan tanah asalnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa bahasa Jawa adalah bahasa yang memiliki jumlah penutur banyak. Bahasa Jawa adalah bahasa yang tanah asalnya berada di Pulau Jawa. Bahasa ini dituturkan oleh etnis Jawa yang di antaranya tinggal di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten (Kurniawati, et el., 2013:58). Bahasa Jawa yang dituturkan di Provinsi Jawa Tengah terdiri atas lima dialek, yaitu (1) dialek Solo-Yogya, (2) dialek Pekalongan, (3) dialek Wonosobo, (4) dialek Banyumas, dan (5) dialek Tegal. Sementara itu, bahasa Jawa yang dituturkan di Provinsi Jawa dan Banten terdiri atas empat dialek, yaitu (1) dialek Pantai Utara (Pantura), (2) dialek Cikoneng, (3) dialek Cirebon, dan (4) dialek Ciamis. Di dalam laman Ethnologue Language of the World dikemukakan bahwa bahasa Jawa dipakai oleh sekitar 84.308.740 penutur, khususnya, yang berada di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Bahkan, bahasa Jawa
Bab I Pendahuluan
5
menyebar ke wilayah lain, seperti Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Selain di dalam negeri, bahasa Jawa juga tersebar ke negara lain, seperti Suriname, Singapura, Malaysia, Belanda, dan Kaledonia Baru (Laman Kompasiana). Republik Suriname adalah negara bekas jajahan Belanda yang terletak di Amerika Selatan yang berb atasan dengan Perancis di sebelah timur dan Guyana di sebelah barat. Di sebelah selatan, Suriname berbatasan dengan Brazil dan Samudra Atlantik di utara. Terdapat sekitar 75.000 orang Jawa tinggal di Suriname. Mereka dibawa ke Suriname dari Indonesia pada zaman HindiaBelanda antara tahun 1890—1939. Penutur Jawa juga ada di Singapura. Mereka berasal dari Jawa Tengah yang didatangkan ke negara tersebut sejak tahun 1825 untuk dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan karet dan pembuatan jalan kereta api. Kampong Jawa di tepi sungai Rochor menjadi tempat permukiman pertama bagi orang Jawa di Singapura. Selain Kampong Jawa, ada juga Kallang Airport Estate yang dikenal sebagai tempat permukiman orang Jawa. Di Kallang, orang Jawa hidup berdampingan dengan orang Melayu dan Cina. Selain itu, sekitar tahun 1900, orang Jawa juga banyak yang merantau ke Malaysia untuk mencari mata pencaharian. Orang Jawa yang tinggal di Malaysia pada umumnya adalah generasi ketiga dan keempat. Sebagian besar dari mereka masih menggunakan adat dan kebudayaan Jawa, tetapi mereka sudah berkewarganegaraan Malaysia dan tinggal di Negeri Selangor, khususnya, di Tanjung Karang, Sabak Bernam, Kuala Selangor, Kelang, Banting, Sepang, dan Johor.
Bab I Pendahuluan
6
Penutur bahasa Jawa juga terdapat di negeri Belanda. Asal-usulnya berawal dari pengiriman orang Jawa sebagai pekerja ke Belanda. Selain para pekerja itu, di Belanda pun banyak pakar bahasa Jawa yang mengajar di berbagai perguruan tinggi, seperti di Universitas Leiden yang didirikan oleh Pangeran Willem van Oranje pada tahun 1575. Di universitas ini pula banyak tersimpan naskah berbahasa Jawa yang hingga saat ini masih terawat. Selain di Belanda, penutur bahasa Jawa juga terdapat di Kaledonia Baru, sebuah negara di Samudra Pasifik bagian selatan dengan ibukotanya di Noumea. Negara ini pernah dikuasai Perancis sampai tahun 1998. Penduduk Kaledonia Baru berjumlah 237.765 (pada tahun 2006) dan sebagiannya adalah suku Jawa yang dahulu datang ke Kaledonia Baru sebagai kuli kontrak. Orang Jawa yang tinggal di Kaledonia Baru tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa seharihari. Akan tetapi, generasi mudanya sekarang sudah tidak bisa lagi berbahasa Jawa. Mereka hanya bisa berbahasa Perancis. Dari penjelasan tentang persebarannya, bahasa Jawa, baik di Indonesia maupun di mancanegara dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda, dapat dipastikan tumbuh dan berkembang di daerah sebarannya itu yang pada akhirnya membentuk enklave1 (kantong bahasa) dengan ciri tersendiri. Hal itu tentu sangat menarik untuk dijadikan objek kajian tersendiri yang lebih komprehensif tentang keberadaan sebuah enklave bahasa tertentu. Hasil kajian itu akan sangat bermanfaat bagi pengisian rumpang informasi tentang keberadaan bahasa tersebut.
1
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV dinyatakan bahwa enklave adalah daerah (wilayah) budaya yang terdapat di dalam wilayah budaya lain. Dalam penelitian ini, istilah enklave digunakan untuk merujuk pada pada satu wilayah (daerah) pakai bahasa Jawa yang terdapat di wilayah (daerah) pakai bahasa lain, dalam hal ini bahasa Sunda.
Bab I Pendahuluan
7
Salah satu enklave bahasa yang menarik untuk diamati adalah enklave Jawa di Provinsi Banten. Sebagaimana diketahui, Provinsi Banten, bukan merupakan tanah asal bahasa Jawa melainkan merupakan yang di dalamnya ada bahasa yang oleh penuturnya diakui sebagai bahasa Jawa. Terbentuknya enklave bahasa Jawa di provinsi tersebut dapat dipastikan memunculkan variasi-variasi kebahasaan yang berbeda antara enklave yang satu dan enklave yang lainnya. Tentu saja variasi bahasa Jawa tersebut sangat menarik untuk diteliti karena penelitian sebelumnya belum sepenuhnya mendeskripsikan keberadaan bahasa Jawa di wilayah tersebut secara komprehensif. Penelitian tentang variasi dialektal bahasa Jawa di Provinsi Banten sebelum ini telah dilakukan oleh Karia (1914), Patmadiwiria (1977), Nothofer (1972), (1980), Iskandarwassid, dkk. (1985), dan Chudari (2012). Apa yang dilakukan oleh Karia (1914) hanya merupakan inventarisasi kosakata dialek Jawa Banten dengan pemerian berupa definisi terhadap setiap entri yang ditambah dengan contoh-contoh kalimat dalam dialek Jawa-Banten. Seperti halnya Karia (1914), Patmadiwiria (1977) telah menyusun kamus Dialek Jawa-Banten berdasarkan hasil observasinya terhadap penutur dialek Jawa-Banten. Ia hanya mendaftar kosakata dialek Jawa-Banten secara alfabetis dengan memberi definisi pada setiap entri. Sementara itu, Nothofer (1972) dan (1980) telah melakukan penelitian tentang dialek-dialek bahasa Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasil penelitian Nothofer (1980:2) tersebut hanya mendeskripsikan dialek Jawa di pesisir utara Banten. Nothofer tidak mendeskripsikan bahasa Jawa yang dipakai oleh masya-
Bab I Pendahuluan
8
rakat yang berada di wilayah lain di Banten, seperti di daerah periferal barat, daerah periferal selatan dan pesisir selatan. Sementara itu, Iskandarwassid, dkk. (1985) telah melakukan penelitian yang lebih komprehensif. Mereka mendeskripsikan struktur Jawa Banten dengan cakupan bidang fonologi, morfologi, struktur frase, struktur klausa, dan struktur kalimat. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Iskandarwassid, dkk. tersebut terbatas hanya pada daerah pengamatan di Kabupaten Serang, tidak pada daerah pengamatan yang lain. Selain para peneliti itu, Chudari (2012) juga telah menyusun Kamus Bebasan Undak-Usuk Bahasa Jawa-Banten-Indonesia. Sekalipun dalam kamus tersebut telah disinggung sekilas tentang sejarah, kaidah fonologi dan morfologi, serta pembagian kelas kata bahasa Jawa-Banten, buku tersebut hanya berupa himpunan kosakata. Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut, dapat diketahui bahwa masih ada hal yang menarik dan perlu untuk diamati, khususnya, tentang variasi dialektal2 isolek3 Jawa di Banten4. Oleh karena itu, keberadaan bahasa Jawa di Provinsi Banten sangatlah menarik untuk diteliti, terutama di kantong (enclave) bahasa Jawa yang berada di wilayah periferal barat, periferal selatan, dan pesisir selatan. Atas dasar itu, penelitian tentang variasi dialektal bahasa Jawa yang dilakukan dengan mengamati evidensi kebahasaan, status, dan hubungan
2
3
4
Yang dimaksud dengan variasi dilaektal dalam penelitian ini adalah keragaman dialek yang terdapat pada sebuah bahasa. Hudson (1970) dalam Mahsun (1995) menyatakan bahwa isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa. Pada penelitian terdahulu terdapat tiga penamaan yang berbeda, yaitu (1) bahasa Jawa Banten, (2) bahasa Jawa dialek Banten, dan (3) dialek Jawa Banten. Dalam penelitian ini digunakan istilah isolek Jawa di Banten sebelum diketahui status isolek tersebut sebagai dialek atau subdialek.
Bab I Pendahuluan
9
kekerabatannya dengan dialek-dialek lain di sekitarnya. Dengan demikian, dari penelitian tentang variasi dialektal bahasa Jawa di Provinsi Banten ini diharapkan dapat memberi gambaran yang lebih komprehensif tentang keberadaan variasi dialektal bahasa Jawa tersebut terutama di empat daerah pengamatan, yakni di daerah sentral, periferal barat, periferal selatan, dan pesisir selatan Banten.
1.2 Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian 1.2.1 Masalah Penelitian Seperti yang telah dikemukakan, penelitian tentang enklave bahasa Jawa di Banten ini dilakukan di daerah sentral, periferal barat, periferal selatan, dan pesisir selatan Banten. Untuk mengkaji isolek Jawa di empat daerah pengamatan itu ada beberapa masalah yang dijadikan dasar kerja penelitian ini. Beberapa masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut. 1.
Bagaimana deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di empat daerah pengamatan?
2.
Bagaimana status isolek Jawa di empat daerah pengamatan?
3.
Bagaimana gambaran fonologi, morfologi, dan leksikon isolek Jawa di empat daerah pengamatan?
4.
Bagaimana hubungan kekerabatan antarisolek Jawa di empat daerah pengamatan?
5.
Mengapa prabahasa Jawa-Banten dapat menjelaskan hubungan keasalan isolek-isolek Jawa di empat daerah pengamatan?
6.
Daerah pengamatan mana yang inovasi dan mana yang konservatif?
Bab I Pendahuluan
10
1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang enklave Jawa di Banten ini dibatasi hanya pada unit-unit lingual yang meliputi bidang fonologi, morfologi, dan leksikon di empat daerah pengamatan, yakni (1) Desa Warung Jaud di Banten utara sebagai daerah sentral, (2) Desa Sobang di daerah periferal barat, (3) Desa Rancasenang di daerah periferal selatan, dan (4) Desa Darmasari di daerah pesisir selatan.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memokuskan perhatiannya pada distribusi dan variasi dialektal bahasa Jawa-Banten yang berada di empat daerah pengamatan. Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan pada butir 1.2, tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1.
Mendeskripsikan perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di empat daerah pengamatan,
2.
Menentukan status isolek Jawa di empat daerah pengamatan,
3.
Mendeskripsikan sistem fonologi, morfologi, dan leksikon isolek Jawa di empat daerah pengamatan,
4.
Mendeskripsikan hubungan kekerabatan antarisolek Jawa di empat daerah pengamatan, dan
5.
Menjelaskan hubungan keasalan isolek-isolek di empat daerah pengamatan berdasarkan bentuk-bentuk prabahasa Jawa Banten.
6.
Menetapkan daerah pengamatan yang inovatif dan yang konservatif.
Bab I Pendahuluan
11
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian tentang bahasa Jawa-Banten ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis maupun praktis bagi masyarakat luas, khususnya para pemerhati bahasa. Yang dimaksud dengan manfaat secara teoretis adalah bahwa hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah penelitian tentang variasi dialektal bahasa Jawa di luar tanah asalnya. Hasil kajian variasi dialektal bahasa Jawa di Banten yang lebih komprehensif dapat dijadikan bahan untuk penyempurnaan hasil pemetaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia dan juga dapat bermanfaat bagi pengayaan khazanah keilmuan di bidang dialektologi. Secara praktis, hasil penelitian variasi dialektal bahasa Jawa-Banten ini juga bermanfaat bagi penyusunan kebijakan dalam rangka penguatan upaya konservasi atau revitalisasi bahasa daerah. Hasil penelitian ini juga akan bermanfaat bagi penyusunan kebijakan kebudayaan mengingat migrasi penutur sebuah bahasa tidak dapat dilepaskan dari perilaku penuturnya. Selain itu, bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi bagi penyusunan bahan ajar muatan lokal pelajaran bahasa di Provinsi Banten.
1.5 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.5.1 Tinjauan Pustaka Setakat ini sudah banyak tulisan yang menjelaskan tentang Provinsi Banten. Pada masa Banten masih menjadi bagian wilayah Provinsi Jawa Barat, ikhwal Banten banyak ditulis oleh para pakar di dalam pembahasan tentang Provinsi Jawa Barat karena sebelum menjadi provinsi tersendiri, Banten menjadi
Bab I Pendahuluan
12
salah satu wilayah admninistrasi yang berada di bawah Provinsi Jawa Barat. Setidaknya hal itu terekam dalam buku Sejarah Daerah Jawa Barat karangan Kokoh, S., dkk (1979) dan dalam buku Adat Istiadat Daerah Jawa Barat yang disusun oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Tahun 1979. Dua buku tersebut lebih banyak mengupas ihwal Banten dari sudut pandang sejarah dan adat istiadat masyarakat Jawa Barat. Selain tentang sejarah dan adat istiadat masyarakat Banten, pengamatan tentang bahasa yang digunakan di wilayah tersebut telah dilakukan oleh beberapa ahli bahasa. Karia (1914) telah melakukan inventarisasi leksikon bahasa Jawa Banten yang dikumpulkan di dalam buku Dialek Djawa Banten. Dalam penjelasannya, Karia (1914:5) menyebut bahasa Jawa di Banten dengan dialek Banten. Ia menyatakan bahwa dialek bahasa Jawa-Banten berbeda dengan bahasa Jawa-Solo. Perbedaannya terdapat dalam tiga hal, yakni dalam (a) lagoe (lentong Soenda), (b) cara menjeboetkannja satu-satu kata, dan (c) perbedaan dari pada kata-katanya. Buku yang disusun oleh Karia itu hanya merupakan kamus karena hanya berupa senarai kosa kata atau entri dari dialek Jawa di Banten saat itu. Buku tersebut tidak memuat analisis yang lebih mendalam tentang unit-unit kebahasaan bahasa Jawa dialek Banten. Selain itu, Patmadiwiria (1977) juga telah menyusun Kamus Dwibahasa Dialek Jawa-Banten-Indonesia. Kamus tersebut memuat 2.000 entri. Selain mendaftar 2.000 entri tersebut, penyusun kamus juga membahas sepintas tentang sejarah, tata bunyi, dan tata bentuk dialek Jawa Banten. Dijelaskannya bahwa kamus tersebut belum mencakup seluruh perbendaharaan dialek Jawa Banten.
Bab I Pendahuluan
13
Selain itu, kamus itu pun tidak disertai dengan penggolongan kategori jenis kata dan penunjukkan tata pemakaian kata dalam ragam situasi tertentu. Melalui kajian geografi dialek, Nothofer (1972) dalam naskah yang berjudul “Tinjauan Sinkronis dan Diakronis Dialek-Dialek Bahasa Jawa di Jawa Barat dan di Jawa Tengah (bagian barat)” menjelaskan hasil penelitiannya tentang dialek-dialek bahasa Jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Akan tetapi, ia hanya mengamati pemakaian bahasa di wilayah Jawa Barat (sekarang Provinsi Banten) di bagian Utara. Penelitian yang memanfaatkan metode dialektometri itu dilakukan Nothofer untuk melihat status dialek atau subdialek daerah yang diamatinya. Hasil penelitian Nothofer menunjukkan bahwa terdapat delapan dialek bahasa Jawa di wilayah utara Jawa Barat, yakni dialek Banten, dialek Karawang, dialek Indramayu, dialek Cirebon, dialek Ciamis, dialek Banyumas, dan dialek Yogya. Sementara itu, dari penelitian yang telah dilakukannya itu, Nothofer menyatakan bahwa bahasa Jawa di Banten hanya terdapat di bagian utara Banten. Penelitian yang dilakukan oleh Nothofer tersebut belum mencakupi pemakaian bahasa Jawa di wilayah lain, seperti di bagian barat dan juga di bagian selatan Provinsi Banten. Di samping penelitian itu, Nothofer (1980) juga melakukan pengamatan sebaran bahasa Jawa dan bahasa Sunda di bagian utara Jawa Barat dan di bagian barat Jawa Tengah. Hasil penelitian Nothofer tersebut dituangkan dalam peta sebaran geografis bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Hasil penelitian Nothofer dikemukakan dalam buku Dialektgeographische Untersuchungen in West-Java und im westlichen Zentral-Java. Buku tersebut berisi peta peraga bahasa Jawa dan
Bab I Pendahuluan
14
Sunda di Jawa Barat dan di Jawa Tengah bagian barat. Melalui peta yang disajikan dalam buku tersebut, Nothofer menggambarkan bahwa bahasa Jawa di Banten hanya terdapat di wilayah utara Banten. Hal tersebut ditunjukkannya dengan mengarsir daerah pakai bahasa Jawa, sedangkan daerah yang tidak diarsir merupakan daerah pakai bahasa Sunda seperti yang digambarkan dalam peta berikut ini.
Sumber: Buku Dialektgeographische Untersuchungen in West-Java und im westlichen Zentral-Java, (1980)
Gambar 1 Peta Daerah Pakai Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa
Dari peta sebaran bahasa yang dibuatnya itu, Nothofer tidak memetakan adanya isolek Jawa di daerah lain di Banten, selain di bagian utara. Penelitian lain tentang Bahasa Jawa dialek Banten telah juga dilakukan oleh Iskandarwassid, dkk. (1985). Penelitian itu mengambil daerah pengamatan di Kabupaten Serang, termasuk di daerah pantai utara Banten. Para peneliti itu mengkaji struktur bahasa Jawa dialek Banten yang meliputi bidang fonologi,
Bab I Pendahuluan
15
morfologi, struktur frase, struktur klausa, dan struktur kalimat. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahasa Jawa dialek Banten memiliki 24 fonem. Fonem vokal ada enam, yaitu /i/, /e/, /a/, /O/, /u/, dan /|/, sedangkan fonem konsonan ada 18 yakni b ,/p/, / t/, /d/, /g/, /k/, /n/,/ j/, /c/, /s/, /h/, /r/, /l/, /m/,/ ¥, /G/, /w/, dan /y/. Selain fonem-fonem tersebut, ditemukan pula konsonan rangkap, seperti /br/, /pr/, /dr/, /tr/, /mr/, /kr/, /gr/, /mpr/, /ntr/, /nkr/, /bl/, /pl/, /kl/, /mbl/, /mpl/, dan /nkl/. Dari sisi morfologi, dalam bahasa Jawa Banten terdapat prefiks nge-, ng-, N-, di-, ke- se-, dan pe-. infiks –um-; dan sufiks –e, -ne, -aken, -kaken, i, -ni, -an, -en, -nen, dan –a; konfiks ke—an, dan pe—an. Menurut para peneliti ini, dalam bahasa Jawa dialek Banten juga ditemukan frase eksosentris: direktif, konektif, dan predikatif. Selain itu, terdapat enam jenis klausa dalam bahasa Jawa dialek Banten, yaitu FN+FV, FN+FN, FN+Fadj, FN+Adv, FN+Fprep., FN+Fnu. Sementara itu, hanya ada dua jenis kalimat dalam bahasa Jawa dialek Banten, yakni kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Penelitian yang dilakukan oleh Iskandarwassid, dkk. (1985) tersebut tidak mendeskripsikan variasi dilektal, tetapi hanya mengamati struktur bahasa Jawa dialek Banten. Berdasarkan penelitian tersebut, Iskandarwassid, dkk. (1985). menyimpulkan bahwa bahasa Jawa dialek Banten memiliki ciri-ciri tertentu seperti yang dijelaskan dalam deskripsi setiap satuan lingualnya. Dalam hal ini, hasil penelitian tersebut sesungguhnya belum dapat dijadikan pembuktian sebagai hasil generalisasi ciri-ciri bahasa Jawa Banten karena penelitian itu mengabaikan adanya isolek Jawa di wilayah lain, selain di wilayah Serang yang mungkin saja
Bab I Pendahuluan
16
memiliki satuan-satuan lingual yang berbeda dengan satuan lingual yang lain yang berada di wilayah lain. Penelitian lain tentang bahasa di Banten juga telah dilakukan oleh tim penelitian kekerabatan bahasa Balai Bahasa Bandung yang diketuai oleh Kartika (2007).
Hasil
penelitian
tersebut
dituangkan
dalam
naskah
penelitian
“Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Jawa Barat dan Banten”. Penelitian ini mengambil daerah pengamatan di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak yang sekarang berada di wilayah Provinsi Banten. Dengan memanfaatkan kajian dialektologi, penelitian ini mengamati sebaran bahasabahasa yang digunakan oleh masyarakat di Provinsi Banten. Hasil penelitian itu hanya mendeskripsikan sebaran geografis bahasa Sunda di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak, tidak mendeskripsikan adanya sebaran bahasa Jawa di daerah yang diamatinya. Penelitian lain tentang bahasa di Banten dilakukan oleh Lauder (1993). Ia melakukan pemetaan dan dan distribusi bahasa-bahasa di Kabupaten Tangerang. Penelitian tersebut mempunyai dua tujuan, yakni tujuan umum dan khusus. Tujuan umum penelitian tersebut adalah (1) melakukan pemetaan bahasa di Kabupaten Tangerang, (2) mengumpulkan data kebahasaan bagi kepentingan sejarah bahasa. Sementara itu, tujuan khusunya adalah (1) menggambarkan daerah pakai serta daerah sebaran variasi-variasi kebahasaan yang terdapat di Kabupaten Tangerang, yaitu Jawa, Sunda, dan Melayu, (2) menerapkan rumus dialektometri untuk menghitung jarak kosakata antartitik-titik pengamatan di seluruh Kabupaten Tanggerang, dan (3) menghasilkan program komputer untuk pemetaan bahasa
Bab I Pendahuluan
17
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat menjadi model dasar untuk pengembangan program pemetaan bahasa-bahasa daerah di seluruh Indonesia. Melalui pemanfaatan metode dialektometri yang biasa digunakan dalam dialektologi untuk menghitung jarak kosakata, Lauder telah memetakan kosakata di daerah pakai bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu di Tanggerang. Selain itu, dengan penelitiannya itu Lauder juga memetakan adanya pengaruh kosakata Sunda dan Melayu. Walaupun penelitian yang dilakukan oleh Lauder tersebut telah mendeskripsikan kosakata bahasa Jawa di daerah yang diamatinya, penelitian tersebut dilakukan di wilayah yang terbatas, yakni hanya di Kabupaten Tanggerang. Kabupaten Tanggerang ini secara geografis berada di bagian utara Provinsi Banten. Hal itu berarti, jika pun di daerah tersebut terdapat bahasa Jawa, hasil penelitian itu sama dengan apa yang sudah dijelaskan oleh Nothofer sebelumnya. Dengan kata lain, penelitian itu masih belum memberi gambaran sebaran geografis bahasa Jawa-Banten di kabupaten-kabupaten lain di wilayah Provinsi Banten. Penelitian lain tentang bahasa Jawa di Provinsi Banten juga telah dilakukan oleh Meutiawati (2000). Ia mengamati dialek bahasa Jawa di wilayah pantai utara Jawa Barat, yakni kantong Jawa yang berada di wilayah pemakaian bahasa Sunda di Kabupaten Serang dari aspek sinkronis dan diakronis. Secara sinkronis Meutiawati mengamati unsur kebahasaan bidang fonologi dan morfologi. Di bidang fonologi, dialek Serang memiliki 7 fonem vokal dan 16 fonem konsonan. Fonem vokal dialek Serang adalah /a/, /u/, /i/, /o/, /|/, /e/, dan/‚/, sedangkan fonem konsonan dialek Serang adalah /G/, /¥/, /n/, /k/, /h/, /t/,
Bab I Pendahuluan
18
/g/, /d/, /p/, /r/, /l/, /w/, /s/, /b/, /m/, /c/. Di bidang morfologi, dialek Serang memiliki prefiks ke-, se-, G|-- , di- p|G---- ; Sufiks –an, -ak|n, -i, dan –e; konfiks ke—an. Sekalipun Meutiawati mengamati daerah pakai bahasa Jawa di Kabupaten Serang, ia tidak melakukan pemetaan ketersebaran variasi bahasa Jawa di daerah yang diamatinya itu. Selain itu, yang masih belum terungkap dari penelitian terhadap bahasa Jawa di Banten adalah masalah ada tidaknya tingkat tutur berbahasa di kalangan penutur bahasa Jawa di Banten. Hal tersebut tampaknya sangat menarik untuk diamati dan diketahui karena bahasa Jawa di tanah asalnya memiliki sistem tingkat tutur. Poedjosoedarmo (tanpa tahun: 57—58) menjelaskan bahwa dalam bahasa Jawa terdapat sistem tingkat tutur. “Yang dimaksud dengan tingkat tutur adalah sistem yang pertuturan yang digunakan untuk menunjukkan tingkat keformalan dan rasa hormat dan keformalan dalam sebuah tuturan. Semakin tinggi rasa hormat dan keformalan dalam sebuah tuturan, semakin tinggi tingkat kesantunan yang ditunjukkan. Setiap kalimat dalam bahasa Jawa mengindikasikan tingkat kesantunan tertentu sesuai dengan prinsip pemilihan kosakata jenis tingkat tutur dan imbuhan yang digunakannya”. Selanjutnya Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa: “Berdasarkan tingkat tuturnya, di dalam bahasa Jawa terdapat empat tipe kosakata, yaitu (1) ngoko (Ng) ‘kasar’ yang digunakan oleh penyapa kepada pesapa yang sudah sangat akrab, (2) madyo (Md) ‘sedang’ yang digunakan penyapa kepada pesapa yang memiliki hubungan setengah akrab atau digunakan untuk menghormati orang yang usianya lebih tua, (3) krama (K) ‘halus’ yaitu kosakata yang digunakan kepada pesapa yang hubungan status sosialnya dengan penyapa sangat berjarak dan formal, dan (4) kosakata hormat ‘sangat halus’ yang terbagi pada (a) krama inggil (KI) yang digunakan untuk mengacu kepada setiap orang yang sangat dihormati dan (b) krama andap (KA) yang digunakan untuk orang ketiga yang dihormati. Berdasarkan penggunaan tingkat tutur tersebut, tipe kosakata pertama, kedua, dan ketiga digunakan untuk menandai tingkat
Bab I Pendahuluan
19
keakraban dan keformalan hubungan penyapa dengan pesapa, sedangkan tipe kosakata keempat digunakan sebagai ungkapan rasa hormat penyapa kepada pesapa”.
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa di dalam kajian sosiolinguistik, variasi bentuk realisasi konsep yang berbeda menurut pilihan penggunaan tingkat tutur pada setiap isolek, dapat berpengaruh terhadap jumlah perbedaan fonologis dan leksikal antarisolek yang diteliti. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan itu, penelitian terhadap bahasa Jawa-Banten dapat dikatakan masih belum komprehensif, baik dalam hal pengembangan kosakata, penelitian struktur bahasa, maupun pemetaan variasi bahasanya. Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang kosakata dalam rangka penyusunan kamus, struktur bahasa, maupun pemetaan variasi bahasa Jawa di Provinsi Banten yang lebih mendalam, baik secara sinkronis maupun diakronis. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Robin (1962:2): “Secara sinkronis, bahasa dapat dideskripsikan dari sudut pandang bentuk, makna, dan fungsinya sebagai alat komunikasi yang serba lengkap pada waktu tertentu dan selama secara arbitrer dianggap tidak ada perubahan. Sementara itu, secara diakronis pernyataanpernyataan hasil kajian linguistik deskriptif mengacu kepada perubahan bahasa yang terjadi sepanjang waktu atau antardua rentang waktu yang berbeda”.
Terkait dengan hal itu, Labov dalam Gumperz dan Hymes (1972:518) menyatakan bahwa secara sinkronis perubahan linguistik pada waktu tertentu dipandang sebagai perubahan yang sedang berproses dan berprogres dalam tahap tertentu. Proses dan progres perubahan itu perlu dikaji sedikitnya untuk menjawab
Bab I Pendahuluan
20
tiga masalah, yaitu (1) masalah transisi (transition problem), yaitu bagaimana rute perubahan linguistik pada waktu dan tahap tertentu sebagai tahap kelanjutan dan tahap sebelumnya, (b) penyematan (embedding), yaitu masalah matrik berkelanjutan dari pola perilaku sosial yang terkait dengan linguistik pada tahap tertentu membawa juga perubahan linguistik, dan (3) evaluasi (evaluation), yaitu masalah kebahasaan yang terkait dengan informasi dari informan, baik yang langsung terkait dengan masalah reaksi subjektifnya terhadap nilai variabel linguistik itu sendiri maupun secara tidak langsung terkait dengan berbagai informasi yang berhubungan dengan perilaku guyub tutur secara umum dan/atau aspirasi informan sendiri mengenai variasi perilaku linguistik di kalangan mereka. Atas dasar apa yang telah dikemukakan itu, dapatlah dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaannya terletak pada (1) cakupan daerah pengamatan penelitian lebih luas dengan menambah daerah pengamatan yang belum diteliti oleh peneliti sebelumnya, yaitu di wilayah barat dan selatan Banten, (2) jumlah kosakata yang disenaraikan dalam instrumen pengumpulan data berupa kosakata yang digunakan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Jumlah kosakata yang dijadikan dasar analisis sebanyak 1.078, sedangkan Nothofer hanya 750 kosakata, dan (3) kebaruan cakupan analisis, yakni bukan semata secara sinkronis, melainkan secara diakronis. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pendekatan diakronis dapat membantu mendeskripsikan bukan hanya status isolek yang ada di daerah pengamatan, melainkan dapat membuktikan sejarah terbentuknya variasi dialektal di daerah yang diamati, di samping dapat menjelaskan daerah mana yang konservatif dan mana yang inovasi.
Bab I Pendahuluan
21
Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi kerumpangan kajian tentang bahasa Jawa di Banten. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang eksistensi variasi dialektal bahasa JawaBanten di keempat daerah pengamatan.
1.5.2 Kerangka Teori Sebagai bahasa yang memiliki jumlah penutur yang banyak dan sebaran yang luas, bukan hanya di tanah asalnya, bahasa Jawa tentu saja mempunyai karakteristik dan variasi tersendiri. Variasi bahasa apapun tidak terbatas jika didasarkan pada tuturan orang per orang atau atau tempat di mana persebaran bahasa itu terjadi. Variasi bahasa yang terjadi sudah tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, faktor sosial, faktor politik, dan juga faktor historis. Untuk itu, diperlukan kajian khusus untuk mengupas keberadaan variasi kebahasaan tersebut. Bidang kajian yang tepat untuk melihat variasi dialektal dalam bahasa Jawa di Banten adalah dialektologi. Oleh karena itu, dalam paparan tentang kerangka teori ini perlu dikemukakan beberapa hal penting yang lazim dimanfaatkan dalam kajian dialektologi, yaitu tentang pengertian (1) dialektologi, (2) dialektologi diakronis, (3) dialektometri, (3)) bahasa purba dan prabahasa, (5) perbedaan unsur-unsur kebahasaan, dan (6) inovasi, retensi, dan relik.
1.5.2.1 Dialektologi Istilah dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Dialect berasal dari bahasa Yunani dialektos yang digunakan untuk merujuk pada keadaan bahasa
Bab I Pendahuluan
22
di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan, tetapi perbedaan-perbedaan itu tidak menyebabkan para penutur tersebut merasa memiliki bahasa yang berbeda (Lihat Meilet dalam Hanan: 2014). Di dalam The Online Dictionary of Language Terminology, istilah dialektologi diartikan sebagai “The Study of dialect, that is, of varian features within a language, their history, differences of for and meaning, interrelationships, distributif, and more broadly, their spoken as distinct from their literary foems”.
Sementara itu, Vajda (Linguistics 201: Dialectology) menyatakan bahwa dialektologi merupakan cabang dari sosiolinguistik karena sosiolinguistik merupakan studi tentang perbedaan bahasa dalam masyarakat atau tentang perbedaan variasi bahasa di dalam sebuah masyarakat. Oleh karena itu Vajda mengemukakan bahwa dialectology is a branch of sosiolinguistis that studies the systematic variants of Language. Lebih lanjut Vajda menjelaskan bahwa dialektologi merupakan studi tentang dialek yang memutuskan kapan sebuah bentuk yang sama dalam sebuah bahasa merupakan dialek dalam sebuah bahasa atau dalam bahasa yang berbeda. Untuk menentukan apakah sebuah dialek atau bukan, Vajda mengemukakan ada tiga kriteria yang menentukan, yaitu (a) pemahaman timbal balik (mutual intelligibility), (b) budaya (cultural), dan (c) status politik bahasa (language’s political status). Mahsun (1995:11) menjelaskan bahwa dialektologi merupakan ilmu tentang dialek atau cabang linguistik yang mengaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan-perbedaan tersebut secara utuh. Sementara itu,
Bab I Pendahuluan
23
Lauder (1993) dan Poedjosoedarmo (tanpa tahun) mengemukakan bahwa dialektologi merupakan salah satu cabang Linguistik Historis Komparatif. Keduanya menelaah masalah kesejarahan ragam bahasa. Dari beberapa pendapat tersebut jelas bahwa dialektologi menjadikan variasi bahasa terutama dialek sebagai objek kajiannya. Downes (1984:22) secara sederhana memberi pengertian dialek sebagai berikut. “Dialect is a language variety associated with a particular place, or geographical dialect. Indeed, our names for most dialects are geographical”.
Downes (1984:22) memandang sebuah dialek sebagai sesuatu yang diasosiasikan dengan sebuah tempat tententu atau dialek geografis. Sejumlah dialek merepresentasikan penutur dengan tuturannya yang membedakannya dengan dialek yang berdekatan dengannya. Downes selanjutnya menjelaskan secara geografis, dialek-dialek membentuk apa yang disebutnya sebagai kontinum dialek (dialect continuum). Berikut model kontinu dialek yang dikemukakan Downes (1684:22).
Bab I Pendahuluan
24
Model yang dikembangkan Downes itu adalah sebuah untaian dialek (dialect chain) dengan perangkat “pemahaman penuturnya” bahwa ciri sebuah dialek ditentukan dengan pemahaman timbal balik (mutual intelligibility). Model Downes merupakan untaian dialek 1 sampai dialek 10 yang paling berbeda dari dialek yang lainnya. Model itu juga menunjukkan bahwa tingkatan batas geografi menunjukkan tingkatan perbedaan linguistik di antara dialek-dialek tersebut. Selain itu, dijelaskan pula oleh Downes bahwa batas geografis juga mengarah pada divergensi linguistik (linguistic divergence). Selanjutnya, Mahsun (1995:11) memaknai dialek sebagai isolek yang tidak baku. Ia mengemukakan bahwa: “Dialek biasanya dikaitkan dengan semacam bentuk isolek yang substandar dan berstatus rendah. Istilah dialek sering dipertentangkan dengan istilah bahasa yang merujuk pada isolek yang sudah dibakukan dan menjadi sumber rujukan isolek lain yang setingkat dengannya, tetapi belum dibakukan. Dari penjelasannya itu, Mahsun menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan dialek adalah penilaian hasil perbandingan dengan salah satu isolek lainnya yang dianggap lebih unggul (lihat Mahsun, 1995:12)”.
Terkait dengan pengertian dialek, Kisyani (2004:10) mengemukakan pula bahwa ada sebagian pemahaman yang beranggapan bahwa dialek merupakan penyimpangan dari bahasa standar. Dialek sering dikaitkan dengan bentuk bahasa substandar yang ditentukan oleh masyarakat yang ada di kawasan terpencil dengan status sosial yang rendah. Menurut Kisyani (2004:10), pandangan seperti itu tidak benar dan perlu diluruskan. Hal itu didasari atas pendapat Chambers dan Trudgill (1990:3) dan Kisyani (2004:11) yang menyatakan bahwa penutur suatu
Bab I Pendahuluan
25
bahasa merupakan penutur bagi (sekurang-kurangnya) satu dialek; tidak ada dialek lain yang lebih tinggi nilainya dari dialek lain. Selanjutnya, Kisyani menjelaskan pula bahwa bahasa dipandang sebagai sekumpulan dialek yang bersifat saling dapat dipahami (mutual intelligible) sejauh dalam mata rantai yang berdekatan. Terhadap hal itu, Kisyani mencontohkan bahwa penutur bahasa Jawa dialek Banten di sebelah barat pulau Jawa dan penutur bahasa Jawa di Blambangan yang berada di ujung timur pulau Jawa dapat saja tidak dapat saling memahami karena kedua dialek itu berada dalam mata rantai yang berjauhan sekalipun mereka sama-sama menggunakan bahasa Jawa dengan dialek yang berbeda dan masih berada dalam mata rantai yang berurutan. Atas dasar pandangannya itu, Kisyani (2004:11) akhirnya menyimpulkan bahwa: “Dialek merupakan variasi bahasa yang memiliki sistem lingual tersendiri, dipakai oleh sekelompok penutur di tempat tertentu, tetapi di antara kelompok penutur itu dengan kelompok lainnya masih terdapat pemahaman timbal balik”.
1.5.2.2 Dialektologi Diakronis Untuk mengamati variasi-variasi dialektal bahasa Jawa di Banten dengan tujuan melihat keragaman isolek yang membentuk dialek-dialek atau subdialeksubdialek sebagai akibat perkembangan secara historis, kajian yang tepat digunakan adalah dialektologi diakronis. Mahsun (1995:13) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dialektologi diakronis adalah suatu kajian tentang perbedaan-perbedaan isolek yang bersifat analitis sinkronis dengan penafsiran perbedaan-perbedaan isolek tersebut berdasarkan kajian yang bersifat historis atau diakronis. Lebih lanjut, Mahsun menjelaskan bahwa dialektologi diakronis
Bab I Pendahuluan
26
adalah kajian tentang “apa dan bagaimana” perbedaan-perbedaan isolek yang terdapat dalam satu bahasa. Dari bidang garapanya, dialektologi diakronis mencakup dua spek, yaitu aspek sinkronis (deskriptif dan aspek diakronis (historis) Dari aspek sinkronis, kajian didasarkan pada upaya mulai dari mendeskripsikan perbedaan unsur-unsur kebahasan dalam bahasa yang diteliti, pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda, penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek hingga membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek. Sementara itu, dari apek diakronis, kajian dilakukan melalui upaya mulai dari membuat rekonstruksi prabahasa (prelanguage) bahasa yang diteliti, penelusuran pengaruh antardialek/subdialek bahasa yang diteliti, penelusuran un sur kebahasaan yang merupakan inovasi atau relik, penelusuran saling hubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang berbeda di antara dialek/subdialek bahasa yang diteliti, membuat analisis dialek yang konservatif dan inovasi hingga membuat rekonstruksi sejarah bahasa yang diteliti.
1.5.2.3 Perbedaan Unsur-Unsur Kebahasaan Seperti yang telah dikemukakan, dialektologi diakronis mendeskripsikan unsur-unsur dialek atau subdialek secara fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal. Akan tetapi, para pakar sependapat bahwa perubahan lebih banyak terjadi pada bidang fonologi. Perubahan dalam bidang fonologi ini oleh kaum Neogrammarian disebut sebagai perubahan tanpa kecuali atau yang dikenal sebagai korespondensi. Selain perubahan yang bersifat korespondensi, terdapat
Bab I Pendahuluan
27
pula perubahan bunyi bahasa yang bersifat tidak teratur atau sporadis yang dikenal dengan variasi. Variasi dan korespondensi merupakan bentuk realisasi konsep, baik secara fonologis maupun leksikal. Variasi dan korenspondesni dapat ditelusuri tahaptahap perubahannya dengan menggunakan prinsip-prinsip dan rekonstruksi protofonem dan protokata seperti yang dilakukan Dempwolf (dalam rekonstruksi Proto-Melayu-Polynesian). Metode rekonstruksi tersebut disempurnakan dengan model rekonstruksi pohon silsilah bahasa Proto-Austanesia oleh Dyen dalam Poedjosoedarmo (tanpa tahun:2). Inti dari rekonstruksi Dempwolf dan Dyen ialah perbandingan bentuk-bentuk kata dalam berbagai bahasa yang memiliki struktur bunyi kata-kata yang mirip (cognates) terdapat korespondensi bunyi kata-kata antarbahasa yang perubahannya dapat ditelusuri. Dengan demikian, bentuk konservatif dan inovasinya dapat diketahui dan bentuk protonya dapat direkonstruksi. Berdasarkan penelusuran perubahan dan variasi struktur bunyi bahasa seperti itu, hubungan dan status kekerabatan antarisolek apakah sebagai bahasa, dialek, atau subdialek dapat ditentukan. Mahsun (1995:29) membagi korespondensi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu (a) korespondensi sangat sempurna, (b) korespondensi sempurna, dan (c) korespondensi kurang sempurna. Korespondensi sangat sempurna terjadi jika perubahan bunyi itu berlaku untuk semua contoh yang disyarati secara linguistis dan daerah sebarannya sama. Korespondensi sempurna jika perubahan itu berlaku pada semua contoh yang disyarati secara linguistis, tetapi beberapa contoh memperlihatkan daerah sebaran geografis yang tidak sama. Sementara itu, disebut
Bab I Pendahuluan
28
korespondensi kurang sempurna jika perubahan itu tidak terjadi pada semua bentuk yang disyarati secara linguistis, tetapi sekurang-kurangnya terdapat pada dua contoh yang memiliki sebaran geografis yang sama. Lebih lanjut, Mahsun (1995:34) menjelaskan bahwa perubahan bunyi dapat berlangsung secara tidak teratur atau sporadis yang dikenal dengan variasi bunyi. Perubahan itu muncul bukan karena persyaratan linguistik tertentu. Oleh karena itu, data yang menyangkut perubahan bunyi berupa variasi terbatas pada satu atau dua contoh saja. Yang termasuk dalam jenis perubahan bunyi yang berupa variasi, antara lain, asimilasi, disimilasi, metatesis, kontraksi, aferesis, sinkop, apokop, protesis, epentesis, dan paragog. Selain itu, Mahsun (1995) menyatakan pula bahwa perubahan bunyi dalam satu bahasa dikuasai oleh prinsip pernalaran. Prinsip ini secara umum menyatakan bahwa syarat yang menguasai perubahan bunyi adalah semata-mata fonetik. Apabila dipakai pada perubahan khusus dalam bahasa tertentu, hal itu dapat berarti (a) bahwa arah yang diambil oleh bunyi untuk berubah adalah sama bagi semua anggota masyarakat bahasa bersangkutan (kecuali pembagian kepada dua dialek sedang berlangsung) dan (b) semua perkataan yang mengandung bunyi yang sedang berubah dan hadir dalam lingkungan fonetik yang sama dipengaruhi oleh perubahan itu dengan cara yang sama (Lihat Osthoff dan Brugmann dalam Bynon, 1994:24). Di balik perubahan-perubahan yang terjadi itu, ada pula unsurunsur terusan yang terwaris (retensi) yang meliputi fonem, kata dasar dengan semantiknya, serta unsur-unsur ketatabahasaan, baik morfologi maupun sintaksisnya. Di antara perubahan-perubahan itu, perubahan bunyi merupakan salah satu
Bab I Pendahuluan
29
penanda perubahan unsur terkecil dalam bahasa, tetapi cukup menarik untuk diteliti dan ditelaah. Perubahan bunyi ini kemudian menggambarkan refleksirefleksi atau pertalian-pertalian bunyi di antara bahasa-bahasa berkerabat. Refleksi-refleksi itu bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan. Pada dasarnya perubahan itu diatur dan ditentukan oleh suatu prinsip keteraturan, yakni bahwa bunyi itu berubah secara teratur melalui proses-proses tertentu dan berlangsung dalam suatu periode yang lama (lihat Bynon, 1979:25). Terkait dengan hal itu, Bynon juga menguraikan bahwa ada tiga model perkembangan perubahan bahasa, yaitu, (a) model kaum Neogrammarian, (b) model kaum Strukturalis, dan (c) model kaum Transformasional-generatif.
(a) Model Kaum Neogrammarian Model ini merupakan model yang dikembangkan oleh sekelompok sarjana Indo-Eropa yang bekerja dan mempunyai hubungan dengan Universitas Leipzig pada akhir abad 19. Mereka memberikan dasar yang kokoh untuk ilmu bahasa historis dengan membuat formulasi tentang prinsip-prinsip metodologis dan postulat teoretis yang membimbing mereka di dalam pekerjaan mereka serta sekaligus mencobakan prinsip-prinsip ini di dalam kerja praktik. Kaum Neogrammarian membuat postulat tentang prinsip dasar di dalam perkembangan bahasa, yaitu hukum bunyi dan analogi. Mereka menyatakan bahwa perubahan bahasa didasari oleh prinsip hukum bunyi tanpa kecuali (Bynon, 1977:25). Dengan hukum bunyi tanpa kecuali ini dapat diartikan bahwa arah dari perubahan bunyi adalah sama pada semua masyarakat bahasa (speech community) yang mengalami perubahan tersebut dan semua kata di mana ada bunyi yang
Bab I Pendahuluan
30
mengalami perubahan yang terjadi pada lingkungan fonetik yang sama juga dipengaruhi oleh lingkungan dengan cara yang sama. Karena kaum ini berpendapat bahwa kaidah-kaidah fonologis dapat diformulasikan tanpa mengacu kepada morfologi, sintaksis, dan semantik. Prinsip yang kedua adalah analogi. Lain daripada kaidah-kaidah fonologis yang bebas tadi, perubahan analogis sepenuhnya tergantung pada struktur gramatikal.
(b) Model Kaum Strukturalis Model ini merupakan model yang dikembangkan oleh kaum strukturalis yang terdiri dari para ahli bahasa aliran Praha di Eropa seperti Ferdinand De Saussare dan para pengikut Bloomfield. Kaum ini menerangkan perubahan fonologis dengan memakai fonem. Adapun aspek-aspek perubahan fonologis bagi kaum strukturalis diuraikan berikut ini. a.
Perubahan fonologis dapat mempengaruhi inventori fonem, yakni dapat menyebabkan bertambah dan berkurangnya jumlah fonem.
b.
Perubahan fonologis mungkin saja tidak mempengaruhi inventori fonem, tetapi dapat mengubah distribusi fonem-fonem tertentu.
c.
Perubahan yang sama dapat mengganti ‘incidence’ dari /a/ dan /e/, yakni distribusinya pada item-item leksikal dan gramatikal pada bahasa tersebut.
(c) Model Kaum Transformasional-Generatif Kaum Transformasional-Generatif berpandangan bahwa ada dua macam perubahan dalam bahasa, yaitu perubahan fonologis dan perubahan sintaktis. Di dalam perubahan fonologis dibedakan antara inovasi dan penyusunan kembali
Bab I Pendahuluan
31
secara sistematik, sedangkan di dalam perubahan secara sintaktis dikenal perubahan-perubahan frasa benda (noun phrase), frasa kerja (verb phrase) dan item leksikal. Seperti yang telah dikemukakan, perubahan bunyi yang ditandai dengan realisasi ciri-ciri linguistik, baik ciri fonologis, morfologis, atau ciri linguistik lainnya, sangat menentukan bagi karakteristik dialek-dialek atau subdialeksubdialek yang diteliti yang selanjutnya menjadi ciri pembeda bagi keberadaan bahasa, dialek atau subdialek.
1.5.2.4 Penentuan Status Kekerabatan Dalam hubungannya dengan pembahasan penentuan karakteristik pembeda setiap dialek atau subdialek, yang juga penting untuk dikemukakan adalah penentuan kekerabatan dan pengelompokkan dialek atau subdialek yang satu dengan yang lain sebagai langkah awal sebelum rekonstruksi bahasa purba dilakukan. Keraf (1984:37) mengemukakan bahwa kekerabatan bahasa ditentukan oleh kemiripan bentuk makna sebagai akibat pewarisan langsung. Asumsi kekerabatan didasarkan pada tiga kenyataan sebagai berikut. “Pertama, ada sejumlah kosakata dari suatu kelompok bahasa tertentu secara relatif memperlihatkan kesamaan yang besar bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya”. “Kedua, perubahan fonetis dalam sejarah bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan pula sifat yang teratur. Ketiga, bila semakin dalam kita menelusuri sejarah bahasa-bahasa kerabat, semakin banyak terdapat kesamaan antara pokok-pokok yang dibandingkan”.
Bab I Pendahuluan
32
Jika Keraf mendasarkan penentuan kekerabatan pada perubahan bunyi pada bahasa-bahasa berkerabat dalam pandangan Linguistik Historis Komparatif, Mahsun (2010:54) berpendapat bahwa penentuan kekerabatan dan pengelompokkan dialek dapat dilakukan dengan mempertimbangkan unsur kebahasaan yang diperoleh dari penghitungan dialektometri. “Dengan memanfaatkan hasil penghitungan dialektometri dialek mana yang lebih dekat dengan yang lainnya dalam satu simpai kekerabatan bahasa dapat ditentukan. Dialek yang memiliki persentase perbedaan yang rendah dalam hubungannya dengan dialek lainnya, dapat dihipotesiskan bahwa dialek itu menjadi dialek yang lebih dekat hubungannya. Dialek-dialek itu dapat dikelompokkan sebagai dialek yang pada fase historis tertentu memiliki sejarah yang sama”.
Selanjutnya, Mahsun (2010:54) juga menjelaskan bahwa penentuan relasi kekerabatan antardialek itu sangat diperlukan untuk melakukan rekonstruksi bahasa purba yang menurunkan dialek-dialek tersebut. Penentuan relasi kekerabatan dapat digambarkan dengan pohon kekerabatan. Melalui pohon kekerabatan tersebut dapat ditentukan bukti-bukti dari dialek mana di antara dialek yang diteliti itu dapat digunakan untuk merekonstruksi bahasa purbanya. Selain itu, Mahsun (2010:54) juga menambahkan bahwa pengelompokan bahasa dalam bentuk pohon kekerabatan sekaligus menggambarkan bahwa penutur bahasa itu tersegmentasi ke dalam segmen yang lebih kecil (penutur dialek). Penutur suatu dialek disatukan oleh kesamaan ciri-ciri kebahasaan yang mereka gunakan dan dibedakan dengan penutur dialek lainnya juga oleh perbedaan ciriciri kebahasaan mereka.
Bab I Pendahuluan
33
1.5.2.5 Bahasa Purba dan Rekonstruksi Bahasa Purba Setelah penentuan kekerabatan dialek-dialek dalam pohon kekerabatan, tahap selanjutnya adalah melakukan rekonstruksi bahasa purba. Yang dimaksud dengan bahasa purba adalah suatu rakitan teoretis yang dirancang dengan cara merangkaikan sistem isolek-isolek yang memiliki hubungan kesejarahan melalui rumusan kaidah-kaidah secara sangat sederhana (Mahsun, 2010:78). Selanjutnya, Mahsun juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rekonstruksi bahasa purba adalah upaya penyusunan kembali sosok bahasa purba yang menurunkan isolek-isolek modern yang digunakan oleh penutur-penutur pada masa sekarang. Rekonstruksi bahasa purba sangat diperlukan untuk membuktikan bahwa dialekdialek yang terdapat dalam bahasa yang diamati itu diturunkan dari sebuah bahasa purba. Jika dalam dialektologi digunakan istilah bahasa purba, dalam linguistik historis komparatif, istilah yang digunakan adalah protobahasa. Dengan mengacu pada pendapat Bynon (1979:71), Fernandez (1996:21) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan protobahasa adalah suatu gagasan teoretis yang dirancangkan atas cara yang amat sederhana guna menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan memanfaatkan sejumlah kaidah. Gagasan tersebut menyatakan ikhtisar pemahaman kita pada masa sekarang mengenai hubungan gramatikal yang sistematis dari bahasa-bahasa yang mempunyai pertalian historis. Sementara itu, rekonstruksi protobahasa adalah suatu proses penemuan serta pemerian unsurunsur warisan dan kaidah-kaidah dari bahasa asal (Arlotto, 1972: 10 dalam Frnandez (1996:21). Rekonstruksi protobahasa merupakan suatu alat yang
Bab I Pendahuluan
34
dikembangkan untuk tujuan pengelompokan bahasa karena berpegang pada asumsi bahwa bahasa-bahasa sekerabat biasanya menyimpan dan mengubah unsur-unsur warisan serta kaidah-kaidah melalui bermacam cara. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi bahasa, baik dalam dialektologi diakronis maupun dalam linguistik historis komparatif sangat penting. Menurut Mahsun (1995:75) dalam dialektologi diakronis, rekonstruksi bahasa dapat memberi kejelasan tentang hubungan kekerabatan antardialek/ subdialek yang diturunkan dari satu bahasa induk serta dapat diketahui tentang sosok bahasa purba yang menurunkan dialek-dialek/subdialek-subdialek tersebut. Rekonstruksi bahasa purba dalam dialektologi diakronis terbatas hanya pada upaya perekonstruksian bahasa induk yang menurunkan dialek-dialek/subdialeksubdialek. Rekonstruksi bahasa purba dalam dialektologi merupakan rekonstruksi internal, yaitu rekonstruksi yang bertujuan untuk memulihkan sosok bahasa purba dengan memanfaatkan evidensi yang terdapat dalam bahasa itu sendiri. Sosok bahasa purba yang direkonstruksi berdasarkan evidensi dialektal/subdialektal itu disebut dengan prabahasa (prelanguage). Istilah prabahasa dibedakan dari protobahasa yang lazim digunakan dalam linguistik historis komparatif untuk menyebut sosok bahasa purba yang direkonstruksi.
1.5.2.6 Inovasi dan Relik Dalam perkembangannya, sebuah bahasa biasanya memiliki unsur-unsur yang mengalami perubahan atau pembaharuan. Proses perubahan atau pembaharuan unsur–unsur kebahasaan yang mengalamai pembaharuan disebut
Bab I Pendahuluan
35
inovasi. Daerah yang memiliki unsur-unsur kebahasaan yang sama sekali baru dan tidak memiliki pasangan kognat dalam bahasa, dialek atau subdialek lain disebut daerah inovatif. Sementara itu, unsur kebahasaan yang merupakan warisan dari bahasa purba yang menurunkan bahasa, dialek, atau subdialek disebut relik (Lihat Mahsun, 1995:83). Daerah yang mempertahankan unsur-unsur kebahasaan lama atau relik yang merupakan warisan dari bahasa purba yang menurunkan bahasa, dialek, atau subdialek disebut daerah konservatif. Sudah tentu penetapan daerah mana yang konservatif dan yang mana yang inovatif harus dilakukan dengan melihat unsur-unsur kebahasaan yang diamati. Mahsun (1995:84) menjelaskan bahwa penetapan daerah inovatif dan konservatif dilakukan dengan melihat ciri-ciri sebagai berikut: (a)
Unsur itu merupakan unsur yang sama sekali baru yang tidak memiliki kognat dalam bahasa lain. Sebagai contoh, kata podeq ‘adik laki-laki ayah/ibu’ dan nodeq ‘adik perempuan ayah/ibu’ yang terdapat dalam bahasa Sumbawa merupakan hasil inovasi karena tidak dijumpai kognatnya dalam bahasa lain,
(b) Unsur itu memiliki kesamaan dalam bahasa lain, bukan karena pewarisan etimon protobahasa, (melainkan hasil inovasi internal yang dipinjam oleh bahasa penerima), tetapi keberadaan unsur itu tidak sesuai dengan sistem (kaidah perubahan bunyi) bahasa (penerima) dan/atau distribusi unsur itu terbatas dibandingkan dengan distribusi bahasa lain yang diduga sebagai bahasa sumbernya.
Bab I Pendahuluan
36
(c)
Unsur itu memiliki kognat dalam bahasa lain karena pewarisan dari proto bahasa yang sama, tetapi pola pewarisannya (kaidahnya) memperlihatkan kekhasan, tiak sama dengan bahasa lain yang juga sama-sama mewarisi etimon itu. Sementara
itu,
penetapan
daerah
konservatif
dilakukan
dengan
penelusuran evidensi pewarisan etimon bahasa purba dalam dialek atau subdialek sebuah bahasa. Evidensi pewarisan itu mencakup semua tingkat bahasa purba yang serumpun dari tingkat prabahasa sampai tingkat kelompok tertinggi, yaitu proto. Berdasarkan persfektif
Linguistik Historis Komparatif,
Fernandez
(1996:22) mengemukakan bahwa inovasi memiliki pembaharuan, yaitu perubahan yang memperlihatkan penyimpangan dari kaidah yang lazim berlaku. Di bidang fonologi, pembaharauan itu bertalian dengan kaidah perubahan yang mendorong pembentukan kosa kata baru sebagai penanda pengelompokan bahasa. Selain inovasi, Fernandez (1996:22) menggunakan istilah retensi untuk menamakan unsur warisan dari bahasa asal yang tidak mengalami perubahan pada bahasa sekarang. Dalam perkembangan historis bahasa sekerabat, unsur retensi bersama dapat terjadi secara mandiri tanpa melalui satu priode perkembangan yang sama. Akan tetapi, inovasi bersama yang dialami bahasa sekerabat secara ekslusif pada umumnya melalui perkembangan bersama. Oleh karena inovasi bersama yang terjadi agak terbatas, dalam hal penetapan pengelompokan bahasa sekerabat kriteria yang digunakan tidak cukup kalau hanya meliputi inovasi fonologis. Diperlukan dukungan bukti-bukti berupa inovasi leksikal yang berguna untuk
Bab I Pendahuluan
37
menjelaskan hubungan sejarah yang dialami oleh bahasa-bahasa sekerabat. Selain itu, bukti-bukti gramatikal dan semantik dapat digunakan pula untuk melengkapi kriteria pengelompokan secara fonologis dan leksikal. Selanjutnya, Fernandez mengengemukakan pula bahwa bukti-bukti yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif dapat ditelusuri secara lebih tuntas dan sistematis dalam prosedur rekonstruksi bahasa asal, sedangkan bukti-bukti kualitatif yang diperoleh melalui prosedur pengelompokan bahasa sesuai dengan perhitungan prosentase leksikostatistik digunakan dalam menetapkan pengelompokan bahasa sekerabat. Masih terkait dengan perubahan dalam bahasa, Mahsun (1995) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan bahasa, khususnya, perubahan bunyi dapat dijadikan dasar untuk penelusuran tanah asal dan arah migrasi sebuah dialek atau bahasa yang diteliti. Tanah asal dan migrasi suatu komunitas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi temporal dan sisi dinamika interaksi/komunikasi antarkomunitas. Yang dimaksud dengan sisi temporal adalah bahwa wilayah yang ditentukan sebagai tanah asal itu adalah wilayah yang lebih panjang perjalanan historisnya, dalam arti wilayah itu relatif lebih tua usianya dibandingkan dengan wilayah lain yang menjadi wilayah pakai isolek (bahasa atau dialek) itu. Usia yang panjang itu dapat diukur dari banyaknya variasi kebahasaan yang muncul di wilayah tersebut. Pandangan itu bersesuaian dengan pandangan linguistik diakronis (dialektologi diakronis dan linguistik historis komparatif), yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam suatu bahasa atau varian mengakibatkan bahasa atau varian itu tersegmentasi ke dalam beberapa bahasa atau varian yang baru. Varian baru tersebut tidaklah terjadi secara serta merta, (dalam waktu seketika), tetapi melalui
Bab I Pendahuluan
38
perjalanan historis yang berada dalam rangkaian waktu. Perubahan suatu bunyi dalam suatu kata yang berterima oleh semua penutur bahasa atau varian itu terjadi melalui proses historis. Semakin banyak perubahan yang terjadi dalam bahasa/varian itu semakin lama perjalanan waktu yang dialami oleh bahasa/varian tersebut. Oleh karena itu, semakin tua usia bahasa/varian itu dan wilayah tutur bahasa/varian itu dapat ditentukan sebagai tanah asal (homeland) dari bahasabahasa/varian-varian lain yang sekerabat dengannya. Perubahan bunyi selain ditentukan oleh perjalanan waktu, juga ditentukan oleh arah migrasi atau wilayah tujuan migrasi yang dapat dilacak dari tingkat kemiripan bahasa yang dituturkan oleh dua atau lebih subkomunitas tutur suatu bahasa yang berbeda daerah teritorialnya (Mahsun, 2010). Apabila dua atau lebih subkomunitas tutur yang berbeda, yang berasal dari satu komunitas tutur yang sama, memiliki tingkat kesamaan bahasa lebih tinggi, atau dalam istilah linguistik historis komparatif, disebut memiliki tingkat kekerabatan (cognate) kosakata yang tinggi, kedua atau lebih wilayah itu dapat dipandang sebagai wilayah-wilayah yang penuturnya berasal dari satu bahasa asal. Oleh karena itu, bahasa yang dituturkan dapat ditentukan berasal dari satu tanah asal yang sama. Penentuan tanah asal di antara wilayah-wilayah yang menjadi tanah asal persebarannya dilihat dari salah satu atau kedua kriteria. Pertama, jika wilayah itu banyak memunculkan variasi kebahasaan dan/atau wilayah itu banyak memelihara unsur relik, wilayah itu dapat ditentukan sebagai tanah asal persebaran bahasa. Kedua, wilayah lainnya yang menjadi tempat pemakaian bahasa itu, yang lebih tinggi tingkat kekerabatannya lebih tinggi atau lebih rendah perbedaannya akan
Bab I Pendahuluan
39
ditetapkan sebagai wilayah arah migrasi gelombang pertama, dan selanjutnya wilayah pakai lainnya yang lebih rendah tingkat kekerabatannya atau tinggi tingkat perbesarannya ditentukan sebagai arah migrasi gelombang kedua, dan seterusnya. Kajian ihwal tanah asal dan arah persebaran (migrasi) suku bangsa atau rumpum bangsa berjalan simultan dengan kajian ihwal tanah asal dan persebaran suatu bahasa atau rumpun bahasa. Masalah itu menjadi ciri khas utama kajian linguistik diakronis atau linguistik historis komparatif yang berkembang dengan pesat pada penghujung abad ke-19 (bandingkan Mahsun, 2000 dan Robins, 1992). OIeh karena itu, kajian tentang hal itu sudah banyak dilakukan, di antaranya oleh Kern (1889), Dyen (1956), Anceaux (1965), Blust (1996), dan Adelaar (1985). Apa yang dilakukan oleh para pakar itu adalah mencoba menjelaskan asal dan arah persebaran bahasa-bahasa rumpun Austronesia, kecuali Adelaar (1985) yang menelusuri tanah asal rumpun bahasa Melayu Purba. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan, yang dimaksud dengan migrasi dalam penelitian ini adalah perpindahan penutur satu bahasa ke wilayah di luar wilayah pakainya, baik yang bersifat eksternal maupun yang internal. Sebagai contoh perpindahan yang bersifat eksternal, misalnya, perpindahan penutur bahasa Jawa di daerah asalnya, Jawa Tengah, ke Jawa Barat, sedangkan perpindahan yang bersifat internal, misalnya, perpindahan penutur bahasa Jawa Banten di wilayah utara ke wilayah selatan dan tengah. Ketika terjadi migrasi, terdapat unsur-unsur asli bahasa tertentu yang mengalami pembaharuan karena faktor pembauran, di samping pemertahanan unsur-unsur kebahasaan aslinya. Demikian
Bab I Pendahuluan
40
pula dapat terjadi bentuk-bentuk relik bahasa Jawa yang bertahan, seperti bentuk asli di daerah asalnya di samping ditemukan pula bentuk-bentuk yang mengalami inovasi yang terjadi karena faktor pembauran. Selain
faktor
kebahasaan,
migrasi
dapat
terjadi
karena
faktor
ekstralinguistik, seperti faktor politis dan sosiokultural. Migrasi penutur bahasa Jawa ke wilayah Banten terjadi, selain karena faktor politis yang berupa ekspansi kekuasaan dan penyebaran agama, juga terjadi karena faktor sosiokultural sebagai akibat mobilitas penduduk yang disebabkan oleh kemajuan transportasi dan kepentingan industri pertambangan dan perkebunan. Hal tersebut menjadi faktor penting bagi persebaran variasi bahasa dari daerah asal ke daerah lainnya Di samping pembahasan tentang tanah asal dan arah migrasi, pembahasan tentang dialek pada suatu daerah tertentu, tidaklah bisa dilepaskan dari perluasan suatu bahasa tertentu. Dalam Kisyani (2004:11) teori yang masyhur tentang perluasan pemakaian bahasa ini dikenal dengan teori gelombang (wave theory) yang dikemukakan oleh Schmidt (1972). Menurut teori ini, bahasa-bahasa yang digunakan secara berantai pada satu wilayah tertentu dipengaruhi oleh perubahanperubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Dalam hal ini, suatu perubahan meluas seperti gelombang dari daerah inti dan tidak akan berhenti pada pada batas dialek karena kadang-kadang meluas memengaruhi lebih dari satu dialek bahkan dapat juga melampaui batas antarbahasa. Gelombang yang berurutan ini akan membentuk isoglos dan daerah yang dekat dengan pusat penyebaran akan lebih banyak menunjukkan persamaan dengan pusat penyebarannya. Sebagai akibatnya, dialek-dialek yang yang dipengaruhi akan lebih homogen. Jika ada dua daerah
Bab I Pendahuluan
41
inti, daerah inti yang satu akan memunculkan daerah transisi yang biasanya dipengaruhi oleh daerah inti yang lain yang ada di dekatnya. Daerah inti yang lebih berprestise biasanya lebih kuat pengaruhnya daripada daerah inti yang lain. Selain itu, di daerah transisi tersebut biasanya dijumpai unsur serapan yang mengindikasikan adanya kontak kultural dengan daerah inti. Keadaan tersebut dapat diartikan bahwa suatu bahasa atau dialek yang memengaruhi bahasa atau dialek yang lain akan memunculkan bentuk linguistik tertentu yang disebut sebagai unsur serapan. Pemengaruhan satu bahasa atau dialek ke bahasa atau dialek lain terjadi secara searah atau timbal balik. Nothofer (1976) secara umum mengemukakan bahwa pemengaruhan itu terjadi pada bidang fonologi dan leksikon, sedangkan perbedaan di bidang morfologi dan sintaksis terjadi secara lebih konservatif. Selain itu, pengaruh bahasa yang satu ke bahasa tertentu, yang memiliki tingkat tutur tertentu, seperti bahasa Jawa, pada bahasa yang lain memunculkan variasi bahasa yang menunjukkan adanya perbedaan tingkat tutur. Isolek Jawa-Banten tampaknya menunjukkan gejala adanya penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dalam bahasa yang dipakai masyarakat. Terkait dengan adanya variasi bahasa tersebut, Nothofer (1975) mengemukakan bahwa variasi pada bahasa Jawa-Banten terjadi karena faktor migrasi dari daerah asal yang berlangsung dalam waktu yang lebih kemudian mengakibatkan munculnya tingkat tutur, yakni penggunaan katakata kromo di samping kata-kata ngoko. Mengenai hal itu Nothofer berpendapat bahwa tingkat tutur merupakan inovasi yang agak modern.
Bab I Pendahuluan
42
Selain itu, pengaruh antardialek atau antarbahasa dapat terjadi karena faktor ekstralinguistik, seperti yang dikemukakan Labov (1994) dalam Kisyani (2004:12). Yang dimaksud dengan faktor ekstralinguistik adalah faktor geografis, budaya, mobilitas sosial, kelas sosial, sifat masyarakat pendukung, prestise, dan migrasi. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan faktor geografis adalah letak yang terpencil, gunung, sungai dan lain-lain yang dapat menjadi penyebab perbedaan. Faktor geografis bisa saja tidak menjadi penyebab terjadinya perbedaan jika sarana dan alat komunikasi memadai dan lancar. Di samping faktor ekstralinguistik, perbedaan dialek dapat terjadi karena faktor intralinguistik, seperti terjadinya proses perubahan bunyi berupa kontraksi /ua/ jadi /o/dalam bahasa Sunda dalam contoh kata karatuan > karaton
1.6 Metode Penelitian Ada dua metode yang digunakan dalam penelitian ini, yakni metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk menganalisis evidensi kebahasaan pada setiap daerah pengamatan, sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan di antara setiap daerah pengamatan. Di dalam pelaksanaannya, penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu (1) tahap pengumpulan data dan (2) tahap analisis data. Setiap tahapan memiliki metode tersendiri, yaitu metode pengumpulan data dan metode analisis data. Dalam metode pengumpulan data dibahas tentang alasan penetapan daerah pengamatan, informan, dan teknik pengumpulan data, sedangkan dalam metode analisis data, dibicarakan mengenai metode dan teknik analisis data.
Bab I Pendahuluan
43
1.6.1 Alasan Penetapan Daerah Pengamatan Ada empat daerah pengamatan (DP) yang ditetapkan dalam penelitian ini. Empat DP tersebut adalah kantong bahasa (enclave) bahasa Jawa di pesisir Banten utara sebagai daerah sentral, daerah periferal barat, daerah periferal selatan, dan daerah pesisir selatan. Daerah pengamatan di bagian utara Banten adalah desa Warung Jaud (WRJ), Kecamatan Kasemen yang ditetapkan sebagai daerah sentral daerah pengamatan 1 (DP1), sedangkan tiga daerah pengamatan lainnya adalah desa Sobang (SBG) sebagai daerah periferal barat (DP2), Desa Rancasenang (RCS), Kecamatan Cikeusik sebagai daerah periferal selatan (DP3), dan desa Darmasari (DMS), Kecamatan Bayah sebagai daerah pesisir selatan (DP4). Di Banten selatan ditetapkan dua desa, yaitu Desa Rancasenang, Kecamatan Cikeusik yang mewakili daerah pengamatan periferal. Penetapan daerah ini didasarkan pada faktor mobilitas penduduk yang kurang lancar karena desa ini terisolasi dan berada jauh dari pusat kecamatan. Daerah periferal ditetapkan sebanyak dua daerah, yaitu SBG dan RCS. Daerah periferal barat itu diduga memiliki hubungan dengan enklave Jawa di Banten utara karena letak geografisnya. Penjelasan tentang terbentuknya enklave di daerah periferal tersebut disampaikan oleh Ikhsanuddin Soenandi, S.Sos, lakilaki, Kepala Desa Sobang, usia 40 tahun, pendidikan sarjana. Adanya enklave di daerah pengamatan disebabkan oleh adanya migrasi penduduk dari daerah Cirebon dan Indramayu ke daerah tersebut melalui jalur darat, yakni dengan menggunakan alat transportasi bus sekitar tahun 1952 ke daerah SBG dan ke daerah RCS pada tahun 1962.
Bab I Pendahuluan
44
Selain itu, daerah pengamatan pesisir selatan dipilih karena letaknya yang jauh dari daerah pengamatan pertama. Daerah pengamatan ini memiliki karakteristik tersendiri karena, selain ia berada di wilayah Banten selatan, daerah tersebut terbuka karena faktor mobilitas penduduk yang tinggi terkonsentrasi di daerah tersebut sebagai ibukota kecamatan. Akses ke daerah itu mudah karena ke sana ada tranportasi yang dapat digunakan sebagai sarana angkutan penduduk. Hal itu sejalan dengan pernyataan responden, Sidik, usia 83 tahun, sebagai berikut. “Zaman dahulu ke daerah tersebut, dapat dicapai dengan memanfaatkan transportasi kereta api. Sarana transportasi kereta apilah yang menjadi fasilitas bagi para buruh industri perkebunan pada tahun 1962 yang berasal dari daerah asal wilayah pakai bahasa Jawa dari Jawa Tengah”.
Daerah utara dipilih karena daerah tersebut merupakan daerah Jawa Banten yang dalam penelitian ini ditetapkan sebagai daerah sentral. Adapun daerah pakai bahasa Jawa-Banten di tengah merupakan daerah pengamatan yang ditengarai mendapat pengaruh bahasa Sunda. Adanya kontak bahasa antara penutur bahasa Sunda dan bahasa Jawa-Banten dikarenakan daerah itu berada di tengah-tengah wilayah pakai bahasa Sunda. Berdasarkan informasi dari Michrob dan Chudari (1990), enklave Jawa-Banten di utara merupakan enklave pertama yang ditengarai mencapai Jawa Barat pada masa ekspansi Cirebon-Demak sekitar abad XV di bawah penaklukan Sultan Trenggono dari Demak yang kemudian mencapai Banten (yang kala itu adalah Jawa Barat) di bawah kekuasaan Kesultanan Demak.
Bab I Pendahuluan
45
Selanjutnya. Di sini perlu disinggung tentang hubungan daerah pengamatan enklave Jawa Banten di wilayah utara yang diduga merupakan daerah tujuan migrasi awal bahasa Jawa di masa kekuasaan Sultan Trenggono di Demak yang berniat melakukan ekspansi ke wilayah Pajajaran yang sekarang Jawa Barat. Daerah-daerah tersebut merupakan tempat pijakan untuk melanjutkan ekspansi dari Kesultanan Demak ke arah barat, termasuk daerah Banten di wilayah Pajajaran. Daerah pengamatan Banten utara diduga merupakan tumpuan penyebaran variasi bahasa Jawa ke daerah pengamatan tengah dan selatan. Persebaran variasi bahasa di beberapa enklave Jawa di Banten tersebut diduga bermula dari daerah pengamatan di wilayah utara yang kemudian menyebar ke wilayah selatan. Berdasarkan evidensi unit-unit lingual yang ditemukan, variasi unit lingual di wilayah selatan masih lebih banyak memiliki kemiripan dengan yang terdapat di tanah asal bahasa Jawa. Daerah pengamatan pesisir selatan diduga dipengaruhi bahasa Sunda karena adanya kontak bahasa yang intensif di antara penduduk daerah pengamatan itu dengan daerah sekitarnya. Selain itu, perlu dicatat pula bahwa daerah pengamatan periferal selatan ditetapkan sebagai daerah pengamatan karena persebaran bahasa Jawa-Banten ke wilayah periferal itu terjadi karena sebagai akibat adanya mobilitas penduduk yang didukung oleh adanya transportasi kereta api yang menjadi sarana angkutan bagi para buruh industri perkebunan karet sejak zaman kolonial Belanda, bukan melalui migrasi yang melewati pesisir barat (lihat Suryadi, 1997). Daerah ini tidak memiliki hubungan dengan persebaran variasi Jawa di daerah pengamatan di wilayah periferal. Hal itu disebabkan karena keadaan geografis pesisir barat dan
Bab I Pendahuluan
46
pesisir selatan sulit untuk dilalui dengan transportasi laut. Berdasarkan catatan di lapangan, informasi yang diperoleh dari para informan di daerah periferal selatan menjelaskan bahwa bahasa Jawa Banten yang digunakan di daerah periferal itu tidak menyebar melalui pesisir barat ke pesisisr selatan karena, selain kendala letak geografis yang sulit dijangkau oleh transportasi laut saat itu, juga karena penyebaran variasi bahasa Jawa melalui pesisir barat sulit dilakukan karena terkendala oleh kondisi alam yang tidak mampu diatasi penduduk di pesisir barat. Tertutup kemungkinan penyebaran variasi Jawa-Banten di daerah periferal selatan terjadi dari arah barat. Hal ini dibuktikan dengan adanya evidensi unit-unit lingual yang memperlihatkan ciri yang berbeda antarvariasi yang ada di daerah periferal barat dengan variasi yang ada di daerah pesisir selatan. Sementara itu, alasan pemilihan daerah pengamatan di daerah periferal barat adalah karena faktor letak geografis enklave Jawa Banten di daerah periferal barat yang cenderung lebih dekat dengan pesisir barat. Karakteristik unit-unit lingual pada bahasa Jawa-Banten di daerah periferal barat tetap memperlihatkan karakteristik bahasa Jawa di daerah asalnya. Oleh karena situasi kebahasaan di daerah periferal barat juga dilatarbelakangi oleh migrasi penduduk dari daerah asal bahasa Jawa, penyebaran bahasa Jawa-Banten di wilayah itu tidak terlepas dari karakteristik bahasa Jawa.
1.6.2 Wujud dan Sumber Data Pengamatan data dalam penelitian ini ditujukan pada wujud satuan lingual bahasa Jawa di setiap daerah pengamatan. Ada dua jenis data yang dijadikan
Bab I Pendahuluan
47
bahan analisis, yakni data satuan-satuan lingual setiap isolek Jawa-Banten dan data ekstralinguistik yang menjadi data sekunder berupa data historis yang diperoleh dari pustaka dan informasi dari informan. Di daerah pengamatan pesisir utara Banten, perolehan data cenderung berbeda dari daerah pengamatan yang lain. Perbedaan itu terletak pada banyaknya kosakata pinjaman dari bahasa Melayu, seperti kata debu, pasir, dan bahasa Arab, seperti kata wafat dan abah. unsur pinjaman daerah pengamatan lebih mirip denga lokasi enklave Jawa-Banten di daerah periferal selatan. Selain satuan-satuan lingual tersebut, terdapat data lain yang diperoleh dari referensi dan dokumentasi hasil penelitian terdahulu. Data tersebut ditetapkan sebagai sebagai data sekunder karena mengandung informasi yang bersifat kesejarahan yang dapat dimanfaatkan untuk melengkapi penafsiran data primer. Selain itu, perolehan data yang bersifat kesejarahan melalui wawancara dengan responden yang diseleksi juga digunakan untuk melengkapi informasi yang menguatkan data primer yang ada. Seperti yang telah dikemukakan, data penelitian ini berwujud satuansatuan lingual sebagai data primer dan data historis sebagai data sekunder yang berkaitan dengan keberadaan, asal-usul, motif, dan moda migrasi penutur bahasa Jawa-Banten. Data jenis pertama diperoleh dari tiga informan di setiap daerah pengamatan, satu informan utama dan yang lainnya informan pendamping. Sementara itu, data jenis kedua diperoleh dari hasil kajian pustaka tentang sejarah Kesultanan Banten dan Cirebon.
Bab I Pendahuluan
48
1.6.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam tahap penyediaan data dilakukan di empat daerah pengamatan dengan menggunakan instrumen penelitian berupa instrumen yang berupa daftar isian yang disiapkan dengan mengacu pada, selain daftar kosakata dasar Swadesh juga daftar kosakata budaya yang biasa yang lazim dipakai oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Instrumen ini dipandang memadai untuk dijadikan alat penjaringan kosakata yang lebih banyak dibandingkan dengan hanya 200 kosakata yang dipakai Swadesh. Metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7) menggunakan istrumen yang telah disediakan. Dalam pelaksanaan di lapangan, metode ini diaktualisasi dalam bentuk cakap semuka. Ayatrohaedi (1985:24) menyebut teknik ini dengan pupuan lapangan. Dengan teknik ini, peneliti dan informan terlibat dalam suatu percakapan yang bersifat informal dan secara kekeluargaan serta berlangsung secara alamiah (Moleong, 1988:25—27). Dalam percakapan pada waktu pengambilan data, informan secara sadar atau tidak, dipancing untuk mengungkapkan informasi yang mengandung data yang diharapkan tanpa harus dipaksa. Selanjutnya, informasi yang mengandung data tersebut dicatat dan direkam. Perekaman dilakukan agar data yang diperoleh lebih akurat (sahih) terutama yang menyangkut pelafalan bunyi bahasa. Hasil perekaman digunakan untuk pengecekan ulang bunyi-bunyi yang diucapkan oleh responden jika peneliti merasa ragu terhadap kebenaran data.
Bab I Pendahuluan
49
Untuk memperoleh data yang sahih dan lengkap, diperlukan daftar pertanyaan (instrumen penelitian) sebagai alat pengumpul data. Seperti yang telah disampaikan bahwa alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas daftar 200 kosakata dasar Swadesh dan daftar kosakata budaya dasar sebanyak 878. Jumlah data penelitian ini sebanyak 1.078. Daftar 200 kosakata dasar Swadesh digunakan untuk menjaring data awal dan daftar kosakata budaya dasar digunakan untuk memperoleh data tambahan. Data awal yang lebih bersifat kuantitatif diperlukan dalam rangka untuk menentukan perbedaan variasi dialektal, status setiap isolek, hubungan kekerabatan. Lebih lanjut, data tersebut dianalisis secara kualitatif untuk menemukan sistem perubahan bunyi yang terjadi pada setiap isolek yang dibandingkan. Sebelum pengumpulan data dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan cara atau metode penentuan subjek penelitian yang berfungsi sebagai informan. Metode penentuan subjek penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan adalah metode percontohan (sampling). Dengan metode tersebut, peneliti tidak menjadikan semua penduduk di empat daerah pengamatan yang berbahasa ibu Jawa-Banten sebagai informan. Beberapa informan ditetapkan sebagai wakil seluruh populasi pemakai bahasa yang diteliti dengan memperhatikan pusat-pusat penyebaran bahasa itu. Teknik yang digunakan untuk menentukan jumlah anggota sampel dan individu yang ditetapkan sebagai informan adalah teknik purposif sampling (Faisal, 1990:56). Teknik ini mengisyaratkan agar dalam menentukan jumlah dan anggota informan tidak berdasarkan representasi atas generalisasi yang berlaku bagi populasi. Teknik ini juga tidak menghendaki secara
Bab I Pendahuluan
50
acak atau random yang bersifat probability dalam pengambilan anggota informan. Pengambilan jumlah dan anggota informan lebih ditekankan atas dasar relevansi dengan tujuan dan aspek kebahasaan yang diharapkan. Jumlah informan bisa sangat sedikit, tetapi bisa juga sangat banyak, Hal itu berarti bahwa informan sangat bervariasi dalam setiap daerah pengamatan yang diteliti. Semua itu sangat bergantung pada dua hal, yakni (1) ketepatan pemilihan informan itu sendiri, dan (2) keragaman fenomena kebahasaan yang diteliti. Bila pemilihan informan jatuh pada subjek yang mampu mengungkap semua fenomena kebahasaan dengan segala aspeknya dan dianggap memadai, tidak perlu melacak informasi lain melalui informan yang lain karena pada akhirnya tidak akan ditemukan informasi baru untuk itu. Akan tetapi, jika data yang diperoleh dari informan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya belum memenuhi kelengkapan informasi yang diharapkan, pemilihan informan terus dilakukan sampai pada batas kelengkapan. Dengan demikian, yang menjadi ukuran jumlah anggota informan adalah terletak pada ketuntasan perolehan informasi fenomena kebahasaan setiap bahasa yang diteliti. Berdasarkan kriteria itu, secara umum penentuan informan dilakukan dalam tiga tahap: (1) pemilihan informan awal untuk memperoleh data dan informasi dasar, (2) pemilihan informan lanjutan guna memperluas informasi dan melacak segenap fenomena kebahasaan yang ada pada masing-masing bahasa yang diteliti, dan (3) menghentikan pemilihan informan lanjutan, jika sekiranya tidak ditemukan lagi informasi baru yang relevan. Selanjutnya, sesuai dengan yang disarankan dalam pemilihan sampel, informan harus memenuhi kriteria tertentu, seperti memiliki kapabilitas, bersedia
Bab I Pendahuluan
51
dan mempunyai waktu, aksesibilitas, dan permisif (Faisal, 1990:58—61). Selain kriteria tersebut, informan juga harus memenuhi beberapa syarat. Syarat yang dimaksud meliputi (a) setiap informan minimal berumur empat puluh tahun, (b) memiliki organ bicara dan mental yang normal, (c) orangtua, istri atau suami, dan yang bersangkutan lahir dan dibesarkan di desa atau daerah pemakaian bahasa yang diteliti serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya dalam waktu lama, dan (d) memiliki kebanggaan terhadap bahasa daerahnya, dalam arti yang bersangkutan selalu berusaha menggunakan bahasa daerahnya dalam setiap kesempatan (Mahsun, 2005: 141). Untuk mendapatkan informan yang telah ditentukan, dapat diminta bantuan informan kunci, seperti para kepala desa setempat. Untuk memastikan apakah informan tersebut layak dijadikan informan dalam penelitian ini, setiap informan diberi kesempatan untuk melafalkan angka dari satu sampai sepuluh dengan baik dan benar sesuai dengan bahasa yang dimilikinya. Melalui cara ini peneliti dapat mengetahui apakah informan tersebut layak dijadikan informan dalam penelitian ini (Mahsun, 1993:48). Untuk itu, dengan berpegang pada data yang berupa data kebahasaan, pengambilan data dilakukan langsung ke lapangan dengan cara mendatangi setiap responden yang tinggal desa-desa yang menjadi sampel penelitian. Kepada para responden tersebut diberi pertanyaan dari instrumen yang telah disiapkan. Pertanyaan lebih difokuskan pada penyebutan setiap kosakata yang didaftar di dalam instrumen. Bagaimana melafalkan kosa-kata yang ditanyakan menjadi hal sangat penting diketahui dalam penelitian ini mengingat tujuan penelitian ini
Bab I Pendahuluan
52
adalah mendeskripsikan satuan-satuan lingual dalam bidang fonologi, morfologi dan leksikon. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa satuan bahasa yang menjadi unit utama analisis adalah fonologi dan leksikon. Dalam penelitian ini diambil tiga orang informan, satu sebagai informan utama dan dua informan pendamping. Jumlah responden itu sudah dipandang cukup representatif karena penelitian yang dilakukan Samarin (1988), misalnya, hanya memanfaatkan satu orang informan. Informan di setiap desa yang dipilih tersebut diminta mencari padanan kata-kata bahasa Indonesia (pada bentuk instrumen penelitian) ke dalam bahasa setempat dari 200 kosakata dasar Swadesh dan 878 kosakata budaya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil modifikasi dari instrumen yang digunakan Pusat Bahasa dalam kegiatan pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia. Pengambilan data yang berupa kosakata yang dituangkan dalam senarai kata dilakukan karena penelitian ini hanya akan memusatkan diri pada analisis tataran fonologi dan leksikon. Pemilihan analisis pada kedua tataran itu dilakukan karena, secara diakronis, bahasa-bahasa di dunia ini lebih banyak berbeda pada bidang fonologi dan leksikon daripada perbedaan pada bidang gramatika dan semantik. Jawaban informan terhadap pertanyaan pada instrumen penelitian direkam dan ditranskripsi secara fonetis. Adapun data kesejarahan didapat dari buku-buku referensi sejarah hadirnya penutur bahasa Jawa di daerah penelitian. Penguatan data kesejarahan diperoleh juga melalui wawancara terbuka dengan beberapa narasumber atau masyarakat yang dianggap layak memberikan informasi yang diperlukan. Selain itu, sebagai pendukung terhadap adanya migrasi
Bab I Pendahuluan
53
penutur bahasa Jawa-Banten disajikan pula beberapa data pendukung berupa gambar simbol-simbol kebudayaan penduduk di daerah pengamatan. Simbolsimbol tersebut selanjutnya dapat dijadikan bukti pendukung sekaligus penguat terbentuknya enklave bahasa Jawa di Banten.
1.6.4 Analisis Data Mahsun (2005:112) mengemukakan bahwa untuk melihat perbedaan kebahasaan dapat dimanfaatkan metode padan intralingual (PI). Padan merupakan kata yang bersinonim dengan kata banding dan sesuatu yang dibandingkan mengandung makna keterhubungan, sedangkan intralingual mengacu pada unsurunsur yang berada dalam bahasa yang dibedakan dari unsur-unsur yang berada di luar bahasa. Dengan demikian, (Mahsun 2005:112) mendefinisikan metode Padan Intralingual sebagai metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsurunsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda. Seperti yang dikemukakan Mahsun (2005), baik untuk menentukan analisis deskripsi perbedaan unsur kebahasaan yang berupa perbedaan fonologis dan leksikal maupun untuk merekonstruksi bahasa purba dan menetukan daerah yang inovasi dan konservatif digunakan metode padan intralingual (P1) dengan teknik dasar hubung banding intralingual (THBI) dan teknik lanjutan hubung banding (HB) membedakan (HBB) dan hubung banding menyamakan (HBS). Pelaksanaannya dilakukan melalui cara identifikasi bentuk-bentuk yang menjadi realisasi dari suatu makna tertentu pada setiap daerah pengamatan. Bentuk
Bab I Pendahuluan
54
realisasi yang berbeda dari satu daerah pengamatan dengan daerah pengamatan lainnya didaftarkan dalam satu tabel tabulasi data, sedangkan bentuk realisasi makna tertentu yang tidak memperlihatkan perbedaan diabaikan (tidak didaftarkan). Ada dua jenis lembar tabulasi yang berhubungan dengan deskripsi perbedaan unsur kebahasaan. Lembar tabulasi pertama disebut tabulasi tahap I atau peta verbal I. Peta I tersebut berisi hal-hal yang terkait dengan kode glos, yakni bentuk yang menjadi realisasi makna tertentu itu menurut daerah pengamatannya. Pada lembar tabulasi tahap I itu semua bentuk yang menjadi realisasi makna/glos tertentu diurutkan menurut bentuk-bentuk yang dihipotesiskan sebagi bentukbentuk yang diturunkan dari sebuah bentuk purba. Dengan kata lain, realisasi makna/glos tersebut diurutkan menurut bentuk-bentuk yang diduga berasal dan satu etimon. Untuk jelasnya ditampilkan contoh format tabulasi data tahap I sebagai berikut. TABULASI TAHAP I No. Kode Glos I. Kosa Kata Dasar 1. 1.199 ‘ular’
2. I.26 ‘bengkak’
Bentuk Realisasi
Daerah Pengamatan
ul| ula? ulO abOh abUh abuh
1 2, 3 4 1 2,3 4
Keterangan: 1: Desa Warung Jaud 2: Desa Sobang 3: Desa Rancasenang 4. Desa Darmasari
Pada tabulasi tahap I atau peta verbal I terlihat bahwa bentuk-bentuk yang menjadi realisasi glos/makna ‘ular’ diurut menurut bentuk-bentuk yang seetimon. Bab I Pendahuluan
55
Itu sebabnya betuk ul| berurutan letaknya dengan bentuk ula? dan ulO karena kedua bentuk ini diduga berasal dari satu etimon yang sama. Hal yang sama terjadi pula pada bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna ‘bengkak’. Bentuk abOh diurut letaknya dengan bentuk abUh dan abuh karena kedua bentuk itu diduga berasal dari satu etimon yang sama. Apa yang tergambar pada tabulasi tahap I itu merupakan klasifikasi data lapangan yang belum mencerminkan kategorisasi data atas dasar aspek linguistik yang dideskripsikan perbedaannya. Hal itu berarti bahwa pada deskripsi perbedaan unsur kebahasaan pada tabulasi tahap I belum terlihat mana perbedaan fonologi dan mana perbedaan leksikon. Dengan kata lain, belum diperoleh gambaran, bentuk mana yang berbeda secara fonologis, dan bentuk yang mana berbeda secara leksikal. Oleh karena unit analisis penelitian ini adalah perbedaan fonologi dan leksikon, seperti yang dikemukakan Mahsun (2005) tabulasi tahap II dilakukan melalui tahapan sebagai berikut. (1)
Penentuan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang diduga merupakan refleks dari etimon yang sama;
(2)
Penentuan secara hipotetis bentuk yang lebih kompleks sebagai bentuk yang menjadi asal/etimon dan bentuk-bentuk seetimon tersebut;
(3)
Pemilihan bentuk yang lebih kompleks sebagai bentuk etimonnya didasarkan pada pandangan historis bahwa kecenderungan universal bahasa berkembang dari bentuk yang lebih kompleks ke bentuk yang lebih sederhana (dan bentuk yang panjang ke bentuk yang lebih pendek);
Bab I Pendahuluan
56
(4)
Penentuan pasangan perubahan bunyi dalam pembuatan kaidah fonologis juga didasarkan pada pandangan historis bahwa bunyi konsonan akan berubah atau selalu muncul sebagai konsonan bukan sebagai vokal dan bunyi vokal akan berubah atau selalu muncul sebagai vokal, bukan sebagai konsonan;
(5)
Pembuatan kaidah perbedaan fonologi dengan mengidentifikasi perbedaan pada posisi awal, menyusul ke posisi tengah (antarvokal atau antarkonsonan), dan akhir baik dalam silabe ultima, penultima, maupun antepenultima.
(6)
Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu kemungkinan perumusan, setiap perumusan ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda.
(7)
Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi tentang bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta sebaran geografisnya.
(8)
Setiap kelompok yang memiliki lebih dari satu refleks harus dikaidahkan (kecuali refleks-refleks dari etimon itu memiliki sebaran geografis yang sama).
(9)
Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimonnya ditempatkan dalam alternatif pemetaan yang berbeda, selama bentuk-bentuk yang seetimon itu dapat dikaidah secara lengkap: posisi awal, tengah, dan akhir.
Bab I Pendahuluan
57
(10) Apabila hanya dapat dikaidahkan satu kali, kaidah itu akan muncul berulang-ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda, sejumlah kemungkinan pemetaan bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut. (11) Urut-urutan bunyi dalam perumusan kaidah harus konsisten. Artinya, apabila pada perumusan dalam glos/makna tertentu digunakan urutan kaidah: O~U/-K#, pada alternatif pemetaan glos lainnya harus mengikuti urutan tersebut. Tentang mana yang lebih dahulu [O] atau [U] atau sebaliknya tidaklah menjadi persoalan karena pembedaan pada tataran itu masih bersifat horizontal bukan vertikal, yang penting selalu konsisten dengan pengurutan tersebut. (12) Deskripsi perbedaan unsur kebahasaan dalam bentuk tabulasi I dan tabulasi ll, kedua-duanya, disebut sebagai peta verbal karena kedua-duanya memperlihatkan semua bentuk yang menjadi realisasi makna itu ditampilkan disertai dengan tempat bentuk itu digunakan. Hanya saja, tampilannya tidak dalam bentuk peta geografis, tetapi terurai secara verbal.
Penerapan prinsip-prinsip di atas dapat terlihat dalam tabulasi atau peta verbal kedua berikut. TABULASI TAHAP II PERBEDAAN FONOLOGI A. Perbedaan yang Berupa Korespondensi No. Kode Glos Bentuk Realisasi
Daerah Pengamatan
I. Kosakata Dasar 1. l.199 ‘ular’
| ~ a/-#
2. I. 26 ‘bengkak’
ul| Ula ulO O~U~u /-K#
Bab I Pendahuluan
1 2 3
58
abOh abUh Abuh
1 2 3
Untuk menentukan status isolek Jawa-Banten itu sebagai bahasa, dialek atau subdialek, digunakan teknik dialektometri. Teknik dialektometri5 juga digunakan untuk mengidentifikasi variasi dialektal/subdialektal yang mungkin terdapat di antara keempat daerah pakai isolek Jawa di wilayah Banten tersebut. Selain itu, dialektometri juga digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan antara isolek yang satu dengan isolek lainnya. Mengingat bahwa banyak versi kategori dalam penentuan status dialek atau subdialek, penelitian ini akan berpedoman pada kategori yang dikemukakan Guiter, dengan mengabaikan pembedaan kategori perbedaan fonologi dengan leksikon. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini. (S x 100) = d% n Keterangan: S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain N = jumlah peta yang diperbandingkan d = jarak kosa kata dalam persentase
Hasil yang diperoleh yang berupa persentase jarak unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu selanjutnya digunakan untuk menentukan hubungan antardaerah pengamatan tersebut dengan kriteria sebagai berikut. 81% ke atas
5
: dianggap perbedaan bahasa
Dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat tersebut (Ayatrohaedi (1983) dalam Mahsun (11995:118).
Bab I Pendahuluan
59
51-80%
: dianggap perbedaan dialek
31-50%
: dianggap perbedaan subdialek
21-30%
: diangggap perbedaan wicara
di bawah 20% : dianggap tidak ada perbedaan
Alasan tidak digunakan pembedaan antara kategori persentase fonologi dengan persentase leksikon seperti yang diperlihatkan Guiter ialah karena pembedaan semacam itu tidak cocok dengan realita perubahan bahasa. Apabila Guiter berasumsi bahwa perbandingan antara perbedaan fonologi dan leksikon adalah 1:5, yang berarti satu perbedaan fonologi sama dengan lima perbedaan leksikon baru berlaku jika perubahan dalam bahasa yang dapat memunculkan perbedaan itu berlangsung secara teratur. Adapun penelahaan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan yang diasumsikan Guiter itu tidak terbukti karena perubahan yang banyak terjadi dalam bahasa-bahasa yang berkerabat bersifat tidak teratur. Lebih banyak perubahan yang bersifat sporadik (tidak teratur) daripada perubahan yang bersifat teratur atau korespondensi (Mahsun, 2007). Lebih lanjut Mahsun (1995) mengemukakan bahwa dalam pemanfaatan metode dialektometri, diperlukan langkah yang diterapkan pada setiap glos yang akan dipetakan. Pertama-tama yang dilakukan adalah memilih salah satu dari sejumlah kemungkinan pemetaan yang dapat dilakukan dalam setiap glos. Hal ini dimaksudkan, karena suatu glos tertentu, memiliki alternatif pemetaan lebih dari satu, sedangkan untuk keperluan analisis data selanjutnya hanya diperlukan satu peta untuk setiap glosnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu pegangan dalam memilih salah satu dari alternatif pemetaan yang terdapat dalam setiap glosnya.
Bab I Pendahuluan
60
Adapun pegangan dalam memilih salah satu dari keseluruhan alternatif pemetaan itu adalah sebagai berikut. a.
Dipilihlah alternatif peta yang kaidahnya sama dengan kaidah dalam alternatif pemetaan pada glos lainnya. Pengertian sama di sini tidak hanya sama kaidahnya, tetapi sama daerah pengamatan yang disatukan oleh kaidah tersebut. Prinsip ini bermanfaat untuk mengidentifikasi peta yang berupa korespondensi.
b.
Apabila tidak ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos itu, maka Iangkah selanjutnya ialah memilih alternatif peta yang secara bersama-sama mempersatukan daerah pengamatan yang sama atau relatif sama.
c.
Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, glos sisanya yang belum ditentukan alternatif pemetaan yang akan dipilih ditentukan dengan tetap mempertimbangkan akan adanya dukungan bagi penetapan daerah pengamatan atau kelompok daerah pengamatan tertentu sebagai daerah pakai isolek yang sama atau berbeda dengan Iainnya. Apabila langkah itu tidak memungkinkan, maka akan dipilih alternatif pemetaan secara mana suka.
Langkah-langkah analisis di atas dilakukan secara hierarkis, artinya langkah (a) lebih dahulu, setelah itu diikuti langkah (b) dan (c). Setelah tahaptahap di atas dilakukan, tahap selanjutnya adalah penerapan metode dialektometri. Selain itu, analisis pengelompokan daerah pengamatan menjadi satu wilayah pakai isolek yang sama (dialek/subdialek) akan digunakan metode analisis kualitatif, yang berupa inovasi bersama.
Bab I Pendahuluan
61
Selain digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya variasi dialektal atau subdialek yang terdapat di antara keempat isolek Jawa di Banten tersebut, analisis dialektometri juga digunakan untuk memastikan status keempat isolek yang diduga sebagai bahasa Jawa Banten apakah sebagai dialek atau subdialek. Analisis data dengan menggunakan dialektometri digunakan untuk menetapkan status dialektal setiap daerah pengamatan. Dialektometri itu juga dapat digunakan untuk melihat kekerabatan dialek atau subdialek yang diamati yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk pembuatan pohon kekerabatannya. Sekalipun penelitian ini merupakan ranah dialektologi, di dalam analisis data untuk melihat unit-unit lingual bersifat relik dan inovasi, diperlukan pemanfaatan teknik yang lazim digunakan di dalam kajian linguistik historis komparatif yang dikenal dengan teknik pantulan (lihat Mbete, 1990, hal 36). Teknik itu digunakan untuk melihat keterhubungan setiap variasi yang ada pada setiap dialek dengan prabahasanya. teknik pantulan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deduktif (pendekatan top-down rekonstruksi). Untuk menentukan hubungan kekerabatan, di dalam penelitian ini analisis berdasarkan penghitungan dilektometri tidak dapat digunakan untuk menentukan tanah asal atau migrasi bahasa Jawa-Banten karena (a) tanah asal bahasa yang digunakan di keempat daerah pengamatan berbeda satu dengan yang lainnya, (b) perbedaan hasil penghitungan berdasarkan dialektometri terhadap empat daerah pengamatan tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan daerah yang satu menjadi tanah asal bagi adanya sebaran ke daerah lain. Akan tetapi, hasil
Bab I Pendahuluan
62
penghitungan dialektometri dapat menjadi dasar bagi penentuan daerah inovasi dan daerah yang konservatif dari isolek-isolek yang diamati.
1.7 Sistematika Penyajian Hasil penelitian ini disusun dalam lima bab dengan penyajian sebagai berikut. Pada Bab I dikemukakan pendahuluan yang berisi latar belakang, masalah dan ruang lingkup, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Bab II menyajikan gambaran sekilas tentang daerah pengamatn penelitian yang diawali dengan latar sejarah keberadaan Provinsi Banten. Dilanjutkan dengan uraian tentang keempat daerah pengamatan, yakni Kelurahan Warung Jaud, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Desa Rancasenang, Kecamatan Cikeusik Kabupaten Pandeglang, dan Desa Darmasari, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak. Selain itu, pada bab II ini juga dikemukakan sekilas tentang latar sejarah migrasi penduduk dari daerah lain ke Provinsi Banten n berdasarkan fase, motif, dan moda. Adanya migrasi tersebutlah yang memunculkan terbentuknya beberapa enklave bahasa Jawa-Banten setakat ini. Bab III berisi penyajian hasil analisi terhadap isolek Jawa Banten di empat daerah pengamatan berupa deskripsi perbedaan unsur-usnsur lingual di keempat daerah pengamatan, penentuan status isolek empat daerah pengematan, penentuan hubungan kekerabatan setiap dialek berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, dan rekonstruksi prabahasa Jawa Banten berdasarkan pohon kekertabatan yang meliputi bidang fonologi dan leksikon.
Bab I Pendahuluan
63
Bab IV mendeskripsikan refleks prabahasa Jawa-banten pada setiap dialeknya dan menetapkan daerah inovasi dan daerah konservatif dari keempat daerah pengamatan. Bab V merupakan bagian akhir dari laporan penelitian terhadap enklave Jawa di Banten. Bab terakhir ini berisi kesimpulan dan saran bagi berbagai pihak yang terkait dengan kepentingan penelitian, pembelajaran, dan penentuan kebijakan bagi pengembangan dan pembinaan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, khususnya di Provinsi Banten.
Bab I Pendahuluan