1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk yang memerlukan gerak dan berpindah tempat. Aktivitas pergerakan normal sangat diperlukan dalam menunjang kegiatan sehari-hari. Pergerakan yang dilakukan baik secara volunter maupun involunter dipengaruhi oleh interaksi organisme dengan sekitarnya. Gangguan gerak pada manusia dapat disebabkan oleh beberapa penyakit dimana salah satunya adalah stroke. Stroke adalah penyakit multifaktorial dengan berbagai penyebab disertai manifestasi klinis mayor, dan penyebab utama kecacatan dan kematian di negara-negara berkembang (Saidi et al., 2010). World Health Organization (2006), mendefinisikan stroke sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Setiap tahun, kurang lebih 15 juta orang di seluruh dunia terserang stroke. Tercatat di Amerika Serikat sekitar 5 juta orang pernah mengalami stroke, sedangkan di Inggris sekitar 250.000 orang (WHO, 2010). Stroke menyerang 35,8 % pasien usia lanjut dan 12,9 % pada usia yang lebih muda. Jumlah total penderita stroke di Indonesia diperkirakan 500.000 setiap tahun di Indonesia (Hasnawati et al., 2009). Dari jumlah itu, sekitar 2,5% atau 250.000 orang meninggal dunia, dan sisanya megalami cacat ringan maupun berat.
1
2
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskerdas) (2008), prevalensi stroke di indonesia pada tahun 2007 mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk dan pada tahun 2011 stroke menjadi penyebab pertama kematian di indonesia. Kemungkinan meninggal akibat stroke adalah 30% - 35%, dan kemungkinan mengalami kecacatan mayor adalah 35% - 40% (Wolf et al., 2000). Stroke atau Cerebro Vascular Accident (CVA), merupakan gangguan sistem saraf pusat yang paling sering ditemukan dan merupakan penyebab utama gangguan aktivitas fungsional pada orang dewasa (Irfan, 2010). Empat juta orang Amerika mengalami defisit neurologi akibat stoke, dan dua per tiga dari defisit ini bersifat parah, (National Rural Health Association, 2001). Delapan puluh persen penderita stroke mempunyai defisit neuromotor sehingga memberikan gejala kelumpuhan sebelah badan dengan tingkat kelemahan bervariasi dari yang lemah hingga berat, kehilangan sensibilitas, kegagalan sistem koordinasi, gangguan keseimbangan, dan perubahan pola jalan, (Arif, 2008). Permasalahan yang ditimbulkan oleh stroke bagi kehidupan manusia sangat kompleks. Adanya gangguan-gangguan fungsi vital otak seperti gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan, gangguan kontrol postur, gangguan sensasi, gangguan refleks gerak akan menurunkan kemampuan aktivitas fungsional individu sehari-hari, (Irfan, 2010). Akibat adanya gangguan vital otak, maka penderita stroke melakukan aktivitas berjalan dengan pola yang abnormal, (Leonard, 1998).
3
Pasien dengan kondisi stroke akan mengalami banyak gangguangangguan yang bersifat fungsional. Kelemahan ekstremitas sesisi, kontrol tubuh yang buruk serta ketidakstabilan pola berjalan merupakan aspek-aspek pada pasien post stroke yang tak terpisahkan, (Irfan, 2010). Fokus
dari
rehabilitasi
stroke,
khususnya
fisioterapi
adalah
memperbaiki permasalahan gerak yang terkait dengan fungsional pada kondisi stroke, seperti halnya permasalahan kemandirian dalam berjalan terkait dengan kekuatan anggota gerak bawah, (Jorgensen et al.,1995). Rehabilitasi harus dimulai sedini mungkin secara cepat dan tepat sehingga dapat membantu pemulihan fisik yang lebih cepat dan optimal, serta menghindari kelemahan otot yang dapat terjadi apabila tidak dilakukan latihan rentang gerak setelah pasien terkena stroke (Irfan, 2010). Banyak penelitian menunjukkan rehabilitasi pada stroke efektif dan dapat memperbaiki fungsi. Perbaikan motorik yang stabil dapat dicapai segera setelah fase perbaikan yang progresif. Banyak perbaikan yang dicapai dalam 3 (tiga) bulan pertama, dan hanya perbaikan minimal yang terjadi setelah 6 (enam) bulan dari serangan. Pada beberapa pasien diperlukan waktu lebih lama untuk menunjukkan perbaikan gerakan volunter yang signifikan (Bruno, 2007). Dalam intervensi fisioterapi dikenal penanganan secara konvensional. Aplikasi yang paling umum diberikan adalah terapi latihan menggunakan teknik Range of Motion exercise. Irdawati, (2008), dengan memberikan perlakuan melatih Range of Motion (ROM) terhadap pasien post stroke selama
4
12 hari didapatkan hasil bahwa kekuatan otot setelah terapi latihan jauh lebih tinggi daripada sebelum terapi. Dalam penelitian yang lain Yulinda (2009), mendapatkan peningkatan yang signifikan pada perbaikan kekuatan otot dan status fungsional pasien post stroke iskhemik, setelah dilakukan terapi latihan selam empat minggu. Banyak teknik yang telah dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan motorik pasien post stroke, salah satunya adalah penggunaan Kinesiotaping untuk meningkatkan kemampuan sensomotoris pasien post stroke. Kinesiotaping pada awalnya hanya digunakan pada dunia olahraga. Tetapi terdapat beberapa penelitian yang menggunakan Kinesiotaping sebagai salah satu metode untuk rehabilitasi pasien post stroke. Ewa dan Carol (2006), mengatakan bahwa Kinesiotaping dapat meningkatkan propioseptif feedback sehingga menghasilkan posisi tubuh yang benar, hal ini menjadi hal yang sangat dasar yang diperlukan ketika latihan untuk mengembalikan fungsi dari extrimitas dilakukan. Peningkatan propioseptif feedback ini tidak hanya meningkatkan kemampuan pasien dalam meraih, menahan, dan memanipulasi sebuah benda tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk berdiri dan berjalan. Halseth et al. (2004), dalam penelitiannya mengatakan bahwa Kinesiotaping dapat memunculkan posisi sendi pada ankle dengan gerakan lateral dan plantar fleksi untuk meningkatkan propioception. Dalam penelitian lain, Cowderoy et al. (2009) mengatakan bahwa Kinesiotaping dapat
5
meningkatkan sensitivitas perceptual-motor propioception dalam melakukan sudut kecil. Fisioterapist juga dapat memberikan berbagai metode lain seperti metode Rood, metode Johnstone, metode brunnstrom, metode bobath, metode Propioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF) dimana menggunakan pendekatan reflek dan teori hierarki motor control, sedangkan metode yang lain seperti Motor Relearning Programme (MRP) menggunakan pendekatan motor control dan motor learning. Teknik Motor Relearning Programme (MRP) lebih dipilih karena dianggap lebih cepat dalam perbaikan motorik pasien post stroke. Hal ini sesuai dengan penelitian Langhamer dan Stanghelle (2000), dimana metode MRP meningkatkan kemampuan aktivitas fungsional lebih cepat daripada metode Bobath sehingga memungkinkan pasien untuk keluar dari rumah sakit lebih cepat. Duncan dan Badke (1987), mendefinisikan kemampuan motor learning sebagai kemampuan seseorang untuk belajar dan mengorganisasikan pergerakan dengan tujuan untuk beradaptasi terhadap lingkungannya. Teknik Motor Relearning Programme dilakukan latihan fungsional dan identifikasi kunci utama tugas-tugas motorik. Setiap aktivitas motorik dianalisis dan ditentukan komponen-komponen yang tidak dapat dilakukan, melatih penderita serta memastikan latihan dilakukan pada aktivitas sehari-hari pasien. Latihan aktivitas motorik harus dilakukan dalam bentuk aktivitas fungsional
6
karena tujuan dari rehabilitasi tidak hanya sekedar mengembalikan suatu pergerakan akan tetapi mengembalikan fungsi. Latihan tersebut dapat memberikan proses pembelajaran aktivitas fungsional serta menerapkan premis dasar bahwa kapasitas otak mampu untuk reorganisasi dan beradaptasi (kemampuan plastisitas otak) dan dengan latihan yang terarah dapat saja menjadi sembuh dan membaik, selain itu sebagai relearning kontrol motorik sehingga dapat mengeliminasi gerakan yang tidak diperlukan dan meningkatkan kemampuan pengaturan postural dan gerakan (Susanti dan Irfan, 2010). Otak memiliki kemampuan plastisitas, dimana sistem saraf
pusat
memiliki kemampuan untuk beradaptasi, memodifikasi organisasi struktural, dan fungsional terhadap kebutuhan, yang bisa berlangsung terus sesuai kebutuhan dan atau stimulasi sebagai reaksi dari keanekaragaman lingkungan, (Kolb et al., 2010). Neuroplastisitas merupakan pusat perkembangan fungsi motorik manusia dan, juga, untuk akuisisi keterampilan dalam sistem saraf dewasa, (Jeremi, 2012). Kemampuan gerak dan fungsi bagi bagi penderita stroke masih memungkinkan untuk dilakukan pemulihan oleh adanya sifat plastisitas saraf (neuroplasticity) yang berlangsung secara terus-menerus. Melihat latar belakang diatas maka peneliti mengambil judul “Metode Konvensional, Kinesiotaping, dan Motor Relearning Programme Berbeda Efektifitas Dalam Perbaikan Pola Jalan Pasien post-stroke di Klinik Ontoseno Malang”.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah metode Konvensional meningkatkan pola jalan pasien post stroke di Klinik Ontoseno Malang? 2. Apakah aplikasi Kinesiotaping dapat meningkatkan pola jalan pasien post stroke di Klinik Ontoseno Malang? 3. Apakah
metode
Motor
Relearning
Programme
(MRP)
dapat
meningkatkan pola jalan pasien post stroke di Klinik Ontoseno Malang? 4. Diantara Metode Konvensional, Kinesiotaping, dan Motor Relearning Programme (MRP), metode manakah yang paling efektif dalam meningkatkan pola jalan pasien post stroke di Klinik Ontoseno Malang?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pemberian metode Konvensional, Kinesiotaping, dan Motor Relearning Programme (MRP) terhadap peningkatan pola jalan normal pasien post stroke. 2. Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui apakah pemberian terapi metode Konvensional dapat meningkatkan pola jalan pasien post stroke di klinik Ontoseno Malang.
8
2. Untuk
mengetahui
apakah
pemberian
Kinesiotaping
dapat
meningkatkan pola jalan pasien post stroke di klinik Ontoseno Malang. 3. Untuk mengetahui apakah pemberian terapi metode Motor Relearning Programme dapat meningkatkan pola jalan pasien post stroke di klinik Ontoseno Malang. 4. Untuk mengetahui metode yang paling efektif dalam meningkatkan pola jalan pasien post stroke di klinik Ontoseno Malang.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Fisioterapis Menambah pengetahuan dan wawasan bagi fisioterapist tentang aplikasi Kinesiotaping pada kondisi neurologis, khususnya untuk peningkatan pola jalan pasien post stroke. 2. Bagi Peneliti Memberikan pengetahuan dan pengalaman tentang
tingkat
efektifitas ROM exercise, Kinesiotaping, dan metode MRP dalam meningkatkan pola jalan pasien post-stroke. 3.
Bagi institusi pendidikan Sebagai bahan referensi bagi mahasiswa yang membutuhkan pengetahuan lebih terhadap penanganan dan intervensi Fisioterapi pada pasien post stroke.
9
4.
Bagi institusi pelayanan Sebagai referensi tambahan terhadap intervensi fisioterapi untuk meningkatkan kemampuan pola jalan pasien post stroke, dan memberikan solusi mengenai rehabilitasi pasien post stroke.