BAB I PENDAHULUAN A.
Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Perubahan sosial sebagai sebuah fenomena yang terus menerus terjadi dalam
masyarakat merupakan sebuah kemutlakan. Keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan masyarakat itu sendiri. Baik yang disengaja maupun yang muncul secara tiba-tiba sebagai bagian dari implikasi sebuah peristiwa tertentu. Masyarakat Indonesia, tentu mengenal apa itu TKA (Taman Kanak-kanak Al-qur’an) -TPA (Taman Pendidikan Al-qur’an). Hampir di setiap wilayah baik itu di masjid maupun ditempat-tempat laninya dalam komunitas masyarakat muslim hampir bisa dipastikan terdapat sebuah lembaga pendidikan agama usia dini yang biasa disebut TKA-TPA. Namun siapa sangka, sebelum muncul TKA-TPA berbagai kegiatan pendidikan keagamaan usia dini telah di jalankan oleh institusi yang biasa disebut pengajian anak. Ditarik dalam konteks lokal, keberadaan TKA-TPA dan pengajian anak di Kotagede bukanlah yang baru. Keduanya hidup, tumbuh dan berkembang di Kotagede. Sebagai bagian dari masyarakat Kotagede, diskusi pengajian anak di Kotagede tidak ada habis-habisnya, bahkan pada Ramadhan 1435 H (2014) melalui media
massa
lokal
bernama
Brosur
Lebaran,
kembali
Angkatan
Muda
Muhammadiyah Kotagede menuliskan tema Pengajian anak menjadi salah satu bab dalam kajian kaderisasi di Kotagede.
1
Tulisan tersebut membahas terkait masih diperlukannya pengajian anak sebagai salah satu upaya kaderisasi di lingkungan Muhammadiyah Kotagede1. Aktualitas isu yang diangkat di Kotagede berupa fenomena keberadaan pengajian anak di Kotagede menarik perhatian peneliti dalam memahami fenomena tersebut yang kemudian di benturkan dengan kemunculan dan keberadaan TKA-TPA di Kotagede. Melalui perspektif perubahan sosial. peneliti mendapatkan realitas dan gambaran perubahan sosial yang terjadi di Kotagede.
2. Orisinalitas Orisinalitas fokus penelitian ini dapat dibedakan berdasarkan sintesis beberapa penelitian terdahulu yang mengambil subjek penelitian tentang TPA (Taman Pendidikan Alquran) maupun pengajian anak. Beberapa diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Padmiyati pada tahun 2009 dengan judul Sejarah Badan Kordinasi (BADKO) TKA-TPA Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 19902008.Yogyakarta;Fakultas Adab Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan dalam rangka melihat perkembangan gerakan TPA khususnya dalam hal munculnya badan kordinasi ditingkat provinsi baik dalam hal perkembanganya, aktivitasnya maupun hubungan dengan elemen masyarakat dan kordinasi kegiatan TKA-TPA yang berada di bawahnya. Hasil dari penelitian ini secara umum mengungkapkan bahwa kemunculan BADKO tersebut sebagai upaya tindak lanjut dari gagasan pendiri TKA- TPA (KH As’ad Humam dan tim) dalam pengkordinasian TKA-TPA yang semakin banyak di level Provinsi DIY sebagai 1
Brosur lebaran No.53 tahun LIII/1435-2014
2
upaya penyatuan langkah gerakan agar tidak berjalan sendiri-sendiri dan juga memposisikan lembaga tersebut secara struktural sebagai lembaga pembina dan pengembang gerakan TKA-TPA di Provinsi DIY. Adapun penelitian lain yang mengambil subjek pengajian anak adalah beberapa diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ida Ardika (2012) dengan judul “Respon Masyarakat terhadap Model Pendidikan Karakter di Pama (Pengajian Anak-anak Masjid Al-Hidayah Papringan Yogyakarta)”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat Desa Papringan merespon positif kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pengajian PAMA dimana pendidikan karakter yang dilakukan di PAMA mencakup tujuan pendidikan, model ustadz atau ustadzah yang mengajar, proses pelaksanaan yang ada pada intrakulikuler dan ekstrakulikuler dan evaluasi pendidikan dengan kegiatan-kegiatan yang berupa sholat berjamaah, pendidikan dengan sistem klasikal, seni rebana dan gambar, puitisasi Al-Qur’an, nasyid dan diba’an. Penelitian selanjutnya yaitu mengenai “pengembangan Seni Islam pada Anakanak Melalui Pengajian Al- Barzanji di Dusun Papringan Desa Catur Tunggal Depok Sleman Yogyakarta” oleh Endah Himatul Ulya (2007). Hasil dari penelitian ini mendeskripsikan bagaimana bentuk pelaksanaan pengajian Al Barzanji dalam pengembangan seni Islam pada anak yang berupa kesenian Musik Islam dan Sholawatan. Selain itu juga mengupas perihal partisipasi anak dalam aspek mentalis, spritual, seni dan cara menghargai orang lain.
3
Berdasarkan sintesis beberapa penelitan sebelumnya terkait TKA-TPA maupun pengajian anak, pada akhirnya membuat peneliti memastikan bahwa penelitian ini sangat dibutuhkan sebagai kerangka untuk melihat dinamika perubahan sosial masyarakat Kotagede khususnya yang mengupas realita dibalik kedua fenomena kelembagaan di Kotagede dan juga perkembangan relasi antar kedua lembaga tersebut. oleh karenanya peneliti merasa perlu untuk menuliskan sejarah dan perkembangan kedua lembaga tersebut di Kotagede melalui perspektif perubahan sosial. Oleh karenaya Peneliti merumuskan sebuah judul penelitian sebagai berikut : “Pengajian Anak: Potret Perubahan Sosial di Kotagede”
3. Relevansi dengan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mempunyai fokus perhatian pada pembangunan sosial sebagai upaya menuju sebuah cita-cita yaitu kesejahteraan. Proses tersebut dijabarkan melalui tiga skema pembangunan yang termanivestasikan dalam tiga minat atau konsentrasi utama yaitu: Kebiajakan sosial, CSR dan Pemberdayaan masyarakat. Ketiganya berhulu pada harapan masyarakat akan mencapai sebuah titik yang dinamakan sejahtera. Berbicara tentang pembangunan sosial, perubahan sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Perubahan sosial dapat diartikan sebagai sebuah perubahan yang direncanakan ataupun perubahan sosial menjadi sebuah aspek yang dianalisis dan menjadi pertimbangan oleh berbagai macam stakeholder dalam melakukan strategistrategi pembangunan.
4
Berangkat dari deskripsi diatas, terdapat kaitan yang begitu erat antara Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dengan Perubahan Sosial, dimana perubahan sosial dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam mengerangkai upaya dan strategi pembangunan sosial melalui tiga skema diatas. Secara lebih khusus terkait topik pada penelitian ini yang lebih menitikberatkan pada subjek pembangunan itu sendiri yaitu masyarakat melalui sistem kelembagaan Pengajian Anak dan TKA-TPA di Kotagede. B.
Latar Belakang Tahun-tahun sekitar 1925 adalah masa keemasan orang-orang Islam di
Kotagede, terutama Muhammadiyah yang aktif mengadakan pengajian-pengajian di setiap kampung baik yang ditujukan untuk orang tua maupun untuk anak-anak (disamping mendirikan sekolah-sekolah dan satu klinik) sehingga Kotagede diakui sebagai kampung Islam2
Dalam sebuah komunitas yang “sama” dalam bingkai
masyarakat Kotagede dan Muhammadiyah muncul dua fenomena yang cukup menarik untuk ditelaah berupa Pengajian Anak dan TKA (Taman Kanak-kanak Alqur’an) -TPA (Taman Pendidikan Al-qur’an). Kedua lembaga ini secara umum mempunyai maksud, tujuan dan lahan garapan yang sama berupa memberikan pendidikan keagamaan sejak dini kepada anak. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang cukup mendasar antar keduanya. Secara institusional pengajian anak dibentuk dan dikreasikan oleh masyarakat (pemuda dan remaja kampung sebagai pengurus maupun pengasuh pengajian serta anak didik yang berasal dari wilayah setempat) sebagai bagian dari instittusi lokal 2
Nawawi: 1957 dalam Nakamura, Mitsuo.1983.Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin.Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Hal 118.
5
yang ada di masing-masing wilayah maupun kampung. Disisi lain TKA-TPA muncul sebagai lembaga dengan sistem pendidikan dan perangkat administrasi yang sifatnya formal dengan tenaga-tenaga kerja adminstrasi maupun tenaga pendidik yang profesional dan bukan bagian dari institusi lokal yang menyatu dengan masyarakat (santri-santri yang berasal dari berbagai tempat tidak terbatas pada lokal area dimana TPA tersebut berada). Secara garis besar cikal bakal pengajian anak Kotagede bermula dari kegiatan belajar mengaji yang berada di Masjid Gede Mataram Kotagede. Memasuki tahun 50-an kegiatan mengaji di Masjid Gede Mataram mulai terorganisir bertepatan tanggal 6 mei 1952 Muncul Pengajian API (Angkatan Pemuda Islam) sebagai pelopor pengajian anak Kotagede yang di motori oleh KH As’ad Humam yang kemudian berkembang dan menyebarkan virus tersebut ke perkampungan-perkampungan di Kotagede (didukung dengan semangat satu kampung satu langgar atau mushola)3, sehingga hampir setiap wilayah di Kotagede mempunyai pengajian anak dengan karakter dan keunikan tersendiri. Selama kurun waktu lebih dari 50 tahun eksistensi pengajian anak tentu telah memberikan warna tersendiri dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat Kotagede. Selama itu pula eksistensi pengajian anak telah menjadi identitas dan ikon kultural masyarakat Kotagede. keberadaan pengajian anak menjadi simpul relasi sosial antar warga dari generasi ke generasi. Disisi lain munculnya pengajian anak beserta intensistas komunikasi yang ada di dalamnya mendorong kepedulian sosial yang 3
https://web.facebook.com/groups/326885064521/ diakses tanggal 12 Agustus 2015 jam 21.15 WIB
6
cukup tinggi dengan munculnya kegiatan-kegiatan rewangan dalam setiap aktifitas kampung baik sebagai bagian dari social security yang sifatnya rewangan sosial (lelayu, pernikahan, kegiatan ramadhan dll) maupun rewangan kreativitas (festifal, karnaval, perayaan kemerdekaan dll). Disadari atau tidak keberadaan pengajian anak menjadi “ruang publik” bagi anak-anak dan remaja sebagai bagian dari bentuk relasi dan interaksi sosial kemasyarakatan. Adanya dinamika sosial yang terjadi di masyarakat hingga saat ini setidaknya terdapat 43 pengajian anak yang tercatat oleh FOKOPA (Forum Komunikasi Pengajian Anak) Kotagede dan kurang lebih 25 pengajian yang aktif mengikuti kegiatan FOKOPA (partisipasi kegiatan lomba di bulan ramadhan tahun 2014) dan setidaknya terdapat 5 pengajian anak yang masih aktif melakukan kegiatan rutin diluar bulan ramadhan4 baik itu belajar membaca Al-Qur’an, darusan (kegiatan membaca Al-Qura’an bersama dimana satu orang membaca dan yang lain mendengarkan) pengasuh (sebutan bagi pengasuh maupun pengurus pengajian anak yang biasa dipanggil dengan sebutan kang, mas atau mba) maupun aktivitas lain yang lebih mengarah kepada aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan (latihan silat, komunitas sepeda dll). Disisi lain kemunculan lembaga pendidikan nonformal TKA-TPA di Kotagede pertama kali dipelopori oleh Tim Tadarus AMM (Angkatan Muda Masjid dan Mushola) yang juga dimotori oleh bapak As’ad Humam. Awal kiprah beliau
4
Hasil diskusi dengan sdr M Bagas Nurrohman dan Yoga Adi selaku Ketua I dan Sie Humas dan Kaderisasi FOKOPA Kotagede didukung dengan arsip FOKOPA periode 2012/2013.
7
dimulai pada akhir tahun 1953 dengan mendirikan Persatuan Pengajian Anak-anak Kotagede dan Sekitarnya (PPKS), Kemudian pada tahun 1963 mulai merintis hubungan dengan aktifis-aktifis pengajian anak-anak di tingkat Kotamadya Yogyakarta dan sekitarnya dalam wadah bernama Badan Kordinasi Pengajian Anakanak (BAKOPA). Hingga tahun 1983 K.H. As’ad Humam bertemu dengan beberapa anak muda yang memiliki keterpanggilan yang sama dalam menggerakan pengajian anak-anak yang kemudian terhimpun dengan nama Team Tadarus AMM. Bertepatan dengan tanggal 16 maret 1988 didirikanlah TKA AMM Kotagede dan setahun berikutnya 1989 didirikanlah TPA AMM Kotagede5. Seiring berjalannya waktu perkembangan TKA-TPA di Kotagede tidak hanya terkonsentrasi pada satu titik di Kampung Selokraman saja, akan tetapi sudah meluas dan menyebar ke seluruh Indonesia. Di DIY saja tercatat sebanyak 3222 unit TPA yang tergabung dalam BADKO (Badan Kordinasi) TKA-TPA DIY6. Sedangkan di Kotagede sendiri sampai saat ini setidaknya terdapat 22 TKA-TPA di bawah kordinasi BADKO (Badan Kordinasi) Rayon Kotagede yang tersebar di beberapa lokasi di Kotagede7. Menariknya disini, kedua lembaga tersebut dipelopori oleh orang yang sama yaitu KH As’ad Humam. Munculnya dua fenomena lembaga pendidikan agama dengan basis institusi yang berbeda dalam satu masyarakat yang sama tentu menjadi pertanyaan besar, apa yang sebenarnya terjadi di balik kemunculan TKA-TPA atas 5
Padmiyati.2009.Sejarah Badan Kordinasi (BADKO) TKA-TPA Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1990-2008.Yogyakarta;Fakultas Adab Universitas Sunan Klijaga Yogyakarta. (skripsi) 6 Data tahun 2007.Padmiyati, Op.cit hal: lampiran. 7 Wawancara dengan sdr Amri P.S, S.Pd.I selaku ketua BADKO Rayon Kotagede.
8
eksistensi Pengajian Anak Kotagede? disisi lain fakta di lapangan menunjukkan adanya penurunan aktivitas pengajian anak Kotagede yang terbatas pada bulan Ramadhan saja akan tetapi sebaliknya, TKA-TPA tetap eksis tanpa harus menunggu momen bulan Ramadhan. Berdasarkan kondisi yang ada di lapangan Setidaknya terdapat tiga asusmsi yang mendorong berjalannya penelitian ini, yaitu : dinamika sosial, representasi konflik kepentingan dan revitalisasi. Pertama, dinamika sosial. Munculnya pengajian anak yang kemudian membentuk lembaga kordinasi di tingkat Kotagede (FOKOPA) dan munculnya TKATPA sebagai lembaga pendidikan informal dengan badan kordinasi di tingkat kecamatan memberikan asusmsi bahwa terdapat dinamika lembaga sosial yang muncul di masyarakat sebagai sebuah strategi gerakan dakwah dimana lembaga tersebut muncul dalam konteks saling melengkapi antara satu lembaga dengan lembaga yang lainya. posisi keduanya berada pada derajat yang sama, hanya mungkin konsep, metode dan strateginya yang berbeda. Kedua, representasi konflik kepentingan. Tidak bisa dipungkiri munculnya dua institusi sosial dalam sebuah masyarakat yang sama (Muhammadiyah dan Kotagede) mendorong munculnya pertanyaan, apakah dibalik kemunculan lembaga tersebut ada konflik antar aktor sehingga lembaga yang sudah ada sebelumnya disandingkan dengan lembaga baru yang notabene secara kelembagaan dan pendekatan berbeda. Sehingga muncul asumsi bahwa kedua lembaga tersebut berjalan berhadap-hadapan.
9
Ketiga, revitalisasi. Secara konseptual revitalisasi mempunyai arti sebagai proses, cara dan perbuatan sebagai upaya menghidupkan atau menggiatkan kembali suatu hal yang sebelumnya ada dan telah dianggap hilang. Memvitalkan kembali dalam konteks ini berarti bahwa sebuah institusi berupa pengajian anak dianggap sudah tidak ada dan kemunculan TKA-TPA diartikan sebagai upaya untuk merevitalisasi spirit dari lembaga tersebut. akan tetapi faktanya pengajian anak yang dianggap sudah mati (dalam konteks revitalisasi) kenyataanya masih hidup walaupun dengan denyut nadi yang lemah dan jika dilihat secara sepintas maka akan terlihat bahwa kedua lembaga tersebut berjalan beriringan. Ketiga asusmsi di atas yang kemudian dijadikan landasan oleh peneliti untuk mencari sebuah realita apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Kotagede melalui dua fenomena institusi tersebut. C.
Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena yang terjadi antara pengajian anak Kotagede dan
TKA-TPA maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut : 1.
Perubahan apa saja yang muncul dibalik fenomena keberadaan pengajian anak dan TKA-TPA ?
2.
Bagaimana bentuk dan dinamika perkembangan pengajian anak dan TKA-TPA di Kotagede ?
D.
Tujuan Penelitian Secara garis besar penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan suatu
gambaran tentang perubahan sosial di Kotagede melalui fenomena keberadaan
10
pengajian anak dan TKA-TPA
yang mengalami bentuk-bentuk dinamika sosial
dimana penjelasan proses dan pola perubahan dalam kurun waktu tertentu akan terlihat. Disisi lain penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan gambaran tentang hubungan relasional antar kedua lembaga tersebut. E.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritik, untuk memberi
pemahaman akan studi perubahan sosial melalui sebuah fenomena terkecil dalam masyarakat Kotagede. Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk melihat masyarakat dalam karakter yang sesungguhnya dimana perubahan sosial adalah hal yang mutlak, dan secara praktis dapat digunakan sebagai sebuah pertimbangan dalam perumusan kebijakan setiap aktor yang berkepentingan di Kotagede agar tetap memperhatikan setiap aspek yang ada dalam masyarakat. F.
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam studi perubahan sosial sebenarnya berangkat dari
sebuah asumsi dasar, bahwa manusia adalah makshluk sosial yang dinamis. Dinamis dalam artian yang luas dimana manusia mempunyai kemampuan untuk mendinamisir dirinya, yang berarti bahwa manusia mempunyai kemamuan untuk merubah segala sesuatu sesuai dengan yang di inginkanya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa konsep yang berhubungan dengan studi perubahan sosial dalam masyarakat untuk menganalisis fenomena tersebut. Adapun konsep yang digunakan adalah sebagai berikut :
11
1. Definisi Konsep a.
Perubahan Sosial Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di
dalam atau mencakup sistem sosial. Perubahan dalam sistem sosial tersebut mengacu pada sebuah perbedaan antara keadaan sisitem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Dalam pengertian diatas, perubahan sosial sangat erat kaitanya dengan sebuah konsepsi waktu, dimana perubahan sosial diamati antara sebelum dan sesudah jangka waktu tertentu sehingga mampu mengetahui apa perbedaan diantara keduanya (Strasser & Randall dalam Sztompka 2010:3). Pandangan teori sistem, dimana sistem merupakan suatu kesatuan yang kompleks, terdiri dari berbagai antar hubungan dan dipisahkan dari lingkungan sekitarnya oleh batas tertentu berimplikasi pada pemaknaan konsep perubahan sosial. Perubahan sosial dilihat dari pandangan teori sistem dimana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pengamatan: apakah dari sudut aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Hal ini disebabkan karena sisitem sosial tidaklah sederhana dan berdimensi tunggal, melainkan sebagai sebuah kombinasi dari berbagai keadaan dan komponen yang dapat di kategorikan pada beberapa hal sebagai berikut: a) Unsur-unsur pokok b) Hubungan antar unsur c) Berfungsinya unsur-unsur antar sistem
12
d) Pemeliharaan batas e) Subsistem f)
Lingkungan
Berikut beberapa definisi perubahan sosial yang dirumuskan oleh para ahli yang mempunyai penekanan pada jenis perubahan yang berbeda namun sebagian besar memandang penting perubahan struktural dalam hubungan, organisasi, dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat : “Perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat, dalam pola berfikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu” (Macionis dalam Sztompka, 2010:5). “Perubahan Sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat” (Persell dalam Sztompka, 2010: 5). “Perubahan Sosial mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu” (Ritzer dalam Sztompka, 2010: 5). “Perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu” (Farley dalam Sztompka, 2010: 5). “ Perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku antar kelompok dalam masyarakat” (Selo Soemardjan, 2009: 447) b.
Proses Perubahan Perubahan sosial tidak berjalan begitu saja, muncul berbagai proses
sosial dan proses perubahan itu sendiri. Rogers dan Shoemacher (Ramdhon,
13
2011:16)
menyatakan beberapa hal penting yang terkait dengan proses
perubahan antara lain : a) Inovasi, sebuah gagasan atau ide baru. b) Komunikasi, sebuah interaksi yang dilakukan dalam hal menyampaikan gagasan baru tersebut baik langsung maupun tidak langsung. c) Sistem sosial, dimana individu-individu bertindak dalam kaitanya dengan inovasi tertentu. d) Unsur waktu, dimana berkaitan dengan proses penerimaan inovasi tersebut. Sedangkan Margono Slamet (Ramdhon, 2011:19), menjelaskan beberapa faktor pendorong perubahan yaitu : a) Ketidak pusan dengan kondisi yang sudah ada. b) Adanya pengetahuan tentang perbedaan antara yang ada dan yang seharusnya ada. c) Adanya tekanan dari luar yang mendorong untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi diluar. d) Kebutuhan dari dalam masyarakat untuk mencapai efisiensi dan peningkatan (Soleman b Taneko dalam Ramdhon, 2011: 19). c.
Institusi Sosial Terdapat beberapa definisi yang dapat menunjukkan makna institusi
sosial atau lembaga sosial. Beberapa diantaranya menggunakan istilah pranata
14
sosial dan lembaga kemasyarakatan untuk menyebutkan istilah tersebut. Koentjoroningrat8 mendefinisikan pranata sosial sebagai sebuah sistem yang mengatur perilaku warga masyarakat. : “Merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.” Sedangkan Soerdjono Soekanto9 mendefinisikan lembaga sosial sebagai sebuah norma yang mengikat yang kemudian memunculkan sebuah bentuk konkret : “lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada satu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud konkrit dari lembaga kemasyarakatan tersebut adalah asosiasi.” Hampir sama dengan Soerdjono, Robert Maclever dan Charles H. Page10 mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan untuk mengatur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam suatu kelompok masyarakat yang disebut asosiasi. Lain halnya dengan Leopold von Wiese dan Howard becker11 menerjemahkan lembaga kemasyarakatan menggunakan perspektif fungsi. “sebuah jaringan proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara hubunganhubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan kepentingankepentingan manusia dan kelompoknya.” 8
Soekanto, Soerjono.2014.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 169. Soekanto, Soerjono.2014.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal 170. 10 Ibid, hal. 170. 11 Ibid. hal. 170. 9
15
Seorang
sosiolog
lain,
yaitu
Summer
mendefinisikan
lembaga
kemsyarakatan menggunakan perspektif Kebudayaan12: “sebuah perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat” Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertianya, lembaga diartikan sebagai badan atau organisasi yang tujuanya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha. Berdasarkan beberapa definisi terkait apa itu lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan menurut para ahli diatas secara garis besar menunjukkan kepada sebuah jaringan dan hubungan sosial yang mengikat anggotanya baik dalam bentuk yang abstrak atau dalam bentuk sebuah bangunan sosial yang kongkrit dimana hubungan dan jaringan tersebut dibentuk untuk mencapai sebuah tujuan. d.
Interaksi Sosial Kehidupan sosial tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial. Interaksi
sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut antara hubungan orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia13. Pada dasarnya, bertemunya dua individu merupakan sebuah peristiwa terkecil dari proses interaksi sosial. Meskipun keduanya tidak terlibat dalam sebuah pembicaraan secara langsung atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah 12 13
Ibid, hal. 171. Soekanto, Soerjono.2014.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 55.
16
terjadi, karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam perasaan maupun syaraf orang yang bersangkutan yang kemudian menimbulkan dan menentukan sebuah respon atau tindakan apa yang akan dilakukan14. Setidaknya terdapat dua syarat untuk menyatakan terjadinya interaksi sosial yaitu : Pertama, adanya kontak sosial yang dapat berlangsung melalui 3 bentuk yaitu antar individu, antar individu dengan kelompok maupun antar kelompok baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Kedua, adanya komunikasi, komuikasi dalam konteks initeraksi sosial mengandung makna sebuah tindakan atau respon seseorang pada orang lain melalui berbagai cara15. e.
Ikatan Sosial Berbagai bentuk interksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat
memunculkan sebuah bentuk hubungan maupun ikatan sosial. salah satu bentuk ikatan tersebut adalah paguyuban dan patembayan. Soerjono Soekanto (2014: 114), dalam bukunya merangkum definisi dan konsep tentang paguyuban dan patembayan milik Ferdinand Tonnies dan Charles P. Loomis yang berjudul “Gemmeinschaft and Gesellchaft” sebagai berikut: “Paguyuban (Gemmeinschaft) merupakan bentuk kehidupan bersama , dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa 14 15
Ibid, hal. 55. Soekanto, Soerjono.2014.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 61.
17
persatuan batikn yang memang telah dikodratkan. Hubungan seperti ini dapat dijumpai dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga dan lain-lain” “Patembayan (Gessellschaft) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu pendek. Bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka. Contohnya adalah ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik dan lain-lain.” f.
Resiprositas Kajian ilmu budaya tentang resiprositas banyak menaruh perhatian
terhadap berbagai gejala pertukaran yang tidak melibatkan penggunaan uang sebagai mekanisme pertukaran16. Resiprositas dipandang sebagai sebuah gejala kebuadaan yang keberadaanya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial. pada dasarnya, resiprositas adalah pertukaran timbal baik antar individu atau antar kelompok. Karl Polanyi (Hudayana,1991: 22) membatasi resiprositas sebagai perpindahan barang atau jasa secara timbal balik dari individu maupun kelompok-kelompok yang sederajat: “reciprocity is enormous facilitated by the institutional pattern of symmetry, a frequent feature of social organization among non-literate peoples.” Kata kunci dari definisi resiprositas yang ditawarkan Polanyi adalah adanya hubungan simetris dimana dalam hubungan sosial, masing-masing pihak menempatkan diri dalam kedudukan dan peranan yang sama selama
16
Hudayana, Bambang.1991.”Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi”, dalam Humaniora Journal of Culture, literature, and linguistics. No. 3, hlm. 20-33
18
proses pertukaran berlangsung. Selain itu, salah satu karakteristik lain munculnya sebuah resiprositas berada ditengah-tengah masyarakat dimana kontrol sosial masih sangat kuat dan hubungan sosial yang intensif, sehingga mendorong orang untuk berbuat mematuhi adat kebiasaan. Helperin dan Dow (Hudayana,1991: 23) menambahkan bahwa keberadaan resiprositas juga ditunjang oleh sebuah sistem masyarakat yang egaliter yang ditandai oleh rendahnya stratifikasi sosial, dimana struktur masyarakat yang egaliter tersebut cenderung memudahkan warganya untuk menempatkan diri dalam kategori sosial yang sama ketika mengadakan kontak resiprositas. Menurut Sahlins (Hudayana,1991: 24-30), terdapat tiga jenis resiprositas, yaitu: resiprositas umum (generalized reciprocity), resiprositas sebanding (balanced reciprocity), dan resiprositas negative (negative reciprocity). Pertama, resiprositas umum. Batasan pengertian dalam kategori pertama ini dilandaskan pada sebuah hubungan timbal balik yang didasarkan akan sebuah moralitas. Artinya bahwa, seorang individu atau kelompok memberikan barang atau jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu mengembalikan. Kunci utama dalam kategori ini adalah bahwa pemberian tidak didasarkan pada pamrih, namun berbekal sebuah moral bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Disisi lain, kebaikan tersebut tidak harus langsung diberikan kepada orang yang memberi kebaikan, karena pada dasarnya resiprositas umum tidak meletakkan hukum-
19
hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberi atau menerima. Kedua, resiprositas sebanding. Konsep resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding. Berbeda dengan resiprositas umum, dimana individu-individu atau kelompokkelompok terikat oleh solidaritas yang kuat sehingga mereka merupakan satuan unit sosial yang utuh. Ciri-ciri resiprositas sebanding ditunjukkan oleh adanya norma dan sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan
transaksi.
Perbedaan
dari
resiprositas
umum,
hubungan
kesetiakawanan yang ditampilkan dalam resiprositas sebanding tidak penuh, yaitu individu tetap berharap bahwa apa yang didistribusikan kepada partnernya akan kembali lagi. Dengan kata lain masing-masing individu yang terlibat tidak mau dirugikan. Ketiga, Resiprositas negatif.
Konsep resiprositas ketiga ini lebih
mengarah kepada bentuk-bentuk mekanisme pasar, lebih tepatnya pertukaran pasar atau jual beli. Artinya jika dibandingkan dengan kedua jenis resiprositas yang sebelumnya mempunyai jangka waktu yang pendek dan singkat. Munculnya resiprositas negative tidak bisa dilepaskan dari masuknya sistem ekonomi uang. Uang sebagai alat tukar, dijadikan sebagai sebagai nilai standar objektivitas terhadap barang atau jasa yang dipertukarkan.
20
2. Kajian Teori Teori dalam penelitian ini digunakan sebagai kerangka berfikir dalam menganalisis fenomena dan temuan-temuan di lapangan, fungsinya untuk membantu peneliti dalam melihat dan menjelaskan realita sosial yang sebenarnya dibalik munculnya sebuah fenomena. Oleh karenanya pemilihan teori harus sesuai dengan konteks permasalahan yang telah dirumuskan. Pada penelitian ini peneliti menggunakan salah satu varian teori perubahan sosial untuk menjelaskan sebuah sistem sosial budaya yang mengalami bentuk-bentuk perubahan di dalamnya. Teori dinamika kehidupan sosial17 berawal dari sebuah pandangan bahwa masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa, negara dan lain sebagainya) hanya dapat dikatakan ada sejauh dan selama terjadi sesuatu didalamnya, ada tindakan tertentu yang dilakukan, ada perubahan tertentu dan ada proses tertentu yang senantiasa bekerja. Dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak berada dalam kondisi yang statis, tetap dalam keadaan yang terus menerus. Semua realitas sosial senantiasa berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama dan tempo yang berbeda. Karena pada dasarnya kehidupan sosial merupakan sebuah gerakan dan perubahan, maka bila berhenti berarti tidak ada lagi kehidupan melainkan merupakan suatu keadaan yang sama sekali berbeda (kematian). Pandangan tersebut berimplikasi pada pola berfikir untuk melihat sebuah masyarakat. Masyarakat (kelompok, komunitas, organisasi, bangsa, negara dan lain sebagainya) tidak lagi dipandang sebagai sebuah sistem yang kaku, melainkan 17
Sztompka.2010.Sosiologi Perubahan Sosial.Jakarta: Prenada Media.hal. 8-13.
21
dipandang sebagai antar hubungan yang lunak, dimana realitas sosial adalah realitas hubungan antar individu, segala hal yang ada diantara hubungan individu manusia, jaringan hubungan ikatan, pertukaran dan kesetiakawanan. dengan kata lain, realitas sosial adalah jaringan sosial khusus atau jaringan sosial yang mengikat orang menjadi suatu kehidupan bersama. Jaringan ini terus menerus berproses, mengembang, mengerut, menguat, melemah, bersatu dan terpecah-pecah, penggabungan atau pemisahan dari unsur lain. Jika
demikian,
maka
sesungguhnya
yang
terjadi
adalah
proses
pengelompokan dan pengelompokan ulang yang berlangsung secara terus menerus, bukan sesuatu yang stabil yang disebut kelompok. Begitu juga yang terjadi pada organisasi, apa yang umumnya dinamakan organisasi merupakan sebuah proses pengorganisasian dan pengorganisasian ulang. Dengan kata lain, semua itu merupakan sebuah proses pembentukan terus-menerus ketimbang bentuk yang final. Meminjam istilah gidden yaitu “strukturisasi” (Gidden dalam Stzompka, 2010: 10). Bila pandangan ini di ikuti, maka yang menjadi unit analisis sosiologi terkecil dan fundamental adalah “peristiwa” atau kejadian. Peristiwa disini diartikan sebagai sebuah kejadiaan sesaat dari kehidupan sosial (Stzompka 2010: 10). Kejadian sesaat dari kehidupan sosial, tentu tidak terlepas dari yang namanya hubungan sosial. Masing-masing individu mempunyai gagasan, pemikiran dan keyakinan yang mungkin serupa atau berlainan, atau mempunyai aturan yang mengikat perilaku sesorang yang mungkin saling mendukung atau malah sebaliknya, atau tindakan aktual seseorang yang mungkin saling bersahabat atau saling
22
bermusuhan, bekerja sama atau bersaing. Kesemuanya terhubung melalui empat jenis ikatan, yakni: pertama, gagasan. Kedua, normatif. Ketiga, tindakan dan keempat, perhatian. Jaringan hubungan gagasan yang berupa keyakinan, pendirian dan pengertian merupakan dimensi ideal dari kehidupan bersama, yakni “kesadaran sosialnya. Jaringan hubungan normatif, yang berupa norma, nilai , ketentuan dan cita-cita merupakan dimensi normatif dari kehidupan bersama yaitu”institusi sosialnya”. Jaringan hubungan tindakan merupakan dimensi interaksi dalam kehidupan bersama, yakni “ organisasi sosialnya”. Sedangkan jaringan hubungan perhatian berupa peluang hidup, kesempatan, dan akses terhadap sumber daya merupakan dimensi kesempatan kehidupan bersama, yakni “hierarki sosialnya”. Kempat dimensi diatas selanjutnya disebut sebagai kehidupan “sosiokultural.” Keempatnya berlangsung secara terus menerus yang di dalamnya terjadi sebuah proses pertama, artikulasi, legitimasi, atau reformulasi gagasan terus-menerus. Kedua, pelembagaan, penguatan atau penolakan norma, nilai atau aturan secara terus menerus. Ketiga, perluasan, diferensiasi dan pembentukan ulang saluran interaksi, ikatan organisasi atau ikatan kelompok yang secara terus-menerus , kemunculan atau lenyapnya kelompok dan jaringan hubungan personal. Dan keempat, kristalisasi dan redistribusi kesempatan, perhatian, kesempatan hidup, timbul dan tenggelam, meluas dan meningkatnya hierarki sosial.
23
Proses di keempat tingkat tersebut saling berkaitan melalui berbagai ikatan dan hubungan sosiokultural tersebut berperan pada berbagai tingkat baik makro, mezzo dan mikro. Dari semuanya maka dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan sosial akan berbeda maknanya antara keadaan satu masyarakat tertentu dalam jangka waktu yang berbeda dimana proses sosial merupakan rentetan kejadian atau peristiwa sosial berupa perbedaan kehidupan sosial. Sehingga perubahan sosial dan proses sosial diartikan sebagai sesuatu yang benar-benar berlanjut dan tak pernah putus, terbagi atau terpisah. Selalu terjadi gerakan yang tak pernah berhenti, meski pada waktu yang pendek. Bahkan, terlepas dari apakah waktunya hampir bersamaan atau berjauhan, perubahan berlangsung tanpa henti dan keadaan sosiokultural jelas berbeda.
24