1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam kehidupan manusia, maka amatlah perlu mengkaji keberadaan bahasa itu sendiri. Demikian pula bahasa yang perlu dikaji dan diperhatikan paling intensif adalah bahasa daerah, sebagai bahasa pertama digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa pertama sebagai bahasa ibu diajarkan dan dipakai di lingkungan keluarga pada umumnya dan di daerah tempat keluarga itu tinggal. Studi tentang pengajaran bahasa dapat dilakukan dengan baik apabila bahasa itu dikaji atau dianalisis terhadap bahasabahasa yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa. Untuk memahaminya dapat digali dari sifat-sifat bahasa agar para pemakai dapat membedakan pemakaian kata bahasa sebagai kata yang lazim dipakai oleh masyarakat umum dan sebagai istilah teknis mempunyai pengertian khusus dalam linguistik. Selanjutnya, sebagai ilmu dapat secara cermat menandai konsep ilmu dan pendekatan ilmiah (Kentjono, 1982:1). Linguistik sebagai ilmu tentang bahasa, dalam arti bahwa salah satu ilmu yang berurusan dengan bahasa mengambil bahasa dalam arti harafiah atau bahasa tutur sehari-hari dan sebagai objek sasaran yang dikhususkan.
Dengan demikian,
linguistik juga disebabkan oleh adanya “kerangka pikiran” mengenai objek tersebut.
1
2
Dalam menghadapi objeknya, linguistik juga mempunyai “dugaan-dugaan mula” akibat dari pengamatan dan pertanyaan-pertanyaan terhadap gejala-gejala tertentu (fonem-fonem)
yang
tampak
menonjol
pada
pengamatan
bahasa
tertentu
(Sudaryanto, 1986:24). Alwasilah (1986:70) memberi gambaran bahwa linguistik sebagai ilmu dan bahasa sebagai objek. Sesungguhnya, bahasa sangat kompleks dan universal, terdiri atas beberapa komponen yang satu sama lain berkaitan erat. Komponen-komponen ini dalam linguistik mendapat perhatian sendiri-sendiri, seperti bunyi, susunan kata atau makna yang dikandungnya sehingga memunculkan adanya istilah fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Bahasa juga dapat dipelajari dari segi perkembangannya atau perbandingan perkembangan antara beberapa bahasa sehingga memunculkan adanya istilah linguistik diakronik dan linguistik komparatif. Menemukan suatu bentuk linguistik, khususnya menemukan perbedaannya harus benar-benar diperhatikan. Bentuk-bentuk linguistik dapat berwujud morfem, alomorf, dan kata; bahkan pada tataran yang lebih tinggi yakni frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Terkait dengan pembahasan tersebut Ghazali (2010:48), mengemukakan bahwa “kompetensi linguistik” dipandang sebagai tata bahasa penutur asli yang telah terinternalisasi, terdiri atas suatu sistem kaidah-kaidah yang kompleks dan beroperasi pada tingkat-tingkat yang berbeda. Tingkatan tersebut, seperti: sintaksis, leksikal, fonologi, dan semantik untuk menentukan organisasi struktur-struktur gramatika. Makna gramatikal dapat mencakup informasi tentang nomor (tunggal dan jamak), orang (pertama, kedua, ketiga), tenggang (masa lalu, sekarang, masa depan),
3
serta perbedaan lainnya yang dapat ditemukan juga dalam bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Leksem baru dapat diturunkan dengan menggunakan segala proses pembentukan kata seperti afiksasi, reduplikasi, konversi, komposisi, maupun proses lainnya. Bahasa memiliki aturan reduplikasi baik untuk tujuan derivasi maupun tujuan enfleksional (Lieber, 2010:88). Setiap bahasa memiliki ciri tertentu yang terdapat pula dalam bahasa-bahasa lain. Setiap linguis diharapkan mampu menguasai secara reseptif satu atau lebih beberapa bahasa lain di samping bahasanya sendiri. Bahasa yang dikuasai tersebut tidak serumpun dengan bahasanya sendiri (Verhaar, 1984:6). Bahasa manusia didasari oleh khasanah dasar yang juga tampak terisolasi secara biologis. Khasanah bahasa yang tidak terbatas memiliki ciri-ciri tersendiri, yang ditunjukkan dalam bentuk murni pada angka lami. Khususnya, anak-anak tidak memahami hal ini, hanya dapat ditunjukkan pada kerangka pikir saja (Chomsky, 2000:3). Seandainya bahasa tidak sistemik, maka bahasa itu tidak pernah ada, tidak punya arti, serta tidak dapat diberi pemerian. Sebaliknya, bahasa yang bersistemlah dapat dipelajari, terutama melihat hubungan antara kata dan makna seperti: (1) satu kata dapat memiliki makna lebih dari satu; (2) beberapa kata dapat memiliki makna yang sama; (3) makna kata-kata tertentu dapat diuraikan menjadi komponen yang terpisah; (4) gabungan beberapa kata dapat mempunyai makna yang berbeda dari arti kata-kata terpisah; (5) beberapa pasangan kata mempunyai makna berlawanan; serta (6) makna beberapa kata tercakup oleh makna dari sebagian kata lainnya ( Alwasilah, 1986:77).
4
Di samping adanya keteraturan bunyi-bunyi bahasa, ada pula kontradiksi yaitu istilah arbitrer yang berarti mana suka, seenaknya, asal bunyi serta tidak ada hubungan logis dengan kata-kata sebagai simbol (the symbols) dengan yang disimbulkannya (the symbolized). Setiap bunyi bahasa bersifat manasuka, tetapi bahasa adalah kekayaan sosial maka manasuka dapat disetujui pemakaiannya oleh masyarakat penutur bahasa. Apabila menjadi kebiasaan (conventional), manasuka menjadi peraturan yang tetap dan merupakan suatu sistem. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa bersifat manasuka yakni bahasa itu sosial konvensional serta bahasa itu arbitrer dan nonarbitrer (Alwasilah, 1986:79). Ferdinand de Saussure (1915), yang dianggap sebagai pelopor linguistik modern membedakan telaah bahasa secara diakronik dan sinkronik. Telaah bahasa secara diakronik adalah telaah bahasa yang mempelajari bahasa dari waktu ke waktu, sedangkan telaah bahasa secara sinkronik adalah telaah bahasa pada satu kurun waktu saja. Pemerian suatu bahasa dapat diperoleh dalam suatu bahasa tertentu tanpa melihat sejarah bahasa tersebut (Kentjono ed, 1982:131--132) Kesemestaan bahasa terjadi pada semua bahasa dan budaya, yaitu
prinsip-
prinsip umum uamh masih tetap berlaku. Keberagaman tersebut berfungsi menentukan konsep bahasa dalam aspek lain dari perilaku manusia. Konsep bahasa mengkhususkan pada perilaku lingual, aplikasinya terkait dengan wilayah semantik yang terorganisasi dengan istilah kekerabatan (Greenberg, 1963:61) Perbandingan antara dua bahasa atau lebih dapat dikatakan sama usianya dengan timbulnya ilmu bahasa itu sendiri. Pemahaman tentang suatu bahasa selalu menarik
5
perhatian orang untuk mengetahui sejauh mana terdapat kesamaan atau kemiripan aspek bahasa tersebut. Pendekatan tersebut dimulai dengan unsur-unsur kata, perlahan-lahan berkembang terus menuju perbandingan yang lebih kompleks. Linguistik komparatif atau linguistik bandingan merupakan suatu cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang perkembangan kesejarahan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia. Pengaruh timbal balik dari unsur-unsurnya dikaji, terutama terhadap bahasa yang pernah melakukan kontak dalam sejarah (Keraf, 1990:1). Linguistik Historis Komparatif adalah suatu cabang ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa, terjadi pada bidang waktu tersebut. Data dari suatu bahasa dipelajari dari dua periode atau lebih yang diperbandingkan secara cermat untuk memperoleh kaidahkaidah perubahan yang terjadi dalam bahasa itu. Unsur-unsur yang sama diperbandingkan berdasarkan kenyataan dalam periode yang sama dan perubahanperubahan yang terjadi dalam beberapa periode. Cabang ilmu ini lebih menekankan pada teknik dalam prasejarah bahasa. Dengan data prasejarah dapat dijangkau kehidupan sejarah bahasanya serta dapat diketahui perkembangan dan pencabangan dalam bahasa-bahasa tertentu (Keraf, 1996:22). Linguistik
bandingan
memiliki
tujuan
dan
manfaat
antara
lain:
(1)
mempersoalkan hubungan bahasa-bahasa serumpun dan mengadakan perbandingan unsur-unsur yang menunjukkan kekerabatan bahasa-bahasa tersebut; (2) mengadakan rekonstruksi bahasa-bahasa yang ada dewasa ini terhadap bahasa-bahasa purba
6
(bahasa proto); (3) mengadakan pengelompokan (subgrouping) bahasa-bahasa yang termasuk dalam satu rumpun bahasa karena ada beberapa bahasa yang memperlihatkan keanggotaannya lebih dekat atau sama dibandingkan dengan beberapa bahasa atau kelompok bahasa lainnya; serta (4) menemukan pusat-pusat penyebaran bahasa-bahasa proto (negeri asal: home land) dari bahasa-bahasa kerabat dan menetapkan gerak migrasi yang pernah terjadi pada jaman lampau (Keraf, 1996: 23--24). Antilla (1972:20) mengungkapkan bahwa linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu linguistik yang mempunyai tugas utama untuk menetapkan fakta dan tingkat keeratan serta kekerabatan antarbahasa, berkaitan erat dengan pengelompokan bahasa yang berkerabat. Bahasa yang memiliki kekerabatan erat, mengalami perkembangan yang sama. Hock (1988:60) mengatakan bahwa dalam kajian linguistik komparatif dapat dibuktikan adanya unsur-unsur warisan dari bahasa asalnya atau bahasa proto. Berdasarkan analisis tersebut dikatakan bahwa hubungan kekerabatan antarbahasa diperoleh dari bahasa-bahasa yang serumpun. Fakta tersebut dapat dibuktikan pada fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan perubahan dan pola perubahan bunyi pada bahasa-bahasa yang berkerabat yang terwaris dari moyang bahasa yang sama. Teori tentang linguistik historis komparatif telah dikembangkan oleh beberapa pakar linguistik, yakni : Lehmann (1966); Antilla (1972); Bynon (1979); Jeffers dan Lehiste (1979); Arlotto (1981); Crowly (1987); Hock (1988) dan lain-lain. Sejumlah peneliti ini mengungkapkan tentang teori linguistik diakronik. Dikatakan bahwa
7
adanya keteraturan perubahan bahasa-bahasa secara umum yang dicirikan adanya perubahan bunyi. Hal ini dapat dilakukan dengan cara merekonstruksi bahasa proto yang berkembang pada ribuan tahun yang lalu. Blust (1972), mengkaji bahasa Austronesia Purba berdasarkan kajian tradisional yang menjadi perhatian linguistik komparatif, yakni rekonstruksi dan pengelompokan secara genetis bahasa-bahasa turunannya. Bahasa-bahasa yang dikaji adalah bahasa di Pasifik, Formosa, Madagaskar, serta kepulauan daratan Asia Tenggara. Karya-karya Blust memperlihatkan kuatnya keterikatan pada prinsip yang tahan uji selama puluhan tahun, terutama dalam membedakan retensi dan inovasi serta membedakan kata yang kebetulan mirip dan kata yang menunjukkan bentuk yang sama karena seasal. Ditekankan pula bahwa rekonstruksi tidak boleh hanya setiap perangkat kesepadanan diturunkan dari satu bunyi purba saja, tetapi mencerminkan bahasa alami yaitu bahasa yang dituturkan oleh manusia. Diharapkan ada keseimbangan antara pelacakan bahasa turunan dan kenyataan yang ada. Dengan demikian, sebagian besar persoalan komparatif dapat dipecahkan dengan rujukan pada lingkungan budaya yang bersangkutan ( dalam Purwo ed, 1985: x). Keluarga bahasa Austronesia memiliki sekitar 1.200 bahasa, yang bersama-sama dituturkan oleh sekitar 270 juta orang. Dapat dikatakan, bahwa bahasa Austronesia merupakan rumpun bahasa terbesar, terutama dalam hal penyebaran geografis setelah rumpun bahasa Indo-Eropa. Bahasa Austronesia tersebar dari Malagasi (di Madagaskan dan di Pulau Mayotte) di bagian barat Samudra Hindia ke Rapanui atau Pulau Paskah di bagian tenggara Samudera Pasifik. Dengan demikian, secara
8
tradisional bahasa ditemukan berdasarkan penyelidikan serta adanya kontak bahasa rumpun Austronesia yang terpisah secara geografis, seperti: negara, kepulauan, sungai, pantai, dan sebagainya. Sejak dekolonisasi ada kecenderungan digantikan oleh bahasa nasional yang baru dibentuk, yakni bahasa Indonesia, Malaysia, Pilipina, Thailand, Vietnam, dan sebagainya (Adelaar; Himmelmann, 2005:1). Bellwood, dkk (1995:1-19) menegaskan pula bahwa rumpun bahasa Austronesia membentuk rumpun bahasa yang memiliki keterkaitan erat, seperti Austoasiatik, UtoAztecan, dan Indo-Eropa. Bahasa Austronesia memiliki wilayah paling luas di dunia, dari Madagaskar ke Pulau Paskah. Beberapa lama kemudian berkembang di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Madagaskar. Metode utama yang digunakan untuk mengelompokkan bahasa Austronesia adalah metode perbandingan-sejarah tradisional. Korespondensi bunyi digunakan untuk merekonstruksi bahasa purba dan menentukan inovasi fonologi, morfologisintaksis, dan leksikal. Metode komparatif paling berhasil digunakan dalam mengungkapkan hubungan antara beberapa bahasa,
merekonstruksi bentuk-bentuk
awal yang dibuktikan terutama pada bentuk Proto-Indo-Eropa (Lehmann, 1966:91). Terkait dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa di wilayah Nusa Tenggara Timur, terutama di Kabupaten Alor, perlu dilakukan penelitian yang mendalam terhadap fenomena kebahasaannya. Fenomena tersebut menyangkut pendataan terhadap silsilah kekerabatam bahasa berdasarkan pengelompokannya, penelusuran protobahasanya, pantulan protofonem terhadap proto bahasanya, serta
9
pola perubahan bunyi terhadap ketiga bahasa yang diteliti. Keseluruhan pendataan terhadap bahasa tersebut merupakan studi linguistik komparatif. Kabupaten Alor adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 69 tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam wilayah Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (LNRI tahun 1958 No 122). Jika dilihat dari perjalanan sejarah, Kabupaten Alor telah mengalami berbagai perkembangan khususnya perkembangan di bidang pemerintahan baik pada masa lampau, maupun pada saat terbentuknya menjadi suatu kabupaten seperti yang ada saat ini (Stonis, 2008:1). Kepulauan Alor adalah salah satu wilayah di kabupaten, Provinsi Nusa Tenggara Timur (Sunda Kecil), yang letaknya terbujur dari Timur ke Barat. Batasbatas wilayahnya adalah: (1) Sebelah Timur: Wilayah Kepulauan Maluku Teggara Barat; Sebelah Barat: Selat Lomlen, Kabupaten Lembata; Sebelah Utara: Laut Flores; Sebelah Selatan: Selat Ombay dan Timor Leste. Kabupaten Alor merupakan daerah kepulauan yang terdiri atas 15 buah pulau dengan 9 buah pulau yang berpenghuni dan 6 buah pulau tidak berpenghuni. Pulau yang berpenghuni adalah : Pulau Alor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Tereweng, Pulau Ternate, Pulau Kepa, Pulau Buaya, Pulau Kangge, dan Pulau Kura. Pulau yang tidak berpenghuni adalah: Pulau Sika, Pulau Kapas, Pulau Batang, Pulau Lapang, Pulau Rusa, dan Pulau Kambing (Retika, 2012: 1--2). Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor (2013:43), wilayah adminstratif Kabupaten Alor memiliki jumlah kecamatan sebanyak 17 kecamatan; jumlah
10
desa/kelurahan sebanyak 175 desa; jumlah dusun/ lingkungan sebanyak 366 dusun; jumlah rukun warga sebanyak 709 warga; jumlah rukun tetangga sebanyak 1548 warga; jumlah penduduk sebanyak 196.179 orang; jumlah rumah tangga sebanyak 42.282 keluarga; luas wilayah 2.864,64 km²; serta kepadatan penduduk mencapai 68/ km². Steinhauer
(dalam
Poedjosoedarmo.
ed,
1977:38)
hasil
penelitiannya
mengungkapkan bahwa bahasa-bahasa di Kabupaten Alor tergolong bahasa nonAustronesia, termasuk bahasa Blagar yang memiliki sekitar 10.000 penutur, bahasa Pura, bahasa Pantar (desa Batu) dan bahasa Ternate (Pura Kecil) yang berada di wilayah Nusa Tenggara Timur. Bahasa-bahasa tersebut dikatakan memiliki ciri pembentukan morfologis yang sederhana, adverbial terbatas, kata ganti, partikel, dan kelas kata. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ketiga bahasa yang diteliti yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon tergolong bahasa Austronesia. Proto PAN menampakkan pantulan (refleks) terhadap protobahasa Kabola, protobahasa Hamap, dan protobahasa Klon, baik pantulan protofonem maupun leksikalnya. Pantulan (refleks) tersebut terpantul secara teratur dan ditemukan pula beberapa fonem yang terpantul secara tidak teratur. Bahasa-bahasa Austronesia di Pulau Alor berkembang di daerah dataran serta di beberapa perbukitan. Bahasa-bahasa nonAustronesia pada umumnya berkembang di daerah pantai.
11
Bahasa-bahasa daerah di Kabupaten Alor merupakan suatu keunikan tersendiri, jika diamati dari segi keberadaannya dan kuantitas rumpun bahasanya. Meskipun mempunyai jarak tempat tinggal cukup dekat antara salah satu suku dengan suku lainnya, terdapat perbedaan bahasa. Keanekaragaman bahasa daerahnya mempunyai pengaruh yang sangat besar pada kehidupan bermasyarakat. Menurut penelitian Stokhof (1982; band dengan La Ino, 2013:6) ada dua kelompok bahasa yang hidup di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni satu kelompok bahasa yang tergolong bahasa Austronesia
dan 12
bahasa
non-Austronesia. Berdasarkan pendataan Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Alor terdapat 18 bahasa daerah. Bahasabahasa daerah tersebut adalah: (1) Bahasa Daerah Alores; (2) Bahasa Daerah Kabola/Adang; (3) Bahasa Daerah Abui/A’fui; (4) Bahasa Daerah Hamap; (5) Bahasa Daerah Klon; (6) Bahasa Daerah Kui; (7) Bahasa Daerah Kafoa; (8) Bahasa Daerah Panea; (9) Bahasa Daerah Kamang; (10) Bahasa Daerah Kailesa; (11) Bahasa Daerah Wersin/Kula; (12) Bahasa Daerah Talangpui/Sawila; (13) Bahasa Daerah Blagar/Pura; (14) Bahasa Daerah Retta; (15) Bahasa Daerah Taiwa; (16) Bahasa Daerah Nedebang/Bintang/Kalamu; (17) Bahasa Daerah Deing/Diang; dan (18) Bahasa Daerah Lamma. Ditinjau dari klasifikasi daerah penyebaran dan luas pemakainya, dikelompokkan menjadi bahasa daerah terbesar, menengah, dan terkecil (Retika, 2012:1--10). Beberapa bahasa daerah di Kabupaten Alor dapat hidup berdampingan. Pengelompokan bahasa di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Pulau Alor
12
sesungguhnya belum tuntas, terbukti adanya pandangan yang berbeda mengenai jumlah bahasa daerah yang ada di pulau tersebut. Beberapa pakar linguistik yang mengkaji secara mendalam kajian linguistik historis komparatif berupa karya tulis ilmiah seperti tesis dan disertasi. Kajian linguistik historis komparatif dalam bentuk tesis, seperti: Putrayasa (1988); Mbete, (1990); Mandala, (1999); dan La Ino, (2004). Selanjutnya, kajian dalam bentuk disertasi, seperti: Syamsuddin (1996); Fernandez (1996); Budasi (2007); Mandala (2010); dan La Ino (2013). Kajian disertasi ini membahas secara khusus tentang kekerabatan bahasa yang ada di Pulau Alor, terutama bahasa yang masih dipelihara dan dilestarikan sebagai alat komunikasi pada kehidupan masyarakat setempat. Peneliti mengakaji tiga bahasa daerah di Kabupaten Alor dengan kajian linguistik historis komparatif, yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Ketiga bahasa tersebut letaknya berdekatan dan tergolong bahasa Austronesia serta memiliki wilayah sebar terbesar (bahasa Kabola dan bahasa Klon) dan wilayah sebar menengah (bahasa Hamap).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka beberapa permasalahan yang perlu dibahas pada kajian ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah pengelompokan genetis bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor?
13
2) Bagaimanakah sistem protobahasa bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor? 3) Bagaimanakah pola perubahan bunyi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon di Pulau Alor? 4) Bagaimanakah pantulan (refleks) protofonem PAN pada Protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl) di Pulau Alor? Rumusan masalah pertama membahas tentang pengelompokan bahasa yang berkerabat secara kuantitatif, mengkaji wilayah sebar terbesar, yakni bahasa Klon dan bahasa Kabola serta bahasa Hamap yang memiliki wilayah sebar tingkat menengah. Ketiga bahasa tersebut dianalisis berdasarkan hubungan keseasalan bahasa-bahasa yang ada dengan proto Austronesia. Pengelompokan bahasa dilakukan untuk penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan, setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keseasalannya dengan bahasa-bahasa yang berkerabat lainnya. Rumusan masalah kedua menguraikan tentang pemerian protobahasa dengan menurunkan ketiga bahasa yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon secara teoretis-hipotesis. Rekonstruksi protobahasa dilakukan dengan penelusuran kembali unsur-unsur warisan bahasa asal yang telah hilang melalui bentuk evidensi bahasa-bahasa turunan seta berkerabat yang sekarang masih hidup. Rumusan masalah ketiga menganalisis tentang pola perubahan bunyi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon. Selanjutnya fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan pola perubahan bunyi dikaji pada ketiga bahasa yang
14
berkerabat, menunjukkan bukti adanya keseasalan dan terwaris dari moyang yang sama. Penjejakan bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang perubahan-perubahan yang eksklusif, yang terdapat dalam dua bahasa atau lebih. Beberapa pola perubahan bunyi dapat terjadi secara beraturan maupun tidak beraturan. Perubahan bunyi secara teratur dapat terjadi apabila perubahannya terjadi pada kondisi yang sama. Rumusan masalah keempat menganalisis pantulan (refleks) protofonem yang teratur maupun tidak teratur PAN pada protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl) di Pulau Alor. Sejumlah etimon ditelusuri agar memperoleh etimon yang menampakkan pantulan atau tidak menampakkan pantulan terhadap protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl).
1.3 Tujuan Penelitian Setiap penelitian tentu memiliki tujuan, sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat keeratan dan kekerabatan ketiga bahasa yang ada di Pulau Alor. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan di bidang
15
sejarah perbandingan bahasa. Dengan demikian, bagi para linguis penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan studi bandingan untuk penelitian bahasa-bahasa daerah secara mendalam.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, tujuan penelitian sesuai dengan uraian yang diuraikan pada rumusan masalah, yakni mengelompokkan secara genetis ketiga bahasa yang diteliti, merekonstruksi protobahasa, pantulan PAN pada PKbHpKl, serta menganalisis pola perubahan bunyi PKb-Hp dengan Kl. Tujuan khusus penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Mengelompokkan secara genetis bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon yang terdapat di Pulau Alor. 2) Merekonstruksi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon yang terdapat di Pulau Alor. 3) Menganalisis pola perubahan bunyi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon di Pulau Alor. 4) Menganalisis pantulan (refleks) PAN pada protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl) di Pulau Alor
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi manfaat teoretis dan manfaat praktis. Di bawah dibahas setiap manfaat tersebut.
16
1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan fakta baru terhadap perkembangan linguistik historis komparatif. 2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kajian linguistik historis komparatif pada masa mendatang untuk penelitian selanjutnya. 3) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran terhadap hasil penelitian yang telah dikaji oleh peneliti.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk dapat menemukan fakta baru tentang guyub bahasa yang dimiliki oleh masyarakat Pulau Alor. Melalui fakta kebahasaan yang ada diharapkan bermanfaat bagi kesadaran masyarakat yang memiliki leluhur bahasa yang sama. Selanjutnya, manfaat penelitian ini juga diharapkan mampu menanamkan kepada generasi baru terhadap pembelajaran perbandingan bahasa. Manfaat praktis penelitian ini dapat diuraikan secara rinci sebagai berikut. 1) Melalui kekerabatan bahasa yang ditemukan dalam penelitian ini diharapkan tumbuh kesadaran baru tentang hubungan genetis antara guyub tutur bahasabahasa yang diteliti. 2) Melalui fakta kebahasaan tentang sejarah masa lalu diharapkan tumbuh kesadaran adanya leluhur bahasa yang sama.
17
3) Melalui fakta-fakta yang ditemukan, khususnya perubahan-perubahan kebahasaan berarti juga perubahan kebudayaan, guyub-guyub tutur bahasa-bahasa yang diteliti menyadari bahwa bahasa-bahasa mereka berubah pula pada masa mendatang. 4) Melalui kajian bahasa yang dilakukan diharapkan tumbuhnya kesadaran terhadap relasi kekerabatan dan leluhur bahasa moyang yang sama, sehingga dapat ditanamkan pada generasi baru melalui pembelajaran perbandingan bahasa kerabat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup hendaknya dirumuskan dengan jelas, baik yang menyangkut generalisasi maupun yang menyangkut peristiwa kasus. Dengan demikian, ruang lingkup tidak hanya menyangkut lokasi, materi aspek penelitian, tetapi juga variabelvariabel penelitian agar jangkauannya tidak terlalu sempit atau terlalu luas tanpa alasan yang masuk akal (Jendra, 1981:23). Kerangka sebuah penelitian diharapkan mampu memaparkan rencana dalam pikiran, dikelompokkan pada kerangka pikir untuk mendukung suatu batasan penelitian (Cresswell, 2000:3). Penelitian tentang kekerabatan Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor terbatas pada masalah-masalah sebagai berikut. 1. Mengelompokkan secara genetis bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon yang berkerabat secara kuantitatif di Pulau Alor. Kajian tersebut dilakukan dengan melihat wilayah sebar terbesar yakni bahasa Kabola dan bahasa Klon serta bahasa Hamap yang memiliki wilayah sebar tingkat
18
menengah. Ketiga bahasa tersebut dianalisis berdasarkan hubungan keseasalan
bahasa-bahasa
yang
ada
dengan
proto
Austronesia.
Pengelompokan bahasa dilakukan untuk penentuan silsilah kelompok bahasa demi kejelasan struktur genetisnya. 2. Menguraikan pemerian protobahasa dengan menurunkan ketiga bahasa yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon secara teoretis-hipotesis. Rekonstruksi protobahasa dilakukan dengan penelusuran kembali unsur-unsur warisan bahasa asal yang telah hilang melalui bentuk evidensi bahasa-bahasa turunan seta berkerabat yang sekarang masih hidup. Asumsi tersebut dikuatkan dengan bukti bahwa bahasa-bahasa yang berkerabat banyak menyimpan dan mengubah unsur warisan dengan kaidah yang ada. 3. Menganalisis pola perubahan bunyi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon. Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud pola perubahan bunyi dikaji pada ketiga bahasa yang berkerabat, menunjukkan bukti adanya keseasalan dan terwaris dari moyang yang sama. Perubahan bunyi secara teratur dapat dikaji, perubahan bunyi tersebut terjadi pada kondisi yang sama. 4. Menganalisis pantulan (refleks) protofonem PAN pada Protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl) di Pulau Alor. Sejumlah etimon ditelusuri agar memperoleh etimon yang menampakkan pantulan protofonem PAN dan tidak menampakkan pantulan protofonem PAN terhadap protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl). Pantulan protofonem tersebut ditemukan terpantul secara teratur dan beberapa protofonem yang terpantul tidak teratur.
19
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berdasarkan pengamatan dan penelitian kepustakaan yang dilakukan, ditemukan beberapa kajian historis yang mengkaji tentang bahasa daerah dengan menggunakan pendekatan linguistik historis komparatif. Beberapa uraian ringkas tentang linguistik komparatif , baik berupa kertas kerja, tesis, maupun disertasi digunakan sebagai bahan perbandingan kajian tulisan ini. Putrayasa (1988) mengkaji dalam bentuk tesis berjudul “ Hubungan Kekerabatan Bahasa Tetun-Rote-Dawan: Kajian Linguistik Historis Komparatif” membahas buktibukti keeratan hubungan kekerabatan bahasa dalam bentuk kuantitaif dan kualitatif. Bukti-bukti kuantitatif diperoleh berdasarkan 200 kosa kata Swadesh berupa persamaan persentase rata-rata ketiga bahasa mencapai 75 %. Persentase ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bahasa Bima dan bahasa Kisar yang mencapai 39 %. Pada subkelompok persentase persamaan bahasa Rote dan bahasa Dawan mencapai 79 %. Bukti-bukti kualitatif berupa inovasi fonologis dan leksikal berupa 23 buah leksikon. Inovasi fonologis pemisah kelompok berupa perubahan konsonan hambat bersuara menjadi hambat takbersuara. Ditemukan pula 33 buah leksikon yang inovatif dalam bahasa Rote dan bahasa Dawan. Berdasarkan bukti-bukti kuantitatif dan kualitatif disimpulkan bahwa bahasa Tetun-Rote-Dawan adalah satu kelompok tersendiri yang berkerabat erat. Kelompok bahasa Tetun-Rote-Dawan beranggotakan 19
20
bahasa Tetun dan subkelompok bahasa Rote-Dawan. Subkelompok bahasa RoteDawan beranggotakan bahasa Rote dan bahasa Dawan. Mbete (1990), menulis “Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa” adalah penelitian yang dilakukan dengan kajian linguistik historis komparatif. Penelitian yang disajikan dalam bentuk disertasi ini mengkaji secara lengkap ketiga bahasa yang diteliti yakni bahasa Bali, bahasa sasak, dan bahasa Sumbawa. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengelompokkan bahasa berdasarkan bukti-bukti kuantitatif dengan 200 kosa kata Swadesh diperoleh kesamaan persentase rata-rata tiga bahasa yakni 50 %. Persentase ini lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bahasa Jawa dan bahasa Madura yakni 41 %, begitu pula dengan bahasa Bima dan bahasa Manggarai hanya 31 %. Pada jenjang bawah, ditemukan persentase kesamaan bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa mencapai 64 %. Kemudian, dilakukan penelusuran bukti-bukti kualitatif melalui rekonstruksi fonologi, dengan menggunakan metode perbandingan. Inovasi fonologis penguat kelompok adalah metatesis bersama, sedangkan inovasi leksikal berjumlah 41 kata. Inovasi pemisah kelompok berupa hilangnya konsonan pertama pada deret konsonan di tengah kata, asimilasi nasal, dan perubahan konsonan. Ditemukan pula 31 kata yang inovatif dalam bahasa Sasak dan bahasa Sumbawa. Selanjutnya, dilakukan rekonstruksi protobahasa yang merupakan tahapan lanjutan rekonstruksi fonologi serta menyajikan kaidah perubahan fonem. Penjejakan hubungan keasalan merupakan tahap lanjut untuk membahas proto-Austronesia dengan protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Hasil temuan didapatkan bahwa bahasa Bali, bahasa Sasak, dan bahasa Sumbawa merupakan satu kelompok tersendiri yang
21
memiliki hubungan kekerabatan erat. Ketiga bahasa tersebut memiliki hubungan keseasalan yang diturunkan dari protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Syamsuddin A.R (1996), mengkaji “Kelompok Bahasa Bima-Sumba, Kajian Linguistik Historis Komparatif” dalam bentuk disertasi. Kajian tersebut membahas tentang sekilas pandang bahasa-bahasa kelompok Bima-Sumba. Bahasa-bahasa yang termasuk kelompok Bima-Sumba adalah bahasa Bima (BM), bahasa Komodo (KM), bahasa Manggarai (MG), bahasa Ngada (Ng), bahasa Lio (Li), bahasa Sumba (SB), dan bahasa Sawu (SW). Pengolahan data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan dengan teknik leksikostatistik dan glotokronologi untuk menghitung persentase kemiripan menghitung masa pisah bahasa-bahasa serumpun. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menentukan diagram pohon kekerabatannya, dengan teknik rekonstruksi, korespondensi, dan refleksi untuk menentukan bukti-bukti pengelompokan berupa inovasi. Rekonstruksi terhadap protobahasa dilakukan untuk menentukan kemiripan kosakata pokok, penentuan masa pisah, serta pengelompokan bahasa. Kajian kuantitatif dilakukan atas kelompok bahasa Bima-Sumba dan bahasa pembanding. Kemudian, kajian kualitatif dilakukan atas fonem dan ciri spesifik fonemis kelompok bahasa Bima-Sumba serta terjadi beberapa pergeseran. Pada mulanya, anggota kelompok berjumlah enam kemudian bertambah menjadi tujuh bahasa dan terpencar menjadi tiga subkelompok yakni: BMKM; MG (Ng-Li); SB-SW yang disusun dalam diagram pohon kekerabatan. Selanjutnya, dianalisis pula kajian kualitatif atas korespondensi dan rekonstruksi protobahasa kelompok Bima-Sumba. Berdasarkan pendekatan kualitatif ditemukan
22
1755 buah etimon protobahasa Sumba. Langkah berikutnya adalah kajian kualitatif atas refleksi proto Austronesia pada proto Bima-Sumba. Hasil temuan didapatkan adanya kekerabatan bahasa Bima-Sumba berdasarkan protobahasanya. Fernandez (1996), dalam tulisannya bertajuk “Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores (Kajian Linguistik Historis Komparatif terhadap sembilan bahasa di Flores)” merupakan penelitian bahasa yang disajikan dalam bentuk disertasi. Keadaan
bahasa-bahasa
di
Flores
diuraikan
secara
mendalam
untuk
mengelompokkan sembilan bahasa yang diteliti yakni bahasa Manggarai, bahasa Komodo, bahasa Rembong, bahasa Ngada, bahasa Lio, bahasa Palu’e, bahasa Sikka, bahasa Lamaholot, dan bahasa Kedang. Berdasarkan bukti-bukti kuantitatif melalui pendekatan leksikostatistik ditemukan persentase kognat sebesar 61,5 %. Persentase dengan bahasa-bahasa di sekitarnya rata-rata 20,5 %. Melalui bukti kualitatif dengan metode rekonstruksi dari bawah ke atas (bottom-up approach) dan dari atas ke bawah (top-down approach) ditemukan inovasi bersama secara fonologis dengan ciri gugus konsonan hambat likuid yang berlaku secara eksklusif bagi kelompok bahasa Flores. Rekonstruksi leksikal ditemukan sejumlah etimon protobahasa Flores yang memperkuat keyakinan adanya kelompok bahasa Flores tersebut. Selanjutnya dikaji rekonstruksi protobahasa Flores Barat dan Flores Timur serta rekonstruksi protobahasa Austronesia ke proto Flores. Hasil penelitian ditemukan bahwa kelompok bahasa Flores merupakan anggota kelompok bahasa Austronesia tengah. Kemudian kelompok bahasa Flores serta subkelompok bahasa berdasarkan bukti
23
kuantitaif (perhitungan persentase kognat) dan kualitatif (inovasi bersama) dibedakan atas subkelompok Flores Barat dan Flores Timur. Mandala
(1999),
melakukan
penelitian
dalam
bentuk
tesis
berjudul
“Pengelompokan Genetis Bahasa Karui, Waimoa, dan Naueti di Timor Timur” Penelitian ini dilakukan dengan kajian linguistik historis komparatif. Bahasa-bahasa tersebut diklasifikasikan sebagai bahasa Non- Austronesia. Bukti-bukti kuantitatif berdasarkan 200 kosa kata Swadesh ditemukan
kesamaan kognat mencapai
persentase rata-rata 56 % dan jenjang bawah mencapai 61 % terhadap kajian dengan metode leksikostatistik. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan bahasabahasa lain yang ada di sekitarnya. Kemudian bukti-bukti kualitatif ditemukan inovasi fonologis dan leksikal bersama yang eksklusif. Inovasi fonologis penguat kelompok berupa gugus konsonan frikatif, glottal, apokop, sinkop, metatesis, dan split. Inovasi penyatu sekaligus pemisah subkelompok berupa gugus konsonan hambat alveolar frikatif, glottal lateral, reduksi, afaresis konsonan, dan paragoge. Setelah direkonstruksi ditemukan sistem fonem protobahasa Kairui-Waimoa-Naueti (PKWN). Jumlah fonem segmental 13 buah yang meliputi lima vokal dan delapan konsonan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pantulan fonem-fonem PAN tampak jelas pada PKWN serta diklasifikasikan sebagai bahasa Austronesia. La Ino (2004), melakukan penelitian di Pulau Alor, NTT, mengenai hubungan kekerabatan tiga bahasa yaitu: bahasa Blagar, bahasa Pura, dan bahasa Retta. Berdasarkan bukti-bukti linguistik dalam sejumlah besar kata kerabat ditemukan bahwa ketiga bahasa tersebut diturunkan dari moyang bahasa yang sama. Dalam
24
penelitian disebut sebagai protobahasa (BIpRRt). Ketiga bahasa yang diteliti merupakan kajian linguistik historis komparatif, yang diklasifikasikan sebagai bahasa Non-Austronesia dan dihopetsiskan memiliki hubungan kekerabatan. Berdasarkan pengelompokan secara genetis ditemukan bukti-bukti keeratan ketiga bahasa yang diteliti. Bukti kuantitatif ditemukan berdasarkan kesamaan kognat dengan presentase 54,7 % dan jenjang bawah mencapai 69 % dengan metode leksikostatistik dari 200 kosa kata Swadesh. Bukti-bukti kualitatif ditemukan adanya inovasi fonologis dan leksikal. Inovasi penguat kelompok berupa konsonan hambat implosit bilabial. Kelompok pemisah sekaligus penyatu ditemukan berupa subkelompok, penghilangan fonem atau suku kata, serta penambahan fonem atau suku kata pada bahasa Retta. Ditemukan pula sejumlah kosa kata inovatif baik pada kelompok bahasa Blagar, Pura, dan Retta maupun subkelompok Blagar-Pura. Hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa sistem fonem proto bahasa Blagar, bahasa Pura, dan bahasa Retta memiliki jumlah fonem segmental masing-masing lima buah fonem vokal dan enam belas buah fonem konsonan. Berdasarkan hasil penelitian juga ditemukan adanya dua kelompok bahasa di Pulau Pantar yakni kelompok bahasa Austronesia dan Non-Austronesia. Budasi (2007) menulis “Kekerabatan Bahasa-Bahasa Sumba: Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif”, membahas secara tuntas beberapa bahasa di pulau Sumba yakni bahasa Kodi, bahasa Weweha, bahasa Laboya, bahasa Kambera, bahasa Mamboro, bahasa Wanokaka, dan bahasa Anakalang. Hasil penelitian tersebut membuktikan ketujuh bahasa yang diteliti memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Metode yang dilakukan adalah metode diakronis dengan teknik leksikostatistik dan
25
teknik rekonstruksi. Teknik rekonstruksi diharapkan menyangkut rekonstruksi fonologi dan rekonstruksi leksikal pada alanisis data. Metode tersebut dilengkapi dengan metode pantulan dan metode penyajian. Setelah mendeskripsikan beberapa bahasa beserta ekologinya dilakukan deskripsi fonologi dan leksikologi secara sinkronis dari bahasa yang diteliti. Analisis disajikan dengan metode kuantitatif dan kualitataif untuk dapat meguraikan tentang rekonstruksi proto Sumba. Secara kuantitatif hasil penelitian menunjukkan keeratan sebesar 58 %. Bukti kualitatif berupa evidensi secara fonologis sebagai inovasi bersama yakni dua buah split vokal dan split konsonan. Selain terjadi evidensi fonologis, untuk membentuk ciri vokalis dilakukan dengan menghilangkan atau meretensi fonem PAN pada posisi akhir ultima kemudian diikuti paragoge vokal. Temuan yang diperoleh adalah ada tujuh bahasa yang berkerabat di pulau Sumba, adanya pengelompokan bahasa-bahasa di pulau Sumba secara kuantitatif, adanya beberapa evidensi penyokong hubungan bahasa-bahasa sekerabat di pulau Sumba. Mandala (2010) juga melakukan penelitian kembali di Pulau Kaisar Maluku Tenggara dan Timor Leste mengenai hubungan evolusi fonologis bahasa Oirata dan kekerabatannya dengan bahasa-bahasa non-Austronesia di Timor Leste. Berdasarkan bukti-bukti linguistik yang tercermin dalam sejumlah besar kata berkerabat diindikasikan bahwa bahasa Oirata sebagai bahasa non-Austronesia yang berkerabat dengan bahasa-bahasa di Timor Leste yaitu bahasa Bunak dan bahasa Makasai, bahasa Fataluku, dan bahasa Lovaea. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati sembilan bahasa yakni dua bahasa di Pulau Kisar dan tujuh bahasa di Timor Leste.
26
Bahasa Oirata, Fataluku, dan Makasai memiliki hubungan kekerabatan dengan silsilah pola dwipilah. Ketiga bahasa tersebut merupakan induk, terbelah menjadi subkelompok Oirata-Fataluku dan subkelompok Makasai. Bahasa Oirata mengalami evolusi fonologis secara internal diakronis, seperti split vokal, merger vokal, pemadyaan vokal, perengkahan vokal, dan pembentukan konsonan hambat letup bersuara. Evolusi fonologis terjadi secara eksternal akibat kontak dengan bahasabahasa di kawasan itu. Bahasa Oirata juga mengalami pengayaan fonem konsonan, pembentukan kluster, penambahan gugus konsonan nasal hambat homorgan, dan pergeseran menuju vokalis. La Ino (2013) mengkaji tentang “Protobahasa Modebur, Kaera, Dan Teiwa, Bahasa Kerabat Non Austronesia di Pulau Pantar Nusa Tenggara Timur”. Penelitian dengan kajian linguistik historis komparatif menyasar pada bahasa-bahasa yang ada di Pulau Pantar. Data bahasa dikumpulkan dengan wawancara dan cakap semuka. Analisis data menggunakan metode sinkomparatif dan diakomparatif. Berdasarkan bukti kuantitatif, ditemukan dua kelompok bahasa yaitu bahasa Austronesia dan nonAustronesia. Kelompok bahasa non-Austronesia adalah bahasa Modebur, bahasa Kaera, bahasa Teiwa, bahasa Blagar, bahasa Klong, bahasa Mauta, bahasa Klamu, dan bahasa Deing. Kelompok bahasa Austronesia adalah bahasa Baranusa dan bahasa Alor. Bukti-bukti yang akurat menunjukkan adanya hubungan genetis bahasa-bahasa non-Austronesia di Pulau Pantar, terutama bahasa Modebur, bahasa Kaera, dan bahasa Teiwa. Bukti kuantitatif ditemukan berupa kesamaan kognat berdasarkan metode leksikostatistik dari 200 kosa kata Swadesh mencapai persentase rerata 56 %
27
dan jenjang bawah 71 %. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan bahasabahasa lainnya. Bukti-bukti kualitatif ditemukan berupa inovasi fonologis dan leksikal bersama yang eksklusif memperkuat bukti kuantitatif. Ditemukan sejumlah kosakata inovatif, baik pada kelompok bahasa Modebur-Kaera-Teiwa maupun subkelompok bahasa Modebur-Kaera. Setelah direkonstruksi ditemukan sistem fonem Protobahasa Modebur-Kaera-Taewa jumlah fonem segmental, yakni lima buah fonem vokal berdistribusi lengkap dan enam belas buah konsonan yang berdistribusi lengkap, di awal dan di tengah, serta di tengah dan akhir kata. Berdasarkan kajian pustaka di atas, ternyata Putrayasa, Mbete, Fernandez, Mandala, La Ino, Syamsudin, dan Budasi memiliki persamaan dan perbedaan terhadap penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti tersebut sama-sama merupakan kajian linguistik historis komparatif sesuai dengan kajian penelitian ini. Analisis
yang digunakan sama-sama menggunakan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Metode perbandingan yang digunakan juga sama-sama bersifat sinkomparatif dan diakomparatif. Perbedaannya terletak pada objek penelitian. Penelitian La Ino (2004) dilakukan di Pulau Alor, tetapi bahasa yang diteliti adalah kelompok bahasa non-Austronesia, yakni bahasa Blagar, bahasa Pura, dan bahasa Retta. Penelitian Mandala juga mengkaji bahasa non-Austronesia. Demikian pula penelitian La Ino (2013) mengkaji protobahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa; bahasa kerabat non-Austronesia dilakukan di Pulau Pantar, Nusa Tengara Timur. Peneliti melakukan penelitian di Pulau Alor, mengkaji tiga bahasa yakni bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Bahasa daerah yang ada di Pulau Alor
28
berjumlah 18 bahasa daerah, yakni (1) bahasa daerah Alores/Alurung; (2) bahasa daerah Kabola/ Adang; (3) bahasa daerah Abui/A’fui; (4) bahasa daerah Hamap; (5) bahasa daerah Klon; (6) bahasa daerah Kui; (7) bahasa daerah Kafoa; (8) bahasa daerah Panea; (9) bahasa daerah Kamang; (10) bahasa daerah Kailesa; (11) bahasa daerah Wersin/Kula; (12) bahasa daerah Tanglapui/ Sawila; (13) bahasa daerah Blagar/Pura; (14) bahasa daerah Retta; (15) bahasa daerah Taiwa; (16) bahasa daerah Nedebang/Bitang/Kalamu; (17) bahasa daerah Deing/Diang; dan (18) bahasa daerah Lamma. Grimes (1987:14) mengatakan, bahwa leksikostatistik merupakan teknik pengelompokan bahasa-bahasa atau dialek yang mengutamakan perhitungan katakata
secara
statistik
untuk
mengetahui
jumlah
kata-kata
kerabat
yang
diperbandingkan. Persentase kata kerabat antara 81-100 % tergolong dialek, persentase 36-80% tergolong bahasa, persentase antara 12-35 % tergolong keluarga bahasa, persentase 4-12 % tergolong rumpun bahasa, persentase 2-3 % tergolong mikrofilium, dan persentase 0-2 % tergolong mesofilium. Bentuk kajian penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dari kajian pustaka yang ada. Peneliti menganalisis dari beberapa teori yakni Bynon (1979) sebagai payung teori, digunakan untuk mengkaji secara keseluruhan rumusan masalah yang ada, sedangkan teori Antila (1972) digunakan untuk mengkaji rumusan masalah mengenai silsilah kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Selanjutnya, teori Jeffers dan Lehiste (1979) digunakan untuk mengkaji rumusan masalah mengenai sistem protobahasa yang dimiliki pada bahasa Kabola,
29
bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Teori Hock (1988), Crowly (1987), dan Lehmann (1966) digunakan untuk mengkaji rumusan masalah tentang pola perubahan bunyi pada bahasa Kabola-Hamap, terhadap bahasa Klon di Pulau Alor. Pantulan (refleks) protofonem PAN pada protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon (PKbHpKl) dikaji dengan kamus PAN yang disusun oleh Wurm dan Wilson. Pengelompokan ketiga bahasa secara genetis dilakukan untuk mengetahui silsilah kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap dan bahasa Klon. Selanjutnya dikaji protobahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon serta pola perubahan bunyi pada bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Refleks fonem PAN terhadap protobahasa Kabola, protobahasa Hamap, dan protobahasa Klon dikaji dengan menganalisis protofonem PAN ke protofonem bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon (top down) serta menganalisis protofonem bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon ke protofonem PAN (botton up).
2.2 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian kekerabatan bahasabahasa di Pulau Alor adalah sebagai berikut.
2.2.1 Kekerabatan Bahasa Kekerabatan bahasa merupakan hubungan keseasalan suatu bahasa yang dibuktikan dengan pengelompokan dan rekonstruksi protobahasanya. Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-
30
bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian, terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47; Antila, 1972:20; Keraf, 1996:22). Linguistik Historis Komparatif menggunakan ciri kesamaan bentuk dan makna sebagai pantulan dari sejarah warisan yang sama. Bahasa-bahasa kerabat, berasal dari bahasa proto yang sama selalu memperlihatkan kesamaan-kesamaan, seperti: (1) kesamaan sistem bunyi (fonetik) dan susunan bunyi (fonologis); (2) kesamaan morfologis, yakni kesamaan dalam bentuk kata dan kesamaan dalam bentuk gramatikal; serta (3) kesamaan sintaksis yakni kesamaan relasi antara kata-kata dalam sebuah kalimat (Keraf, 1996:34).
2.2.2 Pengelompokan Bahasa Pengelompokan berarti penentuan kedudukan bahasa-bahasa dalam suatu susunan atau pohon kekerabatan (family tree). Upaya pembuktian hubungan kekerabatan dan keasalan itu, pada umumnya bermuara pada pengelompokan bahasabahasa dan rekonstruksi protobahasa. Penelusuran tanah asal (home land) pada bahasa-bahasa berkerabat, fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama. Ciri-ciri warisan yang sama serta keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki (Bynon, 1979:55-62). . Rekonstruksi berarti penetapan satuan-satuan kebahasaan sebagai protobentuk. Satuan-satuan kebahasaan itu dirakit menjadi suatu sistem atau subsistem
31
protobahasa yang dihipotesiskan sebagai asal-muasal bersama. Di samping itu menjelaskan pula gejala-gejala perubahan kesejarahan bahasa-bahasa turunan hingga mencapai tahapan perkembangannya yang sekarang (Bynon, 1979:45; Jeffers dan Lehiste, 1979:27). Pengelompokan genetis adalah penelusuran subkelompok bahasa turunan dari kelompok bahasa yang lebih besar berdasarkan hipotesis pohon kekerabatan atau berdasarkan korespondensi bunyi, ditetapkan dengan hukum perubahan bunyi yang beraturan. Moyang bahasa berbelah secara berturut-turut dan pada setiap tahapan terjadi perubahan yang mengakibatkan pembelahan lebih lanjut atau berkembang biak dengan proses dan caranya sendiri (Jeffers dan Lehiste, 1979:31).
2.2.3 Rekonstruksi Protobahasa Penelitian hubungan kekerabatan dan keasalan bahasa-bahasa pada dasarnya menjejaki divergensi protobahasa, fakta-fakta kebahasaan agar dapat ditemukan untuk mengelompokkan bahasa-bahasa di daerah penelitian. Selanjutnya, dilakukan rekonstruksi protobahasa yang ada (Jeffers dan Lehiste, 1979:43; band. dengan Mbete, 1990:2). Konvergensi terjadi pada area linguistik yang mencakup bahasa milik suatu keluarga bahasa tetapi menunjukkan ciri-ciri yang sama. Sementara itu pinjaman hanya membutuhkan bilingualisme yang sangat terbatas pada bahasa yang bergengsi. Penutur harus menggunakan dua bahasa atau lebih, sehingga memiliki dua atau lebih tata bahasa dengan masing-masing leksikon sendiri dan seperangkat aturan. Pinjaman
32
berpengaruh terutama pada kosa kata, di samping terhadap morfologi dan sintaksis. Pinjaman biasanya searah, konvergensi bersama dengan fitur terbagi di antara bahasa yang konvergen dan tidak selalu untuk mengidentifikasi sumber dari fitur tertentu. Apa yang tampak terjadi pada kasus-kasus ekstrim konvergensi adalah pendekatan bertahap yang menghasilkan beberapa bahasa dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan kemiripan stuktur bahasa tertentu ( McMahon, 1999:213--214). Rekonstruksi protobahasa adalah penelusuran dan pembentukan kembali unsurunsur warisan bahasa asal yang telah hilang melalui evidensi bahasa-bahasa turunan (berkerabat) yang sekarang masih hidup (Hock, 1988:581 dan Arlotto, 1981:10). Penelusuran dan pembentukan kembali unsur warisan itu dapat dilakukan berdasarkan asumsi bahwa bahasa-bahasa sekerabat banyak menyimpan dan mengubah unsur warisan dengan kaidah dan berbagai cara (Dyen, 1978:35). Bahasa-bahasa proto yang berkembang pada masa lalu berubah menjadi beberapa bahasa turunan disebabkan oleh tempat dan waktu. Bahasa-bahasa turunan yang berkembang, berbeda dengan bahasa asalnya terjadi secara turun temurun. Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama. Ciri-ciri warisan yang sama serta keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki (Bynon, 1979:55-62).
33
2.2.4 Retensi Retensi adalah unsur warisan baik bentuk maupun makna yang tertinggal atau bertahan pada bahasa-bahasa turunan. Apabila dua bahasa atau lebih dalam subkelompok yang sama, maka dikatakan melewati masa turunan umum dan tidak akan menyimpang pada tahap berikutnya dalam perkembangannya. Bahasa-bahasa tersebut mempertahankan fitur dari proto-bahasanya. Retensi fitur tertentu dalam beberapa bahasa tersebut tidak signifikan karena diharapkan sejumlah besar fitur dipertahankan pula (Anderson, 1979:103; Crowley, 1987:188). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Munculnya ciri-ciri warisan yang sama pada bahasa-bahasa kerabat, keeratan hubungan keseasalan bahasa-bahasa tersebut dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki (Mbete, 1990:22; Budasi, 2007:23).
2.2.5 Inovasi Inovasi adalah unsur warisan dari bahasa asal yang telah mengalami perubahan pada masa sekarang (Anderson, 1979:104). Apabila terjadi perubahan pada kelompok bahasa turunan dan tidak terjadi pada kelompok bahasa lain dalam perkembangnnya maka disebut inovasi bersama eksklusif (Greenberg, 1963:49). Sejumlah bahasa yang mengalami inovasi atau perubahan yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut memiliki periode turunan umum dan subkelompok
34
yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inovasi bersama merupakan bukti pengelompokan, yang tidak berlangsung secara independensi dalam beberapa bahasa yang terpisah. Perubahan bahasa terjadi hanya sekali dan perubahan lain terjadi kemudian dalam bahasa masing-masing untuk membedakan satu bahasa dengan bahasa yang lain (Crowley, 1987:188). Kosa kata dasar yang diwarisi bersama dari suatu protobahasa, pada proses pengelompokan mengalami kesulitan yang ditimbulkan oleh jumlah kemiripan yang sama antara sejumlah besar bahasa kerabat. Kesulitan pada proses pengelompokan tersebut dapat dilakukan dengan mengembangkan metode lain sebagai pelengkap yaitu metode inovasi atau metode pembaharuan dari kata-kata dasarnya. Pembaharuan ini terjadi bukan karena pinjaman atau pengaruh dari luar, melainkan daya tumbuh dari bahasa itu sendiri. Dengan demikian, inovasi dapat terjadi pertamatama karena salah ucap atau salah tulis sebuah kata dalam teks lama. Inovasi juga dapat terjadi karena perubahan makna, sedangkan dalam bahasa kerabat yang lain makna dan bentuk tua tetap dipakai. Selanjutnya inovasi juga dapat terjadi karena kontaminasi. Hal ini dapat dilihat dalam menurunkan beberapa kosakata bahasa asing (Keraf, 1996:115).
2.2.6 Kognat Kognat adalah kata-kata yang bentuk fonetik dan artinya sama atau mirip (Jeffers dan Lehiste, 1979:167). Kata kerabat (cognate) dapat menentukan secara pasti
35
adanya kemiripan karena kekerabatan. Kemiripan bentuk makna karena warisan langsung menjadi dasar penetapan kata-kata kerabat (Keraf, 1996:34). Hipotesis dalam merekonstruksi protobahasa adalah hipotesis keterhubungan dan hipotesis keteraturan (Jeffers dan Lehiste, 1979:17; band.dengan Budasi, 2007:23). Hipotesis keterhubungan memiliki ciri kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna disebut kosakata seasal (cognate set). Kata-kata ini bukan merupakan pinjaman, kebetulan, atau kecenderungan semesta, melainkan sebagai warisan dari asal-usul yang sama. Selanjutnya, hipotesis keteraturan berwujud perubahan bunyi yang bersistem dan teratur pada bahasa-bahasa turunan. Dengan demikian, perubahan bunyi yang teratur pada kosa kata dari bahasa-bahasa berkerabat merupakan ciri-ciri warisan dari protobahasanya.
2.2.7 Korespondensi Bunyi Korespondensi bunyi atau kesepadanan bunyi adalah kesejajaran bunyi pada posisi yang sama, terdapat pada bahasa-bahasa turunan berdasarkan kognat dasar yang dikumpulkan dalam penelitian. Kesejajaran ini terlihat pada kesamaan atau kemiripan bentuk dan arti (Hock, 1988:557—558). Hoenigswald (1963:13) mengatakan bahwa korespondensi merupakan dua bahasa atau lebih, memiliki segmen yang sesuai dan merupakan bentuk bahasa sebagai penggantian dari bentuk bahasa yang lain.
36
Hukum bunyi mengandung tendensi adanya ikatan yang ketat, maka istilah tersebut diganti dengan istilah korespondensi fonemis (phonemic correspondence atau kesepadanan bunyi). Segmen-segmen yang berkorespondensi bagi glos yang sama dilihat dari segi bentuk dan makna dari bermacam-macam bahasa, dapat diperbandingkan satu sama lain. Hasil perbandingan itu disusun menjadi satu perangkat korespondensi. Sesudah mendaftarkan kata-kata dari sejumlah bahasa diadakan perbandingan fonem demi fonem dari setiap segmen. Fonem yang terdapat dalam posisi yang sama dimasukkan dalam satu perangkat korespondensi. Dalam sejumlah glos dapat diperoleh sejumlah perangkat korespondensi, sesuai dengan besar atau panjangnya segmen dari bahasa-bahasa yang diperbandingkan. Untuk mengkonkretkan cara prinsip perbandingan tersebut diterapkan dalam kenyataan dengan memperlihatkan teknik perbandingan dari bahasa Indo-Eropa. Kelompok kata-kata tersebut membentuk suati perangkat yang memiliki kemiripan satu sama lain (Keraf, 1996:49).
2.2.8 Hipotesis Pengelompokan bahasa-bahasa Austronesia secara umum telah dilakukan oleh para ahli. Pemilahan atas cabang-cabang atau kelompok utama berbeda-beda di antara ahli linguistik Austronesia. Perbedaan tersebut dilandasi atas fakta-fakta yang ditemukan. Kekerabatan yang akan diteliti dihipotesiskan membentuk bahasa-bahasa di Pulau Alor terutama kelompok bahasa Austronesia, terdiri atas dua kelompok yakni
37
kelompok bahasa terbesar dan kelompok bahasa menengah yang terbagi menjadi dwipilah dan tripilah (band dengan Mbete, 1990:4). Bahasa-bahasa di Pulau Alor merupakan sebuah subkelompok tersendiri. Susunan kekerabatan ketiga bahasa di Pulau Alor, yakni: bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon dihipotesiskan dapat membentuk dua bahasa turunan atau tiga bahasa turunan.
Model pengelompokan secara tripilah. Proto-Austronesia
A
B
C
Model pengelompokan bahasa secara dwipilah Proto-Austronesia
A
A 1
A 2
B
A 3
tripilah
dwipilah
38
Proto-Austronesia
A
B
C
Proto-Austronesia
A
C
Proto-Austronesia
B
B
C
A
2.3 Landasan Teori Penelitian tentang kekerabatan ketiga bahasa di Pulau Alor didasarkan pada kajian teori lingusitik historis komparatif. Kajian secara kuantitatif yang bersifat sinkronik ketiga bahasa berkerabat menggunakan teknik leksikostatistik dengan 200 kosa kata Swadesh (1972). Kajian secara kualitatif yang bersifat diakronik menggunakan teori: Antila (1972); Hock (1988); Crowley (1987); dan Lehmann (1966); Bynon (1979); Jeffers dan Lehiste (1979). Teori Antila (1972) digunakan untuk
mengkaji
rumusan
masalah
mengenai
silsilah
kekerabatan
tentang
pengelompokan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Selanjutnya, teori Bynon (1979) dan Jeffers dan Lehiste (1979) digunakan untuk mengkaji rumusan masalah mengenai sistem protobahasa yang dimiliki pada bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Teori Hock (1988), teori Crowly (1987), dan teori
39
Lehmann (1966) digunakan untuk mengkaji rumusan masalah tentang
pola
perubahan bunyi pada protobahasa Kabola-Hamap terhadap bahasa Klon. Pantulan (refleks) PAN terhadap PKbHpKl menggunakan kamus PAN yang disusun oleh Wurm dan Wilson. Antila (1972) mengungkapkan pengelompokan bahasa berarti penentuan kelompok bahasa untuk kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan yang dilakukan maka setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keasalannya dengan bahasa-bahasa kerabat lainnya. Rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan kekerabatan dan ikatan keseasalan bahasa, sesuai dengan jenjang kekerabatan serta dapat disilsilahkan. Menurut Bynon (1979) fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama. Ciri-ciri warisan yang sama serta keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki. dengan jenjang kekerabatan serta dapat disilsilahkan. Jeffers dan Lehiste (1979) menguraikan, bahwa protobahasa adalah bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabat dengan menggunakan sejumlah kaidah. Hock (1988) mengungkapkan, bahwa hubungan kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian historis komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan
40
berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasanya. Beberapa perubahan bunyi dapat terjadi, seperti: peleburan (merger), perengkahan (split), penunggalan (monophonemization), penggugusan (diphonemization), dan peluluhan bunyi (phonemic loss). Menurut Crowley (1987), sejumlah bahasa yang mengalami inovasi atau perubahan yang sama, dapat dikatakan bahasa tersebut memiliki periode turunan umum
dan subkelompok
yang sama.
Inovasi
bersama merupakan bukti
pengelompokan yang tidak berlangsung secara independensi dalam beberapa bahasa terpisah. Perubahan bahasa terjadi hanya sekali dan perubahan lain terjadi kemudian dalam bahasa masing-masing untuk membedakan satu bahasa dengan bahasa lainnya. Bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang perubahan yang eksklusif. Lehmann (1966)
mengatakan,
bahwa
metode utama
yang digunakan
subkelompok bahasa Austronesia adalah metode perbandingan-sejarah tradisional. Korespondensi bunyi digunakan untuk merekonstruksi bahasa purba dan menentukan inovasi fonologi, morfologi-sintaksis, dan leksikal. Dengan demikian, metode komparatif paling berhasil digunakan untuk mengungkapkan hubungan beberapa bahasa dan merekonstruksi bentuk-bentuk awal yang dapat dibuktikan pada bentuk Proto-Indo-Eropa. Setiap bahasa memiliki ciri-ciri kesemestaan (universal) tertentu. Kesemestaan tersebut mencakup: (1) kesamaan bentuk dan makna; setiap bahasa memiliki bentukbentuk tertentu dikaitkan dengan maknanya yang khas untuk memudahkan refrensi;
41
(2) setiap bahasa memiliki perangkat unit fungsional yang terkecil yaitu fonem dan morfem. Setiap bahasa memiliki perangkat yang terkecil untuk membedakan makna; (3) setiap bahasa di dunia memiliki kelas-kelas kata tertentu, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti orang, dan kata bilangan. Ilmu perbandingan bahasa kurang berminat pada ciri-ciri universal yang terdapat pada semua bahasa, tetapi lebih tertarik pada kesamaan-kesamaan bahasa-bahasa tertentu (Keraf, 1996:33). Kemiripan bentuk-makna yang terdapat pada bahasa-bahasa dapat terjadi karena tiga faktor: (1) karena warisan langsung (inheritance) oleh dua bahasa atau lebih dari suatu bahasa proto yang sama. Bentuk yang sama tersebut dinamakan bentuk kerabat (cognate); (2) karena faktor kebetulan (by chance), yang termasuk di dalamnya adalah kata-kata onomatopoeia dan simbolik bunyi; serta (3) karena pinjaman (borrowing), suatu kemiripan bentuk-makna terjadi karena suatu bahasa menyerap unsur tertentu dari sebuah bahasa akibat kontak dalam sejarah (Keraf, 1996:36). Hubungan kekerabatan antarbahasa serumpun dalam kajian historis komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asalnya atau protobahasa (Hock, 1988:567). Protobahasa merupakan bentuk yang dirancang bangun atau dirakit kembali sebagai gambaran tentang masa lalu suatu bahasa. Konsep ini merupakan gagasan teoretis yang dirancang dengan cara menghubungkan sistem-sistem bahasa sekerabtat dengan menggunakan sejumlah kaidah (Jeffers dan Lehiste,1979:17; Bynon,1979:71). Fakta-fakta kebahasaan dalam wujud keteraturan dan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa kerabat menunjukkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47).
42
Dengan demikian, ciri-ciri warisan yang sama serta keeratan hubungan keseasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan dan sistem protobahasanya dapat dijejaki. Asumsi dasar mengenai kata-kata kerabat yang berasal dari sebuah bahasa proto didasarkan pada beberapa hal seperti: (1) ada sejumlah besar kosa kata dari suatu kelompok bahasa tertentu secara relatif memperlihatkan kesamaan yang besar bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Kelompok bahasa Austronesia menunjukkan kesamaan-kesamaan yang menyolok. Alasan tersebut dapat diterima bahwa bahasa-bahasa itu berkembang dari suatu bahasa proto yang sama; (2) perubahan fonetis dalam sejarah bahasa-bahasa tertentu memperlihatkan pula sifat yang teratur. Keteraturan ini, oleh Grimm dirumuskan sebagai hukum bunyi. Perubahan fonetis tidak dapat dicatat dalam bahasa-bahasa Austronesia karena ketiadaan naskah tua yang mencatat keadaan bahasa pada tahap yang lebih tua, kecuali bahasa Jawa; (3) semakin dalam ditelusuri sejarah bahasa-bahasa kerabat maka semakin banyak terdapat kesamaan pokok-pokok yang dibandingkan. Antara satu kelompok dengan kelompok lain terdapat kesamaan-kesamaan tertentu (Keraf, 1996:37--38). Pengelompokan bahasa berarti penentuan kelompok bahasa untuk kejelasan struktur genetisnya. Dengan pengelompokan yang dilakukan, maka setiap bahasa yang diperbandingkan dapat diketahui kedudukan dan hubungan keasalannya dengan bahasa-bahasa kerabat lainnya. Rekonstruksi protobahasa memperjelas hubungan kekerabatan dan ikatan keseasalan bahasa, sesuai dengan jenjang kekerabatan yang
43
dapat disilsilahkan. Dengan demikian, protobahasa merupakan sistem yang diabstraksikan dari wujud bahasa-bahasa kerabat dan merupakan pantulan kesejarahan dan bahasa-bahasa itu pernah mengalami perkembangan yang sama sebagai bahasa tunggal (Antila, 1972:213). Sejarah bahasa dapat dipelajari dengan dua cara atau dua arah seperti penayangan video yang dimainkan maju atau mundur. Studi tentang sejarah bahasa merupakan kajian tentang perubahan bahasa dengan rekonstruksi setiap bahasa. Ahli bahasa memulai rekonstruksi dengan data awal yang tersedia dari keluarga bahasa, baik tertulis maupun lisan serta memastikan tahap-tahap awal dari bahasa atau nenek moyang
bahasa.
Bahasa
Proto-Indo-Eropa
dapat
ditelusuri
kembali
dan
diproyeksikan, walaupun tidak memiliki teks dan tidak ada penutur, selalu bergantung pada rekonstruksi komparatif (McMahon, 1999:6). Keraf (1996:106) menegaskan pula bahwa salah satu kajian Linguistik Historis Komparatif adalah usaha untuk mengadakan pengelompokan (sub-grouping) bahasabahasa, sehingga bukan hanya diketahui bahwa bahasa-bahasa tertentu memiliki kekerabatan tetapi dapat diketahui pula tingkat kekerabatan antara bahasa-bahasa tersebut. Berdasarkan tingkat kekerabatan bahasa yang ada dapat diketahui kelompok-kelompok bahasa, baik besar maupun kecil dalam satu kesatuan bahasa proto. Klasifikasi genetis atau klasifikasi geneologis merupakan suatu proses pengelompokan bahasa-bahasa sebagai hasil dari Linguistik Bandingan Historis. Klasifikasi ini dikembangkan dari kenyataan-kenyataan yang dijumpai para ahli pada
44
bahasa-bahasa tertentu di dunia. Beberapa bahasa di Eropa dan Asia memperlihatkan bentuk-bentuk yang sama dalam fonologi, morfologi, dan perbendaharaan kata. Demikian pula pada kelompok-kelompok bahasa yang terdapat antara bahasa Madagaskar dan bahasa Rapanuli dan antara bahasa Taiwan dan bahasa Selandia Baru, memperlihatkan kesamaan-kesamaan yang sangat besar terutama: kata dasar, kata bilangan, kata-kata anggota tubuh, kata ganti, binatang piaraan, dan kata-kata yang menyatakan kegiatan sehari-hari (Keraf, 1996:24). Ciri umum sebagai dasar hipotesis adalah kemiripan dan kesamaan wujud kebahasaan. Salah satu ciri yang paling diandalkan adalah kemiripan bentuk dan makna kata-kata. Kemudian, kata-kata yang memiliki kemiripan atau kesamaan bentuk dan makna disebut kosakata seasal (cognate set) bukan sebagai pinjaman, kebetulan, atau kecenderungan semesta dihipotesiskan sebagai warisan yang sama. Bukti kuantitatif untuk mengelompokkan antarbahasa sekerabat merupakan pengamatan sekilas pada sejumlah kosakata dasar dan dapat ditentukan kelompok bahasa-bahasa sekerabat berdasarkan persentasenya. Tataran fonologi dapat digunakan pada tingkat lanjutan untuk mengelompokkan protobahasa. Berdasarkan perubahan bunyi secara teratur yang terjadi pada masing-masing bahasa kerabat, dapat disusun kaidah-kaidah korespondensi fonem (Dyen, 1978:32 dan Bynon, 1979:25). Hukum bunyi dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX, pada hakikatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antarbahasa dalam bidang bunyi bahasa. Teknik penetapan korespondensi bunyi antarbahasa akan
45
menjadi dasar untuk menyusun hipotesis mengenai bunyi-bunyi proto dalam bahasa tua yang menurunkan bahasa-bahasa kerabat. Penetapan sebuah fonem proto dilakukan melalui rekonstruksi atau pemulihan untuk menemukan tingkat perkembangan sebelumnya. Rekonstruksi fonem-fonem proto menghasilkan pula morfem proto yang dianggap pernah ada dalam bahasa proto dari sejumlah bahasa kerabat (Keraf, 1996:40). Selanjutnya, bukti-bukti kualitatif merupakan upaya penemuan fakta-fakta tentang perubahan yang eksklusif, terdapat dalam dua bahasa atau lebih. Beberapa perubahan bunyi dapat terjadi, seperti peleburan (merger), perengkahan (split), panunggalan (monophonemization), penggugusan (diphonemization), dan peluluhan bunyi (phonemic loss) (Hock, 1988:107--117; Crowley, 1987:44--46). Dengan demikian, perubahan bunyi dapat terjadi seperti: peleburan, yakni penggabungan fonem atau lebih menjadi satu fonem; perengkahan, yakni satu fonem membelah menjadi dua fonem atau lebih; panunggalan, yakni perubahan gugus fonem menjadi sebuah fonem; penggugusan, yakni perubahan sebuah fonem menjadi dua fonem bergugus; serta peluluhan bunyi, yakni perubahan bunyi berupa hilangnya fonem baik pada posisi awal (aphaeresis), tengah (syncope), maupun akhir (apocope) (Keraf, 1996: 82-83; band dengan Budasi, 2007:24) Rekonstruksi secara fonologis dan leksikal terhadap bahasa-bahasa yang berkerabat baik bahasa Kabola, bahasa Hamap, maupun bahasa Klon dengan buktibukti kualitatif tersebut dipakai dasar untuk tujuan pengelompokan akhir.
46
2.4 Model Penelitian Model penelitian kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor dapat ditampilkan pada bagan berikut.
Kekerabatan Bahasa Kabola, Bahasa Hamap, dan Bahasa Klon di Pulau Alor
Pengelompokan Genetis
Pola Perubahan Bunyi
Sistem Protobahasa
Pantulan Protofonem PAN
Teori Linguistik Historis Komparatif
Pendekatan Kuantitatif (Retensi Bersama)
Metode Perbandingan Historis
Temuan
Pendekatan Kualitatif (Inovasi Bersama)
47
Penjelasan Penelitian tentang kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor dikaji dengan pendekatan linguistik historis komparatif. Langkah awal dilakukan dengan mengelompokkan secara genetis ketiga bahasa yang ada di Pulau Alor secara kuantitatif, menggunakan 200 kosa kata Swadesh dengan teknik leksikostatistik. Evidensi kuantitatif dengan harkat retensi bertujuan untuk menemukan silsilah kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor. Selanjutnya, untuk menganalisis sistem protobahasa yang berkerabat dilakukan melalui evidensi kualitatif dengan harkat inovasisi bersama. protobahasa dilakukan
Rekonstruksi
secara fonologis dalam bentuk protofonem, rekonstruksi
leksikon dilakukan dalam bentuk protokata. Analisis tersebut didukung oleh teori: Antila, Bynon, Jeffers dan Lehiste, Hock, Crowley, dan Lehmann. Kajian pola perubahan bunyi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon menyangkut
peleburan
(merger),
perengkahan
(split),
panunggalan
(monophonemization), penggugusan (diphonemization), peluluhan bunyi (phonemic loss), penambahan fonem (addition), serta pertukaran letak suku kata, segmen, dan campuran suku kata dan segmen (metathesis) merupakan pembuktian terhadap kekerabatan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon di Pulau Alor. Pencabangan beberapa bahasa dari kumpulan bahasa berkerabat dapat dikaji. Setiap kelompok bahasa secara genetis dipandang sebagai protobahasa tersendiri
48
Pantulan (refleks) protofonem PAN terhadap protobahasa Kabola, protobahasa protobahasa Hamap, dan protobahasa Klon ditelusuri berdasarkan protofonem yang terpantul maupun tidak terpantul terhadap proto ketiga bahasa tersebut dari daftar etimon yang ada. Analisis ini didukung oleh kamus Proto Austronesia (PAN) yang disusun oleh Wurm dan Wilson. Protofonem PAN yang terpantul pada PKbHpKl dikaji berdasarkan pantulan yang teratur, dan beberapa protofonem PAN yang terpantul secara tidak teratur.
49
BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Pada umumnya penelitian dapat dilakukan dengan dua jenis pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan penelitian ini dirancang berdasarkan prinsip Linguistik Historis Komparatif khususnya dalam upaya klasifikasi genetik atau pengelompokan bahasa-bahasa berkerabat. Penelitian kuantitatif menggunakan kerangka pikir secara deduktif sebagai kerangka kerja dengan mengajukan pertanyaan dalam menggali data atau hipotesis. Penelitian kualitatif
bersifat
eksploratif karena peneliti membangun pemahaman dari pikiran-pikiran yang ada (Cersswell, 2000: 33--34). Asumsi dasarnya adalah sukarnya perubahan terjadi pada seperangkat unsur, harkat retensi, atau daya tahan setiap bahasa hampir sama pada bahasa manapun serta mendasari tata kerja pengelompokan secara kuantitatif. Kajian dengan pendekatan kuantitatif digunakan untuk menghitung ancangan pemisah
dan
penyatu
bahasa-bahasa
turunan
dari
moyang
bahasa
atau
protobahasanya. Dengan kata-kata yang ada pada periode sebelumnya, dapat diketahui tentang objek dan ide-ide yang diketahui dan dimiliki oleh masyarakat pada zaman dulu ( Swadesh, 1972:272). Pengelompokan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon didukung oleh teori Antila dengan pendekatan kuantitatif yang dibantu dengan pendekatan kualitatif. Protobahasanya dikaji dengan teori Bynon dan Jefferste dan Lehiste, pantulan PAN dikaji dengan kamus PAN yang disusun oleh
49
50
Wurm dan Wilson. Analisis dikaji dengan arah dari bawah ke atas (botton up) yakni analisis dari PKbHpKl ke PAN dan dari atas ke bawah (top down) yakni analisis dari PAN ke PKbHpKl. Pola perubahan bunyi dikaji dengan teori Hock, Crowley, dan Lehmann berdasarkan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menggunakan ciri inovasi bersama dalam pengelompokan bahasa (exclusively shared linguistic innovation). Ciri-ciri, perubahan bersama, baik fonem pada metatesis maupun yang lainnya, terwaris pada dua bahasa atau lebih kerabat merupakan bukti kualitatif. Gejala penghilangan fonem dan penambahan fonem pada sejumlah bahasa di Pulau Alor merupakan bukti kuat adanya keeratan hubungan genetik. Pendekatan kualitatif menggunakan sekitar 1500 glos dengan daftar Holle dan klausa dasar untuk menjaring kosakata kerabat. Fenomenologi merupakan landasan filosofis penelitian kualitatif (Bungin, 2008:3). Kekualitatifan penelitian ini digunakan untuk menganalisis kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Alor. Fenomenologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebuah kenyataan. Berarti bahwa kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Alor dikaji berdasarkan kenyataan yang ada (band. dengan Muhajir, 1998:83-85). Penelitian kualitatif ini disajikan dengan format deskriptif karena mengutamakan teknik analisis data yang memiliki kekuatan pemerian secara mendalam untuk menguraikan tentang kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Alor. Data yang digunakan dalam penelitian yang menggunakan metode kualitatif adalah data verbal, berupa kata-kata, tidak dalam bentuk angka. Analisis dilakukan terhadap data yang telah
51
dipilih bersifat deskriptif-argumentatif dan kualitatif (band. dengan Suryati, 2012: 56). Rancangan model penelitian pada Linguistik Historis Komparatif (LHK) dapat dilakukan dengan dua model yakni model metode sejarah dan metode perbandingan. Metode sejarah berkaitan dengan hipotesis: (1) hubungan keseasalan bahasa-bahasa kerabat dan (2) adanya perubahan yang teratur (hukum bunyi) dan tidak teratur (reguler and sporadic change). Inovasi atau perubahan bunyi (teratur dan tidak teratur, bersyarat dan tidak bersyarat) merupakan obsesi dan penjejakan utama Linguistik Historis Komparatif (LHK) kendati tanpa meninggalkan retensi. Metode perbandingan yang digunakan bersifat sinkomparatif dan diakomparatif. Perbandingan bersifat sinkomparatif adalah perbandingan yang digunakan untuk menemukan ciri-ciri kesamaan dan keberbedaan antarbahasa kerabat yang hidup pada masa yang sama. Perbandingan bersifat diakomparatif adalah perbandingan yang digunakan untuk merekonstruksi protobahasa. Dengan demikian, perbandingan dilakukan antarbahasa kerabat, dua bahasa berkerabat atau lebih. Hipotesis inilah yang dijadikan sebagai landasan menganalisis data kebahasaan. Penelitian yang bersifat sinkomparatif dilakukan terhadap dua bahasa berkerabat atau lebih dalam periode yang sama. Bahasa-bahasa yang tidak memiliki tradisi tulis, dijejaki kembali ke masa lalu berdasarkan perangkat kognat dengan keteraturan korespondensinya pada masa kini (sinkronis). Penjejakan ke masa lalu untuk merekonstruksi protobahasa bersifat diakomparatif. Fonem atau leksikon yang
52
ditetapkan sebagai bentuk purba (protoform) secara hipotesis diterima sebagai bentuk (kata atau bunyi) atau (protofonem dan protokata) (Mbete, 2007: 4) Penelitian tentang kekerabatan bahasa-bahasa di Pulau Alor menggunakan kombinasi metode sinkomparatif dengan diakomparatif sehingga mendapatkan data yang valid. Dengan demikian, penelitian bahasa secara sinkronik dilakukan untuk mengetahui perkembangan bahasa pada satu kurun waktu, sedangkan penelitian secara diakronik bertujuan untuk mengetahui perkembangan bahasa pada beberapa kurun waktu. Kekerabatan beberapa bahasa tersebut dapat dijajaki pada periode yang sama dan juga pada kondisi bahasa pada masa lalu dengan menelusuri silsilah bahasa yang diteliti.
3.2 Lokasi Penelitian Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor (2013:57) Kecamatan Alor Barat Laut memiliki jumlah penduduk 19.373 orang, luas daerah 104,85 km² serta kepadatan penduduk mencapai 185 /km². Kecamatan Alor Barat Laut terdiri atas 18 desa/kelurahan yakni: 1. Desa Alor Kecil; 2 Desa Lefokisu; 3 Desa Ampera; 4 Desa Lewalu; 5. Desa Bampalola; 6. Desa Dulolong Barat; 7. Desa Dulolong; 8. Desa Hulnani; 9. Desa Alor Besar; 10. Desa Ternate Selatan; 11. Desa Ternate; 12. Desa Pulau Buaya; 13. Desa O’amate; 14. Desa Aimoli; 15. Desa Alaang; 16. Desa Adang; 17. Desa Alila; 18. Desa Otvai; dan 19. Desa Alila Selatan. Kecamatan Alor Barat Daya memiliki jumlah penduduk 22.227 orang, luas daerah 438,81 km² serta kepadatan penduduk mencapai 51/ km². Kecamatan Alor Barat Daya terdiri atas 20
53
desa/kelurahan yakni: 1. Desa Halerman; 2. Desa Margeta; 3. Desa Manatang; 4. Desa Tribur; 5. Desa Kuifana; 6. Desa Wakapsir; 7. Desa Wakapsir Timur; 8. Desa Kafelulang; 9. Desa Pintu Mas; 10. Desa Orgen; 11. Desa Probur; 12. Desa Probur Utara; 13. Desa Wolwal Barat; 14. Desa Wolwal Selatan; 15. Desa Wolwal Tengah; 16. Desa Wolwal; 17. Desa Moru; 18. Desa Moramam; 19. Desa Morba; dan 20. Desa Pailelang. Kepulauan Alor terdiri atas lima kecamatan yakni: Kecamatan Alor Barat Laut, Kecamatan Alor Barat Daya, Kecamatan Alor Selatan, Kecamatan Alor Timur, dan Kecamatan Pantar (Stonis, 2008:10--11). Penelitian bahasa Kabola berlokasi di desa Lendola, Teluk Mutiara Kecamatan Alor Barat Laut, sedangkan penelitian bahasa Hamap dan bahasa Klon berlokasi di desa Moru, Kecamatan Alor Barat Daya. Tempat penelitian bahasa Kabola berada di daerah perkotaan, yakni desa Lendola. Penduduknya cukup padat, fasilitas kehidupan sehari-hari sangat mendukung seperti: sekolah, pasar, kantor, toko, maupun bank yang merupakan kebutuhan bagi masyarakat setempat. Bahasa daerah digunakan terbatas pada tempat-tempat tertentu seperi di gereja maupun masjid, terutama menyangkut kegiatan adat. Bahasa Hamap dan bahasa Klon terletak di daerah perbukitan, tidak jauh dari kota apabila dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah lain. Bahasa Hamap dan bahasa Klon berada pada satu desa yakni desa Moru. Pada kenyataannya kedua bahasa daerah ini berbeda, walaupun dalam satu desa. Berdasarkan pengamatan peneliti, penutur kedua bahasa tersebut sama-sama mempertahankan bahasanya. Masyarakat pendukungnya hanya menggunakan bahasa daerah masing-masing, tidak terpengaruh oleh bahasa
54
lain yang ada di sekitarnya. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan ternyata bahasa Kabola dan bahasa Hamap menunjukkan kerabat dekat dibandingkan dengan bahasa Klon. Bahasa-bahasa lain menyebar di beberapa desa misalnya: bahasa Alores, bahasa Abui, bahasa Kui, bahasa Kafoa, bahasa Panea, bahasa Kamang, bahasa Kailesa, bahasa Wersin, bahasa Tanglapui, bahasa Blagar, bahasa Retta, bahasa Taiwa, bahasa Nedebang, bahasa Deing, dan bahasa Lamma.
3.3 Sumber Data dan Informan Sumber data penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data primer diperoleh dari sejumlah penutur asli yang dipakai sebagai informan. Sumber data skunder diperoleh dari sumber data yang sudah ada, terutama sumber-sumber kajian pustaka sebagai perbandingan. Data bahasa yang digali menggunakan daftar 200 kosakata Swadesh dan 1500 daftar Holle. Penentuan informan merupakan hal penting dalam melakukan penelitian. Beberapa persyaratan informan (Samarin, 1988: 55-70) yang harus dilaksanakan sebagai berikut. 1) Penutur asli dari bahasa yang diteliti, data yang diperoleh benar-benar bersumber dari orang yang menguasai bahasa tersebut dengan baik. 2) Informan harus mempunyai alat-alat ucap yang normal 3) Seorang informan berumur antara 25 sampai dengan 60 tahun. Informan yang berumur di bawah 25 tahun penguasaan kosa katanya terbatas. Informan yang
55
berumur di atas 60 tahun banyak kosakata yang dikuasainya telah terlupakan, tetapi tidak semuanya demikian. 4) Pendidikan informan minimal sekolah dasar dan maksimal sekolah menengah umum. Dengan tingkat pendidikan seperti itu penguasaan bahasa mereka semakin baik. 5) Informan tidak pernah merantau, supaya bahasa yang digunakan masih asli. 6) Informan memiliki cukup kebanggaan terhadap bahasanya, serta 7) Informan dapat berbahasa Indonesia. Jumlah informan penelitian bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon masing-masing menggunakan 3 (tiga) orang informan. Satu orang informan digunakan sebagai informan kunci pada masing-masing bahasa yang diteliti. Informan yang dipilih sesuai dengan syarat-syarat yang ada agar memperoleh data yang valid. Penelitian bahasa daerah lainnya, lima belas bahasa pendamping sebagai data primer digunakan beberapa orang informan pendamping (tambahan), sedangkan data sekunder dikaji berdasarkan data yang sudah ada dari beberapa sumber buku dan kajian pustaka seperti: Budasi (2007), Mandala (2010), La Ino (2013) dan sebagainya. 3.4 Instrumen Penelitian Secara garis besar, instrumen penelitian ada dua macam yaitu istrumen untuk menggali data kebahasaan dan nonkebahasaan. Data kebahasaan dipaparkan berupa
56
200 kosa kata Swadesh untuk data kuantitatif dan 1500 daftar Holle untuk penjaringan data kualitatif. Daftar pertanyaan memuat tentang konstruksi kata, frasa, kalimat, dan ungkapan. Penjaringan data nonkebahasaan dibantu dengan teknik perekaman cerita rakyat atau dongeng untuk mengecek kebenaran data. Untuk memperoleh data yang akurat, dengan menampilkan beberapa gambar, peragaan, atau aktivitas lainnya agar pertanyaan lebih mudah dipahami sehingga diperoleh data yang valid. Penjaringan data dengan 1500 daftar Holle dikelompokkan menjadi: (1) kelompok kata anggota tubuh; (2) kata bilangan; (3) ukuran; (4) kata ganti orang; (5) sistem kekerabatan; (6) peralatan; (7) kehidupan masyarakat; (8) tumbuh-tumbuhan; (9) binatang; (10) kata sifat; (11) kata keadaan; (12) waktu; (13) aktivitas; (14) mata pencaharian; serta (15) keadaan alam. Data skunder diperoleh dari hasil penelitian yang sudah ada dan digunakan sebagai bahan perbandingan.
3.5 Metode dan Teknik Penyediaan Data Metode pupuan lapangan (Ayatrohaedi, 1979: 33) dapat digunakan untuk memperoleh data di daerah penelitian. Metode ini dianggap lebih tinggi derajat keilmiahannya, karena secara langsung menanyakan hal-hal yang dianggap penting. Lebih lanjut, metode ini dapat dijabarkan menjadi metode simak dan metode cakap (band. dengan Sudaryanto, 1988: 2-9; Mahsun, 2007: 92-96). Bungin (2008) menyebut dengan istilah observasi untuk metode simak dan wawancara untuk istilah metode cakap (cakap semuka).
57
Metode simak dilakukan dengan cara menyimak pemakaian bahasa secara lisan. Teknik dasarnya adalah teknik sadap, yaitu teknik yang dilakukan dengan penyadapan yakni kecerdikan peneliti untuk menyadap pembicaraan informan di lapangan. Teknik lanjut adalah metode simak bebas libat cakap yaitu pengambilan data, peneliti tidak terlibat dalam percakapan. Teknik ini dapat diterapkan apabila data yang diperoleh melalui metode cakap tidak meyakinkan. Metode cakap digunakan dengan mengadakan wawancara kepada informan. Metode cakap memakai teknik pancing, yaitu teknik yang dilakukan dengan cara memancing informan agar mau berbicara. Teknik lanjutan metode cakap adalah teknik cakap semuka yang dilakukan dengan percakapan langsung atau tatap muka. Teknik cakap semuka dilanjutkan dengan teknik catat, rekam, dan terjemahan.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Penelitian kekerabatan bahada Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon menggunakan
metode
analisis
sinkomparatif
dan
diakomparatif.
Metode
sinkomparatif diterapkan terlebih dahulu untuk menganalisis bahasa-bahasa yang berkerabat pada satu kurun waktu, dilanjutkan dengan dengan metode diakomparatif untuk mengalisis bahasa-bahasa berkerabat pada beberapa kurun waktu. Metode analisis sinkomparatif menekankan pada deskripsi fonem dan penemuan aspek perubahan fonologis secara deskriptif untuk dapat berasumsi bahwa bahasa yang diteliti dikatakan berkerabat. Metode diakomparatif digunakan untuk menganalisis bahasa-bahasa berkerabat secara diakronis dengan cara kerja bertahap.
58
Tahap awal dilakukan dengan 200 kosakata Swadesh dengan teknik leksikostatistik yang merupakan analisis secara kuantitatif sehingga diperoleh jumlah persentase kognat serta menetapkan kelompok bahasa yang diteliti pada bahasa tersebut (Crowley, 1987:190; band. dengan La Ino, 2013:48). Tahap selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif dengan memperhatikan pasangan kata yang fonemnya identik, pasangan kata yang memiliki korespondensi bunyi, pasangan kata yang memiliki kemiripan secara fonetis, dan pasangan kata yang memiliki perbedaan satu fonem saja.
Analisis secara mendalam dilakukan dengan merekonstruksi setiap
fonem dari kata yang diperbandingkan, sehingga dapat ditetapkan bahasa-bahasa yang berkerabat secara definitif. Cara kerja metode di atas dibantu dengan teknik-teknik sebagai berikut. 1) Teknik Leksikostatistik Leksikostatistik merupakan salah satu teknik pengelompokan bahasa dengan angka sebagai dasar pemilahannya. Teknik tersebut digunakan untuk menemukan hubungan kekerabatan dua bahasa atau lebih dengan memperhitungkan unsur-unsur persamaan atau kemiripan yang terdapat pada kosakata yang diperbandingkan. Dalam hal ini leksikostatistik digunakan untuk pengelompokan ketiga bahasa yang diteliti dan mengutamakan perhitungan kata-kata secara statistik untuk mengetahui jumlah kata-kata kerabat yang diperbandingkan. Persentase kata kerabat antara 81-100 % tergolong dialek, persentase 36-80% tergolong bahasa, persentase antara 12-35 % tergolong keluarga bahasa, persentase 4-12 % tergolong rumpun
59
bahasa, persentase 2-3 % tergolong mikrofilum, dan persentase 0-2 % tergolong mesofilium (Grimes, 1987:14) Penelitian tentang hubungan kekerabatan dengan teknik leksikostatistik dipaparkan dengan rumus sebagai berikut. H=
J 𝐺
x 100%
Keterangan: H = Hubungan kekerabatan J = Jumlah kata kerabat G = Glos (item) Pengelompokan bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon berdasarkan bukti kuantitatif masih bersifat belum tuntas. Untuk itu diperlukan bukti-bukti kualitatif. Pengelompokan yang bersifat kualitatif dilakukan dengan upaya penemuan kemiripan dan kesamaan unsur-unsur kebahasaan yang inovatif-eksklusif pada bahasa-bahasa yang diteliti baik secara fonologi maupun leksikal. Kemiripan dan kesamaan inovasi segi fonologi dapat ditelusuri pada kesamaan pola atau kaidah perubahan fonem yang pada bahasa yang dianalisis. Kemiripan dan kesamaan pada tataran leksikal, inovasi tersebut tampak pada kemiripan dan kesamaan kosakata seasal yang dimiliki oleh kelompok dan subkelompok bahasa-bahasa yang diteliti. Tahapan penganalisisan data, peneliti menggunakan metode deskriptif analitis yakni mendeskripsikan bahasa-bahasa di daerah penelitian dari 200 kosakata Swadesh dan 1500 daftar Holle yang disebar kepada informan. Teknik lanjutannya adalah teknik hubung banding, baik hubung banding membedakan maupun
60
menyamakan (Sudaryanto, 1993:13-30; Djajasudarma, 1993:58; dan Mahsun, 2005:120-122).
Penerapan
metode
padan
dengan
teknik
hubung banding
menyamakan dan membedakan, digunakan untuk memilah unsur-unsur kebahasaan yang diteliti. Dengan menggunakan kedua teknik tersebut dapat dipisahkan bentukbentuk yang sama dan bentuk-bentuk yang berbeda. Ciri-ciri yang ditemukan dihubungbandingkan dan dibandingkan antarsesamanya (internal) dan di luar kelompok bahasa (eksternal). Selanjutnya, data diklasifikasikan dengan: (1) bukti penyatu kelompok dan (2) bukti pemisah kelompok dan sekaligus penyatu subkelompok. Berdasarkan bukti penyatu kelompok dan bukti pemisah kelompok ditentukan tingkat keeratan kelompok bahasa yang diteliti dalam bentuk silsilah berdasarkan analisis kualitatif. 2) Teknik Rekonstruksi. Rekonstruksi protobahasa dilakukan dengan cara membandingkan kosakata seasal yang dianalisis berdasarkan aspek kesepadanan fonologi dan leksikal. Rekonstruksi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan dari bawah ke atas (Bottom-up Reconstruction) serta dari atas ke bawah (Top Down Reconstruction). Analisis dengan teknik rekonstruksi tersebut dilakukan dengan cara penetapan protofonem demi protofonem pada bahasa yang diteliti. Cara kerja tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. a) Teknik Rekonstruksi Fonologi Rekonstruksi fonologi
dapat
dilakukan
untuk
menemukan
protofonem
subkelompok Protobahasa Kabola dan bahasa Hamap (PKbHp) dan kalompok
61
Protobahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Kalon (PKbHpKl). Rekonstruksi tersebut dilakukan fonem demi fonem untuk menemukan kaidah-kaidah perubahan protofonem dalam bahasa turunan berdasarkan kesepadanan fonem dalam kosakata seasal. b) Teknik Rekonstruksi Leksikal Rekonstruksi leksikal bertujuan untuk menemukan perangkat protokata yang memiliki makna sama atau mirip pada bahasa Kabola, bahasa Hamap, dan bahasa Klon. Rekonstruksi leksikal dilakukan setelah rekonstruksi fonologi. Rekonstruksi leksikal dilakukan dengan melibatkan kosakata seasal sehingga fonem berserta perubahannya dapat ditemukan.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Metode yang dipakai dalam menyajikan hasil penelitian ini adalah metode formal dan informal serta kombinasi antara formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud seperti: tanda /…./ menunjukkan ejaan fonemis; tanda (*) adalah tanda bintang, menunjukkan proto; tanda panah (→) adalah tanda arah perubahan; tanda (>) adalah tanda berubah menjadi; tanda kurung biasa (( )); kurung kurawal ({}); dan sebagainya. Metode informal yang dimaksud adalah adalah penyajian hasil analisis dengan untaian kata-kata agar penjelasannya terurai dan terinci, metode penyajian dibantu dengan teknik penyajian induktif dan deduktif (Sudaryanto, 1986:45).
62
3.8 Sistematika Penulisan Hasil Penelitian Sistematika penulisan pada kajian ini disajikan dalam beberapa bab yakni: Bab I merupakan Bab Pendahuluan memaparkan tentang 1) Latar Belakang; 2) Rumusan Masalah; 3) Tujuan Penelitian; 4) Manfaat Penelitian; serta 5) Ruang Lingkup Penelitian. Bab II tentang 1) Kajian Pustaka; 2) Konsep; 3) Landasan Teori; dan 4) Model Penelitian. Bab III tentang Metode Penelitian yaitu: 1) Rancangan Penelitian; 2) Lokasi Penelitian; 3) Sumber Data dan Informasi; 4) Instrumen Penelitian 5) Metode dan Teknik Penyediaan Data; 6) Metode dan Teknik Analisis Data; 7) Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data; dan 8) Sistematika Penulisan Hasil Penelitian. Bab IV membahas: Gambaran Umum Beberapa Bahasa Di Pulau Alor: 1) Jenis dan Jumlahnya serta 2) Karakteristik Bahasanya. Bab V Fonem-Fonem Bahasa Kabola, Bahasa Hamap, dan Bahasa Klon Di Pulau Alor. Bab VI Pengelompokan Genetis Bahasa Kabola, Bahasa Hamap, Dan Bahasa Klon Di Pulau Alor tentang: 1) Pengelompokan Genetis Bahasa Kabola, Bahasa Hamap, Dan Bahasa Klon Secara Kuantitatif serta 2) Pengelompokan Genetis Bahasa Kabola, Bahasa Hamap, Dan Bahasa Klon Secara Kualitatif. Bab VII Protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon yang membahas tentang rekonstruksi protobahasa yakni: 1) Rekonstruksi Fonologis dan 2) Rekonstruksi Leksikal. Bab VIII Pantulan (Refleks) Protofonem PAN Pada PKbHpKl. Bab IX Pola Perubahan Bunyi protobahasa Kabola, Hamap, dan Klon. Bab X Temuan Baru. Bab XI Simpulan dan Saran.