BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki keunikan dan keistimewaan khas. Kadangkala keunikan tersebut merupakan suatu keniscayaan yang hanya dimiliki oleh bahasa tertentu. Namun, tidak jarang pula suatu keistimewaan bahasa yang kurang lebih sama juga dimiliki oleh lebih dari satu bahasa. Bahasa Arab merupakan bahasa yang kaya akan kosakata. Sekiranya terdapat dua kata dengan susunan huruf yang sama, tetapi harakat berbeda tentu dapat melahirkan makna yang farik. Fenomena kebahasaan tersebut boleh jadi menjadi salah satu hal yang menjadikan bahasa ini memiliki kekayaan kosakata. Terkait dengan khazanah kata, salah satu keistimewaan bahasa Arab adalah terdapat banyak mutarādifāt ‘persamaan’. Banyaknya sinonimi dalam bahasa ini ditandai oleh banyaknya ragam leksikon dengan makna yang saling berdekatan. Secara umum, leksikon-leksikon tertentu memiliki kesamaan makna, kendatipun demikian, terdapat unsur yang membedakannya. Misalnya pada verba ( أتىatā), ( جاءjā’a), ( حضرhażara), ( أقبلaqbala), dan ( قدمqadima), kelima verba ini bermakna ‘datang’. Akan tetapi, verba ( أتىatā) bermakna datang dari tempat yang dekat, sedangkan verba ( جاءjā’a) bermakna datang dari tempat yang jauh. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Muhammad (2003: 19) sebagai berikut.
فالمعنى الواح ُد يُؤدَي بع ّدة ألفاظ متقاربة في المعنى م ّما يُتي ُح فرصة،وكثرة المترادفات خصيص ٌة أخرى.... ّ وال.واسعة للقدرة على ال ّتعبير عن الحقيقة الواحد بأساليب عديدة وعبارات شت ّى شك أن المترادفات ليست ) فهذه الكلمات (أتى) و(جاء) و(حضر) و(أقبل) و (قدم.متساوية في المعنى تمام ًا فهناك فروق دقيق ٌة بينها . وجاء إذا قدم من بعيد، فأتى إذا قدم من قريب، لكن َث َّم َة فروق ًا بينها،ك ّلها بمعنى القدوم من مكان إلى مكان
1
2
[Wa kaṡratul mutarādifāti khaṣīṣatun ukhrā, fal ma’nā al wāhidu yu’addī bi ‘uddatin alfāẓin mutaqāribatin fil ma’nā mimmā yutīhu furṣatan wāsi’atan lil qudrati ‘alā at ta’bīr ‘an al haqīqati al wāhidi bi asālībi ‘adīdatin wa ‘ibārātin syattā. Wa lā syakka anna al mutarādifāta laisat mutasāwiyatan fi al ma’nā tamāman fa hunāka furūqun daqīqatun bainahā. Fa hażihi al kalimātu (atā) wa (jā’a) wa (hażara) wa (aqbala) wa (qadima) kulluhā bi ma’nā al qudūm min makānin ilā makānin, lakinna ṡammata furūqan bainahā, fa atā iża qadima min qarīb, wa jā’a iża qadima min ba’īd]. Penelitian linguistik senantiasa melibatkan satuan lingual sebagai titik tolak. Dalam hal ini, verba merupakan kelas kata yang kehadirannya memegang fungsi esensial dalam struktur kalimat. Pentingnya peranan verba sebagaimana yang diungkapkan oleh Chafe (1970: 96) bahwa keseluruhan konsepsi universal manusia pada dasarnya dapat dibagi atas dua kelompok, verba dan nomina. Dengan asumsi, verba bersifat sentral, sementara nomina bersifat periferal. Hal yang sama juga diakui oleh Lehman (melalui Sudaryanto, 1979: 6) bahwa verba memegang peranan sentral dalam bahasa. Verba menjadi hal utama yang menentukan adanya berbagai struktur dari konstruksi dalam bahasa yang bersangkutan beserta perubahannya. Di dalam bahasa Arab, ( قالqāla) merupakan salah satu verba dominan yang seringkali digunakan dalam beragam teks dan wacana. Tingginya intensitas penggunaan verba قالdapat dijumpai baik dalam ragam bahasa lisan maupun tulisan. Seperti yang terdapat pada percakapan sehari-hari, pidato resmi, khutbah keagamaan, teks Al quran, hadits, karya tulis ilmiah, novel, puisi, majalah, media massa, atau bahkan media sosial. Oleh karena itu, verba qāla dianggap sebagai verba yang memiliki universalitas karena kelazimannya. Di sisi lain, keberadaan verba قالtidak selalu muncul dengan wujudnya sebagai bunyi [qā] dan [la]. Hal ini dikarenakan terdapat aspek intralingual yang
3
berpengaruh terhadap setiap perubahan verba tersebut, seperti halnya morfologi dan sintaksis. Terlepas dari kedua aspek tersebut, secara semantik qāla memiliki ragam variasi makna. Misalnya saja pada kutipan dialog berikut.
:( فقال الشيخ من فوره1) ً. كل ذلك العلم الذي اكتنزته مدى ثمانين عاما،أعطيك العلم :فقهقه الشيطان ً . إني أريد منك شيئا آخر. علمك ال ينفعني،ال حاجة بي إلى هذه البضاعة ماذا؟ .نفسك [Fa qāla asy syaikhu min faurihi]: [U’ṭīka al ‘ilma, kullu żālikal ‘ilmu al lażī iktazathu madā ṡamānīna ‘āman]. [Fa qahqaha asy syaiṭān]: [Lā hājatan bī ilā hażihi al biḍā’ati, ‘ilmuka lā yanfa’unī. Innī urīdu minka syai’an ākhar]. [Māża?] [Nafsaka] Seketika ilmuwan tua itu berkata: “Aku akan memberimu ilmu, semua ilmu yang telah kutimbun selama delapan puluh tahun.” Syetan lantas tertawa lantang: “Aku tidak butuh, ilmumu tidaklah berguna buatku. Sesungguhnya aku menginginkan hal lain.” “Apa?” “Jiwamu.” (Al Hakim, 1938: 18). Kutipan dialog pada contoh (1) merupakan salah satu penggunaan verba qāla dengan makna yang paling mendasar, yakni ‘berkata’. Perkataan tersebut merupakan dialog yang bersifat penawaran. Pun demikian, qāla tidak selalu memiliki makna sebagaimana kutipan di atas, seperti yang terdapat pada contoh berikut.
ومارسي، ا ّتبعي ال ِح ْمية. أنت مريضة بال ّس ّكري: التي فحصتها وقالت لها،( ذهبت فاطمة إلى الطبيبة2) ....الرياضة [Żahabat Fāṭimah ilā aṭ ṭabībah, al latī fahaṣathā wa qālat lahā: Anta marīḍah bi as sukkari. Ittabi’ī al himyah, wa mārisī ar riyāḍah].
4
Fatimah pergi ke dokter, kemudian dokter yang memeriksanya berkata: Kamu sakit diabetes. Sebaiknya terapkan diet dan berolahragalah…. (Al Fauzan 2002: 421). Kutipan dialog pada contoh (2) memiliki makna yang sama dengan contoh (1), yakni ‘berkata’. Namun, jika pada contoh sebelumnya perkataan tersebut merupakan dialog yang bersifat penawaran, maka pada contoh (2) perkataan tersebut bersifat informatif. Pun demikian, qāla tidak selalu memiliki makna ‘berkata’, sebagaimana yang terdapat pada contoh berikut.
: وتمالك الشيخ وتحامل ثم قال في صوت واجف.... (3) من أنت؟:فنظر إليه الوجه نظرة ثانية وأجاب وهل يعنيك كثير ًا أن تعرف من أنا؟ من أنت؟.... دائما حب المعرفة. دائما تريد أن تعرف...[Wa tumāliku asy syaikhu wa tuhāmilu ṡumma qāla fī ṣautin wājifin]: [Man anta?] [Fa naẓara ilaihi al wajha naẓratan ṡāniyatan wa ajāba]: [Wa hal ya’nīka kaṡiran an ta’rifu man anā?] [Man anta?] [Dāiman turīdu an ta’rifu. Dāiman hubbu al ma’rifat]... ….ilmuwan tua itu berusaha mengendalikan diri kemudian bertanya dengan suara yang bergetar: “Siapa kamu?” Untuk kedua kalinya, wajah itu kembali memandang dan menjawab: “Apakah kau benar-benar ingin mengetahui siapa aku?” “Siapa kamu?” “Kau selalu saja ingin tahu, kau selalu saja penuh keingintahuan….” (Al Hakim, 1938: 16) Berbeda dengan contoh sebelumnya, jika pada contoh (1) dan (2) qāla bermakna ‘berkata’, maka pada contoh (3) qāla diidentifikasi memiliki makna ‘bertanya’. Bahkan terkadang, terdapat suatu teks yang di dalamnya tertulis lebih dari satu kata qāla dengan makna yang berbeda. Misalnya pada potongan ayat di bawah ini.
5
.( يَوْ َم يَجْ َم ُع هللا ُ الرُّ ُس َل َفي َ ُقوْ ُل م َاذا ُأ ِج ْب ُتمصلى قاَ ُلوا ال ِع ْل َم َلن َاصلى إ ّنك أنتَ ع ّلم الغيُوب4) [Yauma yajma’u Allāhu ar rusula fa yaqūlu maża ujibtum. Qālū lā ‘ilma lanā. Innaka anta ‘allamul guyūb]. (Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka): “Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)-mu?” Para rasul menjawab: “Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghaib.” (QS. Al Maidah (5): 109). Pada contoh (4) di atas terdapat dua kata qāla yang digaris bawahi. Qāla pertama mengalami perubahan menjadi yaqūlu (fi’l mudhari’)1, sementara qāla kedua mengalami perubahan menjadi qālū (jama’ mudzakkar salim)2. Verba qāla yang
umumnya
diketahui
sebagai
verba
yang
memiliki
makna
‘berkata/mengatakan’ ternyata dapat diterjemahkan menjadi makna lain. Pertama, yaqūlū diterjemahkan menjadi ‘bertanya’, adapun qālū diterjemahkan menjadi ‘menjawab’. Terkait dengan hal ini, boleh jadi pemaknaan tersebut lantaran kesesuaian dengan konteks. Menurut Cahyono (1995: 214) bahwa dalam mengetahui makna yang terkandung dalam sebuah kalimat, maka dapat dilihat berdasarkan konteks linguistik atau ko-teks. Ko-teks mempunyai pengaruh yang kuat dalam penafsiran makna kata. Yule (2014: 35) menyebutkan bahwa kemampuan untuk mengenali referen yang dimaksudkan pada dasarnya lebih banyak bergantung pada pemahaman tentang ungkapan pengacuan.
1)
Fi’l mudhari’ merupakan peristiwa morfologis yang mengakibatkan suatu verba mengalami
perubahan kala (tense) menjadi verba yang bermakna sedang berlangsung. 2)
Jama’ mudzakkar salim merupakan verba yang berupa plural maskulin.
6
Kemampuan mengenali referen tersebut dibantu oleh materi linguistik atau koteks yang menyertai ungkapan pengacuan. Dengan demikian, boleh jadi, dikarenakan verba yaqūlu disertai oleh kata tanya berupa mādzā ‘apa’, maka verba ini bermakna ‘bertanya’. Sementara itu, dikarenakan verba qālū disertai oleh kata jawab berupa lā ‘tidak’, maka verba ini bermakna ‘menjawab’. Sementara itu, verba lain yang memiliki komponen makna ‘mengatakan’ adalah ( حكىhakā) dan ( أَ ْخبَ َرakhbara). Di bawah ini contoh penerapan verba tersebut dalam kalimat.
. كيف تحكم على إنسان؟ فأجاب أسأله كم كتابا يقرأ،( وسقراط الفيلسوف اإلغراقي فيحكى أنه سئل مرة5) [Wa Saqraṭa al fīlsūf al igrāqī fa yahkī annahu su’ila marrah. Kaifa tuhakkimu ‘ala insān? Fa ajāba as’aluhu kam kitāban yaqra’]. “Seorang filsuf, Socrates, menceritakan ketika ada seseorang yang bertanya. Bagaimana engkau menilai seseorang? Maka saya menjawab, tanyailah berapa buku yang dia baca,” (Al ‘Abdaliy, 2010: 22). Pada contoh (5) verba ( يحكىyahkī) merupakan bentuk fi’l mudhari’ dari ( حكىhakā). Yahkī mengandung makna ‘menceritakan’. Dalam hal ini, penutur mengatakan suatu peristiwa atau hikayat kepada orang lain Perkataan tersebut tidak sekadar sebagai informasi, tetapi dapat dijadikan refleksi.
.( َأ ْخب َ َرني َأنبا ًء سارَّة عن المباراة الرياضية6) [Akhbaranī anba’an sārratan ‘anil mabārāt ar riyāḍiyyah] “Ceritakan kepadaku tentang berita pertandingan olahraga itu” (Al qamus al muhīth). Kemudian pada contoh (6) verba ( أَ ْخبَ َرakhbara) mengandung makna menceritakan, yakni mengatakan suatu peristiwa dari sebuah berita kepada orang
7
lain. Makna menceritakan pada akhbara bersifat lebih umum, dalam hal ini menceritakan berita olahraga. Dalam penelitian ini, penelusuran makna dan relasi makna diwujudkan melalui analisis komponen makna. Upaya pengklasifikasian melalui komponen makna dilakukan bukan semata-mata untuk mengkotak-kotakkan verba, lebih daripada itu, penelitian ini dilandasi oleh fakta masih banyaknya pembelajar bahasa Arab yang terkadang bimbang dalam menentukan verba yang sesuai. Contoh problematik sederhana adalah ketika pembelajar memperoleh tugas membuat kalimat dalam bahasa Arab, menerjemahkan teks bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, dan membaca serta memahami teks bahasa Arab sekelas media massa. Terkadang beberapa pembelajar mengetahui makna leksikon verba yang dimaksud, bahkan leksikon lain yang memiliki kesamaan makna. Namun, leksikon yang bersinonim tidak selalu dapat diletakkan dalam teks dan konteks yang sama. Di sisi lain, dikarenakan terdapat beberapa leksikon verba yang hanya muncul dalam teks dan konteks tertentu saja, kemungkinan besar mengakibatkan pembelajar kurang memahami verba yang dimaksud. Dalam penelitian ini digunakan analisis komponen makna yang bertujuan untuk mengungkap keanekaragaman makna yang dimiliki oleh kelompok verba qāla. Menurut Chaer (1995: 114), komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Sementara itu, Kridalaksana (2008: 129) mendeskripsikan komponen
8
makna sebagai satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau ujaran.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimanakah klasifikasi verba qāla dalam bahasa Arab dan verba apa saja yang menjadi anggotanya?
2.
Apa sajakah komponen makna yang terdapat pada anggota kelompok verba qāla dalam bahasa Arab?
3.
Bagaimanakah relasi makna yang terdapat pada anggota kelompok verba qāla dalam bahasa Arab?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Untuk menglasifikasikan makna verba qāla dalam bahasa Arab dan mendeskripsikan kelompok verba yang menjadi anggotanya.
2.
Untuk menjelaskan komponen makna verba qāla beserta anggotanya dalam bahasa Arab.
3.
Untuk mendeskripsikan relasi makna yang terdapat pada verba qāla beserta anggotanya dalam bahasa Arab.
9
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan tidak hanya memberikan manfaat teoritis, tetapi juga menyumbangkan manfaat praktis sebagaimana dijabarkan di bawah ini. 1.4.1. Manfaat Teoritis 1.
Diharapkan dapat memberikan wawasan terkait dengan kelompok verba yang menjadi anggota qāla dalam bahasa Arab.
2.
Diharapkan dapat menambah wawasan seputar persamaan, perbedaan, dan relasi makna verba qāla dengan anggota kelompoknya.
1.4.2. Manfaat Praktis 1.
Bagi leksikografer, setidaknya upaya ini dapat membantu penyusunan kamus terkait dengan pembentukan leksikon.
2.
Bagi penerjemah, setidaknya upaya ini dapat dijadikan alternatif penerjemahan yang bukan hanya variatif, tetapi juga komunikatif.
3.
Bagi pembelajar, khususnya mahasiswa jurusan Bahasa/Sastra Arab baik yang berkecimpung dengan mata kuliah minat penerjemahan maupun non, diharapkan dapat menambah wawasan baru, sehingga dalam proses pembelajaran dapat memahami materi secara komprehensif, serta mampu mempraktekkannya dalam tugas akhir penerjemahan.
4.
Bagi dunia pengajaran bahasa, diharapkan dapat menambah wawasan bagi peserta didik dengan menanamkannya semenjak dikenalkan ragam verba dalam bahasa Arab, sehingga ke depannya pembelajar memahami tidak adanya sinonimi mutlak dan mampu membedakan ragam verba-verba tersebut melalui analisis komponen makna.
10
5.
Bagi peminat bahasa, linguistik, sastra, maupun pembaca pada umumnya, diharapkan dapat menambah khazanah pustaka seputar kelompok verba qāla dalam bahasa Arab beserta analisis komponen maknanya.
1.5. Ruang Lingkup Dalam penelitian ini, data yang diambil dibatasi pada kelompok verba qāla. Adapun sumber data utama terdiri atas; Kamus ekabahasa berupa kamus portable Al Mu’jam Al Wasith, Al Mu’jam Al Lughah Al Arabiyyah Al Mu’āshirah, dan Al Qamus Al Muhith. Adapun kamus dwibahasa yang digunakan adalah Al Munawwir Arab-Indonesia. Pemilihan kamus portable dikarenakan jenis kamus ini dinilai lebih mutakhir. Selain itu, digunakan pula sumber data yang berupa Al quran dan terjemah serta materi berbahasa Arab. Adapun jabaran penelitian dibatasi pada analisis komponen makna dan relasi makna data-data terkait.
1.6. Tinjauan Pustaka Pertama, Hidayatullah (2004) meneliti terkait dengan medan makna kepala negara dalam bahasa Arab. Dalam penelitian tersebut diteliti tentang u:lil amri, ami:r al mu’minin, khali:fah, ima:m, sultha:n, dan mali:k. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 4 temuan. Pertama, masing-masing kata tersebut tidak terdapat hubungan identitas karena berdasarkan analisis komponen makna, masing-masing kata tersebut memiliki komponen pembeda. Kedua, leksem uli:l amri memiliki hubungan inklusi dengan leksem lain. Ketiga, antara leksem ami:r
11
al mu’minin dengan leksem khali:fah, leksem khali:fah dengan leksem ima:m, leksem ami:r al mu’mini:n dengan leksem ima:m, dan leksem ami:r al mu’minin dengan sultha:n, terjadi hubungan tumpang tindih. Keempat, leksem mali:k dengan keempat leksem lain selain uli:l al amr terjadi hubungan disjungsi. Kedua, kajian komponen makna dengan memanfaatkan derivasi dari qāla pernah dilakukan Mubarak (2008) dengan judul skripsi “Analisis Komponen Makna Kata Al Kalam dan Al Qaul dalam Al-Quran Al Karim”. Al kalam dan al qaul merupakan nomina yang bermakna ‘perkataan’ dan ‘ucapan’. Ruang lingkup penelitian tersebut dibatasi pada kedua nomina yang terdapat dalam Al quran dengan melihat persamaan dan perbedaannya. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa persamaan dari keduanya adalah dapat disandarkan kepada Allah SWT, manusia, malaikat, dan hewan. Sedangkan perbedaannya dijabarkan sebagai berikut. a) al kalam dapat bermakna janji Allah baik tentang janji hukuman maupun kabar bahagia, sementara pada al qaul hanya bermakna janji hukuman; b) kata al kalam yang terdapat dalam Al-Quran sebagian besar penempatannya digunakan pada saat percakapan antara dua pihak, sementara al qaul untuk menyatakan pendapat; c) dari beberapa contoh tampak bahwa al kalam dapat berarti perkataan yang bukan hanya berasal dari lisan, pikiran, atau hati, tetapi juga berdasarkan amal perbuatan. Ketiga, kajian terkait dengan relasi makna dalam bahasa Arab pernah dilakukan Astari (2008) dengan judul tesis “Sinonimi Fi’il Sulasi Mujarrad dan Konteksnya dalam Al quran.” Penelitian tersebut bertujuan untuk mengungkap adanya perbedaan makna di dalam pasangan sinonim fi’il sulasi mujarrad dalam
12
al Quran dan melukiskan sejauh mana perbedaan tersebut. Melalui teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), serta teknik lanjutan dekomposisi leksikal dan teknik ganti, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut. a) terdapat pasangan sinonim yang semula digunakan dalam al Quran namun dalam perkembangan selanjutnya dipersempit pemakaiannya; b) terdapat pasangan sinonim yang tidak digunakan lagi dalam bahasa lisan tetapi masih digunakan dalam bentuk syair; c) terdapat pasangan sinonim dalam al Quran yang secara leksikal bermakna kebalikan; d) dalam bahasa Arab tidak dijumpai adanya sinonimi mutlak. Keempat, Khak (2013: 57) mengangkat penelitian berjudul “Verba Indrawi Penglihatan: Analisis Makna”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan teknik dasar distribusional. Adapun hasil dari kajian ini adalah ditemukan 28 verba yang berkaitan dengan indra penglihatan yang meliputi; melihat, melirik, mengerling, menjeling, memalis, menengok, melengos, menoleh, mengintip, mengintai, memandang, mendelik, melotot, membelalak, memeriksa, mengawasi, memperhatikan, mengamati, menonton, menilik, memantau, menatap, menentang, mendongak, menengadah, melawat, menjenguk, dan menjenang. Berdasarkan analisis komponen makna, pada verba indrawi penglihatan terdapat hubungan leksikal, yaitu verba melihat sebagai unsur atasan (hiperonim) dan verba indra penglihatan sisanya sebagai unsur bawahan (hiponim). Di samping itu, terdapat hubugan leksikal lain antara anggota verba penglihatan, yakni kekohiponiman. Kelima, Andriani (2015) melalui tesisnya melakukan penelitian berjudul “Analisis Komponen Makna Kelompok Verba Say dalam Bahasa Inggris.” Penelitian tersebut bertujuan untuk mengangkat tiga permasalahan yang meliputi:
13
a) mencari leksem-leksem dalam kelas verba say; b) mencari komponen semantis yang terkandung dalam setiap leksem anggota dari kelompok verba say; c) menjelaskan bentuk polisemi dari verba say dalam bahasa Inggris. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, ditemukan sekurang-kurangnya 23 leksem sebagai anggota kelas verba say dalam bahasa Inggris, dengan 9 fitur semantik yang terdiri dari fitur wajib dan fitur pelengkap. Fitur wajib merupakan fitur yang dimiliki oleh semua leksem. Sementara itu, fitur pelengkap merupakan fitur yang hanya dimiliki oleh leksem tertentu. Adapun 23 leksem tersebut meliputi, propose, suggest, announce, state, claim, report, relate, recount, proclaim, reiterate, repeat, remark, articulate, blab, blurt, note, observe, convey, declare, mention, confide, reveal, dan confess. Keenam, Farikhatunnisak (2015) dengan judul tesis “Penerjemahan Verba Qāla ke dalam Bahasa Inggris: Studi Kasus pada The Meaning of The Glorious Quran Karya Muhammad Marmaduke Pickthall.” Penelitian ini dilandasi oleh tiga tujuan, yaitu: a) mendeskripsikan verba qāla pada The Meaning of the Glorious Quran oleh Muhammad Marmaduke Pickthall; b) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan leksikon yang berbeda-beda dalam menerjemahkan verba qāla ke dalam bahasa Inggris oleh Pickthall dalam The Meaning of the Glorious Quran; c) menjelaskan teknik, metode, dan ideologi yang digunakan dalam menerjemahkan verba qāla ke dalam bahasa Inggris oleh Pickthall dalam The Meaning of the Glorious Quran. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif kualitatif. Untuk pengumpulan data digunakan teknik simak dan teknik catat. Adapun dalam analisis data digunakan teknik padan translasional.
14
Berdasarkan analisis data, diperoleh hasil berupa: 1) verba qāla diterjemahkan menjadi sembilan verba utama dan dua belas derivasi, yakni said dan derivasi say, saith, saying, hath said, had said, will say, would say, would have said, b) answered, c) speake beserta derivasi speak dan speaketh, d) prayed, e) exclaimed, f) cried, g) told dan derivasi telleth dan had told, h) declared, dan i) proclaimed. 2) Pemilihan kesembilan verba utama dan dua belas turunannya sebagai terjemahan dari verba qāla dipengaruhi oleh faktor-faktor koteks, konteks, dan pilihan penerjemah. 3) Teknik-teknik yang digunakan Pickthall dalam menerjemahkan qāla adalah literal, partikularisasi, modulasi, amplifikasi linguistik, partikularisasi + modulasi, dan partikularisasi + amplifikasi linguistik. Kemudian, metode yang digunakan adalah metode semantik. Adapun ideologi yang dibawa adalah foreignisasi yang mengutamakan BSu Arab. Sejauh pengetahuan penulis, belum ada penelitian semantik komponen makna dalam bahasa Arab yang mengangkat verba qāla dan kelompoknya sebagai objek kajian. Qāla merupakan salah satu verba dalam bahasa Arab yang memiliki intensitas kemunculan yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kehadirannya dalam beragam teks tulis maupun ujaran. Oleh karena itu, mengingat qāla juga memiliki cukup banyak anggota kelompok verba, maka penelitian ini mengangkat judul “Komponen Makna Kelompok Verba Qāla dalam Bahasa Arab.”
15
1.7. Landasan Teori Dalam penelitian ini, beberapa teori yang dijadikan sebagai landasan penelitian meliputi, medan makna, analisis komponen makna, dan relasi makna. Relasi makna terdiri atas, sinonimi, hiponimi, serta polisemi. 1.7.1. Medan Makna Benda, kegiatan, peristiwa, proses, semuanya diberi label yang disebut lambang. Setiap lambang dibebani unsur yang disebut makna. Meskipun lambang-lambang tersebut berbeda, tetapi makna dari lambang tersebut dapat memperlihatkan adanya hubungan makna. Misalnya kata membawa, memikul, menggendong, menjinjing, dan menjunjung. Jika dianalisis, kata membawa mengandung makna adanya aktivitas yang meliputi; a) aktivitas yang dilakukan manusia; b) orang yang melaksanakan kegiatan menggunakan tangan, bahu, atau kepala; c) ada benda yang menjadi sasaran kegiatan; d) kegiatan tersebut dilaksanakan dari satu tempat ke tempat yang lain. Makna-makna yang baru saja disebutkan inilah jangkauan makna dari leksem membawa yang disebut medan makna (Pateda, 2001: 254-255). Sederhananya, Umar (melalui Ainin dan Asrori, 2008: 106) menyebutkan bahwa medan makna merupakan seperangkat atau kumpulan kata yang maknanya saling berkaitan. Dalam memahami makna suatu kata, maka seyogyanya memahami pula sekumpulan kosakata yang maknanya berhubungan. Sementara itu, Lyons (1979: 255) mengemukakan bahwa konsep medan makna dapat meliputi beberapa hal, antara lain; a) bahwa setiap seperangkat leksem hanya kembali pada satu makna; b) setiap leksem merupakan anggota dari medan makna
16
tertentu; c) tidak ada perubahan dalam seperangkat leksem, tetapi dimungkinkan adanya perubahan makna konseptual sesuai dengan struktur internal atau konteks; d) setiap leksem tidak mungkin terlepas dari makna konsep struktur internal. Poinpoin tersebut sebagaimana kutipan berikut. a) that there has been no change either in the set of lexemes belonging to the two fields or in their sense-relations; b) that one of the lexemes has been replaced with a new lexeme (or each of a subset of the lexemes has been replaced) without, however, any change in the internal structure of the conceptual field; c) that there has been no change in the set of lexemes, but there has been a change of some kind in the internal structure of the conceptual field; d) that one (or more) of the lexemes has been replaced and the internal structure of the conceptual field has also changed. Menurut Chaer (2013: 111), kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu kolokasi dan set. Kolokasi merujuk pada hubungan sintagmatik yang bersifat linear, sedangkan set merujuk pada hubungan paradigmatik yang berada dalam satu paradigma yang dapat saling menggantikan. Berkaitan dengan hal tersebut, Saussure (1996: 219-220) menyebutnya dengan istilah hubungan sintagmatis dan asosiatif. Sintagma selalu dibentuk oleh dua atau sejumlah satuan yang berurutan. Misalnya relire ‘membaca kembali’, contretous ‘menentang semuanya’, ‘la vie humaine’, ‘kehidupan manusia’, Dieu est bon ‘Tuhan Maha Pengasih’, dan seterusnya. Adapun paradigmatik/asosiatif berada di luar wacana, terdapat kesamaan asosiasi di dalam ingatan. Misalnya kata enseignement ‘pengajaran’ berasosiasi dengan enseigner ‘mengajar’, renseigner ‘menerangkan’, dan seterusnya. Bagaimana hubungan makna termasuk dalam medan makna yang sama, bagaimana luas dan sempitnya medan makna itu, dan pada tingkat apa struktur hierarkinya dapat berfungsi, bergantung pada keseluruhan struktur semantik suatu
17
bahasa. Adapun fitur medan makna kata dapat dilihat dari segi: bentuk atau ukuran, tingkatan hierarki, keanggotaan kata, kebermacaman kata, dan lingkungan kata yang semuanya dapat dikelompokkan menjadi: entitas atau objek, kegiatan, abstraksi yang termasuk di dalamnya kualitas, dan penghubung (Pateda, 2001: 255-256). Medan makna merupakan kelompok kata yang maknanya saling terjalin. Oleh karena itu, kata-kata umum dapat mempunyai anggota yang disebut hiponim. Hal tersebut dibuktikan melalui kehiponiman tumbuh-tumbuhan. Misalnya: bunga, durian, jagung, kelapa, pisang, sagu, tomat, dan ubi. Kata bunga mempunyai hiponim: aster, bugenvil, kamboja, matahari, suvenir, dan tulip. Dengan demikian, deskripsi medan makna dapat saja berupa keberadaan medan makna itu sendiri, baik medan makna yang berdiri secara terpisah dari medan makna yang lain maupun medan makna yang terikat dalam hubugan dengan jaringan medan makna yang lebih luas. Misalnya, selain kata melihat mempunyai medan makna sendiri, kata ini juga dihubungkan dengan kata-kata lain seperti menatap, menengok, menyontek, dan mengintip (Pateda, 2001: 257258). Jadi, pada dasarnya kosa kata suatu bahasa tidak berupa sejumlah kata yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi semuanya saling terjalin, berhubungan, dan mengindentifikasikan kata yang satu dengan kata yang lain dalam satu jaringan makna yang disebut sebagai medan makna (Pateda, 2001: 258).
18
1.7.2.
Analisis Komponen Makna Dalam semantik yang berkembang saat ini, telah dilakukan pendekatan
dua arah terhadap permasalahan yang sangat rumit yang ditimbulkan oleh struktur kosakata. Pendekatan pertama merupakan penggolongan konsep secara umum dalam bentuk tesaurus dan pendekatan kedua berupa analisis komponen (componential analysis). Analisis komponen membagi makna ke dalam komponen-komponen terkecil dalam bentuk skema. Skema tersebut dapat memperjelas perbedaan antara dua macam unsur makna satuan leksikal, yakni pemarkah semantik (semantic marker) dan pembeda semantik (semantic distinguishers) yang bersifat khusus untuk kata-kata tertentu. Komponen tersebut disusun dalam suatu hirarki dari yang bersifat umum sampai yang bersifat khusus. (Cahyono, 1995: 206). Sementara itu, Pateda (2001: 261) berpendapat bahwa kata-kata saling berhubungan dalam jalinan yang disebut medan makna. Relasi antarmakna dapat berdekatan, berjauhan, terdapat kemiripan, persamaan, bahkan pertentangan. Dalam mengetahui seberapa jauh kedekatan, kemiripan, kesamaan, dan ketidaksamaan makna, maka seseorang perlu untuk mengetahui komponen makna. Berkaitan dengan hal ini, detail makna hingga unit terkecil dapat diketahui melalui sebuah analisis. Analisis komponen makna dapat dilakukan terhadap katakata dengan menguraikannya hingga komponen makna terkecil. Terkait dengan hal di atas, banyak di antara para linguis yang kemudian melakukan analisis komponensial dalam memberikan representasi eksplisit terkait dengan relasi antarkata. Dalam hal ini, makna kata yang dianalisis tidak sebagai
19
sebuah konsep unit, tetapi sebagai sebuah himpunan kesatuan dari komponen makna, sebagaimana kutipan berikut. Many linguist have turned to hat has been called componential analysis to give an explicit representation of the systemic relations between words. On this view the meanings of words are analysed not as unitary concepts but as complexes made up of components of meaning which are themselves semantic primitives (Kempson, 1989: 18). Komponen makna mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur leksikal tersebut (Chaer, 2013: 114). Misalnya qāla mengandung makna: [+qaul] ‘perkataan’, [+dilālah ‘alal hāl] ‘menunjukkan keadaan’, [+ra’yun] ‘opini’, [+at tanzil al ‘aziz] ‘digunakan dalam Al-quran’, [+fi al hadits] ‘digunakan dalam hadits’. Takallama ‘berbicara’ mengandung makna: [+kalam], [+dilālah ‘alal hāl], [+ra’yun] ‘opini’, [-qaul], [-at tanzil al ‘aziz], [+al hadits]. Dalam menganalisis komponen makna, Nida (melalui Hidayatullah, 2012: 120) mengajukan empat prosedur. Pertama, penamaan, yaitu proses yang berhubungan dengan rujuakannya. Rujukan dapat berupa benda, peristiwa, gejala, proses, dan sistem. Dalam hal ini, penamaan bersifat konvensional. Kedua, parafrasa yang bertitik tolak dari deskripsi pendek tentang sesuatu. Ketiga, pendefinisian, yaitu usaha untuk menjelaskan sesuatu. Usaha ini berpangkal dari analisis makna dan parafrasa. Keempat, klasifikasi, yaitu proses yang menghubungkan sebuah leksem dengan genusnya kemudian dilanjutkan dengan membedakan leksem yang diklasifikasi dari anggota lain di dalam kelas tertentu dengan membedakan ciri-cirinya.
20
Dalam pendekatan melalui analisis komponensial, setiap kosakata dideskripsikan berdasarkan fitur-fitur yang paling mendasar. Fitur tersebut merupakan kata-kata yang diperoleh dari sejumlah sistem bahasa. Artinya, pendekatan ini mendefinisikan makna kosakata dengan kosakata lain yang satu sama lain saling berhubungan. Dengan demikian, melalui pendekatan ini, setiap unit makna kata yang mendasar dapat terperinci. Hal ini sesuai dengan kutipan di bawah ini. In the componential approach each word is semantically described in terms of a number of basic components or features; the features involved in the semantic description of the words of a language may be arranged in a number of systems. In the definitional approach the meaning of a word is defined in terms of the meanings of other words, related together through any of the grammatical construction of the language (this method does not deal in terms of elements of meaning smaller than the meanings of words). This approach has the advantage of breaking down word meanings into more basic units (Dixon, 1974: 439-440).
1.7.3. Relasi Makna Relasi makna merupakan hubungan makna dari kata-kata yang berbilang makna atau hubungan makna dari sejumlah kata. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan kesamaan, kebalikan, dan ketercakupan (Ainin dan Asrori, 2008: 61). Di bawah ini relasi makna meliputi sinonimi, hiponimi dan hipernimi, serta polisemi. 1.7.3.1. Sinonimi (Mutaradif) Soedjito (1989) mendefinisikan sinonim sebagai dua kata atau lebih yang maknanya sama atau hampir sama (mirip). Kata-kata yang bersinonim dapat berupa sesama kata asli, kata asli dan kata serapan, atau sesama kata serapan.
21
Selain itu, kata-kata yang bersinonim juga dapat berupa sesama kata dasar, kata dasar dan kata jadian, atau sesama kata jadian. Meskipun demikian, kelas kata sinonim selalu berjenis sama, dalam artian sesama kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, atau sesama kata tugas. Akan tetapi, kata-kata yang bersinonim tidak selalu sama. Perbedaannya dapat dilihat melalui distribusi, kelaziman pemakaian (kolokasi), nilai rasa (makna emotif), makna dasar dan makna tambahannya, serta ragam bahasa. Suatu kata dikatakan sinonim apabila memenuhi dua syarat, yaitu memiliki kemiripan yang hampir menyeluruh dan sesuatu yang berada di luar kemiripan itu tidak dianggap penting dan tidak banyak berpengaruh. Agar sinonim dapat digunakan secara lebih praktis maka diperlukan kesepakatan untuk dapat menggantikan satu sama lain dalam menggunakan kata-kata itu apapun bentuk kemiripan semantik yang ada di dalamnya (Cahyono, 1995: 208-209). Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning ‘kesamaan arti’. Hal tersebut dilihat dari kenyataan bahwa para penyusun kamus menunjukkan sejumlah perangkat kata yang memiliki makna sama; semua bersifat sinonim, atau satu sama lain sama makna, atau hubungan di antara kata-kata yang mirip (dianggap mirip) maknanya. Jika dua kata atau lebih memiliki makna yang sama, maka perangkat kata itu disebut sinonim (Djajasudarma, 1999: 36). Wijana (2010: 54) menyebutkan sinonim sebagai persamaan makna. Namun, kata-kata yang bersinonim umumnya tidak pernah saling menggantikan bila dihubungkan dengan satuan lingual tertentu. Dalam hukum distribusi sinonimi, dijelaskan oleh Kridalaksana (2008: 87) bahwa kata-kata yang
22
bersinonimi akan dibeda-bedakan dengan pelbagai cara dan kemudian tidak dapat dipertukarkan. Senada dengan hal tersebut, Palmer (1981: 88-89) mengemukakan bahwa sinonim merupakan persamaan kata. Terlihat jelas sekali bahwa terdapat banyak seperangkat kosakata dengan makna sama yang dimuat di dalam kamus. Artinya kosakata tersebut merupakan sinonim. Meskipun demikian, tidak ada sinonim yang sesungguhnya karena tidak pernah ada dua kata yang benar-benar sama makna, sebagaimana kutipan berikut: Synonymy is used to mean ‘sameness of meaning’. It is obvious that for the dictionary maker many sets of words have the same meaning; they are synonymous, or are synonyms of one another. However, there are no real synonyms, that no two words have exactly the same meaning. Indeed it would seem unlikely that two words with exactly the same meaning would both survive in a language. Oleh karena itu, Collinson (melalui Ullman, 2011: 177) mentabulasikan perbedaan-perbedaan antarsinonim. Terdapat sembilan kemungkinan berikut ini. 1) Satu kata lebih umum daripada yang lain. Misalnya, binatang – hewan. 2) Satu kata lebih intens dari yang lain. Misalnya, mengamati – memandang. 3) Satu kata lebih emotif daripada yang lain. Misalnya, memohon – meminta. 4) Satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral sedangkan yang lain netral. 5) Satu kata lebih professional daripada yang lain. Misalnya, riset – penelitian. 6) Satu kata lebih literer daripada yang lain. Misalnya, mafhum – memahami; puspa – bunga; ibunda – ibu.
23
7) Satu kata lebih kolokial (bersifat keseharian) daripada yang lain. Misalnya, aku – saya. 8) Satu kata lebih bersifat lokal atau dialek daripada yang lain. Misalnya, lu : gua (Jakarta) – kamu : saya. 9) Salah satu dari sinonim termasuk bahasa anak-anak. Misalnya, mama – ibu; mimik – minum. Terdapat tiga cara untuk menentukan sinonimi sebagaimana dikemukakan oleh Djajasudarma (melalui Ainin dan Asrori, 2008: 63) berikut. Yaitu subtitusi, pertentangan, dan penentuan konotasi. Dalam subtitusi, suatu set dipandang bersinonim apabila kata-kata tersebut dapat saling menggantikan dalam suatu konteks yang sama tanpa mengubah makna. Sedangkan dalam pertentangan, suatu kata dapat dipertentangkan dengan sejumlah kata lain, dan pertentangan tersebut dapat menghasilkan sinonim. Adapun dalam penentuan konotasi, satu set kata yang memiliki makna kognitif yang sama, tetapi makna emotifnya berbeda, maka kata-kata itu termasuk dalam sinonim. Di dalam bahasa Arab, sinonimi terjadi karena beberapa faktor, antara lain faktor mobilisasi atau perpindahan masyarakat yang terus menerus untuk mencari ladang penggembalaan baru. Masyarakat memandang Jazirah Arab sebagai satu unit kebahasaan (wahdah lughawiyyah wahidah) yang memungkinkan penuturnya untuk berpindah-pindah dari satu dialek ke dialek lain atau semuanya berkumpul menyatu dalam satu kode. Faktor lain adalah kontak berbagai suku di pasar yang memungkinkan suatu suku untuk menggunakan kata yang berasal dari suku lain, sehingga akhirnya tersebar luas. Faktor lain penyebab terjadinya sinonimi adalah
24
penggunaan secara majaz yang tersebar luas di masyarakat sehingga tidak lagi menampakkan nuansa kemajazannya (Ainin dan Asrori, 2008: 65). Adapun tujuan penggunaan kata yang berbeda, tetapi sebenarnya maknanya sama juga diterapkan dalam buku-buku retorik. Upaya ini dilakukan untuk menghindari pengulangan kata yang berlebihan. Dengan demikian, konteks kalimat yang baik dapat tercipta (Cahyono, 1995: 209).
1.7.3.2.
Hiponimi dan Hipernimi Istilah hiponimi (Ing: hyponymy) berasal dari bahasa Yunani Kuno, onoma
‘nama’, dan hypo ‘di bawah’. Hiponimi merupakan hubungan makna yang mengandung pengertian hierarki. Ketika sebuah kata memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya, maka hubungan tersebut dinamakan hiponimi. Istilah hiponim merupakan makna di bawah nama lain. Kebalikannya adalah hipernim atau superordinat (Djajasudarma, 1999: 48). Dalam semantik, hubungan antarmakna secara spesifik dan makna generik, atau antara anggota taksonimi dan nama taksonimi disebut sebagai hiponimi (Kridalaksana, 2008: 83). Verhaar (2012: 396) menjelaskan bahwa hiponim merupakan hubungan dalam pasangan kata antara yang lebih kecil (secara ekstensional) dan yang lebih besar (secara ekstensional pula). Hubungan kehiponiman tidak berlaku timbal balik. Sementara itu, Chaer (2013: 100) mengandaikan konsep hiponimi dan hipernimi sebagai kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna kata yang berada di bawah makna kata lainnya, sehingga
25
kata yang menjadi hipernim dari sejumlah kata akan menjadi hiponim dari kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Contoh sederhana adalah pada kata warna. Kata tersebut meliputi semua warna sehingga ia dapat dikatakan sebagai superordinat dari merah, jingga, biru, kuning, hijau, dan seterusnya. Sementara itu, ragam warna tersebut dinamakan hiponim karena berada di bawah kata warna. Dalam bahasa Arab, konsep hiponimi dan hipernimi seperti pada verba قال (qāla) ‘berkata’. Verba ini dapat disebut sebagai hipernim dengan anggota hiponim berupa ( تكلّمtakallama) ‘berbicara’, ( أخبرakhbara) ‘mengabarkan’, ّقص (qassha) ‘mengisahkan’, dan ( حكىhakā) ‘menceritakan’. Seperti pada diagram berikut.
قال
حكى
ّّقص
أخبر
تكلّم
1.8. Metode Penelitian Berdasarkan pengukuran dan analisis data, penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif eksplanatori. Menurut Ibnu (melalui Ainin, 2010: 12), suatu penelitian dikatakan kualitatif apabila datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistik. Adapun penelitian eksplanatori merupakan penelitian yang analisis datanya sampai pada menentukan hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Dalam hal ini, data-data yang
26
diambil dicari persamaan dan perbedaannya untuk kemudian ditabulasikan melalui analisis komponen makna. Selanjutnya, data-data yang telah ditabulasikan diteliti lebih lanjut menggunakan teori relasi makna. Berdasarkan latarnya, penelitian ini dikategorikan ke dalam penelitian perpustakaan atau library research. Sarwono (2006: 18) menyebutkan bahwa penelitian perpustakaan dilakukan dengan
mengkaji literatur,
penelitian
sebelumnya, jurnal, dan sumber-sumber perpustakaan. Adapun penelitian ini mengkaji satuan lingual berupa leksikon verba yang diperoleh dari kamus. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yang meliputi, pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data.
1.8.1. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah kamus portable ekabahasa, yakni Al mu’jam Al wasith (2015), Al mu’jam Al lughah Al arabiyyah Al mu’āshirah (2015), dan Al qamus Al muhith (2015). Pemilihan kamus portable dikarenakan jenis kamus ini dinilai lebih mutakhir. Selain itu, digunakan pula kamus dwibahasa berupa Al Munawwir Arab-Indonesia (1997), Al quran terjemah (1971), serta materi-materi berbahasa Arab.
1.8.2. Pengumpulan Data Pengumpulan data diambil melalui metode simak atau observasi dengan teknik sadap, teknik simak bebas libat cakap, serta teknik catat. Mahsun (2005: 90) mengemukakan bahwa istilah menyimak tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, tetapi juga penggunaan bahasa
27
secara tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar berupa teknik sadap. Dalam hal ini, upaya menyadap tidak hanya menyangkut penggunaan bahasa secara lisan,
tetapi
juga
tertulis.
Terkait dengan hal ini, peneliti melakukan
penyadapan data dari keseluruhan sumber data di atas. Selanjutnya, teknik sadap diikuti dengan teknik lajutan berupa teknik simak bebas libat cakap. Sudaryanto (melalui Kesuma, 2009: 18) mengemukakan bahwa dalam teknik simak bebas libat cakap, peneliti hanya menjadi pemerhati calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa lingual yang berada di luar dirinya. Lebih lanjut, teknik ini diikuti dengan teknik catat. Peneliti mencatat data berupa verba-verba yang berkemungkinan dapat dikategorikan ke dalam kelompok verba qāla karena adanya kesamaan makna. Peneliti juga mencatat ko-teks terkait dengan verba tersebut yang diperoleh dari Al quran terjemah serta materi berbahasa Arab. 1.8.3. Analisis Data Dalam menganalisis data digunakan metode padan referensial, metode padan pragmatis, dan metode agih. Metode padan referensial diwujudkan melalui teknik dasar berupa teknik pilah. Peneliti menggunakan daya pilah referensial dalam mengklasifikasikan verba-verba berdasarkan penutur, cara, dan konotasi. Pada metode padan pragmatis, peneliti menggunakan daya pilah pragmatis dalam mengklasifikasikan verba dengan menggunakan lawan tutur sebagai penentu. Kedua metode padan ini diikuti dengan teknik lanjutan berupa teknik hubung banding. Tujuan dari hubung banding adalah untuk mencari kesamaan dan perbedaan. Dalam hal ini, peneliti mengklasifikasikan verba-verba tersebut berdasarkan persamaan dan perbedaan yang melekat. Misalnya pada verba قال
28
(qāla), ( تكلّمtakallama), dan ( تح ّدثtahaddatsa) yang mana ketiga verba ini dapat bermakna ‘berbicara’. Namun, di sisi lain makna ‘berbicara’ dapat mengarah pada maksud yang berbeda. Selain metode padan, dalam penelitian ini juga digunakan metode agih. Metode ini digunakan tatkala mengklasifikasikan verba berdasarkan konteks linguistik atau ko-teks. Dalam metode ini, peneliti menggunakan teknik bagi unsur langsung. Teknik bagi unsur langsung yaitu dengan cara membagi dan mengklasifikasikan verba-verba tersebut ke dalam beberapa bagian yang termasuk dalam kelompoknya, yakni dengan melihat ko-teks berupa tujuan verba dan objek verba. Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesamaan makna pada verba tersebut. Menurut Kesuma (2007: 55) penerapan teknik bagi unsur langsung bermanfaat untuk menentukan bagian-bagian fungsional suatu konstruksi. Hasil penerapan teknik bagi unsur langsung dapat digunakan sebagai dasar bagi analisis data selanjutnya. Dalam hal ini, pasca melakukan keseluruhan metode dan teknik di atas, peneliti melakukan analisis komponen makna pada keseluruhan verba anggota ( قالqāla). 1.8.4. Penyajian Hasil Analisis Data Pada tahap terakhir adalah pengambilan kesimpulan dengan menyajikan hasil analisis data yang telah diperoleh dari metode dan teknik di atas. Hasil analisis data disajikan secara formal dan informal.
Data
yang disajikan
secara formal berupa pemaparan hasil dengan menggunakan bagan dan tabel, adapun data yang disajikan secara informal berupa pemaparan hasil secara deskriptif.
29
1.9. Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan ke dalam lima bab dengan sistematika berikut ini. Bab I berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi uraian klasfikasi dan anggota kelompok verba qāla dalam bahasa Arab. Bab III berisi komponen makna fi’l qāla dalam bahasa Arab. Bab IV berisi jabaran relasi makna pada kelompok fi’l qāla dalam bahasa Arab. Bab V berisi simpulan dan saran.