BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Suatu komunitas dalam berkomunikasi memerlukan suatu bahasa. Bahasa, dalam komunikasi antaranggota suatu komunitas dalam hal ini menjadi salah satu alat kehidupan yang sangat penting. Agar komunikasi tersebut dapat berlangsung dengan baik, komunikatif, dan efektif, setiap komunitas akan menciptakan bahasa yang khas dan cocok atau sesuai dengan sistem budaya komunitas tersebut. Bahasa yang diciptakan dan dipakai tentunya memiliki variasi tersendiri yang berbeda dengan bahasa yang lain. Akibat keinginan suatu komunitas menciptakan alat komunikasi yang khas di atas, maka muncullah berbagai ragam atau variasi bahasa. Munculnya variasi bahasa ini tentu dapat dengan mudah dipakai dan dipahami hanya oleh anggota suatu kelompok masyarakat yang bersangkutan saja. Variasi bahasa, sebagai alat komunikasi verbal dalam masyarakat yang tertentu tersebut,
tidaklah bersifat tunggal dan homogen, tetapi terdiri dari
sejumlah ragam bahasa. Terjadinya ragam bahasa itu disebabkan adanya pengelompokkan-pengelompokkan
dalam
kehidupan
bermasyarakat.
Pengelompokkan itu di antaranya berdasarkan usia, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, profesi, asal daerah, dan jenis kelamin. Di antara gambaran variasi bahasa dalam komunikasi masyarakat yakni kemunculan stiker humor. Menurut Alwasilah (1985:63) bahasa adalah sesuatu yang kaya raya dengan ragam atau variasi aktualisasinya, dan manifestasinya sangat luas, bervariasi tanpa
1
2
batas. Selain itu, ada sementara anggapan bahwa penggunaan bahasa secara beragam oleh masyarakat ini tentu dipengaruhi pelbagai faktor baik linguistik maupun nonlinguistik, misalnya lingkungan tempat tinggal, pendidikan, kelompok sosial atau status sosial, bahkan umur dan jenis kelaminnya. Keberagaman pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh lawan bicara, serta situasi saat pembicaraan berlangsung, sehingga semua itu dapat memunculkan suatu ragam/variasi bahasa. Pada akhirnya, fungsi ragam bahasa itu yakni sebagai penunjuk pembeda golongan kemasyarakatan dan sebagai indikasi situasi berbahasa, serta mencerminkan tujuan, topik, aturan-aturan, dan modus penggunaan bahasa. Sehubungan dengan sejumlah variasi/ragam bahasa yang ada dalam suatu masyarakat, Joos (1967) mengklasifikasikannya berdasarkan tingkat formalitasnya menjadi lima, yaitu: (1) ragam beku (frozen), yaitu ragam yang paling resmi, yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi, (2) ragam resmi (formal), yaitu ragam yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat dinas, dan sebagainya, (3) ragam konsultasi (consultative), yaitu ragam bahasa yang dipakai dalam pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan sebagainya, (4) ragam santai (casual), yaitu ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, dan sebagainya, dan (5) ragam akrab (intimate), yaitu ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman. Keberadaan ragam bahasa dalam stiker ini biasanya menggunakan dua ragam yakni ragam santai dan ragam akrab. Penggunaan ragam santai terbukti
3
dengan penggunaan pelbagai ragam
yang cenderung informal
melalui
penyingkatan dan ketidakbakuan. Penggunaan ragam yang lain yakni ragam akrab. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan ragam yang seolah semua pengguna stiker diposisikan memiliki keakraban dengan kreator stiker. Pada umumnya variasi bahasa dalam stiker dalam suatu kelompok masyarakat memiliki bentuk yang labil, dalam arti sering berubah bentuk. Manakala kelompok masyarakat mengalami perubahan, baik pengaruh linguistik maupun nonlinguistik, maka ungkapan-ungkapan dalam wacana stiker itu pun akan mengalami perubahan baik bentuk maupun ragam bahasanya. Jadi, ungkapan dalam stiker atau slang itu memang selalu berubah dan menjadi yang baru sesuai dengan kebutuhan kelompok pencipta dan pemakainya. Variasi bahasa dalam stiker humor, selain labil atau berubah-ubah bentuknya juga didominasi oleh register dan slang juga bentuk yang lain seperti parikan dan peribahasa. Sebagai salah satu bentuk variasi bahasa, slang pada mulanya muncul dan dipakai di kalangan penjahat dan narapidana. Setelah itu, slang berkembang di kalangan anak-anak muda yang terbiasa minum minuman keras, narkotika, menghisap ganja, dan sejenisnya. Slang hingga sekarang dipakai oleh anak-anak muda terpelajar dari SD sampai perguruan tinggi, bahkan para pengangguran, dan sebagainya (Dubois, 1973 dan Guiraud, 1979). Variasi bahasa dalam stiker ini telah tesebar di semua kalangan terutama pemuda. Persebaranya pun telah menjangkau dari desa sampai kota. Bahkan di dunia maya dengan segala model dan peristiwanya stiker humor ini muncul dan membutuhkan pengakuan.
4
Ditinjau dari bentuk dan statusnya dalam khasanah bahasa, variasi bahasa termasuk register dan slang acapkali dianggap sebagai ungkapan-ungkapan yang tidak baik dan nonstandar. Namun, jika ditinjau dari fungsinya ternyata variasi bahasa itu merupakan bagian yang tidak dapat dikecualikan atau dihapuskan begitu saja dari suatu bahasa. Slang sebagai peristiwa atau gejala bahasa yang umum terdapat pada semua bahasa. Bentuk slang demikian terjadi juga dalam stiker. Variasi bahasa dalam stiker ini didapati di antaranya ungkapan-ungkapan slang yang cukup bervariasi baik bentuk, makna,
maupun fungsinya,
sehingga keberadaanya
perlu
mendapatkan perhatian dan kajian yang memadai. Di samping ada bentuk ungkapan asli terdahulu berupa wacana stiker Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu, muncul wacana stiker humor Panwalu: Panitia Pengawas Lucu; di samping ada wacana Becik Ketitik Ala Ketara, akhirnya muncul slang dalam stiker di antaranya: Becik Ketitik Ala Rupamu ‘Baik Diketahui, Jelek Mukamu’, Becik Ketampik Ala Ketampa ‘Baik Ditolak, Jelek Diterima’, bahkan Becik Ketitik Ala Ya Ben ‘Baik Diketahui Jelek Ya Biarkan’. Selain ada bentuk ungkapan asli terdahulu berupa wacana Obat Anti Nyamuk yang lebih dahulu dikenal masyarakat, akhirnya muncul wacana slang dalam stiker humor berupa Obat Anti Ngamuk ‘Obat Anti Marah’; selain ada bentuk ungkapan asli terdahulu berupa wacana Otot Kawat Balung Wesi, kemudian muncul wacana slang dalam stiker humor berupa Otot Kawat Balung Thok ‘Otot Kawat Tulang Melulu’; Selain ada bentuk ungkapan asli terdahulu berupa wacana Suzuki Tornado, Inovasi Tiada Henti, kemudian muncul wacana slang dalam stiker humor berupa
5
S
SUZUKU TERNODA,
DISAMOELI TIADA HENTI ‘Susuku Ternoda,
Dijahili Tiada Henti’; dan selain ada bentuk ungkapan asli terdahulu berupa wacana stiker Repsol,….(suatu merek dagang Oli) kemudian muncul wacana slang dalam stiker humor berupa REPOT MIKIR WEDOKAN LIO ‘Repot, Memikirkan Perempuan Lain’. Stiker humor muncul tentunya juga memiliki tujuan. Salah satu tujuan darinya adalah untuk mempengarui pembaca atau pengguna stiker. Hampir semua hal ihwal atau peristiwa dapat dibuat stiker. Pelbagai stiker yang terbentuk ada variasi baik bentuk maupun tujuannya. Sudah barang tentu bentuk stiker yang ada itu diselaraskan dengan tujuan yang diinginkan. Menurut Searle (1969:23-24) setidaknya secara pragmatis, paling tidak didapati 3 (tiga) bentuk tindakan yang dapat diwujudkan oleh penutur. Di antara ketiga tindak tutur tersebut yakni tindakan untuk menyatakan sesuatu, tindakan melakukan sesuatu, dan tindakan mempengaruhi lawan tutur. Demikian juga stiker itu, keberadaanya tentu memiliki tujuan tertentu. Kreator stiker secara khusus tentu ingin menggapai kelucuan stiker yang dibuatnya. Stiker humor itu pada umumnya dibuat sebagai sarana menyampaikan pesan dengan tujuan untuk mempengaruhi pembacanya. Wijana (1994:1) mengemukakan bahwa dilihat dari fungsinya untuk mempengaruhi pembaca atau penikmat; pelbagai bentuk wacana slang dalam stiker humor di atas, dapat dibedakan menjadi wacana interaktif, seperti phatic communion (wacana fatis); wacana informatif, seperti wacana ilmiah; dan wacana persuasif, seperti wacana iklan, pidato kampanye, dan sebagainya. Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa wacana stiker humor tentunya juga
6
merupakan sebuah wacana yang memiliki fungsi tertentu dan bisa juga menunjukkan beberapa fungsi, baik lokusi, ilokusi, maupun perlukosi. Di antara fungsi wacana humor yang paling penting tentunya wacana stiker humor merupakan wacana rekreatif yang tujuan utama untuk menghibur dan untuk menarik serta membangkitkan minat pembaca. Berdasarkan hal ini sudah pasti wacana stiker humor termasuk wacana tulis yang selain memiliki fungsi humor dan bersifat informatif, sarana kritik, juga menghibur pembaca atau penikmatnya, di samping fungsi-fungsi yang lain. Semua hal yang terjadi dalam masyarakat seolah bisa diwujudkan dalam sebuah stiker humor. Dalam semua bidang baik ekonomi, sosial, politik, militer, agama, seni, dan pendidikan. Bahkan sesuatu yang seriuspun bisa memberi inspirasi pembentukan stiker humor ditangan kreator stiker. Jadi, hampir tidak ada suatu hal yang terlewati yang tidak bisa dibuat stikernya. Wacana stiker humor yang menjadi bahan kajian disertasi ini, bagaimanapun juga memiliki kecenderungan sebagai wacana hiburan karena penciptaannya ditujukan untuk menghibur pembaca, di samping sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi pada suatu masyarakat. Kenyataan yang terjadi, humor pada umumnya dan kususnya stiker humor memang menjadi alternatif sebagai sarana kritik yang relatif
efektif,
apalagi di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Humor merupakan suatu permainan. Manusia sebagai homo ludens merupakan makhluk yang gemar bermain. Bermain bagi manusia memiliki aneka
7
fungsi sesuai tingkat usianya. Permainan adalah bagian mutlak dari pribadi anak. Melalui permainan seorang anak dipersiapkan menjadi anggota masyarakat (Daeng, 1982:212). Permainan kata-kata mewarnai proses pembetukan stiker, maka dari itu keberadaan stiker humor sangat variatif bahasanya. Pilihan kata juga ditempuh untuk menggapai kelucuan. Oleh karena itu, penggunaan kata-kata yang memiliki arti sama belum tentu sama-sama bisa sama-sama memunculkan efek lucu. Stiker humor sebagian hanya merupakan permainan kata-kata seorang kreatornya. Dari gambaran di atas dapat dikemukakan bahwa humor terutama dalam bentuk stiker selalu memiliki peranan yang sentral dalam kehidupan manusia, yakni sebagai sarana hiburan, pengisi waktu luang, dan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas hidup manusia, di antaranya agar dapat diterima sebagai anggota masyarakatnya. Keberadaan humor dalam stiker ini selalu berubah-ubah seiring dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Kemunculannya juga di segala bidang, stiker humor bisa muncul di kendaraan bermotor, rumah-rumah, dan semua media sosial. Hal ini wajar mengingat setiap sendi kehidupan dan setiap wacana dalam kehidupan yang sifatnya nonhumor dapat memunculkan wacana humor. Gambaran peran sentral dari humor, termasuk stiker humor selaras dengan pendapat Danandjaja (1989:498) yang mengemukakan bahwa di dalam masyarakat, humor, baik yang bersifat erotis maupun protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini disebabkan humor dapat menyalurkan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan
8
dengan canda dan tawa. Lebih jauh, dikemukakan bahwa tawa akibat mendengar humor dapat memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi keadaan yang tidak tersangka-sangka atau perpecahan masyarakat masyarakat (lihat Wijana, 1994:2). Pernyataan ini sejajar dengan pandangan Wilson (1979:3; Wijana, 1994:2-3) yang mengemukakan bahwa humor tidak selamanya bersikap agresif dan radikal yang memfrustasikan sasaran agresinya, dan memprovokasikan perubahan, serta mengecam sistem sosial masyarakatnya, tetapi dapat pula bersifat konservatif yang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur kemasyarakatan yang telah ada. Humor yang pasti bernuansa ketabuan. Humor cenderung tabu. Begitu juga stiker humor. Lucu pasti berbau saru ‘tabu’. Di dalam situasi yang kritis, termasuk seperti sekarang wacana slang dalam stiker tetap dapat dimanifestasikan dalam humor dan tetap menampakkan fungsi dan peranannya. Danandjaja mengemukakan bahwa di dalam situasi yang telah memburuk, humor juga menampakkan peranannya yang sangat besar. Humor dapat membebaskan manusia dari beban kecemasan, kebingungan, kekejaman dan kesengasaraan. Dengan demikian manusia dapat mengambil tindakan yang penting untuk memperoleh kejernihan pandangan sehingga dapat membedakan mana yang benar-benar baik dan mana benar-benar buruk. Dengan humor manusia dapat menghadapi ketimpangan masyarakat dengan tawa dan canda. Dengan demikian humor dapat dijadikan alat psikoterapi, terutama bagi masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan kebudayaan secara cepat, seperti Indonesia (Danandjaja, 1989:498). Dalam komunikasi humor menjalankan
9
fungsi tanpa menyakiti. Humor dalam stiker penuh variasi. Variasi bahasa dalam stiker ini seolah memberi alternatif solusi komunikasi yang meniadakan orang sakit hati. Selain itu, stiker humor memiliki fungsi mengkritisi tanpa menyakiti. 1.2 Permasalahan Problematika dari penelitian ini yakni variasi bahasa dalam stiker humor. Dari uraian latar belakang seperti di atas, maka permasalahan yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimanakah aspek sosiolinguistik dalam stiker humor? b. Seperti apakah bentuk-bentuk satuan lingual, proses, dan cara pembentukan stiker humor? c. Aspek kebahasaan apa saja yang dimanfaatkan dalam stiker humor? d. Bagaimanakah wujud kode dalam wacana stiker humor? 1.3 Tujuan Penelitian Demikian pentingnya kedudukan humor dalam suatu komunitas manusia, maka merupakan hal yang mendasar dijadikannya wacana stiker, yang merupakan satu di antara pelbagai jenis humor, sebagai objek kajian disertasi ini. Selain itu, wacana stiker humor merupakan wacana yang penuh kekhasan linguistis sehingga menarik pula untuk diteliti. Humor, yang pada umumnya meliputi pelbagai bentuk dan fungsi, yang masing-masing jenis humor ini tentu memiliki kekhasan dan kemenarikan sehingga menarik pula untuk diteliti. Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan dan dirumuskan kaidah sosiolinguistik humor secara umum, dan
10
khususnya yang melalui media stiker, dan juga berusaha menemukan batasan atau konsep humor secara sosiolinguistik. Penelitian ini lebih jauh juga diharapkan dapat memberikan pemahaman dan wawasan yang lebih baik terhadap fungsi dan hakikat bahasa dan segala variasinya termasuk slang dalam stiker, yang secara konkret dipakai sebagai alat komunikasi komunitasnya, di samping pemahaman lain termasuk pemahaman terhadap hakikat komunikasi lingual. Penelitian ini secara singkat bertujuan mengungkapkan pelbagai variasi bahasa dalam stiker. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat melengkapi dan menambah atau memperluas konsep dan wawasan humor yang telah dilakukan oleh para ahli dan peneliti pendahulu, seperti Wijana (1983) dan (1985), Pradopo dkk. (1985), Wijana (1986) dan (1989), Noerhadi (1989), Anderson (1990), Soedjatmiko (1991), Wijana (1994, dan Surana (2000; 2003). Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas dapat dikemukakan bahwa penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengungkapkan berbagai variasi bahasa dalam stiker humor terutama dari aspek sosiolinguistik. b. Menguraikan proses terjadinya pelbagai bentuk stiker humor, berbagai bentuk satuan lingual, proses, dan cara pembentukan stiker humor. c. Menganalisis berbagai aspek kebahasaan apa saja yang dimanfaatkan dalam stiker humor. d. Menguraikan berbagai wujud kode dalam wacana stiker humor.
11
Fenomena kebahasaan yang ada ada dalam stiker di antaranya kecenderungan penggunaan fonem /a/ dengan /o/. Hal ini tentunya juga dilakukan bukan tanpa tujuan. Bukti fenomena ini sangat mendominasi dalam dalam data yang ada. Dalam stiker humor juga didapati pelbagai tipe stiker humor. Pelbagai tipe stiker ini tidak lepas dari pelbagai problema kemasyarakatan yang menjadi inspirasi pembentukannya. Selain itu, keberadaan stiker humor ini melalui pelbagai proses pembentukan. Ada proses-proses tertentu yang mendominasi proses pembentukannya. 1. 4 Keaslian Berdasarkan pengamatan penulis, sejauh ini masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti dan penulis lain. Terutama kajian stiker humor, baik yang berupa makalah, buku, maupun karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Penelitian disertasi ini berbeda dengan tulisan Soedjatmiko (1992). Soedjatmiko telah secara lengkap mengungkapkan hal Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor. Penelitian ini juga berbeda dengan tulisan Wijana (1994). Wijana telah menguraikan secara lengkap yang merupakan disertasi hal Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia, di antaranya tentang pragmatik, penyimpangan aspek pragmatik wacana kartun, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana kartun, dan tipe-tipe wacana kartun. Kajian Pemanfaatan humor juga telah dilakukan oleh Wijana (1995). Tulisan ini membahas pengajaran bahasa dengan memanfaatkan berbagai teks humor.
12
1.5 Manfaat Kajian wacana stiker humor diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup berharga bagi perkembangan linguistik terutama sosiolinguistik dan ilmu komunikasi sosial di Indonesia. Selain itu, manfaat lain yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: (1) menambah pengetahuan kebahasaan, terutama ragam bahasa yang dipakai oleh kaum muda; (2) dapat lebih memperjelas eratnya hubungan antara bahasa dengan masyarakat, dan (3) memperkaya khasanah penelitian kebahasaan. Secara ringkas, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat, baik secara teoretis maupun praktis. 1.5.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yakni akan memperluas jangkauan studi semantik. Makna yang timbul dalam studi semantik melalui penelitian ini tidak sekadar makna semantik dari suatu kata dan kalimat, tetapi akan sampai kepada studi semantik yang meliputi makna stiker humor secara menyeluruh dan mendalam. Dengan demikian diharapkan akan terjadi pembaharuan dalam dalam studi makna melalui kajian ini. Penelitian disertasi ini diharapkan juga menghasilkan konsep atau teori baru mengenai jumlah fonem vokal bahasa Jawa, sistem bunyi bahasa Jawa, dan interferensi bahasa. 1.5.2 Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan membantu pemahaman para penikmat stiker humor dalam menafsirkan wacana yang ada.
13
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan orang lebih peka atau sensitif dan peduli terhadap hal-hal yang ditampilkan dalam stiker tanpa mengalami hambatan psikologis. c. Memberi inpirasi dalam hal humor terutama humor yang dibangun dari linguistik. 1.6 Tinjauan Pustaka Dari pengamatan terhadap pelbagai pustaka, ternyata kajian khusus ihwal slang dalam kerangka sosiolinguistik telah dikerjakan beberapa orang. Holmes (1995) menyatakan bahwa slang merupakan kawasan kosa kata yang dapat merefleksi atau menunjukkan usia seseorang. Slang juga merupakan keistimewaan bahasa anak-anak muda, sedangkan pada orang-orang tua slang dapat merupakan keanehan bahasa. Bagi anak-anak muda, slang dapat pula menunjukkan bahwa seseorang anggota suatu kelompok sosial. Realitas yang terjadi dalam komunitas
berbahasa, ungkapan-ungkapan
slang dalam stiker humor dapat berupa: bentuk dasar, bentuk kompleks, reduplikasi, kata majemuk, dan frasa atau kelompok kata bahkan sampai wacana. Sebagian bentuk-bentuk itu masih dirinci lagi berdasarkan kategori atau jenis katanya, dan yang akan menjadi sentralitas pembahasan dalam disertasi ini adalah wacana stiker humor Selanjutnya Dubois (1973) dan Guiraud (1979) menjelaskan proses pembentukan slang dalam bahasa Prancis, yaitu dengan : (1) troncation, yaitu dengan membuat singkatan atau menghilangkan beberapa suku kata atau silabe terakhir dari suatu kata yang polisilabe, (2) sufikssasi, yaitu dengan menambahkan
14
sufiks tertentu pada kata-kata tertentu, (3) persamaan atau kemiripan bentuk, (4) mengubah urutan silabe suatu kata, (5) substitusi sinonim sebagian, dan (6) memberikan makna peyoratif dan melioratif pada suatu kata. Proses pembentukan yang hampir sama juga terjadi pada ungkapan slang dalam bahasa Melayu Brunei (Purnama, 1983) dan slang yang terbentuk di pelbagai kehidupan, termasuk wacana stiker humor. Crystal (1992) mengatakan bahwa slang merupakan permainan bunyi dan huruf. Dia memberikan contoh ungkapan slang dalam beberapa bahasa, antara lain: (1) slang balik, yaitu kata-kata yang diucapkan atau dibaca terbalik (dibaca dari kanan ke kiri), (2) slang tengah, yaitu memindahkan vokal tengah suatu kata ke awal kata, (3) slang sisip, yang dibentuk dengan menyisipkan satu suku kata atau konsonan di antara dua suku kata. (4) saling menukarkan konsonan suatu suku kata dalam kata tertentu, (5) susunan huruf Jawa dibolak-balik, dan (6) mengambil huruf depan suatu kata. Permainan bunyi dan huruf, khususnya membolak-balikkan susunan huruf Jawa terkait erat dengan penciptaan slang wacana stiker humor bahasa Jawa. Mengingat jumlah fonem bahasa Jawa yang sangat variatif dan memiliki bentuk alofon yang lebih banyak dari bahasa-bahasa daerah lain. Adapun mengenai seluk beluk hal ini periksa Marsono (1986). Terkait dengan keberadaan fonem ini ada kecenderungan penggunaan fonem /a/ diganti dengan /o/. Variasi bahasa demikian disebabkan hal tertentu juga dengan tujuan tertentu pula. Dalam komunikasi, slang dapat menjalankan fungsinya secara utuh, jika orang yang diajak bicara dapat memahami apa yang diinginkan oleh si pembicara
15
atau pembuat stiker. Sebagaimana ragam bahasa lain slang dapat berfungsi, antara lain: (1) untuk menyegarkan suasana, (2) untuk menciptakan humor, (3) untuk menyindir, (4) mengintimkan atau mengakrabkan persahabatan, (5) merahasiakan sesuatu, (6) memperhalus ungkapan yang dianggap tabu, (7) menyampaikan sikap dan perasaan hati, (8) menunjukkan keanggotaan seseorang terhadap kelompok sosial tertentu, (9) memperkaya bahasa, dan sebagainya (Purnama, 1993; Partridge, 1979). Fungsi slang untuk menciptakan humor tampak nyata pada wacana stiker humor. Tentunya tidak hanya berhumor saja tetapi memiliki tujuan yang lain. Humor dalam stiker itu tentunya juga melalui pelbagai proses. Satu peristiwa bisa memunculkan pelbagai macam stiker dengan pelbagai variasi bentuk humor. Fauziati (1994) mengumpulkan dan mengklasifikasikan slang kampus yang ada di lingkungan kampus UMS menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) slang yang berkaitan masalah-masalah akademis dan (2) slang yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Slang dalam stiker ini juga muncul dalam pelbagai peristiwa, Selain itu, slang stiker humor juga muncul di pelbagai kalangan. Partridge (1979) meneliti tentang seluk-beluk serta sejarah perkembangan slang bahasa Inggris yang ada di Inggris, Amerika, dan Australia. Dia menyebutkan adanya slang standar dan slang yang tidak standar. Slang standar adalah slang yang dipakai oleh orang-orang yang selalu menggunakan bahasa Inggris standar yaitu yang ada di London. Dia juga membagi slang menjadi dua puluh lima macam, antara lain: Cokney Slang, Publik House Slang, Workmen Slang, dan sebagainya. Stiker humor ini juga memiliki pelbagai tipe. Bahkan satu
16
peristiwa bisa memunculkan pelbagai stiker. Keberadaan stiker ini selalu mengikuti peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Setiap peristiwa apapun itu dapat memunculkan stiker humor. Loir (1983), orang Prancis, melakukan penelitian slang di Indonesia. Loir yang menggunakan istilah bahasa prokem untuk menyebut slang telah meneliti bahasa prokem yang muncul di kalangan remaja Jakarta. Penelitian yang dia lakukan lebih banyak menjelaskan tentang sebab-sebab munculnya bahasa prokem, serta mengungkapkan secara sekilas perkembangan bahasa prokem sejak munculnya hingga sekarang. Tulisan lain oleh Soedjatmiko (1992). Soedjatmiko telah secara lengkap mengungkapkan hal Aspek Linguistik dan Sosiokultural di dalam Humor. Dalam tulisan ini telah diungkapkan berbagai teori sampai perbedaan humor Indonesia dan Amerika. Namun demikian, pembahasan yang ada sifatnya masih terlalu umum terhadap suatu humor, tidak pada objek tertentu dari suatu jenis humor. Wijana (1994) telah menguraikan secara lengkap yang merupakan disertasi hal Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia, di antaranya tentang pragmatik, penyimpangan aspek pragmatik wacana kartun, pemanfaatan aspekaspek kebahasaan dalam wacana kartun, dan tipe-tipe wacana kartun. Walaupun sudah sampai pada suatu objek yang tertentu dari satu jenis humor, yakni kartun tetapi tinjauan sosiolinguistik dan fungsi sosial dari keberadaan stiker humor dalam kerangka komunikasi belum dibahas, apalagi secara interdisipliner dari segi sosiolinguistiknya. Secara konkret harus diakui bahwa kajian ini sudah dilakukan dengan tuntas, lengkap, dan memiliki kemiripan dengan apa yang akan dilakukan
17
dalam penelitian disertasi ini. Namun, didapati adanya keberbedaan yang mendasar dari objeknya, yakni wacana stiker humor. Kajian Pemanfaatan humor juga telah dilakukan oleh Wijana (1995). Tulisan ini membahas pengajaran bahasa dengan memanfaatkan berbagai teks humor. Surana (2000) dalam penelitian awalnya telah mengemukakan perbagai bentuk slang dalam stiker. Sedangkan Surana (2003) dalam tulisannya yang berjudul Wacana Stiker sebagai Alternatif Alat Komunikasi Publik telah menguraikan pelbagai fungsi stiker sebagai alat komunikasi. Perbedaan antara penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah di samping objek penelitiannya yang berbeda, juga metode penelitian yang digunakan, terutama metode analisis data. Pada penelitian sebelumnya, penganalisisan data pada umumnya
tidak menggunakan metode
analisis wacana dan sosiolinguistik. Walaupun demikian beberapa kajian dan penelitian tentang slang serta humor yang telah diuraikan di atas nyata-nyata sangat membantu untuk menjelaskan dan mengungkapkan wacana stiker humor. 1.7 Landasan Teori Komunitas manusia selalu melakukan suatu aktivitas berkomunikasi antarsesama. Manusia dalam berkomunikasi selalu memerlukan bahasa. Di dalam berbicara antara pembicara dan lawan bicara, antara penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari adanya suatu aturan atau kaidah yang mengatur tindakan, penggunaan bahasa, dan penafsiran serta pemahaman terhadap tindakan lawan bicara atau lawan tuturnya. Setiap peserta tindak ucap bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan yang dilakukan
18
dalam interaksi lingual itu (Allan, 1986: 10; Wijana, 1994: 4). Aktivitas berbahasa manusia merupakan suatu aktivitas sosial, di samping aktivitas seni dan budaya. Aktivitas-aktivitas tersebut, dan aktivitas-aktivitas yang lain yang memerlukan bahasa tentu juga selalu memerlukan keterlibatan manusia. Di dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang pembicara atau penutur mengartikulasikan pembicaraan atau ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara atau lawan tuturnya, dan berharap lawan bicara atau lawan tuturnya dapat memahami hal atau apa yang komunikasikan itu. Untuk hal itu, pembicara atau penutur selalu berusaha agar pembicaraan atau tuturannya selalu runtut dan memiliki relevansi dengan konteksnya, jelas, ringkas, mudah diterima dan dipahami, dan sesuai dengan persoalan yang dibicarakan atau dituturkan. Akhirnya, dapat dikemukakan bahwa masing-masing peserta tutur atau antara pembicara dan lawan bicara itu harus memiliki suatu prinsip kerja sama agar proses komunikasi berjalan lancar. Wacana humor tentu sangat berbeda dengan wacana nonhumor. Demikian juga wacana stiker humor tentu memiliki perbedaan mendasar dengan wacanawacana stiker nonhumor. Kalau wacana nonhumor dihasilkan melalui proses komunikasi yang bonafit, sedangkan wacana humor tidak, dan boleh dikatakan bahwa wacana humor dihasilkan melalui proses kreatif. Apabila prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik di atas ditaati secara sungguh-sungguh oleh pencipta wacana nonhumor, maka dalam penciptaan wacana humor dan wacana stiker humor tentu prinsip-prinsip itu justru sering dilanggar guna mendukung proses kreativitas penciptanya. Pelanggaran-
19
pelanggaran yang secara sengaja dikerjakan oleh para pencipta humor, termasuk pembuat stiker humor memiliki keselarasan dan kesejajaran konsep dengan teori humor terutama teori psikologi, yang selama ini dipakai, seperti teori pembebasan, teori pertentangan, dan teori ketidaksejajaran (bandingkan, Soedjatmiko (1991). Teori humor yang dipakai dalam stiker humor ini, seperti yang biasa dipakai untuk menganalisis suatu humor yakni mengaitkan dengan teori-teori psikologi di atas. Ada tiga kubu besar teori yakni: teori pembebasan, teori konflik, dan teori ketidakselarasan (Wilson, 1979: 10; Soedjatmiko, 1992: 70). Teori linguistik dalam humor beranggapan bahwa humor mencapai kelucuannya melalui ketidakselarasan, tetapi tidak semua ketidakselarasan menimbulkan
kelucuan.
dimaksudkan
untuk
Dalam
membuat
humor
ketidakselarasan
pembaca/pendengar
tertawa
tersebut
tidak
(Soedjatmiko,
1992:72). Sedangkan
semantik humor memanfaatkan keambiguan, yaitu dengan
mempertentangkan makna pertama (M1) yang berbeda dari makna kedua (M2). Pembaca/pendengar menikmati kelucuan apabila ia mengambil salah satu makna, dan kemudian menertawakan dirinya karena ia salah (Soedjatmiko, 1992:73). Semantik humor dalam stiker ternyata memanfaatkan keambiguan di tataran fonem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana. Raskin (1985:99) menganalisis humor dengan berpendapat sebagai berikut: sebuah teks dikatakan sebagai teks-humor tunggal apabila memenuhi dua kondisi sebagai berikut: 1) teks tersebut merupakan keselarasan, sebagian atau
20
seluruhnya, dengan melibatkan dua script, 2) kedua script yang membangun keselarasan itu berlawanan secara khusus. Teori pragmatik humor seperti diutarakan Grice (Cole and Morgan, 1975:45) ada dua jenis implikatur, yaitu konvensional dan tindak ujaran. Dalam implikatur, yang konvensional makna ditentukan oleh bentuk linguistik, sedangkan dalam prinsip tindak ujaran makna ditentukan oleh sejumlah elemen wacana. Yang terakhir ini selanjutnya oleh Grice disebut maksim yang harus ditaati dalam tindak komunikasi yang meliputi kuantitas, kualitas, relasi, dan maksim cara. Teori yang juga dipakai dalam penelitian ini ialah teori yang memandang suatu wacana stiker humor berupa slang dari sudut pandang kebahasaan dan sudut pandang kemasyarakatan. Cara pandang demikian sesuai dengan kajian sosiolinguistik. Selain itu, dalam pemaparan berbagai macam pendapat dari para ahli bahasa di atas, tidak semua pendapat digunakan sebagai landasan teori. Hanya teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang akan digunakan sebagai dasar pijakan dalam menganalisis data pada penelitian ini. Untuk sosiolinguistik
menganalisis menggunakan
ragam
bahasa
pendapat
sebagai
Nababan
salah
(1993)
satu
kajian
bahwa
studi
pembahasan mengenai bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota
masyarakat,
yang
mempelajari
dan
membahas
aspek-aspek
kemasyarakatan bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan. Serta ditunjang keberadaan ragam bahasa Jawa menjadi tiga dan dalam tiap-tiap ragam masih ada pengklasifikasian lagi, yaitu pertama adalah ragam ngoko,
21
kedua adalah ragam madya, dan ketiga adalah ragam krama. Adapun sekarang, semenjak kongres bahasa Jawa ke-3 di DIY maka lahir keputusan kongres. Salah satu keputusan tersebut adalah hanya diajarkan dua ragam yakni ngoko dan krama di semua jenjang sekolah. Hal terkhir tersebut termasuk yang tidak akan dikaji dalam disertasi ini karena tidak ada relevansi. Untuk menganalisis alih kode dan campur kode menggunakan pendapat Fasold (1984) bahwa alih kode adalah menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Campur kode dapat berupa serpihan percampuran kata, frase, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa yang sedang digunakan. Intinya ada satu bahasa yang sedang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan dari bahasa lain. Semua aspek linguistik dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam pembentukan wacana stiker humor. Mulai dari aspek fonologis, yang meliputi segala sesuatu yang terkait dengan bunyi bahasa, baik fon, alofon maupun fonem. Juga aspek morfologis, yang meliputi morf, alomorf maupun morfem. Sedangkan aspek sintaktis, yang meliputi, frasa, klausa, kalimat, dan wacana hingga aspek semantis dimanfaatkan dalam pembentukan stiker humor. Sosiolinguistik merupakan suatu cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dengan masyarakat dengan tujuan memahami secara lebih baik struktur bahasa dan bagaimana berfungsi dalam berkomunikasi (Wardhaugh,
1986:13).
Dapat
juga
disebutkan
bahwa
sosiolinguistik
mempelajari dan membahas suatu aspek masyarakat bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan atau berbagai variasi yang terdapat dalam bahasa yang
22
berkaitan dengan faktor-faktor sosial kemasyarakatan. Selain itu, ada yang mengartikan sosiolinguistik sebagai cabang ilmu bahasa yang berusaha mengaitkan peristiwa bahasa dalam hubungannya dengan fungsinya sebagai alat komunikasi sosial dan sebagai gejala kemasyarakatan. Menurut Ramlan (1991:57) bahwa bahasa terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan lapisan arti atau meaning. Seperti halnya bahasa, wacana stiker humor slang juga mempunyai dua lapisan tersebut. Berdasarkan lapisan bentuk, dapat dibedakan atas ciri fonologis, ciri morfologis dan ciri sintaksis, sedangkan berdasarkan lapisan arti atau makna, bentuk mempunyai hubungan semantis dengan bentuk atau makna kata aslinya, misalnya: sinonim, metafora, homonim, asosiatif, dan sebagainya. Wacana stiker humor seperti slang merupakan peristiwa bahasa, peristiwa tutur, dan juga gejala sosial yang layak untuk dikaji. Sehubungan dengan hal itu kajian tentang wacana stiker humor dalam penelitian ini, sekali lagi akan dilakukan dari dua sudut pandang, yaitu sudut pandang kebahasaan yang sampai pada analisis wacana pragmatis dan sudut pandang kemasyarakatan. Dalam peristiwa tutur terjadi interaksi verbal yang selalu melibatkan faktorfaktor yang ada di luar bahasa, antara lain: penutur, lawan tutur, pokok pembicaraan serta waktu tempat bicara. Menurut Fishman yang seluk beluk hal berikut dapat diperiksa dalam Wardhaugh (1986) bahwa faktor-faktor di atas disimpulkan dalam pernyataan : “Who speak, What language to whom, when and what end” siapa berbicara dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan mengenai masalah apa. Sedangkan Hymes (1972) merumuskan faktor-faktor tersebut
23
dengan singkatan SPEAKING, yaitu : (1) setting dan scene (S) menyangkut waktu, tempat, dan suasana pembicaraan, (2) participants (P) mengacu pada peserta tutur atau pihak-pihak yang terlibat dalam pembicaraan, (3) Ends (E) berkaitan dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam pembicaraan, (4) Act sequence (A) berkenaan dengan bentuk dan isi tuturan, (5) Key (K) menyangkut nada suara, cara, dan emosi, seperti: santai, serius, senang, sedih, dan sebagainya, (6) Instrumentalities (I) menunjuk pada saluran dan bentuk bahasa yang digunakan, saluran menyangkut: lisan, tulis, telepon, semapore, dan sebagainya, sedangkan bentuk bahasa menyangkut: ragam, dialek, variasi, register, dan sebagainya, (7) Norms of Interaction dan Norms of Interpretation (N) yaitu menyangkut norma-norma atau kaidah-kaidah dalam berbahasa, dan penafsiran terhadap tuturan dari lawan bicara, dan (8) Genre (G) menyangkut tipe tuturan yang dipergunakan untuk berkomunikasi. Dari pelbagai fungsi bahasa yang dikemukakan Halliday (1973), yakni: (1) fungsi interaksional, (2) fungsi instrumental, (3) fungsi representasional, (4) fungsi regulatoris, (5) fungsi imajinatif, (6) fungsi heuritis, dan (7) fungsi personal, fungsi interaksional dan representasional merupakan fungsi yang sentral dalam wacana stiker humor. Fungsi interaksional yaitu fungsi yang berorientasi pada kedua pihak peserta tutur, misalnya: untuk menjalin atau memelihara hubungan antaranggota, mempererat persatuan, dan solidaritas sosial. Fungsi ini menggambarkan fungsi bahasa yang dilihat dari segi kontak antara penutur dan mitra tutur. Sedangkan fungsi representasional dalam wacana stiker ini merupakan
24
fungsi yang berorientasi pada pencipta stiker untuk merepresentasikan keberadaannya melalui makna yang ditampilkan dalam wacana stiker yang ada. Pembentukan ungkapan yang ada pada wacana stiker sering disebut sebagai permainan bunyi dan huruf oleh Crystal (1992) dapat dilakukan, antara lain: (1) membalik susunan huruf suatu kata, (2) meletakkan vokal pertama suatu kata ke depan kata, kemudian menambahkannya dengan suku kata tertentu, (3) menyisipkan konsonan atau suku kata tertentu pada suatu kata, (4) saling menukarkan konsonan suatu suku kata dalam kata tertentu, (5) membolakbalikkan susunan huruf Jawa, dan (6) mengambil huruf depan suatu kata. Variasi bahasa dalam stiker humor dapat dikategorikan sebagai bentuk slang dan register. Slang sendiri yang dalam bahasa Inggris disebut cant, dan dalam bahasa Perancis disebut l’argot merupakan salah satu contoh ragam akrab (intimate). Slang memiliki gaya ujaran intim yang dicirikan dengan pemakaian kode bahasa yang bersifat pribadi, tersendiri, dan relatif tetap dalam kelompoknya (Alwasilah, 1985:55). Gaya yang akrab atau intim ini, selanjutnya sering tidak diperlukan tatabahasa yang lengkap, artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan atau ujaran yang pendek. Hal itu disebabkan karena adanya saling pengertian, pengetahuan, dan cara pandang yang sama satu dengan yang lain. Pada ragam ini juga banyak dipergunakan bentuk-bentuk kata dan istilah-istilah yang khas bagi suatu kelompok sosial kemasyarakatan tertentu. Kridalaksana (1982:156) menyatakan bahwa slang ialah ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak
25
mengerti. Slang berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Selanjutnya ditinjau dari bentuknya, slang bukan merupakan bahasa dan bukan pula dialek, melainkan merupakan ungkapan atau kata (Anderson dan Trudgill, 1990). Sedangkan, berdasarkan fungsinya, di antaranya slang dapat meredakan keseriusan, dan merupakan permainan sosial. Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Poedjosoedarmo (1984:67) bahwa slang timbul sekadar untuk menyegarkan suasana dan lebih mengintimkan hubungan dalam pergaulan. Di samping itu slang juga sering digunakan sebagai lambang solidaritas dan keanggotaan penutur terhadap suatu kelompok sosial atau kelompok tertentu (Purnama, 1993:1). Slang merupakan ungkapan-ungkapan yang bersifat agresif, kasar, liar, dan rendah. Slang juga berfungsi untuk menyampaikan agresi, menciptakan dan mempertahankan kedudukan sosial, dan di antara kaum lelaki untuk menunjukkan kelelakian mereka (Spears, 1981:viii). Ada sementara orang yang beranggapan bahwa variasi bahasa dalam stiker humor merupakan register. Register dalam stiker humor sebagai bahasa nonbaku yang digunakan oleh suatu kelompok dengan maksud tertentu terutama menciptakan kelucuan. Register dalam stiker humor diartikan sebagai ungkapanungkapan yang termasuk dalam ragam bahasa nonstandar yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu, biasanya kalangan muda, dengan tujuan agar kelompok lain mengerti dan paham akan variasi bahasa yang diciptakan. Wacana dalam stiker humor ini dapat berupa kata, kelompok kata, singkatan atau akronim, plesetan, dan sebagainya.
26
Register sering diartikan sebagai variasi bahasa yang berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya (Chaer, 2010:68). Di samping hal di atas, stiker yang menjadi pembahasan berikut adalah stiker yang di dalamnya didapati pemakaian variasi bahasa berupa wacana stiker humor. Oleh karena itu, stiker-stiker berikut, seperti Keluarga Besar SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, Keluarga Besar PM (Polisi Militer), Dasa Wisma Melati, dan Pro Reformasi tidak menjadi objek kajian. Kecuali ada bentuk stiker nonhumor seperti di atas, misalnya didapati stiker humor dari Wisma Melati dan Wisma Mawar kemudian muncul stiker humor Wisma Dang, dari wacana Obat Anti Nyamuk kemudian muncul stiker humor Obat Anti Ngamuk, dan seterusnya bentuk stiker demikian serta bentuk stiker sejenis yang menjadi perhatian dalam penelitian disertasi ini. 1.8 Ruang Lingkup Penelitian ini merupakan suatu kajian sosiolinguistik terhadap stiker humor, yang meliputi juga aspek wacana dari stiker. Analisis dalam penelitian ini meliputi tidak hanya wacana, tetapi juga semua satuan lingual yang ada dalam stiker humor. Lingkup penelitian terutama meliputi pelbagai tujuan diciptakannya stiker, proses, dan cara pembentukan stiker. Hal ini meliputi: proses pembentukan stiker melalui plesetan, penggantian, akronimisasi, analogi, dan metatesis. Hubungan antara pelbagai bentuk stiker humor dengan tujuan-tujuan diciptakan stiker tersebut, proses terjadinya pembentukan stiker humor itu sendiri.
27
Aspek sosiolinguistik terutama variasi bahasa yang digunakan dalam stiker. Penggunaan ragam bahasa yang mendekatkan pada penggunaan bahasa daerah. Hal ini mencakup penggunaan pelbagai ragam dalam stiker yang cenderung menggunakan bahasa Jawa. Tipe-tipe topik suatu hal yang dijadikan stiker. Hal ini meliputi ekonomi, politik, sosial, hukum, militer, informasi, seni, agama, dan pendidikan. 1.9 Metode Penelitian Penelitian variasi bahasa dalam stiker ini dilakukan dengan beberapa tahap. Setiap tahap digunakan metode dan teknik tertentu guna memaksimalkan hasil yang didapat. Berikut diuraikan langkah-langkah penanganan masalah sosiolinguistik dari variasi bahasa dalam stker humor. 1.9.1 Langkah Penelitian Guna pemecahan masalah
dalam penelitian dapat ditempuh dengan
menggunakan berbagai metode yang menurut tahapan strateginya bermula dengan metode dasar yang meliputi 3 (tiga) hal, yakni (1) penyediaan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. 1.9.2 Penyediaan Data Penelitian Sudaryanto (1990) membedakan objek penelitian dari data penelitian. Objek penelitian adalah hal yang akan diamati, sedangkan data adalah satuan lingual yang mengandung objek penelitian. Data disebut juga sebagai bahan penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah pelbagai stiker humor baik dalam bahasa Jawa, Indonesia, maupun bahasa asing, sedangkan data penelitian adalah semua stiker yang ada dan muncul dalam
28
masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Pada tahap penyediaan data, peneliti mengumpulkan pelbagai stiker yang didapati di dalamnya beraneka kata, kelompok kata, kalimat, wacana, dan segala ungkapan yang mempunyai ciri slang dan variasi bahasa yang lain. Data dalam penelitian ini diperoleh dari satu sumber saja, yakni sumber tertulis berupa stiker. Hasil pemerolehan data dari sumber tertulis itu kemudian diklasifikasikan. Alasan yang mendasari pemilihan data dalam bentuk wacana stiker humor adalah kemudahan untuk memperolehnya, yang hampir dapat ditemui di semua tempat dan semua lapisan masyarakat. 1.9.3 Analisis Data Penelitian Sesudah data tersedia secara cukup, tahap selanjutnya peneliti menganalisis data sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Analisis data berikut terdapat dua jenis.
Pertama, analisis
data yang dihubungkan dengan ciri struktur
kebahasaan. Kedua, analisis data yang dilakukan dengan mempertimbangkan konteks pemakaiannya. Maksudnya setiap kemunculan wacana stiker humor harus dikaitkan dengan kondisi, situasi, dan kenyataan serta fungsi sosial yang mengikatnya. Penganalisisan data ini mengesampingkan wujud data yang keliru penulisannya. Artinya data yang ada tidak dibetulkan dahulu sesuai Ejaan yang Disempurnakan. Analisis data ini meliputi tekstual dan kontekstual. Pemakaian metode analisis data pada disertasi ini disesuaikan dengan watak data dan masalah serta tujuan penelitian. Namun, kiranya metode padan dan agih akan dimanfaatkan
29
dalam analisis data dalam penelitian wacana stiker humor ini, di samping metode kontekstual.
Metode padan pragmatis dengan mitra wicara sebagai alat
penentunya digunakan untuk
mengetahui fungsi-fungsi wacana stiker humor
slang, karena pemakaian slang ini melibatkan penutur atau pencipta stiker humor dan lawan tutur atau penikmat stiker humor. Sedangkan metode padan translasional dengan alat penentunya langue
lain akan digunakan untuk
menentukan makna-makna stiker humor slang dan variasi yang ada. Guna mengetahui bentuk-bentuk slang dan variasi bahasa yang lain akan dimanfaatkan metode agih. Penggunaan metode agih, dengan teknik bagi unsur langsung dengan teknik dasarnya, dan teknik lanjutannya yaitu teknik ganti, untuk mengetahui kadar kesamaan kelas dan kesinoniman unsur terganti; teknik perluas, untuk menentukan segi-segi kemaknaan (aspek semantis) satuan lingual tertentu; dan teknik lesap untuk mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Selain itu, teknik perbandingan digunakan untuk menganalisis data stiker humor yang kemunculannya di awali dengan munculnya wacana nonhumor. 1.9.4 Penyajian Hasil Analisis
Metode penyajian hasil analisis data ini dibedakan menjadi 2 (dua) yakni metode penyajian hasil analisis dengan perumusan melalui kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya; dan metode penyajian yang merupakan penyajian dengan perumusan memakai tanda dan lambang-lambang. Tahap terakhir dari penelitian ini, yakni tahap penyajian hasil analisis data, akan dilakukan dengan menggunakan metode penyajian dengan penyajian hasil analisis data dengan menggunakan rumusan kata-kata.
30
a. Tahapan Pemanfaatan Aspek-aspek Kebahasaan dalam bagan berikut Tahap I: Penyediaan Data
Tahap II: Analisis
Tahap III: Pelaporan
Masalah: Aspek Kebahasaan
Luaran: Pemanfaatan Aspek Kebahasaan Stiker Klasifikasi Data:
Metode: Agih dan Padan
Pelaporan: informal
Hal-hal yang dikerjakan di antaranya adalah identifikasi dan klasifikasi segala permasalahan yang terkait dengan aspek kebahasaan dalam stiker humor. Selanjutnya dilakukan analisis variasi humor dari aspek kebahasaan. b. Tahapan Uraian Wujud Kode dalam Stiker dalam bagan berikut Tahap I: Penyediaan Data
Tahap II: Analisis
Tahap III: Pelaporan
Masalah: Wujud Kode Stiker Klasifikasi Data:
TekstualKontekstual Agih dan
Pelaporan: informal
Luaran: Pemerian Wujud Kode dalam Stiker Kebahasaan Stiker
Tahapan selanjutnya adalah pemerian wujud kode dalam wacana stiker humor. Selanjutnya dilakukan analisis variasi humor dari aspek alih kode, interferensi, dan integrasi.