BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suatu ekspresi bahasa muncul sebagai bagian proses komunikasi dalam suatu interaksi. Sesungguhnya, interaksi antarmanusia dapat tercipta meskipun tanpa menggunakan bahasa verbal. Akan tetapi, penggunaan bahasa verbal merupakan cara yang paling efektif dan efisien bagi manusia agar saling terhubung. Proses terjadinya interaksi antarmanusia dapat dikaji melalui satuan-satuan linguistik yang dituturkan. Meskipun demikian, bahasa merupakan gejala sosial dan pemakaiannya banyak ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik (Lubis, 2011:5). Dalam perkembangannya, penggunaan bahasa berjalan seiring dengan penemuanpenemuan manusia di bidang ilmu dan teknologi. Salah satu teknologi yang ditemukan manusia dan masih digunakan hingga sekarang adalah telepon dan radio. Kedua teknologi tersebut berhubungan dengan penggunaan bahasa manusia. Meskipun keduanya dewasa ini telah mengalami perkembangan sedemikian rupa, fungsi dasarnya sebagai alat komunikasi tidak hilang. Alat komunikasi telepon pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan bernama Alexander Graham Bell pada tahun 1876. Pada masa awal perkembangannya, telepon hanya mampu menyambungkan beberapa perangkat saja dengan jarak yang masih terbatas. Akan tetapi, dengan ditemukannya telepon wireless, jarak komunikasi melalui telepon dapat dilakukan dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Pada dasarnya, percakapan melalui telepon sama dengan percakapan biasa. Percakapan biasa yang dimaksud adalah percakapan yang tidak melalui perantara apapun 1
yang kedua partisipannya hadir dalam satu peristiwa tutur dan saling dapat melihat gerak tubuh lawan tuturnya. Akan tetapi, dalam percakapan melalui telepon, partisipan tidak saling melihat gerak tubuh lawan tuturnya karena setiap partisipan berada pada jarak tertentu sehingga tidak terhubung secara visual. Meskipun demikian, percakapan tetap dapat berlangsung dengan lancar. Hal inilah yang menarik dalam percakapan telepon. Oleh karena keterbatasan tersebut, partisipan dalam percakapan telepon dituntut untuk dapat mendengarkan bunyi-bunyi segmental dan suprasegmental lawan tuturnya dengan jelas sekaligus memahami implikatur percakapan. Percakapan telepon pun tidak selalu berlangsung secara lancar. Percakapan dapat berhenti bila sambungan telepon terputus. Percakapan juga dapat terganggu oleh sinyal yang tidak stabil yang mengakibatkan hilangnya suara lawan tutur, suara terdengar putus-putus, ataupun terdengar bunyi yang berisik pada gagang telepon. Dengan demikian, selain memiliki keunikan, percakapan telepon pun memiliki keterbatasan bila dibandingkan dengan percakapan biasa yang partisipannya saling berhadapan. Telepon sebagai alat komunikasi komersial baru diperkenalkan pada abad ke-20. Pada perkembangan selanjutnya, telepon digunakan juga sebagai alat komunikasi dalam siaran radio untuk menghubungkan penyiar dengan pendengarnya. Radio bekerja menggunakan radiasi gelombang elektromagnetik untuk mengirim sinyal. Penemuan alat radio ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mendirikan stasiunstasiun pemancar radio yang siarannya dapat dinikmati khalayak di rumah masing-masing. Dewasa ini stasiun radio berkembang menjadi industri komersial yang menguntungkan. Program-program acara yang ditayangkan pun semakin bervariasi. Program-program tersebut dikemas sedemikian rupa untuk menarik minat pendengar.
2
Ada beberapa format acara di radio, misalnya berita, request lagu, talk sow, kuis, dan lain sebagainya. Request lagu merupakan jenis acara yang mendominasi program-program di sebagian besar stasiun radio. Acara request lagu pun memiliki berbagai macam format. Ada acara request lagu yang hanya membolehkan pendengar untuk request lagu melalui SMS. Ada acara yang hanya membolehkan pendengar untuk request lagu melalui telepon. Ada juga acara yang membolehkan pendengar untuk request lagu melalui keduanya, yaitu SMS dan telepon. Bahkan, ada acara yang membolehkan pendengar untuk request lagu melalui media sosial di internet, seperti Facebook dan Twitter. Hot Request merupakan salah satu program request lagu di stasiun radio Geronimo. Dalam acara Hot Request (selanjutnya disingkat HR), pendengar hanya diperbolehkan request lagu melalui telepon. Dibandingkan dengan acara request lagu lainnya yang juga hanya memperbolehkan pendengar untuk request lagu melalui telepon, HR tidak membebankan pendengar dengan topik khusus untuk dibicarakan. Sementara itu, dalam beberapa acara lain, penyiar menyampaikan topik khusus yang kemudian dibicarakan dengan penelepon-penelepon yang masuk. Dalam penelitian ini, pengertian penelepon adalah pendengar yang masuk dalam saluran telepon saat sambungan telepon secara resmi dibuka oleh penyiar. HR merupakan acara request lagu yang bersuasana santai. HR tayang pada pukul 24.00 WIB sampai dengan pukul 02.00 WIB. Ketiadaan topik-topik khusus sebagai bahan percakapan merupakan salah satu alasan pemilihan program acara ini. Ketiadaan topik tersebut mengakibatkan topik-topik percakapan yang muncul bersifat spontan. Diharapkan dari spontanitas itu akan muncul topik-topik yang tidak terduga bahkan tidak direncanakan sebelumnya agar percakapan dapat berjalan secara alami, tanpa dibebani dengan topik tertentu. Spontanitas tersebut didukung dengan suasana santai karena program tersebut
3
tayang pada tengah malam hingga dini hari. Dalam suasana santai tersebut diharapkan percakapan dapat berjalan dengan luwes dan akrab. Percakapan telepon dalam HR berbeda dengan percakapan telepon biasa yang tidak terjadi di radio. Dalam HR, percakapan dibatasi oleh durasi dan format acara. Penelepon yang masuk harus patuh terhadap format acara HR. Selain itu, terkait dengan durasi, bila dianggap sudah cukup lama, penyiar akan menghentikan percakapan untuk memberikan kesempatan penelepon lain yang ingin masuk. Dengan keterbatasan waktu tersebut, penyiar dan penelepon dituntut untuk melakukan kerja sama yang baik dalam proses percakapan agar waktu yang singkat tersebut tidak terbuang sia-sia. Sebagaimana percakapan pada umumnya, percakapan dalam HR melalui beberapa tahapan. Secara umum, tahapan-tahapan itu adalah pembuka, isi, penutup. Tahapan-tahapan percakapan itu bagi partisipan adalah proses yang wajar dan harus dilalui untuk terciptanya kerja sama yang baik. Kerja sama tersebut berupa tuturan-tuturan yang dilakukan secara bergantian oleh partisipan dengan memperhatikan kaidah norma yang berlaku secara umum di masyarakat karena HR merupakan acara yang diperdengarkan bagi khalayak. Tuturan-tuturan yang terdapat dalam percakapan telepon antara penyiar dan penelepon tidak dilakukan tanpa tujuan. Dalam rangka mencapai tujuan percakapan itu, penyiar dan penelpon melakukannya dengan implikatur-implikatur percakapan tertentu berdasarkan konteks budaya yang melatarbelakanginya. Selain itu, percakapan itu pun membentuk struktur-struktur tertentu yang dapat diketahui dari pasangan-pasangan tuturan. Oleh karena itu, jenis tuturan ini layak untuk diangkat sebagai objek penelitian karena tuturan-tuturan dalam percakapan merupakan simbol-simbol interaksi antara penyiar dan penelepon.
4
Simbol-simbol yang berupa bahasa tersebut akan diteliti secara linguistik. Peneliti akan memperoleh gambaran interaksi sosial yang terjadi di HR dengan mengklasifikasikan fakta-fakta bahasa berdasarkan teori-teori kebahasaan yang tersedia dengan mengutamakan pembahasan tentang pasangan-pasangan tuturan yang dikenal dengan istilah pasangan berdampingan. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang sifat percakapan telepon, dalam HR, partisipan hanya mendengar suara partisipan lainnya. Partisipan tidak dapat menjangkau gerak-gerik partisipan lainnya untuk mengetahui bahasa tubuh, seperti ekspresi muka, dalam rangka memahami pesan yang disampaikan. Hal ini merupakan suatu masalah karena proses komunikasi terbatasi. Meskipun demikian, pada kenyataannya, proses komunikasi tetap dapat dijalin dalam keterbatasan tersebut. Berbeda dengan tayangan televisi yang dapat merekam situasi tutur secara visual, perekaman situasi dalam percakapan radio hanya mengandalkan aspek-aspek bunyi bahasa. Dalam hal inilah pasangan berdampingan menarik untuk diteliti pada percakapan-percakapan tersebut. Variasi tipe pasangan berdampingan pun akan muncul seiring dengan proses percakapan yang lebih banyak bergantung pada suara tersebut. Untuk mengetahui tipe-tipe tersebut harus dilakukan penelitian secara ilmiah dengan perangkat teori yang ada. Pasangan-pasangan berdampingan muncul dari awal hingga akhir percakapan. Tuturan-tuturan itu muncul dalam tiga tahapan percakapan, yaitu pembuka percakapan, isi percakapan, dan penutup percakapan. Perhatikan contoh berikut. 1) A: Selamat pagi. B: Selamat pagi.
5
Dalam contoh (1) tersebut, pasangan perdampingan terjadi di bagian pembuka percakapan. Dalam contoh tersebut, penyiar (A) memberikan tuturan pertama berupa salam. Sebagai respon dari tuturan pertama tersebut, penelepon (B) memberikan tuturan kedua berupa salam juga. Sementara itu, pasangan berdampingan juga terjadi di bagian isi percakapan HR. Perhatikan contoh berikut. 2) B: Minta lagunya Sheila on 7 ya, Mbak. A: Oh minta lagunya Sheila on 7. Contoh (2) merupakan pasangan berdampingan yang terjadi di bagian isi percakapan HR. bagian isi ini ditandai dengan tuturan request lagu, baik berupa permintaan oleh penelepon maupun berupa penawaran oleh penyiar. Dalam contoh (2), request lagu berupa permintaan oleh B. B memberikan tuturan pertama berupa permintaan yang direspons dengan persetujuan oleh A. Meskipun A tidak secara langsung menyatakan tuturan persetujuan, tuturan Oh minta lagunya Sheila on 7 mengimplikasikan persetujuan. Selain itu, pasangan berdampingan juga terdapat di bagian penutup percakapan HR. Perhatikan contoh berikut ini. 3) B:
[Makasih, Mbak Adenia.
A: Sama-sama[: : :. B:
[Assamalualaikum
A: Waalaikum salam. Dalam contoh (3), ada dua pasangan berdampingan yang muncul. Pada pasangan berdampingan yang pertama, B memberikan tuturan pertama berupa ucapan terimakasih yang direspon oleh A dengan persetujuan dalam tuturan Sama-sama : :. Sementara itu, pasangan berdampingan yang kedua berjenis salam-salam. B menyatakan tuturan pertama berupa Assalamualaikum yang direspon oleh A dengan tuturan Waalaikum salam.
6
Pasangan-pasangan tuturan yang muncul dalam HR mengimplikasikan hal-hal yang tidak disampaikan oleh penuturnya. Implikatur-implikatur tersebut merupakan bagian dari proses interaksi verbal dalam HR. Penutur menggunakan implikasi tersebut dengan berbagai tujuan,
misalnya
bercanda
dan
mengolok-olok.
Untuk
memahami
hal-hal
yang
diimplikasikan tersebut, lawan tutur harus memahami konteks tutur sehingga lawan tutur dapat memberikan respon yang tepat atas tuturan sebelumnya. Perhatikan contoh berikut. 4) A: ... Ya udah, ini siapa ni? B: Aku Ari. A: Halo Ari. B: Halo, Mbak Adenia. A: He’eh, brarti hari ini nama panjangnya lagi Ari Jumat ya= B: =Ah, selalu kayak gitu. Nyindir terus. Dalam contoh (4), Ari Jumat mengimplikasikan nama salah satu hari dalam sistem penanggalan, yaitu hari Jumat. Dalam tuturan Ari Jumat, Ari mengimplikasikan hari, sedangkan Jumat merujuk pada hari terjadinya percakapan tersebut, yaitu hari Jumat. Dalam contoh (4), A melakukan penyimpangan terhadap maksim kualitas karena hari Jumat tidak sesuai dengan nama jati diri B, yaitu Ari. Tuturan A tersebut digunakan juga untuk memberikan efek lucu kepada pendengar. Implikasi yang muncul dalam pasangan-pasangan berdampingan memiliki hubungan dengan faktor-faktor di belakangnya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor-faktor budaya yang melatarbelakangi partisipan. Faktor-faktor munculnya implikatur menarik untuk diteliti terkait dengan konteks tutur di dalamnya.
7
Dalam contoh (4), pasangan berdampingan tersebut dapat dikategorikan sebagai tuturan yang saling mengejek. Dalam budaya orang Indonesia, saling mengejek diperbolehkan. Akan tetapi, kegiatan saling mengejek tersebut berada pada konteks percandaan. Bila tidak dalam konteks percandaan, hal itu dianggap telah melanggar prinsip sopan santun. Dalam contoh (4), saling ejek yang terjadi antara A dan B merupakan simbol keakraban keduanya. Dalam hal ini, keakraban terjadi antara penyiar dan penelepon, terlepas perihal keakraban keduanya di luar percakapan HR. Bila dikaitkan dengan acara HR, membangun keakraban adalah tugas penyiar yang harus mengendalikan situasi percakapan untuk menarik minat pendengar agar menyimak siaran bahkan melakukan sambungan langsung berupa telepon. Hal itulah yang melatarbelakangi tuturan dalam contoh (4). Berdasarkan beberapa keterbatasan yang muncul dalam percakapan HR, muncul beberapa permasalahan. Bagi peneliti, permasalahan itu adalah penerapan dan penyimpangan prinsip kerja sama Grice, pasangan-pasangan berdampingan, dan implikatur-implikatur percakapan. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang penelitian ini, peneliti merumuskan beberapa permasalahan yang akan diuraikan dalam bagian rumusan masalah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya, berikut ini akan disampaikan beberapa rumusan masalah penelitian. 1.2.1
Bagaimanakah penerapan dan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dalam HR?
1.2.2
Bagaimanakah pola dan jenis pasangan berdampingan dalam HR?
1.2.3
Bagaimanakah implikatur dalam percakapan HR?
8
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah pada bagian sebelumnya, penelitian ini memiliki beberapa tujuan sebagai berikut. 1.3.1
Mendeskripsikan penerapan dan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dalam HR.
1.3.2
Mendeskripsikan pola dan jenis pasangan berdampingan dalam percakapan HR.
1.3.3
Mendeskripsikan implikatur dalam percakapan HR.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian di bidang Pragmatik. Penelitian terhadap percakapan, baik melalui telepon maupun tidak melalui telepon, di radio masih jarang dilakukan. Oleh karena itu, masih ada banyak hal yang dapat dikaji terkait dengan penggunaan bahasa di radio, misalnya jender dalam percakapan radio, stastus sosial dalam percakapan di radio, dan berbagai permasalahan lainnya. Secara praktis, penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh pengelola bisnis stasiun radio untuk mengkaji tuturan-tuturan dalam percakapan yang berlangsung melalui sambungan telepon. Hal ini penting untuk dilakukan oleh pengelola stasiun radio karena radio adalah sarana komunikasi nonvisual yang mengutamakan arus informasi melalui bahasa verbal. Penggunaan bahasa verbal yang sesuai akan mempengaruhi minat masyarakat untuk menjadi pendengar setia stasiun radio tertentu. Berdasarkan penelitian ini, diharapkan pengelola stasiun radio ataupun pihak yang memiliki kepentingan di dalamnya dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai tolok ukur proses komunikasi yang selama ini berlangsung di radio.
9
Selanjutnya, peningkatan kualitas siaran radio-radio di Indonesia dapat turut serta dalam usaha mencerdaskan bangsa Indonesia. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, data diambil pada bulan Juli 2012. Data penelitian berupa percakapan telepon. Objek-objek penelitian yang berasal dari data berupa percakapan telepon di radio dalam acara HR dianalisis dengan teori pragmatik dengan spesifikasi pada prinsip kerja sama, pasangan berdampingan, dan implikatur. Percakapan telepon yang dijadikan data dimulai sejak sambungan telepon berawal hingga sambungan telepon berakhir. Hal tersebut ditandai dengan adanya pembukaan percakapan dan penutupan percakapan oleh partisipan. Dengan demikian, tuturan penyiar di luar percakapan telepon tidak termasuk dalam data penelitian. Dalam HR, penyiar disimbolkan dengan A, sedangkan penelepon disimbolkan dengan B. 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian Pragmatik telah sering dilakukan. Secara khusus, penelitian yang berkaitan dengan bidang-bidang pragmatik, seperti analisis percakapan dan implikatur. Berikut akan disebutkan beberapa penelitian yang telah dilakukan di ranah Pragmatik terkait dengan topik penelitian ini. Desi Ari Suksmonowati pada tahun 2005 menulis tesis berjudul Wacana Komunikasi Radio dalam Penerbangan Sipil. Dalam penelitian tersebut, Suksmonowati menjelaskan tiga hal utama terkait wacana komunikasi radio dalam penerbangan sipil, yaitu bentuk dan struktur, karakteristik kebahasaan, dan faktor-faktor penentu bentuk-bentuk kebahasaan. Penelitian Suksmonowati tersebut menghasilkan beberapa poin. Pertama, ditinjau dari sudut pandang media dan jenis penggunaannya, wacana komunikasi RTF merupakan wacana 10
lisan yang berupa dialog, sedangkan ditinjau dari sudut pandang pemaparannya termasuk dalam wacana prosedural. Sementara itu, ditinjau dari sudut pandang tindak tuturnya berupa kalimat imperatif, deklaratif, dan interogatif. Kedua, struktur wacana komunikasi RTF terdiri atas beberapa hal, yaitu pertukaran awal sebagai tahap inisiasi interaksi, pertukaran tengah sebagai tahap percakapan inti, dan pertukaran akhir sebagai tahap penutup komunikasi. Ketiga, karakteristik kebahasaan wacana komunikasi RTF ditandai dengan penggunaan leksikon-leksikon khusus yang mengacu pada fraseologi standar dan dengan bentuk tuturan ringkas berupa pelesapan dan pengganti satuan-satuan lingual tertentu. Jefriyanto Saud pada tahun 2010 menulis tesis berjudul Tindak Tutur Penyiar Radio pada Acara Berbahasa Inggris “Let’s Talk” di Radio Pro 2 FM Gorontalo. Dalam penelitiannya, Saud menguraikan beberapa hal terkait tindak tutur penyiar radio tersebut, yaitu jenis-jenis tindak tutur, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak tutur, dan realisasi prinsip-prinsip kesopanan penyiar radio. Penelitian Saud tersebut menghasilkan beberapa poin. Berdasarkan tahapan acara yang terdiri dari pembukaan acara, isi acara, dan penutupan acara, penyiar menggunakan empat dari lima jenis tindak tutur ilokusioner yang dikemukakan oleh Searle. Keempat tindak tutur tersebut adalah representatif, direktif, ekspresif, dan komisif. Sementara itu, tindak tutur deklarasi tidak terdapat dalam data penelitian. Selain itu, peneliti juga mengatakan bahwa terdapat bias antara penyimpangan muka positif dan muka negatif berdasarkan hasil analisis terhadap prinsip-prinsip kesopanan dalam tindak tutur penyiar. Miftah Nugroho pada tahun 2002 menulis tesis berjudul Analisis Percakapan di dalam Chatting. Dalam karya penelitiannya, Nugroho menjelaskan beberapa hal, yaitu struktur percakapan di dalam chatting, tindak tutur dalam chatting, dan penerapan dan penyimpangan prinsip kerja sama dalam chatting, serta kode terbatas dalam chatting. 11
Dalam penelitiannya, Nugroho menyimpulkan beberapa hal. Pertama, struktur percakapan chatting terdiri dari dua jenis, yaitu struktur lengkap dan struktur tidak lengkap. Kedua, pergantian bicara dalam chatting terdiri dari dua jenis, yaitu pergantian giliran bicara tidak teratur dan pergantian giliran bicara teratur. Ketiga, ada empat tindak tutur yang terdapat dalam chatting, yaitu tindak tutur asertif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur komisif. Keempat, para partisipan memiliki dua kecenderungan, yaitu mematuhi prinsip kesopanan dan melanggarnya. Kelima, ada beberapa kode terbatas yang ditemukan, yaitu pemendekan, penanggalan, pemakaian kalimat singkat dan minor, dan kalimat panjang pendek. Muhammad Fakhrudin pada tahun 2000 menulis tesis yang berjudul Percakapan di dalam Acara Hikmah Fajar Rajawali Citra Televisi Indonesia (Kajian Sosiopragmatik). Dalam karya penelitian tersebut, Fakhrudin menjelaskan beberapa poin terkait percakapan dalam Hikmah Fajar, yaitu struktur percakapan, tindak tutur ilokusi, penerapan atas prinsip kerja sama, dan hubungan tuturan dengan status sosial pelaku percakapan. Berdasarkan penelitian tersebut, Fakhrudin menyimpulkan beberapa hal. Pertama, struktur acara Hikmah Fajar terdiri dari pembukaan, percakapan inti, dan penutup. Kedua, ada empat jenis tindak tutur ilokusi yang muncul, yaitu asertif, direktif, komisif, dan ekspresif. Ketiga, percakapan dalam acara Hikmah Fajar, berdasarkan prinsip kerja sama, terdiri dari penerapan prinsip dan penyimpangan prinsip. Fakhrudin menambahkan bahwa penyimpangan terhadap maksim-maksim yang dilakukan oleh orang yang berstatus sosial lebih tinggi dipengaruhi oleh tujuan bertutur, sedangkan penyimpangan yang dilakukan oleh orang yang berstatus sosial lebih rendah disebabkan oleh kesalahan dalam inferensi. Noni Permata Sari pada tahun 2012 menulis tesis berjudul Analisis Wacana Percakapan Twitter (Kajian Sosiopragmatik). Dalam karya tesisnya, Sari membahas 12
beberapa hal terkait wacana percakapan Twitter, yaitu struktur percakapan, karakteristik kebahasaan, dan penerapan dan penyimpangan prinsip kerja sama. Berdasarkan penelitian tersebut, Sari mengemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, bentuk komunikasi yang terjadi melalui Twitter memiliki dua struktur, yaitu struktur lengkap dan struktur tidak lengkap. Kedua, bahasa yang digunakan dalam Twitter beragam. Ketiga, variasi tutur dalam Twitter dapat berupa penggunaan singkatan, emotikon, bahasa sapaan, penggunaan huruf kapital, nama, dan gambar diri. Keempat, bentuk penyingkatan kata pada Twitter telah mengalami konvensi secara internasional. Kelima, pemakaian bentuk emotikon visual tidak sering ditemui pada Twitter dibandingkan dengan pemakaian pada Yahoo Messenger dan Skype. Keenam, ragam bahasa berkonotasi negatif di Twitter berfungsi sebagai pemerkuat ekspresi tuturan. Ketujuh, fitur pada Twitter tidak lebih lengkap dibandingkan dengan Facebook. Kedelapan, bentuk komunikasi pada Twitter dapat berupa penerapan ataupun penyimpangan terhadap prinsip kerja sama Paul Grice. Romida A. Da Costa pada tahun 2003 menulis tesis berjudul Implikatur dalam Komunikasi Tawar-Menawar Antarpenutur Bahasa Melayu Ambon di Pasar Ikan Ambon (Sebuah Kajian Sosiopragmatik). Dalam penelitiannya, Costa membahas beberapa hal terkait komunikasi tawar-menawar,
yaitu wujud pengungkapan implikatur, prinsip-prinsip
pertuturan dalam implikatur, dan pengaruh konteks budaya pada implikatur. Costa, berdasarkan penelitiannya, menyimpulkan beberapa hal. Pertama, implikasi dalam komunikasi tawar-menawar antarpenutur BMA di pasar ikan Ambon terwujud melalui mekanisme pergantian dialog yang berlangsung lebih dari satu kali dan diungkapkan melalui beberapa tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. Kedua, pada saat berkomunikasi, penutur BMA sering tidak mematuhi prinsip-prinsip pertuturan yang ada, 13
baik prinsip kerja sama maupun prinsip kesopanan. Ketiga, pengaruh konteks budaya dapat diketahui berdasarkan ungkapan yang sarat dengan beberapa hal, yaitu informasi-informasi indeksikal (kebiasaan melaut, kegemaran menyanyi, ciri khas wilayah, makanan khas, dan keadaan alam), tuturan yang berirama, dan ketidaklaziman intonasi yang mengakibatkan kesalahan interpretasi. Bila dibandingkan dengan beberapa penelitian yang telah disebutkan, penelitian yang berjudul Pasangan berdampingan dalam Percakapan Telepon Acara Hot Request di Radio Geronimo FM Yogyakarta ini memiliki perbedaan. Pertama, berdasarkan bahan penelitiannya, penelitian ini menggunakan bahan penelitian berupa percakapan telepon dalam siaran komersial radio dengan spesifikasi acara yang telah disebutkan di bagian latar belakang. Kedua, alat yang digunakan untuk mengolah objek penelitian adalah pasangan berdampingan yang ditindaklanjuti dengan implikatur dan faktor budaya. Dengan demikian, secara umum, penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian lanjutan atas beberapa penelitian yang telah dilaksanakan oleh para peneliti bahasa. 1.7 Landasan Teori Dalam bagian latar belakang penelitian terdapat beberapa permasalahan yang kemudian dirumuskan di bagian berikutnya, yaitu bagian rumusan masalah. Permasalahanpermasalahan yang muncul tersebut harus dianalisis dengan alat yang sesuai. Objek penelitian ini terdapat dalam bahan data yang berupa percakapan telepon di radio. Oleh karena itu, alat yang sesuai untuk menganalisis data dengan sifat tersebut adalah Pragmatik. Pragmatik cocok digunakan untuk meneliti objek dalam data tersebut karena Pragmatik memiliki perangkat untuk menjelaskan karakteristik data.
14
Dalam penggunaannya, bahasa bersifat kontekstual. Bila peneliti menggunakan teoriteori semantik, sifat kontekstualitas bahasa tidak dapat dijelaskan karena semantik tidak memiliki perangkat untuk menjelaskan konteks-konteks dalam bahasa sebagai alat komunikasi secara komprehensif. Istilah pragmatik diperkenalkan pertama kali oleh Charles Morris pada tahun 1938 (Levinson, 1985:1). Pragmatik berkembang setelah kemajuan yang pesat pada kajian-kajian sintaksis pada masa sekira 1960-an. Pada masa itu, bahasa dikaji secara struktural tanpa memperhatikan fungsinya sebagai bagian integral dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa dipelajari sebagai bahasa dan memisahkannya dengan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhinya. Beberapa saat setelah semantik dijadikan sebagai salah satu cabang ilmu dalam linguistik, para ahli bahasa mengemukakan bahwa bahasa harus dikaji berdasarkan penggunaannya. Para ahli menyadari bahwa bahasa harus ditempatkan secara lebih dekat dengan penuturnya. Dengan demikian, ada konsekuensi yang harus dipahami, yaitu bahasa tidak lagi bersifat struktural yang hanya mementingkan kaidah-kaidah formal saja. Ada halhal di luar bahasa yang mengakibatkan makna bahasa bersifat dinamis. Dengan kata lain, kaidah bahasa terdapat di dalam tata bahasa, sedangkan prinsip penggunaan bahasa terdapat dalam wacana pragmatik (Rohmadi, 2010:18) Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca) (Yule, 2006:3). Pendapat lain mengatakan bahwa Pragmatik adalah cabang linguistik yang membahas hal yang termasuk struktur sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar sebagai pengacuan tanda bahasa pada hal-hal ekstralingual yang dibicarakan (Verhaar, 2006:14). Sementara itu, Tarigan (2009:25)
15
mengatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai kondisi-kondisi umum penggunaan komunikatif bahasa. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diketahui bahwa objek utama pragmatik adalah bahasa lisan, sedangkan bahasa tulis merupakan objek sekundernya. Maksud suatu tuturan perlu dikaji karena bentuk tuturan, dalam pragmatik, seringkali tidak sama dengan tujuannya. Suatu tuturan yang berbentuk tuturan interogatif, misalnya, dapat bertujuan imperatif. Jadi, dapat dikatakan bahwa pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada tata bahasa (Leech, 1993:20). Dalam perkembangannya, pragmatik memiliki beberapa ranah kajian. Dua di antara ranah kajian pragmatik ialah analisis percakapan dan implikatur. Analisis percakapan merupakan cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sacks, Schegloff, dan Jefferson pada akhir tahun 1960-an sampai dengan awal tahun 1970-an (Wooffitt, 2005:25). Pada mulanya, analisis percakapan merupakan teori yang dikembangkan untuk ilmu sosiologi. Akan tetapi, teori ini kemudian diterapkan dalam linguistik. Dalam linguistik, analisis percakapan lebih mengedepankan sisi kebahasaan yang muncul dari proses interaksi daripada sisi sosial yang mengarah pada kajian-kajian sosial yang lebih luas pada sosiologi. Pasangan berdampingan merupakan salah satu bidang kajian dalam analisis percakapan. Pasangan berdampingan adalah pasangan ujaran dari dua pembicara, yang pertama membangkitkan yang kedua (Kridalaksana, 2011:174). Pasangan-pasangan tuturan tersebut dikategorisasikan berdasarkan tipe-tipenya (Mey, 1994:243). Pasangan-pasangan tersebut dapat berupa tanya-jawab dan salam-salam yang termasuk dalam kategori disukai (preferred). Sementara itu, pasangan berdampingan yang berupa permintaan-penolakan termasuk dalam tidak disukai (disprefered). Pasangan berdampingan terjadi karena tuturan 16
pertama mengakibatkan munculnya tuturan selanjutnya. Di antara rangkaian tuturan tersebut kadang terdapat tuturan lain yang muncul. Tuturan ini disebut urutan sisipan (insertion sequence) (Cutting, 2008:30). Sementara itu, setelah tuturan bagian kedua, tindak lanjut (follow up) sering muncul. Oleh karena tindak lanjut masih berkaitan dengan tuturan pasangan berdampingan dan dalam tindak lanjut juga terdapat pasangan berdampingan, tindak lanjut juga menjadi bagian yang akan diteliti. Schegloff dan Sacks (1973) mengemukakan beberapa karakteristik pasangan berdampingan (Levinson, 1985:303). Perhatikan beberapa poin berikut. 1. Pasangan berdampingan adalah rangkaian dua tuturan yang berdekatan. 2. Pasangan berdampingan diproduksi oleh penutur-penutur yang berbeda. 3. Pasangan berdampingan berurutan antara bagian pertama dan bagian kedua. 4. Pasangan berdampingan terdiri dari berbagai jenis karena bagian pertama memerlukan bagian kedua, misalnya penawaran memerlukan persetujuan atau penolakan, salam memerlukan salam, dan lain sebagainya. Tuturan dalam pasangan berdampingan terjadi karena dilatarbelakangi oleh maksud tertentu. Maksud tersebut ditunjukkan melalui tindak tutur. Penutur menyampaikan tindak tuturnya berdasarkan konteks yang dianggap dipahami oleh lawan tuturnya. Dengan demikian, penutur mengharapkan tanggapan tertentu dari lawan tuturnya atas tindak tutur yang telah disampaikan. Wijana (1996:36) menyatakan bahwa dalam bahasa Indonesia, tindak tutur percakapan dapat dibedakan menjadi delapan perincian, yaitu tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, dan tindak tutur tidak langsung tidak literal. 17
Tindak tutur langsung adalah tuturan yang digunakan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu (Wijana, 1996:30). Tindak tutur tidak langsung adalah tuturan yang memiliki perbedaan antara modus dan fungsinya (Wijana, 1996:30). Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 1996:32). Tidak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya (Wijana, 1996:32). Tindak tutur langsung literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya (Wijana, 1996:33). Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur (Wijana, 1996:34). Tindak tutur langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya (Wijana, 1996:35). Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (Wijana, 1996:35). Dalam suatu percakapan, penutur tidak selalu menuturkan tindak tuturnya secara langsung yang kemudian diikuti oleh tuturan lawan tutur sesuai dengan pernyataan pertama. Partisipan sering menggunakan implikatur dalam menyampaikan maksud tuturannya. Implikatur tersebut digunakan karena partisipan dianggap sudah saling memahami konteks percakapan. Meskipun demikian, kesalahpahaman dalam percakapan dapat terjadi karena partisipan tidak dapat memahami konteks sehingga tidak berhasil memahami informasi yang terkandung dalam tuturan.
18
Menurut Horn (2006:3) Implikatur adalah a component of speaker meaning that constitutes an aspect of what is mean in a speaker’s utterance without being part of what is said (komponen makna tutur yang merupakan aspek dari yang dimaksud dalam ujaran oleh penutur tanpa memperhatikan bagian yang dikatakan). Sifat Pragmatik yang mengkaji maksud tuturan semakin tampak jelas dalam implikatur. Untuk memahami hal yang diimplikaturkan dalam suatu tuturan, lawan tutur harus dapat menduganya. Selain itu, Grice menegaskan bahwa suatu tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut (Rahardi, 2008:43). Yule (1996, 69—80) membagi implikatur menjadi beberapa kategori, yaitu implikatur percakapan umum, implikatur berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional. Dalam implikatur percakapan umum, maksud yang diimplikasikan dapat diduga dalam tuturan. Dalam implikatur berskala, maksud penutur diimplikasikan dengan penyebutan kosakata berskala, misalnya kadang-kadang, sedikit, dan banyak. Dalam implikatur percakapan khusus dibutuhkan pengetahuan tertentu untuk memahami maksud penutur karena maksud penutur tidak disampaikan secara verbal. Dalam implikatur jenis ini, lawan tutur harus benar-benar memahami konteks tuturan agar ia dapat menduga maksud penutur. Sementara itu, dalam implikatur konvensional, maksud penutur dapat dipahami hanya dari tuturan penutur. Untuk menduga maksud penutur dalam implikatur jenis ini, lawan tutur tidak perlu memiliki pengetahuan khusus tentang konteks yang ada. Dalam implikatur tercakup prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama pertama kali diperkenalkan oleh Grice (1975) (Cutting, 2008:34). Grice membagi prinsip kerja sama ini dalam beberapa maksim, antara lain maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relasi, dan
19
maksim cara. Masing-masing maksim tersebut memiliki fungsi yang berbeda dalam percakapan. Maksim kualitas berfungsi untuk menyampaikan informasi sesuai kenyataannya. Maksim kuantitas berfungsi untuk menyampaikan informasi pada kadarnya. Maksim relevansi berfungsi untuk menyampaikan suatu informasi secara relevan atau masuk akal. Sementara itu, maksim cara berfungsi untuk menyampaikan suatu informasi dengan teknik tertentu. Penutur berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas, dan selalu pada persoalan agar tidak menghabiskan waktu lawan tutur (Wijana, 1996:45). Hal tersebut dilakukan demi terjalinnya kerja sama dalam percakapan. Akan tetapi, prinsip kerja sama pun dapat dilanggar oleh partisipan. Sebagai contoh, bila penutur bertanya tentang suatu alamat, lawan tutur yang mengetahui alamat tersebut tidak memberikan jawaban berupa alamat lain di negara lain karena hal itu akan dianggap, oleh penutur, sebagai penyimpangan terhadap maksim kualitas. Contoh penyimpangan terhadap maksim kuantitas dapat dilihat dari tuturan yang berlebihan atau kurang dari yang diharapkan. Dalam kasus tertentu, penyimpangan terhadap maksim kuantitas dapat mengakibatkan kesalahpahaman antara penutur dan lawan tutur. Penyimpangan terhadap maksim relevansi dapat dicontohkan dengan sepasang tuturan dalam sebuah percakapan yang saling tidak menyambung secara lingual. Ketidaksambungan tersebut juga dapat mengakibatkan kesalahpahaman jika lawan tutur tidak memiliki pengetahuan yang sama dengan penutur. Sementara itu, penyimpangan terhadap maksim cara dapat dicontohkan dengan penutur yang sengaja berbicara sangat lirih dan sering melakukan alih kode dengan bahasa
20
asing di dalam telepon sehingga lawan tutur tidak dapat mendengarnya dan memahaminya. Kadang-kadang perlanggaran terhadap maksim cara disengaja dengan tujuan tertentu. Dalam suatu interaksi, partisipan akan saling bekerja sama agar percakapan berjalan dengan lancar dan saling dapat memahami hal yang diinginkan melalui tuturan (Nadar, 2009:26). Bila kerja sama itu dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan kedua belah pihak, kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Akan tetapi, penyimpangan yang muncul atas kesalahpahaman bukanlah kegagalan dalam suatu proses komunikasi karena hal tersebut dapat diperbaiki dalam proses komunikasi berikutnya, misalnya penutur meralat perkataannya dengan perkataan yang baru. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Indonesia sering menggunakan implikaturimplikatur untuk tujuan mengolok-olok orang lain. Bila diperhatikan konteks yang terjadi dalam olok-olok tersebut, dapat dipahami penyebab lawan tutur tidak merasa tersinggung. Dalam budaya Indonesia, mengolok-olok adalah hal yang wajar. Kewajaran tersebut tentunya berkaitan dengan faktor-faktor tertentu, misalnya keakraban penutur dan situasi tutur. 1.8 Metode Penelitian Penelitian bahasa adalah penelitian yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis terhadap objek sasaran yang berupa bunyi tutur (bahasa) (Mahsun, 2012:2). Untuk mendukung kriteria-kriteria tersebut, penelitian harus dilakukan dengan metode yang tepat. Metode penelitian sebaiknya diuraikan dengan jelas oleh peneliti agar proses penelitian dapat diketahui secara transparan. Hal tersebut berguna untuk mempermudah pemahaman pembaca dalam memahami laporan hasil penelitian. Penelitian ini, secara garis besar, terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama adalah proses penjaringan data.
Metode simak digunakan dalam tahap ini. Metode tersebut
21
direalisasikan dengan dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar berupa teknik sadap. Data yang berupa percakapan disadap dengan alat perekam. Selanjutnya, teknik yang digunakan sebagai teknik lanjutan adalah teknik simak bebas libat cakap. Teknik lanjutan ini digunakan karena peneliti tidak terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penjaringan data. Setelah data terkumpul, dilakukan klasifikasi datadata berdasarkan persamaan dan perbedaan yang tampak. Agar analisis valid, transkripsi data harus dilakukan secara akurat (Wray dkk, 1998:201). Data penelitian ini berupa tuturan. Tuturan tersebut ditranskripsikan ke dalam bahasa tulis melalui teknik transkripsi ortografis. Oleh karena fokus penelitian ini terletak pada karakteristik pasangan berdampingan dalam HR, teknik transkripsi ortografis yang digunakan tidak selengkap pada penelitian yang membahas percakapan dengan analisis percakapan secara umum. Setelah melalui tahap penjaringan data, tahapan selanjutnya adalah tahap analisis data. Penganalisisan data tersebut berdasarkan hasil klasifikasi yang telah dikerjakan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, penganalisisan data penelitian menggunakan metode padan. Jenis metode padan yang digunakan adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya berupa lawan atau lawan bicara (Kesuma, 2007:48). Selanjutnya, data-data yang telah dianalisis pada tahap dua disajikan secara sistematis pada tahap ketiga. Tahapan ini disebut tahap penyajian analisis data. Pada tahap ini, data disajikan secara informal. Penyajian hasil data secara informal tersebut disertai dengan penggunaan kaidah kebahasaan pada laporan penelitian agar hasil penelitian ini dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca.
22
1.9 Sistematika Penyajian Penelitian ini akan disajikan dalam beberapa BAB. BAB I menguraikan pendahuluan yang terdiri dari beberapa subbab, yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. BAB II menguraikan penerapan dan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama Grice dalam percakapan HR. BAB III menguraikan pola dan jenis pasangan berdampingan dalam percakapah HR. BAB IV mengguraikan implikatur dalam percakapan HR. Sementara itu, BAB V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan kritik.
23