1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Mendengar anak-anak yang mampu berkomunikasi dalam dua bahasa atau lebih pada usia dini sering membuat orang terkejut sekaligus bertanya-tanya. Bagaimana seorang anak yang baru berumur dua atau tiga tahun mampu berbicara dalam dua bahasa yang berbeda? Apakah anak-anak tersebut memang memiliki bakat dalam berbahasa? Sementara itu, muncul juga pertanyaan lain, mengapa banyak orang yang sudah bertahun-tahun berusaha belajar bahasa kedua atau bahasa asing sering tidak mampu berkomunikasi dengan fasih dalam bahasa tersebut? Yip dan Mattews (2007: 1) memaparkan beberapa pertanyaan di antaranya: Bagaimanakah rasanya menjadi anak yang bilingual? Bagaimana anakanak menyikapi pembelajaran dua bahasa yang didapat secara simultan dalam tahun-tahun pertama kehidupan mereka? Banyak anak, misalnya, mereka yang lahir dari orang tua dengan latar belakang budaya yang berbeda, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga tempat digunakan lebih dari satu bahasa dalam aktivitas sehari-hari. Orang tua mereka, masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda kepada anak sehingga anak sejak dini telah disuguhi lingkungan bahasa yang berbeda. Pemerolehan bahasa anak bilingual (Bilingual child language acquisition) secara umum merujuk pada pemerolehan dua bahasa atau lebih ketika bahasabahasa tersebut diperoleh oleh anak sejak usia dini (Myers-Scotton, 2006; 324).
2
Dalam kasus anak-anak tersebut, ``pemerolehan`` berarti pembelajaran bahasa secara spontan dengan sedikit atau, bahkan tanpa usaha yang nyata. Sebelum bisa menyuarakan bunyi bahasa, bayi menyuarakan berbagai bunyi seperti tangisan, sendawa, dekutan, dan tawa. Kemampuan untuk memproduksi bunyi-bunyi tersebut oleh Steinberg, dkk (2001; 3) disebut sebagai kemampuan yang tidak dipelajari. Setiap bayi yang lahir dari berbagai bahasa menyuarakan bunyi-bunyi yang sama, bahkan anak yang lahir dengan pendengaran yang terganggu sekalipun. Diungkapkan juga bahwa nantinya, ketika berumur sekitar tujuh bulan, anak biasanya mulai menyuarakan bunyi-bunyi yang dideskripsikan sebagai bunyi-bunyi silabik yang diulang (syllabic reduplication) seperti ``baba``, ``dada``, ``papa``, yang kebanyakan dari bunyi-bunyi tersebut merupakan tipe-tipe bunyi dasar konsonan + vokal. Bunyi-bunyi konsonan yang muncul biasanya adalah bunyi-bunyi bilabial. Dari akhir tahap inilah, anak-anak kemudian mulai menyuarakan kata-kata pertama mereka. Tahap penyuaraan kata-kata pertama sering muncul ketika anak berumur sekitar satu tahun, namun dalam banyak kasus ada juga yang jauh lebih cepat atau lambat. Dalam kaitannya dengan bahasa yang diproduksi oleh seorang anak, banyak ahli berpendapat bahwa seorang anak tidak akan memeroleh suatu bahasa tanpa suguhan komunikasi dalam bahasa tersebut. Ryan (1974), seperti yang dikutip dalam Taylor (1990: 236), menegaskan bahwa dalam tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, pusat wicara seorang anak adalah ibunya (atau pengasuhnya). Seorang ibu menginterpretasi, mengomentari, mengulang, atau bahkan salah menafsirkan apa yang dikatakan anak tersebut. Taylor (1990) juga
2
3
melukiskan bahwa dalam mengajari anaknya secara informal, beberapa ibu cenderung untuk memberi label terhadap sesuatu atau warna. Ketika berbicara kepada anak yang masih bayi, misalnya, ibu-ibu biasanya berbicara pelan-pelan, dengan suara yang jelas dan sering diulang-ulang. Secara intuisi atau dengan sengaja, para ibu atau siapa pun pengasuh anak tersebut, melakukan hal itu supaya apa yang dikatakan dapat dimengerti dan diperoleh anak dengan mudah. Penelitian yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah Yip dan Matthews pada tahun 2007. Yip dan Mattews (2007) meneliti perkembangan awal bahasa anak-anak mereka yang berada dalam lingkungan bilingual (bahasa Inggris dan Katon). Hasil penelitiannya diterbitkan dalam buku yang berjudul The Bilingual child: Early development and Language Contact. Yip dan Mattews mengutarakan bahwa sebagai orang tua anak-anak tersebut, mereka memiliki kesempatan yang luas dalam mengobservasi perkembangan bahasa keseharian, menjadi orang pertama yang menyaksikan bagaimana anak-anak memeroleh bahasa. Penelitian tentang perkembangan bahasa seorang anak Indonesia dilakukan oleh Prof. Soenjono Dardjowidjojo dari Universitas Unika Atmajaya Jakarta yang bukunya telah terbit pada tahun 2000. Dardjowidjojo meneliti pemerolehan bahasa cucunya sendiri yang bernama Echa, yang disuguhi dengan lingkungan bahasa yang monolingual, yaitu lingkungan bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil temuan di atas, peneliti menjadi lebih termotivasi untuk merekam perkembangan bahasa anak, khususnya perkembangan pada tataran fonologi. Perkembangan pada tahap fonologi ditekankan lebih awal pada
4
penelitian ini didasarkan pada konsep bahwa dalam pemerolehan bahasa, seorang anak akan menguasai bunyi bahasa terlebih dahulu sebelum menguasai kata maupun kalimat. Di samping itu, penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan karena anak yang menjadi subjek penelitian memiliki lingkungan keluarga yang tidak konvensional. Anak bernama Lila lahir dari seorang ibu etnis Bali dan seorang ayah yang berasal dari Jerman. Keluarga itu tinggal di desa Kalibukbuk Kabupaten Buleleng, Bali. Dalam kesehariannya, anak diekspos dalam bahasa Indonesia dan Jerman sejak dia dilahirkan. Seiring dengan bertambahnya usia anak, dia juga kemudian mendengar bunyi bahasa Bali dari kelompok teman sebaya dan orang-orang yang berada di lingkungan tempat tinggal keluarga tersebut. Sementara itu, orang tua Lila juga sering menggunakan bahasa Inggris ketika berkomunikasi satu sama lain. Namun, bahasa Inggris tidak digunakan untuk berkomunikasi kepada anak. Ketika anak berumur satu tahun lima bulan, misalnya, anak memproduksi bunyi-bunyi sebagai berikut:
‘miao‘
‘jerapah‘
‘jajak‘
heiß
‘panas‘
Anak juga mengeluarkan bunyi-bunyi bahasa yang mulai bervariasi dan unik sehingga menggugah pertanyaan apakah anak sedang mengeluarkan bunyi bahasa Indonesia, Jerman, atau bahasa Bali. 4
5
Sejauh ini belum ada seorang peneliti dari Bali yang meneliti perkembangan bahasa anak secara longitudinal, khususnya anak yang lahir dalam lingkungan yang bilingual Indonesia dan Jerman. Di samping itu, satu-satunya penelitian anak bilingual yang salah satu bahasanya adalah bahasa Indonesia dilakukan oleh Soriente (2007). Kajian psikolinguistik yang longitudinal seperti ini masih jarang dilakukan oleh peneliti dari Indonesia. Untuk itu, penelitian dalam bidang psikolinguistik yang melihat perkembangan bahasa anak bilingual perlu untuk dikembangkan. Dalam penelitian ini akan dilihat perkembangan bahasa anak yang bernama Lila ketika dia berumur 1;2 tahun sampai 2;6.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang disampaikan dalam latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan, yang dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Elemen bunyi apa sajakah yang berkembang pada anak
berumur 1;2
sampai 2;6 yang berada pada lingkungan bahasa yang bilingual? b.
Bagaimanakah urutan perkembangan bunyi yang diperoleh anak berumur
1;2 sampai 2;6 tersebut? c. Bagaimanakah variasi bunyi yang muncul dari perkembangan bunyi bahasa anak tersebut?
6
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan bahasa seorang anak yang lahir dalam suatu lingkungan bahasa yang bilingual. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk memberikan gambaran, baik kepada orang tua pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya, tentang pemerolehan bahasa anak pada usia dini.
1.3.2 Tujuan Khusus Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: a.
mengetahui elemen bunyi yang berkembang pada anak berumur 1;2 sampai 2;6 yang berada pada lingkungan bahasa yang bilingual.
b.
memahami urutan perkembangan bunyi yang diperoleh anak berumur 1;2 sampai 2;6 tersebut.
c.
menjelaskan variasi bunyi yang muncul dari perkembangan bunyi bahasa anak tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini memiliki manfaat praktis dan manfaat teoretis. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi orang tua dalam melihat perkembangan bahasa anak mereka,
6
7
khususnya bagi keluarga yang memiliki anak yang dilahirkan dalam lingkungan bahasa, baik bilingual maupun multilingual. Orang tua juga bisa mendapat gambaran jika anak mereka memiliki gangguan dalam berbicara sehingga para orang tua tersebut bisa mendeteksinya sejak awal dan upaya untuk menolong mereka bisa dilakukan sejak dini. Myers-Scotton (2006; 329) yang mengutip pernyataan Genesee menekankan bahwa ada alasan praktis yang sangat kuat mengapa penelitian tentang pemerolehan bahasa anak bilingual sangat penting dilakukan. Hal itu dilihat dari kenyataan bahwa kebanyakan dari masyarakat dunia adalah masyarakat bilingual dan banyak orang yang memeroleh kedua bahasa tersebut secara simultan. Oleh karena itu, tidak mengkaji tentang profil linguistik mereka berarti mengabaikan suatu bagian penting dalam kehidupan manusia. Sementara secara teoretis, penelitian ini diharapkan untuk memberi sumbangan terhadap teori-teori pemerolehan bahasa anak, khususnya terhadap teori pemerolehan bahasa anak bilingual atau multilingual yang merupakan bagian dari cabang ilmu psikolinguistik. Penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan terhadap teori-teori tentang bunyi bahasa yang tercakup dalam teori dalam bidang fonologi.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang perkembangan bahasa anak bilingual, khususnya anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan bahasa Bali, Indonesia dan bahasa asing salah satunya bahasa Jerman, sejauh ini menurut pengetahuan penulis belum dilakukan. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak bilingual umumnya dilakukan oleh peneliti-peneliti asing yang melihat perkembangan bahasa anak yang berada pada lingkungan bahasa-bahasa asing, seperti bilingual bahasa Inggris dan Kanton, bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Yip dan Mattews (2007) dalam The Bilingual Child; Early Development and Language Contact menceritakan bagaimana enam orang anak menjadi bilingual bahasa Inggris dan bahasa Kanton yang telah diekspos dalam kedua bahasa tersebut sejak mereka lahir. Yip dan Matthews meneliti anak-anak mereka sendiri yang berjumlah tiga orang dan tiga anak lain yang merupakan anak-anak teman mereka. Anak-anak yang menjadi subjek penelitian adalah anak-anak yang memiliki orang tua di mana ibu dan ayah mereka masing-masing menggunakan bahasa yang berbeda kepada anak mereka. Hasil penelitian menunjukkan adanya bukti yang sangat kuat tentang adanya interaksi antara sistem gramatika dari kedua bahasa yang diperoleh anak-anak tersebut. Adanya pengaruh sistem gramatika bahasa Kanton terhadap sistem
8
9
gramatika bahasa Inggris, misalnya ditemukan dalam formasi wh-questions, relative clauses, penghilangan objek dan urutan kata. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya dominasi bahasa dan input bahasa yang diterima anak. Temuan mereka mendukung anggapan bahwa bilingual bukanlah dua monolingual yang menjadi satu. Penelitian yang dilakukan Yip dan Matthews memberikan gambaran bahwa kedua bahasa yang diperoleh anak memiliki interaksi yang sangat kuat. Penelitian tersebut juga memberikan gambarangambaran tentang pengaruh linguistik bahasa yang satu dengan yang lainnya. Sementara penelitian ini berusaha melihat secara lebih dekat aspek-aspek perkembangan fonologi anak. Dardjowidjojo (2000), salah seorang tokoh psikolinguistik Indonesia, dalam bukunya Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia, menjelaskan bagaimana seorang anak Indonesia memeroleh bahasanya sejak lahir sampai berumur 5 tahun. Penelitian yang sudah dibukukan itu merupakan sebuah penelitian kualitatif yang longitudinal yang subjek penelitiannya adalah cucu dari peneliti. Perkembangan bahasa yang diobservasi adalah pemerolehan pada aspek fonologi, morfosintaksis, dan pragmatik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam memeroleh bahasanya, banyak konsep universal yang dipatuhi oleh anak, namun derajat kepatuhannya tidak sama pada setiap komponen bahasa yang diteliti. Jika Echa dipakai sebagai acuan pemerolehan bahasa anak Indonesia khususnya dan anak lain pada umumnya, dikatakan bahwa konsep universal banyak diterapkan dalam komponen fonologi. Derajat kepatuhannya menurun pada komponen sintaksis dan lebih
10
menurun lagi pada komponen leksikon. Namun, penelitian tersebut hanya dilakukan kepada anak yang memeroleh bahasa yang monolingual. Penelitian yang dilakukan Dardjowidjojo (2000) memberikan kontribusi yang sangat penting bagi penelitian ini dalam memberikan gambaran serta penjelasan-penjelasan tentang bunyi-bunyi bahasa Indonesia yang diperoleh anak dengan tahap-tahap perkembangan yang disesuaikan dengan umur anak. Di samping aspek perkembangan bunyi bahasa, aspek morfosintaksis juga dibahas secara mendalam. Hal itu sangat membantu penelitian ini dalam memahami perkembangan bahasa anak yang lahir dalam lingkungan keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia karena salah satu bahasa yang diperoleh anak yang menjadi subjek penelitian juga bahasa Indonesia. Cummins (2003) menulis sebuah artikel yang berjudul Bilingual Children's Mother Tongue: Why Is It Important for Education? Artikel itu membahas pentingnya bahasa pertama bilingual dalam perkembangan personal anak dan perkembangan pendidikan mereka. Selanjutnya,
juga ditegaskan
bahwa
bilingualisme memiliki efek positif dalam perkembangan linguistik anak. Ketika seorang anak disuguhi dua bahasa atau lebih sejak dini, mereka memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang bahasa dan bagaimana menggunakannya secara efektif. Rosenberg (1996), dalam artikelnya yang berjudul Raising Bilingual Children, menulis bahwa mengetahui dua bahasa atau lebih memang memberikan banyak keuntungan bagi anak. Anak-anak bilingual memiliki pengetahuan tentang dua budaya yang berbeda, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan
10
11
orang-orang dari budaya yang berbeda, adanya peluang yang lebih baik dalam bidang ekonomi di kehidupannya di masa depan, serta keuntungan dalam keterampilan berpikir. Satu-satunya penelitian perkembangan bahasa anak bilingual yang di dalamnya terdapat bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang menjadi bagian dari kombinasi bahasa bilingual yang diteliti adalah penelitian yang di lakukan oleh Soriente (2007). Soriente menggunakan anak-anaknya sebagai sumber data dalam penelitiannya. Dalam penelitian itu, anak-anak disuguhi bahasa Italia oleh ibunya dan bahasa Indonesia oleh ayahnya dan orang-orang sekitarnya karena keluarga tinggal di Jakarta. Studi kasus yang longitudinal tersebut melihat perkembangan bahasa anak bilingual Indonesia-Italia yang berfokus pada aspek struktur dari pemerolehan WH-questions dilihat dari segi cross linguistics khususnya dua bahasa yang tidak serumpun dan struktur kognitif. Salah satu hasil dari penelitian tersebut adalah adanya dominasi bentuk-bentuk tanya yang terdapat dalam bahasa Indonesia, yang dikuasai anak terlebih dahulu dibandingkan dengan padanannya dalam bahasa Italia. Namun, terdapat kemiripan dalam urutan pemerolehan bentuk tanya dalam kedua bahasa tersebut. Studi yang dilakukan oleh Soriente merupakan salah satu acuan atau kajian yang dirujuk dalam penelitian ini. Jika Soriente lebih fokus pada pemerolehan bentuk struktur WH-question, maka penelitian ini lebih menekankan pada aspek pemerolehan bunyi yang dikembangkan oleh anak. Bunyi menjadi fokus dalam penelitian ini karena pada awalnya, sebelum anak benar-benar mampu untuk memproduksi sebuah kata, terlebih dahulu anak memeroleh bunyi bahasa tersebut.
12
Di samping itu, objek kajian juga berbeda, yaitu dalam penelitian ini kombinasi bahasa yang diteliti adalah bahasa Indonesia dan Jerman. Kajian-kajian di atas sangat bermanfaat bagi penelitian ini. Peneliti mendapat gambaran tentang bagaimana setiap kasus perkembangan bahasa anak, khususnya anak yang memeroleh dua atau lebih bahasa secara simultan sejak lahir. Begitu juga penelitian yang mengkaji perkembangan bahasa anak Indonesia. Penelitian tersebut memberikan gambaran awal bagaimana seorang anak Indonesia memeroleh bahasanya mengingat bahwa penelitian ini juga berusaha melihat perkembangan bahasa anak yang lahir dalam lingkungan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain yang diperoleh secara simultan. Tulisan-tulisan yang telah diuraikan di atas sangat membantu dalam melaksanakan penelitian, baik dilihat dari segi teori-teori yang digunakan
maupun metode pengumpulan data dan
metode analisis data.
2.2
Konsep Judul penelitian ini adalah Perkembangan Bunyi Bahasa Anak Bilingual.
Penelitian ini memerlukan penjelasan atas pengertian-pengertian yang tertuang dalam judul penelitian tersebut sehingga persamaan persepsi dapat tercapai.
(1) Pemerolehan Bahasa (Language Aquisition) Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (Dardjowidjojo, 2003: 225).
12
13
(2) Tata Bahasa Universal (Universal Grammar) a. Universal grammar didefinisikan sebagai studi tentang suatu kondisi yang dimiliki oleh tata bahasa dari seluruh bahasa di dunia b. pada suatu kondisi yang ideal dalam pemerolehan bahasa, UG adalah karakteristik dari tahap awal pralinguistik anak dan kapling-kapling intelektual yang ada secara biologis, yang dimiliki setiap penutur bahasa di dunia (Chomsky, 2002: 7-8).
(3) Keuniversalan Pemerolehan Bunyi Pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan kodrat bunyi itu sendiri. Bunyi pertama yang keluar ketika anak mulai berbicara adalah kontras antara konsonan dan vokal. Dalam hal vokal, hanya bunyi [a], [i], [u] yang keluar terlebih dahulu. Mengenai bunyi konsonan, kontras pertama yang muncul adalah oposisi antara bunyi oral dengan bunyi nasal [p], [b] dan [m], [n] (Jakobson, 1971).
(4) Konsep Bilingualisme Myers-Scatton (2006; 324) mendefinisikan pemerolehan bahasa bilingual pada anak adalah pemerolehan lebih dari satu bahasa ketika bahasabahasa tersebut disuguhkan kepada anak sejak usia dini. Dalam penelitian ini konsep bilingualisme adalah pemerolehan lebih dari satu bahasa oleh seorang anak, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jerman.
14
2.3 Landasan Teori Penelitian ini memberikan gambaran dan menjelaskan perkembangan bahasa anak yang bilingual. Perkembangan yang ditekankan dalam penelitian ini adalah bunyi bahasa yang merupakan bagian dari proses pemerolehan bahasa yang terangkum dalam suatu kajian psikolinguistik. Oleh karena itu, bingkai teori dari
penelitian
ini
adalah
teori-teori
yang
terangkum
dalam
cabang
psikolinguistik. Dardjowidjojo (2003: 2) merangkum sejarah perkembangan lahirnya psikolinguistik dalam bukunya yang berjudul Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Beliau menulis bahwa akar dari lahirnya kajian psikolinguistik sudah tercetus sejak abad ke-20, ketika Wundt menyatakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan dasar prinsip-prinsip psikologis. Pada tahun 1950an para ahli psikologi menggagas penggabungan antara ilmu psikologi dan ilmu linguistik sehingga lahirlah cabang ilmu psikolinguistik yang resmi digunakan atau pertama kali dipakai pada pertemuan di Universitas Indiana pada tahun 1953. Sementara itu, cabang ilmu linguistik pada mulanya diwarnai oleh aliranaliran behaviorisme yang mulai memudar dengan munculnya ide-ide Chomsky dengan pandangan-pandangan mentalisme yang diawali dengan terbitnya buku Syntactic Structures pada tahun 1957. Chomsky mengritik pedas pandangan behaviorisme yang mengungkapkan bahwa psikologi adalah ilmu tingkah laku yang didapatkan dari lingkungan. Jadi, menurut kaum behaviorisme, tingkah laku atau reaksi tubuh merupakan respon dari lingkungannya. Teori behaviorisme ini sangat terkenal dalam pembelajaran bahasa yang mencakup stimulus, respon dan
14
15
penguatan. Kritik tajam Chomsky terhadap pandangan behaviorisme menekankan bahwa pikiran dan kesadaran adalah hal esensial dalam pemahaman intelektualitas manusia, khususnya bahasa (Steinberg dkk, 2001: 278). Pandangan-pandangan Chomsky telah memberikan warna baru dalam bidang psikolinguistik, yang teorinya tentang keuniversalan bahasa semakin mengarah pada pemerolehan bahasa. Oleh Clark dan Clark (1977: 4), psikologi bahasa didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan tiga hal utama, yaitu komprehensi, produksi dan pemerolehan bahasa. Seiring dengan sejarah perkembangan psikolinguistik di atas, maka teoriteori yang digunakan dalam upaya menjelaskan pemerolehan bahasa anak adalah teori-teori behaviorisme maupun teori rasionalis yang juga sering disebut sebagai pandangan nativisme
atau pandangan kaum mentalis (Lust, 2006: 49). Di
samping itu, dalam bidang pemerolehan bahasa muncul juga teori-teori yang membahas elemen-elemen linguistik yang diperoleh seorang anak secara universal dan salah satu dari teori yang melandasi pemerolehan bunyi anak adalah teori yang diungkapkan oleh Roman Jakobson (Lust, 2006).
2.3.1 Teori Behaviorisme Pada sekitar tahun 1920, seorang psikolog, John B.Watson mencetuskan salah satu teori pembelajaran bahasa yang menjadi tonggak lahirnya teori-teori behaviorisme dalam pemerolehan bahasa (Steinberg dkk, 2001: 348-349). Menurut Watson ada dua hal penting yang dipelajari seseorang dalam berbahasa:
16
a. Pembelajar bahasa mempelajari sejumlah kata yang memiliki bunyi yang berhubungan dengan makna tertentu. Makna berasal dari relasi objek dan kejadian dalam sebuah lingkungan. Misalnya bunyi kata berhubungan dengan keberadaan ‘anak’ itu sendiri dalam lingkungan. b. Kapanpun seseorang mempelajari sebuah kalimat, mereka juga secara otomatis mempelajari hubungan internal dalam kalimat tersebut. Teori behaviorisme menyebutkan bahwa pembelajar bahasa mempelajari kalimat lengkap. Mereka melakukannya dengan menghafalkan setiap kalimat yang mereka dengar dengan dikaitkan dengan konteks lingkungan sehingga kalimatkalimat tersebut memiliki makna. Kalimat-kalimat tersebut kemudian disimpan dalam memori. Salah satu pengikut teori ini yang terkenal adalah B.F Skinner (King, 2006: 205). King menyebutkan bahwa aliran behaviorisme memandang bahwa bahasa adalah kebisaaan atau habit, tingkah laku verbal yang dikuasai melalui beberapa prinsip pembelajaran. Prinsip-prinsip pembelajaran ini menyangkut peniruan, penguatan, dan hukuman. Jadi, menurut teori ini, misalnya, jika seorang anak belajar kata balon dan anak itu menirukan kata tersebut dengan mengatakan ‘balo’ maka orang tuanya bisa memberikan penguatan positif dengan tersenyum kepada anak tersebut atau bertepuk tangan dan mengatakan bahwa anak itu pintar. Namun, jika anak tersebut menirukannya dengan mengatakan ‘ta’, maka orang tua bisa memberikan hukuman dengan memalingkan muka sebagai sinyal bahwa anak itu salah. Untuk anak bisa menguasai bahasa, mereka harus diberikan stimulus, dan stimulus tersebut mendapatkan balikan atau respon dari anak. Respon yang diberikan anak bisa diberi penguatan atau hukuman.
16
17
Secara singkat dapat dikatakan bahwa penganut-penganut aliran behaviorisme percaya bahwa berbahasa adalah bertingkah laku verbal yang bisa diobservasi secara kasat mata. Mereka tidak mempercayai bahwa berbahasa atau penguasaan bahasa merupakan suatu proses internal atau proses mental. Teori pembelajaran bahasa aliran behaviorisme ini mulai memudar dan mendapat banyak kritikan ketika Chomsky (1957) yang menerbitkan sebuah buku yang berjudul Syntactic Structures dan pada tahun 1959 Chomsky membuat sebuah tulisan yang berisi ulasan serta sanggahan terhadap mekanisme pembelajaran bahasa gaya behaviorisme yang termuat dalam tulisan yang berjudul A Review of B.F Skinner Verbal Behaviour. Chomsky adalah salah satu pemrakarsa teori pemerolehan bahasa yang meyakini bahwa proses pemerolehan bahasa adalah suatu proses mental. Secara garis besar teori mentalis atau yang juga disebut sebagai pandangan nativisme akan dibahas di bawah ini.
2.3.2 Teori Perkembangan Bahasa Anak Chomsky; Pandangan Nativisme Chaer (2003: 222) memaparkan bahwa nativisme berpendapat bahwa selama pemerolehan bahasa pertama, kanak-kanak (manusia) sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan dengan apa yang disebut hipotesis pemberian alam. Chomsky (2002: 1) memaparkan bahwa dalam perspektif
“Language
Faculty“ (kapasitas manusia dalam memeroleh dan menggunakan bahasa), bahasa merupakan objek alami, suatu komponen intelektual manusia yang secara fisik
18
direpresentasikan di dalam otak dan merupakan bagian dari perkembangan biologi. Dengan dasar tersebut, linguistik merupakan bagian dari psikologi dan sains kognitif. Dalam Chaer (2003: 168) disebutkan bahwa pandangan nativisme yang salah satu penggagasnya adalah Noam Chomsky berpendapat bahwa setiap bahasawan tentu mampu memahami dan membuat kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menyimpan dalam nuraninya“ tata bahasa bahasanya itu menjadi kompetensi bahasanya; juga telah menguasai kemampuan – kemampuan performansi bahasa itu. Jadi, dalam pemerolehan bahasa, anak-anak memeroleh, baik kompetensi maupun performansi bahasa pertamanya. Menurut Chomsky, piranti yang digunakan anak-anak untuk memeroleh kemampuan berbahasa tersebut disebut sebagai hipotesis nurani (the innateness hypothesis). Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa anak, yaitu Lennenberg (1967), Chomsky (1970) dalam Chaer (2003: 168). Asumsi-asumsi dalam hipotesis nurani adalah sebagai berikut. a. Semua kanak-kanak yang normal akan memeroleh bahasa ibunya asal saja ’’diperkenalkan“ pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya. b. Baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa. c. Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap, dan jumlahnya sedikit.
18
19
d. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain; hanya manusia yang dapat berbahasa. e. Proses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak, di mana pun, sesuai dengan jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak. f. Struktur bahasa itu rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja. Dari asumsi-asumsi di atas, disimpulkan bahwa setiap manusia yang lahir dilengkapi dengan apa yang disebut Chomsky sebagai ``Language Faculty`` (Chomsky, 2002: 7-8). Menurut Chomsky, keberadaan Language Faculty yang di Indonesiakan sebagai kapling-kapling intelektual merupakan hipotesis alami yang berhubungan dengan pemerolehan bahasa anak. Kapasitas kognitif ini juga di dalamnya termasuk sumber-sumber reseptif yang mampu membedakan simbulsimbul linguistik dengan bunyi-bunyi lain. Selain itu, Language faculty juga mengembangkan pengetahuan sistem linguistik setiap penutur asli suatu bahasa. Salah satu bagian dari Language Faculty yang dicetuskan oleh Chomsky adalah suatu piranti yang memungkinkan manusia untuk memeroleh bahasa. Oleh Chomsky, piranti khusus yang dimiliki anak sejak lahir untuk dapat berbahasa disebut LAD (Language Aquisition Device). Pada perkembangan selanjutnya, Chomsky mengembangkan teori Language Faculty-nya dari LAD ke Universal Grammar (UG).
20
Chomsky, dalam seminarnya 25 April, 2008, mengatakan, “Universal Grammar is the name for the theory of the genetic component of the language faculty.“
Setiap manusia memiliki kapasitas genetik seperti kapasitas yang
membuat manusia memiliki tangan maupun sistem visual fisik lain yang menandakan bahwa manusia adalah kelompok mamalia. Secara genetik manusia berbeda dari makhluk lain yang mengarahkan manusia sehingga mampu melakukan apa yang mereka lakukan.
2.3.3 Teori Perkembangan Kognitif Piaget Menurut Piaget, yang dikutip Taylor (1990: 231) perkembangan kognitif memengaruhi tahapan-tahapan dalam pemerolehan bahasa dan pada saat yang bersamaan membatasi level pemerolehan bahasa itu sendiri. Piaget membagi perkembangan
kognitif
menjadi
empat
periode,
yaitu
sensori
motor,
preoperational thought, concrete operatio dan formal operation. Dalam tulisan ini akan dibahas tahap sensori motor dan tahap praoperasional sesuai dengan umur subjek penelitian. Pada periode sensori motor yang dicetuskan Piaget (dari lahir sampai umur dua tahun), anak-anak belajar tentang dunianya melalui rasa, melihat dan manipulasi objek (Taylor,1990231; Clark&Clark, 1977:300). Pada akhir tahapan ini, anak-anak mulai mereproduksi kejadian-kejadian yang tersimpan dalam memorinya, misalnya kejadian-kejadian yang terjadi sebelumnya. Mereka juga mulai meniru hal-hal yang dilakukan orang lain. Dengan kata lain, anak-anak sudah menyimpan dan merepresentasikan kejadian dan benda-benda dalam
20
21
ingatan mereka. Hal lain yang menjadi penanda akhir dari tahapan sensori motor adalah anggapan anak bahwa objek itu permanen. Ketika kita menjauhkan suatu benda dari anak-anak umur ini, mereka akan mencari-cari benda itu di manamana. Artinya anak-anak tidak hanya merekognisi objek tetapi juga menyadarai bahwa sebuah benda itu ada, meskipun benda itu tidak terlihat. Misalkan, ketika seorang
anak
bermain
dengan
sebuah
bola,
kemudian
bola
tersebut
disembunyikan oleh orang tuanya, anak akan mencari-cari bola tersebut di manamana, bahkan bisa sampai ke kolong tempat tidur. Sering, ketika benda tersebut akhirnya tidak ditemukan, reaksi mereka adalah menangis. Tahapan kedua adalah preoperational thought (tahap pra operasional) yang terjadi ketika anak berumur 2-7 tahun. Desmita (2009: 130) mengutip bahwa pada tahap praoperasional yang dicetuskan Piaget, konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme mulai menguat kemudian melemah. Penggunaan istilah ‘pra‘ di sini menunjukkan bahwa pada tahap ini teori Piaget difokuskan pada keterbatasan pemikiran anak. Sementara istilah “operasional“ mengacu pada aktivitas mental yang memungkinkan anak untuk memikirkan peristiwa-peristiwa atau pengalaman-pengalaman yang dialaminya. Desmita (2009) juga mengatakan bahwa tahapan praoperasional dapat dibagi menjadi dua, yaitu subtahap prakonseptual (umur 2-4 tahun) dan subtahap pemikiran intuitif. Subtahap prakonseptual disebut juga dengan pemikiran simbolik karena karakteristik utama subtahap ini adalah munculnya sistem-sistem lambang
atau
simbol
seperti
bahasa.
Pada
subtahap
ini,
anak-anak
22
mengembangkan kemampuan untuk menggambarkan atau membayangkan secara mental suatu objek yang tidak ada (tidak terlihat) dengan sesuatu yang lain. Selanjutnya, Desmita (2009;131) memaparkan bahwa kemunculan pemikiran simbolis pada subtahap operasional ini dianggap sebagai pencapaian kognitif yang paling penting. Melalui pemikiran simbolis, anak-anak prasekolah dapat mengorganisasi dan memproses apa yang mereka ketahui. Anak akan dengan mudah dapat mengingat kembali dan membandingkan objek-objek dan pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya jika objek dan pengalaman tersebut
mempunyai
nama
dan
konsep
yang
dapat
menggambarkan
karakteristiknya. Simbol-simbol juga membantu anak-anak mengomunikasikan kepada orang lain tentang apa yang mereka ketahui, sekalipun dalam situasi yang jauh berbeda dengan pengalamannya sendiri.
2.3.4 Teori Struktural Universal; Teori Jakobson Pada awalnya, baik persepsi bahasa maupun produksi bahasa mulai berkembang sejak seorang anak masih bayi (Lust, 2006; 152). Lust juga mengatakan bahwa sejak dilahirkan, seorang anak sudah mengeluarkan suarasuara atau bunyi-bunyi yang berbentuk vokalisasi. Meskipun suara-suara tersebut belum berupa kata-kata dan bahasa, dapat diketahui bahwa tingkah laku tersebut merupakan bagian penting dalam pemerolehan bahasa seorang anak. Hal senada juga diungkapkan oleh Sebastian- Galles dan Bosch (2005: 68) yang mengatakan bahwa pada tahun-tahun pertama kehidupannya, seorang manusia memperoleh kemampuan yang luar bisa untuk memroses sistem bunyi bahasa ibunya.
22
23
Kemampuan ini yang nantinya akan berkelanjutan sampai orang tersebut akan teridentifikasi sebagai penutur asli suatu bahasa tertentu. Sehubungan dengan pemerolehan aspek fonologi, Roman Jakobson (1971) mengungkapkan sebuah teori maturasional yang berhubungan dengan model biologis. Dalam teori ini, Jakobson menyatakan bahwa struktur pengetahuan bahasa berhubungan erat dengan struktur pemerolehan bahasa yang dimediasi oleh program yang ada secara bilologis dalam tubuh manusia. Teori Jakobson menggambarkan bahwa kata pertama adalah awal dari dimensi linguistik dalam pemerolehan bahasa karena merupakan bukti pertama adanya elemen linguistik. Babbling atau yang disebut dengan ocehan bayi dikatagorikan sebagai ‘wild sounds’ yang merupakan suatu kondisi di mana seorang bayi dapat memroduksi atau menyuarakan bunyi-bunyian yang tidak berhubungan dengan pengetahuan linguistik. Kelanjutan dari kata pertama, Jakobson mengusulkan konsep universal dalam pemerolehan fonologis yang menjadi karakter seluruh bahasa di dunia yang dibuat dalam skema seperti di bawah ini. Dalam skema, bunyi konsonan dilambangkan dengan huruf kapital karena bunyi-bunyi tersebut memiliki realisasi fonetis yang bervariasi ketika diproduksi oleh anak.
24
Periode dekutan dan celotehan
Suara-suara tidak tertentu (Belum dapat digolongkan konsonan maupun vokal) Kata
Konsonan P
Oral P
Labial P
“front” P, T
dental T
velar K
Vokal a (lebar)
nasal M
labial M
“front” M,N
dental N
velar
“ low “V a
“ high “ V i/u
Stops P,T,K
Fricative F,S,
front i
Other
Affricates
i
back u
e u
o
Bagan 2.1 Jakobson’s Hierarchy of Development Sumber: Lust, 2006;160 Dalam bagan di atas, terlihat bahwa konsonan oral ‘p’ menempati urutan paling awal dalam pemerolehan bunyi sementara afrikatif mendapat posisi paling akhir. 24
25
Jakobson (1971: 7-11) memaparkan adanya hukum bunyi dalam pemerolehan bahasa anak dan tempatnya dalam fonologi. Jakobson (1971) menyatakan bahwa seorang anak belajar untuk merekognisi identitas fonem bunyi yang didengarnya yang kemudian disimpan dalam memori sampai akhirnya bunyi-bunyi tersebut diproduksi oleh anak. Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, bunyi-bunyi diperoleh anak secara konsisten. Jakobson mengatakan bahwa bunyi pertama yang muncul adalah kontras antara vokal dan konsonan. Kontras konsonan pertama yang muncul adalah oposisi antara oral dan nasal, kemudian diikuti dengan labial dan dental (P-T, M-N). Kontras konsonan seperti itu disebut sebagai Sistem Konsonantal Minimal (Minimal Consonantal System) yang menjadi ciri bahasa-bahasa di dunia. Mengenai bunyi vokal, Jakobson (1971: 10) menyatakan adanya Sistem Vokal Minimal (Minimal Vocalic System) yang merupakan sistem tiga bunyi vokal, yaitu , , u, yang berlaku secara universal. Setiap bahasa di dunia pasti memiliki ketiga bunyi vokal tersebut. Selanjutnya, dikatakan bahwa fonem yang diperoleh anak di luar sistem minimal yang telah dipaparkan di atas adalah urutan pemerolehan bahasa mengikuti hukum IRREVERSIBLE SOLIDARITY, yang diterjemahkan oleh Dardjowidjojo (2000: 22-23) sebagai Hukum Solidaritas Tak-terbalikkan yang dirumuskan sebagi berikut: a. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar (velar stops), bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat dental dan bilabial. Contoh: bila bahasa X mempunyai k-g, bahasa ini pasti memiliki td dan p-b.
26
b. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat. Contoh: bila bahasa X memiliki f-v, bahasa ini pasti memiliki p-b, t-d dan k-g. c. Apabila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan frikatif dan konsonan hambat. Contoh: bila bahasa X memiliki dan bahasa ini pasti memiliki f-v, t-d, kg. Watson, (1991: 29) menyatakan bahwa salah satu bukti adanya pemerolehan fonologi awal adalah bukti-bukti eksperimental, yakni produksi bahasa anak usia dini dan kemampuan persepsinya menunjukkan tanda-tanda ke arah sistem fonologi bahasa yang disuguhi kepada anak tersebut atau yang sering disebut sebagai bahasa target.
2.3.5 Keuniversalan dalam Pemerolehan Leksikon Dardjowidjojo (2000; 34) menyatakan bahwa dari segi keuniversalan, pemerolehan leksikon tampaknya merupakan proses yang paling sukar untuk dinyatakan secara universal, khususnya yang menyangkut jumlah dan macam kata yang dikuasai anak. Selanjutnya, Dardjowidjojo mengatakan bahwa variabel dalam pemerolehan leksikon terlalu banyak sehingga jumlah dan macam kata yang diperoleh anak sangat, kalau tidak dikatakan sepenuhnya, ditentukan oleh faktor-faktor seperti budaya, latar belakang keluarga (desa atau kota besar). Seorang anak yang lahir dalam suatu keluarga yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi tentu akan berbeda pemerolehan kosakatanya dengan anak 26
27
yang dilahirkan dalam suatu keluarga dengan orang tua yang hanya tamatan sekolah dasar. Begitu pula dengan anak yang lahir dengan latar belakang budaya yang bervariasi, sebagai contoh seorang anak yang lahir dari hasil perkawinan dengan orang tua yang berbeda budaya akan berbeda pemerolehan leksikonnya dibandingkan dengan anak yang lahir dari orang tua yang berasal dari budaya dan bahasa yang sama. Clark (1993: 1-3) memaparkan bahwa kata adalah hal pertama yang diperoleh dalam pemerolehan bahasa. Anak-anak memerlukan kata untuk menentukan katagori sintaktik, apakah itu level kata (kata benda, kata kerja, kata sifat) atau pada level frasa (frasa benda, frasa kerja). Mereka juga harus menguasai kata untuk mengetahui relasi gramatikal, misalnya, ’subjek dari’ atau ’objek dari’, atau menandai adanya relasi antara subjek dan kata kerja. Tanpa kata, tidak akan ada struktur bunyi, struktur kata, ataupun sintaksis. Leksikon adalah pusat suatu bahasa, dan merupakan pusat dalam pemerolehan bahasa. Oleh karena itu, leksikon adalah jendela dari proses pemerolehan bahasa secara keseluruhan. Leksikon adalah stok kata-kata yang digunakan seseorang dalam berbicara dan sebagai sumber dalam memahami apa yang didengarnya. Stok kata-kata tersebut tersimpan dalam memori sehingga pembicara dapat melokasikan unit-unit yang relevan yang digunakan, baik dalam berbicara maupun dalam pemahaman. Selanjutnya
Clark
(1993:
21)
mengambarkan
bahwa
anak-anak
menyuarakan kata-kata pertama yang dapat direkognisi sekitar umur satu tahun. Pada bulan-bulan pertama, mereka cenderung memproduksi kata-kata pada suatu masa tertentu. Pada usia dini, kata-kata yang diproduksi anak mungkin sulit untuk
28
direkognisi karena anak-anak memerlukan waktu untuk menguasai pengucapan kata layaknya orang dewasa. Selain itu, makna yang diekspresikan tidak selalu sesuai dengan makna yang dimiliki orang dewasa. Pada awalnya, kata-kata anak bertambah agak lambat, namun pada tahap selanjutnya repertoir mereka berkembang secara cepat. Sejak kira-kira umur dua tahun, penguasaan kata-kata mereka berkembang dalam hitungan hari. Clark (1993:22) juga mengatakan bahwa setelah awal yang agak lambat, anak-anak menunjukkan kemampuan untuk menyerap dan memproduksi kata-kata baru dengan pesat. Secara umum, mereka biasanya memproduksi antara 50 sampai 200 kata pada sekitar umur 1;6, dan pada umur 2;0 dapat memproduksi antara 500 sampai 600 kata yang berbeda. Antara periode umur satu sampai dua tahun, anak-anak menambah stok perbendaharaan kata mereka secara reguler. Akan tetapi, perjalanan perkembangan kata-kata anak bisa berbeda antara anak yang satu dan yang lainnya.
2.3.6 Fase Perkembangan Bahasa Anak Seorang anak memperoleh bahasa dari lingkungannya yang kemudian digunakan untuk berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Anak memeroleh bahasanya selama beberapa tahun. Mereka mempelajari aspek-aspek bahasa yang berbeda sejalan dengan pertumbuhan mereka (Taylor, 1990: 227). Selanjutnya,
28
29
Taylor mengatakan bahwa ketika seorang anak menjadi semakin besar, ada tiga hal yang berubah, yaitu a. isi dan fungsi dari pesan yang disampaikan (the contents and functions of his messages; b. lingkaran orang-orang disekitarnya yang diajak berkomunikasi (the circle of people with whom he communicates); c. piranti yang digunakan untuk berkomunikasi (the means by which he communicates). Perubahan tersebut di atas dapat dilihat dalam enam fase seperti di bawah ini. 1) Fase Neonate (neo = ‘new’= baru; nate =’born’ = lahir), yaitu fase saat bayi baru dilahirkan. Fase neonate sering juga dikenal dengan istilah infant (in =’without’= tanpa; fant = ‘speech’= perkataan; sampai pada umur 1 tahun). Seorang infant menggunakan piranti pralinguistik, seperti tangisan, gerak tubuh, tawa dan vokalisasi, untuk berkomunikasi dengan orang-orang dekat di sekitarnya, terutama kepada ibunya. 2) Fase toddler (umur 1-2 tahun) adalah fase ketika anak mulai berjalan atau belajar berjalan, begitu juga si anak mulai beranjak ke arah komunikasi verbal dengan belajar
mengucapkan bunyi-bunyian dan menggunakan
kata-kata secara individual. Dalam fase ini si Ibu masih merupakan pusat komunikasi si anak. 3) Fase umur 2-3 tahun. Anak yang berumur 2-3 tahun sudah bisa mengkomunikasikan keperluan fisik dan sosial mereka menggunakan bahasa yang sudah terdiri atas morfem yang berstruktur dan kombinasi
30
kata-kata. Seiring berkembangnya si anak, lingkaran komunikasi anak menjadi semakin luas, yaitu termasuk lingkungan komunikasi dengan teman sebaya. 4) Fase prasekolah (umur 3-5 tahun). Anak usia ini sudah menguasai keterampilan dasar dalam berkomunikasi dan bahasa sudah diperoleh. Si anak sudah bisa memproduksi berbagai ujaran untuk menyampaikan pesan. 5) Fase anak sekolah (umur 6-12 tahun). Anak pada umur ini sudah terampil mengkomunikasikan ide mereka melalui kalimat-kalimat dan diskursus dengan struktur bahasa yang bervariasi dan kompleks. Mereka juga mempelajari keterampilan berbahasa yang lain, seperti membaca dan menulis yang selanjutnya memiliki peran yang penting terhadap perkembangan intelektual mereka. 6) Fase anak sekolah lanjutan. Pada fase ini keterampilan berbahasa dan berkomunikasi
sudah
semakin
berkembang
dan
mereka
bisa
mengembangkannya secara optimal jika mereka ingin menjadi bagian masyarakat yang terpelajar.
2.3.7 Bahasa kepada Anak Orang yang berbicara memiliki tujuan agar apa yang dikatakannya dapat dimengerti oleh si pendengar. Begitu pula dengan orang dewasa ketika berbicara dengan seorang anak. Clark dan Clark (1977; 300) mengatakan bahwa pengetahuan anak-anak usia dini tentang struktur bahasa dan fungsi bahasa
30
31
sangatlah terbatas. Oleh karena itu, ketika berbicara dengan anak-anak, orang dewasa sering memodifikasi pembicaraan mereka sehingga anak-anak mudah mengerti dengan apa yang mereka katakan. Selanjutnya, Clark dan Clark menyebutkan pentingnya dilakukan kajian terhadap bagaimana orang dewasa berbicara kepada anak-anak karena dengan kajian tersebut akan diketahui model bahasa (model of language) yang disuguhkan kepada anak. Beberarapa penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa cenderung untuk menggunakan bahasa–bahasa dengan struktur bahasa yang pendek atau sederhana ketika berbicara dengan anakanak. Alasan lain, pentingnya mengetahui bagaimana orang dewasa berbicara kepada anak adalah apa yang dikatakan orang dewasa kepada anak secara tidak langsung dapat menunjukkan seberapa banyak anak-anak paham dengan apa yang didengarnya. Clark dan Clark (1977) juga menguraikan bahwa cara orang dewasa berbicara kepada anak-anak dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu 1) orang dewasa harus merasa yakin bahwa anak menyadari suatu ujaran ditujukan kepada mereka dan bukan kepada orang lain. Untuk melakukan ini, orang dewasa bisa menyebut nama, menggunakan intonasi khusus, atau bahkan berusaha menarik perhatian mereka dengan jalan menyentuh mereka; 2) ketika mereka sudah mendapatkan perhatian anak, orang dewasa harus bisa memilih kata-kata dan kalimat yang tepat sehingga anak-anak dapat mengerti apa yang dikatakan, seperti menanyakan apa yang sedang dilakukan anak, apa yang mereka lihat atau sedang bermain dengan apa; 3) mereka bisa mengatakan apa yang harus mereka katakan dengan berbagai cara.
32
Finegan (2004; 542) mengatakan bahwa meskipun orang dewasa tidak secara eksplisit mengajarkan aturan penggunaan bahasa kepada anak, mereka sering memodifikasi ujaran mereka, menyesuaikannya dengan apa yang mereka pikir akan dipahami dan diperoleh oleh anak. Sering orang tua atau saudarasaudara anak menggunakan bahasa bayi (baby talk) atau yang juga disebut sebagai bahasa sang ibu (motherese), dengan kata lain ujaran yang ditujukan pada bayi. Beberapa contoh dikemukakan oleh Finegan (2004) seperti di bawah ini. a. Ooohh, what a biiig smiiile! Is baby smiling at Mommy? b. Baby is smiling at her Mommy? Yesss! c. Is baby happy to see Mommy? d. Is baby hungry? Yesss? Oopen wiiide... e. Hmmmmm! Baby likes soup. Yesss! Kata-kata atau ujaran-ujaran yang diucapkan secara pelan-pelan dan dengan intonasi yang dibuat-buat adalah masukan linguistik yang disuguhkan orang tua atau pengasuh kepada anak-anak usia dini. Finegan juga memaparkan beberapa karakteristik dari bahasa yang ditujukan kepada anak, yaitu 1) ketika berbicara dengan anak, suara-suara orang dewasa lebih tinggi dari bisaanya; 2) intonasinya berlebihan serta berbicara dengan pelan dan jelas; 3) pengulang ulangan kata atau kalimat; 4) kalimatkalimat yang digunakan pendek dan sederhana; 4) pengunaan nama lebih diutamakan daripada pengunaan kata ganti orang; 5) biasanya topik-topik yang ditujukan kepada anak menyangkut hal-hal konkret dan mengacu pada bendabenda atau aktivitas yang terjadi di sekitar anak.
32
33
2.3.8 Pemerolehan Awal Bilingualisme (Early Bilingual Acquisition) Siapa yang bisa dikatakan sebagai seorang yang bilingual? Taylor (1990) menyebutkan bahwa seorang bilingual menggunakan dua bahasa yang berbeda, bahasa-bahasa tersebut berbeda berdasarkan ragam bunyi, kosakata, dan struktur bahasa dan seorang multilingual menggunakan lebih dari dua bahasa (istilah bilingual sering juga digunakan untuk multilingual). Taylor (1990; 329) selanjutnya menyatakan bahwa pertanyaan utama dan yang paling penting dalam bilingualisme adalah, bagaimanakah dua bahasa atau lebih diperoleh atau dipelajari? Memeroleh suatu bahasa atau lebih pada masa kanak-kanak berbeda dengan seorang yang mempelajari bahasa-bahasa tersebut secara sadar. Seorang anak prasekolah memeroleh bahasanya secara informal, yang bisaanya didapat dari lingkungan mereka, seperti lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Sementara, anak yang lebih besar mempelajari bahasa lain melalui bangku formal misalnya sekolah. Taylor juga menyebutkan bahwa seorang anak yang memeroleh dua bahasa atau lebih sejak sebelum berumur 6 tahun dikatakan sebagai pemeroleh awal bilingualisme (early bilinguals) dan anak-anak memeroleh dua atau lebih bahasa ketika mereka diekspos terhadap bahasa-bahasa tersebut sejak usia dini. Myers-Scatton (2006) mendefinisikan pemerolehan bahasa bilingual pada anak adalah pemerolehan dua bahasa atau lebih ketika bahasa-bahasa tersebut diekpos kepada anak sejak usia dini. Anak-anak tersebut memeroleh bahasabahasanya
secara
spontan,
tanpa
ada
instruksi-instruksi khusus
dalam
34
pembelajaran bahasa tersebut. Beberapa peneliti lain memiliki istilah dan patokan umur yang berbeda tentang bilingualisme pada anak. Meisel (2001:11) mengatakan bahwa jika seorang anak mendengar dua bahasa sejak dilahirkan, anak tersebut mengalami pemerolehan bahasa pertama bilingual (bilingual first language aquistion). Istilah yang sama digunakan oleh De Houwer (2005: 31) yang menguraikan bahwa anak-anak yang memeroleh bahasa pertama bilingual diekspos terhadap bahasa-bahasa tersebut sejak mereka dilahirkan dan secara reguler dan berkelanjutan mendengar bahasa-bahasa tersebut. Sementara Steinberg, dkk (2001;228) memaparkan bahwa ada dua kondisi esensial yang bisa menyebabkan seseorang menjadi bilingual, yaitu 1) seseorang menjadi bilingual secara sequential, dalam hal ini, bahasa kedua dipelajari, di bangku sekolah misalnya, atau 2) seseorang menjadi bilingual secara simultan, dan kedua bahasa didapatkan secara bersamaan yang bisaanya didapatkan dari lingkungan keluarga (orang tua) /rumah. Bilingual secara simultan secara alami hanya bisa terjadi pada-anak-anak. Di pihak lain, bilingual secara sequential bisa terjadi, baik terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Seperti contoh, anak-anak mulai belajar bahasa keduanya di sekolah dasar. Selanjutnya, Steinberg, dkk (2001) memaparkan bahwa ada dua situasi dasar yang memungkinkan seorang anak memeroleh dua bahasa atau lebih secara simultan, yaitu 1) satu orang hanya menggunakan satu bahasa untuk berkomunikasi dengan si anak (One Person-One Language), 2) satu orang menggunakan dua bahasa yang sama kepada anak (One Person-Two Languages). Situasi yang pertama sebagai contoh terjadi ketika sang ibu menggunakan satu
34
35
bahasa saja secara esklusif bahasa Spanyol misalnya kepada si anak dan sang ayah menggunakan bahasa yang lainnya , seperti bahasa Inggris. Situasi ini disebut situasi satu orang satu bahasa atau One Person-One Language yang disingkat dengan 1P-1L. Situasi yang kedua terjadi ketiga satu orang menggunakan dua bahasa kepada anak, misalnya sang ibu menggunakan bahasa Spanyol dan bahasa Inggris kepada anak sementara sang ayah juga menggunakan kedua bahasa tersebut untuk berkomunikasi dengan si anak. Jadi, situasi tersebut dikenal sebagai situasi satu orang dua bahasa atau One Person-Two Languages yang disingkat 1P-2L. Shin (2005) mengadaptasi dua tipe pemerolehan bahasa bilingual pada anak dari McLaughlin, yaitu simultaneous dan successive. Seorang anak yang memeroleh dua bahasa, kurang lebih sejak mereka dilahirkan (ketika mereka masih bayi), maka dikatakan anak tersebut memeroleh dua bahasa secara simultan, sedangkan, anak yang diekpos kepada hanya satu bahasa ketika masih bayi dan bahasa lain diperkenalkan setelah anak tersebut berumur sekitar 3 tahun, dikatakan anak tersebut memeroleh bahasa secara suksesif. Dari apa yang dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini yang ditekankan adalah pemerolehan bahasa bilingual secara simultan.
2.4 Model Penelitian Model penelitian ini adalah sebagai berikut.
36
ANAK BILINGUAL
PSIKOLINGUISTIK
PERKEMBANGAN BAHASA
DESKRIPSI PERKEMBANGAN BAHASA ANAK
FONOLOGI
36
37
Elemen Fonologi Urutan pekembangan Bunyi Variasi Bunyi
Penelitian ini merupakan suatu kajian psikolinguistik yang melihat perkembangan bahasa anak bilingual Indonesia-Jerman, yang berfokus pada perkembangan bunyi yang diperoleh anak baik dilihat dari segi elemen bunyi yang diperoleh, urutan perkembangan bunyi, maupun variasi bunyi yang muncul. Bunyi yang diperoleh anak dideskripsikan kemudian diinterpretasikan serta dianalisis secara kualitatif.
38
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan menerapkan metode kualitatif yang bersifat longitudinal. Langkah-langkah penelitian yang meliputi penyusunan, rancangan penelitian, penentuan lokasi penelitian, penentuan jenis dan sumber data, penentuan dan penyusunan instrumen penelitian, pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data.
3.1 Rancangan Penelitian Seperti dikemukakan di atas, penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif yang bersifat longitudinal. Taylor (1990; 228) mengungkapkan bahwa dalam kajian longitudinal, peneliti mengobservasi anak-anak, kadang-kadang hanya satu orang anak, dalam memeroleh bahasanya selama beberapa bulan atau tahun. Selanjutnya, Taylor mengatakan bahwa studi longitudinal menjadikan anak-anak sebagai pusat pengamatan, oleh karenanya, mereka dihormati dengan mengidentifikasi nama mereka, baik secara nyata maupun dengan memberikan 38
39
nama samaran dan pendeskripsian umur mereka jika diketahui dengan penjabaran seperti contoh di bawah ini. Eve (1; 9. 3 = 1 tahun, 9 bulan dan 3 hari) Adam (2; 11 = 2 tahun dan 11 bulan) Sementara itu, dalam studi kasus yang dilaksanakan oleh Deuchar dan Quay, yang termuat dalam Yip dan Matthews (2007; 56), disebutkan bahwa salah satu metode yang digunakan dalam pengumpulan data tentang pemerolehan bahasa anak-anak bilingual adalah studi kasus yang dirancang secara longitudinal. Dalam periode waktu tersebut, anak-anak direkam, baik secara audio maupun audiovideo secara regular dalam setting alami, biasanya dalam lingkungan keluarga ketika anak berinteraksi dengan orang tua, pengasuh, atau tim peneliti. Hasil rekaman kemudian ditranskripsi dan hasil transkripsi membentuk korpus yang nantinya akan dianalisis secara sistematis. Kadang-kadang rekaman dilengkapi dengan catatan harian yang disusun dan disimpan oleh orang tua atau peneliti. Dalam penelitian ini, calon data sudah dikumpulkan sejak subjek penelitian dilahirkan, namun perkembangan bunyi dan leksikal anak ketika berumur 0-1 tahun tidak dimasukkan sebagai data dalam penelitian ini karena anak masih lebih banyak berkembang dari segi gerakan tubuh dan suara-suara yang dikeluarkan masih berupa tangisan, sendawa, tawa, dan vokalisasi seperti ‘a’ ‘əm’ ‘nga’ ‘hua..em’dan ‘i’. Ketika anak berumur sepuluh bulan, suara-suara yang dikeluarkan mulai bervariasi dan kemudian mulai dilakukan perekaman suara dan pembuatan film-film singkat dan pencatatan secara intensif dan reguler. Dalam
40
penelitian ini yang ditekankan adalah perkembangan bunyi anak ketika berumur 1;2 tahun sampai 2;5 tahun.
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Celukbuluh Desa Kalibukbuk Kecamatan Buleleng. Dusun Celukbuluh digunakan sebagai lokasi penelitian karena keluarga inti dari subjek penelitian ini berdomisili di dusun tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan latar alami di lingkungan rumah. Dalam lingkungan rumah tersebut terdapat keluarga inti yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jerman. Anak, sejak dilahirkan disuguhi atau diajak berkomunikasi dalam kedua bahasa tersebut. Selanjutnya seiring perkembangan usia anak, anak juga memiliki kelompok teman sebaya yang sebagian besar menggunakan bahasa Bali.
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini membahas perkembangan bahasa anak yang lahir dalam lingkungan bahasa yang bilingual. Oleh karena itu, kajiannya adalah kajian psikolinguistik yang melihat perkembangan bahasa anak dilihat dari aspek perkembangan bunyi. Sumber data diperoleh dari subjek penelitian ini, yaitu Putu Lila yang biasa dipanggil Lila (bukan nama sebenarnya). Lila lahir pada tanggal 20 Juni 2006 di Singaraja dengan berat badan 2,8 kg dan panjang 50 cm. Menurut Departemen Kesehatan RI bahwa bayi yang lahir dalam keadaan sehat atau
40
41
normal memiliki berat lahir minimal 2,5 kg. Dengan patokan tersebut maka dapat dikatakan bahwa Lila termasuk dalam katagori bayi yang lahir normal. Lila lahir dari seorang ibu yang merupakan perempuan etnis Bali dan seorang ayah yang berasal dari Jerman. Keluarga tinggal di Desa Kalibukbuk, Kabupaten Buleleng, Bali. Lingkungan bahasa tempat Lila dibesarkan sangat bervariasi, yaitu bahasa Indonesia, Bahasa Jerman dan bahasa Bali. Dalam keluarga, sang ibu berbicara bahasa Indonesia kepada anak dan sang ayah berbicara bahasa Jerman dan kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam lingkungan keluarga juga ada seorang pengasuh yang merupakan perempuan Bali dan seorang penjaga rumah seorang laki-laki Bali. Baik pengasuh maupun penjaga rumah berbicara menggunakan bahasa Indonesia kepada Lila. Namun, ketika berkomunikasi dengan Ibu Lila mereka menggunakan bahasa Bali dan dengan Ayah Lila menggunakan bahasa Indonesia. Sang anak sering diajak bermain oleh anak-anak tetangga yang menggunakan bahasa Bali untuk berkomunikasi. Jadi, Lila lahir dan tumbuh di lingkungan orang-orang yang memiliki dan menggunakan bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Indonesia, Bali dan Jerman
3.4 Instrumen Penelitian Data tentang perkembangan bahasa subjek penelitian dikumpulkan dengan menggunakan empat jenis instrumen penelitian, yaitu a) handycam JVC model No. GR-DVL 166EK , b) camera digital DS-S650 Sony, c) cassette corder TCM150 Sony, dan buku catatan harian. Buku catatan harian digunakan untuk
42
mencatat perkembangan bahasa anak karena kadang-kadang suatu macam bunyi muncul ketika anak tidak sedang direkam.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi partisipatif. Teknik observasi partisipatif dipergunakan untuk menjaring data tentang elemen bunyi yang berkembang pada anak berumur 1;2 sampai 2;6, urutan perkembangan bunyi yang diperoleh, serta variasi bunyi yang muncul. Di samping observasi partisipatif, teknik lain yang digunakan adalah elisitasi atau pemancingan. Elisitasi dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapat pancingan atau konfirmasi apakah suatu elemen bunyi memang muncul atau belum, sehingga bisa diyakini bahwa suatu elemen memang sudah atau belum muncul pada usia atau fase tertentu.
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan triangulasi data dengan tahapan-tahapan sebagai berikut. a. Transfer data dari Handycam JVC dan kamera digital Sony ke dalam DVD b. Perangkuman dan tabulasi data yang berisi tentang elemen bunyi yang muncul berdasarkan urutan waktu tertentu c. Analisis elemen bunyi yang muncul dengan menggunakan Speech Analyzer
42
43
d. Analisis data secara deskriptif kemudian interpretasi atas hasil analisis e. Penariakan kesimpulan.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dapat disampaikan baik secara formal maupun informal. Secara formal, hasil analisis data disajikan dalam bentuk bagan, tabel dan gambar, sementara secara informal hasil analisis data disajikan dalam bentuk narasi. Penyajian analisis data seperti ini sesuai dengan yang dipaparkan Sudaryanto (1993:144). Dalam penelitian ini, baik metode formal maupun informal digunakan sebagai penyajian analisis data. Metode formal digunakan dengan teknik penggunaan tabel elemen bunyi yang dikuasai anak, dan grafik variasi bunyi yang muncul. Sementara, metode informal digunakan dengan bentuk narasi yang menjelaskan hasil penelitian.