11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam suatu tindak pidana, dimungkinkan adanya lebih dari satu orang pelaku kejahatan. Baik itu yang direncanakan ataupun yang terjadi secara kebetulan. Dalam menentukan hukuman untuk mereka tentunya hakim memiliki berbagai pertimbangan untuk menetapkan hukuman bagi masing-masing pelaku. Tidak adil kiranya jika hanya menghukum pembuat materiil dan tidak menghukum dalang atau otak dari pelaku kejahatan tersebut. Untuk itu perlu diketahui teori-teori mengenai delik penyertaan. Dalam bahasa Belanda penyertaan dikenal dengan istilah deelneming, dan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan complicity. Dalam Black’s Law Dictionary 9th , yang dimaksud complicity ialah “Association or participation in a criminal act” 1 atau berpartisipasi dalam suatu peristiwa tindak pidana. Rumusan pembuat dalam KUHP berbahasa Belanda dalam Pasal 55 yang berbunyi: 2 (1) Als DADERS van een strafbaar feit worden gestraff: 1. Zij die het feit PLEGEN, DOENPLEGEN of MEDEPLEGEN. 2. Zij die door giften, beloften, misbruik van gezak of van aanzien, geweld, bedreiging of misleiding of door het verschaffen van
1
Black’s Law Dictionary 9th, h. 324. P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 583-584. 2
12
gelegenheid, middelen of inlichtingen het feit OPZETTELIJK UITLOKKEN, benevens hare gevolgen. (2) Tan aanzien der laatsten komen alleen die handelingen in aanmerking die zij OPZETTELIJK HEBBEN UITGELOKT. Rumusan pembantu dalam bahasa Belanda pasal 56 KUHP berbunyi: 3 Als MEDEPLICHTIGEN aan een misdrijf worden gestraft: 1. Zij die opzettelijk BEHULPZAAM ZIJN bij het plegen van het misdrift. 2. Zij die opzettelijk gelegenheid, middelen, of inlichtingen verschaften tot het plegen van het misdrift. Dalam sistem hukum Pidana di Indonesia, selain mengacu pada Kitab Undang-undang hukum pidana, ada juga hukum Islam yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum positif di Indonesia. Ditambah lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Tentunya hukum Islam memiliki kedudukan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Islam sebagaimana dilukiskan oleh Muhammad Qub dalam bukunya “Islam The Miss Understood Religion”, adalah agama yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh. Para misionaris Islam seperti yang ia kemukakan mendefenisikan Islam dengan: 4 “Islam is not mere creed, not does it represent simpley an idenfication of souls, or refinement and training of human cirtues but is rather a harmonious whole that also balanced a just economis system, a well balances sozial organization, codesof civil, criminal as well as international law, a philosophical 3
Ibid., h. 584. Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1982), h. 75. 4
13
instruction, all of them following from the same fundamental creed of Islam and its mortal and spiritual temprament.” 5 Terjemahannya Islam bukan hanyalah sekedar doktrin keagamaan saja, bukan pula hanya sekedar bangunan jiwa dan kebajikan budi pekerti, seperti latihan untuk kebaikan manusia, tetapi suatu keseluruhan yang harmonis yang juga meliputi sistem ekonomi, hukum perdata, hukum pidana seperti pula hukum Internasional, kesemuanya itu berdasarkan atas satu dasar yang sama yaitu “doktrin Islam” dengan tempramennya baik moral maupun spiritual tempramen. 6 Kitab Undang-Undang hukum pidana merupakan warisan Belanda yang sampai saat ini masih berlaku, sedangkan Hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah. Qur’an yang berasal dari Tuhan dan memuat wahyu-wahyu dari Tuhan (Allah) kepada Nabi Muhammad yang hidup dalam tahun 570-623M. Wahyu dikatakan terjadi secara bertahap selama periode kira-kira 23 tahun. Qur’an dibagi menjadi 30 juz. Keseluruhannya terdiri dari 114 surat, yang akhirnya dibedakan menjadi lebih dari 6200 ayat yang masing-masing terdiri dari beberapa baris. Hanya sebagian kecil, sekitar 3 persen, yang benar-benar membicarakan hal-hal yang di Barat dianggap berkenaan dengan hukum. Hubungan hukum kekeluargaan diatur dalam 70 ayat. Urusan hukum privat lainnya juga tercakup dalam 70 ayat, dan sekitar 30 ayat dapat dikatakan memiliki ciri berhubungan dengan urusan pidana. 7
5
Loc. Cit. Loc. Cit. 7 Michael Bogman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Bandung: Nusa Media, 2010), h. 291. 6
14
Dalil yang menyatakan Qur’an terpelihara dari segala macam perubahan dalam surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Qur’an, dan sesungguhnya kami benar-benar memliharanya.” Sunnah merupakan penjelasan tentang ucapan, perbuatan, dan tingkah laku Nabi (termasuk sikap diam beliau terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu). Sunnah diartikan berfungsi sebagai teladan bagi umat yang beriman. Sunnah dikatakan berasal dari kesaksian para saksi mata di lingkungan sekitar Nabi Muhammad. Sunnah kerap dijadikan aturan untuk persoalan-persoalan yang tidak disebutkan dalam Qur’an. 8 Bila ketentuan hukum tidak ditemukan dalam Qur’an maupun sunnah. Maka sumber hukum Islam selanjutnya adalah ijma’. Ijma yaitu pendapatpendapat yang diterima secara umum dikalangan orang beriman, terutama cendikiawan hukum dalam menafsirkan Qur’an dan sunnah. 9 Menurut para ahli hukum Islam tujuan dibentuknya hukum yang sesuai syariat Islam, yaitu: 10 Pertama, menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal yang penting sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana. Kelima kebutuhan yang primer ini (dharuriyat), dalam kepustakaan hukum Islam disebut dengan istliah al-maqasid al-khamsah, yaitu: agama, jiwa, akal pikiran,
8
Loc. Cit. Ibid., h. 292. 10 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 9
h. 119.
15
keturunan, dan hak milik. Syariat telah menetapkan pemenuhan, kemajuan dan perlindungan tiap kebutuhan itu, serta menegaskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya sebagai ketentuan yang esensial. Kedua, menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder) atau disebut hajiya. Ini mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan berbagai fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan bagi masyarakat. Ketiga, tujuan dari dipelarinya syariat Islam adalah membuat berbagai perbaikan, yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia dapat berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (kebutuhan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup, juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Berbicara mengenai penyertaan baik dalam hukum Islam maupun dalam KUHP tidak akan terlepas dari pertanggungjawaban. Lalu akan sangat perlu diketahui bagaimana peranan masing-masing peserta dalam mewujudkan delik penyertaan dalam suatu tindak pidana. Penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam, memiliki berbagai perbedaan baik dari sisi teori maupun pertanggungjawaban pidananya jika ditinjau dari berbagai aspek. Utrecht mengatakan bahwa “Pelajaran umum penyertaan ini
16
justru dibuat untuk menuntut pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan peristiwa pidana, biarpun perbuatan mereka itu sendiri tidak memuat semua anasir peristiwa pidana tersebut. Biarpun mereka bukan pembuat yaitu perbuatan mereka tidak memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana, masih juga mereka bertanggung jawab atas dilakukannya peristiwa pidana, karena tanpa turut sertanya mereka sudah tentu peristiwa pidana itu tidak pernah terjadi. Memang pada prakteknya tindak pidana dapat diselesaikan oleh bergabungnya beberapa atau banyak orang, yang setiap orang melakukan wujud-wujud tingkah laku mereka, dari tingkah laku mereka itulah melahirkan suatu tindak pidana. Pada peristiwa senyatanya, kadang sulit dan kadang juga mudah untuk menentukan siapa diantara mereka perbuatannya benar-benar telah memenuhi rumusan tindak pidana, artinya dari perbuatannya yang melahirkan tindakan pidana itu. 11 Berdasarkan paparan Utrecht di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak hanya seseorang yang berbuat secara langsung (pembuat materiil) saja yang dapat diminta pertanggungjawabannya, tetapi juga mereka yang berbuat secara tidak langsung. Dalam KUHP ada berbagai banyak teori mengenai penyertaan ini yaitu plegen, doenplegen, medeplegen, uitlokken dan medeplichtigo. Sedangkan dalam hukum Islam hanya dikenal penyertaan langsung dan penyertaan tidak langsung. Oleh karena itu sangat menarik membandingkan delik penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam. Akan terlihat perbedaan pertanggungjawaban dan kedudukan masing-masing pelaku berdasarkan teoritis KUHP dan Hukum Islam. KUHP
11
http://mangarahukum.blogspot.com/2011/04/penyertaan-dalam-tindak-pidana.html
17
dengan teori penyertaannya yang kompleks, dan hukum Islam yang lebih menyederhanakannya. Dengan demikian diharapakan ius constituendum di Indonesia akan menjadi lebih baik lagi. Berdasarkan hal tersebut di atas saya tertarik
untuk
menyusun
skripsi
berjudul
“PERBANDINGAN
DELIK
PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM” .
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana penyertaan diatur menurut KUHP ? 2. Bagaimana penyertaan diatur menurut hukum Islam? 3. Bagaimana perbandingan penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitan 1. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui penyertaan diatur di dalam KUHP. b. Untuk mengetahui penyertaan diatur di dalam hukum Islam. c. Untuk mengetahui perbandingan delik penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam. 2. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
18
a. Manfaat Teoritis 1. Memberikan kontribusi pemikiran dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan hukum pidana Islam khususnya. 2. Memberikan kontribusi pemikiran dalam membandingkan teori, hukuman dan pertanggungjawaban dalam delik penyertaan menurut hukum positif dan Hukum Islam. b. Manfaat Praktis 1. Membantu aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus tindak pidana yang terkait dengan penyertaan. 2. Hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis, pembaca dan untuk menanggulangi kejahatan dengan penyertaan. 3. Memberi informasi bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana baik secara langsung, maupun hanya membantu.
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi yang berjudul “Perbandingan Delik Penyertaan menurut KUHP dan Hukum Islam” belum pernah ditulis atau diangkat menjadi karya ilmiah sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Karya ilmiah ini lebih menekankan pada pembahasan teori, pertanggungjawaban dan hukuman pidananya dan membandingkannya antara KUHP dan hukum Islam. Dalam penyusunan skripsi ini penulis memperoleh dari berbagai sumber. Baik dari perpustakaan, media cetak, media elektronik, media online, dan ditambah pemikiran penulis sendiri. Dengan demikian dapat dipertegas bahwa
19
penulisan skripsi ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral ataupun secara akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana menurut Pompe adalah semua perturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi pidana, dan apakah macam-macamnya pidana itu. 12 Simon mendefenisikan hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan hukuman pidana, barang siapa yang tidak menaatinya, kesemua aturan itu menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. 13 Hukum Pidana menurut C.S.T. Kansil ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 14 Hukum pidana merupakan hukum yang bersifat publik artinya tidak hanya mengikat satu individu tetapi juga mengikat seluruh masyarakat yang ada dalam suatu wilayah atau negara tertentu.
12
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.
235. 13
Loc. Cit. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 257. 14
20
Hukum pidana secara umum dapat artikan menjadi hukum pidana objektif (ius poenale) dan hukum pidana subjektif (ius puniendi). Hukum pidana dalam arti objektif ialah seperangkat peraturan yang mengandung larangan-larangan yang disertai dengan ancaman hukuman bagi pelanggarnya sedangkan hukum pidana dalam arti subjektif memiliki arti hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hukum pidana dalam arti objektif dibagi menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil diartikan sebagai peraturanperaturan yang mengandung perumusan perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil menurut C.S.T. Kansil adalah rangkaian peraturan hukum menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan dan bagaimana cara-cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi atau dapat juga disebut rangkaian kaedah-kadah hukum tentang cara memlihara atau mempertahankan hukum pidana materiil. 15 Sumber utama hukum pidana materiil di Indonesia adalah KUHP yang terdiri dari tiga buku. Buku I mengatur tentang ketentuan umum, buku II tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran. Pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Hukuman untuk pelanggaran
15
C.S.T. Kansil, Op. Cit., h. 330.
21
biasanya hanya berupa denda sedangkan hukuman pada kejahatan selain bisa berupa pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda dan tutupan. KUHP yang berlaku saat ini bukan merupakan buatan bangsa Indonesia, melainkan buatan Belanda yang lahir sejak 1 Januari 1918. Tapi tidak berarti bahwa KUHP yang sekarang, masih dalam keadaan asli atau telah diambil langsung oleh negara kita, tetapi bahkan isinya dan jiwanya telah banyak diganti sehingga sesuai dengan keperluan bangsa Indonesia. Perubahan yang penting dari KUHP setelah keluarnya Undang-Undang no 1 tahun 1946 dimana KUHP berlaku untuk semua golongan penduduk Indonesia (unifikasi hukum pidana). 16 2. Pengertian Hukum Islam Menurut Ahmad Rafiq hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam. 17 Menurut Wahyuni Retnowulandari hukum Islam adalah kumpulan normanorma yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kehidupan manusia dalam hidupnya secara pribadi dalam hubungannya dengan orang lain dalam bermasyarakat, makhluk lain dan dengan Allah. 18 Dapat disimpulkan hukum Islam ialah hukum yang bersumber pada Qur’an dan Sunnah. Yang membuat Qur’an adalah Allah SWT, sehingga sifatnya kekal dan abadi dan tidak akan berubah sampai kapanpun. Jika ada perbuatan baru 16
Ibid., h. 261. Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 3. 18 Wahyuni Retnowulandari, Hukum Islam dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Trisakti, 2009), h. 13. 17
22
yang belum diatur oleh Qur’an dan Sunnah maka dilakukan ijtihad oleh para mujtahid dengan berdasarkan Qur’an dan Sunnah. Jika dibandingkan hukum Islam bidang muamalah dengan hukum barat maka yang membedakan antara hukum privat dan hukum publik, hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam, pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan dalam hukum publik terdapat segi-segi perdatanya. 19 Itulah sebabnya hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja, yaitu munakahat (perkawinan), wirasah (warisan), muamalat dalam arti khusus (jual beli, sewa menyewa perserikatan, pinjam-meminjam dan lain-lain), jinayat (hukum pdana), al-ahkam as-sulthaniyah (berhubungan dengan pemerintahan), syiar (perang dan hubungan internasional) dan mukhasamat (hukum acara). 20 Menurut Abu Ishaq al Shatibi ada lima tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima tujuan hukum Islam ini kemudian disepakati oleh ilmuan hukum Islam lainnya. 21 3. Pengertian Penyertaan Satochid Kartanegara mengatakan penyertaan ialah apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Sedangkan Leden Marpaung berpendapat jika hanya satu orang yang dapat bertanggungjawab maka tidak dapat dikatakan penyertaan. Lalu ia menyimpulkan penyertaan ialah
19
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 56. Loc. Cit. 21 Ibid., h. 61. 20
23
suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggung jawabkan. 22 Menurut Adami Chazawi penyertaan ialah semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. 23 Menurut Wirjono Prodjodikoro penyertaan ialah turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu orang lain melakukan tindak pidana. 24 Mengenai pemahaman tentang pengertian, akan menimbulkan beberapa pertanyaan pokok. 1. Pertama, mengenai diri orangnya, ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkutpaut dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih dari satu orang, sehingga dia patut dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana? 25 2. Kedua, mengenai tanggung jawab pidana. Apakah mereka para peserta yang terlibat itu akan dipertanggungjawabkan yang sama ataukah akan dipertanggungjawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatan atau andil dari perbuatan ysng mereka lakukan terhadap terwujudnya tindak pidana? 26
22
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.
23
Adami Chazawi, Percobaan dan Penyertaan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002),
77. h.71. 24
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, ( Bandung: Refika Aditama, 2003) , h.117. 25 Adami Chazawi, Op. Cit., h. 72. 26 Loc. Cit.
24
Dari dua permasalahan tersebut, dapat ditentukan berat ringannya tanggung jawab dari pembuat-pembuat peserta sesuai dengan andil dari apa yang telah diperbuat bagi terwujudnya tindak pidana. Untuk memahami dua jawaban di atas, maka muncullah dua ajaran dalam penyertaan. a. Ajaran subjektif Ajaran ini bertitik tolak dan memberatkan pandangannya pada sikap batin pembuat, memberikan ukuran bahwa orang yang terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang (penyertaan) ialah apabila dia berkehendak, mempunyai tujuan dan kepentingan yang paling besar terhadap tindak pidana itu, dialah yang dibebani tanggung jawab lebih besar. 27 Ajaran objektif memiliki 2 syarat yaitu : 1) Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana. 28 2) Adanya hubungan batin (kesengajaan) antara dirinya dengan peserta lainnya. 29 b. Ajaran objektif Ajaran ini menitikberatkan pada wujud perbuatan apa, serta sejauh mana peran dan andil serta pengaruh dari wujud perbuatan itu terhadap timbulnya tindak pidana yang dimaksudkan, yang menentukan seberapa berat tanggung jawab yang dibebankan terhadap terjadinya tindak pidana. 30
27
Ibid., h. 73. Ibid., h. 74. 29 Ibid., h. 75. 30 Ibid., h. 75-77. 28
25
4. Pengertian Delik Simons mengatakan delik adalah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 31 Van Hammel mengatakan delik adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 32 Pendapat kedua sarjana di atas disebut aliran monistis. Menurut aliran ini delik tidak memisahkan antara perbuatan dan pertanggung jawaban pidana. Akibatnya, dalam delik penyertaan akan banyak terdakwa yang bebas dari hukuman karena tidak terpenuhinya semua unsur delik. Leden Marpaung mengartikan delik seperti perumpaan kata delik yang terdiri dari beberapa huruf yaitu d, e, l, i dan k. Jika salah satu huruf dibuang tidak ada kata delik, tetapi delk, elik dan sebagainya. Begitu juga hakikat delik. Menurut A.Z. Abidin, dalam perumusan delik, harus dipisahakan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana. Aliran ini disebut dualistis. Ia mencontohkan dalam satu kasus. Perempuan A berselisih dengan perempuan C. Lalu A menyuruh laki-laki bernama B untuk memperkosa C. B tidak mampu bertanggungjawab sesuai pasal 44 KUHP (sakit jiwa). Berarti ada salah satu unsur yang
tidak
terpenuhi
yaitu
kemampuan
bertanggungjwab.
Berdasarkan
pemeriksaan saksi ahli B memang sakit jiwa. Maka B harus dibebaskan. Jika
31 32
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), h. 96. Loc. Cit.
26
hakim menganut aliran monistis maka A pun harus dibebaskan karena tidak terpenuhi unsur delik yaitu perbuatan. 33 Dapat disimpulkan bahwa orang yang terlibat pada peristiwa tersebut adalah dua orang atau lebih. Jadi bisa saja hanya dilakukan dua orang. Maka jika dilakukan satu orang saja tidak dapat dikatakan sebagai delik penyertaan. Jadi dapat disimpulkan beberapa unsur penyertaan ialah: a. Lebih dari satu orang. b. Salah
satu
peserta
atau
keseluruhan
peserta
dapat
diminta
pertanggungjawabannya. c. Memenuhi sebagian atau keseluruhan rumusan delik.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal menurut Ronny Hanitijo Semitro yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder. 34 Sedangkan menurut Johnny Ibrahim penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 35
33
Ibid., h. 97-98. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Semarang: Ghalia Indonesia, 1983), h. 24. 35 Johnny Ibrahim, Teori Metode dan Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2005), h. 47. 34
27
Penelitian hukum normatif terbagi menjadi penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian untuk menemukan hukum in concreto, penelitian terhadap sistematik hukum, dan penelitian terhadap taraf sinkornisasi vertikal dan horizontal. Dalam menetapkan inventarisasi hukum positif langkah-langkah yang harus dilakukan adalah pertama penetapan kriteria identifikasi untuk menyeleksi norma-norma yang dimasukkan sebagai norma hukum positif dan norma-norma yang dianggap sebagai norma sosial yang bukan hukum. Selanjutnya adalah melakukan pengumpulan norma-norma yang sudah diidentifikasi sebagai norma hukum tersebut. Akhirnya dilakukan pengorganisasian norma-norma yang sudah diidentifikasi dan dikumpulkan itu ke dalam suatu sistem yang komprehensif (menyeluruh). 36 Dalam penelitian hukum normatif, penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan terhadap norma-norma hukum yaitu yang merupakan patokan-patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas. 37 Sebagai ilmu normatif, ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dalam membantu memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat. Dalam hal ini, ilmu hukum dipahami sebagai ilmu tentang kaidah (norma), merupakan ilmu yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatik hukum atau sistematik hukum sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan jelas hukum sebagai ilmu kaidah. 38
36
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., h. 13. Ibid., h. 15. 38 Johnny Ibrahim, Op. Cit., h. 45. 37
28
2. Sifat Penelitian Sifat penelitian adalah deksriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang terdiri atas satu variabel atau lebih dari satu variabel. Namun, variabel tidak saling bersinggungan sehingga disebut penelitian bersifat deskriptif. Analisis data tidak keluar dari lingkup sampel, bersifat deduktif, berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum kemudian diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau mununjukkan komparasi atau hubungan seperangkat suatu data dengan seperangkat data yang lain. 39 Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Hal yang digambarkan adalah berupa suatu peraturan hukum dan teori-teori yang ada. 3. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian adalah data sekunder. Data sekunder tidak boleh diapahamkan sebagai mana kebutuhan dalam kehidupan. Data sekunder itu bukan data yang kurang atau lebih rendah kepentingan penelitiannya bila dibanding dengan data primer. Bahkan data sekunder itu dalam penelitian hukum merupakan ukuran-ukuran resmi tentang pengertian dari unsur-unsur yang diteliti. 40 Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti semacam petunjuk ke arah mana peneliti melangkah. Apabila tulisan itu berupa tesis, disertasi atau artikel di jurnal hukum, boleh jadi tulisan itu memberi inspirasi bagi peneliti untuk menjadi titil anjak dalam memulai penelitian. Bagi kalangan praktisi bahan hukum sekunder ini bukan tidak mungkin sebagai 39
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 11-12. Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum, (Medan: Multi Grafik Medan, 2007), h. 75. 40
29
panduan berpikir dalam menyusun argumentasi yang akan diajukan dalam persidangan atau memberikan pendapat hukum. 41 Data sekunder yang digunakan dalam mengkaji adalah sebagai berikut. 42 Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hirarki perundang-undangan. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (deherseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum ini adalah studi kepustakaan. Kepustakaan tidak boleh dipahamkan harus institusi resmi perpustakaan, tetapi dengan adanya bahan kepustakaan seperti buku berarti sudah terpenuhi sumbernya sebagai kepustakaan. 43 Dalam kegiatan memilah, memilih dan menelaah bahan hukum harus diperhatikan bahan kepustakaan harus bersesuaian atau berkaitan dengan obyek penelitian, merupakan bahan kepustakaan yang baru, misalnya buku harus terbitan 41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 155. 42 Johnny Ibrahim, Op. Cit., h. 241-242. 43 Loc. Cit.
30
dan cetakan terakhir dan pendapat yang dikutip dari bahan kepustakaan itu haruslah dari orang yang mempunyai otoritas keilmuan dan kewenangan yang bersesuaian dengan bidang penelitian. 44 5. Analisis Data Analisis data dilakukan secara kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 45 Analisis dapat dilakukan dengan memahami norma, kaidah, azas, sistem hukum yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan sebagai pijakan dari objek yang diteliti. Dari analisis kualitatif itu akan sampai pada suatu kesimpulan yang tidak akan persis sama sebagaimana analisis kuantitatif, dan bisa beraneka ragam jika dilakukan oleh lebih dari satu orang peneliti. Hal itu terjadi tidak lain karena alat yang digunakan bukan rumusan statistik tetapi daya nalar setiap peneliti untuk memberi makna data tersebut. 46 6. Pendekatan Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan statuta approach (pendekatan perundang-undangan) dan comparative approach (pendekatan perbandingan). Dalam pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hirarki, asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
44
Ibid., h. 76. Zainuddin Ali, Op. Cit., h. 105. 46 Tampil Anshari Siregar, Op. Cit., h. 134. 45
31
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 47 Suatu penelitian normatif harus menggunakan pendekatan perundangundangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral. 48 Pendekatan
perbandingan
hukum
merupakan
kegiatan
untuk
membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Di samping itu juga membandingkan suatu putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan lainnya untuk masalah yang sama. Kegiatan ini bermanfaat bagi penyingkapan latar belakang terjadinya ketentuan hukum tertentu untuk masalah yang sama dari dua negara atau lebih. Penyingkapan ini dapat dijadikan rekomendasi bagi penyusunan atau perubahan perundang-undangan. 49
G. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab I dibahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : PENYERTAAN MENURUT KUHP Dalam Bab II dibahas mengenai dasar hukum penyertaan menurut KUHP, sifat penyertaan menurut KUHP, pembagian penyertaan menurut 47
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 96-97. Johnny Ibrahim, Op. Cit., h. 248-249. 49 Ibid., h. 133. 48
32
KUHP yang terbagi menjadi pembuat (dader), pelaku (pleger), menyuruh melakukan (doenpleger), turut serta (medepleger) dan penganjur (uitlokker). Pembantu (mendeplichtigo) yang terbagi menjadi pembantu pada saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan. BAB III : PENYERTAAN MENURUT HUKUM ISLAM Dalam Bab III dibahas mengenai dasar hukum penyertaan menurut hukum Islam, pembagian penyertaan menurut hukum Islam yang terbagi menjadi penyertaan langsung (mubasyir) dan kebetulan (tawafuq) direncanakan (tamalu), penyertaan tidak langsung (ghayr mubasyir), pertalian
perbuatan
langsung
dengan
perbuatan
tidak
langsung
(mubasjarah dengan sabab). BAB IV : PERBANDINGAN PENYERTAAN MENURUT KUHP DAN HUKUM ISLAM Dalam Bab IV dibahas mengenai pertanggungjawaban pada turut serta dan penyertaan langsung, pertanggungjawaban pada menganjurkan dan pelaku tidak langsung,
perbandingan unsur-unsur turut serta dan
penyertaan langsung, perbandingan unsur-unsur menganjurkan dan penyertaan tidak langsung, kelebihan dan kekurangan delik penyertaan menurut KUHP dan hukum Islam. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA