BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah kejahatan adalah masalah manusia yang telah merupakan kenyataan sosial yang masalah penyebabnnya kurang dipahami karena studi belum pada proporsi tepat secara dimensial. Perkembangan atau peningkatan kejahatan maupun penurunan kualitas atau kuantitas kejahatan, baik yang berada di kota-kota maupun di desa-desa adalah relatif dan interaktif sifatnya. Dapat dipahami bahwa kejahatan merupakan the shadow of civilization, merupakan bayang-bayang dari peradaban, dan bahkan ada teori yang mengatakan justru kejahatan itu adalah produk dari masyarakat. Lokasi kejahatan ada pada masyarakat, tidak pada individu. 1 Setiap ada kejahatan tentu ada pelakunya, sedang kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan segera pula kita ketahui bahwa pelakunya adalah manusia/orang. Di Indonesia secara resmi (legal) tidak kita temui orang yang disebut sebagai penjahat, dalam proses peradilan pidana kita hanya mengenal istilah-istilah tersangka, tertuduh/terdakwa dan apabila keputusan hakim telah di peroleh dikatakan terpidana atau terhukum. 2 Semakin
maju
masyarakat,
semakin
berkembang
teknologi
dan
pengetahuan, semakin berkembang pula jenis dan pola kejahatan. Kiranya, kejahatan ini menyesuaikan diri dengan perkembangan/kemajuan masyarakat. 1
H. Ridwan Hasibuan, Kriminologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994, halaman 5. 2 Ibid, halaman 12.
1
Dalam film-film, siaran televisi, maupun dalam buku-buku kita disajikan dengan kisah-kisah pembunuhan seperti pembunuhan secara misterius, mutilasi, ataupun pembunuhan dengan racun di negara-negara maju dimana penyidik sulit sekali untuk menemukan si pelaku ataupun sulit untuk menemukan bukti-bukti telah terjadinya tindak pidana pembunuhan. Kesulitan-kesulitan untuk menditeksi kejahatan itupun akan bertambah sulit karena keterikatan dalam pembuktian dan formalitasnya. 3 Peristiwa-peristiwa kematian tersebut merupakan kasus kematian yang misterius, oleh karena baik mengenai sebab-sebabnya maupun mengenai waktunya tidaklah dapat diketahui dengan pasti. Penentuan sebab-sebab kematian dan saat kematian dalam kasus kematian yang misterius mempunyai arti penting untuk penyelesaian kasus kejahatan. Apabila dari ternyata bahwa kematian tersebut disebabkan oleh perbuatan orang lain, hal itu berarti bahwa kasus tersebut merupakan suatu tindak pidana kejahatan berupa pembunuhan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 338-350 KUHP. 4 Sehubungan dengan kemajuan pengetahuan yang dapat menghasilkan positif dan negatif tersebut dalam mengusut dan mengadili kejahatan-kejahatan seperti diatas disusul juga dengan kelahiran-kelahiran ilmu-ilmu modern dan salah satunya adalah ilmu forensik, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dapat membantu memberi keterangan atau penjelasan tentang sebab dan waktu kematian bagi “peradilan” secara meyakinkan menurut kebenaran ilmiah yang akan mendukung kebenaran peradilan dalam menetapkan keputusannya apabila ia dijalankan 3
Ibid, halaman 39. Musa Perdanakusuma, Bab-Bab Tentang Kedokteran Forensik, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1983, halaman 131. 4
2
sebagaimana mestinya. Karena pada proses penegakan hukum dan keadilan adalah
merupakan
suatu
usaha
ilmiah
dan
bukan
sekedar
common-
sense/nonscientific belaka. 5 Pemakaian ilmu forensik oleh penyidik untuk mencari kebenaran sejauh yang dapat dicapai oleh manusia, maka Polri selaku penyidik mendirikan Laboratorium Forensik yang bertugas untuk membina dan melaksanakan kriminalistik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri yang meliputi Kedokteran Forensik, Kimia Forensik, Narkotika Forensik, Toksikologi Forensik, Fisika Forensik, Balistik dan Metalurgi Forensik, Dokumen Forensik, dan Fotografi Forensik. 6 Adanya suatu laboratorium forensik untuk keperluan pengusutan kejahatan sangatlah diperlukan. Sama halnya dalam pemeriksaan medis dalam penyakit, setelah adanya diagnosa barulah disimpulkan secara tepat dengan bantuan pemeriksaan laboratorium. 7 Demikian pula dengan suatu pembunuhan, peran laboratorium forensik sangat membantu dokter forensik dalam membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan. Laboratorium forensik membantu dokter forensik untuk memeriksa identitas, waktu, sebab, dan cara kematian korban sehingga keterangannya baik yang dituliskan melalui alat bukti surat (Visum Et Repertum) maupun dalam penyampaian keterangan ahli forensik pada persidangan tentang hipotesa kematian tidaklah terlepas dari pemeriksaan di laboratorium forensik.
5
H. Ridwan Hasibuan, Op. cit, halaman 39. Diakses dari situs http ://wikipedia.com/sejarah-labfor. Diakses pada hari Minggu 04 Mei 2014, pukul 19.32 WIB. 7 Musa Perdanakusuma, Op. cit, halaman 109. 6
3
Dilihat pada tingkat penyidikan, laboratorium forensik merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam suatu tindak pidana pembunuhan. Laboratorium forensik merupakan alat pembantu dalam pengusutan kejahatan. Karena pengusutan kejahatan tidaklah semata-mata didasarkan pada saksi mata (eye witness), akan tetapi juga pada bukti-bukti fisik (physical evidence) yang ditemukan ditempat kejadian. halaman ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : 8 1. Tidak semua peristiwa kejahatan disaksikan oleh saksi mata. 2. Saksi mata dapat berbohong atau disuruh berbohong. 3. Bukti fisik jumlahnya tidak terbatas dan tak dapat berbohong atau disuruh berbohong. 4. Bagaimanapun cermatnya si penjahat, pasti ada bukti fisik yang tertinggal di tempat kejadian Karena menurut Joachim George Darjes, seorang sarjana Jerman, pada umumnya suatu perkara pidana menimbulkan tujuh macam pertanyaan yang dalam bahas Jerman semuanya diawali dengan huruf “W”. Oleh sebab itu, teori George Darjes tersebut terkenal dengan nama teori tujuh W. Ketujuh macam pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut : 9 1. Apa yang terjadi? 2. Dimana terjadinya? 3. Bagaimana terjadinya? 4. Dengan alat apa perbuatan tersebut dilakukan? 8 9
Ibid, halaman 110. Ibid, halaman 100.
4
5. Apa sebabnya perbuatan tersebut dilakukan? 6. Dengan maksud apa perbuatan tersebut dilakukan? 7. Siapa yang melakukan? Untuk mencari jawaban dari pertanyaan tersebut dokter forensik memerlukan laboratorium forensik. Sekiranya kematian orang tersebut disebabkan karena racun atau karena tembakan maka untuk menetapkan jenis racun serta jenis dan ukuran peluru yang menyebabkan kematian tersebut dokter forensik akan melakukan pemeriksaan di laboratorium forensik untuk menentukan secara pasti dengan menggunakan menggunakan cabang Ilmu Kimia Forensik khususnya Toksikology Forensik serta Ilmu Balistik dan Metalurgi Forensik. 10 Laboratorium
forensik
adalah
suatu
lembaga
yang
bertugas
dan
berkewajiban menyelenggarkan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan serta membantu mengenai kegiatan pembuktian perkara pidana dengan memakai teknologi dan ilmu-ilmu penunjang lainnya. Seperti diketahui bahwa laboratorium forensik adalah salah satu unsur bantuan tehnik laboratories kriminalistik dalam rangka tugas sebagai penyidik. Adapun pelaksanaan tugasnya meliputi bantuan pemeriksaan laboratories, baik terhadap barang bukti maupun terhadap tempat kejadian perkara (TKP) serta kegiatan bantuan lainnya terhadap unsur-unsur operasional kepolisian terutama reserse. Adapun mengenai tindak kejahatan biasanya meninggalkan bukti-bukti atau bekas-bekas dari tindak kejahatan itu sendiri yang dapat diungkap baik melalui
10
Ibid, halaman 101.
5
alat bukti berupa keterangan saksi maupun keterangan tersangka atau terdakwa sendiri dan dapat pula melalui pemeriksaan barang bukti yang dapat diperiksa secara laboratories. Peranan laboratorium forensik penting artinya dalam mengungkap kasus kejahatan melalui proses pemeriksaan barang bukti, karena sistem pembuktian menurut ilmu forensik yaitu adanya bukti segi tiga TKP maka terdapat rantai antara korban, barang bukti dan pelaku. Oleh karena itu, tidak semua kejahatan dapat diketahui dan diungkap melalui keterangan saksi dan tersangka atau terdakwa saja, tetapi barang bukti juga dapat memberi petunjuk atau keterangan atas suatu tindak kejahatan yang telah terjadi, karena hasil pemeriksaan barang bukti dari laboratorium forensik terdapat tiga alat bukti yang dapat dipenuhi laboratorium tersebut dari lima alat bukti yang sah berdasarkan undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Pasal 184 ayat (1) yaitu keterangan ahli, surat, dan petunjuk. Selain itu juga sangat dokter forensik sangat terbantu dengan keberadaan laboratorium forensik untuk mempelajari hal ikhwal manusia atau organnya dalam kaitannya dengan peristiwa kejahatan. Meskipun objek pemeriksaan dokter forensik adalah manusia atau organnya, tujuannya sama sekali bukanlah untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh seseorang. Pemeriksaan mengenai sebab-sebab kematian diperlukan untuk menentukan peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi. Apakah korban mati wajar karena suatu penyakit, ataukah mati karena bunuh diri, atau mati karena kecelakaan atau mati karena pembunuhan. Mengenai identifikasi mayat, tujuannya ialah untuk menentukan
6
jenis kelamin, umur, tinggi badan dan sebagainya. Mengenai keadaan mayat sesudah kematian (post mortem), tujuannya ialah untuk menentukan saat kematiannya. 11 Dengan demikian, dalam pembuktian kasus pembunuhan, laboratorium forensik dan dokter forensik tidaklah dapat dipisahkan. Dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan, hasil pemeriksaan dokter forensik di laboratorium forensik, memberikan keyakinan kepada hakim karena pembuktian dilakukan dengan cara ilmiah berdasarkan keahlian displin ilmu serta peralatan dan perlengkapan yang canggih. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium forensik, dokter forensik dapat memberikan 3 alat bukti yang sah, yaitu alat bukti Keterangan Ahli, Surat, dan Petunjuk. Pembuktian dengan memanfaatkan laboratorium forensik ini pada semua negara maju telah berkembang dan digunakan sebagai alat bukti yang sah, walaupun tersangka/terdakwa bersikap diam atau membisu atau tidak mengakui perbuatannya. 12 Uraian dari latar belakang tersebut, menyimpulkan penulis untuk lebih mengetahui mengenai manfaat laboratorium forensik, karena dapat dikatakan bahwa untuk membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan laboratorium forensik berperanan sangat besar karena turut membantu aparat penegak hukum dalam mencari kebenaran di persidangan dengan memberikan 3 alat bukti yang sah sesuai dengan KUHAP, yaitu Keterangan Ahli, Surat, dan Petunjuk. Oleh karena itulah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN 11 12
Ibid , halaman 102. H. R. Abdussalam, Forensik, Restu Agung, Jakarta, 2006, halaman 4.
7
LABORATORIUM
FORENSIK
DALAM
PEMBUKTIAN
TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN” B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaturan hukum mengenai laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia? 2. Bagaimanakah peranan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan? 3. Bagaimanakah kebijakan hukum pada tindak pidana pembunuhan dikaitkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik dalam proses pembuktian di pengadilan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini ialah : 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang kedudukan dan pemanfaatan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia. 2. Untuk mengetahui peranan dari laboratorium forensik dalam membantu aparat penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana pembunuhan. 3. Untuk mengetahui kebijakan hukum yang diberikan majelis hakim pada tindak pidana pembunuhan dalam putusannya pengadilan terkait dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik sebagai alat bukti. Manfaat penelitian terdiri dari 2, yakni : 1.
Manfaat teoritis : Dapat mengetahui peranan dari laboratorium forensik dalam pembuktian
suatu
tindak
pidana
pembunuhan.
8
Memberikan
sumbangan
dalam
pengembangan ilmu forensik sebagai alat bukti sah utama yang dibuat secara pro justisia serta memberikan penambahan khasanah pustaka forensik sebagai alat bukti sah utama dalam proses penegakan hukum. 2.
Manfaat praktis : Diharapkan pula melalui penulisan skripsi ini dapat bermanfaat nantinya
bagi para penegak hukum dalam membuktikan suatu tindak pidana pembunuhan dengan memanfaatkan laboratorium forensik yang untuk digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah. D. Tinjauan Kepustakaan 1.
Pengaturan Hukum Mengenai Laboratorium Forensik Dalam Pembuktian Tindak Pidana di Indonesia Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil pemeriksaan
yang diperlukan dalam proses pengadillan. Sedangkan forensik dalam pengertian bahasa Indonesia berarti berhubungan dengan pengadilan.. Ilmu forensik ( Forensik Science) adalah meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan, atau dapat dikatakan bahwa dari segi perannya dalam penyelesaian kasus kejahatan maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting. Adapun semua peranan ilmu-ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan dengan masalah kejahatan tersebut, ialah: 13 a. Hukum pidana b. Hukum acara pidana c. Ilmu kedokteran forensik 13
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman, Alfabeta, Bandung, 2009,
halaman 6.
9
d. Psikologi forensik dan psikiatri (Neurologi) forensik Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum, yang untuk memahami pokok permasalahannya yang menjadi objek kajian dari skripsi ini, maka perlu diketahui pengertiannya. Dengan harapan agar dapat diketahui arti dan maksud serta tujuan dari istilah tersebut mengandung pengertian sebagai suatu tempat pertemuan umum di kota-kota pada zaman Romawi kuno yang pada umumnya dipakai untuk berdagang atau kepentingan lain termasuk suatu sidang peradilan. Sedangkan arti forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di depan umum dan hal-hal yang merupakan bagian atau ada hubungannya dengan. 14 Untuk jelasnya dapat kita lihat apa yang dikemukakan oleh Susetio Pramusinto yakni : 15 Forensik ialah ilmu pengetahuan yang menggunakan ilmu multi disiplin untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan krominologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus kejahatan/pelanggaran dengan memeriksa barang bukti atau physical evidence dalam kasus tersebut. Adapun pengertian laboratorium forensik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu badan yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan dan kegiatan untuk membantu mengenai pembuktian suatu tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan teknologi dan ilmu kedokteran kehakiman, ilmu forensik, ilmu kimia forensik serta ilmu penunjang lainnya. Berdasarkan atas pengertian tersebut, maka laboratorium forensik sebagai salah satu fungsi kepolisian yang merupakan unsur bantuan teknis laboratorium 14
Susetio Pramusinto, Himpunan Karangan Ilmu Forensik Suatu Sumbangan Bagi Wiyata Bhayangkara, PT. Karya Unipres, Jakarta, 1984 halaman 19. 15 Ibid , halaman 43.
10
kriminalistik dalam rangka tugas Polri sebagai penyidik. Adapun pelaksanaan tugasnya meliputi bantuan pemeriksaan teknis laboratories terhadap barang bukti maupun terhadap tempat kejadian perkara (TKP) serta kegiatan bantuan lainnya terhadap unsur operasional terutama reserse. Laboratorium forensik Polri pertama kali didirikan pada 15 januari 1954 berdasarkan perintah kepolisian RI No. 1/VIII/1954 dengan nama seksi laboratorium yang secara organisasi adalah sebagai salah satu seksi dari bagian dinas reserse kriminal Kepolisian Negara dan berkedudukan di Jakarta. Pada tanggal 6 April 1957 berdasarkan surat keputusan Kepala Kepolisian Negara RI No. 26/lab/1957 dibentuk laboratorium forensik cabang Surabaya, setelah ini menyusul pembentukan cabang-cabang lain di Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, dan Palembang. 16 Dalam pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan peran Labfor Polri selama ini antara lain didasarkan kepada : a. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1173 / Menkes / SK / X / 1998 tentang Penunjukan Laboratorium Pemeriksa Narkoba dan Psikotropika. d. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. 5 / KRI / 2589 perihal Penunjukan Labkrim Polri Untuk Pemeriksa Tulisan.
16
Diakses dari situs http : //warta.labfor.blogspot/Mengenal-lebih-dekat-puslabforbareskrim-polri.html. Diakses pada Minggu, 04 Mei 2014 pukul 13.34 WIB.
11
e. Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 808 / XII / 1983 perihal Penunjukan Labkrim Polri sebagai Pemeriksa Barang Bukti Kasus - Kasus Pidana Umum. f. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE / 003/SA/2/1984 tentang Keterangan Ahli Mengenai Tanda Tangan dan Tulisan Sebagai Alat Bukti. g. Peraturan Kapolri nomor 21 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satker Mabes Polri. h. Peraturan Kapolri nomor 10 tahun 2009 tentang Tata Cara Permintaan Bantuan kepada Labfor Polri. Walaupun forensik sudah mempunyai wadah untuk menampung hal-hal yang berkaitan dengan forensik, namun apabila dianggap perlu penyidik Polri dapat mendatangkan ahli forensik lain di luar kepolisian, misalnya mendatangkan dokter spesialis forensik dari instalasi kedokteran forensik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia atau ahli-ahli tertentu dari BATAN, LIPI, BAPEDAL, BPPOM dan bahkan kerja sama dengan ahli forensik luar negeri. 17 Pengertian mendatangkan ahli tersebut salah satunya dapat dipenuhi oleh Laboratorium Forensik, dimana sesuai dengan Keputusan Kapolri No : Kep / 22 / VI / 2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang perubahan atas Keputusan kapolri No. Pol. : KEP / 30 / VI / 2003 tanggal 30 Juni 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia lampiran ”G” Bareskrim Polri Laboratorium Forensik mempunyai tugas
17
Diakses dari situs http : //repository.usu.ac.id/Peranan-Laboratorium-Forensik-DalamPembuktian-Tindak-Pidana-Terorisme-di-Kota-Medan. Diakses pada hari Sabtu, 05 April 2014 pukul 13.34 WIB.
12
membina dan melaksanakan kriminalistik forensik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung pelaksanaan tugas Polri. 18
2.
Peranan
Laboratorium
Forensik
Dalam
Pembuktian
Tindak
Pidana
Pembunuhan Sebagaimana diketahui bahwa laboratorium forensik dibentuk untuk membantu proses penyidikan dengan melalui pemeriksaan barang bukti dari suatu tindak pidana yang terjadi. Laboratorium forensik sebagai sarana pembantu dalam proses penyidikan dan melaksanakan tugasnya, yakni melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti jika ada permintaan pemeriksaan, jika tidak ada permintaan pemeriksaan barang bukti maka pihak laboratorium forensik tidak berwenang melakukan pemeriksaan walaupun barang bukti sudah ada. Mengingat dalam proses penyidikan, untuk mengungkapkan suatu tindak pidana tidak mutlak harus berpedoman pada keterangan saksi dan keterangan tersangka atau terdakwa saja, akan tetapi penting pula dan bahkan dapat membantu terungkapnya suatu tindak pidana dengan melalui pemeriksaan barang bukti. Laboratorium forensik
ataupun disebut juga
sebagai
laboratorium
kriminalistik merupakan dapur pemeriksaan barang bukti tersebut. Oleh sebab itu, bagian-bagian serta peralatan dalam laboratorium tersebut semuanya diarahkan untuk pemecahan masalah-masalah atau misteri yang terkandung dalam bukti fisik tersebut. Suatu laboratorium forensik yang besar, dalam buku Introduction to 18
Diakses dari situs http : //warta.labfor.blogspot/Mengenal-lebih-dekat-puslabforbareskrim-polri.html. Diakses pada Minggu, 04 Mei 2014 pukul 13.34 WIB.
13
Criminalistic karangan Charles E. O’Hara dan James W. Osterburg digambarkan terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut : 19 A. Ruang Rekaman dan Bukti Fisik Tempat penyimpanan bukti-bukti fisik serta surat-surat yang berhubungan dengan itu. B. Ruang Kimia Tempat pemeriksaan secara kimiawi terhadap bukti-bukti fisik. C. Ruang Fisika Untuk pemeriksaan sidik jari dan bukti-bukti fisik lainnya yang terdiri dari seksi dokumen untuk pemeriksaan dokumen, seksi senjata api untuk pemeriksaan senjata api, peluru dan hal-hal lain yang berhubungan dengan senjata api. D. Ruang Spektograf Ruang untuk pemeriksaan dengan menggunakan sinar ultraviolet, sinar X dan spektograf. Terkhusus di Indonesia yang dalam hal ini adalah laboratorium forensik Polri, memberikan pelayanan bagi aparat penegak hukum serta masyarakat umum yang memerlukan jasa pemeriksaan/pelayanan umum untuk mendapatkan rasa keadilan dan atau keperluan lainnya. Jenis-jenis pelayanan yang diberikan laboratorium forensik Polri sebagai berikut : A. Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik (Biddokupalfor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan
19
Musa Perdanakusuma, Op. cit, halaman 112.
14
pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti dokumen (tulisan tangan, tulisan ketik, dan tanda tangan), uang palsu (uang kertas RI, uang kertas asing, dan uang logam) dan produk cetak (produk cetak konvensional, produk cetak digital, dan cakram optik) serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik. B. Bidang Balistik dan Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti senjata api (senjata api, peluru dan selongsong peluru), bahan peledak (bahan peledak, komponen-komponen bom, dan bom pasca ledakan (post blast) ) dan metalurgi (bukti nomor seri, kerusakan logam), dan kecelakaan konstruksi serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik. C. Bidang Fisika dan Komputer Forensik (Bidfiskomfor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti uji kebohongan (lie detector), jejak, radioaktif, konstruksi bangunan, peralatan teknik, kebakaran/pembakaran, dan komputer (suara dan gambar (audio/video), komputer & telepon genggam (computer & mobile phones), dan kejahatan jaringan internet/intranet (cyber network) serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik. D. Bidang Kimia, Toksikologi, dan Biologi Forensik (Bidkimbiofor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan laboratoris kriminalistik barang bukti kimia (bahan kimia yang
15
belum diketahui (unknown material), dan bahan kimia produk industri), biologi/serologi (serologi, biologi molecular, dan bahan-bahan hayati) dan toksikologi atau lingkungan hidup (toksikologi, mikroorganisme, dan pencemaran lingkungan hidup), serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik. E. Bidang
Narkotika,
Psikotropika
dan
obat
berbahaya
forensik
(Bidnarkobafor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti narkotika (narkotika bahan alam, bahan sintesa & semi sintesa, dan cairan tubuh), psikotropika (bahan & sediaan psikotropika, laboratorium illegal (clandestine labs) bahan psikotropika) dan obat (bahan kimia obat berbahaya, bahan kimia adiktif, dan prekursor). Serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik. Jenis pelayanan Laboratorium Forensik Polri tersebut di sajikan dalam bentuk produk pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri yang dikategorikan sesuai kepentingannya. Untuk kepentingan peradilan (pro justicia), jenis pelayanan ini hanya diberikan berdasarkan permintaan dari Aparat Penegak Hukum (Polri, Jaksa, Hakim, POM TNI, PPNS dan instansi terkait lainnya) dalam rangka proses penegakan hukum (Tahap Penyidikan, Penuntutan serta Peradilan) untuk suatu Perkara Pidana dalam bentuk berita acara pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti. Untuk kepentingan non peradilan (non justicia), jenis pelayanan ini dapat diberikan kepada / diminta masyarakat dalam rangka proses penegakan aturan internal
16
kelompok / masyarakat atau untuk meredam terjadinya konflik atau untuk kepentingan terapi (bukan kepentingan penegakan hukum). Biasanya dilakukan untuk suatu Perkara Perdata, Perkara dalam rumah tangga atau kepentingan terapi apabila ada kecurigaan terhadap anggota keluarga yang diduga terlibat narkoba, dalam bentuk surat keterangan pemeriksaan contoh uji. 20 Menurut James W. Osterberg, bahwa kriminalitas adalah suatu profesi dan disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengenal, identifikasi, individualisme dan evaluasi bukti-bukti fisik dengan jalan menerapkan ilmu-ilmu dalam masalah hukum dan ilmu. 21 Dengan demikian bukti-bukti fisik dengan penilaiannya, secara ilmu merupakan bidang kriminalistik. Berikut ini kita juga akan melihat apa yang dikemukakan oleh Goenawan Gotomo, bahwa kriminalistik adalah ilmu yang dapat dipakai untuk mencari, menghimpun, menyusun bahan-bahan guna peradilan. Identifikasi menurut kriminalistik ditujukan kepada teori dasar bahwa semua objek dapat dibagi dan kemudian dibagi lagi atas sub yang didasarkan kepada keadaan objek itu. Ini berarti apakah suatu obyek menjadi bagian atau sub bagian sesuatu. Sidik jari, tanda-tanda, bekas-bekas, noda darah, rambut, gas dan sebagainya dapat diklasifikasikan. Misalnya, di tempat kejadian perkara (TKP) terdapat bagian-bagian tersebut, maka hal ini dapat menjadi bahan yang sangat berharga, bagian-bagian atau sub
20
Diakses dari situs http : //warta.labfor.blogspot/Mengenal-lebih-dekat-puslabforbareskrim-polri.html. Diakses pada Minggu, 04 Mei 2014 pukul 13.34 WIB. 21 Andi Hamzah, Pengusutan Perkara Kriminal Melalui Sarana Teknik dan Sarana Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986 halaman 12.
17
bagian itu berasal dari mana. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kriminalistik berkaitan dengan keadaan atau asal sesuatu. Jika terdapat darah, maka ahli kriminalistik dihadapkan pada pertanyaan yang harus dijawabnya, darah itu berasal dari mana. Jika sebuah peluru ditemukan pada tubuh korban, ahli tersebut harus menjawab peluru itu berasal dari senjata apa dan yang mana. Jika suatu potongan tulang itu tulang manusia atau binatang, kalau sudah dipastikan bahwa itu tulang manusia maka diperiksa umur berapa orang itu, tingginya berapa, tentu semua itu semua itu berguna bagi suatu identifikasi. Identifikasi melalui buktibukti fisik ini sering sangat menyulitkan tersangka untuk melepaskan diri atau membela diri. Pemeriksaan laboratories ini akan membantu terungkapnya suatu tindak pidana yang telah terjadi, karena barang bukti ini tidak dapat berbohong sedangkan alat bukti berupa keterangan saksi dan keterangan tersangka atau terdakwa dapat saja berbohong atau disuruh berbohong. halaman ini sesuai dengan pendapat Musa Perdana Kusuma adalah sebagai berikut : 22 a. Tidak semua peristiwa kejahatan disaksikan oleh saksi mata. b. Saksi mata dapat berbohong atau disuruh berbohong. c. Bukti fisik yang jumlahnya tidak terbatas yang tidak dapat berbohong atau disuruh untuk berbohong karena sifatnya dan bukti fisik. Tujuan selanjutnya dari laboratorium forensik adalah untuk diri penjahat dan masyarakat. Oleh karena itu bagaimanapun cermatnya melakukan kejahatan,
22
Musa Perdanakusuma, Op. cit, halaman 110.
18
kemungkinan barang bukti tetap ada. Barang bukti inilah yang akan diperiksa secara laboratories oleh pihak laboratorium forensik. Kejahatan yang terungkap melalui pemeriksaan barang bukti, secara physikologi masyarakat akan berpikir bila akan melakukan kejahatan. Dengan berfungsinya laboratorium forensik secara efektif, masyarakat akan mengalami perkembangan dalam arti perkembangan prilaku dalam masyarakat. Dengan demikian tatanan hukum dalam proses perkembangannya lambat laun diharapkan tercermin dalam jiwa para individu sebagai anggota masyarakat. Didalam sistem pembuktian, praktek harus menemukan hal-hal yang harus diperiksa, lebih dahulu adalah penelitian terhadap zat, kotoran, atau jenis rambut, bekas noda darah dan sebagainya. Kegiatan penyidikan dengan menggunakan laboratorium telah dikenal orang sejak tahun 1920. Para ahli yang bertugas di dalam laboratorium tersebut biasanya menghadapi masalah-masalah yang menyangkut pembunuhan, misalnya usaha untuk mempelajari sebab- sebab kematian atau mengenai sifat daripada yang digunakan untuk mematikan korban ataupun penelitian mengenai bubuk-bubuk yang mengandung narkotika atau jenis-jenis candu atau minuman keras dan racun. Penelitian demikian itu akan dipergunakan sebagai dasar penuntutan dan bilamana mampu memberikan keyakinan kepada hakim, maka berdasar itu pula putusan hakim dapat dijatuhkan. Menurut Klotter-Meier bahwa : 23 “Laboratorium kriminal menjadi demikian penting oleh karena tidak semua terdakwa melakukan pengakuan atas perbuatan yang dibuatnya. Oleh karena itu pembuktian-pembuktian dilakukan dengan menggunakan ahli-ahli yang 23
Bawengan, G.W, Penyelidikan Perkara Pidana dan Teknik Introgasi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989, halaman 137.
19
berkecimpung di dalam dunia laboratorium kriminal. Sama halnya dengan ahliahli di bidang lain, maka keahlian pada laboratorium kriminal setelah mengikuti pendidikan khusus, kemudian latihan-latihan serta pengalaman.” Kematian yang disebabkan karena kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan adalah merupakan permasalahan yang harus dapat dijawab, dibuat terang dan jelas oleh dokter dan khususnya oleh penyidik. Kejelasan tersebut memang diperlukan dan harus diusahakan oleh karena baik kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan membawa implikasi yang berbeda-beda, baik ditinjau dari sudut penyidikan maupun dari sudut proses peradilan pada umumnya. Kematian karena kecelakaan (accidental death) dan bunuh diri masih merupakan dalam ruang lingkup penyidikan. Dalam kasus kecelakaan dan bunuh diri penyidik sering kali dihadapkan dengan kasus dimana tanda-tanda kekerasan jelas terlihat akan tetapi tidak ada satu petunjuk pun atau tanda-tanda yang mengarah adanya unsur-unsur kriminal sebagai penyebab kecelakaan itu sendiri. 24 Dalam kasus-kasus kematian yang merupakan kejahatan, yakni kasus pembunuhan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan kasus kematian yang disebabkan oleh perbuatan kelalaian, masalah kematian merupakan masalah yang paling utama yang harus diungkapkan, oleh karena kasus-kasus tersebut baru terjadi apabila korbannya mengalami kematian. Selain daripada itu, pengungkapan kapan masalah-masalah yang bertalian dengan kematian tersebut, merupakan dasar bagi penyelesaian perkara pidana yang bersangkutan, baik penyidikan maupun penuntutan dan peradilan.
24
Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomarnoto, Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan, CV. Agung Seto, Jakarta, 2011, halaman 53.
20
Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh, atau perbuatan membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Dalam KUHP, ketentuanketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain ini dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa). Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari suatu peristiwa itu adalah adanya niat yang diwujudkan melalui perbuatan yang dilakukan sampai selesai. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi: a.
Pertama, Pembunuhan Biasa Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana
dalam bentuk pokok (Doodslag In Zijn Grondvorm), yaitu delik yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan Pasal 338 KUHP adalah: “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” Sedangkan Pasal 340 KUHP menyatakan:
21
“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.” Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana penjara paling lama lima belas tahun. Disini disebutkan paling lama jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan sanksi pidana kurang dari lima belas tahun penjara. Dari ketentuan dalam pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam pembunuhan biasa adalah sebagai berikut : Unsur subyektif : Perbuatan dengan sengaja. Dengan sengaja (Doodslag) artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte rade). Unsur obyektif : Perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain. Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu menghilangkan, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain.
22
Berkenaan dengan nyawa orang lain maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuh. Terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal, meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP. Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan pelaku. Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat dipertanggungjawabkan. b.
Pembunuhan Dengan Pemberatan (Gequalificeerde Doodslag) halaman ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Perbedaan dengan pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah: “diikuti, disertai,
atau didahului oleh kejahatan.” Kata diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. c.
Pembunuhan Berencana (Moord) Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, unsur-unsur pembunuhan
berencana adalah; unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan
23
direncanakan terlebih dahulu, unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain. Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya, maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat dari pada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana paling berat, yaitu pidana mati, di mana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya hukuman ini adalah adanya perencanaan terlebih dahulu. Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. d.
Pembunuhan yang Dilakukan dengan Permintaan yang Sangat dan Tegas oleh Korban Sendiri. Jenis kejahatan ini mempunyai unsur khusus, atas permintaan yang tegas
(uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh/ nyata (ernstig). Tidak cukup hanya dengan persetujuan belaka, karena hal itu tidak memenuhi perumusan Pasal 344 KUHP. e.
Pembunuhan tidak sengaja. Tindak pidana yang dilakukan dengan tidak sengaja merupakan bentuk
kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 359 KUHP. Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini ada dua macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa
24
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Ketidaksengajaan (alpa) adalah suatu perbuatan tertentu terhadap seseorang yang berakibat matinya seseorang. Bentuk dari kealpaan ini dapat berupa perbuatan pasif maupun aktif. Dengan demikian di dalam penyelesaian perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia seperti kasus pembunuhan yang menyebabkan kematian pemeriksaan laboratorium forensik mutlak diperlukan, karena proses penegakan hukum dan keadilan itu merupakan usaha yang ilmiah, dapat dilihat dari pasal - pasal yang tercantum di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana terdapat dalam bentuk keterangan ahli, pendapat seorang ahli, ahli kedokteran kehakiman, dokter dan surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya (KUHAP Pasal 187 butir c). 25 Visum et Repertum yang merupakan surat keterangan dari surat keterangan dari seorang ahli (dokter), termasuk alat bukti surat sesuai dengan Pasal 184 ayat 1 KUHAP, sedangkanalat bukti keterangan ahli, ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan. 26 Istilah Visum et Repertum berasal dari bahasa latin yaitu Visum yang artinya something seen, appearance (sesuatu yang dilihat), et yang artinya and (dan), Repertum yang artinya invention, find out (ditemukan). Jadi Visum et Repertum adalah apa-apa yang dilihat dan ditemukan pada korban. Dalam pengertian bebas 25
Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik, CV. Sagung Seto, Jakarta, 2009, halaman 9. 26 Ibid, halaman 9.
25
adalah keterangan tertulis dari seorang dokter atas sumpah jabatannya dengan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, mengenai apa yang dilihat dan/atau ditemukan pada barang bukti baik orang hidup atau mati untuk kepentingan peradilan (pro justitia). 27 Terdapat 2 macam jenis Visum et Repertum, yaitu : 28 a.
Untuk korban hidup 1) Visum et Repertum Diberikan kepada korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. Jadi jelasnya diberukan kepada korban yang tidak mengalami halangan untuk mengerjakan perkerjaan sehari-hari atau tidak perlu masuk rumah sakit. Dalam Visum et Repertum ini pada kesimpulannya digolongkan pada luka dalam kualifikasi C (sesuai dengan penganiayaan ringan). Dalam Visum et Repertum dokter sama sekali tidak boleh menulis kata “penganiayaan” dalam kesimpulannya, karena istilah penganiayaan adalah istilah hukum. 2) Visum et Repertum sementara Diberikan setelah pemeriksaan dan ternyata korban perlu diperiksa atau dirawat lebih lanjut, baik di rumah sakit maupun di rumah. Jadi apabila seseorang penderita masih dipandang perlu oleh dokter untuk mendapat pengawasan daripadanya, maka dibuatlah Visum et Repertum sementara. Visum et Repertum sementara ini dipergunakan sebagai bukti menahan terdakwa. Pada kesimpulan Visum et Repertum sementara tidak 27 28
H. R. Abdussalam, Op. cit, halaman 6. Ibid, halaman 20.
26
dicantumkan kualifikasi daripada luka karena masih dalam pengobatan atau perawatan belum selesai. 3) Visum et Repertum lanjutan Diberikan setelah korban (1) Sembuh; (2) meninggal; (3) pindah rumah sakit; (4) pindah dokter. Kualifikasi luka dalam Visum et Repertum lanjutan setelah penderita selesai dirawat. Jadi pada korban yang belum sembuh dan pindah ke dokter lain kualifikasi luka tidak tercantum. b.
Untuk korban mati Disebut Visum et Repertum jenazah, dengan tujuan pokok menentukan
sebab kematian dan cara kematian. Untuk menentukan sebab kematian harus dilakukan pemeriksaan terhadap semua organ tubuh, jadi harus dilakukan Otopsi. Tanpa melakukan otopsi tidak mungkin menentukan sebab kematian yang pasti. Jika semua organ belum diperiksa, hasilnya masih “suspect”. Visum et Repertum jenazah yang dibuat tanpa otopsi akan menjelekkan nama dokter pembuatnya sendiri. Dalam Visum et Repertum korban yang hidup perlu dikualifikasi luka. Dalam Visum et Repertum korban yang mati harus disebut sebab kematian, misalnya kematian korban disebabkan oleh karena luka tusukan yang mengenai jantung, luka tembak yang mengenai otak dan sebagainya. Susunan Visum et Repertum dapat dibagi dalam 5 bagian : 1) Bagian I, pada lembar kertas sebelah kiri atas selalu dicantumkan kata “pro justitia”. Dengan mencantumkan kata ini, maka Visum et Repertum tidak perlu ditulis diatas kertas bermaterai.
27
2) Bagian II, bagian ini merupakan bagian pendahuluan yang berisi keterangan-keterangan. Keterangan
tentang permohonan
Visum et
Repertum (identitas Visum et Repertum), yaitu nama pemohon, pangkat, kesatuan, alamat dan sebagainya. Kemudian keterangan tentang dokter yang membuat Visum et Repertum, nama, jabatan, alamat, dan sebagainya. Terakhir, identitas dari korban yang diperiksa : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dan sebagainya. 3) Bagian III, bagian ini berisi tentang pemberitaan. Bagian ini merupakan bagian yang terpenting daripada Visum et Repertum karena berisi keterangan mengenai apa yang ditemukan pada korban oleh dokter yang memeriksa. Dalam bagian ini semua keterangan ditulis seobjektifobjektifnya dan dengan kata-kata yang mudah dimengerti bukan hanya dimengerti oleh dokter saja, melainkan juga oleh hakim. Dalam bagian ini tidak boleh dipergunakan istilah dalam bahasa lain atau istilah kedokteran lainnya. Singkatan kata dan angka harus ditulis penuh, misalnya cc harus ditulis dengan centimeter kubik, 5 harus ditulis “lima”. Dalam pemberitaan ini juga tidak boleh dibuat suatu diagnosa. Misalnya, untuk luka tidak boleh menyebut luka tembak, luka iris atau luka tusuk, tapi harus dilukiskan dengan kata-kata sebagaimana bentuk lukanya, seperti : luka berbentuk bulat atau lonjong, pinggir rata, ujung runcing dan sebagainya. 4) Bagian IV, bagian ini merupakan kesimpulam. Suatu kesimpulan harus dibuat berdasarkan logika sehingga dari bagian pemberitaan jelas hubungan sebab dan akibatnya. Dalam bagian ini harus disebutkan jenis
28
luka dan jenis kekerasan, seperti luka memar yang sebabkan oleh persentuhan dengan benda tumpul, luka iris, tusuk, bacok yang disebabkan oleh karena persentuhan dengan benda tajam, dan luka tembak yang yang disebabkan anak peluru dari belakang. 5) Bagian V, merupakan bagian terakhir dari pada Visum et Repertum dan memuat sumpah atau janji sesuai dengan sumpah jabatan, misalnya, Demikian Visum et Repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan. Setelah itu diikuti dengan tanda tangan dan nama jelas dari dokter yang membuat Visum et Repertum, yang diletakkan di sebelah kanan bawah. Seperti yang disampaikan sebelumnya, selain mengeluarkan visum et Repertum, pada tingkat peradilan dokter dapat diminta untuk memberikan keterangan (keterangan ahli). Pada tahap pemeriksaan di pengadilan, baik jaksa penuntut umum maupun penasehat hukum terdakwa dapat menghadirkan saksi atau ahli dengan ijin hakim. Keterangan ahli adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dan pengetahuannya itu. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 116 KUHAP). 29
29
Abdul Mun’im Idries, Agung Legowo Tjiptomarnoto, Op. cit, halaman 260-261.
29
Dalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli adalah apa yang seseorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Jadi Pasal tersebut tidak menjawab siapa yang disebut ahli dan apa itu keterangan ahli. Pada penjelasan Pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal ini. Dikatakan : 30 “Keterangan seorang ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim”. Tidak diberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan keterangan ahli oleh KUHAP, dalam Pasal 343 Ned. Sv. Misalnya diberikan definisi apa yang dimaksud dengan keterangan ahli, yaitu pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. 31 Jadi, dari keterangan tersebut diketahui bahwa apa yang dimaksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) diperluas pengertiannya oleh HR yang meliputi kriminalistik, sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu tulisan, ilmu senjata, pengetahuan sidik jari, dan sebagainya termasuk pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) menurut pengertuan Pasal 343 Ned. Sv. tersebut. Oleh
30
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, 1985, halaman 249. 31 Ibid, halaman 250.
30
karena itu, sebagai ahli yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus. 32 Sebagai suatu perbandingan, dapat dibaca pada California Evidence Code definisi tentang “seorang ahli” sebagai berikut : 33 A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates. (Seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya). Isi keterangan saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu. Tetapi kadang-kadang seorang ahli merangkap pula sebagai saksi. KUHAP menentukan bahwa saksi wajib mengucapkan sumpah (Pasal 160 ayat (3), tanpa menyebutkan ahli. Tetapi Pasal 161 ayat (1) dikatakan : “Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji…” disinilah dapat dilihat bahwa ahli yang dimintai keterangannya
tersebut
harus
mengucapkan
sumpah
atau
janji.
Pada
penjelasannya ayat (2) Pasal tersebut dikatakan : “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
32 33
Ibid. Ibid.
31
yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim”. 34 3.
Kebijakan Hukum Pada Tindak Pidana Pembunuhan Dikatikan Dengan Hasil Pemeriksaan Labfor Dalam Proses Pembuktian di Pengadilan Apabila suatu perkara pidana telah selesai disusun surat dakwaannya, maka
perkara
tersebut
diajukan
ke
pengadilan. KUHAP
membedakan
acara
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Terdapat tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan. Pertama, pemeriksaan perkara biasa; kedua, pemeriksaan singkat; dan ketiga pemeriksaan cepat. Pemeriksaan cepat dibagi lagi atas pemeriksaan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. 35 Dasar titik tolak pembedaan tata cara pemeriksaan ditinjau dari segi jenis tindak pidana yang akan diadili pada satu segi, dan dari segi mudah atau sulitnya pembuktian perkara. 36 Di Indonesia, ditinjau dari segi pengaturannya, acara pemeriksaan biasa yang paling utama dan paling luas pengaturannya. halaman ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam acara pemeriksaan biasa inilah dilakukan pemeriksaan perkara-perkara tindak pidana kejahatan berat seperti pembunuhan, sehingga fokus pengaturan acara pemeriksaan pada umumnya terletak pada ketentuanketentuan yang diatur dalam pasal - pasal acara pemeriksaan biasa. Inti dari pemeriksaan persidangan adalah proses pembuktian, dimana proses ini akan menentukan apakah seorang terdakwa terbukti atau tidak terbukti 34
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman
35
Ibid, halaman 232. Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2013, halaman
274. 36
173.
32
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau perbuatan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP ditambah dengan adanya kemampuan bertanggungjawab terdakwa atas perbuatannya, terdakwa dinyatakan bersalah kepadanya dan kepadanya dijatuhi hukuman. Berbicara tentang pembuktian, setidaknya terdapat beberapa sistem pembuktian, baik yang pernah berlaku maupun yang masih berlaku sampai dengan saat ini. Sistem pembuktian tersebut antara lain : 37 a.
Conviction in time, yang artinya sistem pembuktian dimana proses menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian hakim. Hakim tidak terikat oleh macam-macam alat bukti yang ada, hakim memakai alat bukti tersebut untuk memperoleh keyakinan atas terdakwa, atau mengabaikan alat bukti tersebut dengan hanya menggunakan keyakinannya yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pengakuan terdakwa;
b.
Conviction in raisonee, sistem pembuktian yang menekankan pada keyakinan hakim berdasarkan alasan yang jelas. Jika sistem pembuktian conviction in time memberikan keleluasaan kepada hakim tanpa adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sistem pembuktian conviction in raisonee memberikan batasan keyakinan hakim tersebut haruslah berdasarkan
37
Ibid, halaman 174
33
alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa; c.
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, maksudnya adalah bahwa pembuktian hanya dapat disimpulkan dari alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tanpa adanya campur tangan keyakinan hakim. Ketika perbuatan terdakwa dapat dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang ada, maka terdakwa dinyatakan bersalah, dan oleh karenanya dijatuhi hukuman, sebaliknya, ketika alat bukti tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa, maka terdakwa dinyatakan tidak bersalah. Dalam sistem ini, hakim seolaholah hanyalah mesin pelaksana undang-undang yang tidak memiliki nurani tidak turut serta dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa;
d.
Pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem pembuktian ini adalah sistem pembuktian campuran antara conviction in raisonee dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Rumusan dari sistem pembuktian ini adalah, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. KUHAP secara tegas mengacu pada sistem pembuktian menurut undang-
undang secara negatif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 193 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
34
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 38 Apabila hakim memandang pemeriksaan alat-alat bukti sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum untuk membuat tuntutannya, dan setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya yang memberikan pembelaannya. Jika acara tersebut selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. 39 Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan. Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Dalam ayat berikutnya (ayat 6) Pasal 182 KUHAP tersebut diatur bahwa sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jka hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh dan tidak dapat dicapai, maka ditempuh dengan dua cara, yaitu : a.
Putusan diambil dengan suara terbanyak;
b.
Jika yang dimaksudkan pada huruf a tidak juga diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. 38 39
Ibid, halaman 176. Andi Hamzah, Op. cit, halaman 278.
35
Dalam sistem peradilan pidana dikenal adanya macam-macam putusan, yaitu: 40 a.
Putusan yang bersangkutan dengan adanya keberatan (eksepsi) Penasehat Hukum, dasar hukum keberatan (eksepsi) penasehat hukum terdapat dalam Pasal 156 KUHAP. Keberatan penasehat hukum yang diajukan dalam persidangan dengan alasan : 1) Tentang pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya. Kewenangan (kompetensi) pengadilan didalam mengadili dibagi menjadi dua, yaitu : Kompetensi absolut, yaitu kewenangan yang menyangkut lingkungan peradilan mana yang bisa mengadili suatu tindak pidana. Dalam perkara pidana, kewenangan absolut menyangkut lingkungan peradilan umum (Pengadilan Negeri) dengan lingkungan Peradilan Militer (Mahkamah Militer), yang berhak mengadili sengketa adalah Mahkamah Agung (Pasal 151 ayat (2) KUHAP). Kompetensi relatif, yaitu kewenangan yang menyangkut pengadilan mana, dalam suatu lingkungan peradilan yang bisa mengadili suatu persoalan hukum. Masalah kewenangan relatif diatur dalam Pasal 84 KUHAP. Putusan seperti ini bisa muncul akibat dari jika dua pengadilan atau lebih menyatakan diri berwenang mengadili atas perkara yang sama dan jika dua pengadilan atau lebih menyatakan diri tidak berwenang mengadili atas perkara yang sama. 40
Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, halaman 117.
36
2) Putusan tentang dakwaan tidak dapat diterima, putusan tersebut berkaitan erat dengan ketidakwenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Misalnya tidak adanya pengaduan dalam tindak pidana aduan. Putusan mengenai dakwaan tidak dapat diterima juga bisa terjadi karena para saksi tidak bisa dihadirkan sama sekali. 3) Putusan dakwaan batal demi hukum, berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yang menyangkut syarat material surat dakwaan, yaitu uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana tersebut dilakukan terdakwa. Apabila surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat material, maka surat dakwaan tersebut batal demi hukum (Pasal 143 ayat (3) KUHAP). b.
Putusan yang menyangkut pokok perkara; 1) Putusan Pemidanaan, dasar hukum pemidanaan diatur dalam Pasal 193 KUHAP. Putusan pemidanaan timbul akibat terdakwa didalam persidangan terbukti bersalah melakukan perbuatan-perbuatan, dan perbuatan
tersebut
merupakan
tindak
pidana
yang
didakwakan
kepadanya. Syarat putusan yang berisi pemidanaan diatur dalam Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. 2) Putusan bukan pemidanaan, dasar hukum putusan bukan pemidanaan tergolong dalam 3 jenis putusan, yaitu : Putusan bebas, dasar hukum putusan bebas terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Putusan bebas dari dakwaan disebabkan karena terdakwa
37
dalam pemeriksaan persidangan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan. Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Yurisprudensi pertama mengenai hal ini terdapat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 532K/Pid/1984, tanggal 29 Januari 1985. Putusan lepas dari tuntutan pidana dalam KUHAP, dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Putusan seperti ini disebabkan terdakwa terbukti melakukan perbuatan, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana. Putusan lepas dari tuntutan pidana dalam KUHP, dasar hukum putusan tersebut terdapat dalam Pasal 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Putusan tersebut disebabkan karena adanya alasan pemaaf dan pembenar. Didalam persidangan terdakwa terbukti melakukan perbuatan tindak pidana, tetapi tidak dijatuhi pidana karena ada alasan pemaaf atau pembenar. Adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) akan mengakibatkan sifat melawan hukum terdakwa. Alasan pembenar secara umum adalah daya paksa relatif dan keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP), menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP), dan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP). Alasan pembenar secara khusus, terdapat dalam Pasal 186, Pasal 310 ayat (3) dan Pasal 314 KUHP.
38
Adanya alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) akan mengakibat menghilangkan pertanggungjawaban atau kesalahan terdakwa. Alasan pemaaf secara umum seperti daya paksa mutlak melampaui keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP), dan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi terdakwa mengira perintah jabatan tersebut sah (Pasal 51 ayat (2) KUHP). Alasan pemaaf secara khusus terdapat dalam Pasal 110 ayat (4), Pasal 166 dan Pasal 221 ayat (2) KUHP. c.
Putusan yang berkaitan dengan ketidakhadirannya saksi dan terdakwa, dalam praktek peradilan sering kali terdakwa atau saksi tidak bisa dihadirkan dalam persidangan oleh penuntut umum. Ketidakhadiran terdakwa atau saksi tersebut
akan
menyebabkan
suatu
kasus
menjadi
terkatung-katung
penyelesaiannya. 1) Terdakwa tidak dapat dihadirkan dalam persidangan pengadilan, hal ini bisa terjadi dikarenakan tidak dilakukan penahanan kepadanya. Tidak dilakukan penahanan tersebut, antara lain bisa terjadi karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan (4) KUHAP. Berdasarkan hal tersebut maka dikeluarkan SEMA Nomor 1 Tahun 1981 (tanggal 22 Januari 1981) yang pada pokok nya berisi : “Dalam hal perkara yang diajukan oleh jaksa, terdakwanya sejak semula tidak hadir dan sejak semula tidak ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadapkan di persidangan, perkara demikian dinyatakan tidak dapat diterima”. Putusan
39
yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri berbunyi, “Penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”. 2) Saksi tidak dapat dihadirkan di persidangan, ketidakhadiran saksi terjadi karena
sesuatu
misalnya
disebabkan
karena
sesudah
dilakukan
pemeriksaan di depan penyidik, ternyata seluruh saksi tersebut menghilang dan tidak bisa ditemukan, maka mengacu pada SEMA Nomor 1 Tahun 1981, maka bunyi putusan pengadilan negeri adalah, “Surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima”. E. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini adalah murni dan benar-benar berasal dari pemikiran penulis dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari dalam diri penulis bahwa terhadap judul yang diperlukannya suatu pembahasan yang lebih dalam, keaslian penulisan ini dapat dibuktikan karena sebelum penulisan ini berlangsung penulis telah melakukan pengecekan terhadap judul ini terlebih dahulu Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara apakah judul ini pernah dibahas sebelumnya atau tidak, hasil dari pengecekan tersebut adalah penulis telah mendapat persetujuan dari pihak perpustakaan dan jurusan bahwasanya judul ini dapat dilanjutkan penulisannya. F. Sistematika Penulisan Penelitian dan penulisan skripsi ini terdiri dari bab dan sub bab yang terbagi kedalam lima bab. Lima bab yang terkandung dalam skripsi ini meliputi :
40
BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini terdapat uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah,
manfaat
dan
tujuan
penelitian,
tinjauan
pustaka
(pengaturan
laboratorium forensik di Indonesia, peranan laboratorium forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan, pembuktian tindak pidana pembunuhan dalam putusan pengadilan dikaitkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik), keaslian penulisan dan sistematika penulisan. BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA Dalam bab ini mempunyai pembahasan mengenai Peraturan Kapolri Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Mabes Polri, Perkap Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik TKP Dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Polri dan kaitan forensik dengan hukum pidana materil (KUHP) serta kaitan forensik dengan hukum pidana formil (KUHAP). BAB III PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Dalam bab ini membahas tentang objek pemeriksaan laboratorium forensik dalam kasus pembunuhan, peranan pemeriksaan laboratorium forensik pada tingkat penyidikan, peranan pemeriksaan laboratorium forensik pada tingkat pengadilan, dan contoh kasus pembunuhan dalam kaitannya dengan hasil pemeriksaan laboratorium forensik.
41
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PADA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DIKAITKAN
DENGAN
HASIL
PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
FORENSIK DALAM PROSES PEMBUKTIAN DI PENGADILAN Dalam bab ini membahas tentang sistem pembuktian perkara pidana menurut hukum acara pidana di Indonesia serta analisis putusan tentang kebijakan hukum yang diberikan oleh majelis hakim pengadilan dengan adanya hasil pemeriksaan laboratorium forensik dalam memberikan alat-alat bukti dalam putusannya pada pemeriksaan di pengadilan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bagian akhir yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran dari hasil penulisan.
42