BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kejahatan kerah putih (white-collar crime) merupakan kejahatan yang sulit terdeteksi. Kejahatan ini dilakukan dengan terencana, terstruktur, dan dilakukan oleh seseorang yang ahli dan memiliki power atau kekuasaan. Sedangkan kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat dari kejahatan ini tidak dapat terlihat secara langsung seperti tindakan kejahatan pada umumnya yang memiliki bukti kejahatan (evidence) jelas. Kejahatan kerah putih umumnya melibatkan suatu skema fraud meliputi korupsi, penyalahgunaan aset, dan fraud pada laporan keuangan (Tuanakotta, 2010). Menurut bahasa, kecurangan (fraud) diartikan sebagai seputar kerugian (harm), kesalahan (wrongdoing) dan penipuan (deceit) (Silverstone dan Sheetz, 2007). Kecurangan merupakan tindakan merugikan yang sengaja dirancang untuk menipu atau menyesatkan pihak lain dan dapat mengakibatkan salah saji material yang merupakan subyek dari audit (Arens dan Loebecke, 2000; AICPA,2002). Dalam perusahaan atau organisasi, kecurangan berupa penyalahgunaan aset, manipulasi laporan keuangan dan korupsi dapat membahayakan keberlangsungan organisasi itu sendiri maupun para pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. The Association Certified Fraud Examiners (ACFE) organisasi yang berfokus pada pencegahan kecurangan di Amerika menyebutkan, organisasi menderita 1
kerugian sebesar 5% dari revenue setiap tahun akibat kecurangan. Apabila diestimasikan dengan Gross World Product 2013 potensi kerugian akibat kecurangan secara global mencapai $ 3,7 Triliun (ACFE, 2014). Apabila dikonversikan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia, estimasi kerugian 5% dari PDB merupakan jumlah yang tidak sedikit. Jika menurut bank dunia saja PDB Indonesia pada tahun 2013 adalah $868,346 juta, maka hal ini memungkinkan Indonesia memiliki potensi kerugian akibat kecurangan lebih dari $43,417 juta atau setara dengan 580 triliun rupiah (Prabowo, 2015). Besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh kecurangan, membuat masalah kecurangan tidak bisa dianggap sebagai persoalan yang ringan. Pengelolaan keuangan negara sama halnya dengan di sektor swasta, tidak terlepas dari risiko terjadinya kecurangan. Berbagai kasus kecurangan seperti korupsi, manipulasi laporan keuangan, dan penggelapan aset juga dapat terjadi pada lingkungan pemerintahan. Sejumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia hingga 2015 belum mendapatkan titik terang. Kasus-kasus tersebut menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit. Diantaranya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Bank Century, kasus wisma atlet Hambalang, kasus dana ibadah haji, dan masih banyak lagi, dimana seluruhnya menyangkut nama-nama pejabat publik. Akibat kasus BLBI, hingga tahun 2013, negara masih harus membayar bunga subsidi sekitar 60 triliun rupiah per tahun (www.nasional.kompas.com). Hingga pada tahun 2015 negara telah dirugikan hingga 2.000 triliun rupiah, dari nilai awal pada tahun 1998 sebesar 650 triliun rupiah (www.jawapos.com). Padahal menurut
2
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2000, terdapat kebocoran penyaluran dana BLBI sekitar 95,78 persen. Demikian pula dengan kasus dana talangan bank Century, menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, total kerugian negara dari kasus ini mencapai 7,4 triliun rupiah (www.news.liputan6.com). Sedangkan kasus korupsi wisma atlet Hambalang, kerugian yang dilaporkan mencapai 463,66 milyar rupiah. Sementara yang masih berlanjut hingga saat ini, kasus korupsi dana ibadah haji, diperkirakan menimbulkan potensi kerugian negara sebesar 1,8 triliun rupiah. Transparency International (TI) tahun 2014 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat transpansi rendah. Melalui Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh TI, Indonesia berada pada peringkat 107 dari 175 negara. Demikian pula dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan survei pada kementrian dan lembaga pemerintah pada tahun 2014, mendapati bahwa indeks potensi integritas memiliki skor rata-rata sebesar 6,85 dari skala satu hingga sepuluh. Meskipun telah mencapai indeks di atas standar yang telah ditetapkan oleh KPK yaitu sebesar 6,00, namun integritas pada sektor publik tersebut dinilai masih kurang (Tuanakotta, 2014). UU No.7 Tahun 2003 tentang keuangan negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara menyebutkan perlu dilakukan pemeriksaan oleh suatu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri. Berdasarkan undangundang tersebut maka mengamanatkan pemeriksaan yang independen kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).
3
Keberadaan BPK RI dalam mengawasi pengelolaan keuangan negara sangat diharapkan oleh masyarakat saat ini. Masyarakat memiliki harapan yang tinggi kepada badan pemeriksa mengingat isu mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi masih harus terus dilakukan dengan maksimal. Korupsi di sektor publik merupakan masalah serius dalam ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapi saat ini. Bahaya yang ditimbulkan oleh korupsi di sektor publik dijelaskan oleh The International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI) bersama United Nations (PBB): ―While corruption is a problem affecting practically all aspects of life, it is of greater concern in the public sector. Bureaucratic corruption generates inefficiency, undermines democracy and the rule of law, distorts national and international trade, jeopardizes sound governance and ethics in the private sector, and threatens domestic and international security. Corruption has dire global consequences as well, trapping millions in poverty and misery, and potentially breeding social, economic, and political unrest. Also, corruption is both a cause of poverty and a barrier to overcoming it.‖
Demikian pula
korupsi
di
negara
berkembang menimbulkan
berbagai
permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan yang lebih luas. Lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, penurunan produktivitas, rendahnya kualitas barang dan jasa bagi publik, menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak, meningkatnya utang negara (Yuwanto, 2015). Hal ini kemudian dapat menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan kemiskinan masyarakat. Oleh sebab itu pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor publik harus dilakukan secara maksimal. BPK RI memiliki peran penting dalam mengawal dan mengawasi pengelolaan keuangan negara.
4
Kemampuan mendeteksi kecurangan merupakan hal harus dimiliki oleh seorang auditor karena menunjukkan sejauh mana kualitas audit yang dilakukan. De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Namun demikian, seringkali auditor tidak mampu mendeteksi kecurangan. Dye (2007) menyebutkan kecurangan lebih mudah untuk dicegah daripada dideteksi. Dalam praktik audit, antara kesalahan (error) dengan kecurangan seringkali sulit untuk dibedakan. Diperlukan teknik audit khusus untuk memastikan bahwa salah saji material yang terjadi adalah benar-benar merupakan akibat dari kecurangan dan bukan merupakan error. Selain teknik audit, pengetahuan auditor mengenai kecurangan dapat membantu untuk mengenali adanya gejala kecurangan dan tanda-tanda kecurangan (red flags) dengan lebih baik. Berbagai
faktor
diteliti
untuk
dapat
menjelaskan
penyebab
ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari sisi internal (dalam diri auditor) maupun sisi eksternal (Pramudyastuti, 2014). Namun demikian, faktor internal memiliki pengaruh lebih besar karena berhubungan terhadap sikap atau perilaku individu. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi sikap skeptisisme profesional dan karakteristik individu auditor seperti gender, pengalaman, dan keahlian. Menurut Beasley et al. (2013) salah satu penyebab kegagalan audit adalah kurangnya skeptisisme profesional. Hasil investigasi kecurangan yang dilakukan SEC selama tahun 1998-2010 mengindikasikan, dari 81 kasus yang ditemukan
5
mengenai kegagalan audit, 60 persen diantaranya disebabkan oleh tingkat skeptisisme profesional yang tidak mencukupi. Pentingnya sikap skeptisisme profesional dalam audit sejalan dengan Hurtt dkk (2008) yang menemukan bahwa auditor yang lebih skeptis dapat mendeteksi lebih banyak kontradiksi dan menghasilkan lebih banyak penjelasan alternatif, namun mendeteksi lebih sedikit kesalahan mekanis dan relatif melakukan uji substantif yang lebih sedikit daripada auditor yang kurang skeptis. Fullerton dan Durtschi (2004) meneliti tingkat skeptisisme profesional auditor internal yang dikelompokkan kedalam tingkat skeptisisme profesional tinggi dan rendah (low-skeptic and high-skeptic) terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Tingkat skeptisisme auditor diukur menggunakan model teoritikal skeptisime profesional yang dikembangkan oleh Hurtt dkk (2003) meliputi mempertanyakan pikiran (questioning mind), menunda keputusan (suspension of Judgement), pencarian pengetahuan (search for knowledge), pemahaman pribadi (interpersonal understanding), kepercayaan diri (self confidence), dan keyakinan diri (self determination). Sedangkan kemampuan mendeteksi kecurangan, merupakan sikap auditor untuk mencari tahu atau tidak mencari ketika dihadapkan dengan gejala-gejala yang berhubungan dengan kecurangan (fraud symptoms). Hasil penelitian Fullerton dan Durtschi (2004) menunjukkan auditor dengan tingkat skeptisisme tinggi lebih ingin mencari tahu dibandingkan dengan auditor dengan tingkat skeptisisme rendah. Demikian pula setelah mendapatkan pelatihan audit kecurangan, auditor dengan skeptisisme rendah maupun tinggi memiliki kemampuan rata-rata hampir sama dalam hal mencari informasi ketika
6
berhadapan dengan gejala-gejala kecurangan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik dalam sikap skeptis berpengaruh pada perilaku yang mengarah pada kemampuan mendeteksi kecurangan. Pengaruh skeptisisme profesional terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan sejalan dengan penelitian-penelitian berikutnya, Fitriany dan Nasution (2012), Rafael (2013), dan Pramudyastuti (2014) juga menemukan skeptisime profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Lebih
lanjut,
hasil
penelitian
Fullerton
dan
Durtschi
(2004)
mengungkapkan kemampuan auditor internal dalam mendeteksi kecurangan dihubungkan berdasarkan pada karakteristik responden. Pada auditor yang memiliki kemampuan mendeteksi kecurangan yang tinggi, karakteristik yang ditunjukkan meliputi jenis kelamin wanita, usia kurang dari empat puluh tahun, dan memiliki sertifikasi dan pengalaman terhadap kecurangan sepanjang masa karirnya. Hasil penelitian mengenai demografi auditor ini sejalan dengan penelitian Charron dan Lowe (2008) yang menemukan bahwa wanita memiliki tingkat skeptisisme yang lebih tinggi daripada pria. Demikian pula dengan sertifikasi keahlian, dimana auditor yang memiliki sertifikat keahlian seperti CMA, CPA, maupun keduanya, memiliki tingkat skeptisisme yang lebih tinggi dibandingkan tidak memiliki sertifikasi. Karakteristik individu seringkali dianggap sebagai demografi, namun demikian memiliki pengaruh yang lebih luas. Karakteristik yang dibawa oleh individu dapat berpengaruh terhadap perilaku, sedangkan perilaku dapat mempengaruhi auditor dalam pengambilan keputusan. Ye, Cheng, dan Gao (2014)
7
meneliti mengenai karakteristik individu auditor terhadap kemungkinan kegagalan audit di China menemukan bahwa individu auditor yang memiliki pengalaman audit lebih sedikit berhubungan dengan kemungkinan kegagalan audit. Demikian pula, terdapat hubungan negatif antara tingkat pendidikan auditor dan kegagalan audit. Dalam pendeteksian kecurangan, keahlian atau kompetensi seorang auditor sangat diperlukan. Seorang auditor dituntut untuk kreatif dan intuitif dalam merespon kecurangan, sebagaimana mencari dan mengungkap tindakan kecurangan tersebut (Vona, 2008). Sumber daya manusia atau personil yang melakukan audit merupakan aset yang paling penting dalam sebuah kantor akuntan publik (PCAOB, 2013). Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) yang merupakan badan pengawas akuntan di perusahaan publik di Amerika Serikat, menyebutkan: ―A firm quality control system depends heavily on the proficiency on it’s personnel... the quality of a firm’s work ultimately depends on the integrity, objectivity, intelligence, competence, experience, and motivation of personnel who perform, supervise, and review the work. Thus, a firm’s personnel management policies and procedures factor into maintaining such quality.‖
Personil yang terlibat dalam audit merupakan penentu dalam kualitas audit. Semakin berkualitas sumber daya yang dimiliki oleh kantor akuntan publik maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin baik. Meskipun belum terdapat kesepakatan mengenai keahlian dan kompetensi apakah yang paling berpengaruh, beberapa penelitian menyebutkan penentu keahlian auditor adalah pengalaman (Bonner dan Lewis, 1990; Hamilton dan Wright, 1982). Auditor yang memiliki keahlian, memiliki pengalaman yang lebih banyak terkait dengan audit sehingga
8
menjadi lebih skeptis (Sitanala, 2013; Anugerah dkk, 2012). Widyastuti dan Pamudji (2009), Romadhoni (2013), dan Pramudyastuti (2014) menemukan kompetensi dan keahlian berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Sedangkan Rafael (2013) tidak menemukan hubungan antara keahlian dengan kemampuan mendeteksi kecurangan. Selain keahlian, gender juga merupakan karakteristik individu yang sering dihubungkan dalam berbagai penelitian. Hardies et al. (2011) menghubungkan gender dengan kualitas audit. Stereotipe mengenai gender berpengaruh terhadap perilaku seseorang dan selanjutnya berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan. Dalam beberapa penelitian, gender terkait dengan jenis kelamin pria atau wanita, namun dalam literatur lain, gender terkait dengan sifat-sifat yang identik dengan feminin dan maskulin. Femininitas dan maskulinitas merujuk pada identitas yang menentukan perilaku (Burke, 2000). Gender dalam konteks sosial terkait dengan identitas dan peran yang diberikan oleh masyarakat (society) kepada individu sesuai dengan karakter gender masing-masing. Peran gender (sex role) merupakan pembagian peran pada konteks sosial yang sesuai dengan peran masing-masing gender, sebagai contoh karater gender feminin memiliki peran dalam lingkup domestik (rumah tangga) sedangkan maskulin memiliki peran dalam lingkup global atau yang lebih luas. Peran gender tersebut kemudian mengarah pada pembagian pekerjaan dan peran. Selama beberapa dekade ini akuntan publik lekat dengan citra maskulin. Karir dalam bidang auditing identik dengan jam kerja yang panjang, melakukan lembur,
9
dan memiliki klien besar (Hardies et al., 2013). Maupin dan Lehman (1990) menemukan stereotip ciri-ciri kepribadian karakteristik (seperti leadership, kepribadian yang kuat, dan tegas) sebagai hal yang lebih umum di kalangan akuntan
publik
(manajer
dan
partner).
Sedangkan
Lehman
(1990)
mengintepretasikan perilaku stereotip maskulin sebagai kunci sukses dalam profesi akuntan publik. Tidak mudahnya profesi auditor, membuat struktur partnership dalam akuntan publik lebih banyak didominasi oleh pria, dan hanya sedikit wanita (Montenegro, 2015). Hardies et al. (2013) menyebutkan pria rata-rata memiliki kemampuan matematis yang lebih baik dibandingkan wanita. Kemampuan matematika dihubungkan dengan kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving abilities). Di dalam dunia audit kemampuan tersebut sangat penting bagi auditor, karena dengan kemampuan matematis yang tinggi auditor dapat menemukan salah saji material yang lebih baik. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Darlis dan Susanti (2012) menemukan bahwa terdapat perbedaan kemampuan menyelesaikan masalah dan skeptisisme profesional antara gender dengan karakter feminin dan gender dengan karakter maskulin. Hasil penelitian Darlis dan Susanti (2012) yang dilakukan pada BPK Perwakilan Provinsi Riau tersebut menemukan bahwa gender dengan karakter maskulin memiliki kemampuan menyelesaikan masalah yang lebih baik dan tingkat skeptisisme profesional yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor dengan karakter gender feminin. Berbeda dari sifat maskulin, beberapa literatur menyebutkan wanita memiliki penalaran etika yang lebih baik daripada pria. Menurut Ponemon (1993) dalam
10
Fullerton dan Durtschi (2004), sensitivitas terhadap red flags dipengaruhi oleh tingkat penalaran etika yang dimiliki oleh auditor. Semakin tinggi tingkat penalaran etika yang dimiliki oleh seorang auditor maka akan semakin sensitif auditor tersebut terhadap gejala-gejala kecurangan yang terjadi disekitarnya. Berbagai kasus kecurangan yang terjadi sebagian besar dilakukan oleh pria sedangkan wanita hanya sedikit ditemukan terlibat dalam kasus kecurangan. Adapun wanita sebagai pelaku kecurangan menunjukkan kerugian yang lebih sedikit dibandingkan tindakan kecurangan yang dilakukan oleh pria. Wanita dinilai memiliki pertimbangan moral yang lebih baik daripada pria. Holtfreter (2015) bahkan menyebutkan, Sutherland (1949) mendefinisikan kejahatan kerah putih sebagai ―crime by a person of high social status and respectability in the course of his occupation.‖ Penggunaan kata “His” menunjukkan penekanan pada gender yang lebih spesifik yaitu pria. Keterlibatan wanita dalam kejahatan kerah putih jumlahnya belum sebanyak pelaku pria. Terdapat dua kemungkinan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, wanita cenderung menunjukkan perilaku yang lebih etis di tempat kerja (Hoffman, 1998) dan kedua, struktur gender yang cenderung maskulin di tempat kerja membatasi wanita untuk mencapai posisi kepemimpinan yang memberikan kesempatan untuk melakukan kejahatan kerah putih (Davies, 2003). Terdapatnya fenomena glass ceiling merupakan hambatan bagi wanita untuk bekerja di luar rumah atau untuk mencapai posisi puncak dalam organisasi (Mahyuddin, 2014). Tidak hanya dipandang sebagai jenis kelamin, lebih dari itu, konsep gender kemudian dikonstruksi secara sosial maupun kultural, dimana perempuan
11
lekat dengan karakteristik feminin dan laki-laki identik dengan karakter maskulin (Handayani dan Sugiarti, 2001). Gender dapat menimbulkan perbedaan peran di dalam masyarakat. Terbentuknya perbedaan peran gender tersebut dipengaruhi oleh budaya, harapan masyarakat, dan proses belajar. Harapan masyarakat terhadap perilaku yang sesuai terhadap jenis kelamin tertentu membuat laki-laki diharapkan berperilaku sesuai dengan harapan dengan mengedepankan sifat-sifat maskulin, sedangkan perempuan cenderung berperilaku dengan sifat-sifat feminin. Bem (1974) berbeda dari penelitian gender yang menitikberatkan pada karakteristik maskulin dan feminin yang merupakan dua hal yang saling bertolak belakang, melakukan pendekatan gender diantara kedua karakteristik gender tersebut. Karakteristik seseorang tidak hanya berupa maskulin dan feminin, namun dapat dapat juga memiliki kedua sifat tersebut. Konsep pendekatan gender yang dilakukan oleh Bem (1974) dikenal dengan istilah androgyny dimana karakter gender yang paling baik adalah yang mendekati netral, karena hal tersebut bermakna seeseorang memiliki peran gender yang seimbang dalam masyarakat. Peran gender androgini menunjukkan seseorang yang memiliki karakter feminin dan maskulin yang sama-sama tinggi. Menurut Bem (1974) seseorang dengan karakter androgini lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dan memiliki mental yang lebih sehat sehingga lebih bahagia dibandingkan dengan seseorang dengan satu karakter gender saja (misal maskulin atau feminin). Selain karakteristik maskulin, feminin dan androgini, Bem (1974) juga memperkenalkan
12
karakter gender tidak terbedakan (undifferentiated) yaitu laki-laki dan perempuan yang memiliki skor rendah pada maskulinitas dan femininitas. Penelitian ini berusaha menguji faktor-faktor karakteristik individu auditor terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan yaitu gender dan keahlian, serta skeptisisme profesional yang merupakan sikap penting yang harus dimiliki oleh auditor. Adapun model penelitian ini merujuk pada penelitian yang telah dilakukan oleh Fullerton dan Durtschi (2004) yaitu menghubungkan skeptisisme profesional auditor internal dengan kemampuan mendeteksi kecurangan; Widyastuti dan Pamudji (2009) yang menghubungkan kompetensi, independensi, dan profesionalisme terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan, Fitriany dan Nasution (2012) yang menghubungkan kemampuan mendeteksi kecurangan dengan beban kerja, pengalaman audit, tipe kepribadian, dan skeptisisme profesional; Rafael (2013) yang menghubungkan etika, keahlian, pengalaman, dan skeptisisme profesional terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan; dan Pramudiyastuti (2014) yang menghubungkan kemampuan mendeteksi kecurangan dengan skeptisisme profesional, pelatihan audit kecurangan, dan independensi. Berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian ini dilakukan pada auditor eksternal pemerintah dan menambahkan variabel gender sebagai karakteristik auditor. Pertimbangan penambahan variabel gender adalah karena gender merupakan salah satu karakteristik individu auditor yang turut menentukan identitas dan peran seseorang dalam struktur sosial. Identitas dan peran yang dibawa masing-masing individu dapat berpengaruh pada perilaku. Variabel gender dalam penelitian ini menggunakan pengukuran Bem (1974) yaitu Bem Sex
13
Role Inventory (BSRI). Penelitian ini juga menguji kembali penelitian yang telah dilakukan Rafael (2013) yang menguji skeptisisme profesional dan keahlian auditor terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Namun dalam penelitian tersebut, Rafael (2013) tidak menemukan signifikansi hubungan antara keahlian dengan kemampuan mendeteksi kecurangan. Objek dalam penelitian ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Objek dipilih karena BPK merupakan auditor eksternal pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pemeriksaan dan pengelolaan keuangan negara. Seperti termuat dalam Standar Pengelolaan Keuangan Negara (SPKN), Menurut SPKN, seorang pemeriksa diharuskan memiliki persyaratan kemampuan atau keahlian, independensi, penggunaan kemahiran profesional secara cermat dan seksama, dan memiliki sistem pengendalian mutu. Badan Pemeriksa Keuangan sebagai auditor yang melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara dituntut untuk dapat memberikan keyakinan yang memadai kepada publik mengenai pengelolaan keuangan negara. Harapan masyarakat terhadap BPK cukup tinggi terkait banyaknya kasus-kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Gender, Keahlian, dan Skeptisisme Profesional terhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan: Studi pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.”
14
1.2. Rumusan Masalah Sumber daya manusia merupakan aspek penting dalam audit. Hardies et al. (2010) menyebutkan kualitas audit tergantung pada karakteristik personal auditor seperti keahlian teknis auditor, kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving abilities), profil risiko, pengalaman, dan independensi. Kualitas audit tergantung pada pertimbangan (judgement) auditor dan kualitas pengambilan keputusan. Sedangkan kualitas pertimbangan auditor dan pengambilan keputusan tergantung pada karakteristik auditor. Gender, keahlian, dan skeptisisme profesional merupakan karakteristik yang ada di dalam individu yang menarik untuk diteliti. Personil yang melakukan audit dihubungkan dengan institusi BPK RI yang memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi pengelolaan keuangan negara. Karakteristik individu tersebut kemudian
dihubungkan
dengan
kemampuan
auditor
dalam
mendeteksi
kecurangan. BPK RI sebagai auditor eksternal pemerintah di Indonesia memiliki tanggung jawab pemeriksaan yang luas mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Jumlah pegawai yang lebih dari 6000 orang membuat BPK tergolong sebagai Supreme Audit Institution yang besar. Sebagaimana disebutkan dalam peer review BPK tahun 2014 yang dilakukan oleh Supreme Audit Office of Poland: ―SIZE—BPK with its over 6000 employees can be perceived as a big SAI, when compared with its counterparts in other countries, e.g. the UK NAO – 860 or Polish NIK – 1700. The impression changes when one compares the total number of the country’s inhabitants to the SAI staff’s number, which makes Polish NIK almost twice bigger (the respective ratio reflecting the SAI’s size for Indonesia and Poland is like 2.5 to 4.5). The perspective changes even more, when diversity and communication realities are taken into account. As the fourth biggest state on Earth, the quickly developing Indonesia – with its three time zones and more than 17000 islands – is a very demanding
15
subject of state auditing. When one adds specific tasks, among them obligatory financial audits of about 3100 entities each year and the duty to calculate state losses, it can be concluded that the need for further grow of the BPK’s staff number seems justified.‖ ―YOUNG STAFF—The BPK’s staff are young, dedicated and better and better educated. The BPK employs over 6136 (in 2013) people in all Indonesia, about 2200 of whom are non-auditors. The staff are very young: as much as 62 per cent of them are below 36 years of age and only less than 1 percent are over 55!‖
Dibandingkan dengan badan pemeriksa keuangan di negara lain, BPK RI memiliki ukuran yang besar. Agar dapat mempertahankan kualitas audit, BPK harus memperhatikan sumber daya manusia yang dimiliki. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam lingkup BPK RI khususnya yang berkaitan dengan kemampuan auditor mendeteksi kecurangan menarik untuk diteliti. Penelitian ini berusaha menjelaskan secara empiris bagaimana pengaruh gender, keahlian, dan skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan dan pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Apakah gender berpengaruh terhadap kemampuan auditor BPK RI dalam mendeteksi kecurangan? b. Apakah keahlian berpengaruh terhadap kemampuan auditor BPK RI dalam mendeteksi kecurangan? c. Apakah skeptisisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan auditor auditor BPK RI dalam mendeteksi kecurangan?
16
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh gender, keahlian, dan skeptisisme profesional terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menguji secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan auditor eksternal pemerintah dalam mendeteksi kecurangan. b. Memperoleh hasil empiris bahwa apakah skeptisisme profesional dan karakteristik auditor berupa gender dan keahlian berpengaruh terhadap kemampuan auditor eksternal pemerintah dalam mendeteksi kecurangan. 1.5. Motivasi Penelitian Penelitian ini termotivasi oleh penelitian yang dilakukan Fullerton dan Durtschi (2004) yang meneliti mengenai pengaruh skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Objek penelitian Fullerton dan Durtschi (2004) tersebut dilakukan pada auditor internal. Demikian pula Rafael (2013) yang melakukan penelitian pada Inspektorat kota dan kabupaten Kupang meneliti pengaruh pengalaman, keahlian, etika, dan skeptisime profesional terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Penelitian ini berusaha mengembangkan penelitian sebelumnya dengan memperluas objek penelitian pada auditor eksternal pemerintah, yaitu BPK RI. Adapun pengaruh yang diuji adalah gender, keahlian, dan skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor mendeteki kecurangan.
17
Penelitian ini memberikan gambaran mengenai karakteristik-karakteristik individu auditor yang memengaruhi terhadap kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Penelitian ini sekaligus memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah dan masukan terhadap institusi BPK RI untuk memperhatikan karakteristik-karakteristik individu sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
1.6. Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: a. Bagi akademisi, secara teoritis penelitian ini dapat menjadi referensi untuk literatur akuntansi, khususnya di bidang audit sektor publik. b. Bagi praktisi, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk Badan Pemeriksa Keuangan dalam meningkatkan kompetensi pemeriksa dan kemampuan mendeteksi kecurangan. c.
Bagi regulator, penelitian ini dapat menjadi masukan mengenai aturan mengenai Jabatan Fungsional Pemeriksa dan angka kreditnya apakah telah efektif meningkatkan kualitas pemeriksa.
18