www.ecc.ft.ugm.ac.id Vol. 16 September 2013
SANGGAR ANAK ALAM
Free to Read
Sekolah Itu Tak Cuma Soal Hafalan Akademis vs Non-akademis, Mana yang Lebih Penting? Pilih Sekolah Formal atau Homeschooling?
Anies Baswedan
Pemantik Nyata Perubahan Pendidikan
CAREERDAYS 2014 SOON...
Assalamualaikum Wr. Wb.
EDITORIAL
“Man Can Become Man Through Education Only.” Demikian apa yang disampaikan Immanuel Kant tentang pendidikan. Melalui pendidikan, manusia memiliki derajat kehidupan dalam masyarakat. Dari yang tidak tahu menjadi tahu. Pendidikan Dasar menjadi tema Emagz kami edisi ini. Melalui tema ini, kami ajak Anda menelusur bagaimana makna pendidikan dan “belajar”. Pendidikan sudah menjadi isu lama di negeri ini. Kurikulum dan sistem ujian nasional menjadi permasalahan setiap tahunnya. Padahal, pendidikan adalah awal dari apa yang disebut perubahan. Maju tidaknya suatu bangsa bergantung pada bagaimana masyarakatnya belajar.
! VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Dilarang menggandakan atau mencetak konten dalam majalah ini untuk tujuan komersial tanpa persetujuan dari ECC UGM!
Kami punya ulasan menarik dari Anies Baswedan tentang dunia pendidikan dalam edisi kali ini. Anies sendiri adalah pencetus gerakan Indonesia Mengajar yang sekaligus menjadi angin segar sistem pendidikan Indonesia dengan ide-idenya yang berbeda dan menggebrak. Semuanya tersaji dari 2
REDAKSI Dekan FT UGM Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng. Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Ir. Muhammad Waziz Wildan, M.Sc., Ph.D. Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan SDM Prof. Dr. Ir. Bambang Agus Kironoto Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama Ir. Lukito Edi Nugroho, M.Sc., Ph.D. Penanggung Jawab Direktur ECC Nurhadi Wakil Direktur ECC Advian Wahdi Kepala Bidang Informasi Karir Agung Subroto Pemimpin Redaksi Rita Pamilia Editor Vinia Rizqi Primawati Staff Redaksi Rifki Amelia Fadlina Imas Kurnia Indah Pertiwi Dian Puspita Annisa Ika Tiwi Ferdi Fabianno Roy Rosa Bachtiar Hamada Adzani M. Fotografer M. Angga Khoirrurrozi Perdana Kusuma W.J.P Novandar Dwi Prasetyo Aji Maufiroh Isnainto
narasumbernya langsung. Perdebatan seputar pendidikan akademik dan nonakademik juga menjadi bahasan menarik di sini. Tak ketinggalan, kami juga mengemas ulasan seputar homeschooling sebagai alternatif pendidikan di masyarakat. Untuk memperkaya data, kami hadirkan hasil reportase mengenai Homeschooling Kak Seto. Sekolah pun tak harus di dalam kelas. Konsep inilah yang dihadirkan Sri Wahyaningsih dalam mendirikan Sanggar Anak Alam di daerah Nitiprayan, Yogyakarta. Mau tahu lebih banyak tentang sekolah alam ini? Semuanya dapat Anda simak dalam eMagz kali ini! Semoga kehadiran edisi ini menginspirasi untuk menciptakan metode belajar yang lebih baik. Selamat membaca! Wassalamualaikum Wr. Wb.
Art Direction Bentar Restu `ehem` Sadani Adib Sulthon F. Kirim pendapat Anda untuk kritik, saran, atau pertanyaan seputar ketentuan pemasangan iklan ke redaksicn@ecc. ft.ugm.ac.id, 0274-517728 (pada jam kerja Senin-Kamis 08.00-16.00 WIB / Jumat 08.00-15.00 WIB).
3
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
4
Daftar Isi
Anies Baswedan: Pemantik Nyata Perubahan Pendidikan Mau tahu bagaimana sepak terjang Anies Baswedan hingga sampai di dunia pendidikan yang ia geluti saat ini? Simak di sini!
16
Akademis vs Non-akademis, Mana yang Lebih Penting? Berbakat di semua bidang, tentu tidak dialami semua orang. jalan apa yang sebaiknya ditempuh untuk mendalami bakat sesuai potensi diri?
28
6. Paulo Freire Pendidikan Adalah Pembebasan 10. Menelusur Makna Pendidikan Sebenarnya 23. Minat dan Bakat Tergali, Sukses pun Menanti 32. Kualitas Sekolah Bukan Soal Biaya 42. Belajar Tanpa Kekangan 5
Pilih Sekolah Formal atau Homeschooling? Ada alternatif sekolah untuk menunjang pendidikan sesuai kebutuhan siswa. Mau tahu lebih dalam tentang model sekolah ini?
37
Sanggar Anak Alam: Sekolah Itu Tak Cuma Soal Hafalan Siapa bilang sekolah harus di dalam kelas? Jika belajar dengan suasana alam pedesaan bisa membuat materi pelajaran terasalebih menyenangkan, kenapa tidak?
46
53. Sri Wahyaningsih: Jumpai Kebebasan Lewat Sekolah 58. Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah! 61. Potret Minimnya Akses Pendidikan di Papua 64. Do You Know? Fakta Pendidikan di Indonesia
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
KEY TOPIC
PAULO FREIRE
PENDIDIKAN ADALAH PEMBEBASAN Pendidikan merupakan proses infiltrasi nilai-nilai oleh seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Secara umum, tujuannya adalah sebagai usaha peningkatan akhlak dan kecerdasan intelektual. Bagi orang awam, proses ini sering dikaitkan dengan sekolah. Sebuah istilah yang berasal dari Bahasa Yunani Skolae atau berarti rekreasi.
Foto: Istimewa.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Di Indonesia, pendidikan yang saat ini dijalankan biasa disebut sebagai state education. Yakni pendidikan berjenjang atau hierarkis yang diatur oleh negara. Lazimnya, dalam sistem ini guru atau pengajar menjadi pusat ilmu pengetahuan. Menurut Paulo Freire, sosiolog pendidikan asal Amerika Latin, esensi pendidikan adalah pembebasan. Baginya, pendidikan merupakan pilot project dan agen untuk
6
KEY TOPIC melakukan perubahan sosial. Mengapa pembebasan dan perubahan sosial? Hal ini tak lain dipengaruhi oleh pemikiran bahwa sekolah tidak lebih dari pasar yang menawarkan buruh kapitalis. Argumen ini selaras dengan Bowles and Gintis yang menganalogikan pendidikan sebagai replika dunia kerja yang bersifat hierarkis dengan sistem reward punishment di dalamnya. Sama dengan pekerja yang mendapat gaji bila bekerja dengan baik. Begitu pun sebaliknya, mendapat peringatan atau hukuman jika pekerjaannya tidak sesuai dengan keinginan perusahaan. Selain replika dunia kerja, oleh Freire pendidikan ini juga disebut sebagai sistem bank. Keadaan di mana murid diperlakukan sebagai wadah kosong yang harus diisi oleh pengetahuan serta keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar. Baginya, sistem ini tidaklah manusiawi karena siswa hanya dijadikan objek, tidak berbeda dengan realitas yang mereka pelajari. Padahal idealnya terjadi dialog antara guru dan murid sehingga pengajaran tidak hanya bersifat satu arah. 7
Dalam pengajaran bergaya bank ini, ternyata terdapat penindasan yang tak kasat mata. Penindasan ini terwujud dalam bentuk pemaksaan pelajaran pada siswa. Melalui pemaksaan ini kreativitas dan passion anak secara halus dihilangkan. Ketertarikan mereka pada hal-hal di luar
Foto: Istimewa.
mata pelajaran yang diajarkan sering kali diabaikan. Alhasil bakat alami para siswa sering kali tidak terasah. Sayangnya, saat ini di Indonesia pun terjadi hal serupa. Nilai baik seakan menjadi harga mutlak bagi seseorang agar memiliki VOL. 16 SEPTEMBER 2013
KEY TOPIC masa depan. Angka sering kali lebih dipertimbangkan daripada kemampuan alami individu. Berbagai tes dan ujian pun menjadi tolok ukur kemampuan intelektual seseorang. Padahal, mata pelajaran yang saat ini diujikan tidak bisa menjadi indikator pintar tidaknya seorang siswa. Karena nyatanya, banyak siswa menonjol dalam
yang sama atas suatu hal. Mereka tidak diberikan kebebasan untuk memilih apa yang mereka sukai dan tidak. Tak ayal, pada akhirnya banyak orang mendapatkan profesi yang tidak sesuai dengan minat serta bakat alami mereka. Sistem pengajaran yang hanya membuat
“Semoga pendidikan tidak hanya menjadi pabrik pekerja bagi kapitalis.” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Paulo Freire ~
mata pelajaran yang tidak diujikan. Keadaan yang oleh Freire disebut sebagai salah satu bentuk dehumanisasi ini tentunya memangkas habis potensi dasar yang dimiliki seseorang. Setiap murid diharuskan untuk memiliki pengetahuan VOL. 16 SEPTEMBER 2013
murid hafal ini rupa-rupanya juga menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan seseorang. Karena hanya berfokus pada skor, pengajaran akan nilai-nilai luhur sering kali terlupakan. Kebiasaan-kebiasaan positif seperti menghargai sesama, toleransi, empati, saling menghargai, dan 8
KEY TOPIC lainnya sering kali terabaikan. Akibatnya, sensitifitas sosial mayoritas anak-anak zaman sekarang bisa dibilang mengalami penurunan. Jiwa kompetitif yang terbangun dari praktek ini memang bukanlah hal yang buruk. Tetapi, di samping intelektualitas atau hard skills masih ada sisi soft skills yang juga harus dibangun. Menanggapi dehumanisasi tersebut, Freire mengajukan pendidikan kritis sebagai usaha re-humanisasi. Ia menyatakan bahwa pendidikan humanis adalah yang memberikan kebebasan luas untuk berpikir kritis. Sikap skeptis (dalam arti positif) menjadi salah satu hal yang penting. Penanaman sikap ini membuat siswa tidak lantas menerima ilmu yang diberikan dengan apa adanya. Melainkan merefleksikan dan mengaplikasikan ilmu tersebut dalam sebuah aksi. Bentuk pengajaran inilah yang sering kali disebut dengan sistem problem solving.
Watterdal menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah merangkul dan menerima keragaman. Tidak hanya mentolerirnya, tapi juga mendorong keingintahuan dan kreativitas. Hal ini menjadi mungkin karena dalam sekolah inklusi siswa tidak hanya terdiri dari orang-orang normal. Melainkan juga mereka yang memilik kebutuhan khusus. Perbaikan menuju pendidikan yang lebih humanis ini tentunya bukanlah hal mudah. Diperlukan kesadaran ekstra untuk membuat siswa tahu dan mengerti, hingga pada akhirnya diperlukan kerjasama dari semua pihak mulai dari pemerintah sampai siswa itu sendiri. Semoga pendidikan di Indonesia dapat lebih humanis dan tidak hanya menjadi pabrik pekerja bagi kapitalis. [CN/DN/CRTV]
Di sisi lain, sekolah inklusi bisa menjadi alternatif untuk kembali menumbuhkan sikap-sikap toleransi dan peduli sesama. 9
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
Foto: Dok. CN
Menelusur Makna Pendidikan Sebenarnya Menurut data publikasi Bank Dunia pada tahun 2012 , Indonesia memiliki sekitar 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah. Dengan jumlah tersebut, Indonesia memiliki sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
terbesar keempat di dunia, setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Meski demikian, tingkat pendaftaran sekolah dasar di kabupaten-kabupaten tertinggal masih berada di bawah angka
10
ISSUE 60%. Selain itu, meski tingkat pendaftaran di sekolah menengah mengalami peningkatan kuat, jumlahnya masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Indonesia juga tertinggal dari negara tetangga dalam hal pendidikan anak usia dini dan pendidikan tinggi. Melihat ketidakberimbangan antara besarnya sistem pendidikan dengan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan di masyarakat, banyak cara telah dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari mengganti kurikulum hingga menggratiskan biaya sekolah. Namun pada kenyataannya, pendidikan Indonesia belum juga berkembang ke arah yang optimal. Pemerintah sepertinya harus menilik kembali tujuan awal pendidikan. Menurut Anies Baswedan, aktivis pendidikan sekaligus pendiri gerakan Indonesia Mengajar ini, tujuan pendidikan sebenarnya adalah menghasilkan orang dengan karakter terbaik dan nomor satu. Jadi, pendidikan bukan semata menghasilkan orang berpengetahuan dengan nilai dan gelar. “Seseorang yang berkarakter memiliki ciri berakhlak baik, 11
memiliki kompetensi tinggi dalam bidang ilmu yang dikuasainya, dan mampu meraih cita-cita secara mandiri,” ujar Anies, yang kami temui di kantor Sekretariat Indonesia Mengajar, Jakarta, pada 25 April 2013 lalu. Mengutip majalah Rolling Stone Indonesia, Anies menyebutkan bahwa pendidikan merupakan eskalator yang luar biasa. “Siapa duduk di mana ditentukan oleh siapa dididik apa,” katanya. Anies melihat, pendidikan di Indonesia baru bisa menghasilkan pemain-pemain kelas domestik. Indonesia belum menghasilkan orang-orang kelas dunia. Salah satu indikatornya terlihat dari sedikitnya orang Indonesia yang memimpin institusiinstitusi global. Contoh sederhana lainnya, Indonesia masih sedikit atau bahkan tidak memiliki atlet, peneliti, atau pebisnis kelas dunia. Guru: Kunci Pendidikan Tak pelak, pendidikan di Indonesia memang harus ditinjau ulang. Memperbaiki kualitas pendidikan bukan hanya masalah memperbarui buku, mengganti kurikulum, atau meningkatkan fasilitas sekolah. Menurut Anies, kualitas guru harus menjadi VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
Foto: Dok. CN
perhatian utama dalam memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. “Kunci pendidikan ada pada guru, para pendidik. Bila pendidiknya baik, kualitas pendidikan pun baik,” terang Anies. Ya, kualitas guru merupakan faktor terpenting dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti disebutkan dalam publikasi Bank Dunia berjudul Transforming Indonesia’s Teaching Force tahun 2011, penelitian menunjukkan bahwa
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
pengetahuan dan kemampuan guru memiliki dampak yang signifikan pada kinerja akademis anak didiknya. Sementara itu, kualifikasi akademik kebanyakan guru di Indonesia masih lebih rendah dari yang disyaratkan undang-undang. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mensyaratkan bahwa semua guru memiliki gelar S1 atau D4. Namun data sensus tahun 2006 menunjukkan hanya 37% dari semua 12
ISSUE guru memiliki gelar tersebut dan sebanyak 26% hanya merupakan lulusan sekolah menengah atas atau di bawahnya. Selain masalah kualifikasi guru yang masih minim, masalah lainnya adalah kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru. Anies pun menyayangkan minimnya penghargaan terhadap guru. “Padahal di depan para guru itu ada masa depan Indonesia. Kita tidak menyiapkan masa depan dengan tidak menghargai guru,” tandasnya. Anies berujar bahwa sebelum kita bicara pendidik harus berbuat apa, bangsa Indonesia harus terlebih dahulu memikirkan penghargaan terhadap guru. Menakar Standar Pendidikan Formal Sebagian orang mungkin menganggap pendidikan formal hanya berakhir menjadi formalitas sebagai jembatan menuju gelar. Anies sendiri beranggapan bahwa pendidikan formal bisa jadi memang tidak terlalu penting bila seseorang hidup sendiri. Namun, pendidikan formal sangatlah penting ketika seseorang menjadi bagian dalam suatu masyarakat. “Kita berada dalam struktur masyarakat, di mana struktur masyarakat tersebut mensyaratkan 13
Foto: Dok. CN
adanya ukuran,” terang Anies. Anies kemudian mencontohkan, apabila seseorang memiliki keahlian tertentu, ia harus memiliki bukti sah untuk memperkuat pengakuan keahliannya. Bukti-bukti tersebut misalnya ijazah bidang ilmu tertentu atau sertifikasi keterampilan. Dengan adanya bukti-bukti tersebut, setidaknya masyarakat dapat mengukur kemampuan seseorang secara pasti.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
“Kunci pendidikan ada pada guru, para pendidik. Bila pendidiknya baik, kualitas pendidikan pun baik.” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Anies Baswedan ~
Di situlah formalitas menjadi penting. Apalagi sekarang kita masuk dalam era di mana standar terus meningkat. Jadi, institusi formal memang bertujuan agar orang dapat belajar secara terstruktur. Institusi formal menstrukturkan pengetahuan seseorang dalam bentuk indikator-indikator. “Indikator itu merupakan pelengkap. Yang berbahaya itu bila orang mengejar ijazah tetapi tidak mengejar ilmunya,” ujarnya.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Masalah mulai muncul ketika yang dijadikan standar pendidikan dasar dan menengah adalah nilai ujian akhir nasional. Anies menilai ujian tersebut membawa beban berat bagi siswa karena hanya dilakukan di akhir masa pendidikan. “Kalau evaluasi hanya dilakukan di ujung, beban beratnya luar biasa. Jadi menurut saya, evaluasi itu dilakukan secara bertahap,” terangnya. Anies juga menyatakan bahwa perkara 14
ISSUE
Foto: Dok. CN
Foto: Dok. CN
keberhasilan atau kegagalan ujian bukan hanya beban siswa saja. Seharusnya evaluasi bukan saja dilakukan terhadap perkembangan peserta didik tetapi juga terhadap guru. Sekolah tidak seharusnya menuntut siswa untuk lulus sementara kualitas guru sendiri tidak ditingkatkan. “Kita selalu mengasumsikan yang butuh pendidikan itu hanya siswa. Padahal yang butuh pendidikan itu ya semuanya,
termasuk pendidiknya,” ujar Anies. Jadi, bila Indonesia mau menilik kembali, undang-undang telah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia yang berkarakter. Dengan demikian, sistem pendidikan Indonesia pun harus disesuaikan ke arah tujuan tersebut. Semoga akan terus ada titik terang untuk pendidikan Indonesia. [CN/RFK/ISN]
15
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
INSPIRE
Foto: Dok. CN
ANIES BASWEDAN:
Pemantik Nyata Perubahan Pendidikan VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Siapa tak pernah mendengar nama Anies Baswedan? Kiprah dan gebrakannya di dunia pendidikan membuka mata banyak orang termasuk generasi muda. Ia berhasil menggerakkan semangat anak-anak muda untuk mengabdikan diri menjadi pengajar muda dan berbagi inspirasi. Bagaimana sepak terjang Anies dalam dunia pendidikan? 16
INSPIRE Aktivis dan Intelektual Anies Baswedan adalah salah satu tokoh muda Indonesia yang berwawasan global. Berbagai penghargaan diraih Anies terkait sepak-terjangnya di dunia pendidikan. Penghargaan tersebut antara lain “100 Tokoh Intelektual Dunia” versi Majalah Foreign Policy pada tahun 2008, “Young Global Leader” dari The World Economic Forum tahun 2009, serta pada tahun 2012 “Yashuhiro Nakasone Award” dari mantan perdana menteri Jepang. Pria kelahiran 7 Mei 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Yogyakarta dan dibesarkan dalam keluarga pendidik. Kakeknya, Abdurrachman Baswedan, adalah seorang jurnalis dan perintis kemerdekaan yang sempat menjadi Menteri Penerangan pada tahun 1946. Sementara kedua orang tuanya adalah dosen perguruan tinggi di Yogyakarta. Semenjak sekolah, Anies telah menempa jiwa kepemimpinannya. Hal ini tampak dari pengalamannya sebagai ketua OSIS seluruh Indonesia ketika ia duduk di bangku SMA. Ketika SMA, Anies juga mengikuti program pertukaran pelajar AFS 17
Foto: Dok. CN
Intercultural Program yang diselenggarakan oleh Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat. Semasa kuliah, Anies juga aktif dalam kegiatan organisasi. Pada tahun 1991, di tahun kedua kuliah, ia telah menjadi ketua panitia Orientasi Studi dan Pengenalan
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
INSPIRE
Foto: Dok. CN
Kampus (Ospek) tingkat universitas. Setelahnya, tahun 1992, ia menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM. Meski aktif berorganisasi, Anies sama sekali tak melupakan kepentingan akademis. “Dulu waktu kuliah saya ingin dapat beasiswa Fulbright . Jadi IP saya tidak boleh terbengkalai. IP saya harus di atas syarat
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
terendah beasiswa,” kenangnya ketika ditemui di kantor sekretariat Indonesia Mengajar, Jakarta, pada 25 April 2013 lalu. Keinginannya untuk terus aktif berorganisasi sekaligus mendapatkan beasiswa membuatnya harus cerdas mengatur strategi. Kala itu Anies sengaja
18
INSPIRE mengambil sedikit satuan kredit semester (SKS) sehingga jangka waktu kuliahnya lebih lama. Hal tersebut dilakukannya agar dapat menyeimbangkan waktu untuk kepentingan akademis dan organisasi. Hasilnya, Anies mencapai IP memuaskan sekaligus tetap aktif berkegiatan di luar akademis. Anies menekankan pentingnya berorganisasi karena organisasi mampu memberikan pengalaman dan manfaat yang berguna sebagai bekal kehidupan.
Menurutnya, mahasiswa harus sadar bahwa setelah lulus kuliah, pengalaman lebih penting daripada nilai. Berbeda dengan sekolah, di mana nilai mata pelajaran menjadi patokan untuk memasuki jenjang berikutnya. “Lulus kuliah, masuk ke kehidupan, syaratnya bukan nilai. Jadi anak-anak kuliah harus disadarkan bahwa mereka mengalami proses kuliah untuk mengembangkan diri,” terangnya. Sadar Pendidikan Hidup dalam keluarga pendidik membuat
“Lulus kuliah, masuk ke kehidupan, syaratnya bukan nilai. Anak kuliah harus disadarkan bahwa proses kuliah itu untuk mengembangkan diri.” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Anies Baswedan ~
19
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
INSPIRE Anies tergugah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Selain menjadi rektor Universitas Paramadina yang sekaligus menjadi rektor termuda di Indonesia, Anies menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar. Indonesia Mengajar merupakan gerakan dengan misi untuk mengisi kekurangan guru berkualitas di daerah yang membutuhkan. Seperti dikabarkan oleh majalah Rolling Stone Indonesia, ide mengenai pembentukan Indonesia Mengajar datang
Foto: Dok. CN
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ketika Anies terlibat dalam sebuah diskusi di mana salah satu pembahasannya adalah masalah pendidikan di Indonesia. Hingga akhirnya pembahasan sampai pada permasalahan guru di Indonesia, yakni rendahnya kualitas dan distribusi yang tidak merata. Kesimpulan yang muncul kala itu adalah mencari guru-guru terbaik dan tempatkan di daerah-daerah yang kekurangan, dengan batasan waktu. Menurut Anies, kesalahan yang terjadi selama ini adalah bibit-bibit terbaik Indonesia ditugaskan menjadi guru sekolah dasar di tempat-tempat terpencil tanpa ada kejelasan. Indonesia Mengajar berbeda karena menerapkan penugasan dengan batas waktu tertentu. Indonesia Mengajar mulai didirikan sekitar akhir tahun 2009. Pada awalnya, Anies memperbincangkan gagasannya dengan banyak kalangan. Tanggapan positif diperoleh dari Indika Energy Group yang meminjamkan fasilitas ruang kantor, komputer, dan mesin cetak. Tim kecil Indonesia Mengajar pun mulai menyusun rencana dan anggaran biaya program. Setelah anggaran biaya jadi, Indika Energy 20
INSPIRE
Foto: Dok. CN
Foto: Dok. CN
Group bersedia membiayai sepenuhnya. Berbagai pihak dari sektor swasta berbondong-bondong turut mendukung. Beberapa di antaranya yakni Indosat yang menjadi training partner, Trikomsel Group yang membantu komunikasi di berbagai pelosok Indonesia, serta Garuda Indonesia yang bersedia bekerjasama untuk pengiriman Indonesia Mengajar. Anies memandang pengajar muda yang mengajar di daerah terpencil dan tinggal satu rumah dengan penduduk lokal sebagai agen perubahan. Jarang ada guru-guru lain yang mau mengajar di lokasi terpencil. Anies pun berharap Indonesia punya anak-anak muda berkompetensi kelas
dunia dengan hati dan pengalaman yang berpihak pada masyarakat akar rumput. “Saya memang bukan ahli ilmu pendidikan. Tapi saya sadar, bahwa republik ini tidak akan maju jika manusianya tidak terdidik dan tercerahkan,” tandas Anies. Menurutnya, cara untuk memperbaiki Indonesia adalah dengan memperbaiki kualitas manusianya. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui pendidikan dan kunci utama pendidikan itu sendiri adalah guru. Inilah alasan utama Anies membentuk gerakan Indonesia Mengajar, dengan mengirimkan anak-anak terbaik untuk menjadi guru. Melalui gerakan Indonesia Mengajar, Anies berusaha menyadarkan
21
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
INSPIRE
Foto: Dok. CN
masyarakat bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. “Itulah yang ingin kita hasilkan, perasaan untuk mau ikut turun tangan,” ujar Anies. Bagi Anies Baswedan, pendidikan bukan hanya menghasilkan orang yang berpengetahuan tetapi juga tercerahkan. Orang yang tercerahkan akan membawa
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
dampak positif bagi lingkungannya. Gerakan dan pemikiran yang digelorakan Anies telah mengembuskan angin segar pada pendidikan Indonesia yang carutmarut. Anies pun telah turut serta membangkitkan kembali potensi generasi muda sebagai pembawa perubahan. Semoga Indonesia semakin terdidik dan tercerahkan. [CN/RFK/ISN]
22
ISSUE
Minat dan Bakat Tergali, Sukses pun Menanti Illustrasi: Adib Ilustrasi: Adib
Sering kita jumpai, banyak yang merasa bingung hendak melanjutkan ke mana atau takut memperjuangkan keinginan pribadi. Bahkan dulu ketika sekolah dan kuliah, ada yang hanya menuruti kemauan orang tua saja. Lalu kemudian kebimbangan menyelimuti ketika sebenarnya tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan. Nah, apakah Anda pernah merasa demikian? 23
Nampaknya hampir semua siswa yang akan lulus pernah merasakannya. Bingung antara menuruti kehendak orangtua atau memilih jurusan yang jauh bertentangan. Meminjam sebuah quotes yang diungkapkan Michael Jordan, if you don’t stand for something, you’ll fall for anything. Artinya, ketika kita tidak tahu VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
apa yang diinginkan sesungguhnya, kita pun akan kehilangan segalanya. Tapi, tahukah Anda sebenarnya hal ini dapat diminimalisir ketika kita tahu apa minat dan bakat yang dimiliki. Menurut M. Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan disebutkan bahwa kata bakat lebih dekat VOL. 16 SEPTEMBER 2013
pengertiannya dengan kata aptitude. Aptitude sendiri berarti kecakapan pembawaan, yaitu mengenai kesanggupankesanggupan (potensi-potensi) tertentu. Sementara itu minat adalah gejala psikologis yang menunjukan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek dan menimbulkan perasaan senang.
24
ISSUE Bukan berarti jika kita tidak memiliki bakat maka kita tidak bisa menggapai apa yang kita inginkan. Dibutuhkan minat dan motivasi ekstra untuk merealisasikan apa yang kita inginkan. Percuma jika kita berbakat tapi tidak pernah mangasah apa yang kita miliki. Minat dan bakat sangat diperlukan untuk menentukan sekolah hingga karir ke depannya. Sayangnya hingga saat ini masih banyak orang yang tidak mengetahui di mana minat dan bakatnya. Hal ini disampaikan Rudi Widiyanto, M.Psi, Psikolog, Associate Trainer ECC UGM. “Kebanyakan mereka hanya terbawa pergaulan atau mengikuti anjuran orangtuanya,” papar Rudi. Beberapa kasus anak yang pindah jurusan ketika kuliah atau resign dari pekerjaan dengan alasan ketidakcocokan merupakan bukti pentingnya mengetahui minat dan bakat kita. Terkungkung oleh Struktur Menurut Dr. M Supraja, Dosen dan Sosiolog Pendidikan Fisipol UGM, hingga saat ini pola pendidikan dan lingkungan di sekitar kita tidak memfasilitasi seseorang untuk menjadi kreatif. Sistem pendidikan 25
memaksa kita menguasai berbagai macam hal dengan standar tertentu. Yang bahkan kita tidak memiliki minat dan bakat dalam bidang tersebut. “Di beberapa kasus, seorang anak dipaksa untuk memahami algoritma atau kalkulus yang sebenarnya tidak disukainya. Ketika kita memiliki minat dan bakat yang berada di luar standar maka kita akan tergilas dan dicap gagal,” lanjutnya. Menurut Supraja hal ini tak ayal justru membunuh manusia dari fitrahnya yang orisinil serta menghabiskan energi dan menguras semangat. Pendidikan dilihat telah memandang kecerdasan dan kesuksesan sesuai sisinya tanpa
Foto: Istimewa.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE menghiraukan kemajemukan minat dan bakat yang dimiliki berbagai orang. Kadang, sebuah profesi dianggap lebih baik dari yang lain karena bisa lebih mendulang materi. Tak jarang kemudian orang tua memaksakan anaknya untuk belajar di jurusan yang terkait dengan profesi tersebut. “Kadang ada yang memaksakan jadi dokter, arsitek atau insiyur padahal anaknya nggak suka sama sekali,”sambung Praja. Do What You Love and Love What You Do! Jangan pernah khawatir bahwa apa yang Anda lakukan tidak akan berhasil. You’ll never know until you try. Jika banyak orang menganggap menjadi seorang pelukis atau penulis bukan profesi menjanjikan, maka tunjukan bahwa Anda mampu menjadi pelukis maestro atau novelis profesional dengan jam terbang tinggi. “Menjadi independen dengan karya sendiri lebih baik daripada mapan dengan bantuan orang lain,” sambung Rudi.
“If you don’t stand for something, you’ll fall for anything.” ––––––––––––––––––––––––– ~ Michael Jordan ~
Menumbuhkembangkan bakat berimplikasi nyata dengan kehidupan individu tersebut nantinya. Seringkali kita menemukan Foto: Istimewa. VOL. 16 SEPTEMBER 2013
26
ISSUE orang-orang yang selalu menanti akhir pekan karena rasa bosan atau ketidaksukaannya terhadap pekerjaan yang dijalaninya. Bahkan ada beberapa orang yang kinerjanya menurun, bosan, stres hingga gila karena pekerjaannya. Ini adalah segelintir implikasi akibat efek domino tidak menemukan kesesuaian minat dan bakat dalam pekerjaannya. Menumbuhkan Minat dan Bakat Idealnya, minat dan bakat ditumbuhkan sedini mungkin. Hal ini bertujuan untuk menggali potensi yang belum terlihat riil. Tapi, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah menemukan minat dan bakat itu sendiri. Ada berbagai cara untuk menumbuhkan minat dan bakat seseorang. Tetapi yang paling utama adalah bagaimana cara menemukan minat dan bakat kita sesungguhnya. Cara yang paling mudah adalah menanyakan pada diri sendiri, pekerjaan apa yang kita suka, berada di lapangan atau di balik meja, mengonsep atau menjadi eksekutor.
pujian karena sebuah pekerjaan yang sebenarnya tidak kita sadari. Cobalah menemukan bakat ini dengan metode Joe Harry Window. Kita membuat bagan segiempat tentang apa yang kita tahu dan apa yang kita tidak tahu, dan meminta orang lain untuk membantu mengisinya. Ketiga, cobalah untuk mengikuti tes minat dan bakat. Saat ini tersedia beragam tes untuk memfasilitasi kita untuk mengetahui hal tersebut. Dari mulai psikotes, tes sidik jari dll. Di sini setiap anak dibebaskan untuk memilih apa yang ia suka dan mengambil mata pelajaran yang berkorelasi dengan minatnya. Bagi Anda yang sudah terlanjur dewasa, jangan beranggapan sudah terlambat. Mengutip pepatah masih banyak jalan menuju Roma, tentunya masih banyak cara untuk mengubah jalan yang diambil. Maka mulai saat ini mulailah berpikir ulang tentang pilihan yang telah Anda lakukan dan find your own passion! Semangat! [CN/MD]
Kedua, tanyakan orang-orang di sekitar kita mengenai apa kelemahan dan kelebihan kita. Mungkin kita sering mendapatkan 27
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
Akademis vs Non-akademis, Mana yang Lebih Penting?
Pernahkah Anda diminta oleh orangtua untuk selalu berprestasi dalam bidang pelajaran, meski sebenarnya Anda lebih berbakat di bidang kesenian? Atau orangtua tidak membolehkan Anda serius menekuni dunia olahraga jika di kelas belum mendapat ranking pertama? Sebagian orang pernah mengalami hal tersebut saat di bangku sekolah. Lalu bagaimanakah seharusnya bakat di bidang
Foto: Istimewa.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
28
ISSUE
“Satu hal yang ditanamkan, anak harus realistis. Bahwa yang diinginkan tidak pasti tercapai. Tidak boleh suka satu hal tapi menutup mata dengan hal lain.” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Sri Muliati Abdullah ~ akademis dan non-akademis berjalan? Simak yuk pendapat dari para psikolog mengenai hal ini. Menurut Galuh Setia, M.Psi., People Development Supervisor ECC UGM, orangtua sebelumnya harus mencermati definisi dari ‘bakat’ sendiri. “Bakat adalah keterampilan dalam mengerjakan satu bidang. Dan bakat pun tak harus di bidang pelajaran atau akademis saja,” tutur Galuh. Secara umum, bakat terbagi dua, yakni
29
bakat terberi (sudah dimiliki) dan dipelajari (dari pengalaman dan lingkungan). Galuh pun berpendapat bahwa saat ini sedang dikembangkan multiple intelligence atau kecerdasan majemuk yang diusulkan oleh Howard Gardner, psikolog asal Amerika Serikat. Kecerdasan majemuk mencakup tujuh bidang yakni logical-mathematical, spatial, linguistic, bodily-kinesthetic, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalistic
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE di kemudian hari,” ungkap Lia, sapaan akrabnya.
Foto: Dok. CN
dan existential. “Dengan adanya kecerdasan majemuk, seharusnya tak ada lagi yang mengharuskan seorang anak sekolah harus pintar di bidang akademis saja,” imbuh Galuh. Selain itu, Sri Muliati Abdullah, S.Psi, MA, M.Psi, Staf Ahli Psikolog ECC UGM, juga mengatakan bahwa kecerdasan majemuk akan berjalan bagus jika diasah sejak awal lalu dikembangkan dengan baik. “Hal tersebut bisa menjadi bekal karir si anak
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Bagi orangtua, alangkah lebih baik jika sudah mengenali bakat dan kecerdasan majemuk anak sejak dini. Orangtua pun seharusnya mendukung penuh bakat anak, apapun itu. “Agar sejak kecil anak sudah percaya diri, memiliki daya juang, memiliki mental usaha, dan kemampuan berkompetensi,” ucap Galuh. Segala kemampuan itu akan lebih baik apabila diimbangi dengan kecerdasan di bidang akademis. Apalagi jika hal tersebut diimbangi dengan kecerdasan di bidang akademis. Jika sudah beranjak dewasa dan belum juga menemukan bakat yang sesuai, cobalah untuk tajam mencermati diri. Apa yang Anda suka dan tidak suka, apa keahlian Anda, apa bidang yang Anda bagus di dalamnya. Lalu buatlah perencanaan matang akan bakat yang nantinya akan Anda tekuni. “Komunikasi harus dijaga oleh orangtua. Tunjukkan bahwa itu pilihan dengan pemikiran masak, bukan emosi sesaat,” komentar Galuh. Galuh melanjutkan, ketika orangtua 30
ISSUE melarang Anda menekuni bakat tersebut, kemukakan alasan-alasan logis dan tunjukkan dengan data. Harus Realistis Namun, pola pendidikan di Indonesia memang mengharuskan anak-anak sekolah untuk menguasai bidang akademis agar dapat lulus dari jenjang pendidikan formal. Menanggapi hal tersebut, Galuh berkata, “Jika anak kurang berbakat di bidang akademis, yang perlu diperhatikan nilai acuan agar anak tetap diarahkan untuk mampu mengikuti pelajaran.” Tapi belakangan, beberapa sekolah formal pun mulai menerapkan penggabungan antara nilai akademis dengan prestasi atas bakat yang dimiliki siswanya. “Satu hal yang ditanamkan, anak harus realistis. Bahwa yang diinginkan tidak pasti tercapai. Tidak boleh suka satu hal tapi menutup mata dengan hal lain,” pungkas Lia. Orangtua harus memberikan kesempatan bagi anak untuk melakukan eksplorasi bakat, tapi harus tetap diarahkan menjalankan kewajibannya di sekolah formal.
31
Menurut Lia, kecerdasan akademis bukanlah hal terpenting ketika si anak ingin memasuki dunia kerja. “Orang sukses mencari pekerjaan tidak hanya butuh pandai dan nilai kelulusan tinggi. Hasil kecerdasan hanya dijadikan salah satu acuan,” jelas Lia. Di samping kecerdasan akademis, ada tiga hal penting yang harus lebih dulu diperhatikan, yaitu intelektual, kepribadian, dan pola kerja. “Tiga hal ini tidak bisa instan, idealnya harus disiapkan dari usia dini. Salah satunya ya dengan mengasah kemampuan majemuk,” ucap Lia. Maka dari itu, penting bagi orangtua untuk segera menyadari bakat dari sang anak. Lalu mengiringinya agar bakat itu berguna baginya di masa depan. Untuk Anda yang sudah beranjak dewasa dan belum menemukan bakat, mulailah kenali kelemahan dan kelebihan diri. Sukses untuk Anda! [CN/NIS/CRTV]
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
Foto: Istimewa.
Kualitas Sekolah Bukan Soal Biaya Semua orang tua tentu menginginkan yang terbaik untuk perkembangan anak-anak mereka. Dan pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi perhatian utama orang tua. Sekarang ini semakin banyak orang tua yang merasa perlu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah berkualitas. Sekolah berkualitas dinilai mampu
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
membentuk mental, fisik, dan emosi anak sehingga tumbuh kembang anak bisa optimal. Banyak anggapan bahwa sekolah berbiaya tinggi menghasilkan lulusan yang berkualitas. Sekolah favorit juga selalu diidentikkan dengan sekolah berkualitas.
32
ISSUE Benarkah selalu demikian? Benarkah dengan mahalnya biaya bisa menjamin kualitas pendidikannya? Mitos Sekolah yang Berbiaya Tinggi Keunggulan sekolah berbiaya tinggi yang menarik minat para orang tua adalah keunggulan berupa fasilitas yang lengkap dan mewah. Sekolah berbiaya tinggi dianggap mampu memberikan fasilitas dan sistem pembelajaran yang berkualitas. Sekolah berbiaya tinggiberani mengandalkan fasilitas dan lisensi metode pengajaran luar negeri serta gedung yang mewah. Mungkin hal tersebut yang membentuk paradigma masyarakat, bahwa sekolah berbiaya tinggi mampu memberikan fasilitas dan sistem pembelajaran yang berkualitas. Namun, berkualitas atau tidaknya suatu sekolah tidak bisa hanya dilihat dari fasilitas dan sistem pembelajaran yang ditawarkan. Banyak faktor yang mendukung sekolah tersebut berkualitas atau tidak. Hal itu sesuai dengan pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Presiden 33
Foto: Istimewa.
Susilo Bambang Yudhoyono, pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang memiliki kurikulum, bahan ajar, metodologi, sistem dan infrastruktur yang sesuai dengan perkembangan era informasi. Sekolah bisa mewujudkan kualitas yang baik dengan perencanaan satuan pendidikan yang matang, pengelolaan, daya dukung, dan manajerial pemimpin yang bermutu. Sekolah Berbiaya Tinggi Lebih Diminati Anggapan bahwa sekolah berbiaya tinggi menjamin kualitas yang bagus masih melekat kuat di masyarakat kita. Banyak orang tua berbondong-bondong
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
memasukkan anak-anak mereka ke sekolah berbiaya tinggi yang dinilai mampu “Saya ingin anak-anak mendapatkan memberikan kualitas dibanding sekolah lingkungan belajar yang baik, selain itu biasa pada umumnya. juga supaya Bahasa Inggris anak-anak tidak luntur karena dulu kami sempat tinggal di Sebenarnya, apa motivasi yang luar negeri,” tutur Ibu Lely. melatarbelakangi para orang tua kini sehingga merasa perlu menyekolahkan Diakuinya, biaya yang harus dikeluarkan anaknya di sekolah mahal? untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut memang jauh lebih tinggi Dihubungi via telepon, Selasa (25/06), Ibu dari biaya di sekolah lain pada umumnya. Lely Setiyono, salah satu orang tua yang Bahkan hampir setara atau sama dengan menyekolahkan anak-anaknya di salah biaya masuk ke perguruan tinggi. Namun, satu sekolah bilingual ternama di Indonesia tingginya biaya yang harus dikeluarkan menjelaskan alasan beliau memasukkan untuk pendidikan anak-anaknya tersebut anak-anaknya di tersebut. tidak menjadi kendala bagi Ibu Lely.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
34
ISSUE
“Soal kualitas, tentu kembali pada kemampuan masing-masing anak.” ––––––––––––––––––––––––– ~ Wening Hidayati ~
Harapan Ibu Lely dan para orang tua lainnya tentu tidak salah. Semua orang tua pasti ingin anak-anak mereka mendapat pendidikan yang berkualitas. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa sekolah berkualitas di Indonesia sebagian besar didominasi oleh sekolah-sekolah favorit yang biayanya
35
tidak bisa dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Jika para orang tua lebih cermat memilih sekolah, ada banyak faktor yang bisa menjadi pertimbangan untuk memilih sekolah yang tepat bagi anakanaknya. Ada beberapa sekolah berbiaya tinggiyang memiliki fasilitas dan kegiatan ekstrakurikuler yang juga dimiliki oleh sekolah biasa. Hanya mungkin, fasilitas dan ekstrakurikuler yang ditawarkan sekolah yang berbiaya tinggi lebih beragam dan lengkap. Tapi untuk kualitas, tidak bisa digeneralisasikan bahwa sekolah berbiaya tinggi pasti berkualitas. Fasilitas lain yang menjadi unggulan bagi sekolah berbiaya tinggiadalah adanya asrama untuk siswa-siswinya. Fasilitas asrama ini mungkin yang menjadi salah satu penyebab sekolah tersebut membebankan biaya pendidikan yang mahal. Selain itu, di beberapa sekolah berbiaya tinggijuga menerapkan metode pembelajaran bilingual di mana pengajarnya berasal dari luar negeri, atau biasa dibsebut native speaker. Tentu butuh biaya yang tidak sedikit untuk VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE mendatangkan dan merekrut native speaker tersebut. Metode pembelajaran di sekolah yang berbiaya tinggi sudah banyak yang mengambil konsep seperti di luar negeri. Pembelajaran lebih ditekankan pada konsep alam, moving class, dan sebagainya. Sekolah berbiaya tinggi juga menerapkan pembatasan jumlah siswa pada setiap kelasnya. Hal ini bertujuan untuk membuat kelas semakin efektif karena perhatian pengajar pada siswanya bisa menyeluruh. Sedangkan pada sekolah biasa, rata-rata jumlah siswa per kelasnya mencapai 30 anak lebih. Kondisi tersebut dirasa bisa membuat suasana belajar di sekolah biasa kurang efektif dan kondusif karena terlalu banyak jumlah siswa di dalam satu kelas. Akan tetapi, dengan metode pembelajaran yang tepat dan pengajar yang berpengalaman, tentu hal tersebut tidak menjadi penghalang.
yang berbiaya tinggi. Ibu Lely menuturkan jaminan anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah berbiaya tinggiakan menjadi lulusan yang berkualitas tidak selalu benar.“Sekolah berbiaya tinggi dan favorit tidak bisa menjamin menghasilkan lulusan yang berkualitas. Soal kualitas, tentu kembali pada kemampuan masingmasing anak,” tutur Ibu Lely. Baik sekolah mahal, favorit, dan sekolah biasa, tidak ada jaminan bahwa lulusannya pasti berkualitas. Sekolah hanya memfasilitasi pendidikan yang terbaik bagi siswa-siswinya. Dengan bekal kurikulum, bahan ajar, metodologi, sistem, dan infrastruktur yang baik tentu lulusan yang dihasilkan juga akan baik.
Semua sekolah pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga membutuhkan waktu bagi orang tua untuk mempertimbangkan sekolah mana yang tepat untuk anak-anaknya. Ingat, sekolah yang mahal belum tentu merupakan sekolah yang paling tepat bagi anak. Kalau Kualitas Lulusan ada sekolah biasa yang berkualitas, kenapa Ketika ditanya mengenai anggapan sekolah harus di sekolah yang mahal?(CN/IMS) berkualitas yang identik dengan sekolah VOL. 16 SEPTEMBER 2013
36
ISSUE
Pilih Sekolah Formal atau Homeschooling? Semakin berkembangnya zaman tidak pelak semakin berkembang pula pendidikan yang ada. Sekarang kita mengenal ragam alternatif pendidikan yang tidak mengharuskan peserta didik untuk datang ke sekolah dan berseragam rapi, salah satunya adalah homeschooling.
Dengan demikian terdapat pilihan untuk melanjutkan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan, apakah akan memilih sekolah formal ataukah homeschooling. Ada baiknya, sebelum menentukan pilihan, terlebih dahulu mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penasaran?
Foto: Dok. CN
37
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE Yuk simak artikel berikut ini. Mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap orang. Pendidikan pada khususnya pendidikan dasar merupakan perbekalan yang ada pada masa kanak-kanak sampai remaja yang nantinya akan dibutuhkan pada saat dewasa. Kini, dengan makin merebaknya institusi pendidikan baik formal dan informal seolah mendorong orang tua untuk memilih yang terbaik bagi anaknya terkait masa depannya kelak. Pada masa sekarang ini tentunya Anda
pernah mendengar kata homeschooling yang termasuk dalam sekolah informal. Sistem yang ada pada homeschooling berbeda dengan sekolah regular. Sekolah informal semacam homeschooling ditujukan guna memfasilitasi kegiatan siswa yang tidak bisa tertampung oleh sekolah reguler, homeschooling hadir menawarkan solusi. Menurut Sofiatun.S.Pd.I, Kepala Sekolah SDN Langensari Yogyakarta,’’Dengan adanya sekolah informal membuat siswa
Foto: Dok. CN
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
38
ISSUE yang berfokus pada bidang tertentu bisa menyesuaikan jadwal. Bahkan pemerintah, melalui beberapa sekolah, sudah mulai menyediakan sekolah bagi anak yang memiliki minat bakat khusus.” Terkait beasiswa, memang terdapat perbedaan antara sekolah formal dan homeschooling. Meskipun keduanya berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional, sekola formal mendapatkan lebih banyak akses daripada homeschooling sebab bukan berbentuk institusi. Untuk institusi seperti homeschooling, diwajibkan mengelola beasiswa secara mandiri.
Foto: Dok. CN
39
Proses Pembelajaran Pada umumnya di sekolah reguler siswa diberikan materi pada hari tertentu terkait silabus yang ada. Sehingga siswa tinggal menerima kegiatan belajar mengajar dengan duduk tenang di dalam kelas. Berbeda halnya dengan siswa homeschooling, siswa yang datang bisa memilih materi apa yang sedang diinginkan namun tentunya juga harus menyesuaikan dengan jam tutor. Terkait jam belajar biasanya siswa sekolah dasar diwajibkan datang ke sekolah pukul tujuh dan kemudian pulang ketika tengah
Foto: Dok. CN
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
ISSUE hari. Sedangkan sistem homeschooling hanya mewajibkan siswa maksimal belajar selama tiga jam dan bebas menentukan waktu istirahatnya maksimal lima belas menit. Kurikulum dan Legalitas Kurikulum yang diterapkan oleh sekolah regular dan homeschooling samasama mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun pada homeschooling orangtua sangat berperan
penting karena mereka harus mengatur kebutuhan belajar dengan tutor. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan sekolah regular yang menyerahkan penuh proses pembelajaran pada guru di sekolah. Terkait Sistem Pendidikan Nasional yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 disebutkan pula bahwa homeschooling merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Homeschooling berada di bawah naungan Direktorat Pendidikan
“...sekolah informal membuat siswa yang berfokus pada bidang tertentu bisa menyesuaikan jadwal...” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Sofiatun.S.Pd.I ~
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
40
ISSUE Kesetaraan, Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional.
sekolah negeri.
Homeschooling dan sekolah formal memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dalam proses pelaksanaannya. Siswa yang memilih homeschooling akan Peran serta orang tua dalam menentukan memperoleh ijazah kesetaraan yang di pilihan tersebut sangatlah penting. Setiap keluarkan oleh Departemen Pendidikan anak memiliki kebutuhannya masingNasional (Depdiknas) yaitu paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara masing. Maka dengan alternatif pendidikan yang ada sudah selayaknyalah anak-anak SMU. Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan ke sekolah formal mendapatkan studi yang sesuai dengan minat bakat mereka. So, mulai rajutlah atau yang lebih tinggi bahkan ke luar negeri sekalipun. Namun demikian, lulusan masa depan dimulai dengan pendidikan. siswa homeschooling tidak bisa terdaftar di [CN/IP/NOV]
41
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
POTRET
Foto: Istimewa.
Belajar Tanpa Kekangan Setiap anak adalah spesial dan berhak mendapatkan pendidikan. Untuk memfasilitasi kegiatannya yang beragam, hadirlah salah satu solusi di dunia pendidikan yaitu homeschooling. Salah satu homeschooling yang cukup mumpuni
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
di Yogyakarta adalah Homeschooling Kak Seto (HSKS). HSKS merupakan institusi pendidikan informal di Indonesia yang mengembangkan bakat dan minat siswa tanpa mengesampingkan pendidikan akademiknya. 42
POTRET Sejarah Berdiri HSKS hadir di Yogyakartaa sejak 2010 dan merupakan terusan dari HSKS cabang Semarang. Sebelum berkantor di perumahan Taman Palagan Asri 3 seperti saat ini, HSKS Yogya menempati salah satu tempat milik orangtua peserta didik di kawasan Seturan, Yogyakarta. Awal mula berdirinya adalah adanya permintaan peserta didik yang merasa membutuhkan institusi pendidikan yang berdasarkan atas fleksibilitas waktu.
Foto: Istimewa.
akademiknya. Ini merupakan salah satu Di samping itu, kehadiran HSKS merupakan solusi alternatif pendidikan bagi anaksuatu upaya meningkatkan bakat dan anak. “Aspek-aspek lainnya adalah minat anak tanpa melupakan aspek adanya ketidaksesuaian sistem pendidikan formal terhadap anak tertentu sehingga menimbulkan school phobia dan lain sebagainya,” tutur Arif Hidayatullah, Wakil Manager HSKS Jogja. Pengajar HSKS pada awalnya didatangkan langsung dari Semarang dan pada perkembangannya membuka kesempatan bagi tenaga pengajar di Yogyakarta untuk bergabung. Saat ini, Kaka Tutor —sebutan akrab tenaga pengajar— berjumlah delapan orang yang datang dari Foto: Istimewa.
43
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
POTRET multidisplin ilmu sesuai bidang masingmasing.
saja dan di mana saja seperti tengah berada di rumah”, ungkap Arif.
Metode Pembelajaran Jenjang pendidikan pada HSKS ini dimulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA seperti sekolah formal pada umumnya. Tingkat SD terdiri dari kelas I sampai kelas VI, SMP terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, sedangkan tingkat SMA terdiri dari kelas X sampai kelas XII.
Besaran Biaya Anda tentunya bertanya-tanya mengenai berapa kocek yang perlu dikeluarkan untuk bisa mengikuti homeschooling.
“Everybody is a teacher and every place is a school.”
Sistem pelajaran HSKS menggunakan metode komunitas dan distance learning. Komunitas merupakan proses pembelajaran di mana peserta dikumpulkan di sebuah kelas untuk belajar bersama sambil bersosialisasi dengan teman-temannya. Sedangkan distance learning merupakan proses pembelajaran di mana peserta ––––––––––––––––––––––––– belajar di rumah dengan modul dan orang tua yang berperan besar sebagai ~ Anomin ~ pendidiknya. Dalam kedua metode tersebut jadwal belajar disusun sesuai kesepakatan antara peserta, orang tua, dan badan tutorial. “Melalui pendekatan pembelajaran yang hommy, Homeschooling Kak Seto Arif mengungkapkan besarnya biaya ingin membuat anak-anak merasa nyaman itu tergantung pada kemampuan belajar karena mereka dapat belajar kapan orangtua. Jika ada orangtua yang VOL. 16 SEPTEMBER 2013
44
POTRET yang menaungi HSKS.
Foto: Dok. CN
Homeschooling Kak Seto merupakan institusi mandiri yang tidak terikat dinas jadi tidak memungkinkan untuk mendapatkan anggaran bagi siswa. “Apa yang dikeluarkan oleh siswa akan kembali oleh siswa”, pungkas Arif. Pendidikan bukan hanya menyoal kognitif. Pendidikan yang sebenarnya adalah proses kemahiran hidup dan mampu mengembangkan kemampuan sesuai minat dan bakat. Homeschooling hadir sebagai salah satu wadah yang dapat dijadikan alternatif pembelajaran. Tergantung kemantapan dan bagaimana setiap orang berproses menuju pendewasaan. [CN/IP/ NOV]
Foto: Dok. CN
memiliki kemampuan kurang namun ingin menyekolahkan anaknya di HSKS, Arif mengungkapkan bahwa bisa langsung menghubungi HSKS setempat dan kemudian akan dicarikan foundation yang nantinya diurus oleh Yayasan Anugrah Nusa Bangsa Indonesia (ANSA), lembaga
45
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
POTRET
SANGGAR ANAK ALAM:
Sekolah Itu Tak Cuma Soal Hafalan
Foto: Dok. CN
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Nama : Sanggar Anak Alam Perintis : Sri Wahyaningsih Alamat : Kampung Nitiprayan, Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY 55182 Berdiri : 2000 Telepon : (0274) 417964 / 0813 2853 4936 Email :
[email protected] Twitter : @SalamJogja Facebook : https://www.facebook.com sanggaranakalam.jogja 46
POTRET
Foto: Dok. CN
Sanggar Anak Alam atau yang biasa dikenal dengan sebutan Salam, merupakan sebuah sekolah alternatif yang concern terhadap pengembangan bakat anak. Sekolah ini berdiri di Lawen, Banjarnegara, Jawa Tengah, pada 1988. Digagas oleh Sri Wahyaningsih atau yang akrab disapa dengan Wahya, yang melihat banyak anakanak yang mengalami putus sekolah dan pernikahan dini.
tindakan. Oleh karena itu, Wahya tergerak untuk mendirikan sebuah sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak di daerah tersebut. Sebab sebelumnya pada 1983, dirinya bersama Romo Yitno, melayani di daerah Code, Yogyakarta. Pada masa itu, di daerah tersebut merupakan area pemukiman para gelandangan dan orangorang pinggiran yang semuanya berasal dari desa.
Dengan melihat kondisi tersebut, Wahya merasa terpanggil untuk melakukan suatu
Hal tersebut sangat mirip dengan kondisi yang terjadi di Lawen. “Saya
47
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
POTRET membayangkan kalau semisal angkatan ini pergi ke kota akan mengalami nasib yang sama seperti yang di Jogja. Padahal di desa kan banyak potensi yang bisa digali,” jelas beliau. Keberadaan Salam sangat didukung oleh masyarakat sekitar, terutama anak-anak. “Kebetulan anak-anak juga suka kalo ada yang memfasilitasi dan menemani. Mereka sangat merindukan itu,” tambahnya. Antusiasme Masyarakat Dalam menjalankan misinya tersebut, Wahya ternyata mendapat sambutan dan antusiasme baik dari masyarakat. Awalnya ia seorang diri. Namun lambat laun ia dibantu juga oleh para orangtua murid, kelompok ibu PKK, dan beberapa pengajar sekolah formal yang berada di sekitarnya. Bahkan saat ini orangtua murid juga turut memberikan andil besar dalam kegiatan pengajaran yang berlangsung di Salam. Sebanyak 75% orangtua terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Di samping itu, dukungan tidak hanya terlihat dari peran aktif orangtua murid dan masyarakat sekitar, tetapi juga dari permintaan untuk menambah tingkat/ VOL. 16 SEPTEMBER 2013
kelas pendidikan yang lebih lanjut. Awalnya Salam hanya beroperasi sebagai kelompok belajar bagi anak-anak. Pada tahun 2004, Salam kemudian membuka kelas PAUD, dan tahun 2006 ditambah dengan TK atas permintaan warga sekitar. Hingga pada akhirnya dibuka pula tingkat SD dan SMP tidak lama setelahnya. Berkaitan dengan peran serta orangtua pada pendidikan anak-anak mereka, menurut beliau hal tersebut selaras dengan desain sekolah yang dicontohkan Ki Hadjar Dewantara. Beliau menjelaskan semestinya sekolah memiliki Tri Pusat Pendidikan, “Jadi di dalamnya ada keluarga, masyarakat, dan lembaga sekolah”, tegasnya. Beliau menegaskan bahwa sejatinya pendidikan harus dimulai dari keluarga. Itulah mengapa Salam bersinergi dengan para orangtua murid untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran anak-anaknya. Beliau menambahkan, sistem pendidikan yang diterapkan pada sekolah-sekolah formal terkesan terpisah dengan kondisi lingkungan setempat. Di mana hal tersebut mirip dengan kasus yang terjadi di Lawen. ‘’Banyaknya anak yang putus 48
POTRET sekolah di Lawen, diakibatkan oleh tidak bersinambungnya konsep pendidikan tersebut. “Sekolah dikonsep seperti kehidupan lain di luar kehidupan para murid sehari-hari,” ungkapnya dengan memberi alasan. Berdasarkan pengamatan tersebut, Wahya menyadari bahwa sebenarnya sistem pendidikan yang didesain sama dari pusat, tidaklah tepat jika diterapkan di sekolahsekolah yang berada di pelosok, sebab kehidupan desa identik dengan pertanian. Desain sistem pendidikan dari pusat mengharuskan siswa memakai sepatu, berseragam, dan konsep pengajarannya tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. “Ini tentunya justru akan menghilangkan esensi kearifan lokal yang sudah terpatri dalam tindakan sosialbudaya anak-anak masyarakat sekitar,” terangnya mantap.
pengalaman yang didapatkan dari sekolah atau lingkungan. Dengan kata lain, Salam memberikan stimulan atau rangsangan agar si anak mampu menemukan bakat atau minatnya sendiri. Sebagai sekolah informal, tentu materi yang diajarkan di Salam agak berbeda dengan sekolah-sekolah biasanya. Salam lebih menekankan pada pembelajaran yang berfokus pada pengembangan kemampuan pemahaman dan nalar individu, dan berdasar pada empat perspektif. Keempat perspektif tersebut
Bakat dan Minat adalah Utama Konsep Salam pada dasarnya adalah fasilitator yang artinya segala pembelajaran lebih bertumpu pada anak yang bersangkutan. Termasuk juga potensipotensi yang muncul dari pengalamanFoto: Dok. CN 49
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
POTRET
Foto: Dok. CN
Foto: Dok. CN
adalah pangan, kegiatan, lingkungan siswa dalam menyelesaikan suatu soal atau hidup, dan sosial-budaya. “Kondisi permasalahan,” tambah Wahya. geografis Salam juga mendukung, menyatu dengan alam, menambah daya terapan Hal tersebut sangat berbeda dengan
“Mendengar kita lupa, melihat saya ingat, melakukan sendiri saya mengerti, menemukan sendiri saya menguasai.” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Sri Wahyaningsih, Pendiri Salam ~
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
50
POTRET Beliau mengibaratkan, “Misalnya di sekolah ada Pancasila atau PPKN (teorired), yang sudah aplikatif. “Salam memiliki penjadwalan piket, sehingga mereka mulai bisa berbagi, bagaimana berterima kasih pada orang lain. Nah nilai-nilai itu yang kita tambahkan,” tukas beliau menambahkan.
Foto: Dok. CN
materi pembelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah formal, yang mana hanya didominasi oleh teori-teori aplikatif, namun kurang atau belum tentu bisa diaplikasikan pada kasus yang sebenarnya.
51
Konsep dan materi pembelajaran Salam yang berbeda dengan sekolah pada umumnya tentu memunculkan pertanyaan bagaimana kelanjutan dari murid-muridnya jika ingin melanjutkan sekolah ke jenjang formal. Untuk menyikapinya, ternyata Salam memberlakukan ujian persamaan atau paket yang diselenggarakan oleh pemerintah. Oleh karenanya, walaupun konsep Salam berbeda dengan sekolah pada umumnya, hal tersebut tidak menjadi halangan apabila siswanya ingin berganti jalur ke sekolah formal. “Akan kita selenggarakan ujian persamaan, jadi tidak perlu khawatir apabila nantinya akan melanjutkan ke jenjang sekolah formal,” ujarnya menuturkan. Kehadiran Salam merupakan sebuah alternatif baru di tengah sistem pendidikan dewasa ini. Kita dapat berkaca pada Salam, VOL. 16 SEPTEMBER 2013
POTRET bahwa sebuah ilmu, bisa didapatkan dengan cara apapun dan di mana pun. Dan sudah sewajarnya, kita sebagai manusia peduli dengan kelangsungan pendidikan di Indonesia. Bakat dan minat adalah utama, bukan hanya perkara kognitif semata. Sudah seharusnya anak-anak sebagai generasi penerus, mampu menemukan bakatnya kemudian dikembangkan dan menjadi mahir. Sesuai dengan motto yang diusung oleh Salam, Mendengar kita lupa, melihat saya ingat, melakukan sendiri saya mengerti, menemukan sendiri saya menguasai. [CN/OCH/NOV]
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
52
INSPIRE
Foto: Dok. CN
53
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
INSPIRE
SRI WAHYANINGSIH:
Jumpai Kebebasan Lewat Sekolah Prestasi dan Penghargaan: • 1991 : Follow Asoka, bidang pendidikan masyarakat • 2004 : Insan Permata, bidang pendidikan • 2011 : Kedaulatan Rakyat Award, bidang pendidikan • 2012 : Perempuan Djava Award • 2013 : Tupperware She Can
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Senyum Sri Wahyaningsih, atau yang biasa dipanggil Wahya, mengembang siang itu. Sembari tersenyum, diceritakannya sejarah berdirinya Sanggar Anak Alam (Salam). Dirinya terinspirasi oleh Ki Hadjar Dewantara, yang mengibaratkan sekolah bagaikan sebuah taman. “Taman itu kan sesuatu yang menyenangkan. Tempat di mana kita bisa merasa senang, bisa
54
INSPIRE merdeka di situ. Bisa ada kenyamanan,” ujarnya. Beliau juga meyakini bahwa sebenarnya setiap manusia yang dilahirkan memiliki
yang sehat pasti akan menghasilkan buah yang baik pula, demikian sebaliknya,” jelasnya mantap. Atas perasaan itulah, sosok yang pernah
“Jangan sampai benih-benih yang lahir ke dunia diarahkan ke arah yang salah. Beri benih itu media dan biarkan memilih bakatnya sendiri.” –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– ~ Sri Wahyaningsih, Pendiri Salam ~
bakat-bakat tersendiri, dan bakat tersebut lah yang harus diarahkan ke arah yang tepat. “Kita harus pelihara benih tersebut dan beri media yang pas agar tumbuh dengan baik. Benih yang tumbuh di tanah 55
menjadi ketua RT wanita pertama di Kabupaten Bantul tersebut memilih untuk terjun dan berkontribusi dalam dunia pendidikan dengan mendirikan Salam, yang menurutnya berperan sebagai media VOL. 16 SEPTEMBER 2013
INSPIRE dalam upaya pengembangan talenta anak. Anak-anak dapat belajar dengan bebas, disesuaikan dengan minat dan bakat mereka.
sebebas-bebasnya, bahkan telah menjurus ke arah liar dan tidak terkendali. Padahal menurut beliau, bebas yang semestinya berarti juga tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sehingga apabila disandingkan dengan pendidikan, kebebasan yang dimaksudkan adalah bebas memilih bakat dan minat dan selanjutnya akan dikembangkan ke arah yang sesuai. Perempuan kelahiran Klaten, 19 Desember 1961 ini menambahkan, Salam hadir sebagai salah satu tempat pembelajaran yang tidak terpengaruh kapitalisasi. Saat ini, menurutnya, kapitalisasi tidak hanya menghinggapi dunia perekonomian, tetapi juga turut terserap hingga ranah pendidikan. “Tampaknya kini, seseorang didesain seperti robot, seolah-olah manusia hanya terdiri dari unsur kognitif saja,” ujar lulusan STIE Yakub Yogyakarta Jurusan Keuangan&Perbankan tersebut.
Foto: Dok. CN
Hal tersebutlah yang membuat Salam tidak melakukan pemasaran gencar Beliau juga tidak menyangkal, masih atau membuka pendaftaran sebanyakbanyak persepsi yang keliru mengenai banyaknya. Baginya, sekolah adalah hak paham kebebasan tersebut. Sehingga setiap orang, bukan semata-mata milik yang terjadi adalah kebebasan atau kemerdekaan dimaknai sebagai bebas yang kelompok atau perorangan yang memiliki VOL. 16 SEPTEMBER 2013
56
INSPIRE modal besar. Apabila pendidikan telah dipayungi dengan kapitalisme, maka sekolah tersebut juga akan menghasilkan orang-orang yang hanya berorientasikan materi semata.
yang dilayangkan terhadap dirinya, tidak pernah ditanggapi dengan serius. Baginya hal tersebut adalah tantangan yang bisa dilewati begitu saja.
Beliau sudah terlanjur sayang dan juga Menjadi seseorang yang turut berkontribusi menemukan sebuah sahabat, sebuah keluarga kecil yang menyenangkan. Beliau dalam dunia pendidikan, membuatnya juga akan tetap berjuang memberikan yang mampu melihat secercah kebahagiaan terbaik dan memperkuat eksistensi Salam. yang terpancar dari diri anak-anak “Jangan sampai benih-benih yang lahir didiknya. “Saya jadi ketemu banyak anakke dunia diarahkan ke arah yang salah. anak, ketemu banyak orang dan menjadi keluarga besar, itu sangat menyenangkan,” Beri benih itu media dan biarkan memilih bakatnya sendiri,” tutupnya. [CN/OCH/ ucapnya sambil tersenyum. AGG] Meski demikian, beliau juga tetap memperjuangkan banyak hal, termasuk salah satunya adalah menepis anggapan negatif yang muncul pada masyarakat. Beliau masih sering menerima anggapan sinis dari masyarakat mengenai eksistensi Salam. Banyak juga yang beranggapan, “Wah itu sekolah liar!” atau Wah, itu sekolah apa sih kok cuma main-main saja kegiatannya!”. Kerasnya berbagai sindiran
57
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
BOOK REVIEW Judul : Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah! Pengarang : Eko Prasetyo Tera Bajraghosa Penerbit : Resist Book Tebal Halaman : 144 halaman Tahun Terbit : 2006
Foto: Dok. CN
Resensi: Dunia pendidikan Indonesia sedang diterjang ombak pasang. Setelah dituding lalai secara operasional, kini ia kembali dihadapkan pada polemik biaya adminstrasi. Spekulasi demi spekulasi tentang akar masalahnya muncul ke permukaan. Barangkali ini ulah globalisasi, aparatur dalam negeri, atau jangan-jangan ini hanyalah sebuah titik rendah dalam roda ekonomi. Apa pun sebabnya, Eko Prasetyo mungkin adalah yang pertama VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah! menanggapi dengan cara yang agak nyeni. Bukti autentiknya dapat anda temui dalam buku berjudul Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah, buah tangannya dan sang illustrator, Tera Bajraghosa. Buku terbitan Resist Book ini berkisah tentang anekdot-anekdot dalam dunia pendidikan. Bak meracik sebuah antologi, Eko Prasetyo membagi karyanya ke dalam lima babak kronologis: TK, SD, SMP, SMA, dan Perkuliahan. Tiap babak berisi petikan58
BOOK REVIEW petikan adegan satire yang tentunya sarat akan gelak tawa dan kritik sosial. Intip saja cerita berjudul Pelajaran Etika Penuh Larangan yang bermuatan kritik terhadap pembekalan tata krama di Sekolah Dasar. Eko menghadirkan tokoh guru berbusana militer yang secara bertubi-tubi membius murid dengan aturan-aturan kaku. Mulai dari larangan ngompol, membantah guru, hingga menangis tatkala pelajaran dimulai. Sang guru tergelak kaget saat mendapati para murid ternyata hanyalah stereofoam bergambar. Nuansa resistansi terhadap kediktatoran guru dan birokrasi pendidikan tergambar jelas di buku setebal 144 halaman ini. Simak saja bagian berjudul Semua Harus Seragam. Eko terlihat menyindir tegas peraturan penyeragaman busana di sekolah. Dengan menyematkan kalimat Bhineka Tunggal Ika di akhir cerita, ia menyatakan dengan tegas kebimbangannya terhadap homogenitas berbusana di Sekolah Dasar. Objek yang dibidik oleh Eko pun tak selamanya guru. Di Musyawarah Kepala Sekolah misalnya, Eko mengandaikan para 59
Kepala Sekolah sebagai Teletubbies, tokoh serial TV bikinan BBC. Minim ekspresi plus tambatan antena di atas ubun-ubun menjadikan ikon Kepala Sekolah terasa seperti medioker. Aroma kritik sosial menyeruak saat keempat kepala sekolah sepakat memenggal beasiswa untuk kebutuhan pribadi dan membeli fasilitas. Nuansa yang sama pun terpotret dengan cermat oleh Eko dalam Peraturan Baru Sekolah. ‘Biaya insidentil’ istilah yang ia gunakan untuk menyindir aparatur sekolah yang kerap meminta dana administratif di luar SPP, seperti Iuran Peserta Didik Baru (IPDB) dan Dana Sumbangan Pendidikan (DSP). Secara visual, buku terbitan Resist Book ini cukup mumpuni untuk dikategorikan akomodatif. Akomodatif lantaran kepiawaian Tera selaku illustrator dalam menyesuaikan gambar dengan tema dan atmosfir cerita cukup terbilang mumpuni. Misalnya, dengan mengganti latar komik dengan kertas buku tulis yang menjadi ikon abadi anak-anak Sekolah Dasar. Ditambah lagi dengan logo pada sampul di bagian kanan bawah terdapat announcement: VOL. 16 SEPTEMBER 2013
BOOK REVIEW Parental Advisory (Explicit Comic). Sayangnya, unsur kreativitas dalam buku ini sedikit terenggut lantaran konsistensi gambar yang minim. Hampir tiap cerita memiliki gaya ilustrasi yang kontras dan berbeda-beda. Antiklimaks dalam gaya ilustrasi berangsur menurun di halaman ke- 70 ke atas, ditandai dengan semakin abstraknya penampilan para tokoh. Ketegasan para empu Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah untuk meramu kritik dalam canda menjadi keunggulan tersendiri. Anekdot-anekdot segar nan nylekit yang terpampang indah di buku ini memberi warna baru bagi dunia perkomikan Indonesia. Ditambah lagi kegigihan Eko dan Tera untuk menggugat semua aktor yang terlibat, mulai dari mahasiswa hingga guru, juga patut kita acungi jempol.
buku ini memperkecil ruang kontestasi ide. Akibatnya, muncul interpretasi yang satu dimensi terhadap fenomena-fenomena dalam dunia pendidikan yang tentunya bukan hal yang kita harapkan dari komikkomik yang kita konsumsi. Bagi Anda yang ingin membaca komik kritik dengan nuansa baru, mungkin ini adalah pilihan yang tepat. Kehadiran komik ini juga mampu menjadi penggerak pergerakan sosial dalam dunia pendidikan untuk mengkritisi segala perubahan yang terjadi. Dan bagaimanapun di negeri memang ‘Tidak ada sekolah murah’. [CN/ FRD]
Sayangnya, konten yang terbilang ‘keras’ juga menjadi sisi tumpul kumpulan komik ini. Kumpulan ilustrasi yang terangkum tegas dalam buku ini dapat dimaknai secara sempit, terutama untuk mereka yang di bawah umur. Ditambah lagi, minimnya wadah bagi counter argument dalam VOL. 16 SEPTEMBER 2013
60
MOVIE REVIEW Judul : Di Timur Matahari Sutradara : Ari Sihasale Nia Zulkarnain Produser : Ari Sihasale Nia Zulkarnain Rumah Produksi : Alenia Pictures Skenario : Jeremian Nyangoen Pemain : Laura Basuki Lukman Sardi Ririn Ekawati Simson Sikoway Genre : Drama Tanggal rilis : 14 Juni 2012
Foto: Dok. CN
Resensi: Alenia Pictures memang piawai membuat film anak berbalut budaya dan pendidikan. Sebut saja Denias, Senandung di Atas Awan; King; dan Serdadu Kumbang. Pada 2012 lalu, rumah produksi milik
61
Potret Minimnya Akses Pendidikan di Papua Arie Sihasale dan Nia Zulkarnaen ini kembali membuat sebuah film anak yang mengangkat isu sosial dan pendidikan di tanah Papua. Film ini berjudul Di Timur Matahari.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
MOVIE REVIEW Film yang dirilis 14 Juni 2012 ini menceritakan tentang kehidupan sekelompok anak sekolah dasar (SD) di Papua yakni Mazmur, Thomas, Yokim, Agnes, dan Suryani. Sudah beberapa bulan, sekolah mereka belum kedatangan guru pengganti. Tidak dijelaskan mengapa guru tersebut belum juga datang. Namun film ini membuat penonton berspekulasi bahwa daerah yang terpencil dan sulit terjangkau, adalah salah satu penyebabnya. Demi mengisi kekosongan guru, Mazmur pun kerap menyuruh teman-temannya untuk bernyanyi di dalam kelas.
Mazmur dan kawan-kawan meminta Om Ucok (Ringgo Agus Rahman), pendatang dari tanah Sumatera yang sedang mengerjakan proyek di desa mereka, untuk bekerja. Namun Om Ucok menolaknya karena mereka masih terlalu kecil.
Sejak awal, film yang juga dibintangi Lukman Sardi, Laura Basuki, dan Ringgo Agus Rahman ini, telah memotret kurangnya akses pendidikan di tanah Papua. Tiap pagi anak-anak SD selalu berharap-harap cemas kapan ada guru yang datang mengajar mereka. Pun dengan Bapak Yakob, penjaga lapangan terbang tua, yang selalu menanti akan ada pesawat perintis datang membawa serta guru pengganti. Bahkan ada satu scene dimana Mazmur dan kawan-kawan mulai menyerah dan memilih untuk mencari kerja daripada hanya menunggu guru di sekolah.
Konflik di film ini muncul ketika ayah Mazmur, Blasius, dibunuh oleh warga desa seberang. Kabar kematian ini sampai kepada adik dari Blasius yang tinggal di Jakarta, Michael (Michael Jakarimilena). Ia bersama istrinya Vina (Laura Basuki) pun berangkat ke Papua. Tentu saja, sebagai daerah yang masih kental dengan nuansa adatnya, perang antardesa akibat meninggalnya Blasius tak dapat terhindari.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
Beruntungnya, walau tak dapat mengenyam pendidikan selayaknya siswa SD di kota besar, Mazmur dan kawankawan tetap dapat belajar dari warga pendatang yang bertugas di desa mereka, seperti Om Ucok, Pendeta Samuel (Lukman Sardi), dan Dokter Fatimah (Ririn Ekawati).
Di sinilah muncul perbedaan pemikiran dari masyarakat desa dan masyarakat kota. Michael, yang telah lama tinggal di 62
MOVIE REVIEW tanah Jawa merasa pembunuhan Blasius diikhlaskan saja karena perang balas dendam tak akan menyelesaikan masalah. Sedangkan Alex, adik dari Blasius dan Michael, mengatakan bahwa berdasar hukum adat desa seberang, mereka harus membayar hutang nyawa sebesar tiga miliyar rupiah, kalau tidak maka mereka sama halnya dengan memilih perang antar desa. Pertikaian pun akhirnya terjadi dan menyebabkan ayah dari Suryani serta Thomas meninggal dunia. Di akhir film, kedua desa akhirnya berhenti bertikai karena Mazmur, Thomas, Yokim, Agnes dan Suryani mendamaikan kedua desa dengan nyanyian indah tentang Papua.
Film ini pun patut diacungi jempol karena Arie Sihasale sebagai sutradara menampilkan beragam kesenjangan sosial antara tanah Papua dengan tanah Jawa. Selain pendidikan, ia juga menampilkan harga kebutuhan pokok yang jauh lebih mahal dari tanah Jawa, serta transportasi yang sulit ditemui di tanah Papua. Hal ini dapat menjadi cerminan bagi pemerintah dan masyarakat untuk peduli dengan Papua. Tak hanya membesarkan Jawa saja, namun juga wilayah lain yang masih ada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [CN/NIS]
Meski film ini tak sesukses Denias, Senandung di Atas Awan, yang juga bersetting di Papua, namun kerja keras seluruh kru Di Timur Matahari membuahkan hasil. Simson Sikoway, pemeran Mazmur, memperoleh penghargaan sebagai Pemeran Anak-anak Terbaik dalam Indonesian Movie Awards (IMA) 2013.
63
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
DO YOU KNOW
Do You Know?
Fakta Pendidikan di Indonesia
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
1. Menurut Education for All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia, dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69, dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34). 2. Menurut data Kemendiknas 2010 terdapat lebih dari 54% guru yang tidak memenuhi standar kualifikasi. Data tersebut didukung dengan Analisis Data Guru yang diterbitkan Ditjen PMPTK tahun 2009, diketahui sebaran indeks kualitas Guru di Indonesia setengah nilai maksimal indeks dimana nilai maksimal adalah 11. Dengan demikian indeks kualitas guru adalah sebesar 5,5.
64
DO YOU KNOW
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
65
3. Data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah akibat mahalnya biaya pendidikan. Dari data yang sama pula disebutkan bahwa setiap menitnya ada empat anak Indonesia yang mengalami putus sekolah. 4. Tahukah anda Negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Peringkat pertama dunia untuk kualitas pendidikan diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survey internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak- anak lemah mental. 5. 34% sekolah di Indonesia kekurangan guru. Distribusi Guru tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan Guru. 37% sekolah di pedesaan kekurangan Guru. 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan Guru dan 34% sekolah di Indonesia yang kekurangan Guru. Sementara di banyak daerah terjadi kelebihan Guru.Sumber: Teacher Employment & Deployment, World Bank 2007. VOL. 16 SEPTEMBER 2013
DO YOU KNOW
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
6. Menurut data Kemendiknas 2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian, lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. 7. Setiap menit, empat anak putus sekolah. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah. 8. Pendidikan memberikan pandangan bagi wanita untuk membuat keputusan yang sehat dalam hidupnya. Sebagai contoh, wanita di Mali yang rata-rata memiliki level pendidikan menengah atau lebih tinggi, memiliki 3 anak, sementara yang tidak memiliki latar belakang pendidikan memiliki 7 anak. 66
DO YOU KNOW
Foto: Istimewa.
9. Tingkat melek huruf kaum muda di Amerika Selatan dan Eropa termasuk yang tertinggi dengan melek 90-100 persen. Benua Afrika, bagaimanapun, memiliki daerah dengan melek huruf kurang dari 50 persen pada anak-anak usia 18 dan di bawahnya. 10. Di sub-Sahara, 11.070.000 anak putus sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan dasar mereka. Di Asia Selatan dan Barat,bahkan jumlahnya mencapai 13.540.000.
Foto: Istimewa.
Foto: Istimewa.
67
11. Menurut UNESCO, 61 juta anak usia sekolah dasar yang tidak terdaftar di sekolah pada tahun 2010. Dari anak-anak, 47 persen tidak pernah diharapkan untuk masuk sekolah, 26 persen bersekolah tetapi meninggalkan sekolah, dan sisanya 27 persen diharapkan untuk menghadiri sekolah di masa depan.
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
DO YOU KNOW
12. Anak-anak yang lahir dari ibu yang kurang berpendidikan cenderung akan terhambat atau kekurangan gizi. Setiap tahun tambahan pendidikan ibu juga mengurangi angka kematian anak sebesar 2 persen. Foto: Istimewa.
Sumber-sumber: http://indonesiaberkibar.org/id/tentang-indonesia-berkibar http://www.dosomething.org/tipsandtools/11-facts-about-education-around-world Teacher Employment & Deployment, World Bank 2007
VOL. 16 SEPTEMBER 2013
68
“LEADERS GRASP NETTLES.” ∞ David Ogilvy ∞
– ENTREPRENEUR – on
VOL. 17