Stop Cursing Darkness; Let’s light more and more candles! ~Anies Baswedan, Founder of Indonesia Mengajar~
Berhenti mengecam kegelapan; Ayo menyalakan lilin! Education is the movement from darkness to light. ~Allan Bloom, a philosopher, 1930-1992~
Pendidikan adalah peralihan dari kegelapan ke terang benderang. Education is not preparation for life; education is life itself. ~John Dewey, an American philosopher and psychologist, 1859-1952~
Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah hidup itu sendiri.
BUPATI (Buka Paha Tinggi-Tinggi)
Labuan adalah tempat yang harus saya lalui dan orang-orang lainnya yang hendak menuju Pulau Gili dari Pulau Bawean, atau sebaliknya. Di tempat ini terdapat susunan batu karang yang dipecah dengan panjang puluhan meter. Orang-orang menyebutnya sebagai dermaga. Dimensinya yang pendek mengakibatkan susunan batu ini tak selalu berfungsi sebagai dermaga. Dari jalan lingkar Bawean, tak ada tanda-tanda bahwa itu adalah tempat penyeberangan ke Gili karena tak ada rambu penjelas. Hanya ada jalan setapak yang membelah tambak warga menuju batubatu bersusun itu. Pertama kali saya tiba di tempat ini pada tanggal 16 Juni 2012 sekitar pukul lima sore. Saat berjalan di atas dermaga, di kejauhan saya melihat perahu yang menjemput saya. Orang Bawean menyebut perahu itu kalotok, mungkin karena menghasilkan bunyi tok tok
2
tok dari mesin yang memutar baling-baling sebagai energi pendorong. Perahu itu berlabuh jauh dari dermaga karena air laut sedang surut. Akhirnya saya dan Wintang1 berjalan menuju perahu itu melewati air laut berlumpur dan berpasir. Saya membiarkan kaki dan celana panjang saya berlumpur dan basah, kecuali tas laptop yang berisi peralatan elektronik kupertahankan tetap berada di atas permukaan air. Setelah berjalan lebih dari 30 menit, akhirnya saya tiba di perahu. Dua orang penduduk asli Gili yang masih asing buat saya, telah berada di perahu itu. Mereka berdua adalah Pak Jumari dan Pak Saifullah, kelak mereka yang menjadi teman baik saya di Gili. Perahu meluncur bebas di atas permukaan laut. Ombak yang tinggi akibat musim angin timur membuat perahu terombang ambing. Saya duduk di lantai tengah perahu yang sebenarnya juga berfungsi sebagai atap pelindung mesin dan barang sang pemilik perahu ketika mencari ikan. Perahu yang oleng ke kiri dan ke kanan membuat perasaan saya was-was. Dalam hati saya berdoa dan mengingat Tuhan sekaligus tak hentihentinya terkagum memandangi air laut. “Kok ada air tergenang seluas ini” kata saya dalam hati. Ini memang pengalaman pertamaku bersama ombak sebesar itu di lautan.
1
Pengajar Muda II yang saya gantikan.
3
“Wintang disambut dengan ikan yang melimpah dan dengan laut yang tenang saat pertama kali datang. Sedangkan sampeyan disambut dengan ikan yang sedikit dan ombak yang tinggi” tiba-tiba Pak Juma membuka pembicaraan dengan ramah. Memang benar, Wintang ketika pertama kali ke Pulau Gili satu tahun lalu ombaknya cukup teduh. Akibatnya, nelayan dapat mencari ikan di laut setiap hari. Namun ketika kedatangan saya saat ini, ombak begitu besar sehingga nelayan kadang tidak melaut. Akibatnya ikan menjadi sulit didapatkan. Bahkan ketika kami di Gresik, Pengajar Muda II yang menjemput kami khawatir tidak ada kapal yang berlayar ke Bawean karena gelombang tinggi. Mendengar pernyataan Pak Juma, saya tersenyum dan menimpali dengan suara keras “mungkin karena ombak ini tahu saya orang Sulawesi yang nenek moyangnya adalah pelaut.” Mereka berdua pun tertawa mendengar itu! Mungkin lucu tetapi ada benarnya juga, dimana orang Sulawesi Selatan khususnya Mandar, Makassar, dan Bugis berlayar mengarungi samudra nusantara, bahkan hingga ke benua Eropa, Afrika, Australia, dan Asia. Perahu Sande’ milik Suku Mandar merupakan perahu tertua dalam budaya maritim di Indonesia, sedangkan perahu Pinisi milik orang BugisBulukumba tersohor sebagai perahu yang bisa berlayar hingga jarak yang jauh. Tak mengherankan jika dimanamana banyak terdapat orang Bugis-Makassar, seperti di Malaysia dan Singapura. Bahkan di Bawean ini, 4
menurut saya sekitar 80% penduduknya adalah keturunan orang Mandar, Bugis, dan Makassar, walaupun mereka tak tahu lagi bahasa nenek moyang mereka. Sejak pertama naik perahu di Labuan, saya melihat pulau kecil ke arah timur. Warnanya yang hijau pertanda bahwa pulau itu ditumbuhi banyak pohon. Dari jauh bentuknya terlihat seperti kepala buaya yang sedang berenang di permukaan air. Ketika dekat, ternyata daratan yang nampak bagaikan kepala buaya itu adalah satu-satunya gunung di pulau itu. “Tang, itu Pulau Gili yah?” tanya saya kepada Wintang. “Iya, kita akan kesana” jawabnya dengan keras untuk mengalahkan suara mesin perahu. “Ternyata dekat ya?” Dalam hati saya, paling itu ditempuh selama 15 menit. Wintang balik bertanya “iya memang dekat. Kamu kira jauh?” Setelah mengarungi lautan hampir 60 menit, akhirnya kami sampai juga di Pulau Gili. Perkiraan saya hanya 15 menit perjalanan ternyata meleset. Pulau Gili tak sedekat dengan hanya memandanginya dari kejauhan; disangka sangat dekat tapi ternyata tidak. Apalagi jika perahu harus berputar ke arah tenggara menghindari karang-karang akibat air laut surut, waktu perjalanan bisa lebih lama. 5
Saat itu, hari sudah sangat gelap. Tak banyak aktivitas masyarakat yang terlihat. Kami kembali berbasah-basah karena perahu kandas sebelum mencapai daratan pulau. Kondisinya mirip dengan kondisi di Labuan, tetapi yang ini tidak ada lagi batu bersusun yang digunakan sebagai dermaga. Dari kejauhan nampak seorang perempuan bersama kedua orang putranya. Setelah kami dekat, kedua anak itu menyongsong kedatangan kami, ternyata mereka adalah Fuadi dan Farhan, putra Pak Saifullah dan perempuan itu adalah istrinya. Kami pun berpisah dengan pak Saifullah yang telah sampai rumahnya terlebih dulu. Sepanjang jalan menuju rumah, beberapa orang yang kami temui menyapa dengan ramah. Pak Juma dan Wintang memperkenalkan saya sebagai guru yang baru kepada setiap orang yang ditemui di jalan. Ketika waktu magrib sudah sangat tua, kami bertiga sampai di rumah Wintang yang tak lain juga adalah rumah Pak Juma. Ternyata Pak Juma adalah ayah angkatnya Wintang. *** Seiring berjalannya waktu, pantai Pulau GiliLabuan adalah dua tempat yang saya sering lalui. Karena seringnya itulah saya mengetahui pola alam di kedua tempat ini. Pada siang hari di bulan Juni-Juli, perahu dapat bersandar di dermaga pada pagi hari. Lewat dari itu, air laut akan surut dan perahu akan kandas jauh dari dermaga. Kalau di pantai Pulau Gili, biasanya laut surut saat siang dan sore hari. Kondisi itu berubah pada bulan 6
yang lain seiring berubahnya posisi bulan terhadap bumi. Basah adalah tantangan bagi orang yang ingin menyeberangi Gili-Bawean. Orang-orang yang hendak melintas saat air surut biasanya hanya memiliki tiga pilihan. Pilihan pertama adalah menggunakan sampan yang diisi sekitar empat orang. Akan tetapi, ini pun tidak membuat penumpang terbebas dari basah. Sampan itu terisi oleh air dari ombak dan akhirnya penumpangnya duduk di atas air. Dibutuhkan satu orang untuk mendorong perahu itu sampai perahunya kandas. Pilihan kedua adalah langsung turun ke laut dan membiarkan pakaian yang digunakannya basah dan berlumpur. Barang-barang yang tidak boleh basah diangkat supaya tidak terkena air laut. Saya penganut pilihan ini. Pada awalnya saya menderita akibat basahnya pakaian hingga ke celana dalam. Sekarang saya belajar dari penderitaan tersebut, sehingga saya membawa pakaian cadangan jika ingin menyeberang. Pilihan ketiga adalah Buka Paha Tinggi-tinggi alias Bupati. Bahkan bagi yang naik sampan pun tak terhindar dari bupati. Bupati adalah satu-satunya cara apabila ingin mempertahankan pakaian tetap kering atau meminimalkan volume pakaian yang basah. Aktivitas ini tak pandang warna kulit, bulu kaki, agama, status perkawinan, pekerjaan dan jabatan, jenis kain celana, atau apapun itu. Intinya jika ingin pakaian yang 7
digunakan tetap kering, maka mereka harus melakukan aktivitas bupati, bahkan Bupati Gresik sekali pun. Tingkat ketinggian dalam hal ini tentu saja relatif. Ketiga pilihan inilah yang sering digunakan. Namun jangan berpikir ini sebagai kendala aktivitas di Gili, ini hanyalah tantangan yang telah biasa ditaklukkan. Pedagang setiap hari ke Bawean untuk menjual hasil laut dan membeli kebutuhan sehari-hari untuk dibawa kembali ke Gili. Guru-guru sering berlalu lintas dengan tujuan sampai dan mengajar di Gili. Ibu kepala sekolah berendam demi melaksanakan tugas di Gili. Anak-anak yang ingin lanjut sekolah ke Bawean pun tak mau dihakimi oleh kondisi alam tersebut. Yah, itu benar, nasib kita tak boleh dipasrahkan kepada kondisi alam ataupun kepada manusia. Orang Gili sering menyampaikan rasa tidak enaknya karena saya harus melalui jalan seburuk ini setiap saat. “Susah hidup di Gili yah, Pak” kata mereka kepada saya. Saya yakinkan kepada mereka bahwa saya datang dengan penuh kesiapan menghadapi jalan yang sulit seperti itu, serta kekurangan-kekurangan yang ada di tempat penugasan yang sebelumnya saya mudah temui di perkotaan. Semua itu saya alami dengan penuh hikmah. Saya tak peduli apakah saya harus berendam sebelum sampai ke sekolah, harus bergelap-gelapan menunggu senyum anak-anak di pagi hari, atau harus mengomsumsi makanan yang monoton; sebab saya 8
kesini bukan untuk rekreasi, tetapi untuk mengabdi— melunasi janji kemerdekaan. It’s not about me, it’s about them. Yah, ini tentang mereka, tentang peradaban manusia Indonesia.
9