Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris Intervensi Program Plan International Indonesia di Kabupaten Grobogan
“Perubahan Bermakna itu Nyata…” Kisah Keluarga Dampingan Plan di Grobogan
Plan International Indonesia Program Unit Grobogan
Monitoring dan Evaluasi Partisipatoris Intervensi Program Plan International Indonesia di Kabupaten Grobogan “Perubahan Bermakna itu Nyata…” Kisah Keluarga Dampingan Plan di Grobogan
Plan International Indonesia Program Unit Grobogan Jl. Untung Suropati 23 Purwodadi 58111 Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah Phone : (+62) 0292 423388 Fax. : (+62) 0292 425018 www.plan-international.org
@2014 Plan International Indonesia, Program Unit Grobogan All rights reserved. No part of this publication may be reproduced in any form without written permission of the copyright owner.
Penanggungjawab:
Welhelmus Poek, Program Unit Manager
Pengarah:
Djuneidi Saripurnawan, Program Coordinator
A. Masyita Karuniaty Parewe, Child Protection Supervisor
Novean Andriyanto, Community Development Officer
Tommy Iriawan, Community Development Officer
Sutrisno, Financial & Admin Senior Officer
Hilarius Hendrik, Building Relationship Supervisor
Kontributor:
Theofani Zahra, Komunitas Qaryah Thayyibah
Pindho Adhiyaksa, Sarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada
Yunia Rahma Hendisha, Komunitas Qaryah Thayyibah
Rizqi Fi’ismatillah, Komunitas Qaryah Thayyibah
Nur Rosyid, Sarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada
Hana Rukhul Qisthi, Komunitas Qaryah Thayyibah
Tim Pendukung: Seno, Janitor; Joko Prasetya, driver; Dian Larasati & Dwi Lestari, Admin Assisstant. Terimakasih kepada: Komunitas Qaryah Thayyibah, Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, dan para keluarga dampingan Plan di Desa Panimbo, Ngombak dan Prigi di Kabupaten Grobogan.
PROLOG Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan dan rahmat-Nya, akhirnya Plan International Indonesia Program Unit Grobogan bekerjasama dengan kelas menulis dari Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah di Salatiga dan Tim dari Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta telah menyelesaikan proses monitoring dan evaluasi partisipatoris terhadap program Plan sejak tahun 2003 sampai 2014 ini melalui pendekatan kualitatif, yaitu dengan cara indepth interview dan observasi dalam live- in di tengah-tengah keluarga dan komunitas dampingan Plan di desa. Hasil dari proses tersebut disajikan dalam bentuk narasi tentang kisah kehidupan dari anak-anak sponsor (sponsor child) dan keluarga dampingan Plan, sejak awal mengenal Plan, terlibat dalam program Plan, dan perubahan bermakna yang terjadi pada anak sponsor maupun keluarganya. Tujuan dari pembuatan buku tentang kisah perubahan bermakna ini adalah pembelajaran langsung dari perubahan yang dirasakan oleh anak dan keluarga dampingan Plan akibat dari intervensi program Plan selama 11 tahun terakhir ini. Mereka menuturkan langsung melalui para penulis yang mencoba mengungkapkannya kembali dalam bentuk tulisan yang bisa memberikan inspirasi bagi khalayak di mana pun. Purwodadi, 27 Juni 2014
Plan International Indonesia Program Unit Grobogan
Daftar Isi
Bunga Kehidupan, Theofani Zahra
9
Emak Inspiratif Di Panimbo, Theofani Zahra
23
Harapan Anak Petani, Pindho Adhiyaksa
39
Kambing Plan, Penolong Keluarga, Yunia Rahma Hendisha
59
Keberanian Yang Teraih, Rizqi Fi’ismatillah
67
Keluarga Jumadiono, Nur Rosyid
81
Keluarga Adita Salsabela, Nur Rosyid
99
Lestari Posyanduku, Rizqi Fi’ismatillah
109
Nur Faizin, Pindho Adhiyaksa
119
Rangiro, Saksi Bisu Layar Kehidupan, Hana Rukhul Qisthi
135
Sang Kyai, Mengeja Lalu, Hana Rukhul Qisthi
153
Tetap Semangat Meski Dipandang Sebelah Mata, Yunia Rahma Hendisha 177
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
BUNGA KEHIDUPAN Oleh: Theofani Zahra
D
isebut bunga tidur karena sekelebat bayang-bayang ceritanya terjadi ketika manusia lelap dalam tidur. Karena ini soal ketangguhan wanita dan mimpi saat terjaga, maka tidak ada salahnya kita sebut sosok yang akan dihadirkan sebagai Bunga Kehidupan.
Kaum berkelahiran Jawa bertutur, wanita singkatan dari ‘Wani Ditoto’. Namun, berdasarkan asal bahasanya tidak mengacu pada wanita yang ditata atau diatur oleh laki-laki pada umumnya yang terjadi dalam kaum patriarki. Makhluk yang mengandung, melahirkan dan menyusui ini bisa berkembang tangguh karena perasaan lemah lembut yang bersemayam. Sungguh, lemah lembut bukan saja soal pasrah tak berdaya. Semua anak memiliki seorang ibu, daging bernyawa yang paling dekat semenjak wujud belum sempurna. Sosok yang giat menabuh nyanyian kasih untuk lepaskannya menjadi anak kehidupan. Benih kepedulian yang kecil selalu menebas amukan badai sebesar apapun. Selalu banyak cerita dan kisah merana untuk Bunga Kehidupan kita dalam mempertahankan titik pedulinya.
9
Anak Ke-Delapan Sayup-sayup azdan maghrib kala itu menggetarkan bulu roma perempuan berkelahiran tahun 1974. Semua keluarga dari suaminya berkumpul di ruang tamu. Suasana meriah yang hangat menjadi kebisingan yang luar biasa mengganggu. Di tengah curah kebahagiaan dan sorak sorai bertemu sanak saudara, Bu Parmi menyimpan suaranya dalam-dalam. Saya menyadari sebagai perempuan desa yang tidak punya apa-apa. Maka, ingin saya katakan keadaan ini pada keluarga suami saya. “Menawi bapak ajeng pados garwo malih mboten punapa. Mumpung tasih enom.” Pak Suwarli terdiam cukup lama, “mboten. Urip dumugi mati inggih tetep tiang kalih niki.” Sepenggal cerita di atas pernah hadir dalam perjalanan rumah tangga Bu Parmi. Setelah sekian tahun mengarungi bahtera kehidupan bersama. Kedua insan yang dipertemukan ini terlahir di desa yang sama yaitu Panimbo, tapi berbeda dusun. Ibu Parmi sejak kecil hidup di Dusun Beran sedangkan Bapak Suwarli berasal dari Dusun Salam. Sekarang keluarga ini menetap di dusun Salam bersama Putra dan Putrinya. Tidak ada pekarangan rumah yang bisa dijadikan tempat bermain bagi anak-anak Bu Parmi. Karena rumah mereka tepat berada di belakang tetangga. Disampingnya hutan jati dan di belakang terhampar ladang luas. Selamet, anak laki-laki pertamanya memang lebih suka bermain sendiri, mencerminkan kepribadian intrapersonalnya. Perangainya rajin, sehingga sepasang suami istri ini begitu menyayanginya. “Selamet niku mboten remen dolan kalih konco-koncone. Senenge nggih ngoten niku. Piyamba’an”. Pak Suwarli berusaha menceritakan sebatas apa yang dilihat soal anak sulungnya. Slamet memilih bercengkerama dengan Ayam Jago, Burung Dara dan Jangkrik kesayangan. Dengan tangannya sendiri dia merawat hewan-hewan itu, mungkin karena kecerdasan natural mengalir diantara neuronnya. Kemarin dia ikut disidang oleh guru sekolah SMP Negri 04 Satu Atap Kedung Jati. Pasalnya anak ini menjadi korban tonjok dan tendangan kaki temannya. Menurut cerita Bu Parmi, anak pendiam ini hanya berniat meleraikan teman-temannya yang sedang bertengkar. Dalam keterbatasan yang teramat sangat, Bu Parmi tidak henti-hentinya bersyukur atas kehidupan 10
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
yang diberikan Tuhan. Berulangkali beliau menyebut nama “Plan”. Organisasi Internasional ini memang mengincar anak kesayangan Bu Parmi. Sebagai objek kepeduliaan dan perlindungan. Slamet yang kurus dan kulitnya hitam kering telah menjadi sebuah keajaiban hidup bagi keluarga Bapak Suwarli. Sebuah permata yang akhirnya ditemukan setelah penggalian bertahun-tahun. Bu Parmi bercerita dengan senyum getir karena mengingat kehidupannya dahulu. “Kula niku urip’e rekoso sanget awit riyen.”
Selamet, putra dari Pak Suwarli dan Bu Parmi
Seorang istri mana yang bisa tidur tenang menerima kenyataan tidak bisa melahirkan seorang anak? Kehamilan pertama sungguh membuat bahagia, tapi lama-lama akhirnya harus tahu juga, ternyata Bu Parmi menderita penyakit lemah kandungan. Kadang keguguran diusia kehamilan tiga bulan, kadang empat bulan, kadang sudah sampai tujuh bulan. Terakhir sudah mengantongi bayi sampai usia delapan bulan, tapi tiba-tiba lenyap tanpa tanda apapun. Perut Bu Parmi kempes lagi tanpa melahirkan. Siapa yang sanggup? Membayangkan Ibu kurus ini mananggung beban jiwa di tengah situasi genting soal kehidupan yang beliau tapaki. Di tengah kemiskinan, diantara kesusahan dan hidup dalam kealpaan, masih didera kesedihan yang mendalam. Dari pancaran matanya, beliau bercerita penuh dengan keteguhan. Sudah tujuh kali hamil dan semuanya gugur, Ibu yang satu ini akhirnya pasrah. Hendak melepaskan suaminya untuk memperistri perempuan lain. Namun bagi Pak Suwarli sendiri, itu sama
11
sekali bukan alasan apalagi permintaan yang harus dituruti. Cukup menangguhkan kesabaran hingga beberapa saat, akhirnya Putra laki-lakinya terlahir dengan sempurna. Mendekam lama di rahim Bu Parmi dan terlahir di rumah sendiri. Jadi, Selamet terhitung sebagai anak ke delapan. *** Di belahan dunia yang berbeda, justru banyak wanita yang tidak ingin memiliki buah hati. Bagi sebagian orang, memiliki anak itu terlalu menyusahkan hidupnya. Menambah kesibukan dan membatasi kebebasan untuk menikmati gemerlap dunia. Tapi bukan kasih sayangnya kehidupan. Di daratan yang lain, beda lagi situasinya. Perempuan bekerja meninggalkan anaknya. Sungguh tidak ada salahnya, asalkan dia tak lagi banyak peduli soal buah hatinya. Tapi bagaimana dengan Ibu yang bertahun-tahun meninggalkan anak dan keluarga? Belum lagi, saat mereka pulang sudah menjadi mayat, atau lumpuh karena majikan sendiri. Atau seorang buruh pabrik yang berangkat sebelum anaknya bangun dan pulang ketika anaknya sudah tertidur. Siapa yang akan mengajari anak soal moral? Siapa yang akan menasihati anak yang sedang ciut nyali? Yang sedang resah melihat pertunjukan di atas dunia yang tua ini? Diantara gundukan kuman, seorang bayi tersenyum dalam lelap. Karena dihari-hari awal menghuni bumi, si mungil akan tertidur hampir dua puluh empat jam penuh. Sayang sekali, karena dia tergolong anak yang ketika lahir tidak melihat Ayah dan Ibunya. Si Ayah kabur setelah menaruh benih. Dan karena wanita cantik tak mau menanggung malu, dia menidurkan anaknya dalam ranjang sampah. Di pinggir jalanan kota yang makmur, anak-anak menolak pemberian roti dan kotak susu, meski mereka sangat mengharapkannya. Karena anak-anak yang berdandan kumuh dan menggendong adik bayinya ini sudah menjadi mesin uang bagi Ibunda yang galak. Jauh lebih galak dari anjing penjaga. Tanpa nurani, dari jarak yang dekat dia mengawasi anaknya mengemis. Dan masih banyak lagi warna kehidupan yang perannya dirajai oleh sosok wanita. Mimpi bangsa adalah mimpi anak-anak, maka seorang Ibu yang akan merawat mimpi itu sampai berwujud nyata. Beruntunglah generasi dusun Panimbo yang berjumpa dengan Bu Parmi hari ini. Sebenarbenarnya guru yang terlanjur berniat menjalankan pesan dari organisasi pemerhati anak yang sempat singgah.
12
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Gaji Sekali Seumur Hidup Hari ini hanya tiga anak yang berangkat ke sekolah, biasanya ada enam. Kebetulan, pagi ini ada gotong royong di rumah penduduk. Beberapa tetangga ikut membantu persiapan untuk hajatan pengantin besok. Tiga kawan anak yang tidak berangkat ikut orang tuanya ‘sambatan’ ke rumah tersebut. Bagaimana pun juga, tiga anak mungil ini sudah cukup meramaikan ruang TK dan hati Bu Parmi. Jam setengah delapan mulai masuk ke ruangan. Agenda pagi ini mewarnai gambar dengan krayon. Satu anak dengan pipi gembul terlihat tidak memakai seragam, sedang dua lainnya memakai baju putih dan rompi kuning. Menurut cerita Bu Parmi, di TK ini tidak pernah ada agenda pengadaan seragam baru, karena akan sangat mahal sekali jika jumlahnya sedikit. Jadi setiap ada anak yang lulus, seragam tersebut akan dipindah haknya pada murid TK yang baru. Pantas saja jika warna kuningnya sudah pudar sedemikian rupa. Satu jam kemudian saatnya istirahat. Alat-alat bermain sudah rusak, tergeletak murung di samping bangunan TK. Kali ini tukang sayur tidak datang membawa banyak snack, membuat jam istirahat begitu sepi. Bu Parmi mengajak tiga murid ini untuk pulang ke rumah beliau, setidaknya ada permen dan beberapa minuman yang bisa dibeli. Sambil lari-larian mereka bercanda di sepanjang jalan, sedangkan telapak kaki mereka kepanasan tanpa alas.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Di belakang rumah, Bu Parmi memperlihatkan anak sapi yang baru lahir empat hari yang lalu. Tiga generasi baru di dusun Beran itu diajak untuk mengenali warna dengan media pembelajaran kulit sapi, anak sapi dan kambing hadiah dari Plan. Umur kambing betina yang berwarna hitam ini sekitar sembilan tahun, diberikan pada Bu Parmi ditahun 2005. Tepat saat bangunan TK sudah siap digunakan, dan Bu Parmi telah bertekad menjadi guru relawan. Bu Parmi mengungkapkan landasan niat yang membuatnya teguh, “Riyen sak derengipun wonten TK, anak-anak dusun Salam niku sedaya namung longa-longo pas mlebet kelas setunggal SD. Menawi lintune kan sampun sami saged mahos sekedik-sekedik. Kula niki mesa’ke kalih anak-anak mriki.” Pendidikan taman kanak-kanak tidak pernah dicantumkan sebagai pendidikan wajib. Namun saat pendidikan pra sekolah dasar tersebut sudah membumi di desa Panimbo, seoalah-olah generasi di Dusun Salam menjadi tertinggal. Pasalnya, Dusun Salam sangat jauh dari akses pendidikan daripada dusun-dusun yang lain. Bu Parmi sangat iba melihat anak-anak tetangganya hanya longa-longo saat memasuki hari pertama di sekolah dasar, di saat anak lainnya yang sudah mengenal huruf dan warna. Sampai sekarang Bu Parmi masih mengajar di TK, namun gajinya hanya satu anak kambing saat pertamakali mengajar di ruang sempit itu. Biasanya orang bekerja digaji satu kali perbulan, namun kali ini satu kali seumur hidup. Orang tua wali hanya memberikan uang bulanan dua puluh ribu saja, itu pun sudah habis untuk membeli kapur, alat warna dan beberapa keperluan lainnya. Karena tidak ada gaji, maka Bu Parmi dipagi yang petang sudah berangkat ke ladang, jam setengah tujuh kembali ke rumah lalu siap-siap mengajar. Begitu pun selesai mengajar, beliau kembali ke ladang lagi untuk menyusul suaminya. “Menawi mboten ngoten niku, ajeng pripun malih?” Kepasrahan itu disampaikan dengan senyum. Ibu penyayang ini menceritakan beban bulanan untuk sekolah Selamet dan adiknya. Tapi bagi beliau apa pun akan dilakukan demi pendidikan anaknya. Sungguh, tiada beratnya sama sekali. Bertahun-tahun silam saat tanah di bawah bangunan tersebut masih dihuni hutan jati, Bu Parmi mendapat pelatihan mengajar ramah anak, persiapan menjadi guru, berikut bantuan buku, mainan dan meubul dari Plan.
17
“Menawi wonten pelatihan, kadang kula nderek. Tapi menawi pas mboten gadah artho inggih mboten mlampah. Riyen kula niku biasane mlampah ten kecamatan kedungjati mrika” Dari dusun Salam menuju ke kecamatan kedungjati butuh waktu satu jam lebih, itu pun perjalanan dengan speda motor. Padahal jalanan berbatu itu ditempuh Bu Parmi dengan jalan kaki demi menghadiri pelatihan guru-guru TK. Tapi setelah itu Bu Parmi berkisah dengan sangat bangga karena pernah menghadiri pelatihan sampai ke Salatiga, bahkan Jogja. Matahari sudah mulai terik, waktu pulang sudah hampir tiba. Mereka berdo’a serentak sesuai dengan apa yang guru mereka ajarkan. Ruang kecil yang catnya sudah lusuh itu ditinggalkan. Pintu bagian bawahnya sudah roboh, bahkan gemboknya mudah saja di bobol, hanya seperti hiasan semata. Toh, sepanjang pengalaman tidak pernah ada maling yang tertarik untuk memasukinya. Keramik putih berdesak-desak, akhirnya pecah dari lantainya. Dusun kecil ini dikelilingi oleh hutan jati dan ladang jagung. Dengan kesunyian dan lembutnya cahaya matahari, tercipta pemandangan yang sangat mahal harganya. Daun jati kering yang gugur membentuk pola-pola manis diantara kerasnya pohon yang menjulang tinggi. Bukit-bukit yang curam dan berkelok sangat memanjakan mata asal mau memandangnya dengan senyum. Tapi tentu saja penduduk di dusun ini tak hirau dengan pemandangan. Hari-hari mereka terlalu sibuk jika harus menyempatkan diri untuk menikmati kehijauan yang membentang. Ataupun mereka sudah terlalu bosan ditemani keindahan ini dalam merengkuh kehidupan yang melelahkan, termasuk Bu Parmi.
Malam dan Waktu Bu Parmi meneriaki putranya dari dalam ruang tamu. Sedangkan Selamet di samping pintu mngelus-elus kepala Ayam Jantannya. “Met, Jagone dipakani disek..!” Sebelum Selamet berucap apapun, Nenek dengan jarik coklat tua dan kemben merah muda menimpali perintah Bu Parmi, “Mau wes tak pakani.”
18
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Di rumah bapak Suwarli, tersimpul senyum keriput dari Neneknya Selamet. Baru setahun yang lalu mata tuanya bisa menyapa hari yang bening. Selama lima tahun sebelumnya, Ibunda Bu Parmi menderita katarak. Nasib mereka hari ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Pada malam yang sangat lama, dingin mencekam menyelimuti dusun Salam. Seseorang menderita sakit parah. Semua tetangga berkumpul dan harus cepat-cepat membawanya ke rumah sakit, karena tidak ada satu pun yang paham soal tubuh apalagi ilmu medis. Tali, kayu dan kain. Tiga benda ini disulap menjadi tempat paling nyaman untuk berbaring. Jalanan berlumpur sampai ke lutut, tak ada satu pun kendaraan yang bisa melewatinya. Tak ada satu pun lampu yang berjajar di sepanjang hutan membentang. Sedangkan, seseorang ini harus segera sampai rumah sakit yang jauhnya amit-amit sekali. Sekarang, kalau naik motor mungkin membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam lebih. Gelap di hari itu harus disingkap dengan kepedulian yang paling dalam. Barangkali ada tujuh orang yang harus ikut memikulnya sampai ke rumah sakit. Senyap sekali, begitu menakutkan sampai ke rongga tulang dada. Bukan kemiskinan ini yang begitu jahat melahap mereka, namun begitu juga akhirnya tentang malam dan waktu. Sebelum gemerlap rumah sakit yang penuh lampu dicium, calon pasien ini sudah terlanjur kaku di atas kain yang dipikul. Loh, terus bagaimana kalau ada Ibu hamil yang hendak periksa kandungan? Mendadak terasa akan melahirkan? Anak yang tiba-tiba demam? Entahlah. Mereka kira kematian dramatis macam itu pula yang akan ditemui nanti. Satu persatu, waktu membunuh orang-orang yang belum sempat mencium damainya hidup. Dan pikiran itu mulai pergi dari kepala tanpa diusir. Sekarang mereka tahu, bagaimana harus menjaga kesehatan. Mungkin sebelumnya tidak pernah terpikir soal jamban, pembuatan sumur, apalagi ilmu-ilmu penting seputar kesehatan “Ibu dan Anak”. Lewat program ‘Pemberian Makan pada Bayi dan Anak’ Plan metakkan sikap kesehatan untuk mencapai keadaan yang mendukung pertumbuhan serta perkembangan. Semenjak itu pula Bu Parmi menyadari soal keajaiban ASI yang alami daripada semua jenis susu yang mahal. Kesehatan fisik bukan hanya soal asupan gizi, namun banyak berbicara soal lingkungan yang bersih. Karena patogen tubuh banyak bersarang di dalam kotoran dan kuman. Sebelumnya tidak ada 19
kamar mandi sama sekali di dusun ini. Tanpa disebutkan, pasti sudah ada gambaran yang melintas dimana mereka harus membuang hajat, membersihkan diri, dan membersihkan pakaian. Maka dari itu Plan turut mengajak masyarakat bekerja keras menggali sumber air, membangun penampungan air hujan dan MCK. Kemudian program ‘tidak BAB sembarangan’ pun mulai diterapkan untuk berbagai umur. Meski sampai saat ini masih ada satu atau dua orang yang BAB di sungai. Sekarang, tempat tinggal Bu Parmi sendiri sudah layak disebut rumah. Ada ruang tamu berlantai kayu, ada beberapa kamar istirahat, dapur yang lebar, kandang ternak, sumur dan WC. Menurut tutur beliau, banyak jenis bantuan ini dulunya diberikan secara bergilir. Kebersamaan di dusun ini begitu kental. Maka dengan pengertian yang halus dan jelas tidak pernah ada keributan. “Mboten wonten ingkang iri. Mergane sedaya kebagian bantuan, sinahuso gantian. Kadang tigo keluargo kebagian WC, mangkih gantian liane kebagian sumur. Menawi mendo mangkih diparingi mbok-mbokan, anak’e dibagi-bagi dumugi kebagian sedoyo”. Tutur Bu Parmi saat mengingat hari-hari yang berkesan. Sumur-sumur di sekitar, digunakan secara bersama. Apalagi ketika musim kemarau sudah tercium, satu persatu akan mulai kering, dan mereka tetap berbagi. Jika sudah sampai puncaknya kemarau, Selamet harus mengantri ke sumber air paling jauh sejak tengah malam. Pasalnya, jam setengah enam pagi sumber airnya kering. Sudah berpindah ke penampungan warga masing-masing. Suasana yang amat sederhana ini telah menjadi hal yang paling mewah bagi Bu Parmi, keluarga dan semua tetangga. Dengan ucap syukur Bu Parmi menambahi, “Sekarang sudah jauh lebih baik. Sudah ada motor untuk bisa mengambilnya. Dulu Selamet harus jalan kaki sejauh itu setiap hari saat musim kering.” “Saestu kula seneeeng sanget sampun ketekanan Plan. Sampun dibantu sekabehanipun. Sampun, poko’e mboten wonten kekurangane saking Plan.” Mungkin Bu Parmi sedikit kualahan untuk membahasakan rasa syukurnya atas kehadiran Plan kala itu. Ada satu momen yang ia pamerkan pada setiap tamu yang datang ke rumah beliau. Di dinding papan itu tergantung sebuah foto Bu Parmi sekeluarga bersama orang tua asuh Selamet. “Ingkang mriki wonten tiang tigo. Ingkang setunggal jaler, ingkah kaling putri. Sak kelingane kula nika namung setunggal, asmane Nelly,” Bu Parmi terus berusaha mengingat sambil memandangi foto tersebut.
20
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Orang tua sponsor dari Amerika mengunjungi keluarga Pak Suwarli
Entah tahun berapa, waktu itu Selamet dikunjungi oleh orang tua sponsor dari Amerika. Kedatangan itu menjadi kebahagiaan tersendiri yang sangat berkesan bagi keluarga Bu Parmi. Foto kenangannya masih bersih di dalam figura kaca. Selamet yang cenderung pendiam pun malu-malu menyampaikan kesannya sebagai anak sponsor. “Yaaa.. seneng. Dikasih tas, dikasih hadiah.. udah, gitu saja. Pokoknya seneng,”Senyum kecilnya diiringi dengan gugup. Bu Parmi mengaku pernah mendapat satu kali surat dari orang tua sponsor, menanyakan soal kabar. Tapi sayangnya, waktu itu Bu Parmi tidak membalas surat tersebut. Jadi, komunikasinya terhenti sampai disitu saja. Bunga kehidupan selalu terlahir di tengah pekarangan yang tandus. Bunga kehidupan hanya bisa mekar dengan kepedulian dan keikhlasan. Bermanfaat tak harus mewah, tapi selalu memberi meski dalam keadaan pantas diberi. Kebodohan dan kemiskinan akan terus diberantas bunga kehidupan kita yang terlanjur mekar di dusun Salam. “Sampun diparingi bantuan kathah saking Plan, sampun diajari dados guru TK. Kula mboten ajeng mandeg selagi tasih mampu” 21
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
EMAK INSPIRATIF DI PANIMBO Oleh: Theofani Zahra
Desa Selalu Tertinggal?
J
ika ada istilah tertinggal maka dapat dipastikan ada satu hal yang diikuti. Dia yang berada di depan. Apa yang diikuti? Kenapa diikuti? Apakah harus diikuti? Ah… Sebelum pertanyaan ini terjawab, ada pertanyaan yang lebih mengganjal lagi. Tertinggal menurut siapa?
Pagi dan sore selalu bersahabat lewat warna-warnanya, meski direntang oleh jarak waktu. Gelombang warna jingga meluncur cepat di setiap celah pepohonan rimbun, menusuk sampai ke desa terpencil, begitu orang-orang menyebutnya. Hutan-hutan rimbun menyelimuti sekelompok perumahan. Anak-anak bermain bebas di atas jembatan, di pinggir sungai, dan naik turun di jalan sempit tengah kebun. Kalau tahu tempat asri nan jembar begini, pasti heran kenapa orang-orang memilih berebut tanah dan mengarungi polusi tengah kota. Rumput liar diberi tempat yang sangat luas. Tak ada satu pun pengganggu yang menjamahnya. Pohon-pohon jati meneduhkan dengan daun lebar. Tanahnya kering dan keras. Bebatuan ditata rapi sebagai tanda bahwa ini jalanan. Menunggu pemerintah menempelkan aspal untuk jalanan ini, mungkin sama lamanya membiarkan batu-batu curam jadi halus oleh sandal jepit dan ban motor.
23
Setidaknya bebatuan ini menjaga para penduduk agar tidak tergelincir setelah hujan mengguyur. Tapi ratusan lubang di tengah jalan akan menjadi kolam bebek pada satu musim. Meski jarang ada bebek di Dusun ini. Mulai jam sembilan pagi, terik matahari sudah muram seperti siluman jahat. Sinar kuningnya merekah, mencubit tangan-tangan hitam tanpa permisi; mencuri persediaan air di dinding pori-pori. Merindingnya seperti detik-detik akhir mau dikuliti. Diam saja sejenak, maka terasa sekali kilauan uap menggelitik naik. Hidung mereka seperti daun padi yang disinggahi butiran embun. Tapi agaknya penduduk di sini tak memincingkan mata apalagi meringis. Mungkin sudah terbiasa.
Melihat debu-debu terbang, kita hanya bisa menelan ludah; bibir retak dan mata setengah melek. Membayangkan salju turun di antara daging kering ini. Siang yang tidak pernah ramah tapi selalu diwarnai dengan senyum. Ada banyak hal yang hanya bisa dinikmati dengan kebersamaan. Tapi di desa, kebersamaan adalah nafas sehari-hari. Maka menjadi damai dan begitu teduh, asalkan ramah dan siap menyapa setiap berpapasan. Pada musim kemarau begini jangan pernah heran melihat air digendong di punggung. Sumur penduduk desa bakalan kering kalau hujan tak datang. Makanya tanah-tanah luas ini tak pernah diisi dengan padi. Ya, kebanyakan ditumbuhi kayu jati, jagung, ketela, kacang, kedelai dan pisang.
24
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
“Wekdal ngaten niki gedang murah. Nganti jeleh, ngendi-ngendi ono gedang.” Seorang Ibu bercerita dengan santai di teras rumah. Seperti perempuan pada umumnya, mereka selalu punya tempat paling santai untuk membuat grup cerita. Yang lain mulai menyambung dan menambahi. Setiap rumah selalu ada pisang yang sudah masak. Bahkan mereka sampai berumpama, seandainya kita ambil pisang di ladang orang, tak akan dikejar dengan teriakan maling. Mungkin justru diberi ucapan terimakasih karena sudah mau memanen pisangnya. Semua pisang yang terlanjur masak tidak mungkin dijual ke pasar, akhirnya banyak pisang busuk yang dibuang. Apalagi kendala transportasi yang membuat desa ini terasa begitu terpencil dan
terkurung. Padahal seandainya pisang-pisang ini bisa dibawa keluar sebanyak apa pun, pasti tetap laku dengan harga sangat mahal, seperti pada umumnya. Atau seandainya penduduk di sini bisa mengolah pisang dalam berbagai bentuk makanan, maka tidak akan ada yang sia-sia soal pisang. Melihat wajah-wajah tua masyarakat desa ini, selalu tergaris lintang kepasrahan. Dalam hati ingin sekali kutanyakan, tidakkah mereka ingin memikirkan hal baru? Merubah hari-harinya? Paling tidak mengganti masalah tidak sekedar soal pisang dan sumur yang kering setiap kemarau, sejak dulu sekali. Hanya segelintir pemuda yang berlalu-lalang melewati jalan beton sempit. Kebanyakan sudah lari ke Jakarta menjadi buruh kuli bangunan.
25
Memandang desa ini secara fisik, orang-orang yang menikmati kehidupan dengan fasilitas lebih layak akan menyebut Panimbo sebagai Desa yang terkategori tertinggal. Lebih-lebih soal ekonomi yang kurang tercukupi, angka pengangguran masih tinggi, bahkan masih saja zamannya pernikahan anak. Hak-hak anak terenggut pula karena harus menanggung beban keluarga setelah lulus SMP. Ya, boro-boro mau berpikir soal kesehatan. Sama sekali tak pernah terbesit soal pola hidup sehat dan makanan syarat gizi. *** Sosok wanita murah senyum memancarkan semangat lewat sorot matanya. Ketika aku terpentok dalam tatapan mata hitam agak keabuabuan, rasanya pandangan itu berbisik sesuatu. ‘Kebahagiaan tidak akan pernah habis saat kita berani bersahabat dengan kepedihan. Peluk dan pegang eratlah setiap permasalahan. Kehidupan hanya soal siap dan tidak siap, Nak’. Kurang lebih demikianlah yang berhasil kuterjemahkan. Aku anak kedua yang telah lama dia lahirkan. Tapi entah sejak kapan aku mulai merasa memiliki nama Meysi Andriani. Yang pasti, begitulah yang tercatat dalam lembar akte kelahiranku. Aku pun tidak banyak tahu soal nama ini, mungkin karena aku terlahir di bulan Mei, maka senada pula dengan panggilan yang disandangkan. Selebihnya tidak paham.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Suatu pagi, mentari datang kesekian kalinya. Sekolah tempatku belajar tidak begitu jauh dari rumah, kira-kira hanya satu kilo meter. Anak-anak seumuranku yang terlahir di Ibu Kota Indonesia, mungkin tak pernah merasakan momen ini. Saat melewati jembatan, aku dan kawan-kawan sekolah menyempatkan waktu barangkali dua sampai empat menit untuk memandang langit dan molekul air yang mengalir santai. Mencium harum embun yang menguap per butirnya. Sedangkan di kota hanya sibuk macet dan bolak-balik memandang jam tangan. Itu pagi yang berat dan menyedihkan. Tapi ada pemandangan yang sedikit memalukan. Lukisan ini pula yang menyebabkan aku sadar telah menjadi bagian dari mereka, masyarakat yang tinggal di desa terpencil, Panimbo. Kita sudah biasa sekali mandi di tepi sungai, meski di atas ada jembatan, tempatnya manusia berlalulalang. Begitu pula saat buang hajat. Bagiku itu jauh lebih baik daripada meninggalkan kotoran di tengah kebun. Sungguh bau dan tak mau aku menginjaknya saat bermain petak umpet bersama teman-teman. Aku semakin melebarkan senyum saat genting sekolahku menyapa dengan warna baru. Meja dan kursi diperbaharui, cat mengkilap membersihkan tembok-temboknya, begitu juga dengan pintu dan banyak perabotan lainnya. Aku tidak menyangka betapa mahalnya benda-benda ini. Aku pun tidak
tau alat-alat ini di mana dan bagaimana membuatnya. Yang kutahu ini sangat menyenangkan, tak begitu peduli siapa yang memberinya. Mak Iroh--begitu orang-orang memanggilnya saat hendak membeli mie ayam, gorengan, macammacam bahan makanan atau es buah favorit di warung Ibuku--adalah wanita paling semangat yang pernah kulihat, meski kali ini pandanganku hanya sebatas dusun Panimbo. Kata Ibu, ada malaikat yang datang ke desa kami, membawa banyak pengetahuan dan hal baru untuk kami. Kabarnya juga aku dijadikan anak asuh, yang memiliki orang tua asuh di seberang jauh sana. Ternyata malaikat ini yang membuat sekolahku seperti baru lagi. “Waku itu aku masih sangat kecil, dikasih tas sama alat tulis. Semua anak-anak dikumpulkan, diajak bermain sepanjang hari. Semenjak itu di dusun kami penuh dengan kegiatan menyenangkan.”
Benih di Tanah Panimbo Lembah ini diapit oleh dua pegunungan kapur, yaitu Pegunungan Kendeng di bagian selatan dan Pegunungan Kapur Utara di bagian utara. Dari letak wilayahnya sudah dapat dibayangkan, jalanan naik turunlah yang harus dilewati seseorang untuk menuju ke dalamnya. Wilayah tengah yang rendah ini menyandang nama Grobogan. Menurut cerita tutur yang beredar, di satu masa pasukan kesultanan Demak menyerbu ke pusat kerajaan Majapahit. Dalam pertempuran tersebut pasukan Demak memperoleh gemilang kemenangan. Runtuhlah kerajaan Majapahit. Ketika Sunan Ngundung memasuki istana, dia menemukan banyak pusaka Majapahit yang ditinggalkan. Di antaranya ada barang pusaka, wayang, perhiasan, senjata dan sebagainya. Benda-benda itu dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah grobog, kemudian dibawa sebagai barang boyongan ke Demak. Di tengah perjalanan, grobog tersebut tertinggal di suatu tempat karena sesuatu sebab. Peristiwa tersebut sangat mengesankan hati Sunan Ngundung, sebagai kenangan, tempat tersebut diberi nama Grobogan. Panimbo itu sebuah desa yang menjadi bagian kecil Kabupaten Grobogan. “Papan sing Ombo” kurang lebih begitulah kepanjangannya. Nama ini berkaitan dengan luasnya wilayah, yang sebagian besar berupa hutan Jati. Di sinilah surganya para koruptor, jalanan berlubang dibiarkan sampai bertahun-tahun, padahal itulah satu-satunya akses yang bisa digunakan Mak Iroh untuk menempuh 28
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
perjalanan ke pasar. “Dulu jauh lebih parah. Tidak ada jalan, yang ada hanya lumpur hampir selutut.” Mak Iroh bercerita dengan berapi-api tanpa ada kesan ragu sedikitpun. Ibu dengan tiga anak ini sebelumnya besar di Kuningan, Jawa Barat. Setelah dipinang oleh Pak Muksim, gadis yang bernama Rohaenah ini mulai menetap di rumah papan, tengah-tengah Desa Panimbo. Sejak saat itu tak ada lagi jalanan aspal yang mulus membentang yang bisa dilihat, apalagi membayangkan berjalan di atasnya. Mak Iroh harus menimang anaknya sendirian, karena suaminya menjadi buruh kuli di Jakarta. Kalau sempat, bisa pulang sebulan sekali. Dengan sebongkah harap, Mak Iroh merangkak sedikit demi sedikit membangun warungnya karena tuntutan hidup. Beliau menambahkan menu mie ayam untuk bisa dinikmati pembeli. Pasalnya, penduduk Panimbo harus menempuh perjalanan jauh untuk sekedar menikmati bakso maupun mie ayam. Di tengah perjalanan, semangat itu akhirnya padam juga seperti bara yang disiram air. Mak Iroh kembali menghapus menu itu karena wanita paruh baya ini mulai tak sanggup menempuh perjalanan panjang setiap kali persediaan mienya mulai habis. Senyumnya tersimpul getir melihat anak-anak desa Panimbo berlalu-lalang di jalan depan rumahnya. Dia menikmati pemandangan itu saat sepi pembeli, duduk di bangku panjang samping meja tempat gorengannya bertengger. Keajaiban Tuhan, anak-anak ini bisa terlahir dengan sempurna. Mereka tertidur di rahim penuh dengan goncangan, karena untuk sekedar periksa ke bidan harus melewati jalan bebatuan. Semua anakanak hanya tahu soal bahagia. Kepala mereka selalu melahirkan keinginan baru setiap pagi menyapa, padahal mereka akan bertemu dengan ribuan pagi. Lebih siang sedikit mereka hanya ingin bermain dan menuruti rasa keingintahuannya hingga petang. Rasanya desa ini tidak pernah ingin melihat anak-anak tumbuh menjadi lebih dewasa. Berakhir masa kanak-kanaknya, berakhir pula hari-hari yang hanya kenal bahagia. Ketika mereka mulai tahu bagaimana Ibunya setiap hari berpikir keras untuk mencari makan, dan harus tahu bagaimana lelahnya Ayah bertengkar dengan terik matahari seharian di ladang. Hingga pada pekat malam, mereka harus memilih esok yang pahit demi perut yang selalu rindu nasi. “Namanya juga orang tua, kepingin anaknya bisa sekolah sampai tinggi. Apalagi anak saya sendiri juga pengen, tapi biaya kurang mencukupi. Ya, begitulah.. kadang banyak orang tua yang mampu tapi anak-anaknya justru tidak mau sekolah.”
29
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Mak Iroh sama seperti Ibu pada umumnya, selalu khawatir soal anaknya. Tapi Ibu ini terlalu takut untuk mendengar anaknya bercita-cita. Jika cita-citanya tinggi, beliau hanya berkuasa menelan ludah. Jika cita-cita itu sama seperti remaja Panimbo pada umumnya, mungkin Ibu ini hanya tersenyum pasrah melepas anaknya menjadi buruh suatu saat nanti. Setiap orang, meskipun dipenuhi keterbatasan, berhak memiliki cita-cita. Bagaimana pun tanah ini kering, benih-benih cerdas harus tetap tumbuh dengan pupuk kasih sayang. Pasti akan hijau dan tetap subur seperti mimpi yang tertanam di hati mereka. Senja menyinariku dengan penuh keceriaan, tapi sebentar lagi jubah hitam akan menyelimuti bumi dan membawa malam yang dingin. Aku selalu suka dengan sore yang ramai di desa. Sekumpulan ibu meramaikan teras-teras rumah dengan cerita. Ada juga yang sambil menyusui anaknya, mencari kutu kepala tetangga, bahkan ada yang sekedar duduk terdiam menunggu sapaan. Tapi aku lebih suka melihat Ibuku tersenyum saat segerombol orang mendatangi warung di teras rumah kita. Terlihat sibuk mengangkat gorengan dari dalam, memecah es batu dan sesekali meminta bantuanku. Percikan minyak di tangan ibu mengingatkanku pada semangat yang tak pernah pudar, meski langkahnya kadang tertahan. Pontang-panting kehidupan terlukis di sela-sela keriput pipi dan keningnya. Senyumnya merindukan sunyi yang penuh pukau keindahan cinta. Ibu justru sering menghiburku pada saat aku seharusnya meramaikan sepinya. Dadaku sesak. Ayah, rindu ini kutitipkan pada angin yang berhembus ke barat. Seandainya aku diam dan kau tetap tahu bahwa aku ingin sekali memanjat punggungmu, seandainya kau menatapku dalam-dalam dan tahu betul aku ingin sekali bermain air di sungai, bersama mengerjakan tugas sekolah, mengambil kayu bakar dan kita bisa berantem sampai malam. Lalu kau mengangkatku ke kamar karena tertidur pulas di ruang tamu. Kupendam rindu ini sampai aku melupakannya. Tapi setiap kali engkau pulang, bangunan yang aku tata rapi seperti rubuh kembali. Aku harus mengulang dari awal untuk menata hati agar semakin kuat memendam kerinduan itu. Dan aku masih terdiam melihat tubuhmu yang hitam kelelahan. Membayangkan bongkahan-bongkahan batu yang membuatmu tampak kekar namun kering tak terurus. Sekilas aku melihat senyummu dan kubalas dengan singkat. Sampai tak genap seminggu, kau harus kembali bekerja dan Ibu manatap langkahmu yang semakin jauh. Melamun sejenak untuk beradaptasi pada kesunyian, di tengah hutan dan kehidupan yang menyesakkan.
31
“Bapak mencarikan kami uang. Sebulan sekali, biasanya pulang. Tapi dua hari kemudian harus berangkat kerja lagi.”
Punya Mimpi Seperti botol yang bertemu dengan tutupnya. Jiwa Mak Iroh yang sempat tandus seperti tanah Panimbo ketika kemarau, kini tengah disiram setetes demi tetes air. Nyeeessss… perlahan meresap dengan sempurna dan membuat wanita yang berumur 45 tahun ini semakin haus. Malaikat yang membuat sekolah Meysi menjadi lebih indah itu ternyata bernama Plan Internasional. Tidak berhenti di sini saja, Plan Internasional bukan membual soal cinta pada anak-anak tapi memberikan praktek nyata dan melakukan cara apapun untuk memenuhi hak-hak anak. Kali ini saatnya Plan Internasional membagikan senyum pada Meysi dan kawan-kawannya. “Pertama kali bertemu dengan orang-orang asing itu kaget. Tapi lama-lama saya mulai ngerti soal Plan. Mereka itu banyak membantu dan tidak menghiraukan soal perbedaan agama, ras dan apa pun. Yang penting baik pada anak-anak. Itu yang saya pahami.” Pelajaran pluralitas yang didapat Mak Iroh membuat dirinya selalu nyaman dan mudah membuka diri pada siapa pun. Percikan ilmu ini mendukung keingintahuan yang tinggi dan keberaniannya untuk mengungkapkan kesadaran kritis. Termasuk soal bantuan untuk sekolah-sekolah di desa ini. Pengadunya adalah Mak Iroh. Beliau mengungkapkan kerisauannya karena peduli pada buah hatinya itu. Suatu waktu Mak Iroh melihat kayu lapuk menjadi penyangga genting tempat anaknya belajar. Ibu ini miris jika nantinya kepala anak-anak akan bocor terbentur atap yang roboh. Dengan penuh kepercayaan diri, Mak Iroh menyampaikan hal itu pada relawan yang terkait dengan Plan. Akhirnya, bantuan mulai mengalir satu per satu. Tidak pernah ada yang sanggup merubuhkan kekuatan cinta yang murni dan tulus. Cinta itu semakin terkubur semakin tercium baunya, semakin serius kilaunya. Tidak pernah diumbar tapi wanginya semerbak oleh perbuatan. Beruntunglah Meysi yang memiliki cinta itu dari Ibundanya. Tiada lagi yang mampu berdiri halangi kehendak Mak Iroh berbuat. Sebanyak apapun Plan memberi, tidak akan ada artinya kalau tak ada yang membutuhkan.
32
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
“Sebelumnya saya sudah memiliki bekal ilmu ‘menghargai’ dari agama saya sendiri. Dan ketika kedatangan Plan saya jadi lebih yakin bahwa menghargai perbedaan itu sangat perlu. Saya bisa melihat langsung bagaimana Mas Nugi yang berbeda keyakinan, bisa berbaur dan berbagi dengan kita, masyarakat Panimbo.” ‘Mas Nugi’ tergolong nama yang sering disebut Mak Iroh dalam berkisah. Di momen itu, Mak Iroh mengamati relawan Plan satu ini tidak pernah membedakan satu sama lain. “Semua anak dikumpulkan!” Begitu Mak Iroh menekankan. Tambahnya, “tidak memandang agama maupun kaya dan miskin. Bahkan yang kurang mampu justru lebih diperhatikan.” Sore yang tertinggal di benak, kala itu sangat semarak dengan tawa riang anak-anak. Saat-saat yang paling ditunggu adalah azdan maghrib, karena bulan ramadhan tengah disambut kedatangannya. Semuanya begitu antusias menahan mulut dan melototi makanan. Jantung mereka berdebar menunggu tanda-tanda menunjukkan waktu maghrib, meski sebenarnya diantara anak-anak mungil ini hanya bersandiwara seperti orang berpuasa. Lengkap dan semakin berwarna sekali kebahagiaan mereka dengan acara buka bersama. ‘Poso manuk’ ini salah satu jenis puasa yang digemari anak-anak. Lanjutan kalimatnya ‘esukesuk wes nyucuk’. Artinya, pagi-pagi sudah boleh makan. Kemudian ada lagi, “poso pring”. Kalimat lanjutannya, “esok-esok nyunggi piring”.Maka, diwaktu pagi sudah boleh menyunggi piring untuk makan. Karena semua puasa, relawan Plan yang sering dipanggil ‘Mas Nugi’ ini mengajak semua untuk mengadakan acara buka bersama. Mak Iroh menyampaikan, “meski kita berbeda agama, Mas Nugi juga sering berbaur dengan anakanak belajar di TPA.” Akhirnya, hal ini juga Mak Iroh tanamkan pada anak-anaknya. Beliau membebaskan mereka bergaul dan memilih jalan hidupnya sendiri. Akan berteman dengan siapapun diperbolehkan, begitupun ingin sekolah dimanapun. Apa tidak khawatir jika sampai anaknya berlain keyakinan? Apa tidak cemas jika putrinya dibiarkan keluar ditengah maraknya kasus kejahatan seksual? “Saya percaya pada apa yang sudah saya bekalkan sejak mereka masih kecil dulu. Saya yakin mereka sudah dewasa. Dan sekali lagi, saya sudah percaya mereka bisa menjaga diri.” Mata sering tertipu oleh simbol. Membaca penampilan seseorang seperti sudah tahu dalam soal 33
hatinya. Akhirnya, melahirkan manusia yang gampang bertindak tanpa pikir panjang. Menganggap dirinya paling benar, menolak kedatangan orang lain dan ingin memusnahkan keberagaman. Kenapa musti risau dengan perbedaan? Manusia sering mempersoalkan sesuatu yang telah pasti. Sehingga pikirannya sibuk membasmi bukan lagi menyikapi. Jangan pernah membenci siapapun, karena seburuk apapun penilaian yang disandangkan, sebenarnya ada kebaikan yang bisa diambil, jika berkenan mengambilnya. Maka merugilah manusia yang anti perbedaan. Mak Iroh berpesan, “saat bertemu dengan perbedaan, ambil baiknya. Pasti ada ajaran-ajaran yang sebenarnya sama dengan kita. Lagian, kita harus hargai keyakinan masing-masing. Biasanya sebelum saya bicara itu harus berpikir berulang kali. Pokoknya harus introspeksi dulu.” *** “Saya tidak begitu ngerti soal orang tua asuh. Asal dari Plan gitu aja, pokoknya langsung menerima.” Mak Iroh menunjukkan sikap kepercayaannya paling tinggi. Begitupun kebanyakan masyarakat di Panimbo. “Mak Iroh niku mboten nderek sekolah masak mie, tapi malah saged piyambak dugi sak niki.” Seorang tetangga menceritakan bagaimana kesungguhan Mak Iroh dalam mengambil manfaat ketika kedatangan Plan. “Gara-gara Plan saya nambah paseduluran. Jadi banyak informasi dan banyak teman untuk menyelesaikan persoalan. Yaaaa.. intinya banyak yang bisa diajak curhat.” “Dulu istrinya mas Novin diajak mampir ke warung mie ayam ini. Saya minta menicicipi, akhirnya diberi banyak masukan soal bumbu-bumbunya. Kurang ini, kurang itu.” Persoalan Mak Iroh selesai ketika tangannya sendiri sudah bisa memproduksi mie dari dapur belakangnya, sekitar dua tahun yang lalu. Seorang istri dari relawan Plan mengajari beliau untuk membuat mie dari bahan-bahan yang sederhana. Mak Iroh sumringah karena bisa melanjutkan bisnis mie ayamnya. Bahkan di warung kecil itu sempat tergantung banner besar untuk menarik konsumen. Dalam kesempatan singkat bersama Plan, Mak Iroh terus mengkonsultasikan masalahnya sehingga dia mulai berkembang dan terus belajar soal kewirausahaan. “Semuanya dari Plan. Terimakasih.” Tanah yang dulunya tandus itu semakin menganga berebut tetes air. Sebelum air mulai menyatu 34
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
dengan tanah, haus atas kekeringan itu muncul terlalu cepat. Mak Iroh tak dapat membendung keinginan itu, maka beberapa kali beliau rajin mengikuti pelatihan yang diadakan Plan. “Semua pelatihan itu saya ikuti. Mulai dari potong rambut, menjahit, masak-masak, Pemberian Makanan Bayi dan Anak, Penampungan Air Hujan, Gender dan sangat banyak lagi. Tapi kalau pertanian, pengadaan sumur dan kamar mandi itu kebanyakan diikuti oleh bapak-bapak. Jadi saya kurang paham.” Mak Iroh sangat puas saat berhasil mengingat detik yang sangat menyenangkan itu. Beliau bertutur, bahwa Plan tidak sekedar memberi hadiah tapi mengajarkan masyarakat untuk hidup mandiri. Tidak hanya sekedar mengalirkan dana, tapi membantu kita untuk menyelesaikan masalah sendiri, memunculkan inisiatif baru sendiri, dan meninggalkan banyak pengertian agar kita menjadi masyarakat yang berdaya. Susah disebutkan apalagi mau dicatat dalam kolom tabel, karena pelajaran hidup itu dibiarkan mengalir di darah, melekat setiap saat menyambut persoalan. Kurang lebih, itu yang bisa disimpulkan dari senyum terakhirnya. Apalagi tatapannya yang selalu bersemangat memandang jalanan berdebu di depan. Maka semangat dari Plan tidak akan dibiarkan berhenti sampai disini saja. Meski banyak program yang bau harumnya tidak lagi tercium, sedikit demi sedikit Mak Iroh mencoba berinisiatif mengumpulkan semangat di dusunnya. Kebetulan, anak pertamanya juga mewarisi jiwa penggerak itu. Lelaki muda yang bernama Andry menjadi ketua karang taruna di Dusun Panimbo. Kumpulan rutin diadakan sebulan sekali dan seperlunya. Acara terakhir yang diadakan bersama yaitu perayaan tujuh belas agustus dan menanam pohon pisang. Ini menjadi bukti nyata kemandirian dusun Panimbo sepeninggal Plan. Sebelumnya, masyarakat Panimbo sempat terlena dengan bantuan dari Plan. Setiap kali pertemuan selalu mendapat makan besar dan makan kecil secara gratis. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat enggan menghadiri pertemuan-pertemuan sederhana yang diadakan tanpa ikut campur organisasi Internasional itu. Namun sosok Ibu ini tetap percaya diri dan yakin untuk bergerak, yang hendak menjemput kebahagiaan dari desa super sederhana. Tiada kehidupan yang lebih nyaman bagi seorang Ibu kecuali bisa melihat anaknya menyimpulkan senyum yang jujur. “Senang! Cuma itu yang bisa diungkapkan. Bayangkan saja, sudah diberi pengetahuan banyak masih diberi panci, alat-alat masak, anak-anak kita juga senang.” ***
35
Seperti halnya Ibuku, aku pun tak pernah lupa bagaimana detik-detik kebahagiaan itu mengguyur tanah tandus kami. Ibu merasa sangat terkesan ketika mendapat bantuan alat-alat masak serta teori kewirausahaan. Sekarang aku sudah lulus SMA. Dan aku tak lagi takut memiliki mimpi yang besar. Aku berdiri di depan kaca, membayangkan bisa memakai baju putih dan membawa alat-alat periksa kesehatan untuk membantu dokter. Perawat. Dulu ketika ada orang luar hendak menitip buang air ke kamar mandi, aku bisa melihat masam wajah Ibuku yang kebingungan. Apalagi saat ada hajatan pengantin, gundah sekali memenuhi permintaan tamu dari luar yang tak dapat ditunda. Sekarang di rumah dan seluruh tetanggaku sudah memiliki kamar mandi sendiri. Ada banyak sumur untuk mengambil air dan kami juga dibuatkan bangunan posyandu bahkan mushola bertembok. Meski kami belum bisa menanam sayur sendiri, jalanan kami masih rusak, dan kemarau masih membakar sumber air dalam sumur, maka biarlah itu menjadi mimpi kami bersama. Seperti halnya mimpi Ibuku yang akan menjadikan warung ini lebih megah dari rumah kami sendiri. Aku menghirup perdamaian sampai bersemayam dalam hatiku sendiri. Maka jawabannya, desaku tidak lagi tertinggal. Anak-anak bertumbuh dan berkembang dengan semestinya. Berkat bantuan Plan dan kerja keras masyarakat Panimbo, tunggu saatnya kami tampil beda. “Tentu saja bersedih ketika Plan sudah tutup program. Yaaahh.. semoga Plan terus bekerja keras untuk desa-desa selanjutnya yang bernasib sama seperti desa Panimbo.”
36
Ika dan ayahnya sedang menengok suasana dan keadaan sungai yang mengalir melintasi desa tempat tinggal mereka. Ika sering mengajak ayahnya untuk menemaninya mencari ikan.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
HARAPAN ANAK PETANI Oleh: Pindho Adhiyaksa
A
nak perempuan kecil tertawa lepas, mengusap keringat di dahi sambil terus mengayuh sepedanya. Dia bersemangat menyusuri jalan sebuah dusun sembari menikmati curahan matahari sore yang indah menyilaukan. Namanya Ika Subekti, umurnya enam belas tahun. Di antara teman-teman sebayanya, tubuh Ika termasuk kecil. Tidak terlalu tinggi, namun lebar tubuhnya terlihat pas dan nampak sehat. Rambutnya selalu pendek sebatas leher, karena rasa gerah membuatnya enggan memanjangkan rambut. Ika dikenal sebagai anak perempuan yang tomboi. Selain karena rambutnya yang selalu pendek, cap sebagai anak perempuan yang tomboi juga muncul karena kelakuan dan hobinya yang mirip dengan anak laki-laki. Ika adalah anak yang cerdas, percaya diri, agak cuek, dan mudah marah. Perangainya keras, wajahnya serius, namun sangat menyenangkan saat sedang tertawa lepas. Dia hobi berpetualang, biasanya mencari ikan atau menangkap binatang liar macam ayam hutan. Biasanya, Ika bermain dengan anak-anak laki-laki tetangganya, atau menghabiskan waktu mengobrol dengan anak yang lebih tua darinya. Barang kesayangannya adalah sepeda, sepeda kota yang biasa dipakai anak-anak perempuan, lengkap dengan keranjang di bagian depannya. Sepeda itu peninggalan kakak sepupunya, yang kini tinggal jauh di perantauan Sumatera. 39
Ika tinggal di sebuah desa yang indah dan damai, Desa Prigi namanya. Rumah Ika berada di lingkungan RT 6 / RW 1 Dusun Prigi, Desa Prigi, Kecamatan Kedungjati, Grobogan. Desa Prigi menjadi desa yang unik karena dikelilingi kawasan hutan jati milik Perhutani. Jadi jangan heran jika kita melihat hampir semua rumah di sini dibangun dari papan-papan kayu jati, baik dinding, atap, maupun lantainya. Desain rumah kebanyakan adalah rumah panggung rendah, tak sampai satu meter di atas tanah. Desain rumah panggung cocok untuk konstruksi bangunan berbahan kayu, kata seorang tukang kayu di sana. Meski begitu, kini mulai banyak juga berdiri rumah atau bangunan beton berlantai keramik. Rumah gagah seperti rumah-rumah yang ada di kota, rumah yang banyak diidamkan ibu-ibu pecinta sinetron. Jalan antar dusun di Desa Prigi, beton rata berkat bantuan pemerintah dan swadaya warga. Pada siang hari, suasana jalan menjadi sangat menyenangkan dan cukup indah di pandang mata. Saat malam, suasana seram jadi pekat karena kanan kirinya tidak dilengkapi penerangan lampu jalan.
Desa Prigi terhubung dengan dua kota kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Bringin di wilayah Kabupaten Semarang, lengkap dengan pasarnya yang besar. Kecamatan lainnya adalah Kedungjati, yang juga dilengkapi pasar tradisional di pusat wilayahnya. Penduduk Dusun Prigi mayoritas lebih suka berpergian ke Bringin daripada kota kecamatannya sendiri di Kedungjati. Meskipun sedikit agak lebih jauh, pasar di Kecamatan Bringin jauh lebih besar dan lengkap. Swalayan dan berbagai toserba yang menjamur di sana juga semakin menambah daftar pilihan belanja penduduk. 40
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Akses jalan dari Prigi menuju Kedungjati adalah mimpi buruk untuk penduduknya. Itulah salah satu faktor yang memunculkan kesan terpencil bagi Desa Prigi di mata penduduk Kedungjati kebanyakan. Dari arah Kedungjati, desa terakhir sebelum menuju Prigi adalah Ngombak. Dari Ngombak, masih ada bentang jalan sejauh delapan kilometer lagi sebelum sampai ke Prigi. Jalan tersebut terdiri dari susunan batu di atas kontur tanah kapur yang bergelombang. Di sana-sini ada sedikit sisa-sisa aspal, dan kabarnya jalan ini dulunya memang jalan Perhutani yang teraspal. Namun karena tidak ada perawatan dan pembaharuan, aspal jalan hancur, hingga kini menjadikannya jalan yang sangat tidak nyaman dilalui kendaraan. Akses jalan menuju kota yang amat jauh dan rusak juga telah menjadi kenangan buruk tersendiri bagi penduduk yang anggota keluarganya sakit. Perlu perjuangan dan waktu ekstra untuk berobat. Tak hanya itu, anak-anak pencari ilmu yang bersekolah pun harus mampu beradaptasi dan membiasakan diri dengan jalan hancur seperti itu. Mereka hanya bisa marah dan menggerutu, iri dengan jalan-jalan luar biasa mulus di daerah antah-berantah yang biasa mereka tonton di televisi. Kontras dengan kondisi jalan raya antar desa di sini, kondisi jalan di dalam desa, atau antar dusun, justru terwujud dengan kondisi cukup bagus dan rata. Lintasan jalan beton mulus menjadi pemandangan indah di sini, di Dusun Prigi khususnya. Jalan beton tersebut terpencar ke setiap depan rumah penduduk Prigi, seakan menjadi obat kurangnya fasilitas umum macam akses pendidikan dan kesehatan di sini. Hanya ada satu sekolah dasar di desa, dan harus berpergian selama satu jam lebih untuk mencapai smp atau sma. Akses kesehatan lebih parah. Tak ada satu pun puskesmas di sini, padahal jalan ke Kota Kecamatan cukup jauh membentang. *** Ika lahir dan dibesarkan di lingkungan tempat tinggalnya di Dusun Prigi. Dia lahir pada tanggal 30 Agustus 1997, dari pasangan Kabul Budiono dan Suharni. Sifatnya yang keras dan percaya diri mewakili statusnya sebagai anak tunggal atau anak satu-satunya. Ayah Ika, Pak Kabul, adalah orang asli Kecamatan Ringin Pitu, Kabupaten Semarang. Pak Kabul juga adalah orang yang cuek dan keras, tapi agak cermat. Matanya tajam, garis mukanya tegas khas muka dengan karakter pekerja keras. Dia pertama kali datang ke daerah Prigi untuk mencari pekerjaan di bidang pertanian. Saat terus bekerja dan bergaul, akhirnya dia bertemu dengan Bu Harni untuk kemudian menikah. Usia Pak Kabul sekarang 42 tahun atau sembilan tahun lebih muda daripada Bu Harni yang berumur 51 tahun. 41
Pak Kabul dan istrinya adalah petani, petani ladang sekaligus sawah. Pak Kabul dan keluarga punya tiga lokasi ladang yang selalu ditanami jagung, tempatnya terpisah-pisah. Selain itu, mereka juga memiliki satu petak sawah berukuran sekitar 450 meter persegi, yang biasa ditanami padi dan ketan. Semua lahan pertanian keluarga adalah tanah warisan mertua Pak Kabul. Istrinya, Bu Harni, adalah orang asli Dusun Prigi. Bu Harni sangat pendiam, pemalu, namun seorang yang pekerja keras dan perhatian. Bu Harni adalah anak termuda dari tiga bersaudara. Kedua kakak Bu Harni merantau ke luar pulau, masing-masing ke Sumatera dan Papua. Ketiga keluarga bersaudara tersebut kini hampir tidak pernah bertemu, kecuali salah satu keponakan Bu Harni yang tinggal di Jambi. Namanya Andi, dia masih cukup sering berkunjung ke rumah bibinya di Dusun Prigi. Wajar Andi sering berkunjung, karena rumah yang ditinggali Pak Kabul sekeluarga kini adalah rumah peninggalan kakeknya, yang juga berarti kakek Ika. *** Rumah warisan yang kini ditinggali keluarga Ika cukup luas ukurannya, kira-kira 11 x 8 meter persegi. Rumah tersebut terpisah menjadi dua bagian, namun tetap dalam satu kesatuan di bawah atap genting yang sama. Satu bagian rumah yang lebih luas, berdinding dan berlantai papan kayu jati. Papan-papan kayunya tidak dicat, sehingga nuansa warna coklat alaminya menguasai pemandangan rumah, membuat penghuninya merasa nyaman. Ruangan tersebut terdiri dari dua ruang kamar tidur, satu ruang untuk gudang, ruangan luas untuk tempat keluarga menonton tv, ruang tamu, meja makan dan sedikit bagian di sudut ruangan yang disekat papan kayu untuk dua tempat tidur lainnya. Kedua rauangan kamar tidur dilengkapi tempat tidur (dipan) dan beberapa lemari kayu. Kamarkamar tersebut terkesan sangat berantakan. Salah satu kamar adalah milik Ika Subekti. Di dindingnya banyak tertempel poster, gambar tokoh kartun dan foto aktor. Di sebuah mejanya tergeletak parfume, sisir, lotion, dan perlengkapan kecantikan lain. Ada tumpukan baju di sana-sini, dan terasa agak pengap. Bantal dan guling disarungi, namun sudah sangat kotor, begitu pula selimutnya. Satu kamar lainnya tidak ditempati, karena ayah dan ibu Ika tidur di luar, di sudut ruangan yang disekat papan kayu. Mereka, Pak Kabul dan Bu Harni, tidur di dua kasur yang terpisah namun tak berjauhan. Di depan pintu kamar ika digelari sebuah tikar sebagai alas tempat duduk menghadap ke arah meja yang di atasnya terdapat televisi 21 inces, DVD player, tape audio reactor, dan satu kotak besar berisi tumpukan DVD dan VCD. Di samping meja elektronik tersebut, ada dua buah speaker active yang 42
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
ditumpuk. Untuk ruang tamu yang masih ada di sekitar ruang itu, ada satu meja dan tiga kursi busa yang sudah kusam. Di sebelah ruang tv, terdapat meja makan untuk meletakkan atau menghidangkan makanan, lengkap dengan magic com, termos, dan penutup menu makanan di atasnya. Di ruangan tersebut juga ada dua karung penuh berisi beras sisa panen februari lalu, setengah karung beras ketan, dan sisa-sisa bibit jagung serta pupuk. Ada lemari kayu agak besar di antara ruang tv dan ruang tamu, tempat menyimpan piring, gelas, surat-surat penting, dan berbagai barang pecah belah lain. Sebelah lemari itu, ada juga dispenser yang kondisinya masih bagus. Berderet dengan dua ruang kamar tidur, ada ruang kecil untuk gudang, berisi semua barang yang mendukung kegiatan pertanian keluarga.
Samping rumah Ika, ada beberapa batang jagung, tanaman cabai, dan rumput liar di halamannya. Di sisi luar halaman tersebut ada pagar dari kayu yang fungsinya untuk pembatas lahan dan penghias rumah. Dari sini kita juga bisa melihat sedikit penampakan bak tampungan air buatan Plan (cat putih). Kini bak air itu tak berfungsi lagi.
Satu bagian rumah yang lainnya adalah dapur. Dindingnya dari kayu, lantainya adalah tanah keras. Ada kompor lengkap dengan gasnya, ada tungku perapian, banyak bangku kecil, dan ada satu meja sangat besar untuk meletakkan berbagai peralatan dan perlengkapan dapur. Jadi satu dengan dapur, ada satu petak kandang kambing terbuat dari sekatan papan kayu sengon, serta sebuah kamar mandi. Dari seluruh bagian rumah, hanya kamar mandi yang terbuat dari tembok semen dan diplester. Kamar mandi itu berukuran empat meter persegi, dilengkapi bak mandi yang juga diplester halus, dan wc lengkap dengan lubang pembuangannya. Airnya mengalir dari sumber mata air atau biasa disebut sendang. Air dipompa dengan mesin pompa air, lalu disalurkan melalui pipa kecil ke dalam kamar mandi dan kran di luar rumah. Pak Kabul dan Bu Harni adalah sosok petani yang bekerja dengan sangat keras. Setiap hari mereka pergi ke ladang, merawat tanaman jagungnya. Mayoritas penduduk Prigi adalah petani jagung. Tanaman jagung menjadi tanaman paling cocok dan produktif di sini, mengingat tanahnya berkapur dan sedikit mengandung air. Selain jagung, Pak Kabul dan istrinya juga rutin menengok lahan sawah yang ditanami padi dan ketan. Tidak seperti ladanganya yang sangat jauh dari rumah, sawah milik keluarga Pak Kabul ada di dekat rumah, di tepi jalan utama dusun. Sawahnya berentet berjejeran dengan petak sawah lain milik para tetangganya.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Pak Kabul menanam jagung dua kali setahun, dan jagung menjadi komoditi pertanian yang di jual seluruhnya. Sementara padi, juga bisa ditanam dua kali setahun jikalau beruntung. Benih padi yang disemai biasanya mencapai 10 kg, untuk kemudian menjadi bibit-bibit yang ditanam. Jenis padinya adalah padi Gogo, yang cocok dengan daerah kurang air. Sementara pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK. Saat panen tiba, padi yang diperoleh bisa sampai lima karung ukuran 25 kg. Seluruh hasil panen padi dikonsumsi atau disimpan untuk kebutuhan pribadi keluarga. Begitulah petani, hidup dari perjuangan, kesabaran, dan kerja keras. Setiap hari orangtua Ika bangun jam empat sampai pagi. Setelah bangun, Bu Harni membersihkan rumah, mencuci piring sisa makan semalam, menjerang air, dan memasak makanan. Selesai berbenah rumah dan mempersiapkan bekal, Bu Harni membersihkan diri dan melihat kesiapan suaminya, Pak Kabul. Ika masih tertidur, sampai akhirnya bangun, biasanya jam lima sampai setengah enam. Pak Kabul dan Bu Harni memastikan kesiapan Ika sebelum berangkat ke sekolah sebelum pergi ke ladang. Mereka memastikan apakah anaknya sudah mandi atau belum, sudah sarapan atau belum. Setelah semua siap, Pak Kabul memimpin langkah istrinya menuju ladang jagung mereka. Ika yang masih mengantuk, harus merelakan orangtuanya, dan mengalihkan konsentrasi untuk pendidikan dan teman-temannya. Perjalanan Pak Kabul dan Bu Harni menuju ladang jagung ditempuh hampir lebih dari satu jam, ya, tentu saja berjalan kaki. Mereka membawa peralatan berladang, seperti parang, clurit, cangkul, keranjang bambu. Mereka membawa dua botol air minum ukuran satu setengah liter, satu berisi air putih, satu lagi terisi penuh air teh manis. Mereka juga membawa bekal makanan, nasi dan lauk-pauk. Bekal sangat penting dibawa, mengingat jauhnya jarak antara rumah dan ladangnya, jadi tak mungkin untuk pulang istirahat saat tengah hari. Mereka juga biasa membawa alas tidur, untuk istirahat. Selain itu, ada juga lipatan karung yang nantinya akan diisi penuh rumput untuk makanan kambing di rumahnya. Pak Kabul dan istrinya, merawat dengan baik tanaman jagungnya. Dibersihkan dengan rutin, dipotongi dahan mudanya, serta dijaga dari hama. Saat tiba tanaman berbunga lalu disusul munculnya tongkol-tongkol jagung di tangkainya, hama biasanya mulai ramai menyerang. Banyak jenis hama yang menyerang ladang jagung, babi hutan, tikus, burung, ayam hutan. Yang terparah adalah tikus, hama paling sulit dibasmi. Tak hanya Pak Kabul dan istrinya yang kwalahan menghadapi tikus, hampir seluruh penduduk Prigi membenci tikus. Saat mulai ramai warga menyerah, mereka hanya mampu mengadu pada orang pintar, berharap alam dan kekuatan tersembunyinya mampu mengusir berbagai hama.
45
Pak Kabul (ayah Ika) sedang menengok ladang jagung miliknya sembari menjinjing dua buah kelapa muda. Sepulang dari ladang, Pak Kabul memang biasa membawa buah kelapa muda untuk Ika dan teman-temannya
Pak Kabul mencurahkan semua hidup dan perhatiannya untuk ladang jagung dan sawah padinya. Dua sektor itulah yang menjadi sumber utama penghasilan keluarga, jagung untuk uang tunai, padi untuk ketahanan pangan keluarga. Meskipun begitu, Pak Kabul punya hobi unik, yaitu berburu binatang hutan. Hobinya tersebut tersalurkan tatkala teman-temannya yang datang dari kota Salatiga dan Kabupaten Semarang sering mengajaknya untuk mendampingi perburuan saat malam menjelang. Orang-orang kota memang sering datang ke Desa Prigi untuk berburu. Mereka datang menggunakan mobil-mobil Jeep dengan lampu sorot besar di bagian depan mobil tersebut. Mereka berburu untuk menjalankan hobi sekaligus mencari keuntungan saat tiba waktunya menjual hasil buruan. Binatang hutan yang biasa diburu adalah babi hutan, rusa, ayam hutan, kera, musang, atau burung. Kebanyakan dari binatang-binatang tersebut adalah hama bagi petani sawah maupun petani ladang di Desa Prigi. Jadi bisa dikatakan, para pemburu memiliki hubungan yang bersifat saling menguntungkan dengan penduduk Desa Prigi.
46
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Dari hobi dan kegiatannya mendampingi kelompok pemburu tersebut, Pak Kabul bisa menghasilkan pendapatan tambahan. Kelompok pemburu yang jumlahnya tiga atau empat orang biasa memberi upah pada Pak Kabul, kadang 50.000 rupiah hingga 100.000 rupiah, tergantung hasil tangkapan. Selain uang tunai, Pak Kabul juga biasa diberi sebagian binatang hasil buruan, kadang burung, ayam hutan, daging rusa, namun tidak dengan babi hutan. Walaupun tidak terlalu religius, Pak Kabul tetap sepakat kalau daging babi hutan adalah haram menurut hukum Islam. Kelompok pemburu yang biasa datang dari Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang secara bergantian bisa datang ke Desa Prigi sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu. Pak Kabul selalu dihubungi untuk mendampingi dan jarang sekali absen kalau tidak benar-benar dalam keadaan sakit atau berada dalam acara yang sangat penting. Kegiatan tersebut menjadi rutinitasnya. Bukan hanya itu, kegiatan berburu juga telah menjadi hal yang menjadi kebanggaannya. Oleh karena semua hobi dan kegiatan Pak Kabul tersebut, tak perlu heran kiranya saat beberapa orang bilang Ika sangat suka mencari serta menangkap binatang-binatang liar. Bukan hanya itu, Ika juga tahu banyak hal seputar pengetahuan kehidupan binatang liar, seperti saat dia menceritakan ayam hutan jantan yang bisa mati dalam sekejap saat ditarik jenggernya. Ika suka menangkap burung, atau menangkap ikan, baik bersama ayahnya maupun temannya. Bagi Ika, berburu adalah perkara mendapatkan teman (binatang) atau biasa juga menjadikannya lauk saat harus makan siang sendirian. Berbeda dengan Pak Kabul dan Ika, Bu Harni tidak pernah melakukan kegiatan menangkap binatang. Ibu Harni lebih suka mengumpulkan atau memetik daun-daun di hutan atau pinggiran sungai untuk bahan sayuran yang akan dimasak. Selain sayuran, Bu Harni juga selalu membawa buah-buahan, baik itu pisang, pepaya, maupun kelapa. Dari ketiga buah yang sering dicari Bu harni, hanya kelapa saja yang tidak bisa dipetiknya sendiri. Baik kelapa tua maupun kelapa muda, Bu Harni selalu minta bantuan Pak kabul untuk memanjat lalu memetiknya. *** Setelah melihat ayah dan ibunya berangkat, Ika bergegas memakai seragam sekolah, memakai sepatu, dan menyiapkan buku yang akan dibawanya. Jika beruntung ada masakan, dia akan sarapan, sebelum berjalan ke tepian jalan menunggu angkutan sekolah. Dia dan beberapa teman di SMPnya akan bersama-sama menunggang angkutan yang sama. Para anak perempuan berdesak-desakan di
47
dalam, anak laki-laki mulai memanjat dan duduk di atas mobil angkutan. Ika selalu suka memilih tempat duduk di belakang supir, karena ada jendela terbuka di sana. Ada dua teman baik Ika yang juga duduk di sebelahnya. Ika biasanya lebih memilih selalu diam, tak seperti anak-anak perempuan lainnya dalam mobil angkutan yang terus berbicara dan tertawa. Kebanyakan anak Dusun Prigi yang bersekolah di SMPN 1 kedungjati, memilih naik mobil angkutan umum ini. Mobil angkutan ini adalah milik Lek No dan dikendarainya sendiri. Ongkos harian untuk angkutan ini adalah 6000 rupiah pulang-pergi. Meskipun ada ongkos harian, kebanyakan orangtua anak-anak sekolah langganan angkutan, lebih memilih membayarnya sebulan sekali (bulanan). Waktu tempuh dari dusun sampai sekolah yang ada di Kecamatan Kedungjati bisa sampai 45-60 menit. Jadi anak-anak sekolah (SMP) harus sudah siap ditepian jalam paling lambat jam 06.00 pagi jika tidak ingin ditinggal angkutan. Meskipun hampir semua naik mobil angkutan, bukan berarti tidak ada yang naik kendaraan pribadi. Bagi anak-anak yang orangtuanya cukup kaya, mereka lebih memilih naik motor sendirian. Ika selalu bersyukur bisa bersekolah dengan lancar, karena badannya kini sehat. Ika adalah anak yang dulu badannya lemah dan rentan berpenyakit. Berkali-kali dia harus dibawa pulang pergi ke rumah sakit. Bahkan terakhir saat usianya 14 tahun, kelenjar getah beningnya harus dioperasi di sebuah rumah sakit umum di Ungaran. Kegiatan pengobatan Ika bisa terus dijalankan sebab Ika termasuk salah satu anak yang disponsori PLAN Internasional. Ika menjalin ikatan dengan PLAN sejak didaftarkan tahun 2006 oleh sukarelawan PLAN di Prigi. Orangtua asuh/sponsor Ika berasal dari jepang, bernama Hatsumi Ishida. Kesehatan Ika menjadi perhatian saat itu, sehingga pengawasan serta pengobatan bisa cepat direalisasikan. Orangtua sponsor yang jauh berada di Jepang bisa membantu Ika melalui PLAN. Selain kegiatan itu, orangtua dan anak sponsor bisa saling berkomunikasi melalui surat yang juga diperantarai PLAN juga. Surat-surat dan foto-foto terbaru saling dikirim, dipertukarkan. Begitulah Ika bercerita, karena pengetahuannya mengenai Lembaga PLAN yang sangat kurang, dia tidak tertarik untuk banyak membicarakannya. Padahal, PLAN merupakan salah satu faktor dalam dunia Ika yang cukup banyak menimbun pengalamannya. Tak hanya Ika, ayah Ika pun dulunya tak tahu banyak tentang PLAN. Mereka tak memahami betul apa itu PLAN, atau bakaimana kinerjanya. Selama ini mereka hanya tau dari berbagai brosur 48
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
dan penjelasan orang, itu pun sepotong-potong. Menurut mereka berdua, PLAN adalah lembaga perlindungan anak, hanya sebatas itu. Bahkan, Pak Kabul sempat tidak peduli dengan PLAN karena berbagai program dan bantuan untuk masyarakat tidak banyak berjalan sesuai rencana. Pak Kabul menggerutu, dia terus bertanya apa hak dan keuntungan untuk anaknya sebagai anak binaan atau anak asuh PLAN. Dia sama sekali tidak mengapresiasi kehadiran PLAN dan segala bentuk komunikasi antara Ika dan orangtua asuhnya, jika tidak ada bukti nyata yang menyenangkan buat Ika. *** Siang di Dusun Prigi menyisakan sepi. Hampir semua orang pergi dan berada di ladang atau sawahnya. Anak-anak sekolah mulai berlarian, memanfaatkan waktu luang setelah kepenatan . mobil anak angkutan terlihat mulai masuk melintasi jalan dusun. Mobil melaju kencang, tak lagi penuh karena banyak anak sudah turun. Mobil itu melambat, lantas berhenti di sebuah pertigaan di depan pos ronda. Pertigaan itu arah ke rumah Ika, benar, Ika turun dari mobil itu. Seragam dan wajahnya kusam. Raut wajahnya lelah, namun senang. Sepulang sekolah, berarti dia bisa bertemu lagi dengan sepedanya, dengan teman-temannya. Dia berjalan pelan, menghemat tenaga mengingat masih ada 100 meter jarak yang harus ditempuh untuk sampai di rumah. Seperti hari biasa, dia membuka pintu rumahnya sendiri. Dia akarab dengan siang, karena tak pernah ada orangtua di waktu siang. Dia menuju kamar tidur, selalu berganti pakaian, tak seperti beberapa temannya yang lebih suka berlama-lama memakai seragamnya bahkan saat mereka main. Dengan tegas dia berjalan ke dapur atau meja makan, menjaga staminanya dengan mengkonsumsi makan siang. Kadang, Ika lebih suka bergeletak santai di atas tikar sebelum pergi makan siang. Dari banyaknya kegiatan, dia selalu ingat hal pertama yang harus dilakukan, yaitu mengambil air putih dari dispensernya. Di dekat meja dispenser, tertumpuk dua buku komik berjudul Doraemon, salah satunya ditulis dalam bahasa Inggris. Ika tersenyum memberi kode, dua komik itu mungkin adalah salah satu barang yang penting baginya, barang yang mengubah hidupnya, mungkin.... *** “Aku pulang!!”, teriak Nobita sepulang sekolah. Seusai menaruh tas sebentar, “Aku pergi!”, katanya lagi. ‘PLAKK’, tiba-tiba tangan raksasa keluar dari kamarnya, menempeleng Nobita sampai terjatuh. 49
“Magic-hand abad 20”, tukas Doraemon dengan senangnya. “Apa-apaan sih kamu?”, kesal Nobita “Bagaimana dia bisa menangkapmu?, tanya Doraemon tanpa rasa bersalah. “Kamu mau ke rumah Shizuka ya? Tanyanya lanjut. “Iya, kenapa?” “Aku bosan jaga rumah sendirian, ikut dong!!” “Aduh, kamu ini! “Aku ikut!!”, teriak Doraemon “Awas ya, kalau kamu macam-macam!” “Apa yang terjadi kalau kita lihat buku catatan dulu?”, tanya Doraemon sembari mengeluarkan sebuah Diary dari kantongnya. “jreeeng! “Buku catatan utang, ya?”, tanya Nobita penasaran.
Sepotong kisah “Ramalan Doraemon” dalam komik seri lima debutan Fujiko Fujio, siang itu menemani Ika yang tengah tiduran di depan televisi. Komik itu pemberian dari orang tua asuhnya dari Jepang, Hatsumi Ishida, sewaktu kunjungan ke rumahnya September tahun silam. Ika kembali membolak-balik komik itu, sembari mendengarkan radio dan menghidupkan kipas Philips kecilnya. September 2012, hari itu Dusun Prigi mendadak heboh. Ada rombongan yang datang bersama orang asing. Rombongan itu adalah PLAN, mengawal beberapa orang dari Jepang yang salah satunya selalu membayangi hidup Ika, Hatsumi Ishida. Hatsumi Ishida adalah seorang ibu. Salah seorang anak kadungnya tinggal di Yogyakarta. Jadi kedatangannya ke Indonesia tidak begitu mengherankan. Namun saat itu dia sedang tidak mengunjungi anak kandungnya, melainkan mendatangi anak asuh yang disponsorinya melalui PLAN, Ika Subekti. Keluarga Ika seakan tercengang, ternyata orang yang surat, foto, dan pernak-pernik kenangannya selalu diterima adalah orang sungguhan.
50
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Foto keluarga Ika bersama sang orangtua asuh, Ishida. Kedatangan Ishida tahun 2012 silam telah banyak merubah hidup Ika dan keluarganya. Foto tersebut kini menjadi benda kenangan yang paling berharga
Terjadilah ramah tamah, Ika ingat, Hatsumi Ishida memeluknya seakan-akan dia adalah benar anaknya. Mereka berbincang, dalam Bahasa Indonesia, tentu saja dibantu banyak orang. Dalam kunjungannya itu, Hatsumi Ishida membawa banyak barang kenang-kenangan, termasuk dua buah komik Doraemon yang salah satunya ditulis dengan Bahasa Inggris. Ika tertawa, malu pada dirinya sendiri karena belum mebaca kedua komik itu sampai tamat. Lamunannya menciut, terpusat pada pandangnya ke arah foto keluarga. Foto itu terpajang di dinding bagian luar kamar Ika, di atas dispenser. Foto penuh kenangan, yang memperlihatkan tinggi tubuh Ishida di antara tubuh kecil malumalu keluarga Ika, termasuk Ika sendiri. Ishida banyak bertanya tentang kehidupan Ika. Perkembangan kesehatan yang telah terlalu lama dikhawatirkan, petualangan pendidikan Ika, hingga berbagai kelengkapan rumah Ika saat itu. Waktu kunjungan telah lama berlalu, namun hikmahnya tak pernah hilang. Saat itu rumah Ika belum dilengkapi kamar mandi, jadi siapa saja yang ingin berurusan dengan air harus pergi ke sungai, entah itu mandi,
51
mencuci, atau buang air. Ada jarak 200 meter dari rumah Ika menuju sungai yang biasa dijadikan tempat mandi dan mencuci. Ika masih kecil saat itu, dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia masih leluasa mandi di sungai, bermain dengan temannya, dan yang paling penting, sekolahnya saat itu masih dekat. Jadi dia bisa berangkat dari rumah agak siang, kurang lima menit dari jam 07.00 pagi. Tak perlu bangun pagi-pagi buta untuk mandi ke sungai. Tapi bukankah sebentar lagi Ika akan masuk ke sekolah menengah pertama saat itu. Mendengar cerita itu, Ishida tersenyum, meninggalkan rindu dan tanda tanya besar di benak Ika. Saat Ishida benar-benar pergi, keluarga Ika bak primadona ditanya bangga para tetangga. Sejak saat itulah Pak Kabul dan Bu Harni, orangtua Ika, menaruh perhatian lebih pada PLAN. Mereka mulai percaya, bahwasanya orangtua asuh bukanlah omong kosong belaka. Namun tak lama, kunjungan itu akhirnya jadi basi, terlupakan, terpinggirkan oleh rutinitas biasanya. Ayah Ibu pergi ke ladang, ika pergi ke sekolah. *** Hampir tepat setahun setelah kunjungan, keluarga Ika lagi-lagi mendapat kejutan. Kejutan yang mungkin akan merubah sebagian besar kebiasaan mereka. Ya, mereka akan membangun sebuah kamar mandi, lengkap dengan bak mandi, kloset, dan tampungan pembuangannya. Uang yang diperuntukkan untuk membangun kamar mandi itu datang dari PLAN. Keluarga ini lagi-lagi mengenang Hatsumi Ishida, mungkin ini jawaban dari senyumnya setahun lalu. Semua material didatangkan, baik itu batu, batu bata, semen, dan pasir. Tenaga pembangun adalah beberapa tetangga, teman baik Pak kabul. Dalam kurun waktu enam hari, berdirilah bangunan itu. Satu-satunya ruang yang berdinding semen dan diplester, kamar mandi. Waktu itu bulan Agustus 2013, dan keluarga Ika mulai membiasakan diri menggunakan kamar mandi. Ika yang sudah menjadi murid SMP bisa bernafas lega, privasinya sedikit bisa mulai dijaga. Dia bisa mandi di kamar mandi. Lebih-lebih dia tak perlu berjalan jauh untuk pergi ke sungai, menghemat waktu di pagi hari sebelum bersiap berangkat ke sekolah. Semuanya soal bagaimana memulai hari, mengawalinya di pagi hari. Persiapan sebelum pergi ke ladang juga makin mudah bagi orangtua Ika. Ibu Harni punya waktu lebih untuk memasak, bisa mencuci segala sesuatunya lebih dekat, sumber air itu tersedia. Ika tak lagi menggerutu saat harus
52
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
bangun pagi-pagi buta. Biasanya dia kesal, karena jadwalnya pergi ke sungai harus bersamaan dengan ibunya. Dengan begitu dia juga harus bangun lebih pagi. Namun dengan adanya kamar mandi dan bak tampungan air yang besar, Ika bisa bangun menyesuaikan dengan jadwalnya sendiri. Ada satu hal yang mungkin menggelitik di sini, saat Ika tertawa bercerita mengenai keluhan ayahnya setelah bangunan kamar mandi itu jadi. Bu Harni dan ika tertawa, bahagia, waktu berlehahela mulai bisa dibela. Di sisi lain Pak Kabul menyeringai, marah-marah, namun dalam raut wajahnya paling dalam tersimpan bahagia untuk kesenangan keluarganya. Dengan adanya kamar mandi dan bak tmpungan air, pak Kabul punya pekerjaan ekstra, yaitu mengangkut air untuk memenuhi bak tampungan tersebut. Dua ember besar dipikul menggunakan batang kayu. Pekerjaan itu dilakukannya dua kali sehari, biasanya pagi atau sore hari. Mungkin pekerjaan dan lelah itulah yang membuatnya berpikir keras untuk mancari cara atau inovasi baru. Panen jagung tiba, bulan April 2014 yang sangat ceria. Kabar gembira untuk petani, harga jagung sedang mahal. Pemasukan penduduk sedang besar, tak terkecuali keluarga Ika. Pak Kabul tersenyum lebar, uang kerja keras bersama istrinya sudah di tangan. Pemikiran “ndeso” mulai keluar kata mereka. Ada uang banyak sebentar saja, hasrat belanja sudah meluap-luap. Namun dari situlah keresahan pak kabul terjawab, dia akhirnya membeli mesin pompa air lengkap dengan istalasi pipa-pipanya. Pergi ke Pasar Bringin, dia menghabiskan total 630.000 rupiah. Betapa leganya Pak Kabul, hari-hari bebas dari penderitaannya mengengkut air memenuhi bak hampir berakhir. Mesin pompa air dipasang di sendang atau sumber air yang juga dikelilingi tembok PLAN. Pipa disalurkan dalam jarak sekitar 100 meter. Pencet saklar, airpun mengalir deras. Senyum bahagia keluarga Ika makin besar saat ini. Kebahagiaan di keluarga itu setelah pembangunan kamar mandi dan pemasangan pompa air mulai terusik. Ika dan Pak Kabul lagi-lagi berpikir ulang. Sumber listrik rumah mereka selama ini masih menyambung dari meteran orang lain. Mereka membayar uang listrik bulanan pada pemilik meteran. Setelah ada mesin pemompa air, listrik rumah-rumah yang bersumber pada satu meteran itu sering terputus. Daya listriknya tidak kuat lagi, muncullah pertengkaran dan kesalahpahaman. Sialnya Pak Kabul, baru seminggu bersantai menikmati jalan air yang datang dengan sendirinya, kini dia dibuat pusing kembali. “....daripada terus-terusan salah paham, kita terus disalahkan, mending sekalian kita pasang meteran sendiri ya, Ka....”. itu kutipan pembicaraan Pak Kabul dengan Ika saat mereka memutuskan 53
untuk memasang instalasi listriknya sendiri. Ungkapan berani seorang petani jagung yang belum lama ini melewati masa panen. Masih ada uang, meteran listrik berdaya 450 Kw resmi terpasang. Pegawai PLN tersenyum ramah setelah listrik mulai bisa mengalir. Rentetan kamar mandi, mesin pompa air, dan pemasangan meteran listrik PLN pribadi telah membuat keluarga ini makin mandiri dan naik beberapa tingkat dalam tangga kehidupan. Dengan adanya listrik pribadi, Ika bisa mengeksplorasi keinginannya memanaskan air dengan dispenser, mengecharge baterai handphone-nya, hingga memutar DVD lagu dangdut yang suaranya keras keluar melalui speaker active, setiap hari. ***
Sendang yang menjadi sumber air bersih warga Dusun Prigi di RT 6, termasuk keluarga Ika. Sendang tersebut terawat karena pengusahaan warga dan bantuan Plan. Kini banyak penduduk yang mulai memakai mesin pompa air pribadinya untuk menyalurkan air sendang ke rumahnya masing-masing.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Penderitaan siang hari yang panas dan gerah nampaknya akan dirindukan sejumlah orang malam itu. Malam dingin dan berangin, langitnya pun cerah. Ika sudah tertidur sejak jam lima sore tadi. Dia terbaring di tikar di depan televi yang tidak menyala, hanngat dibalut selimut. Panggilan keras ayahnya telah membangunkannya. Ibunya, sibuk di dapur menanak ketan sisa panen bulan lalu. Saat terbangun setelah tidur di sore hari, Ika selalu panik mencari kedua hpnya. Ika punya dua hp kesayangan, Mito dan Evercross, walau salah satunya adalah milik Pak kabul namun lebih sering dibawa Ika. Kedua hp itu adalah pemberian ayahnya. Hp tersebut digunakan Ika untuk saling berbalas dengan teman-teman sekolah maupun kakak sepupunya yang ada di jambi. Selain itu, dia juga memakainya untuk mengakses akun jejaring sosial facebook miliknya. Dia membuat akun facebook saat masuk ke SMP. Dengan gelagat malu-malu dia bercerita, akun facebooknya dibuat oleh teman yang juga tetangganya. Dari akun facebook tersebut Ika bisa berhubungan dengan berbagai macam orang dan kalangan, membuat status pribadi, hingga bermain game facebook. Aktivitasnya di malam hari cenderung monoton sejak tv di rumah tak bisa dinyalakannya. Booster tv rusak, dan aktivitas santai menonton tv di malam hari harus dilupakan sementara waktu. Di atas tikar ika berbaring, mengandalkan DVD Player dia memutar berbagai macam keping DVD, paling banyak lagu-lagu dangdut koplo. Ada juga di sana lagu-lagu pop, album Didi Kempot, serial Upin dan Ipin, Shawn The Sheep, hingga drama Kian santang. Terus menerus dia memutar, mendengar dan menontonnya. Ditemani bantal dan kipas angin kecil yang jarang dinyalakan di malam hari. Di tengah waktu bersantai malam hari itulah semua anggota keluarga bisa benar-benar berkumpul. Ika dan ayahnya seringkali berdebat untuk hal-hal yang ada di rumah. Ibunya lebih banyak diam, tertawa, kadang memperingatkan. Sifat keduanya, Ika dan pak kabul hampir sama, mereka ngotot dan mudah marah, jadi hampir pasti selalu ada debat di antara keduanya. Ika dengan modal pengetahuan dari sekolahnya yang masih segar tak pernah mau kalah. Sementara ayahnya yang telah banyak makan asam garam kehidupan tak mau di lawan anaknya yang masih kecil itu. *** Di malam-malam lain yang gerah karena mendung, Ika dan Pak Kabul tengah asyik duduk berdua di atas tikar sambil menyetel lagu dangdut keras-keras. Malam ini mereka akur, mungkin mereka mulai bosan berdebat. Ika bercerita, mencuri-curi di antara kerasnya suara dangdut yang keluar dari
55
speaker besar berjarak dua meter dari tempatnya duduk. Dia ingin sekolah tinggi, karena cita-citanya menjadi guru mulai luntur diganti angannya menjadi seorang dokter. Ayahnya tertawa, berkata dengan keras, “kalau orangtuamu mampu, kamu akan sekolah tinggi.....”, lalu diam. Raut wajah Ika putus asa seakan menerima, apakah keinginan besarnya harus musnah terbentur nasib miskin keluarganya. Ika lagi-lagi tertawa mengalihkan pembicaraan, “ah sing penting yo sekolahe saiki, sing pinter yo masbro......”, terdengar seperti menenangkan diri. Duduknya mulai lemas, tangannya menggenggam komik doraemon pemberian orantua asuhnya, Ishida. Saat deretan lagu dangdut koplo dalam satu keping dvd habis, Pak kabul tiba-tiba berkata, “Uang panenan habis untuk beli ini itu. Sekarang sudah mau tanam lagi, bibit dan pupuknya ya ngutang lagi sama juragan. Begitulah petani di sini...”
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
KAMBING PLAN, PENOLONG KELUARGA Oleh: Yunia Rahma Hendisha
S
ore hari, matahari masih bersinar dengan terangnya.Di desa Panimbo, hujan memang sudah berhenti turun hampir tiga minggu ini.Beberapa sumur warga airnya juga mulai menyusut. Penampungan Air Hujan (PAH) juga sudah mulai kosong.Tapi wajah masyarakat Panimbo tetap riang seperti biasa.Meski gurat-gurat lelah tergambar jelas di wajah mereka. Panimbo dan sebelas desa lainnya terletak di Kec. Kedung Jati, Grobogan, Jawa Tengah. Diapit dua pegunungan kapur, membuat tanah di Grobogan tidak terlalu subur.Tanah Grobogan sebagian besar didominasi oleh Mahoni, Jati, dan beberapa tanamanan campuran. Di salah satu kebun, tampak sesosok bapak tua sedang memberi makan sapi dan kambing peliharaannya. Bajunya kotor, bekas tanah yang mengering.Sesekali tangannya mengelap keringat yang mengucur di dahinya.
59
Rumah Pak Kaslan dan keluarga
Namanya Kaslan. Ayah enam orang anak ini sehari-hari bekerja di ladang sambil mengembangkan ternaknya. Pagi hari ia pergi ke ladang, sore hari ia mengurusi hewan-hewan peliharaannya. Jika musim penghujan datang, Pak Kaslan akan menanam padi, dan jika sudah sulit air, ia akan menanam jagung. Meski cocok tanamnya tidak selalu berhasil, karena hama tikus selalu menyerang. Terkadang, akibat cuaca terlalu panas, jagung akan berubah menjadi putih dan tidak bisa dipanen. Meski begitu, Pak Kaslan tidak pernah putus asa.Ia tetap berusaha agar ladangnya membuahkan hasil, mulai dari membeli pupuk, hingga membasmi hama yang mengganggu. Pak Kaslan juga bergabung di salah satu kelompok tani desa Panimbo.Kelompok ini beranggotakan kurang lebih 15 orang petani Panimbo.Awal berdirinya, kelompok tani ini beranggotakan sekitar 20 orang.Kelompok tani ini adalahsalah satu rintisan hasil pelatihan Plan. Kelompok pertanian ini sebenarnya membidik para petani muda di Panimbo. Sayangnya tidak berhasil karena anak-anak muda di Panimbo lebih memilih bekerja di luar kota, seperti Salatiga dan Jakarta. Kelompok tani ini akhirnya diurusi kembali oleh Pak Kaslan dan kawan-kawan.Kepala desa Panimbo yang sebelumnya, juga memberikan tanah bengkok untuk dikelola.Tanah ini digarap bersama oleh anggota kelompok tani. 60
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Plan sendiri adalah oganisasi kemanusiaan international yang fokus pada kesejahteraan anak, tanpa memandang ras, suku, atau agama.Dengan sistem anak asuh dan orang tua asuh, Plan sudah membantu banyak negara, salah satunya adalah Indonesia.Bergerak di bidang anak, Plan juga memperhatikan soal pendidikan, keluarga, kesehatan, dan lingkungan tempatberkembangnya anak.Plan mulai masuk Panimbo sejak tahun 2003, dan masih aktif sampai 2014. Di Panimbo sendiri, sudah banyak program dan pelatihan yang dijalankan.Salah satu yang sempat diikuti Pak Kaslan adalah pelatihan pembuatan jamban, Pak Kaslan menyebutnya kloset.Pak Kaslan juga sekaligus mendapat bantuan kloset itu di rumahnya, di samping itu juga mendapatkan kambing dari Plan.Karena memang bantuan itu diselang-seling di antara warga Panimbo, tidak semua keluarga mendapat kambing, kloset atau PAH secara keseluruhan.Pak Kaslan sendiri hanya mendapat kloset dan kambing. Namun yang paling bermanfaat menurut Pak Kaslan adalah bantuan kambing. Dulunya, keluarga Pak Kaslan hanya mendapat satu induk kambing.Lama-kelamaan, kambing itu terus berkembang.Bahkan, setiap kali beranak bisa sampai tiga ekor kambing.Setahun, induk kambing itu bisa beranak sampai dua kali. Saat ditanya mengenai Plan, Pak Kaslan buru-buru menjawab, “Sae, saestu.Plan niku sae.”Namun ketika ditanya lebih lanjut tentang program-program Plan, Pak Kaslan mengaku tidak terlalu paham.“Kulo niku namung dike’i mendo.Kaleh bantuan kloset. Sesuai amanat dari Plan, Pak Kaslan sudah sempat membagikan anak-anak kambing peliharaannya kepada warga dusun Beran lain yang tidak mendapat jatah langsung dari Plan. Pak Kaslan sendiri tetap memelihara induknya. Pak Kaslan juga sempat menjual beberapa kambing peliharaannyayang berkembang biak, untuk biaya sekolah, untuk membeli perabotan rumah, menggenapi biaya pembelian motor, dan lain-lain. Selain itu, sebagian kambing-kambing Pak Kaslan juga sudah ditukar menjadi satu ekor sapi.Harga kambing-kambing itu berkisar Rp750.000 sampai Rp1.500.000, tergantung ukurannya.
61
Jamban bantuan dari Plan
Meski banyak warga di dusun Beran yang mendapat bantuan kambing, hanya kambing-kambing Pak Kaslan yang masih tersisa. Milik warga yang lain sebagian dijual, ada yang mati dan lain-lain. Tidak hanya program kambing dan kloset, Plan juga punya program Sponsored Child (SC). SC adalah program orang tua asuh yang memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu. Di keluarga Pak Kaslan sendiri, yang terdaftar menjadi SC adalah anak kelimanya, Nur Ekayati.Nur masih duduk di kelas XI di SMK Bina Negara Gubug,jurusan Teknik Komputer Jaringan.Karena tidak ada pendidikan setingkat SMA di desa Panimbo, Nur harus menempuh perjalanan ± 1,5 jam setiap harinya menuju SMK itu. Gadis manis ini sangat menggilai komputer. Ia bahkan sudah mahir membongkar pasang perangkat komputer. Tak hanya itu, ia juga mahir membenahi komputer yang rusak. Mungkin ia memang dilahirkan untuk komputer. Matanya selalu membinar dengan cerah setiap kali menceritakan soal komputer.Ia hapal hampir seluruh seluk beluk, bagian dalam sampai bagian terkecil komputer. Meski terlihat pendiam, ia akan berubah jika ada yang mengajaknya berbicara soal komputer. Mimpinya, ia ingin membuka servis komputer. Namun saat ditanya hendak membuka usaha di mana, ia mengaku tidak tahu. Ia juga tidak melihat adanya peluang servis komputer di desanya, karena jarang ada warga yang mempunyai laptop atau komputer. Sebagai SC, Nur banyak mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan Plan.Mulai dari eventevent yang diadakan untuk anak, lomba-lomba, pesantren kilat dan masih banyak lagi.Tapi itu dulu. Akhir-akhir ini Plan memang jarang mengadakan kegiatan. Alasannya, program yang sekarang lebih difokuskan kepada masyarakat luas, sehingga tidak hanya terpaku pada anak atau SC saja. Dulu, awal mengikuti Plan dan saat putrinya didaftarkan sebagai SC, Pak Kaslan sempat merasa khawatir. Ia merasa hanya orang awam yang tidak paham apa-apa, dan takut jika nanti anaknya dibawa keluar negeri, atau kemungkinan buruk lainnya. Lalu pihak Plan memberikan sosialisasi tentang Plan, program dan tujuanny. Akhirnya Pak Kaslan percaya dan mulai mengijinkan Nur aktif di kegiatan Plan. Orang tua anak SC adalah orang-orang mampu dari negara maju yang tergerak hatinya untuk membantu anak-anak yang kurang mampu. Antara anak asuh dan orang tuanya yang berjarak ribuan kilometer, ada kegiatan korespondensi. 62
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Nur juga pernah mendapat surat dari orang tua asuhnya di luar negeri meski hanya satu kali. Ia mengaku tidak paham soal siapa orang tua asuhnya, dan dimana mereka tinggal. Menurut Pak Kaslan, hal-hal seperti itu memang tergantung oleh orang tua asuhnya. SC yang memiliki orang tua asuh yang perhatian, biasanya mendapat hadiah dan surat lebih banyak. Namun semua SC tetap mendapat hadiah dan fasilitas dari Plan. Menurut Nur sendiri, ia tak paham soal apa itu Plan, dan segala sistem kelembagaan Plan. Ia hanya paham Plan sering membantu anak-anak dan desanya. Hal ini dikarenakan Plan hanya melakukan sosialisasi setahun sekali. Karena itu, masyarakatlebih mengerti Plan lewat program atau kegiatan-kegiatan.Menurut salah satu relawan Plan, sosialisasi memang dilakukan sembari berjalannya program.Hal ini dilakukan supaya sosialisasi tidak terlalu memakan banyak waktu. Meski ada banyak kegiatan Plan yang diikuti Nur, yang paling membuatnya terkesan adalah pesantren kilat.Diadakan setahun sekali, membuatnya selalu menunggu kegiatan itu. Penyebabnya tidak lain karena pesantren kilat adalah kesempatannya berkumpul dengan temantemannya satu desa. Desa Panimbo memang sangat luas, karena itu biasanya kegiatan akan berpusat di dusun masingmasing. Hal ini jugalah yang membuat anak-anak
desa Panimbo jarang berkumpul bersama.Meski pesantren kilat hanya berkisar 3-4 hari, namun tetap membuat kesan tersendiri karena kebersamaan yang terjalin di dalamnya. Tak seluruh anggota keluarga Pak Kaslan aktif di Plan. Istri Pak Kaslan, Yatonah mengaku jarang mengikuti pelatihan atau kegiatan yang diadakan Plan. Menurut Bu Yatonah, orang-orang yang dipilih Plan adalah orang-orang yang pintar. Bu Yatonah memang buta huruf, sewaktu anak-anak, ia tidak dibolehkan untuk mengenyam pendidikan oleh orang tuanya. Ia sempat mengeluh tidak adanya pelatihan buta huruf untuk orang-orang sepertinya. Padahal masih banyak masyarakat di Panimbo yang belum mengenal huruf dengan baik. Plan sendiri tidak memiliki program penuntasan buta huruf. Bu Yatonah tidak memiliki pekerjaan selain mengurusi rumah, dan terkadang membantu suaminya di babatan. Sesekali jika ada hajatan di desanya, ia akan membantu memasak. Keahliannya yang satu ini memang tidak diragukan lagi.Tenaganya sudah sangat sering dipakai oleh masyarakat Panimbo. Salah satunya adalah saat kedatangan Wakil Bupati Grobogan untuk meresmikan Pos Kesehatan Desa di Panimbo. Namun hari-hari Bu Yatonah tetap disibukkan dengan kedelai atau jagung. Pagi hari ia akan menemani suaminya pergi ke babatan. Siang hari, saat panas menyengat, ia akan beristirahat di rumah. Jika pekerjaan di babatan sedang banyak, terkadang sore hari ia baru berada di rumah. Empat anak Pak Kaslan sudah menikah.Yang masih di bangku sekolah tinggal Nur, dan putra bungsunya. Namun ada tiga keluarga yang tinggal di rumah Pak Kaslan, karena dua anaknya juga tinggal di rumah yang sama. Tak ikut banyak kegiatan Plan, Pak Kaslan tak pernah berkecil hati.Apalagi menurutnya, Plan sudah banyak membantu desanya. Terkadang ia hanya menyesal, kenapa bantuan yang diberikan Plan tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Padahal banyak bantuan Plan, yang sangat membantu perkembangan desa, Pak Kaslan sendiri termasuk putrinya. Keinginan Nur yang belum terwujud adalah melihat desanya memiliki banyak lapangan pekerjaan. Di Panimbo, rata-rata mata pencaharian warga adalah pertanian. Sedang remaja-remaja Panimbo lebih banyak memilih menjadi kuli bangunan atau pembantu rumah tangga di Jakarta dan kota-kota lain. Nur berpikir jika fasilitas transportasi di desanya bagus, maka lapangan pekerjaan akan tercipta juga. Karena itu Nur berharap jalan akses ke Panimbo semakin baik. Pekerjaan apa pun, yang penting tersedia di
64
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Panimbo,dan remaja-remaja seumurannya tidak perlu lagi pergi ke kota untuk bekerja. Hingga saat ini infrastruktur desa yang diharapkan Nur belum terwujud, sehingga pilihan pekerjaan baginya belum banyak. Nur mungkin harus meninggalkan desanya untuk sebuah pekerjaan. Pak Kaslan dan keluarga tetap mendukung penuhapa yang Nur ingin lakukan. Yang penting, putrinya bisa segera bekerja. Pekerjaan apapun, itu terserah Nur. Selama itu pekerjaan baik, keluarga pasti mendukung penuh. Pak Kaslan berharap program Plan tidak berhenti di Panimbo tapi ada kelanjutannya lagi di tempat lain. Meski kecewa karena Plan tidak memperpanjang waktunya, Pak Kaslan tetap bersyukur. Harapannya, Plan bisa membawa banyak perubahan untuk tempat-tempat lain. Sepeninggal Plan, Pak Kaslan bertekad untuk hidup mandiri dengan mengembang biakkan kambing yang dimilikinya.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
KEBERANIAN YANG TERAIH Oleh: Rizqi Fi’ismatillah
D
i bangunan yang tak begitu luas, berdindingkan batako, beratapkan genting tanah liat yang meski tidak semewah rumah orang kota, namun di tempat inilah kami bisa berkumpul. Hari ini remaja-remaja putri dari berbagai dusun sudah memenuhi ruangan yang luasnya hanya 6 x 10
meter.
Dengan berbekal rasa ingin tahunya mereka menyimak semua apa yang ku sampaikan, video yang aku suguhkan, dan pertanyaan-pertanyaan yang aku lemparkan kepada semua peserta. Meski awalnya malu-malu, namun dengan metode santai yang digunakan, rasa kaku pun hilang. “Kamu sudah pernah pacaran berapa kali?” Tanyaku sambil menunjuk salah satu peserta berkerudung kuning. “Dua” jawabnya tampak ragu. “Dua atau lebih dari dua?” Pancingku agar lebih terbuka di dalam pelatihan kali ini. “Lebih dari dua” “Lebih dari dua, lebih dari dua, lebih dari dua” Gelegak tawa pun terdengar. Bukan maksud untuk mempermalukan, namun agar lebih jujur saja. 67
Ridho sebagai fasilitator dalam pelatihan Kekerasan Dalam Pacaran
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Matahari tepat di atas kepala. Panas di luar semakin menggila. Untung meski di bangunan seadanya ini, setidaknya kami semua bisa terlindungi dari sengatan jahat panasnya matahari. Meski gerah, namun sama sekali tak mengurangi antusiasisme para adik-adik peserta. Mereka malah tambah semangat ketika snack gratis disodorkan di hadapannya. Semakin lama suasana menjadi mencair. Tak ada lagi kekakuan dan rasa malu untuk berbagi pengalaman yang mereka alami dengan pasangan masing-masing. Semua yang aku ketahui tentang KDP (Kekerasan dalam Pacaran) juga sudah aku bagikan, video pun sudah aku perlihatkan. Itu artinya acara sudah harus segera diakhiri. Tampak binar harapan di depan mata mereka. Dengan langkah penuh semangat mereka meninggalkan tempat duduknya. Mungkin ada banyak cerita yang akan mereka sampaikan kepada temannya atau bahkan pacarnya sendiri, agar tidak seharusnya sang kekasih memperlakukan mereka dengan semaunya. Tak jauh beda dengan harapan adik-adik tadi. Aku juga berharap semua yang aku sampaikan benar-benar masuk ke dalam diri mereka, bisa diterapkan dalam keseharian mereka. Aku juga berharap tidak mendengar lagi kekerasan fisik, mental, dan psikis yang dilakukan. Yang akhirnya membawa dampak kerugian yang besar. Jika belum menikah dengan gampangnya mereka melakukan kekerasan, bagaimana jika nanti sudah menjalin ikatan resmi? Semoga tak akan ada kekerasan dalam pacaran dan rumah tangga. Lega sudah perasaanku, acara hari ini berjalan dengan lancar. Bahkan mereka pun meminta pelatihan ini untuk dilanjutkan kembali. Aku masih belum menyangka kalau aku mempunyai keberanian seperti ini. Keberanian tampil dan menyampaikan apa yang aku ketahui di depan banyak orang. Padahal jika mengingat aku yang dulu, sepuluh tahun yang lalu... *** Seperti remaja umumnya, kini telah kutamatkan sekolah menengah akhirku di SMA Negeri 01 Wonosegoro. Dengan rasa penuh was-was, kuberanikan diri menyampaikan keinginan kepada kedua orangtua yang selama ini membesarkanku. Ya, keinginanku akan kuliah di luar kota, yang mungkin terdengar sedikit aneh jika orang-orang mendengarnya, karna keinginan seperti ini bisa terbesit dari fikiran orang desa sepertiku. “Wajar saja, menuntut ilmu itu kan wajib bagi manusia, dari liang lahir sampai liang lahat. Sebisa,
69
Ayah, ibu, dan adik Ridho
semampu, dan semaksimal mungkin. Tak pandang apakah itu orang kota atau orang desa sekalipun.” Ku perkuat niatku dalam hati. Dengan kesungguhan niat dalam hati, kuutarakan semua keinginanku. Suasana menjadi hening sejenak, tampak kekhawatiran terpancar dari sorot mata ibuku. Bukan karena khawatir anak laki-laki pertamanya akan berpisah sementara kepada orang yang selalu memperdulikannya, tapi karena alasan biayalah mereka menjadi ragu atas keputusanku. Wajar saja, bapakku hanyalah seorang petani, apakah mampu jika nantinya harus membayar kuliah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Namun, bapak pantang menyerah. Beliau selalu mendukung keinginan anaknya, terlebih soal pendidikan. “Jika ada niat baik Insya Allah pasti ada jalan,” Ucap beliau kala itu. Sebagai kepala keluarga, ia akan bertanggung jawab penuh dengan apa yang ada dikeluarganya. Walaupun beliau sendiri belum tahu bagaimana ke depan nantinya. *** Desa itu sepi, di kaki bukit berderet pepohon jati. Rumput liar tumbuh subur menyembul di tanah kosong. Sungai dengan sedikit air mengalir sunyi. Berada jauh di kota kadang membuat rindu ini semakin menjadi-jadi jika tidak dituruti keinginannya. Karena itu juga, walaupun tidak sering kusempatkan untuk tetap pulang ke desa.
70
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Walau makan dengan sambal, terasa seperti ayam. Itulah gambaran jika berkumpul dengan keluargaku. Meski sederhana, tapi kasih sayangnya luar biasa. Momen seperti ini yang aku suka. Saling berbagi cerita dan pengalaman setelah berpisah beberapa minggu saja. Ah, tidak jadi persoalan, bahkan menambah kehangatan di tengah keluargaku. Di saat kehangatan terjalin di antara keluargaku, tiba-tiba dengan guratan senyum yang masih menempel di wajah bapak, beliau bercerita mengenai dirinya. Dengan nada santai dan intonasi yang tidak terlalu tinggi, kata demi kata terlontar dari mulutnya. Atas apa yang diceritakan bapak tadi, aku menjadi tahu, bahwa masih ada saja pemikiran orang desa yang masih tertinggal. Betapa tidak pentingnya sebuah pendidikan untuk orang desa. Mereka berpikir pendidikan itu hanya berlaku untuk orang pintar saja. Padahal sebelum pintar orang itu belum tau apa-apa. Dan untuk menjadi tahu, orang tersebut harus belajar. Belajar itu bisa ditempuh dengan cara apa saja, termasuk kuliah.
71
“Jauh-jauh kuliah, nantinya hanya menjadi kuli bangunan atau menjadi penjual minuman di pinggir jalan.” Komentar sinis seorang tetangga yang masih berpikir tentang tidak pentingnya pendidikan. Aku bersyukur memiliki sosok ayah seperti bapakku. Beliau tak hanya mejadi pemimpin keluarga, tapi beliau juga menjelma menjadi temanku sendiri. Aku suka keuletan, kesabaran, ketenangan, dan tentunya pemikiran beliau. Apalagi pemikiran beliau soal pentingnya sebuah pendidikan untuk anak-anaknya. Terbukti ketika beliau menanggapi komentar tetangga yang kurang setuju anaknya dikuliahkan jauh-jauh dan memerlukan banyak biaya. Beliau berkata dengan tenang dan senyum yang selalu beliau pasang, dan nada yang halus yang ia gunakan, “Telo seng di godok karo dibakar ‘kan lak yo bedo rasane karo telo seng wes diolah dadi gethuk”. Bapak sadar bahwa orang yang berilmu itu tentu lebih memberikan manfaat bagi lingkungannya dibandingkan dengan yang tidak berilmu. Bahwa pendidikan harus dimiliki setiap orang. Pendidikan akan sangat menentukan perkembangan dan kualitas diri seseorang untuk kedepannya. Hasil yang didapat pun akan berbeda pula. *** Tahun 2006. Rona kebahagiaan terpancar dari keluargaku, terutama dari aku sendiri. Dua tahun sudah aku mengais ilmu di sebuah perguruan yang akan mengantarkan harapan keluargaku. Di IKIP Semaranglah aku belajar. Kini saatnya aku harus melanjutkan tugasku. Menjadi guru SD, yang sebenarnya bukan cita-citaku semasa kecil. Kini saatnya aku mengabdikan diriku untuk anakanak yang tinggal di sekitar desa Panimbo, desa masa kecilku dulu tentunya. Desa yang memberikan kebebasanku untuk bermain, berlari, belajar, dan mengukir sejarah hidup yang tidak akan terlupa. Dengan menjadi guru, setidaknya aku bisa membuktikan apa yang selama ini aku tekuni membawa hasil yang sebanding. Bukan persimpangan yang lebih rendah di mata manusia.
Murid-murid Ridho di SD Panimbo
“Kuliah D2 pun masih terasa kurang sepertinya. Apa yang bisa aku lakukan selain mengajar nanti?” Pikirku gusar. Di tengah kegalauan yang melandaku, seorang teman yang tak biasa berkunjung ke rumah datang menemuiku. Mas Santo namanya. Karna beliau tahu diriku yang sudah lulus kuliah, dan belum memiliki banyak kesibukan, beliau mengajakku untuk turut mengisi lembaran-lembaran form, dan memfoto anak-anak SC. Semua pekerjaan yang belakangan ini aku tahu dari lembaga Plan. Plan? Yang kutahu Plan sudah dua tahun di Desa Panimbo. Sejak aku lulus SMA dulu, aku belum begitu paham dengan Plan itu sendiri. Ya, yang kutahu hanya lembaga International yang bergerak dalam bidang anak. Dulu mereka juga sempat datang ke rumah untuk mendata adikku, Hasan Nawawi, yang baru berusia 11 tahun dan kebetulan sudah terdaftar dalam akta kelahirannya. Tapi pihak keluargaku tidak memberikan ijin kalau Hasan akan didaftarkan menjadi anak SC, yang sebenarnya akan memiliki orang tua asuh dari luar negeri. Kami khawatir jika Hasan sudah besar nanti akan dibawa orangtua asuhnya itu keluar negeri. Bisa diperjual-belikan atau apa. Bulu kudukku berdiri jika harus mengingat kejadian dua tahun yang lalu. Setelah cukup lama mengenal Plan, akhirnya kami sekeluarga menjadi tahu bahwa Plan memang lembaga yang melindungi tentang hak-hak anak, bukan memperdagangkan anak-anak ke luar negeri. Ada rasa kecewa setelah berprasangka buruk awalnya. Dan melihat teman-temannya mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Plan, Hasan pun ingin mengikuti apa yang teman-temannya lakukan. Tahun 2011 ada penambahan Women Child, sama halnya seperti SC namun khusus untuk cewek. Karna jumlah yang ditentukan kurang, Hasan pun diikutsertakan untuk menjadi anak SC. Tak jadi masalah meski Hasan tidak mengenali orang tua asuhnya yang dari luar negeri dan berkirim surat seperti halnya anak SC lainnya. Namun dari perkumpulan itu, Hasan menjadi tambah teman dari berbagai daerah. Diriku kini sudah besar. Aku tahu mana yang terbaik untuk diriku sendiri. Aku juga sudah kuliah, pasti ada ilmu yang bisa diterapkan selain mengajar. Entahlah apa yang bisa kuperbuat. Kalau hanya mengisi form sepertinya aku bisa, dan kalau soal foto memfoto itu juga mudah. Tapi kalau misal disuruh berbicara di depan orang tua SC apakah aku bisa nanti? ***
74
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Ah, senang sekali rasanya hari ini. Baru pertama kali kenal saja rasanya sudah seperti teman lama. Banyak teman itu memang segalanya. Mungkin temanku di sini bisa dihitung, walaupun kami tinggal di desa yang sama, desa Panimbo. Tapi untuk sekedar bermain ke desa yang lain saja membutuhkan tenaga ekstra, karena jalanan yang sulit diakses. Walaupun sekarang lebih baik dibandingkan yang dulu. Dulu saat musim hujan, lumpur bisa sampai selutut. Jatuh, ban selip adalah hal yang biasa bagi masyarakat sini. Selama ini aku jarang bergaul. Dua tahun aku meninggalkan desa untuk studi. Aku merasa tertinggal di dalam banyak hal. Namun kesempatan pertama bergabung dengan kegiatan di desa, aku langsung akrab dengan setiap pesertanya. Kegiatan yang aku ikuti yang diselenggarakan oleh Plan berupa pelatihan, pendidikan, kegiatan sosial, dan bantuan materi.
Serangkaian acara yang diikuti Hasan setelah bergabung menjadi SC
Berkat pertemuan pertama, kami sering juga diundang kembali untuk menghadiri perkumpulanperkumpulan yang terkait dengan kegiatan Plan. Dengan modal kami dididik, diberi pengalaman ada sesuatu hal berbeda yang aku rasakan setelah mengikuti sederet program kegiatan Plan. Tak lama berkecimpung di lembaga international ini, resmi aku diangkat menjadi relawan Plan. Haha, padahal aku pun tak tau apa relawan itu sendiri. Mungkin waktu yang akan menjawabnya.
75
Setelah menjadi relawan, setiap kegiatan yang dilakukan Plan seperti LPAD, KDP, RJ, platian perlindungan anak, dll. Aku selalu terlibat di dalamnya. Semua kegiatan ini memaksaku untuk berinteraksi kepada banyak orang. Secara praktis rasa minder yang dulu aku rasakan ketika bertemu dengan orang terkikis sudah.
Penjabaran Bantuan Buang air besar sembarangan masih terdengar biasa bagi masyarakat pedesaan. Karena minimnya pengetahuan warga akan pentingnya jamban bagi kesehatan. Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah juga menjadi persoalan bagi para warga desa Panimbo, sehingga mereka lebih memilih buang air besar di sungai atau bahkan di belakang rumah sekalipun. Meski bau yang tercium menjadi tidak sedap dan menimbulkan penyakit, mau bagaimana lagi? Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Plan mengadakan program pembangunan jamban yang ramah untuk semua kalangan, terutama untuk anakanak desa Panimbo. Desa Panimbo juga masih terjerat oleh masalah air bersih. Struktur tanah di sini yang keras dan tidak berpori-pori mengakibatkan air hujan tidak banyak terserap di dalamnya. Sehingga tidak banyak kandungan air di dalam tanah sana, menggali sumur pun akan sia-sia. Ketika musim kemarau penduduk ngangsu air sejauh dua kilometer dengan jerigen. Terhadap masalah ini, Plan memberikan bantuan berupa penampungan air hujan (PAH). PAH berupa penampungan air berupa bak penampungan air dari beton di rumah SC. Bak ini sanggup menampung air beberapa ratus liter. Banyak sekali bantuan langsung yang diberikan Plan untuk warga desa. Selain itu, Plan juga memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan untuk masyarakatnya agar lebih terampil dan berdaya. Di tengah berbagai manfaat positif yang diberikan Plan ada juga sedikit reaksi tidak baik dari masyarakat. Seperti misalnya keluarga miskin yang anaknya tidak terdaftar sebagai SC. “ Mas, saya juga orang miskin. Kenapa saya tidak diberi bantuan?” Tanyanya dengan amarah yang meledak-ledak. Mungkin karena posisi kami sebagai relawan, dengan santainya mereka melabrak kami. Padahal kami tidak berkuasa penuh dengan pembagian bantuan itu. Tugas kami hanya menyampaikan program
76
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
dari Plan. Dengan penuh kesabaran, kami sampaikan apa yang seharusnya kami sampaikan, bahwa kami tidak terlibat dengan pembagian itu. Lambat laun masyarakat juga paham dengan program yang diberikan Plan. Sepuluh tahun sudah Plan membangun desaku. Banyak perubahan terjadi dan dirasakan nyata oleh warga. Terutama olehku sendiri. “Plan memberikan warna dalam hidupku, semua kegiatan yang aku ikuti terasa mengesankan. Tapi diantara yang paling mengesankan adalah saat pelatihan LPAD di Purwodadi. Karna di situlah aku menemukan wanita yang kini menjadi istriku” Aku berharap semua ini akan terus berlanjut meski hanya dalam silaturahmi dan persahabatan.
Kamar mandi bantuan Plan Idnonesia
77
Sampah tersebar di mana-mana. Kupunguti botol-botol air mineral serta kardus-kardus kosong yang tergeletak tak terurus. Ada sebongkah harapan yang tertanam dalam hati. Semoga para remaja tidak bernasib seperti sampah ini. Akan ditinggalkan jika apa yang bisa dimakan telah habis, atau memperlakukan seenaknya jika makanan itu tidak selera sesuai keinginannya, atau bahkan dibuang begitu saja. Kututup pintu yang masih sedikit terbuka. Setelah bersejajar dengan dinding samping, kukaitkan gembok supaya mereka bisa tetap berdampingan. Tidak akan terlepas jika ada orang yang membukanya. Sebaliknya, sebagai remaja seharusnya mereka harus pintar-pintar menutup pintu, pintu hatinya, pintu dirinya. Jika sudah waktunya terbuka, pasti ada seseorang yang akan membukanya. Kulangkahkan kakiku, perlahan meninggalkan gedung yang berdiri kokoh diantara bangunan rumah warga Kuberikan senyum pada siapa saja yang kutemui. Hidupku yang sekarang ini terasa lebih bermanfaat. Aku bisa menularkan ilmuku tanpa harus berpikir bagaimana caranya untuk menyampaikan. Tidak ada grogi, tidak ada minder, apa lagi demam panggung. Kini semua terasa menjadi mudah. Sebab itu pula, aku berterimakasih atas pendidikan dan pelatihan yang sering dilakukan oleh lembaga yang benar-benar melakukan semuanya dengan ikhlas tanpa menagih imbal balik ini. *** 78
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
KELUARGA JUMADIONO Oleh: Nur Rosyid
J
am dinding warna putih di ruang depan, telah menunjuk angka delapan. Waktu bagi Jumadi biasa bangun di pagi hari. Segera ia bergegas menuju kamar mandi, mencuci muka dan mengelapnya sampai kering. Pukul delapan, waktunya bagi dia untuk segera mengeluarkan lima domba putih yang gemuk-gemuk dari kandang di sebelah dapur; kandang yang hanya bersekat kayu setinggi perut orang dewasa. Tak perlu berganti baju dari yang dipakai sedari kemarin sore, pun tidak menyapa ibu atau ayahnya, ia langsung menuntun domba menuju pematang sawah yang mulai mengering di bulan April. Sawah tak terlalu luas yang hanya bisa dipanen sekali setahun, cukup untuk makan beberapa bulan bagi warga sekitar. Sembari berjalan menyusuri gang rumah dan jalan setapak sawah, Jumadi mengambil tiga potong kayu di dekat kamar mandi tetangganya. Patok yang ia gunakan setiap hari untuk mengikat tiga domba besarnya. Sedang dua domba lain dibiarkan begitu saja karena masih kecil, berkeliaran dengan beberapa domba lain milik tetangganya.
81
Ia mulai memelihara domba itu, semenjak Plan memberinya satu ekor betina untuk dikembangbiakan di tahun 2004. Ia yang tidak bisa bicara dan mendengarkan, Plan memberikan kesempatan kepadanya sebagai anak dampingan sejak 2003 sampai sepuluh tahun lamanya. Waktu itu, ibunya sempat ketakutan ketika ada orang datang mendata, menanyai, dan memotret-motret. “Anakku meh diapakne” (anakku mau diapakan)? gusarnya. Akan tetapi, semenjak menerima surat pertama dan bantuan payung, tas, buku, hingga pensil; dia merasa beruntung anaknya mendapat orang tua asuh dari Kanada, Mr. Joshua Peacock namanya. Sembari melihat-lihat rumput yang begitu lebat, dia menusukkan sepotong kayu itu ke tanah dan mengikatkan talinya. Jumadi sangat menekuni menggembalakan domba di pematang sawah itu, dibanding beberapa tetangganya yang terburu-buru menjual dan tak pernah memeliharanya lagi, sampai salah satu partai politik mencoba menghidupkan pemeliharan kambing lagi menjelang pemilu kemarin. Saking semangatnya, tepat dua tahun yang lalu, semenjak kepulangan dari Yogyakarta, ia meminta kepada ibunya untuk membelikan motor karena mas Jambang, sebutan mas Umar yang dikenalnya lewat jambang lebat, sempat mengajarinya mbengkel motor. Sejak 2004 sampai 2012 itu, Jumadi tak pernah menjual kambingnya, sampai-sampai dombanya beranak delapan ekor. Atas keinginannya, ia menjual enam dari sembilan ekor untuk sebuah motor Yamaha Force One warna biru yang suratnya masih lengkap dan telat pajak dua tahun. Sedang satu ekornya, diminta oleh ibunya untuk membeli kebutuhan dan syukuran kecil-kecilan untuk motor pertama itu, satu-satunya harta Jumadi yang paling berharga. Sembari mengelus-elus domba kecil dan kemudian melepaskannya berlarian, Jumadi duduk sebentar. Memandangi kambing dan rerumputan sekitarnya mana yang lebat agar dirinya bisa memutuskan dimana akan ngarit (mencari rumput) nanti siang. Tak selang lama, matahari mulai naik di atas pohon-pohon jati, ia mulai memegang perut, ingin segera buang hajat dan sarapan pagi. Ibunya, bu Darmi, telah menyiapkan sarapan dan bangun tiga jam lebih pagi dari Jumadi. Begitu bangun dari kamar tidurnya di dekat dapur, ia segera mengambil air wudhu dan sholat subuh di pojok ruangan tengah berlantai kayu tak bersekat apapun yang digeletakkan sajadah warna biru tua. Mukena putih untuk sembahyang dirinya, cukup digantungkan di tembok samping sajadah itu. Seusainya, ia segera membangunkan Pika, anak terkecilnya yang tengah menyelesaikan sekolah SMP di kecamatan.
82
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Bu Darmi, dengan cekatan segera mengambil piring-piring, gelas, wajan, dan sendok bekas makan sehari kemarin untuk dibawa ke kamar mandi. Ia tak lagi mencucinya dari pancoran belakang tungku di dapurnya karena air di bak belakang rumah sudah tidak mengalir lagi. Untuk itu, pak Mur, sehabis subuh segera bergegas mengambil dua ember bekas cat tembok besar dan memikulnya ke sumur milik tetangga samping kanan rumahnya itu. Setidaknya, setiap hari ia harus menimba bolak-balik empat kali untuk memenuhi satu gentong merah di kamar mandi dan dua ember untuk mencuci. Di tambah satu kali mengambil air ke mushola untuk memenuhi gentong yang lebih kecil di kamar mandi. Gentong kecil yang dibedakan untuk keperluan wudhu. Pekerjaan ini terus dilakukan pak Mur semenjak Plan datang mengenalkan pembangunan instalasi air ke desa dari sungai dan mata air yang dibuka di perbatasan dusun Prigi dengan dusun tetangganya, Sambiroto. Air sempat mengalir ke rumah warga selama tiga tahun. Plan membuatkan bak besar dan bak-bak penampungan di setiap RT dan mengalirkannya ke rumah warga. Setiap pemakaian satu meter kubik, setiap rumah akan dibebani seribu rupiah untuk perawatan dan uang rokok penjaga. Waktu itu, Pak Mur tidak perlu menimba ke sumur apalagi harus mengambilnya ke sungai seperti sebelum mereka mempunyai kamar mandi. Keadaan ini jauh lebih baik ketimbang sewaktu mereka harus mencuci, mandi, sampai buang hajat di sungai. “Warga kami kumpulkan, suruh lihat kita ada teh segelas yang kami masukkan lalat. Kami tunjukkan lalat sering hinggap di kotoran kita dan mengerubungi makanan. Lalu saya tawarkan ke warga ‘siapa yang mau minum tehnya?’ Tak ada yang jawab”, tukas seorang relawan desa, mas Supri yang dikenal sebagai mas Gondrong, saat pengenalan hidup bersih kala itu. Pak Mur tertarik ikut membuat kamar mandi. Sebagai keluarga dampingan, ia mendapatkan bantuan satu rit pasir dan beberapa sack semen. Ia yang menghabiskan waktu luang antara masa tanam dan panen dengan mengumpulkan batu-batu kali, baginya cukup berpikir untuk mengajak beberapa saudaranya menggali sumur septic tank dan memasang jambannya. Kamar mandi itu dibangun di pojok belakang samping dapur, bersekat bilah kayu jati yang cukup bagus kualitasnya, rapat hingga sedikit sekali celahnya. Luasnya seukuran kamar tidur. Kayu-kayu yang dipilih, hampir sama dengan kayu untuk dinding rumah bagian depan dibanding bagian samping atau belakang yang sedikit kelihatan lubang-lubangnya. Pak Mur tak membuat bak mandi di dalamnya, cukup menggunakan dua gentong dan beberapa ember cat besar untuk menampung air. Kamar mandi itu berlantai semen separuh, yang membuat air tidak akan ke luar ke dapur.
83
Pagi itu, mereka sarapan dengan nasi hasil panen sendiri dari sepetak kecil sawah di seberang jalan, tak jauh dari rumahnya. Sawah yang hanya menghasilkan beras tiga karung besar saja, setidaknya cukup untuk makan di masa-masa menunggu panen jagung. Beras yang ia panen dari satu petak sawah warisan orang tuanya. Ia tak pernah sekalipun untuk menjual beras itu ke pasar. Dan kalau perlu, mereka akan menggantikan jagung dengan beras untuk mencukupinya. Bu Darmi sudah menyiapkannya dengan sayur tahu tempe yang dimasak dengan kuah santan, dicampur dengan sepiring gorengan yang dibeli dari warung setiap pagi. Ia baru akan memasak sayur dedaunan sepulang dari alas atau kebun kebun jagungnya. Di sana ia menanam kacang panjang. Juga bayam yang tumbuh begitu saja di bawah batang-batang jagung; bayam-bayam yang menjadi sayuran hampir setiap harinya, biasa dimasak kuah dengan jagung muda. Setelah menyiapkan sarapan di meja pojok ruangan rumah, pukul tujuh bu Darmi segera bergegas ke sawah pak lurah di sekitaran kantor desa. Tiga orang sudah menunggu, termasuk dua adik kandungnya. Sudah lima hari ini ia dimintai pak lurah matun (menyiangi rumput) sawahnya yang lebat. Berpakaian tertutup kepala, kaos lengan panjang putih, celana panjang, dan tangannya menenteng sebotol air putih; segera ia menyusul begitu memastikan urusan rumahnya selesai. Jumadi, segera mengambil piring dan sebuah gelas kaca kecil di rak dapur. Ia ke meja di ruangan tengah, mengambil nasi tiga entong dan sayur secukupnya. Kemudian kembali ke dapur, mencari dingklik (kursi kecil) dan menaruh piring di amben yang tak beralaskan apapun. Amben yang digunakan oleh keluarga untuk menaruh beras tiga karung hasil panen bulan Januari kemarin dan setengah karung pupuk urea. Jumadi duduk tenang menghabiskan sesuap demi sesuap dan sesekali mengunyah gorengan. Sembari menunggu matahari mulai naik, ayahnya berkeliling depan rumah. Membersihkan potongan dahan mangga, bekas gergaji kayu, dan mengumpulkan sampah. Dia membakarnya tepat di antara sisa-sisa batu yang ia kumpulkan setiap hari; diantara dua tumpukan samping rumah adiknya itu. Di waktu senggang, di antara musim tanam dan musim panen, dia memanfaatkannya untuk mengumpulkan batu kali di pinggir desa. Ia akan mendapatkan uang enam puluh ribu setiap mengumpulkan batu di pinggiran kali sebanyak satu meter kubik. Atau kalau ada sedikit tenaga tersisa, ia akan membawa ke halaman rumah dengan uang tambahan sebanyak dua puluh ribu. Jumadi terkadang mengikutinya atau mengajak teman dekat, Lukian atau wahyu, mengumpulkan sendiri ke pinggir kali. 84
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Rumah ini harus berbagi halaman dengan rumah adik pak Mur, pak Slamet namanya. Di teras tampak beberapa macam bunga hampir menutupi bagian depan rumah. Pika sesekali seminggu, akan menyiraminya sebelum duduk-duduk di beranda rumah. Sampah yang basah, juga kotoran kambing pak Slamet dibuang di situ juga, membuat api banyak mengeluarkan asap. Ia dan pak Slamet, tak pernah menjadikan kotoran kambing itu menjadi pupuk organik yang menyuburkan bagi jagungnya sebagaimana Plan pernah mengenalkannya beberapa tahun silam. Jumlah kotoran lima kambing, sangat sedikit untuk dikumpulkan, diaduk dengan obat bakteri, dan disimpannya beberapa hari. Belum lagi mereka membawa ke ladang jagung di wilayah Perhutani itu yang luasnya per keluarga bisa mencapai setengah atau satu hektar per petaknya. Pak Mur lebih memilih untuk dibakar. Pelatihan pembuatan pupuk organik yang dikenalkan oleh Plan menjadi tampak sia-sia. Kebutuhan pupuk NPK dan ureanya telah dipasok oleh masing-masing juragan setiap masa tanam datang. Pak Mur cukup menggantinya dengan menjual jagung itu ke juragan dengan cara mengurangi jumlah uang yang diterima sebagai uang bayarnya. Dengan menggunakan celana kolor panjang warna merah hitam, baju putih tipis, kupluk coklat garis-garis hitam, dan sepatu karet putih, pak Mur bergegas ke ladang jagung. Tak lupa ia mampir ke kios adiknya membawa uang seribu untuk membeli pewangi pakaian Downy dua bungkus. Pewangi bungkusan ini dapat ia andalkan untuk mengusir babi yang berkeliaran di hutan yang sesekali bisa menyerang jagungnya yang hampir panen di bulan April ini. Pak Mur melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak. Cuaca sudah mulai terik di Desa Prigi yang terletak di Kecamatan Kedung Jati, Grobogan; desa yang dibatasi oleh sungai di sebelah utara dan selatan. Pohon-pohon jati yang tengah berumur 10 tahunan hampir menutupi wilayah yang luas di luar batas sungai. Cuaca sudah tidak sesejuk pada masa Presiden Soeharto, karena hutan milik Perhutani itu sempat digunduli warga semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997 sampai awal kepemimpinan Presiden Megawati. Masyarakat memanfaatkan momentum itu sebagai perburuan harta paling menyenangkan sepanjang sejarah hidup mereka. “Do sugih mbiyen ki, golek duit gampang” (dulu pada kaya semua, cari uang mudah), celetukan yang kerap terdengar. Pohon-pohon jati tua sebesar dua orang melingkar bergandengan tangan dan bahkan lebih, habis dibabat di tiap malam hari. Pak Mur sendiri pernah dipenjara selama tiga bulan sekitar tahun 1998. Ketika itu, ia menjadi buruh kayu. Badannya yang gemuk tak kuat lari di kejar polisi kehutanan. Temannya tak memberitahu 85
kedatangan polisi ketika ia tengah mengeringkan keringat di kening. Akhirnya, ia mendekam selama tiga bulan di kantor polisi Kedung Jati. Baginya itu pengalaman pahit yang pernah ia alami di tengah euforia panen jati. Ia terbebas setelah keluarganya mengumpulkan uang satu setengah juta yang waktu itu cukup mudah mencarinya. Pengalaman itu membuatnya lebih hati-hati di kemudian hari, sampai jati-jati itu habis. Sekarang mereka hanya bisa menikmati jagung di atas lahan yang dipinjamkan itu. Mereka harus bertanggung jawab terhadap penggundulan jati dan mahoni. Untuk setiap panen jagung sebanyak tiga ton, biasanya warga akan memberi petugas uang lima puluh atau seratus ribu. Entah ini ‘pajak’ atau sokongan agar mereka tetap menanam jagung lagi. Tak ada lagi tanah yang bisa digarap dan dimiliki. Tak ada tanaman lain yang bisa diandalkan di atas tanah berkapur dengan cuaca yang panas. Kondisi itu sering menyebabkan daun jagung memutih dan cepat layu. Belum lagi tikus dan babi akan datang menyerbu sebelum petani setempat mengumpulkan jagung yang menguning. Pak Mur segera mempercepat langkahnya. Menyusuri jalan setapak melintasi kebun jagung yang luas, segera menuju gubuk di ladangnya yang terletak di pertemuan sungai kecil itu. Badannya yang gemuk tak mampu menaham nafasnya yang terengah-engah. Dia memilih untuk duduk sebentar di gubuk tak beratap seukuran dua setengah meter kali dua meter itu. Gubuk yang akan ia benahi ketika musim panen dua minggu lagi. Sembari mengeringkan keringat sebentar, ia segera mengambil air di pojok gubuk dan mencampurnya dengan pewangi Downy. Mengocoknya sebentar dan segera mengelilingi ladang. Menemui potongan-potongan kain yang ia taruh di beberapa titik yang biasa dilalui babi, termasuk batas luar ladangnya seluas setengah hektar itu. Wangi kuat Downy akan membuat babi itu memutar jalan, entah kembali ke sarang atau ladang tetangga. Pekerjaan ini akan ia lakukan setiap seminggu sekali semenjak tongkol jagung mulai membesar. Di batas-batas lahan, jagungnya tampak sedikit layu dan putih. Pak Mur mengambil tongkoltongkol yang tumbuh di bawah tongkol besar, mengumpulkannya untuk dibawa pulang. Tongkol muda yang menjadi sayur kesukaan keluarga yang selalu dioseng dengan tahu tempe atau bayam muda. Lahan yang tengah menunggu panen ini, dulunya membutuhkan bibit jagung P27 sebanyak tiga bungkus. Begitu juga di tiga lahan lainnya, masing-masing sebanyak dua bungkus, dua bungkus, dan dua setengah bungkus. Bibit-bibit itu dipasok oleh juragan yang akan membeli hasil panennya, kalau tidak, pak Mur harus ke Beringin, Semarang untuk mendapatkan sebungkus bibit satu kilo seharga tujuh puluh ribu.
86
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Pak Mur, biasa memanen jagung tiga kuintal dari setiap satu kilo bibit yang ditanamnya. Harga jagung per bulan april, di masa panen seperti ini, hanya berkisar antara Rp 2.800 sampai Rp 3.000 per kilo. Harga itu bisa naik di atas tiga ribu, tapi juragan akan main timbangan, meminta timbangan menurut ukurannya, membawa sendiri timbangannya yang diatur sedemikian rupa untuk mengurangi berat, atau membocorkan karung ketika diangkat. Seringkali juragan akan membayarnya ketika jagung sudah laku. Juragan itu akan melunasinya, sembari membawa beberapa sack urea dan bibit untuk masa tanam berikutnya. Pak Mur meneruskan pekerjaannya, mencermati jagungnya yang memutih. Di antara tanamannya itu, tupai sering sekali menggerogoti kulit jagung, mengoyak-oyak, dan tak pernah menghabiskan satu tongkol penuh. Beberapa saat ia berpikir melihat-lihat pepohonan yang menjadi sarang tupai. Pandangannya jatuh pada beberapa batang jati yang menggantung ke arah lahan jagungnya. Ia pun membabat tiga pokok pohon, memotongnya beberapa meter, dan menyandarkannya pada tebing sungai agar tak mengundang tupai lagi. Menunggu untuk kering agar istrinya bisa membawa pulang ke rumah sekedar untuk kayu bakar. Jumadi berjalan menuju televisi, menyeret kursi, dan duduk tak jauh satu kaki. Pagi itu, tidak ada orang di rumah, kecuali Jumadi yang tengah menyalakan televisi yang dibungkus kerudung merah jambu, sembari memegang remote di tangan kirinya. Tangan kanan memegang HP. Di samping televisi, dua bua speaker aktif besar dan tiga VCD Player. Dua buah sudah mati, terbakar dan tidak bisa membaca CD lagi. Sesekali ia memandangi smartphone Cina merek I-cherry yang dicharge; smartphone seharga tiga ratus ribu pemberian kakaknya. Smartphone itu ia gunakan untuk melihat-lihat foto di dalamnya. HP satunya bermerek Starcross seharga dua ratus dua puluh lima ribu yang ia beli dari Kedung Jati dari uang jagung panennya. Kebetulan, oleh bapaknya, dia diberi satu lahan yang letaknya bisa dilalui oleh motor. Lahan untuk dirinya, untuk latihannya sebelum berkeluarga, dan mencukupi keperluan dirinya yang makin banyak setiap harinya. Hari itu, ia memilih menonton acara Moto GP, ketimbang mengupdate berita politik dan kekerasan seksual, film horor siang, ataupun talkshow selebriti. Matanya tajam mengikuti pembalap yang saling melaju. Badannya seringkali ikut meliak-liuk, seperti ada sesuatu yang menggeraknya, mendorong imajinasinya mengendarai motor balap itu. Sesekali ia mengganti ke FTV ketika jeda. Tangan kanannya sigap mengarahkan karema HP untuk memotret aktris FTV itu. Di HPnya, tersimpan banyak sekali
87
potret-potret selebriti cantik yang ia ambil langsung dari televisi dan men-download beberapa gambar sewaktu di Yogyakarta Maret dan April 2011 disusul April 2012 silam. Yogyakarta, satu-satunya kota paling berkesan bagi Jumadi. Foto-foto yang bertebaran dekat pintu masuk kamar dan setumpuk foto yang ia simpan dalam box dompet merek Levi’s yang ia beli ketika di Malioboro; telah mengisahkan pengalamannya yang panjang. Ia bertemu dengan teman-temannya yang mengalami cercaan dunia karena orang-orang sekitar tak pernah memahami keinginannya. Mas Jambang, memberinya kesempatan belajar huruf, berkomunikasi, dan canda tawa di rumahnya, Berbah, Bantul. Di teras rumah yang lebar dan sejuk, jumadi mulai belajar menorehkan huruf-huruf dan gambar, kemudian mengalihkannya ke dalam bahasa tubuh. Kesempatan yang tak pernah dia dapatkan selama dia di SD kelas satu sebulan dan kelas empat satu minggu. Sesekali mereka membuat rumah-rumahan, mewarnai, dan membuat figura. Jumadi membawa pulang satu figura berbahan kardus dan sebuah figura kayu. Dua figura di dinding kamar itu yang menyimpan semua wajah teman; keceriaanya dan pertemuan singkatnya. Puluhan foto pesawat terbang, hasil potret dan download-annya sendiri, mengenangkannya perjalanan di udara, melihat kota Solo sampai Jogja dan segala hiruk pikuknya. Hidupnya tak pernah sesibuk kota itu, selain hanya bermain dengan teman dan menggembala domba di pematang. Semenjak itulah, ia mulai disibukkan oleh mas Jambang dengan menyablon kaos, membengkel motor, dan berbisnis bakso. Kesibukan itulah yang ia kerjakan dalam kunjungan ketiganya. Sayang, ketiganya tak dilanjutkan di rumah, entah jualan bakso, nyablon, atau mbengkel yang sebenarnya bisa diandalkan di sana. Jumadi sebenarnya lebih menyukai motor. Kecintaannya sempat kebablasan, sampai-sampai ayahnya pernah ingin minggat dari rumah setelah Jumadi merusak motornya sendiri beberapa minggu lalu. Alih-alih memperbaiki motornya setelah jatuh, ia tak mampu memasangnya seperti sedia kala. Ayahnya lah yang jadi bulan-bulanan. Sampai ia menyuruhnya menuntun motor sampai bengkel di desa tetangga, beberapa kilometer dari rumahnya. Beberapa tetangga sempat terusik oleh keras amarahnya. “Sebenere jumadi ki yo telaten (rajin), tapi kok Plan gak ngasih alat-alat bengkelnya itu, lho? Kalo ada kan dia bisa dimintai tolong untuk nambalkan ban, kan lumayan dapat enam ribu”, bisik tetangga sembari mengenang kejadian yang ramai itu. 88
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Sementara tiduran, matanya melihat-lihat sekitarnya. Foto-foto bertebaran dekat pintu masuk kamar. Poster boyband Smash, cowok korea, foto kakaknya sewaktu menjadi pager ayu pengantin dan jam bundar bergaris emas, di tambah empat foto Jumadi sewaktu belajar ke Yogyakarta yang dibingkai menjadi satu; sesekali mencuri pandangannya dari belakang televisi. Terlebih jarum jam menunjuk angka sepuluh, ia akan tergerak beranjak mengambil sabit dan karung putih yang tergantung di dinding kandang. Setelah mengambil topi kuning motif tartan kesukaannya, ia mengeluarkan motor dari dapur. Memanaskannya dua menit, menggeber-geberkan, menarik gas. Mendekatkan badan ke blok mesin, memastikan mesin tidak bergetar kemrisik. Ia lalu mendorong motornya ke halaman, mengikatkan sabit dan karung di jok motor, dan bergagas ke ladangnya. Setiap hari, ia selalu mengambil rumput sekarung atau keranjang kecil, meskipun kambingnya sudah lalu lalang seharian di tengah rerumputan. Ruangan rumah yang luas itu kembali sepi. Tiga lemari pakaian masih mematung di depan kamar, empat buah kursi dan mejanya masih terduduk di dekat jendela, kipas mulai berhenti memutar, dan ruangan mulai terang oleh matahari yang menembus lewat celah-celah genting yang tidak rapat. Celah yang masih menyebabkan bocor jika hujan besar suatu saat datang. Dua helm hitam di atas lemari itu, terkena pantulannya. Tampak helm itu berdebu sekali, menandakan jarang ada salah seorang pergi ke kota, kecuali sekedar belanja ke kecamatan. Belum menjelang masuk waktu dhuhur, Pak Mur sudah di rumah. Melepas kaos dan duduk bersandar bantal di tiang depan televisi. Menghidupkan kipas angin yang akan memutar ketika sudah panas mesinnya. Lantai kayu jati itu memberinya sedikit kenyamanan, tak panas di siang hari, juga tidak dingin di malam hari. Hanya saja, lantai itu akan berbunyi seakan patah ketika orang berjalan lalu lalang di sana; “krek..kreekk, krek..!”. Menunggu beberapa menit panggilan ke Mushola. Bu Darmi baru masih di jalan pulang. Pak Mur sendiri, mengusahakan untuk tertib ke mushola. Seusai keringat mengering, ia beranjak mengambil baju safari warna krem kesukaannya atau polo badminton warna putih merah yang tergantung di samping sajadah. Siang itu, Jumadi sudah memasukkan sekarung rumput sejam yang lalu. Ia duduk di kursi dekat jendela, mendekati angin yang berhembus lewat jendela. Mengatasi panasnya cuaca dan memandangi anak-anak bermain bola di halaman tetangga. Sihono, suami adik bu Darmi, datang membawa burung gereja yang baru belajar terbang. Ia membawakan untuk Jumadi. 89
“Kurungan, kurungan, nduwe kurungan ora kwe? (punya kurungan tidak?)”, suaranya sembari menekan, mengeja aksen untuk membuat Jumadi mengerti ucapannya. Jumadi melambai-lambai tangan. “Kotak, kotak, goleko kotak!” (kotak, kotak, cari kotak), tangannya mengisyaratkan bentuk kotak. Jumadi paham, dan mengeluarkan kotak HP merek Nextcom dari lemari sebelah depan kamar Wati, kakaknya. Jumadi terlihat senang melihat burung kecil yang belum bisa terbang itu. Segera ia mengambil beberapa butir beras dari dapur. Dia nglolohi (memberi makan) burung itu dengan setengah butir beras. Kemudian menutupnya dan menaruh di jendela; satu-satunya jendela yang berkaca. Sesekali ia membuka, mengelus-elus burungnya dan menutup kembali. Sayang, burung itu hanya hidup dua hari. Siang itu, setelah makan masakan tadi pagi dengan sayur yang dihangatkan, bu Darmi kembali ke sawah pak Lurah. Pak Mur kembali duduk di depan televisi, menonton sinema siang dan menghidupkan kipas. Kipasnya yang sering macet, ia memilih untuk di depan rumah, di kursi panjang bawah pohon mangga. Atau ia biasa memilih ke warung adiknya, meminta es dawet segelas untuk mendinginkan dahaga. Beberapa pemuda biasa memilih untuk membeli es ekstra joss susu atau es kukubima susu. Minuman paling ramai dan cepat menyegarkan di siang bolong. Hampir setengah dua, sebuah angkot desa bercat merah mengelupas lewat. Biasa anak-anak sekolah dari Kedung Jati waktunya pulang. Angkot langganan Pika. Pulang pergi ke sekolahnya, pak No, sopir angkot itu, menariknya enam ribu untuk anak sekolah. Tapi Pika biasa dibayarkan sebulan atau setengah bulan sekali oleh ibunya. Belum lama ini, ia membonceng temannya dari dusun sebelah. Kadangkala ia dibarengi pacarnya mengendarai motor matic. Jam pulangnya pun lebih awal seperampat jam dari kepulangan angkot. Waktu yang lebih ini biasanya Pika harus menemani pacarnya duduk di beranda rumah, di kursi kayu sembari melihat jalan yang lalu lalang oleh pemuda. Mereka tampak asyik berbincang. Bapaknya sesekali lewat dan hanya memandangi. Begitu juga Jumadi. Begitu pacarnya pulang, Pika segera berganti pakaian. Ia biasa mengenakan kaos tipis dan rok di tepat di lutut warna kuning. Kembali ke kursi, bermain HP dan kadangkala pindah tempat di pintu masuk. Cuaca panas yang tak teratasi, Pika memilih duduk di pintu yang menghadap ke utara, biasa angin berhembus dari sana. Kalau tidak, ia biasa mengambil buku, membacanya sebentar kemudian menjadikannya kipas.
90
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Siang itu, bukan waktu yang enak untuk tidur, kecuali di depan kipas. Hanya pak Mur biasa di sana. Merebahkan badan, menunggunya sampai sore. Jumadi membawa Force One kesayangannya menuju lapangan voli di SD, menyusul temantemannya pukul empat sore. Ia menjadi lebih sering ngumpul sejak motornya bisa diandalkan lalu lalang dan ikut parkir di depan warung samping sekolah itu, satu-satunya warung yang buka dua puluh empat jam di desa itu. Barangkali tak mau kalah dengan temannya yang memarkir matik, Yamaha Vixion atau Jupiter, Honda Revo atau Blade; oleh-oleh dari perantauan di kota atau pulau seberang Jawa. Begitu sampai, beberapa orang melihatnya. Jumadi melihat dari gerbang sekolah, berdiri mematung. Memandangi bola terlempar kesana kemari, mencermati orang melompat dan penonton berteriak. Seto, Sihono, Danu, Wawan, kadangkala menyapanya. Mengkode gerakan jari: meminta uang atau rokoknya. Jumadi geleng-geleng dan tangan melambai. Sihono yang sering menjadi wasit Voli itu, mendekatinya di tengah permainan, menanyakan kambingnya sudah dipulangkan atau belum. Jumadi memang biasanya, di pukul empat sore itu sebelum dia ke lapangan, mengandangkan dombanya terlebih dahulu dan menaruh rumput di kotaknya. Kalaupun sampai lupa, ayahnya sendiri yang mengambilnya dari pematang. Voli dimulai lagi. Sesekali Jumadi mendekati orang-orang tua yang duduk di pagar sekolah. Beberapa pemuda bermain di halaman sebelahnya, sekedar pemanasan atau melempar bola. Jumadi yang bertubuh tidak terlalu tinggi, pun tak tak lincah mempermainkan bolanya, jarang ada yang mau mengajaknya bermain. Apalagi, setiap orang harus mengeluarkan dua ribu untuk setiap permainan untuk meramaikan suasana. Tetap saja ia hanya menonton dan menikmati rokok Eagle bersigaret hitam itu; permainan yang tak sesuai dengan kriteria tubuh dan kemampuannya. “Smash ki ngene iki lho!” (Smash itu begini lho) tukas salah seorang dari belakang Sihono. “Ngene-ngene (tangannya maju ke depan), ngerti ora e? koyo Jumadi wae”, (gini-gini, tahu gak kamu? Kaya jumadi aja (red-memberi kode)? jawab seorang yang baru saja melempar bola jauh keluar garis batas. Entah Jumadi mendengarkan atau tidak. Jumadi adalah bahasa itu, bahasa tak beraksen, bahasa kode, bahasa geleng-angguk kepala, bahasa tangan tak bersuara, adalah Jumadi. Warga tak pernah tahu jari berbicara huruf dan bahasa tubuh lainnya yang dikenalkan mas Jambang. Hanya Danu dan
91
Wawan, pendamping dia sewaktu ke Berbah itu saja. Sore itu mereka berdua menikmati permainannya di tengah lapangan dan jarang ngobrol dengan Jumadi. Ia jadi bahan tertawaan. Bu Darmi, sampai jam empat sore itu, segera beranjak ke rumah. Membawa daun bayam yang ia ambil dari ladang dekat sawah pak Lurah. Menaruhnya di meja sampir kompor gas, segera ke ruangan depan. Mengambil beberapa helai pakaian dari lemari depan kamar Wati. Sehabis mandi dan sembahyang sore hari, ia menuju kursi. Adik-adiknya pun mengikuti. Sembari menunggu malam hari, mereka biasa ngobrol kesana-kemari. Entah apa yang dibicarakannya. Bu Darmi membawa daun bayam dan jagung muda ke depan itu, agar makan malamnya tak telat nanti. Adik atau tetangga, biasa akan membantu mengupas jagung atau memotong bayam. Sedikit pekerjaan rumah tersisa di hampir malam itu sampai habis adzan maghrib. Menjelang maghrib sepulang dari sekolah, Jumadi biasa baru pulang mandi di sumur besar yang digali bersama Plan tahun 2003 silam itu. Ia jarang mandi di kamar mandinya sendiri, kasihan bapaknya sering terengah-engah menimba air. Dengan motornya itu, ia tinggal melaju sebentar, berendam, kasih sabun, merendam lagi dan membasuhnya dengan handuk putih. Begitu berganti pakaian, ia mengambil nasi dan sayur bayam jagung hangat dan segelas air. Duduk di tempat biasa dan tak banyak usil. Langsung menaruhnya ke meja begitu selesai, menghabiskan segelas air. Berjalan menuju televisi dan mengambil smartphone dan rokok Eagle Eksekutif; rokok sebungkus lima ribu isi dua puluh itu. Menemui wahyu, lukian, dan Aji di gardu depan rumah dan main kartu. Jumadi mulai merokok setahun yang lalu, semenjak ia mempunyai motor dan mau bergaul dengan pemuda setempat. Kalau tidak merokok tidak jempol, tapi kelingking ke bawah; tidak jantan, tidak berkumis dan kekar. Begitu kira-kira maksudnya. Dimulai dari pemberian sebatang oleh temannya cuma-cuma. Dan kemudian terdorong sendiri untuk membeli. Berbeda dengan Johan, teman dekatnya yang juga tak bisa bicara, yang ia panggil si Poni lewat gaya rambutnya klimis samping. Poni jarang berkelakar, bersenda-gurau, dan nongkrong di warung atau cakruk. Ia lebih pendiam dan suka di rumah. Ayahnya memberikan sepeda motor Jupiter lima tahun yang lalu. Motor yang ia gunakan untuk membantu mengangkut jagung, bukan untuk diparkir di warung. Ternak mentok, ayam, dan lelenya banyak di belakang rumah. Cukup untuk mengisi waktu
92
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
sehari-hari, ketimbang bermain ke sana-kemari. “Johan kae mono duite akeh, ra tau ngudud ro jajan warung”, (Johan itu banyak uang, gak pernah merokok dan jajan di warung), sesal bu Darmi suatu kali. Bu darmi dan adiknya melanjutkan obrolannya sehabis sholat di pojok ruangan rumah. Pika sudah menyalakan televisi. Sepupunya seringkali menangis, meminta es marimas atau jajanan. Bu Darmi biasa menaruh makanan kecil di meja. Tapi malam itu telah habis. Biasa ia membeli dari warung atau tetangga seberang jalan. Tetangganya telah mempunyai keahlian membuat keripik singkong atau keripik jagung. Di rumah tetangga itu ada beberapa alat yang dulu didapat dari pengajuan proposal kepada Plan beberapa tahun lalu. “Entek yo mbak mping jagunge?” (emping jagungnya habis ya mbak?) “Iyo, meh gawe yo ribet, ra ngerti prosese?”, (Iya, mau buat sendiri ribet, gak tahu juga prosesnya) jawab bu Darmi yang tak pernah ikut pelatihan itu. Apalagi tetangganya mengajarinya. “Halah, ndak ra payu paling” (Halah, biar gak laku mungkin), imbuhnya. Pelatihan yang menurutnya membuat anggota kelompok usaha itu menjadi kaya sendiri tapi hanya sebentar. Emping jagung buatannya sekarang hanya sebatas pesanan tetangga. Terkendala pemasaran dan jarak ke pasar Beringin sejauh 20 kilometer dengan angkot menuju ke sana. Ketimbang memprosesnya lama, jagung itu lebih mudah dikasihkan ke juragan yang mengambilnya sendiri di rumah. Bu Darmi terkadang memesannya, sekedar untuk buah tangan Wati yang hendak balik ke Semarang, oleh-oleh kepada empunya di sana setidaknya setiap sebulan sekali. Obrolan terus kemana-mana. Tak selang berapa lama, pak lurah datang. Pekerjaan matun di sawahnya telah selesai. Pak lurah datang membawa catatan perkerjaan di atas sepotong kertas. Basabasi sebentar dan menghitung jumlah hari. Bu Darmi menerima lima lembar uang lima puluh ribuan. Catatannya menunjukkan ia bekerja lima hari penuh. Pak lurah pamit pulang, pandangan mereka kembali tertuju pada YKS dan dangdutnya. Tontonan dangdut bersama yang sebenarnya sudah diminati semenjak sebelum mempunyai TV; lewat dua tumpukan CD diputar sampai DVD Playernya yang ketiga. Sembari mendengarkan “oplosan”, “kereta malam”, atau lagu lainnya dari YKS, mereka bercanda dan berbicara ngalor-ngidul, mulai jathilan yang akan dihelat sebentar lagi, sumbangan, hasil panenan, kerjaan matun di tempat pak lurah maupun berkesah jagungnya yang “mutih”. Pika sesekali memijati ibunya yang kelelahan. Pak Mur masih juga 93
melepas polo badminton warna putihnya. Lebih ceria dari tadi sore. Dangdut itu terasa lebih hidup terdengar sampai sepupu Pika minta jajan lagi. Tak direspon ibunya, dia menangis dan mengajaknya pulang, “budhe wes tutup warunge, sesuk esuk wae!”, (Warung budhe sudah tutup, besok pagi aja), katanya menenangkan. Jumadi masih berkelakar di gardu, membanting kartu terakhir dan tertawa keras. Sesekali murung kecapekan mengasut kartu hingga dikerjai temannya. Hampir sampai tengah malam, ia kembali ke rumah. Pak Mur sudah mendekur di kamar belakang menemani istrinya. Pika telah pulas beberapa jam sebelumnya. Jumadi menghidupkan televisi sebentar, mencari film tengah malam dan mencharge smartphonenya sembari membukabuka file foto. Tak ada film menarik kecuali film horor di malam jum’at atau kisah cinta di akhir pekan. Jumadi membawa HP Cross-nya miliknya, menghidupkan lampu pinggirnya yang kelap-kelip di kamar gelap tak berlampu; sendirian. Merah, hijau, biru, kuning, gelap, merah, hijau, biru, kuning, gelap, dan sebentar terlelap.
Pak Mur, ayah Jumadi, menabuh kenong dalam acara Jathilan di desa
Jumadi beraksi Jathilan
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
KELUARGA ADITA SALSABELA Oleh: Nur Rosyid
A
dita, gadis enam belas tahun yang melankolis itu, baru saja merampungkan sekolah SMPnya di kota kecamatan, sekitar enam kilometer dari rumahnya. Pribadinya yang pemalu, tak banyak menghabiskan hari bermain atau sekedar jalan-jalan sampai ke luar dusunnya.
Di pagi hari, biasanya, ia keluar dari rumahnya yang berbatasan langsung dengan jalan. Menuju rumah tetangga dekatnya di samping mushola itu; ngemong sepupu depan rumah yang baru berumur dua setengah tahun. Tapi, semenjak 29 Mei itu, ia sudah mempunyai adik baru; Arganta Satya Hadi namanya. Nama-nama yang bagus dari keluarganya, juga nama adik pertamanya, Erik Wisnu Hadi. Erik, sekarang tengah belajar di SD Ngombak II kelas lima. Di tengah liburan sekolah, ia berharap pada orang tuanya untuk memberinya kesempatan sekolah ke SMK daripada ke SMA. Baginya lebih realistik selesai sekolah terus bekerja. Dita memohon kepada ibunya “Setelah SMA kerjo karo kuliah yo mak?”, katanya. Dengan mengulang perkataan guru sekolahnya, “kalau mencari pekerjaan lebih baik nanti melanjutkan ke SMK. Tapi kalau ke SMA lebih baik melanjutkan kuliah” tukas Dita sewaktu meminta kepada ibunya.
99
Ia tak mau menjadi seperti tetangganya yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, mengurusi anak. Setidaknya, ia tak ingin seperti kebanyakan perempuan lain di desanya yang sering ditinggal suami. Misi itulah yang setidaknya diilhami dari keturutsertaan dia menjadi satu diantara enam orang warga Grobogan sebagai duta BIAAG (Because I Am A Girl): salah satu agenda Plan dalam memenuhi hak anak. Ia dan temannya itu, sempat diundang ke Semarang dalam rangkaian acara sekaligus ulang tahun organisasi itu. Dirinya berharap seperti Nurul, temannya yang pernah ke kantor PBB menyuarakan hak anak perempuan dalam mengakses pendidikan, kesahatan, dan masalah lainnya. Ia pun turut mendukung penolakan pernikahan di usia muda bagi anak-anak perempuan, seperti yang kerap terjadi di desanya. Sudah dua minggu ini, ia tengah menunggu pendaftaran dibuka. Bagi warga Ngombak dan sekitarnya, ke Beringin, Semarang; adalah pilihan yang lebih baik untuk melanjutkan sekolah, ketimbang ke kecamatan yang di kelola oleh Yayasan Sudirman. Memang, di Kedung jati ada SMK dan SMA. Hanya saja guru-gurunya sebagian besar mengajar di kedua sekolah itu. “Sekolah kok kayak keluar kelas gitu lho. Kalau mau ke SMK ya harus ke Bancak atau Salatiga. Kan jauh, kasihan saya, gak tega kalau naik motor”, tukas bu Atik meyakinkan Dita untuk tidak melanjutkan ke SMK. Adiknya, Erik, sudah berangkat sekolah pukul tujuh kurang sepuluh menit, agar dirinya punya waktu sekitar seperempat jam untuk bermain bola sebelum masuk sekolah. Sepuluh menit awal ia gunakan untuk menjemput temannya, tak jauh dari rumahnya dan satu arah ke sekolah. Kira-kira sepuluh menit, ia tiba disekolahnya. Rumah masih sepi ketika Erik sudah berangkat ke sekolah. Bu Fathonah baru akan keluar rumah ketika mendengar deru mobil sayur datang melintasi depan rumahnya. Bu Atik, anak satu-satunya bu Fathonah itu, pun masih di dapur atau membersihkan lantai-lantai rumah. Sesekali ia akan ke halaman samping rumahnya, ke lahan yang ditanami sedikir sayur cabai, terong, atau kacang panjang. Sesekali ia menyusul ibunya di depan rumah sembari memilih sayur atau jajanan pasar untuk sekedar camilan yang menemani segelas teh manisnya. Di pagi yang mulai panas itu, bu Atik membeli setangkup pisang dan sebungkus bubur. Kemudian menyapu beranda rumahnya yang tak terlalu luas, yang dipisahkan oleh dinding bata setinggi orang dewasa. Hanya bagian depan rumahnya saja. Selebihnya, bagian rumah itu berdinding papan jati yang sangat rapi. Jarak satu meter antara jendela dan pagar itu dipasang atap, membentuk beranda yang 100
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
sejuk. Ditaruhlah kursi kayu di depan jendela samping pintu masuk, sebagai tempat duduk menanti pembeli. Dengan pagar itu, tetangga yang lalu lalang atau duduk-duduk di mushola tak akan mengetahui apa yang tengah disibukkan di dalam rumah itu. Di samping kanan pintu utama rumah, dipasanglah kaca film menutupi kios. Menjelang pukul sepuluh, setelah makan pagi dan membersihkan rumahnya, Bu Atik baru mulai membuka kios itu. Usaha kiosnya telah dirintis dua tahun yang lalu. Kios ini setidaknya bisa mengisi hari-hari bu Atik selama ditinggal oleh suaminya ke Jakarta.Karena anaknya masih kecil, jajanan itu sering dimakan sendiri. Akhirnya modal usahanya berkurang sedikit demi sedikit. Di siang hari, ia menjual minuman sachet atau es sirup rasa coco pandan yang menyegarkan. Dengan sebuah freezer khusus untuk es batu, ia menata sebuah bangku kecil untuk menaruh gelas, termos, plastik, sedotan, dan minuman sachet yang digantung di atas meja itu. Barang-barang dagangan itu diperolehnya dari pasar di Kedungjati. Ia diantar oleh suaminya ketika di rumah, atau meminta Dita yang sudah bisa mengendarai motornya. Di belakang rumahnya ada sebuah sumur yang harus berbagi dengan dua tetangganya: belakang dan samping kanan rumahnya. Sumur yang sudah di gali tiga puluhan tahun lalu yang dinaikkan dengan tiga sanyo untuk masing-masing rumah. Air di desa ini sedikit mengandung kapur dan berbau lumut. Keluarga-keluarga di sini biasa menyiasati dengan menyaringnya menggunakan potongan kain seusai dimasak. Keluarga Dita memilih untuk menggunakan air galon untuk minum. Tak ingin beresiko terkena batu ginjal. Bahkan, di kiosnya, pun menjual beberapa galon air yang ia beli dari Beringin, Semarang: kecamatan yang aksesnya lebih mudah dan lengkap ketimbang ke Kedungjati. Sewaktu pertama datang ke desa ini, Plan sebenarnya mempunyai program pengadaan air bersih dan menyehatkan bagi masyarakat di tahun 2004. Setiap dusun dibangunkan bak air yang tinggi, yang dialirkan dari beberapa sumber mata air maupun sungai. Pengadaan air ini berjalan lancar di beberapa dusun. Beberapa lagi berhenti karena alasan teknis dan mistis. Di Krajan, terdapat sebuah bak tinggi dibanun di tanah pekarangan makam pendahulu desa. Begitu selesai, air tak mau naik. Usut punya usut, warga pun saling tuduh, meski dua mesin sanyo sudah dihidupkan untuk menarik air. Obrolan di warung, menuduh seseorang, yang dioknumnya mengambil keputusan sendiri. Toh sebenarnya ketika membangun, semua warga juga bergerak. “Masalahe juga wani-wanine bangun bak ning makam (masalahnya juga karena bangun bak air di tanah pemakaman [cikal bakal desa Ngombak]”. 101
Di tengah kekesalan terhadap air yang tak kunjung mengalir itu, justru beberapa orang mengubah dua bak air itu menjadi bak Pamsimas. Cukup dengan menutupi logo Plan menggunakan cat, dan menuliskan ulang Pamsimas, serta menyalurkan air dari pipa rumah sewaktu peninjauan saja. Alhasil, anggaran beberapa puluh juta tak dialirkan ke pengadaan air itu. Dan hingga kini, warga setempat masih saja meributkan air, menggali sumur atau mengandalkan sungai yang berkapur itu. Di sebelah kebunnya itu, terdapat rumah kosong yang sekarang menjadi pabrik sandal merek Homy Pad. Berdirinya pabrik sandal di Ngombak ini, bermula dari salah seorang anak pensiunan pegawai kereta yang ngenger kepada orang Cina pemilik industri kecil sandal di Semarang. Ia besar dan belajar dengan berbisnis. Sampai orang Cina itu menaruh kepercayaan kepadanya untuk mengawasi dan mengkontrol jalannya usaha. Selang beberapa lama, orang Cina itu meninggal, dan kemudian diteruskan anaknya bersama dirinya. Semakin berkembang usahanya, pabrik sandal homy pad mengajak merger. Pemuda itu kemudian berniat mengajak ibu-ibu rumah tangga di desanya yang nganggur untuk lebih produktif. Ia menyewa rumah tak kosong di samping rumah keluarganya. Tepat enam tahun yang lalu, dibukalah industri rumah sandal yang membantu perusahaan Homy Pad mempercepat produksinya. Mereka, ibu-ibu, cukup bekerja menempel dan mainan, hiasan, maupun potongan-potongan motif yang sudah disediakan oleh Homy Pad. Pekerjaan itu diberikan dengan model borongan; semakin banyak yang dikerjakan itulah yang akan didapatkan. Mereka menyebut ukuran gendel untuk ikatan sandal sebanyak sepuluh pasang yang ditempeli atau dijahit. Setiap gendel yang mereka tempeli mendapatkan uang sebanyak sembilan ratus rupiah. Bu Atik tak mau mengerjakan itu. ia memilih menjahit dengan bekal yang didapat dari ibunya. Rumah nya, biasanya terang sampai tengah malam, terutama ruang depan, di bagian kios itu, tempat mesin-mesin jahit dipasang. Bu Atik memilih pekerjaan menjahit merek, variasi, dan bunga-bunga sandal. Dalam setiap motif yang dijahit per gendelnya itu, ia akan memperoleh hingga enam ratus ribu rupiah. Pekerjaan sampingan yang sangat melelahkan. Tapi keluarga merasa tercukupi dengan borongan yang diambil per minggunya itu mencapai empat ratus ribu rupiah. Toh jumlah uangnya tiga ratus lima puluh rupiah lebih banyak dari kerja menempel. Apalagi, pekerjaan ini memang dikerjakan di masing-masing rumah, dengan mesin jahit yang dipinjamkan kepada mereka. Memborong gendel dan begadang di malam hari, menjadi kegiatan yang turut memberi warna 102
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
keseharian orang-orang Ngombak. Tidak hanya bagi ibu-ibu yang bekerja pada pabrik itu. Bapak-bapak lebih tak juga ketinggalan. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di warung pak RW setempat sampai tengah malam. Entah apa yang diobrolkan, setidaknya persoalan desa, program-program, hingga sungai yang mengering, tak akan dilupakan. Keseringan begadang, juga upah yang menurun, membuat bu Atik tidak lagi bekerja di situ. Terutama semenjak pemiliknya yang tinggal depan rumahnya itu meninggal akibat sakit jantung tiga bulan yang lalu. Semenjak itu pula, kepengurusan diserahkan adik pemilik dan tetangganya yang dijadikan kader. Kontrol yang tidak lagi ketat membuat pekerjaan itu banyak yang tidak beres. Berimbaslah ke stok sandal yang tidak banyak dan ibu-ibu tak lagi mengambil borongan. Semenjak tidak lagi bekerja di pabrik itu, bu Atik lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, menjahit pakaian dengan mesin yang sempat didapatkan dari pengajuan proposal kepada Plan tahun 2005. Ia bersama sebelas orang tetangganya mendapatkan sembilan unit mesin jahit dengan berbagai model. Semua anggota itu belajar menjahit kepada bu Fathonah, nenek Dita. Beberapa mesin itu sekarang mangkrak di rumahnya. Tak ada tetangga yang meminjamnya, kecuali anggota kelompok yang terdaftar itu. Program yang semula dimaksudkan untuk peningkatan ekonomi bagi ibu-ibu rumah tangga, ternyata tak semulus perencaan dan motivasi pendiriannya. Dan akhir-akhir ini, mulai jarang ada tetanggayang menjahitkan pakaian, kecuali menjelang lebaran atau tahun pergantian sekolah. Hidup di desa dengan kesempatan yang berbeda dalam memperoleh bantuan seperti itu, seringkali jadi pembicaraan sehari-hari yang menarik. Bahkan terjadi ejek-ejekan dengan sindiran yang halus, entah dari penerima manfaat maupun bukan, entah yang mengajukan proposal maupun bukan. Menurut bu Atik, tidaklah mengherankan kasak-kusuk bantuan dari Plan telah dimulai semenjak Adita didata Plan tahun 2003. Waktu itu umur Dita masih tiga tahun; belum mengetahui banyak hal tentang apa itu Plan, foto, sampai orang tua asuh dari Jepang itu. “Saya takut itu, katanya nanti anaknya mau dibawa ke luar negeri”, kata Bu Atik lantaran ditakuttakutin sama tetangganya yang tidak mendapat bantuan. Tapi relawan bilang, “nanti suatu saat akan dibantu”, katanya meyakinkan. Sekarang, sembilan orang, yang dulu direkrut itu, sudah tidak mau lagi bekerja lagi. Kejadiannya 103
dimulai sewaktu pergantian ketua relawan desa tahun 2007. Lima orang relawan lama mengundurkan diri setelah terjadi praduga-praduga tidak mengenakkan terhadap lima relawan baru. Disusul kemudian empat relawan lainnya dengan alasan yang kurang jelas. Ketengangan di Ngombak ini terjadi tidak hanya sesama relawan. Bahkan juga muncul secara halus dalam obrolan-obrolan sehari-hari dari keluarga dampingan. “Kalau saya itu pengennya apa yang dulu relawan bilang dapat bantuan, ya kalau bisa berupa kebutuhan sekolah anak, tapi pengennya Plan kan biar orang tuanya itu mandiri, tapi itu banyak gak jalan”, kata salah seorang keluarga sewaktu duduk bareng bu Atik di depan mushola itu. “Harapannya ya seperti Homy Pad ini, kita dikasih pekerjaan, dapat uang, lebih enak gitu”, kesah bu Atik kepada Plan yang selalu motret anaknya setiap tahun itu. Memang, dua tahun setelah pendataan anaknya, Bu Atik sudah bisa mengakses mesin jahit itu untuk memperlancar usahanya. Bahkan mendapatkan kambing satu ekor, sampai bantuan tas dan barang-barang lainnya untuk Dita. Semuanya, tak ada yang berkembang dari dulu. Surat-surat yang datang setiap hampir dua bulan sekali itu masih tersimpan rapi di lemari dekat ruang televisi. “Dulu sering dapat kiriman-kiriman apa gitu, katanya dari siapa itu orang tua asuh dari Jepang itu, dapat cinderamata, mainan, banyak. Tapi sekarang hanya tas sama handuk”, tukas bu Atik seolah membandingkan program Plan dulu dan sekarang. Tapi, Adita tidak lagi menggunakan tas bergambar tangan itu; kadangkali tas itu diberikan Erik. Kambing pun juga sudah dijual, mesin jahit tak lagi digunakan usaha. Adita baru mulai memahami kehadiran Plan setidaknya semenjak ia diundang ke Semarang 5 September 2012 silam. Dirinya sampai sekarang tidak mengerti tentang BIAAG itu. acara yang berlangsung dua hari itu hanya dikenangnya sebagai pengalaman membaca puisi bersama-sama di depan puluhan orang di suatu hotel di Semarang sekaligus acara ulang tahun organisasi yang sangat meriah. Di sana, dia juga ada acara menggambar dan bermain tebak-tebakan. Dita pernah memenangkan lomba mewarnai se-kecamatan sewaktu sekolah di SD. Pialanya tak disimpan di rumah, hanya piagam yang dimasukkan ke dalam amplop besar berisi foto dan surat-surat dari Mizuguchi, orang tua asuhnya itu. Tak banyak yang dilakukan Plan terhadap sekolah Dita sebagai bagian dari pendidikan dia, selain motivasi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang tinggi dan bantuan alat sekolah yang diberikan setiap
104
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
pergantian tahun ajaran baru. Selama sekolah di SMP ini, Dita pergi ke sekolah mengandalkan angkutan desa yang dimiliki tetangganya dengan membayar tiga ribu rupiah pulang pergi. Dalam kesempatan lain, dia mengendarai motor dengan teman dekatnya, cukup biaya bensin yang ditanggung bersama. Menjelang siang, Jingga adik kecil yang sudah tidur atau pulang, Dita ke rumah mbak Ina; Relawan Plan di Ngombak mendedikasikan waktu dan tenaganya di setiap dusun desa itu. Duduk santai di kursi berbahan ban yang disediakan di beranda rumah atau kursi di ruang tamu, sembari membolak-balik buku teknik-teknik mengelola sesuatu, kisah-kisah rakyat di seluruh nusantara, maupun pengetahuan umum terbitan negara yang dilarang diperjual-belikan itu. Rumah-rumah di siang hari di Ngombak, termasuk rumah Dita tampak sepi. Hanya motor yang lalu lalang orang berkeliling kampung. Jarang sekali ada laki-laki usia produktif tinggal di rumah. Ayah Dita, pak Hadi Mulyo, juga demikian. Ia merantau ke Jakarta, bekerja menjadi tukang bangunan. Jarang sekali dia pulang. Pekerjaan ini sudah lama ia tekuni, semenjak ia masih ada di Pemalang. Dirinya yang berasal dari dataran rendah itu, tak banyak bisa mengerjakan lahan pertanian sekitar hutan jati seperti tetangganya. Meskipun cukup untuk mengeluarkan tenaga membersihkan kebun, menebangi pohonpohon liar, membabat rumput, membakarnya, dan mengolah tanah. Ditambah dengan modal sekitar satu juta lebih untuk membeli bibit jagung dan pupuk. Semua itu sepertinya mudah dan cukup untuk memberikan pemasukan yang besar buat keluarga. Ketiadaan skil menjadi petani, tetap saja menanam jagung adalah pilihan yang tidak menjanjikan bagi pak Hadi. Sebenarnya, mulai akhir-akhir ini, warga di Ngombak, sudah mulai jarang bekerja di tanah perhutani. Pohon-pohon jati mulai melebat, tak lagi cocok untuk jagung. Daun-daun akan memutih karena pencahayaan kurang, juga hama serangga yang lebih banyak menyerang. Beberapa orang banyak yang mulai pindah lahan. Memulai baru pembukaan lahan. Mulai tahun 2014, Perhutani memasang sewa lahan sebanyak satu setengah juta setiap sepempat hektarnya sampai tidak dipakai lagi. Biaya sewa yang baru dimunculkan tahun ini kepada petani yang hendak membuka lahan lagi. Bagi petani di Ngombak, hasil jagung tak sebagus daerah-derah desa sekitarnya, seperti Prigi. Banyak diantara warga Ngombak memilih untuk bekerja di luar kota. Jakarta, Batam, dan Kalimantan Timur adalah tujuan yang paling banyak mereka minati. Pak Hadi sering pergi tanpa jadwal yang pasti. Kepergiannya bergantung pada proyek yang diberikan bosnya atau memang karena di rumah tidak ada pekerjaan. Baru dua bulan ini mengerjakan sebuah proyek di Jakarta. 105
Merantau, jalan paling banyak ditempuh warga setempat sebagai aktivitas ekonominya. Semenjak Plan hadir di sana, pernah ada upaya-upaya membangun sumber-sumber pekerjaan baru di desa melalui serangkaian pelatihan-pelatihan kepada warga setempat, khususnya keluarga dampingan. Pak Hadi bersama tetangganya, pernah menyambangi pengusaha bebek dan lele di Magelang tahun 2005. Mereka belajar bagaimana mengembangkan usaha, mulai dari permodalan, pengelolaan, perawatan, sampai pada pemasaran. Sepulang dari Magelang, dia dan beberapa temannya sempat mencobanya dengan modal sendiri. Pak Hadi membangun kolam di samping rumahnya, di lahan kosong yang sekarang ditumbuhi serumpun tebu dan sayuran kurang terawat itu. kolam dibuat, terpal dipasang, air dialirkan, kemudian beberapa ribu bibit lele kemudian disebar. Lele-lele sempat panen sekali di musim hujan dengan hasil yang cukup memuaskan. Usaha itu diulang lagi dengan modal yang diperoleh dari hasil itu. Harga bibit dan pakan di pasar tidak stabil. Barangkali hal ini memusingkan pak Hadi. Baru dua bulan bekerja di Jakarta, anak ketiganya sudah lahir. Tentu saja, akan banyak waktu di rumah, sampai menjelang lebaran di akhir bulan Juli. Meski demikian, pak Hadi memanfaatkan peluang dengan berjualan daging daging ayam segar yang ia sembelih sendiri. Hanya dia sendiri yang berjualan di dusun Krajan itu. Memelihara ayam dan menjualnya, menjadi peluang yang cukup baik di kala ia harus di rumah menjelang lebaran. Toh setidaknya, pernah ada upaya menghadirkan sumber ekonomi di desa sendiri dengan tenaga sendiri. Barangkali bisa menjadi kesibukan mengisi waktu senggang selama tidak ada pekerjaan atau panggilan dari kontraktor. Meskipun pada akhirnya tetap saja banyak kendala. Dan lele di kolam itu sekarang berganti wader, hasil pancingan Erik setiap hari dari sungai sebelah desanya.
106
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
LESTARI POSYANDUKU Oleh: Rizqi Fi’ismatillah
P
eluh keringat masih menempel di dahinya. Butiran-butiran itu ia biarkan menetes ke bawah membentuk guratan mengikuti gaya grafitasi yang indah, karena dibalik tetesannya menyimpan sebuah makna perjuangan. Garis garis otot menyembul di balik kulit tangannya, tanda bahwa ibu ini adalah tipe orang yang pekerja keras. Meski ia hanya sebagai ibu rumah tangga, kadang ia juga menghabiskan waktunya di babatan (kebun: bahasa Jawa) untuk membantu pekerjaan ayahkku selayaknya seorang petani. Meski sudah mencapai umur 35 tahun, namun pesona kecantikan masih terpancar dari wajah ayu ibuku, setidaknya begitulah pandanganku, Ari, terhadap orang yang melahirkanku 20 tahun yang lalu. “Wayah ngene ki nandur jagung malah do mati” gumamnya sambil beristirahat di dalam rumah. Jagung yang seharusnya tumbuh subur menjadi jagung utuh yang nantinya siap untuk dipanen, kali ini harus gagal dipanen. Bukan karna ada kancil yang nyolong jagung milik pak tani, tapi karna beberapa hari terkhir ini tidak ada lagi air hujan yang menyirami tanaman. Padahal jagung-jagung sudah mulai berbunga, namun kuncup dan layu kembali tak sanggup menahan panasnya sinar matahari. 109
Udara di desa Panimbo memang terkenal dengan teriknya, mungkin bisa mencapai 32o celsius. Bisa dipastikan setiap rumah mempunyai kipas angin listrik yang setiap saat bisa dinyalakan,hanya untuk sekedar menghilangkan gerah dan sedikit memanjakan tubuh sambil bersantai. Masyarakat disini sudah terbiasa dengan udara yang seperti ini. Sungai adalah tempat yang sering disinggahi warga. Tidak mungkin jika sehari saja tidak mengunjungi tempat yang satu ini, karena disinilah warga paling sering melakukan aktifitas. Dengan melilitkan kain jarik, setengah badan dimasukkan ke dalam air, sambil tangan mengguyurkan air ke seluruh tubuh, ibu-ibu disini nampak menikmati segarnya air yang membasahi tubuhnya. Sudah biasa, meski orang berlalu lalang di atas jembatan sana. Untuk membuang kotoran yang tersimpan dalam perut pun dilakukan disini. Juga orang-orang berlalu lalang jalan kaki sambil menggendong jerigen air untuk persediaan di rumah. Namun apa yang terjadi jika musim kemarau tiba? Aku, Lestari, sudah hafal dengan kondisi di desa ini setelah menghuninya selama 35 tahun. Sungai tempat memenuhi kebutuhan sehari-hari kami mengering. Tak ada lagi air yang mencukupi kebutuhan kami, tak ada lagi yang berjejer untuk mandi, untuk membuang hajat, bahkan orang berlalu-lalang menggendong air untuk mengisi gentong-gentong penampungan. Padahal air
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
merupakan kebutuhan pokok bagi manusia dengan segala macam kegiatannya, untuk keperluan rumah tangga, keperluan umum, keperluan industri, keperluan pertanian, dan masih ada banyak lagi yang tidak bisa lepas jauh dari air. Sumber air berpindah ke Panimbo, yaitu sebuah sumur yang jaraknya dua kilometer. Di sana pun kami harus mengantri berjam-jam untuk mendapatkan sejerigenair. Bahkan penantian yang kami lakukan untuk antrian itu dilakukan dari jam 12 malam sampai pagi. Lantas ke manakah kami membuang sampah yang menumpuk di perut kami? Bisa dibayangkan sendiri, kami akan mencari kebun yang cukup rimbun daunnya, agar bisa menutupi kami dari jangkauan mata manusia. Timbunann sampah oraganik itu tadi belum akan menjadi masalah dalam satu hari. Tapi bagaimana jika menumpuk sampai berhari-hari? Tidak perlu dibayangkan bagaimana bau yang akan tercium. Sekedar lewat saja sudah mampu membikin perut mual. Tapi Itu gambaran beberapa tahun yang lalu, dan tidak akan lagi kalian mendapatinya di desa kami yang sekarang, meski masih ada barangkali satu-dua yang mempertahankan kebiasaan itu. Untunglah, sejak desa kami kedatangan Plan yang dimulai dari pendekatan secara interpersonal oleh mas Nugy, sedikit demi sedikit kami mengalami perubahan. Kami sering-sering diajak berkumpul, diajak untuk mengikuti pelatihan. Bahkan anak-anak kami juga didaftarkan sebagai SC (Sponsored Children) yang mempunyai orang tua asuh dari luar negeri. Dulu jika hanya sekedar mau memeriksakan kondisi kandungan saja harus rela pergi ke Karang Jati untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Dan memang hanya di Karang Jatilah kami bisa memeriksakan kesehatan. Di desa mana ada? Untuk melahirkan, biasanya kami dibantu oleh dukun beranak. Tapi itu tidak menjamin akan keselamatan si bayi dan keselamatan si ibu. Dan dari dukun anak tidak menyediakan surat pengantar pembuatan akta kelahiran. Itulah sebabnya semua nama anakku tidak terdaftar di Kantor Catatan Sipil. Meski namanya tidak terdaftar di akta kelahiran, Ari, anak keduaku ikut terdaftar sebagai SC.Beruntung si Ari juga memiliki orangtua asuh yang berkebangsaan dari Jerman. Pernah suatu kali, Ari mendapatkan sebuah titipan surat dari Konjer, orang tua asuhnya. Meski hanya menanyakan tentang kabar, namun justru itulah sikap orangtua asuh yang perduli dengan anak asuhnya. Sebagai seorang ibu, tak ada kekhawatiran yang menggelayuti pikiranku akan anakku yang kini terdaftar sebagai SC. Tidak seperti ibu-ibu yang masih berpikiran kolot, mereka terlalu mengkhawatirkan
111
anaknya, takut jika kelak anaknya akan dijadikan budak atau di perjualbelikan di luar negeri. Padahal aku yang belum tahu sepenuhnya tentang lembaga itu bisa mengetahui bahwa ada orang-orang baik dibaliknya. Senang rasanya memiliki jamban sendiri, tidak perlu jauh-jauh ke sungai untuk melakukan membuang hajat dan aktifitas lainnya. Meski satu jamban untuk empat keluarga, tidak ada salahnya untuk berbagi. Kebahagiaan ini tidak hanya keluargaku saja yang merasakannya, tapi hampir semua orangtua SC turut mendapatkan jamban yang sangat bagus ini. Bentuknya hampir mirip dengan jamban jongkok pada umumnya, namun pijakannya lebih lebar dan lubangnya lebih sempit. Jamban ramah anak, katanya orang Plan. Mereka tidak hanya memberikan jamban, tapi juga kambing untuk kami rawat. Tugas kami adalah membesarkan kambingnya, sampai kambing itu beranak, dan anaknya kami bagikan kepada yang belum mempunyai kambing. Begitu seterusnya sampai semua kebagian jatah.
Kambing pemberian dari Plan
112
Sarana dan prasarana di desa Panimbo (jembatan dan sungai)
Karna selalu kekeringan pada saat musim kemarau, Plan juga memberikan sedikit solusi untuk mereka yang berada di kawasan atas, yaitu di wilayah dataran yang lebih tinggi dan air sulit dicari. Plan membangunkan mereka sarana Penampungan Air Hujan (PAH). Tapi PAH ini hanya biagi keluarga peserta SC. Lumayan bisa menyimpan beberapa ratus liter air. Namun bantuan itu tidak dirasakan oleh kami juga, karna untuk di dusun Panimbo sendiri airnya tidak pernah keringa walaupun musim kemarau melanda. Banyak sekali bantuan yang diberikan Plan untuk desa kami. Mungkin bahkan sampai milyaran rupiah kalau dihitung-hitung. Walaupun saya sendiri tidak tahu seberapa banyak uang satu milyar itu. Plan melakukannya benar-benar ikhlas, kalaupun misal mereka membantu dengan pamrih, tidak ada yang bisa diharapkan dari desaterpencil ini. “Plan kok sugih banget kuwi duwite seko ngendi?” begitu orang-orang desa sering bergumam sendiri. Wajar saja orang desa, mereka selalu mempertanyakan apa yang mengherankan bagi mereka. Ada banyak hal yang belum mereka ketahui walaupun tentang hal-hal sepele sekalipun. Dan untung saja ada orang baik yang menanggapi pertanyaan kami yang sebenarnya tidak ada mutunya. Ternyata Planitu murni penyalur bantuan dari beberapa gabungan donatur dari luar negri. “Lumrah wae” gumamku dalam hati. Meski tidak semua warga mendapatkan bantuan, namun tidak ada kecemburuan di dalam hati mereka. Mereka sadar bahwa bantuan yang semacam itu diberikan untuk anak-anak yang terdaftar sebagai SC. Meski banyak yang tidak diberi bantuan materi, mereka juga diberi bantuan berupa ilmu pengetahuan, meski secara kasat mata tidak terlihat wujudnya. Ilmu pengetahuan itu diberikan lewat pelatihan-pelatihan yang dapat diterapkan dalam keseharian. Banyak sekali pelatihan yang diadakan juga oleh Plan. Seperti misalnya, pelatihan perlindungan anak, pelatihan perlindungan anak bagi pelatih, pemberian makanan untuk bayi dan anak,pencegahan kekerasan dalam pacaran, program air bersih, pelatihan membuat mie, menjahit, dan masih banyak lagi. Kalau harus dihitung mungkin sampai tidak terhingga, karna begitu banyaknya dan tidak dapat saya mengingatnya satu persatu. Dari sekian banyak pelatihan yang dilakukan oleh Plan, yang paling mengesankan dan tak akan terlupa adalah pelatihan LPAD dan PNBA. Karna manfaat yang dapat diambil itu bukan hanya untuk
114
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
diri saya saja, namun jika diterapkan betul-betul akan berdampak juga kepada anak, dan bahkan bisa diajarkan kepada anak-cucu kelak. Karna saya tidak dapat mewariskan harta benda kepada mereka, karna saya tidak mempunyai apa-apa. Tapi kalau saya mewariskan ilmu, akan sangat penting dikehidupan anak-anakku mendatang. “contone koyo aku dewe yha, misal saiki ngeplak anak, kuwi wes termasuk kekerasan. Ngonekke, kowe goblok! Kwi wes termasuk kekerasan. Dadine saiki luwih ati-ati nak karo cah cilik ki, ngunduhe bakalan mengko nek neng mburi. Hasil ndidik anak iku uga berkat wongtuone dewe” ***
115
Dari Pelatihan Pemberian Makanan untuk Bayi dan Anak, semua ilmu yang saya dapat, saya tularkan kepada rekan-rekan saya. Termasuk ketika ada perkumpulan dengan kader-kader posyandu di Desa Panimbo, saya juga berkesempatan berbagi ilmu. Semua menerima dengan baik, dan saya harap tidak hanya diterima, namun juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu-ilmu PMBA (Pemberian Makanan untuk Bayi dan Anak) pun juga diterapkan oleh anak saya yang pertama, Heni. Saya dapat melihat betul perbedaan antara anak yang diberi ASI ekslusif dengan yang tidak. Seperti misalnya Salva, cucu pertamaku. Meski berprawakan tidak gendut, tapi badannya lebih mantap dan berisi, dibandingkan dengan anak tetangga yang gendut namun lembek. Salva juga anak yang cerdas, sudah bisa mengeja sedikit kata meski usianya baru berusia 3 tahun. Ia memiliki kepercayaan diri yang sangat kuat. Suatu ketika dalam acara persiapan peresmianPolindes Salva berani tampil di panggung untuk meghibur panitia yang melakukan persiapan dengan menyanyikan lagu dangdut.Bahkan ketika malam sudah larut ia masih bertahan dengan hiburannya. Apa yang kita berikan kepada bayi akan sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya. Semua sudah terstruktur dalam materi pelatihan PMBA. Tentunya kita harus kembali berterimakasih kepada lembaga yang sangat banyak mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk desa Panimbo Meski demikian kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan posyandu masih kecil. Mereka hanya tertarik dengan kegiatan yang menyuguhkan makanan gratis. Sedangkan di posyandu, perlu iuran kader untuk menyuguhkan makanan. Tentu ini menjadi beban tersendiri bagi para kader. Karna itu posyandu sepi peminat. Tapi aku bertekat seperti namaku sendiri untuk melestarikan kegiatan posyandu sesepi apapun adanya. Bagiku mempertahankan program posyandu adalah amanah dari Plan dan jika bukan aku yang bergerak, siapa lagi? “Tak akoni, Plan di sini apik tenan, pengaruh banget. Ora eneng seng jenenge kecewa kanggo Plan. Masyarakate butuh opo tinggal ngejokke proposal langsung midu. Ora koyo ‘kae’, ngejokke proposal ket tahun 90an we tekan saiki durung midun-midun. Nek upomo Plan ora neng kene paling aktifitase yo iseh tetep ning kali”
116
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Kabar punya kabar, lembaga yang selama ini telah memajukan desa kami ini akan menutup programnya. Itu artinya Plan akan meninggalkan kami semua yang ada di Panimbo sini. “Ya mudah-mudahan sih kalau ada masih bisa berlanjut. Heheh, tapi kalau bener-bener mau keluar ya semoga untuk desa sini bisa lebih maju lagi, menjadi desa yang mandiri, dan menjadi desa yang tak tertinggal meski berada di daerah terpencil,”harapanku.
117
Ibu Tari dan keluarganya tanpa Ari, anak keduanya
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
NUR FAIZIN Oleh: Pindho Adhiyaksa
P
ayung raksasa itu berada tepat di tengah sebuah pertigaan jalan, cabang jalan yang menjadi penghubung antar desa di sebuah kecamatan. Payung raksasa yang terbuat dari sususan batu bata tertutup semen dan dihiasi cat berwarna biru dan merah. Payung itu gagah tertancap berbentuk lingkaran, dikelilingi konstruksi tempat duduk melingkar pula untuk tempat mangkal calon penumpang angkutan. Ya, orang-orang biasa duduk di payung tersebut, bersembunyi dari teriknya matahari siang saat menunggu angkutan kota datang. Payung itu menjelma menjadi legenda, menjadi tanda letak sebuah desa. Desa itu bernama Ngombak, desa besar dalam lingkup Kecamatan Kedungjati. Desa yang dikenal karena sejarahnya dan diingat karena keteguhannya menjaga tradisi serta budaya. Pagi desa itu menampakkan muslihatnya, terasa sejuk juga segar menggertak semangat orang untuk untuk segera berjuang. Jalan-jalan desa mendadak ramai, mereka lalu lalang mencari kesibukan demi memenuhi kebutuhan sandang pangan anak kesayangan. Beberapa orang berdandan agak rapi, hijrah ke dua pusat kecamatan yang menjadi ka’bah para pedagang dan pegawai perusahaan atau pemerintahan. Dua pusat kecamatan itu adalah Kedungjati yang ada di wilayah Kabupaten Grobogan
119
dan Kecamatan Bringin yang menjadi wakil Kabupaten Semarang. Ramainya pasar di Kecamatan Bringin menjadi daya tarik penduduk Desa Ngombak untuk datang ke sana. Dengan begitu mereka seakan lupa, juga enggan. untuk mengunjungi pasar di pusat kecamatannya sendiri, Kedungjati. Ngombak menjadi desa yang menjadi pembatas dua Kabupaten, Grobogan dan Semarang. Oleh karena itu, konteks wilayahnya telah memecahkan konsentrasi penduduk dan menambah variasi plat kendaraan bermotor yang diawali huruf K (Karisidenan Pati) dan huruf H (Karisidenan Semarang), sama banyak. Tak hanya kendaraan pribadi, banyak angkutan kota yang berlabel plat bervariasi pula. Angkutan kota yang bergilir lewat di ruas-ruas jalan desa dengan jadwal sederhana nan ketat, sehingga memaksakan kebiasaan serta kedisiplinan pelanggan setiap harinya. Berpaling dari para pekerja swasta, pegawai, pedagang, dan penjaja jasa di kota yang hilir mudik menuju jalanan kota, matahari yang mulai agak meninggi telah mendorong barisan petani berbaris rapi berjalan tegak memompa semangatnya. Mereka berjalan menuju ladang-ladang jagung mereka, kadang diselingi perjalanan ke areal sawah padi bagi beberapa orang yang memperjuangkannya. Selain petani yanaman pangan, banyak orang Ngombak yang mempercayakan tanahnya pada tanamantanaman jinak macam ketela, pisang, dan kelapa. Ya, mereka punya tanah, meski sempit dan kadang terbagi dengan sanak saudara. Bagi yang tak punya tanah, mereka harus punya keberanian ganda untuk mengolah tanah milik PTKAI, tanpa izin tanpa malu. Desa Ngombak memang dilalui rel kereta lawas yang dulu pernah aktif tahun 1970-an. Tanah sekitaran di sepanjang rel milik PTKAI banyak dimanfaatkan penduduk. Mereka menanam jagung, menancapkan batang ketela hingga memelihara pisang raja untuk cadangan pangan keluarga. Siang mengaung datang, mulai menujukkan karakter asli daerah Semarangan. Matahari tertawa lantang, menertawakan mereka yang mulai berteduh, membuka baju, atau mengipas-ngipaskan apa saja benda yang dipegang. Belakangan aku mulai sadar, panas terik membuat orang di sini mulai bosan mengusap keringat, bahkan tetap enggan walau hanya sekedar melawan mengipaskan tangan. Jadi ingat kata seseorang, seorang kakek tua di tengah jalan yang mengenakan celana pendek warna hitam dan memilih mencangking baju daripada memakainya menutupi badan. “Ojo kaget yo mas nek wong kene (Ngombak) kui seneng jaketan awan-awan. Tapi jakete jaket kulit, hahahaha…..” dia berbisik pelan seakan serius, lantas tertawa keras.
120
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Yang kakek itu maksud, banyak orang (hanya laki-laki) yang lebih suka tidak memakai baju siang hari karena panas. Jadi, kulit badan orang-orang itu diibaratkannya sebagai jaket kulit, ya, kulit asli. Desa sepi siang itu, menyisakan beberapa orang yang libur bekerja, atau sengaja meliburkan diri, atau bahkan mereka yang setiap hari libur bekerja. Selain mereka yang kebingunan, ada juga ibu-ibu yang dengan tenang menggendong dan menuntun anak-anak kecilnya, anak-anak yang akan menjadi generasi penerus Desa Ngombak. Anak-anak usia sekolah mulai berdatangan, menjadi tanda jam pulang sekolah. Mereka menjadi faktor penting pemberi warna keramaian desa, menggantikan geliat kegiatan para orangtua yang memilih istirahat setelah lelah bekerja. *** Sebuah dusun terdaftar dan menjadi istimewa, Jumawa dengan gelar wilayah kerajan di masa lalunya. Hiruk-pikuk dusun dan penduduknya menggambarkan karakter desa, desa para pekerja keras. Dusun ini bernama Guyangan, dikenal sebagai dusun di lingkungan RW 3. Guyangan menjadi kebanggaan karena banyak penduduknya yang menjabat menjadi pegawai, angkatan bersenjata, orang ndeso yang sukses, serta orang terbelakang yang menjadi pintar. Dusun yang baru saja terlahir kembali, setelah melakukan pemilihan Ketua RW barunya. Perubahan yang akhir-akhir ini banyak mendatangkan tawa dan tanda tanya bagi penduduk Desa kebanyakan. “Bagaimana bisa, dusun yang banyak orang pintarnya justru memilih Kepala atau Ketua yang datangnya dari luar daerah, tak banyak kenal dusun, apalagi sejarahnya pula?”, canda para pemuda dari dusun lain. Tak disangka memang, pria bertubuh tinggi asal Salatiga ini tiba-tiba dipilih menjadi Ketua RW Dusun Guyangan. Meski tinggi, dia agak kurus. Rambutnya hitam lurus, hidungnya mancung agak lancip dihiasi kumis dan jenggot tipis. Senyumnya mengantarkan perkenalan yang jujur dan serba terbuka, beliau malu-malu tapi ramah bak penasehat raja laut selatan. Namanya Pak Mahfud, putra asli Salatiga yang dua puluh tiga tahun silam kepincut perawan Desa Ngombak bernama Ibu Rokasih. Dengan sikap malu-malunya dan sedikit diselingi tawa, beliau kemudian berujar dengan nada yang tak beraturan, “Kok bisa mas saya dipilih jadi kepala dusun, lha wong saya aja gak mau tapi ditunjuk, malah dadi sisan. Lha aku ki wong njaba e, jarang neng omah, ra ngerti silsilah desa lan sejarahe sisan,” ungkapan yang sama seperti yang dipikirkan beberapa orang di dusun lain.
121
Beliau baru satu bulan menjabat, belum cukup waktu menunjukkan pada orang betapa dia cukup bertanggungjawab dan jujur serta mengutamakan kepentingan dusun meski banyak dibantu orang saat menunaikan jabatannya. Pernyataan banyak orang Dusun Guyangan tentang Ketua RW-nya yang baru memberi jawaban. “kami bosan dengan pemimpin yang pintar namun tak ramah, pemimpin yang kaya namun tak memikirkan masyarakatnya. kami hanya ingin, ketua RW yang mau bekerja bersama masyarakat, yang mau mendengarkan saran dan permintaan masyarakat, seperti Pak Mahfud,” ungkap salah satu ketua RT di dusun itu. Pak Mahfud tinggal bersama istri, anak perempuan beserta suami dan anaknya (cucu), anak lakilaki, serta kedua mertua yang juga pemilik sah rumah tersebut. Dengan kata lain, sejak menikah dengan istrinya yang asli orang Ngombak, Pak Mahfud ikut tinggal di Ngombak, di rumah istri dan mertuanya. Ramai rumah tak terasa sesak, karena bangunannya cukup luas. Total luas rumah ini berkisar antara 12 x 10 meter persegi. Rumah ini dilengkapi lima kamar tidur yang terbagi adil untuk para penghuninya. Dua kamar tidur di ruang utama rumah ini ditempati pasangan kakek nenek dan keluarga kecil anak pertama Pak Mahfud, Susi. Dua kamar tidur di bagian ruangan yang lain rumah ini dihuni Pah Mahfud dan istrinya serta Nur Faizin, anak kedua Pak Mahfud. Sementara satu kamar tidur lainnya dijadikan gudang, tak ditempati karena ditakuti. Letak kamar yang tepat berada di tengah rumah dianggap tak layak ditempati karena tak baik, pamali, kata sang nenek. Keluarga Pak mahfud memang sangat kental dengan pendangan hidup kakek nenek di rumah, mereka adalah Kakek Rasidi dan Nenek Suminah. Mereka adalah orangtua Ibu Rokasih, yang juga berarti mertua Pak Mahfud, kakek nenek Susi dan Faizin, serta mbah buyut bagi Abid (anak Susi). Pak Mahfud adalah seorang pedagang dan makelar hewan ternak yang sudah berpengalaman. Profesi itu ia jalani sudah lebih dari dua puluh tahun, bahkan sebelum dia menikah. Dia memilih bekerja dan mencari peruntungan di daerah asalnya di Salatiga. Itu yang membuat Pak Mahfud jarang berada di rumah. Dia tinggal di rumah orangtuanya selama di Salatiga, tiga sampai empat hari, sebelum pulang ke pelukan hangat keluarganya. Belum genap seminggu di rumah, dia biasanya sudah beragkat lagi ke Salatiga. Hasil yang diperoleh dari pekerjaannya tak menentu, kadang banyak, kadang sedikit. Meskipun begitu, Pak Mahfud tak pernah lepas dari pengusahaan keluarganya di bidang pertanian ladang. Pak Mahfud sekeluarga menanam jagung, di satu petak lahan agak luas di daerah 122
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
dusun tetangga, Kedokan. Dalam proses pengolahan tanah macam pembersihan dan pencangkulan, Pak Mahfud biasa bekerja ditemani orang atau pekerja bayaran. Satu harinya, orang yang membantu kerja Pak Mahfud dibayar lima puluh ribu. Pada masa tanam, anggota keluarga perempuan, Ibu Rokasis dan Susi ikut membantu, begitu juga pada waktu panen. Kakek dan nenek bukannya tidak bertani. Mereka juga punya lahan pertanian sendiri yang juga ditanami jagung. Lahannya tak terlalu luas, hanya sekitar 100 meter persegi. Lahan itu pun bukan milik pribadi, melainnkan tanah PTKAI yang dimanfaatkan. Hasil yang diperoleh kakek nenek itu cukup untuk membantu perekonomian keluarga. Satu anggota keluarga baru, Arif, yang merupakan suami Susi adalah pemuda yang pendiam namun murah senyum. Dia bekerja di Semarang, sebagai karyawan di perusahaan kayu. Dia tinggal di sebuah kamar sewa di Semarang saat hari kerja, berbekal motor pinjaman mertuanya, motor RX King ’95. Perjuangannya di perantauan membuat pertemuan dengan istri dan anaknya seminggu sekali atau tiap hari libur, terasa sangat membahagiakan. Kerja kerasnya membuat keluarga kecilnya bisa hidup mandiri. *** Kakek dan Nenek masih memegang erat pandangan hidup Orang Jawa khas Jawa Tengah. Berbagai pantangan, larangan dan ujar pamali masih sering mereka sampaikan pada anggota keluarga yang lain. Suatu ketika, Nenek Suminah menegur keras cucunya, Nur Faizin, yang sedang mengayunayunkan kaki menggantungnya saat dia sedang duduk. Nenek melotot, menegur keras bahwa apa yang dilakukan Faizin (mengayun-ayunkan kaki) sangat tidak pantas dilakukan. Itu sama saja berharap akan datangnya kematian bagi ibu si anak tersebut. Faizin terdiam, kemudian terkejut. Mendadak ia menjadi murung, lantas mengingat berbagai pantang larangan dari kakek neneknya, menjadikannya anak yang diam, sopan dan penurut. Faizin, begitu dia akrab disapa kawan sebayanya. Selayak anak yang bangga dengan namanya, dengan tegas dia berkata pada orang yang ingin mengenalnya. “Panggil saja saya, Faizin…” Umurnya kini enam belas tahun, umur tanggung seorang remaja. Dia pemuda yang pendiam namun banyak punya kawan. Hari-harinya tak pernah sepi, dikelilingi kawan, meski jarang dari mereka 123
yang seumuran. Dalam hatinya dia kadang kesal, kenapa tahun lahirnya banyak dibarengi anak perempuan. Hanya beberapa anak laki-laki saja yang menjadi teman seumuran, bahkan tak semua jadi dekat menjadi kawan. Pembawaan Faizin yang tenang dan kalem, membuatnya agak disegani pemuda lain. Ketenangannya mulai diimbangi kecemasan barubaru ini, semua orang hampir tahu sebabnya. Faizin baru saja menyelesaikan Ujian Nasional sekolahnya, tingkat sekolah menengah pertama. Dia bersekolah di SMPN 1 Kedungjati (cabang Ngombak). Meskipun sama berlabel SMPN 1 Kedungjati, gedung sekolahan yang ditempati Faizin terpisah dari sekolah itu yang ada di pusat Kecamatan. Sekolah Faizin ada di Ngombak, banyak yang bilang keduanya adalah sekolah yang sama, hanya terpisah gedungnya saja. Faizin mungkin cemas dan gelisah karena masa-masa pengumuman kelulusan sekolahnya masih belum tiba, sedikit lagi menunggu. Namun jauh dalam benaknya, dia lebih mencemaskan jalan baru yang akan dilalui setelahnya. Anak tangga yang lebih tinggi, kemana dia melangkah setelah lulus. Ingin dia pergi, melanjutkan kebersamaaan dengan teman-teman SMPnya, mendaftar di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di Kecamatan Bringin yang sangat tersohor, ya SMKN 1 Bringin. Selama ini, SMK tersebut selalu menjadi tujuan
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
pemuda Ngombak yang ingin mencicipi pendidikan setara sekolah menengah atas, menggantungkan cita-cita mereka lebih tinggi dari pada sekedar petani dan pedagang kecil. Keinginan Faizin sontak mendapat perlawanan keras, sangat keras karena itu datang dari ayahnya, Pak mahfud. Pak Mahfud bersikeras bahwasannya Faizin harus menempuh pendidikan di pondok pesantren, agar pendidikan agama dan pendidikan umum dapat masuk membentuk kepribadian Faizin. Dua wacana tersebut menjadi batu besar yang menghadang mengganjal keharmonisan rumahtangga. Kakek nenek dan kakak perempuan Faizin sepakat dengan keinginan Faizin untuk melanjutkan pendidikannya di SMK, sedangakan kedua orangtuanya ingin tujuan lainnya. Itu masalahnya kini, yang menjadi noda karakter dan pembawaannya selama ini, tenang, pendiam, kalem. Masalah dalam benaknya hanya tertahan di dalam diri karena itu tak jadi penghalang aktivitasnya sehari-hari. Ia gemar bersosialisasi dan bermain voli hingga bola kaki. Siang menjadi saat-saat Faizin menghabiskan waktunya bersama teman-teman, mengeksplorasi alam dusunnya hingga mencari keseruan di sepanjang sungai besar yang mengalir melintasi tempat mereka tinggal. Sungai Tuntang namanya, dimensi lain geliat alam yang menjadi pendamping hidup penduduk Guyangan. Faizin dan teman-temannya mencari ikan, menangkap burung-burung untuk teman lamunan atau maksud menambah uang jajan. Tak jarang, para remaja tanggung ini memanfaatkan aliran deras sungai Tuntang yang sangat panjang dan lebar namun tak dalam, untuk menghayutkan diri di atas bekas ban kendaraan berukuran amat besar. Ban-ban bekas yang digunakan berdiameter satu sampai satu setengah meter, menjelma jadi alat mainan kesayangan. Kegiatan menghanyutkan diri ini mereka namai, lengen. Lengen selalu jadi kegiatan yang dicintai anak-anak, namun sangat dibenci para ibu yang selalu mengkhawatirkananak mereka. Saat-saat siang yang dilalui penuh cerita dan petualangan khas putra-putra desa nan jauh dari kebiasaan kota telah lewat, tak ada rasa sesal ataupun sedih di setiap wajah-wajah kusam itu. Faizin menerjang pandangan ke seluruh arah mata angin, mengirim sinyal pada rekan dan kawan, “sore kita hanya untuk keceriaan dan keringat, hanya itu…” Benar, sore hari selalu diisi dengan kegiatan berolahraga. Tak genap bermain voli, mereka bermain sepakbola. Bahkan saat hanya ada dua orang saja, mereka tetap berolahraga, tentu saja mereka bermain bulutangkis. Olahraga menjadi hobi, mungkin bakat terpendap yang dimiliki Faizin. Tubuh tinggi besar serta kuat yang dia miliki tak semata-mata datang hanya karena keturunan tinggi badan bapaknya, tapi juga kebiasaannya berolahraga. Faizin 125
Faizin dan temannya bersiap lengen (bermain ban di sungai)
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
menjadi salah satu anak yang bertalenta dalam permainan sepakbola. Pemain idamannya, Cristiano Ronaldo, bahkan mempengaruhi Faizin dalam menata rambut dan berpenampilan. *** Apakah dengan mengenal hobi, kegiatan, dan tanggal lahirnya, kau bisa tahu siapa Faizin? “tentu saja, tidak!”, kata kakak kandung Faizin, Susi. Susi adalah perempuan berumur 23 tahun yang kini telah menjadi ibu dan seorang istri. Suaminya, Arif, adalah pemuda Dusun Methuk (tetangga dusun) yang dinikahinya tahun 2009 hingga kini dikaruniai seorang anak, bernama M. Naufal Zabidi. Suami Susi bekerja di sebuah pabrik di Kota Semarang, dan menghabiskan seluruh hari kerjanya di sana. Di kembali ke rumah untuk bersama istri dan anaknya setiap hari libur tiba. Susi adalah salah satu orang yang sangat mengenal kepribadian dan perjalanan hidup Faizin. Faizin adalah salah seorah anak yang disponsori oleh Plan Internasional, kata Susi. Plan memfasilitasi hubungan Faizin dengan orangtua asuhnya yang ada di Jepang, bernama Ami Akioka. Itu mengapa, keluarga ini sangat akrab dengan perjalanan lembaga Plan di lingkup desa mereka. Lewat hubungan yang dijalin rutin dengan Ami melalui Plan, keluarga Faizin kelamaan berubah menjadi keluarga yang lebih terbuka dan komunikatif Kisah Faizin saat pertama kali menjadi anak dampingan Plan, terkulas lewat kenangan unik ibunya, Bu Rokasih. Bu Rokasih tersenyum, mulai menahan tawa kenangnya saat bercerita. Dia mendengar kabar dari relawan Plan di Desa, bahwa Faizin akan diangkat menjadi anak dampingan Plan. Tak lama, berita itu juga disampaikan oleh pihak taman kanak-kanak tempat Faizin belajar. Anak-anak yang duduk di bangku Tk waktu itu mendadak didaftarkan menjadi anak dampingan Plan. Ibu Faizin kaget dan kebingunan. Ibu Rokasih mencoba mengingat, mengulang kabar yang sudah sepuluh tahun didengarnya. “Faizin akan disponsori oleh orangtua asuh dari luar negeri. Dengan begitu, Faizin akan terus memperoleh bantuan.” Ibu Rokasih terkejut dengan kalimat yang pertama tentang orangtua asuh dari luar negeri. Ia ingat gerutunya dulu. “Wah ojo-ojo anakku mengko nek wis gedhe arep dijupuk iki....”, lalu mengadu pada nenek Faizin yang juga masih bingung. Kurangnya sosialisasi di awal membuat penduduk yang anaknya terdaftar sebagai anak dampingan Plan menjadi resah dan kebingungan.
127
Kebingunan Bu Rokasih berangsur surut setelah Faizin kecil mendapat bingkisan yang berisi payung, alat-alat tulis, juga tas sekolah dari Plan. Berbarengan dengan itu, penjelasan mengenai apa itu Plan mulai marak menyebar dari mulut ke mulut. Orang-orang lantas merasa heran diikuti perasaan senang. Kejelasan makin membulat tatkala surat dari orangtua asuh yang orang asing itu, datang untuk pertama kalinya. Surat yang diantarkan oleh relawan Plan di desa saat itu. Dua rangkap surat, versi asli dan terjemahan, lengkap dengan hadiah kecil berupa satu kotak pensil warna, menjadi yang pertama dari Ami untuk Faizin. Surat pertama itu menarik minat dan perhatian seluruh anggota keluarga Faizin, kecuali sang ayah yang cenderung tak peduli. Mereka masih heran, dengan antusias saling berkomentar membahas balasan atas surat tersebut. Faizin kecil yang belum mungkin menulis surat balasan, diwakili ibu dan relawan Plan di desa. Surat itu lantas dikirim kembali ke Ami melalui Plan. Selain surat, Faizin juga diharuskan melampirkan foto terbarunya dalam amplop. Foto tersebut di dapat dari ketekunan relawan Plan di Desa yang rutin mendata dan memfoto si anak dampingan. Sesaat setelah surat dikirim, keluarga Faizin tak lantas melupakannya, mereka selalu menunggu balasan dari si orang asing itu.
128
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Hingar bingar Plan bukan hanya dirasakan keluarga besar Faizin saja. Seluruh penduduk desa meraskannya saat itu. Berbagai program bantuan bertubi-tubi digelontorkan Plan. Berbagai kegiatan pembangunan sarana prasarana umum macam bak tampungan air, jalan, gedung sekolah, jembatan, pos ronda, beruntun terus dilaksanakan. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Rentetan pembangunan itu yang lantas memunculkan rasa optimisme di satu sisi, namun menyisakan celah keributan di sisi lainnya. Banyak kecurigaan dan pertanyaan terkait aliran dana bantuan. Banyak teriakan yang menggugat ketidakadilan dan ketidakpedulian. Banyak kepala iri menggerakan tangan-tangan onar merusak ketentraman. Cerita buruknya situasi desa, terpancar lewat tatapan hampa relawan desa yang coba menggali ingatan yang terkenang. Tak hanya bantuan untuk sektor pembangunan sarana prasarana, Plan juga banyak mengadakan kegiatan yang sifatnya menggugah keterampilan, kemandirian dan mental masyarakat agar lebih maju dan berwawasan luas. Tak beda jauh dengan berbagai permasalahan sebelumnya, kegiatan Plan banyak dikaitkan dengan ketidakmerataan dan tindak penyelewengan. Tak ada kepastian, serba abu-abu dan penuh ragu. Semuanya lantas menguap jadi rasa malu dan benalu yang memecah masyarakat ke dalam banyak kubu. *** Karpet lebar berwarna hijau itu berdebu, namun sangat nyaman melindungi bagian badan saat sedang asyik menonton televisi. Sebelah karpet tersebut, tertata rapi satu set meja makan berbahan kayu, kayu jati mungkin. Semua anggota keluarga berkumpul, kecuali ayah Faizin yang entah sedang seperti apa perjuangannya mengumpulkan rupiah. Arif ada di rumah siang itu, menikmati hari libur mamangku anaknya, Abid, yang tengah bermain smartphone miliknya. Susi asyik terhipnotis televisi, sesekali tersadar karena panggilan marah Abid. Kakek nenek dan Ibu Rokasih terkulai lelah setelah bekerja mengurus rumah. Faizin duduk agak jauh, menghindari karpet berdebu dan memilih bersandar pada lemari kayu di sisi ruang yang lebih jauh lagi. Suasana santai nampak sepi dan membosankan. Hanya keributan Abid dan suara desing kipas angin yang sesekali menjauhkan konsentrasi telinga dari kuasa volume televisi. Kalau saja ada setan di situ, setan pun akan terkantuk-kantuk terkena angin sepoi dan suasana malas itu. Pintu rumah tiba-tiba terketuk, “kulanuwun...”, teriak seseorang mengharap balasan. Mukanya lelah, berkeringat, namun tetap lega tersenyum. Seorang yang sangat akrab, dialah si pengantar surat. 129
Surat dari Jepang, surat dari orang asing yang terasa dekat. Keluarga Faizin lantas mempersilahkan si pengantar surat untuk beristirahat, sekedar menghilangkan penat dan tegangnya otot dan urat. Dari banyak kunjungan, si pengantar surat lebih banyak menolak tawaran karena harus mengejar setoran. Kerjaannya banyak, tanggungjawab besar mengantar harapan pada anak-anak dampingan masih membayang. Susi yang menerima amplop lantas menuju ruang tengah di depan televisi, melambaikannya pada seisi rumah. Semuanya senyum kemudian saling bersahutan. Ibu Rokasih lantas menyuruh Susi untuk segera membuka dan membacanya. Kakek nenek seperti biasanya, bertanya tentang keadaan si orang asing itu, “piye kabare bu Ami, ono berita opo?”, gambaran antusiasme keluarga akan surat dari orangtua asuh. Faizin? Dia tetap menonton televisi, dengat raut wajah agak malu dia lantas melontarkan kalimat yang ditunggu-tunggu, “ono hadiahe opo ora e mbak? Opo e?”, muka datarnya menutup percakapan. Dia seakan tidak peduli dengan isi surat, namun dalam benaknya ia mungkin bertanyatanya, “apa kabar ya orangtua asuhku yang baik itu?”. Susi yang enam tahun lebih tua dari Faizin mulai sering mewakili Faizin membalas surat saat dia masuk SMA. Susi secara tidak langsung juga menjalin kedekatan dengan Ami setelah itu. Akibatnya, dalam surat-surat Ami selanjutnya, kebanyakan Ami selalu menyebut nama Susi setelah Faizin. Komunikasi lewat saling mengirim surat terus berlangsung, sangat rutin, tahun berganti tahun. Berbagai hadiah selalu dilampirkan dalam amplop surat. Pernah Faizin mendapat buku gambar, buku cerita, spidol warna, album foto Ami dan keluarga, pernak-pernik kerajinan tangan, hingga berbagai mainan. Namun satu yang Faizin kenang, barang yang sangat istimewa dari Ami. Untuk hadiah ulangtahun Faizin, Ami mengirim gambar dan dua miniatur mobil balap dari logam. Kedua miniatur mobil itu berwarna merah, menjadi kebanggaan Faizin. Kini dua mobil kecil itu jadi milik Abid, keponakannya. Semakin lama. Semakin lupa, disamping antusiasme keluarga Faizin mengharap surat dan hadiah kecil dari Ami, mereka juga menunggu-nunggu bantuan nyata yang berdampak langsung. Mereka merindukan pemberian kambing oleh Plan dulu, satu kambing yang akhirnya dijual untuk membayar uang sekolah dikala pekerjaan orangtua sepi. Pernah juga, keluarga mendapat bantuan untuk membangun kamar mandi, beberapa pasir dan sak semen. Tapi berbagai bantuan langsung, tak kunjung datang lagi. Keluarga terus menunggu, berharap muncul setelah surat itu. Tapi penantian mereka sia-sia saat mereka mulai lelah, yang datang tiap tahunnya hanya tas sekolah, peralatan tulis
130
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
dan buku, serta kadang handuk atau payung. Dalam hela nafas, semua itu sebenarnya sudah sangat disyukuri keluarga, namun harapan lebih seperti berbagai bantuan yang dulu pernah diberikan Plan, tak kunjung datang. *** Faizin punya beberapa teman main yang juga anak dampingan Plan. Sebagian dari mereka sudah mengakhiri hubungan dengan Plan. Sebagian yang lagi memang bukan anak dampingan sedari dulu. Susi pernah menjelaskan, bahwasannya anak dampingan Plan hanya terbatas sampai umur delapan belas tahun, setelah itu putus kontrak. Meskipun begitu, mereka tetap bermain, menghabiskan waktu, dan berpergian bersama-sama. Kenyataan itu menjadikan warna-warni pengalaman dalam dunia pergaulan Faizin. Fakta bahwa para pemuda di desa ini punya banyak perhatian dan pandangan terkait seperti apa lembaga dan program-program Plan yang pernah berjalan. Banyak pemuda yang memuji Plan, yang menurut mereka telah banyak membantu desanya. Melambungkan harap perjuangan Plan, Faizin tak lupa mengingatkan berita buruknya. Dengan muka datar Ia meneruskan ungkapan dalam penuh makna, berbagai pandangan miring yang membuat panas telinga yang telah lama deras disebarluaskan. Slentingan itu coba ditirukannya, “Plan hanya memanfaatkan kesusahan kemiskinan orang. Orangorang miskin, anak-anaknya difoto, dikaranglah cerita, sehingga mereka bisa mendapat keuntungannya. Ya memang ada bantuan, tapi hanya sedikit. Sebagian besarnya masuk kantong orang-orang itu.” Lagilagi semacam kecurigaan tanpa dasar, dari mereka yang mengedepankan iri, benci dan dengki. Mereka adalah segerombolan orang sadis yang mencintai huru hara dan pandangan sinis, kata Susi lagi. Tak hanya sampai situ, anak-anak dampingan Plan banyak dibilang bodoh dan tak berpendidikan oleh mereka para pembenci. “Mau-maunya mereka difoto-foto....”, teriakan mereka. Cap sebagai peminta-minta murahan terlontar pada anak yang rutin didata relawan. Mereka dihujat, sebagai “anak asuh” bodoh. Hal-hal itulah yang baru-baru ini dibilang para tokoh sebagai sesuatu sangat tidak berdasar, menjadikannya pandangan negatif yang terus disebarluaskan bak racun ular kobra. Mereka bukan menyadarkan, mereka hanya ingin memecah belah. Faizin yang senang bergaul dan bersosialisasi, adalah juga anak dampingan Plan. Dia pribadi yang suka berbagi dengan teman-temannya. Dia juga mahir dan luwes bekerjasama dengan yang lain
131
di lapangan voli serta fasih mengumpan bola tepat di kaki mereka saat bermain sepakbola. Dia tetap tenang, tertawa saat orang lain mulai membicarakan anak dampingan Plan bak musuh bersama. Dia hanya diam, tapi jauh dalam hatinya dia ingin menyampaikan, “apa salahnya menyambung tangan kebaikan orang lain, selama tidak saling merugikan apalagi bermusuhan.” Ungkapan penuh makna yang tentu saja mewakili diri dan keluarganya, melindungi hati dan harapan ibu asuhnya di Jepang. “Faizin, aku menyayangimu, dan kamu harus jadi orang besar, orang sukses!”
132
Kios Rangiro dekat pertigaan jalan Plosorejo. Tempat nongkrong, ngobrol,berbagi.
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
RANGIRO, SAKSI BISU LAYAR KEHIDUPAN Oleh: Hana Rukhul Qisthi
K
etika matahari masih bersembunyi, dedaunan memberikan embun pagi yang bening di saat keheningan merekah. Udara dingin masih terasa dinginnya, sibak pucat merintih kelabu masih mewarnai pada pagi. Celoteh-celoteh tawa dari kambing sering terdengar rengekannya. Begitu nyaring sebagai harmoni nada untuk mengisi waktu pagi. Hingga warna menjadi terang ketika mentari telah muncul dari ufuk timur. Membawa pancaran sinarnya yang berguna bagi manusia. Cucian akan cepat kering bila dijemur di bawah teriknya, tapi tubuh kan basah oleh keringat bila mencoba berjemur di bawahnya. Untuk apa berjemur di bawah teriknya? kalau berteduh di depan teras bersama keluarga sudah membuat keringat menggucur deras?. Bersamaan tawa,duka lara dan peristiwa-peristiwa lainnya begitu membekas walau tak berbentuk wujud dan rupa. Hanya saja, semua itu menjadi prasasti di hati kami. Papan nama dengan tulisan Rangiro masih tercantol anggun di depan kios kami. Memberi tahukan pada semua orang yang mampir ke kios, penambal ban, atau hanya sekedar lewat bahwa disini dekat jalan pertigaan, terdapat kios yang cukup lengkap memiliki nama Rangiro.
135
Bila mencari Kios Rangiro carilah di Dusun Plosorejo, Desa Panimbo. Maka engkau akan temui aku, Siswanto, seorang kepala keluarga bagi keluargaku. Plosorejo Dusunku tinggal, yang memiliki arti meski letaknya pelosok, tapi tetap rejo. “Ora duite,”Ucap istriku. Memandang dusun kami begitu jauh dari kota, hingga ketika menjual atau membeli sesuatu harus menempuh jalan yang begitu lama. Ditambah jalanan begitu membuat kami enggan menggesekkan kaki pada lantainya. Meski untuk sekarang , jalanan sudah dapat dikatakan jauh lebih baik. Aku menamakanya Rangiro. Kios yang kurintis bersama istriku Asih,dengan alasan tidak mengira, kuberi nama Rangiro. Dalam bahasa Indonesia Rangiro adalah tidak menyangka. Dan tak kunyana pula, manakala aku membeli mobil di Sumowono, terjerat gores kata Rangiro pada mobil yang akan aku beli. Hingga membuatku tidak menyangkanya akan terjadi sebuah kesamaan pada kios kami yang sangat kuperjuangkan bersama. Untuk membeli dagangan, dan mengebangkan kios ini biasanya kupinjam uang di bank. Di Desa sendiri pun ada bank yang berguna sebagai simpan pinjam sebab adanya salah satu program Plan,walau pun aku tidak meminjam di sana. Setiap kali akan jatuh tempo, dengan sekuat tenaga aku selalu melunasi hutangku. Hingga sampai hari inipun tak pernah aku terlambat membayar hutang pada bank. karena, aku merasa, ini sebuah tanggung jawab bagiku. Di sisi lain, tidak ingin mengecewakan orang yang telah memercayaiku dengan pinjaman itu. Kios ini telah menjadi saksi bisu atas sejarah keluargaku, tentang perbaikan jalan, lahirnya Puji, Fujo dan Arif. Saksi berkumpulnya keluarga tercintaku, tempat ajang celoteh orang-orang yang bertamu dan banyak hal lagi terjadi di kios ini. Keseharianku, kuhabiskan disini walau kadang kala aku beranjak pergi ke pasar, dan menanam di ladang. Kios sekaligus rumah kami letaknya begitu mudah dijangkau kaki maupun kendaraan yang menghampiri, karena berdekatan dengan jalan raya menurut pandangan kami.
136
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Rumah sekaligus kios Pak Sisman
Jalan yang ada hanya sebuah cor-coran dua sisi, kanan dan dan kiri, sedang tengahnya tertata bebatuan yang tak beraturan. Samping kanan rumah kami yang terlihat dari arah kami memandang jalan depan rumah,akan terdapati bengkel, sedangkan belakang rumah kami, ada kambing pemberian dari Plan yang berada di kandangnya sedang makan rumput. Sedangkan samping kirinya ada garasi ala kadarnya, yang berguna untuk menyimpan mobil kami, termasuk mobil Rangiro. Di dalam rumah kami bagian tengah, begitu luas ruang yang ada.Akan terdapati baju yang berada di dipan, juga bertengger motor kami yang tegap berdiri tersangga standar. Orang yang bertamu tidak kuhaturkan duduk di ruang ini, melain kan di kios kami yang melangkah sedikit ke depan dari ruang tengah ini.Pada terasnya berjajar membentuk segi empat, meja yang tertata bersama kursi-kusi sederhana. Kicauan burung sering kali terdengar rintihannya, karena ia bertengger pada angringan sangkarnya. Mengatung-ngatung menatap awan, dan para pejalan di cantelan tinggi teras ini. Bunyi gemericiknya penuh sahdu, akan terdengar begitu jelas, kala bicara-bicara di teras kios ini terdiam membisu, dengan lamunan bayangnya masing-masing.
137
Pohonan jagung seberang jalan kanan rumah kami, begitu hijau anggun dengan buahnya yang menetas.Tertancap dirinya pada tanah-tanah tandus di sini.Tapi sungguh bulan-bulan ini, Desa terjangkit ironi. Babatan (bertani) yang kami banggakan, sedang terjadi hambatan yang menghalang. Tiba-tiba tanaman tumbuhnya memutihkarena hujan tak kunjung turun, Hama-hama begitu menggeliat melululantahkan tanaman, dan si tikus aksinya begitu gesit. Hingga membuat hati-hati masyarakat gelisah tentang tragedi yang terjadi. Kemarau sudah datang. Mungkin saja, air akan mulai kering di telan kegersangan. Memandang dulu kemarau begitu menghisap air, hingga PAH (Penampungan Air Hujan) dari Plan yang datang bagai penolong masuk desa, memberikan bala bantuannya pada Dusun yang letaknya pada dataran tinggi, seperi hal nya Dusun Beran. Biar mereka tak perlu cari air yang letaknya berjauhan. Kios ini selalu buka, sampai larut malam. Ketika langit telah berwarna gelap suara kumandang adzan telah terdengar, maka lampu-lampu penerang dinyalakan agar terang rumah ini. Meski gerbang pintu kios telah tutup dan bengkel pun diperistirahatkan, namun saat ada orang meminta bantuan maka kami tetap bersedia membantu. Tutupnya kios tidak akan menutup rasa berbagi kami. Berbagi di Desa ini, seolah telah mendarah daging di relung-relung tubuh kami. Bukan sebagai paksaan yang dihadapi, hanya saja seperti aliran sungai yang mengalir begitu saja, oleh keterbiasaan yang sudah tertanam pada kebanyakan diri di Dusun ini. Desa Panimbo sekaligus Dusun Plosorejoini masih sangat anggun. Seperti gadis perawan yang belum tersentuh banyak kerusakan hingar-bingar pergaulan nakal. Hawa panas sepertinya bukan karena terlalu banyaknya polusi sepertihalnya di perkotaan. Karena kunang-kunang masih beterbangan dengan membawa cahaya pada tubuhnya, menerangi gelap gulitanya malam. Mereka bisa memanggilku Sismanto. Ya, cukup dengan panggilan itu. Tak perlu kuungkap nama panjangku pada orang. Cukup panggil Sismanto padaku maka aku kan menengok untuk panggilan itu. Sedikit ke dalam teras,tampak berbagai barang dangangan berupa makanan-makanan ringan yang menggelangtung di tali yang menjalar, ada pula dagangan peralatan-peralatan seperti paku, cat, roda , lampu, dan lain sebagainya. Di depannya lagi ada aneka gorengan hasil masakan sendiri, ada kacang-kacang godok titipan dari warga-warga sekitar sini. Pada terasnya ada penggilingan tepung yang sering terdengar bising kala digunakan untuk 138
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
menggiling, ada masakan, sayur-sayuran. Karena aku sedikit memiliki keahlian dalam menambal ban bocor, membenahi sepeda, untuk itu kusalurkan keahlianku dengan membuka bengkel. Untung-untung untuk menambah rezeki. Cari bensin, kami sedia. Pulsa habis, kami siap melayani pengisiannya. Haus, ada es di almari dingin dekat jajanan-jajanan, juga es yang harus melalui proses pencampuran dengan air, diaduk dan diberi es batu. Teras ini pula menjadi ajang bercerita. Entah para ibu, atau bapak-bapak, bahkan anak-anak muda yang suka menghampiri si Arif atau si Fujo ketika berada di rumah. Suara-suara cengkrama begitu terdengar membahas tentang berbagai hal, seperti halnya yang terjadi kala hari jumat, dimana pak RT yang akan pergi ke masjid mampir ke tempat ini. Dengan kebiasaannya melawak, maka ia umbar lawakan itu pada istriku dan tamu yang datang ke kios ini. “Anak karo pitek lakyo iseh penting pitek. Njajal anak dolan, lak ora di golei. Tapi njajal pitek, kok urung bali lak digolei”. Ucapnya dengan kesungguhan beriringan tawa yang renyah. Sentilan lawakannya, mungkin memberi suatu kritikan tersendiri untuk para orang tua terhadap anaknya. Memang seperti itu kebiasaannya. Memberi lawakan-lawakan, sentilan sadar untuk para warga. Tingginya sedang, perangainya banyak kegembiraan, gores pada kerut-kerut wajahnya begitu teraliri keceriaan, mimiknya begitu fasih dalam bercerita. Ulat pun jadi tawa untuk memberi sengatan pada setiap diri agar menyadari suatu hal tentang sisi buruk manusia. Anakku Fujo yang sekolah di Yaseha STM (Sekolah Tehnik Menengah) dalam bidang mesin, juga turut campur tangan di bengkel. Hingga tampak belepotan parasnya saat harus bergelut ria dengan para mesin. Meski pada suatu hari ,ia memilih untuk merantau ke Ibu Kota Jakarta, bekerja sebagai buruh garment. Melihatnya tak lantas pulang, kukira dia merasa betah di sana. Fujo adalah anak yang tak banyak bicara. Meski begitu di Dusun ini, tak ada yang tak mengenal siapa Fujo. Kawan-kawannyanya banyak. Andaikata Fujo berada disini, maka kawan-kawannya akan ramai main ke kios ini. Terkadang mereka mengotak-atik mesin mereka sendiri dangan persedian peralatan bengkel di sini. Oleh Fujo dibiarkan mereka melakukannya, walau terkadang ia turut membantu kawannya membenahi. Sebagai seorang yang cukup memiliki keahlian dalam bongkar mesin. Keseharianku ya di kios ini. Setiap Pon, Wage, aku pergi ke Pasar Karang Langu atau Kedung 139
Jati mencari dagangan. Juga pada saat Legi meski jarang. Selain itu terkadang aku bertani pisang, juga menjabat sebagai ketua RT sejak 2002 hingga sekarang tahun 2014.Di Dusun ini, memiliki dua RT yang mendapat amanah dari masyakat, aku dan orang yang hobi sekali ngelawak. Pertengahan siang. Jalan di depan kios kami pun cukup sepi, meski pepohonan tak pernah sepi karena dirinya terus saja tertancap kuat meneduhi. Rimbunnya pohon dekat jalan rumah kami begitu menghiasi, ditambah ramainya rumah-rumah para warga yang saling berdekatan. Kios pun tanpapengunjung, tapi kebersamaan dengan keluarga di teras kios tetap membuat hidupku lebih berwarna. Tak perlu jauh-jauh kucari kerja di kota, cukup duduk-duduk bersama keluarga sambil menkmati kebersamaan biar rezeki mendatangi sendiri dengan hadirnya para pembeli dan para penambal ban. Sesekali kubencah kelapa muda, kucampuri es batu dan pemanis buatan, untuk diminum bersama, sebagai pelarut dahaga. Setiap cegukan yang mengalir di tenggorokan begitu menyegarkan. Lalu mengalir ke penjuru jasmani hingga para organ dan kota yang tak pernah tidur dalam raga ini dapat merasakan kesegarannya. Terlihat begitu lahap Puji meminum dan mengunyah bagian dagingnya yang begitu lembut berwarna putih. Ketika ingin bersosialisasi dengan masyarakat juga mudah terjalin. Karena melintasnya mereka pada depan kios kami ini, sering kali disertai anggukan kepala beriringan semburat senyum yang terhujam padaku. Tak jarang pula mereka mampir untuk sekedar bercengkarama. Kawan-kawan kecil Arif datang dengan membawa kendaraan yang mereka sandarkan pada lantai kios. Bersama Arif bersibuk ria membenahi mesin. Si Arif dengan berbaju putih yang ia kenakan, bersama kawannya mencoba menghindar dari jepretan photo tamu yang datang. Ia dan kawannya lari terbirit-birit masuk ke dalam rumah yang semula bersibuk dengan sepeda kawannya. Kala dihampiri maka lari lagi, sambil matanya ngintip pada sela-sela yang terlihat beriringan tawa kanak-kanak ia haturkan. Di dalamnya terdapati gambar-gambar miliknya yang menempel pada tembok papan rumah. Nuansa yang hijau, panorama alam, gunung meletus bergores pada gambar itu.
140
Arif dan kawan-kawannya yang sedang bersibuk ria membenahi sepeda mereka.
Teras rumah sekaligus ruang tamu kios Rangiro
Arif dan kawan-kawannya yang sedang bersibuk ria membenahi sepeda mereka.
Selain gambar sebagai kesukaan, hobi berbengkel turut mengalir dari dirinya. Kebiasaan mengamati orang bergelut dengan hal itu maka ngotak-atik sepeda kawan yang main kios, tanpa sadar teralirkan sendiri rasa suka itu, dengan membenahinya. Beriringan memenuhi keinginan para pembeli, kala aku dan istriku pergi ke pasar hingga larut sore. Seringkali ia ikut beringsutan denganku, kala motor atau sepeda ontel seseorang di bawa kemari bersama permasalahan yang terjadi pada kendaranya. Tangannya ikut bergoyang , memutar bagian sepeda, lalu dikencangkan dan dibenahi permasalahannya. Mbah Wakiem mertuaku, dengan kibasan kecil pada korek api ia nyakalan rokok yang ia genggam sambil mengepulkan asap-asap ke udara, setiap kali ia menyeduhnya. Beriringan berlalu lalang melayani para pembeli. Walau untuk hari ini ia hanya duduk mengambil dan meletakkan kacang titipan warga di meja dekat gorengan.Perawakan tak terlalu tinggi, kulit tubuhnya berwarna sawo matang, wajahnya menyibak bayak kekuatan.Walau telah berusia lanjut dirinya masih begitu sehat bugar.Ia hidup di zaman serba susah. Jualan, harus berjalan jauh. Dia menatap hari ini penuh dengan rasa sukur, karena mau melakukan apapun, serba enak. Kini orang-orang banyak menjadi pemalas jalan. Motor-motor mereka menggantikan kebiasaan jalan kaki yang dulu sebagai sarana tranportasi pergi. *** Mbah Wakiem sedang menjaga kios
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Jalan di depan kios, kini jauh lebih baik dari yang dulu. Butuh perjuangan untuk pembangunan nya. Dulu berlumpur, banyak yang bolong dan seringkali orang terjatuh saat melewatinya. Seolah jalan menjadi musuh besar yang sering kali melahap korban agar terjatuh dalam pelukannya. “Brok!!!” Terdengar suara sepeda jatuh. “Wes biasa” Ucap istriku pada tamu. Sebagai ketua RT kuberanikan diri mengusulkan perbaikan jalan. Meski harus terjadi konflik dengan masyarakat lain. “Eh, itu kan, hanya jalan buntu. Ngapain diperbaiki?” Ucap seseorang menghina. “Bukan, ini jalan alternatif bisa menembus, menuju ke Boyolali” Ungkap istriku saat bercerita dengan tamu yang mampir ke kios ini . Lantas diadakan peninjauan lebih lanjutpada runtutan jalan ini, dan ternyata memang benar adanya dalih atas usulanku. Pembangunan jalan pun disetujui. Dengan bergotong royong bersama para warga, kami bersama membangun jalan yang selalu memberi tatapan permusuhan pada roda-roda yang melintas. Warga yang turut andil dalam pembangunan ada berkisar delapan puluh lebih. Hingga kuusulkan untuk membaginya menjadi tiga kelompok, dimana setiap minggu terjadi pergantian. Dari pembangunan warga itu ternyata diberi upah meski tidak setiap hari .Namun terjadi kisruh pada kelompok ke tiga, karena mereka tak dapat upah saat kelompok lainnya dapat. Lantas kuberi penjelasan untuk mereka tentang dana yang ada ternyata habis. Dan beberapa nasehat beserta doronagan untuk mereka. “Toh jalan ini kan untuk kita bersama. Ayolah tak perlu ada keributan seperti ini.Meski yang kita lakukan tak mendapat upah, semoga nanti dapat balasan dari Yang Maha Kuasa,” Bersyukur mereka bisa menerimanya dengan berlapang dada. Walau aku menjabat sebagai ketua RT, tak lantas ku hanya berpangku tangan menatapi para warga bekerja. Aku ikuti semua kelompok itu. Mulai dari kelompok satu sampai tiga dalam proses pembangunan. Sungguh sepeser pun tak kuraih keuntungan. Sebagai seorang RT alangkah baiknya memberi teladan positif kepada para warganya.
143
Balada panas dan rasa letih harus kami terjang, demi satu tujuan pasti bila kesungguhan tuk menyelesaikan benar-benar dilakukan. Segala lelah yang menghampiri biarlah, tetap semangat tuk membangun jalan yang sekian lama di nanti-nantikan. Cor-coran dua sisi mulai di siramkan dan di tata rapi, bebatuan yang di jajarkan pada lekukan tanah yang diapit dua jalan itu. Setelah lama berjuang membangun jalan, akhirnya pembangunan pun selesai. Begitu bahagiannya, karena kini para pengendara bahkan pejalan bisa bercinta dengan jalanan yang sudah jauh lebih baik. Orang yang mencemooh tentang gagasan ini, ternyata pun juga melewati jalan yang ada. “Hahaha, mbiyen, ngeyek-ngeyek. Saiki lewat” Ujar Asih istriku, mencibir. Kulihat, hari ini, kios kami kedatangan dua orang gadis yang bercengkrama dengan istriku denganku, juga dengan mertuaku. Mereka datang dengan segudang tanya yang dilontarkan kepada kami tentang perjalanan hidup dan perjalanan bersama Plan. “SC, di keluarga ini adalah Arif. Oleh Plan kami banyak di beri bantuan, berupa kambing, Pah, dan sumur. Juga alar-alat tulis, Kaos, tas untuk Arif,” ucapku sambil mengingat-ngingat Meski belum pernah orang tua asuhnya datang kemari, bahkan seluk beluk dari negara mana, namanya siapa pun kami tidak tahu. Bahkan tulis menulis surat dengan mereka pun juga tidak pernah. “Belum pernah,” Ucap Arif pada tamu yang menanyainya perihal orang tua asuh dan soal menulis dan mendapatkan surat. Arif namanya yang telah tercatat pada lembar akte kelahiran. Kegemarannya dalam menggambar alam membuat bakat itu sedikit lebih tersalurkan ketika mengikuti lomba yang diadakan Plan. Plan adalah organisasi internasional yang tujuannya pada anak. Tak memandang Suku, Agama dan Ras. Perlombaan gambar yang di selenggarakan Plan untuk anak se Dusun, ia meraih peringkat ketiga sebagai juara. Genre gambarnya memang tak jauh-jauh dari lukisan yang tertempel di papan dalam rumahnya. Para relawan Plan mendatangi para warga. Mendatai bocah-bocah untuk diikutkan dalam suatu program yang di namai SC (Sponsor child). Pada mulanya, banyak yang takut karena Plan dari luar
144
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
negri juga kurangnya sosialisasi dikarenakan tidak langsung kepada semua warga, melainkan dengan mendata beriringan penjelasan-penjelasan tentang Plan disampaikan. Hingga timbul kehawatiran, kalau anak-anak mereka dibawa ke luar negri. Walau pada saat mereka tahu bahwa ternyata yang dilakukan Plan adalah membantu. Maka ada kecemburuan pada sebagian masyarakat yang pada mulanya menolak ikut, terhadapkeluarga SC, yang begitu banyak mendapat sumbangan dan hadiah. Ada banyak rangakaian program yang diluncurkan. Mulai dari pelatihan-pelatihan, sampai bantuan-bantuan. Pembangunan sekolah pun juga di bantu oleh Plan. Datangnya banyak memberi perubahan pada Desa ini. Perubahan gaya berfikir, bersosial, ekonomi, sampai kebiasaan buruk kami yang masih buang hajat sembarangan. Walau tujuan akanhadirnya adalah anak, namun lingkungan, keluarga, sekolah ia bantu benahi karena hal-hal itu sangat berpengaruh terhadap kembang tumbuh anak. Apa yang diberikan terhadap seorang anak pada masa kecilnya, maka akan mempengaruhi lima belas tahun yang kan datang. Anak aset bangsa sang penerus, untuk menegakkan garuda, dan menjaganya. Mengibarkan sang merah putih benar-benar pada pucuk tiang, bukan setengah tiang dengan nada ironi. Bila kita rusak ia dengan
145
Foto Arif
ketidak tahuan atas hak-hak dan kepribadiaan dirinya, maka potensi ia merusak untuk bangsa begitu besar. Oleh Plan aku pernah di tunjuk untuk mengikuti pelatihan tentang desa Panimbo yang di selenggarakan di Kopeng, ikut pelatihan CLTS di Purwodadai , dan Pelatihan Keuangan di Ponorogo . “Dan jujur, saya nggak tahu kepanjangan nya CLTS, La wong, bahasa inggris.Angel men,” Ucapku dengan sedikit tertawa akan hal itu. Tidak semua orang turut diikutkan, hanya ada satu atau segelintir orang sebagai perwakilan dari Dusun. Lalu setelah mengikuti pelatihan itu, bersama Plan, pamong-pamong desa, juga melibatkan pihak kesehatan dan Ketua RT dan lainnya,mengumpulkan para warga di tempat yang dirasa nyaman dan teduh. Warga diberi banyak diberi pemahaman tentang dampak buruk buang air besar dan kecil di sembarang tempat. Penghargaan untuk Desa kami Selendang malam telah terbentang.Bulan narsis anggun di langit. Bitang bagai jerawat bercahaya banyak di wajah langit. Mantenan Desa bisa seharian hingga larut malam. Joget dangdutan kerap ditampilkan sebagai penghibur para tamu yang berdatangan. Makanan dan minuman di sediakan, pisang, tentu saja agenda pasti di keluarkan karena begitu kayanya Desa ini akan pisang. Namun kala perut membuncit, dan air sisa yang sudah sampai ujung batas mengemis untuk minta di keluarkan, maka tak ada jamban yang disediakan untuk memenuhi itu semua. Ironi sekali. Hal kecil, dapat berdampak buruk bagi kesehatan, bila terus-terusan menahan kebingungan begitu menguasai diri. Bingung harus bagaimana membuangnya, agar perut tak lagi sesak didesak keluar. Rasanya begitu sedih dan prihatin sekali, melihat komentar istriku mengenang masamasa ketiadaan jamban. *** Bau busuk timbul di antara pepohonan.Kebun yang sepi sebagai tambang buang hajat sembarangan. Bahkan sungai pun jadi, kalo mules sudah sampai ujung bibir. karenasangat sedikit sekali orang yang memiliki jamban untuk mengosongkan perut dari zat-zat sisa. 146
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Belum tertambat dalam benaknya kesadaran memiliki jamban sendiri, beserta dampak buruk bagi kesehatan jasmaninya. Padahal sering kali merasa harus susah payah bersembunyi di semak untuk menumpahkannya. Sungguh miris merasakan keadaan yang terjadi.Oleh pemerintah sendiri, turut bungkam atas kejadian tragis ini atau mungkin mereka tak pernah tahu apa yang terjadi. Hingga Plan datang, lalu membantu Desa ini. Ia adakan pelatihan CLTS, dan aku selaku ketua RT turut diikutkan. Di sana aku diajari bagaimana membuat kakus yang ramah anak dan masih banyak lagi. Setelah pelatihan selama beberapa hari, lalu bersama-samarelawan Plan pamong-pamong Desa, dan pihak kesehatan memberi penjelasan kepada warga. “Coba bayangkan. Seandainya ada orang buang hajat sembarangan, kan baunya mengganggu. Terus kalau tanahnya kering, maka kotorannya akan tetap disitu. Na, orang kan sehari buang hajatnya tiga kali. Na, kalau orangnya banyak gimana.Kalo selama seminggu, wah, bisa berkilo-kilo dah kotorannya,”Istriku menjelaskan pada tamu yang mendengarkan begitu khidmad.Hingga terceletuk tawa dari wajahnya mendengarkan Asih bercerita. Dengan ramah tamah, dan banyak senyum di wajah Asih yang bercerita begitu renyah dan menyenangkan tentang peristiwa yang terjadi kala itu. “Misal, dia buang kotoran lalu ada lalat yang berghinggap di kotorannya.Setelah itu hewan kecil dan munyil itu terbang ke rumah, eh dia mendarat ke makanan dan ikut makan dikit. Lantas makanan itu dilahap orang, gimana?”Penjelasan yang diungkap Plan kala itu, oleh Asih, ia ceritakan kembali dengan tawa yang semakin menguat. Mungkin ia terbayang akan peristiwa itu, tampak dari tatapannya yang menyibak banyak pelangi. “Masyarakat juga di tanyai tentang, dimana dia buang hajat. Mereka disuruh jujur,” Kukatakan pada gadis itu sambil hp miliknya merekam suaraku dan suara istriku. “Kalo seperti itu ngganggu nggak?” Mereka pun mau jujur, dimana mereka membuang semua zat sisanya. Dari banyak sekali pemahaman yang di berikanitu, mulailah timbul kesadaran dari para warga akan pentingnya ada jamban, beserta dampak-dampak buruk atas ketiadaannya. 147
Serempak bersama warga dan relawan Plan, kita membangun jamban model kakus sederhana. Hingga sekarang hampir delapan puluh persen mereka mempunyai jamban sendiri, ada yang memperbaikinya sendiri atau membangunnya sendiri.Meski ada beberapa orang yang masih belum memiliki jamban sendiri, hingga mereka menumpang di kamar mandi tetangganya. Peristiwa pembangunan jamban yang mempengaruhi para masyarakat untuk membuang hajat pada tempatnya membawa pada suatu prestasi yang membanggakan Desa. “Dideklarasikan pada tahun 2004 atau 2005 bahwa Desa Panimbo mendapat penghargaan bahwa tidak membuang hajat sembarangan lagi. Pertama kali dan satu-satunya adalah Panimbo,” Ucapku dengan lirih, walau tatapanku tak bisa diam memandang pada satu tempat. Motor kerap kali lewat di depan jalan kios ini. Kepala dan wajahku turut kupersembahkan pada sapaan untuk mereka.
Anak ku, pertama Suhu panas sedikit membuatku tak tega dengan gadis itu yang terus mengalirkan keringat di dahinya. Istriku memberi nya minuman gelas dagangan kami dari dalam kulkas yang dingin. Menyuguhkan beberapa gorengan kepadanya. Tempat duduk di depan teras ini memang menyenangkan. Dengan permainan karambol besar,sekaligussebagai meja, untuk meletakkan makanan dan minuman bagi tamu. Kukisahkan tentang anak-anakku satu persatu padanya. Termasuk Puji yang paska kelahirannya terjadi suatu peristiwa yang benar-benar di luar nalar kami. Puji lahir pada tahun 1989, dimana jalanan masih sangat rusak parah. Namun kelahirannya membuat kami khawatir, hingga keluarga-keluarga berdatangan menengoki si bayi. Si bayi tak mau makan terlebih menetek asi. Bahkan rintihan tangisnya pun hanya terdengar lirih tak seperti pada bayi biasanya yang menangis begitu kencang.Istri ku begitu sedih dan sangat hawatir, ditambah, Puji adalah anak pertama kami. Sedang yang dapat kulakukan hanya pasrah, menyerahkan semuanya kepada Tuhan, meski diiringi dengan upaya-upaya dengan mencoba meneteskan air asidari jariku ke mulutnya, walau hasilnya, ia muntahkan kembali. 148
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Oleh istriku, bayi itu ia letakkan pada bantal yang berada dalam genggamannya, lalu ia bawa ke suatu bidan yang letakknya sangat jauh. Harus melewati jalan yang rusak dengan berjalan kaki sebagai kedaranya.Melewati alas-alas yang rimbun dengan kekhawaritan bila ada binantang buas. Selapan (tiga puluh lima hari : Jawa) berlalu tanpa makan dan minum, hanya hidup dengan nafasnya. membuat jari-jemarinya kecil seperti ceker ayam. Akhirnya si bayi mau menyusu ibunya. Begitu bahagia istri ku, dan rasa sukur mengalir begidu deras di keluarga kami. Walau ternyata dalam dirinya terjadi keterlambatan dalam berfikir. Tapi, hal itu tak membuat kami lantas kecewa, kami pasrahkan pada Yang Kuasa. “Ya, ini adalah kehendak-Nya,” Ucapku sambil terbanyang peristiwa masa itu. “Disisi lain, ia begitu gemar dengan anak kecil. Setiap ada anak kecil, ia tengoki. Bahkan ketika ada anak kecil yang menangis, oleh Puji digendong hingga sang anak terdiam dari tangisnya” Ucapku begitu bangga dengan dirinya. Tersemat punggung gadis dewasa yang memiliki wajah bocah, sedang hilir mudik berjalan. Kadangkala tersenyum pada orang yang memberi senyum padanya, membantu ibunya atau hanya menatap sesuatu tanpa ada penjelasan kecuali hanya ia yang tahu. Ia lebih sering habiskan waktunya bersama kami di teras kios ini. Puji sangat takut akan suara petasan. Ledakan-ledakannya yang bersemburat bunga di langit tak membuatnya lantas bahagia memandangnya. Malah, dengan kedua tangannya ia tutup telinganya akan suara itu.Bila kuajak menonton kembang api, malah ia memilih berdiam diri di rumah daripada harus mendengar bising suara takutnya.
149
Pendidikan sangat penting bagi seseorang. Dan untuk anak, saya didik mereka dengan mensekolahkannya, mengajak berkomunikasi dan diskusi, memberi nasehat-nasehat. Saya beri pengertian tentang masalahbersosial, masyarakat, dan tetap memberi kebebasan pada mereka.Agar dalam diri mereka terbentuk kesadaran sendiri tentang kebenaran. Meski untuk Puji, tidak bersekolah dengan alasan dia tidak bisa mengikuti atau mengerti pelajarannya yang ada. Puji anaknya baik, dan rajin membantu orang tuanya. “Pak, dari banyak kegiatan dan program-program Plan yang diluncurkan, kira-kira apa yang sekiranya paling bermakna dan memberi perubahan pada Bapak dan Ibu,” Tanya gadis itu kepada kami setelah ribuan kata yang mengulas masa lalu kami ceritakan pada peretengah siang hari ini. “Ya, CLTS atau jamban inilah yang menurut saya paling bermakna,” Ucapku dengan mata yang bebinar penuh ketulusan. Dengan adanya jamban itu sendiri akan memermudah orang-orang sehingga tak perlu susah payah ngumpet-ngumpet atau ke sungai untuk buang hajat . Tak perlu ada bau busuk yang menyengat lagi di kebun-kebun. Gadis itu bertanya kembali tentang adakah kekecewaan terhadap Plan? Sungguh tiada sedikit pun kekecewaan untuk Plan dari keluarga kami.Karena Plan bagitu banyak sekali membantu, tanpa sedikit pun dirayapi pamprih. “Kekecewaan saya terhadap Plan adalah, kecewa dia harus harus meniggalkan Dusun ini,” Ungkap Asih dengan nada sendu, beriringan wajah nya yang sayu. Semoga ketika Plan telah meninggalkan dusun ini, kita semua tetap bisa membangun desa dengan tangan dan kaki kami.Dengan terus menancapkan harapan dalam hati untuk Desa. “Desa bisa lebih maju lagi. Ekonomi juga lebih maju, dengan adanya pengolahan-pengolahan bahan seperti pisang dan ketela menjadi keripik,”Harapapanku yang berlabuh untuk Desa sekaligus Dusun ini. Kemudian dua tamu itu pergi meninggalkan kios kami. Dengan meninggalkan jejak cerita singkat sebagai tilas keberadaannya, yang pernah duduk di kursi kios ini.
150
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Suasana di kios Rangiro pertengahan hari
Terang sekali warna siang. Langit begitu jernih, walau ada beberapa awan yang menghiasi. Seperti kehidupan ini, yang tak pernah mungkin selalu tanpa halangan dan hambatan. Adanya awan akan memberi banyak rasa akan banyaknya pengalaman hidup ini. Bila hidup hanya bersimbah langit tanpa awan dan mendung, maka kita hanya akan mendapat satu rasa, dan tak merasakan rasa yang lain hingga membuat satu rasa itu begitu hambar terasa. Kita tidak akan pernah mengerti apa itu enaknya sehat kalau kita tak pernah sakit. Aku tak akan pernah mengerti keluarga ini bermakna, kios ini maju, bila ku tak pernah merasakan proses perihnya. Bagai rujak yang telah diaduk bersama sambalnya. Kecut, manis,pedas rasa, akan tampil menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi hingga menjadi suatu nama makanan untuknya. Yaitu Rujak. Begitu pula dengan kehidupan kami. Papan namanya masih begitu anggun melayang-layang. Mengibarkan namanya menatap langit dengan semangat tangguh. Dan aku masih bersama keluarga ku di sini sebagai seorang manusia yang mengarugi samudra kehidupan ini. Kecut, manis, pahit dan pedas perjalanan ini membentuk satu nama yang menjadi saksi bisu atas kisah hidup keluarga kami, Rangiro.”
151
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
SANG KYAI, MENGEJA LALU Oleh: Hana Rukhul Qisthi
D
esa yang masih anggun. Sengat mahari siang masih tajam, seolah perjalannya masih sangat lama untuk mencapai sore yang tenang. Tanah di Desa ini memang sangat tandus, namun pohon jati begitu tumbuh dengan suburnya. Hingga dedaunan lebarnya banyak meneduhi kala bersimpuh di bawah naungannya. Padi, memang paling malu hidup di tanah ini. Karena rakusnya ia terhadap air, membuatnya sungkan untuk tumbuh hingga memperlihatkan kesahajaannya saat merunduk matang, meski ada beberapa saja yang tetap berani berdiri menatap langit.Tapi jangung, pisang, dan ubi-ubian, begitu setia memenuhi ladang-ladang para petani. Pohon kelapa, juga ikut hidup di tanah ini. Begitu rindang tertata di tanah-tanah Plosorejo ini, dan berguna bagi para masyarakatnya mulai dari akar hingga ubunubunnya. Kala daun kelapa telah layu dan kering, maka andaikan ia jatuh ditarik gravitasi bumi ke lantainya, maka tangan-tangan kuat para masyarakatnya akan mengangkutnya di kerlingan tangannya. Ia jadikan sapu, atau menyalakan tunggku untuk memasak.
153
Jalanan di Plosorejo samping rumah Sang Kyai
Masjid Al-Jalil Ploserejo
Desa yang begitu anggun. Tangan-tangan para orang asing yang berniat mengeksploitasi sumber dayanya, hanya saja cukup banyak diantara mereka rela pergi meninggalkan desa untuk bekerja di perantauan atau Ibu Kota. Kerukunan mereka begitu kental. Toleransi mereka begitu menjamur segar. Kebersamaan bagai kebiasaan pada keseharian. Kulewati jalanan Dusun Ploserejo. Terdapati dua cor-coran terpisah, antara jalan kanan dan kiri. Walau mungkin dulu jalan ini adalah pepohonan yang tumbuh subur. Di tengahnya didapati bebatuan yang tertata rapi, walau sangat menggeronjal, hanya saja kata orang desa ini, ini adalah suatu kemajuan yang sangat jauh lebih baik untuk jalan. Ketimbang dulu yang begitu berlumpur hingga menenggelamkan kaki, bolong-bolong, beserta gronjal hingga jatuhnya sepeda roda dua menjadi hal biasa dalam pandangan. Lantai jalan yang kuambil sisi kiri ini begitu halus, sehingga ban motor siapapun yang melintasi. Nenek-nenek atau kakek dan para penghuni Dusun begitu ramah. Ia hadirkan wajahnya bersamaan anggukan kepala mereka. Dengan berhias senyum sapa untuk siapa saja yang ia jumpa. Kebiasaan dalam menyapa orang, seolah telah menjadi bagian dari hidupnya. *** 154
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Rumah Sang Kyai
Pagar kuning telah terlihat jelas di depan mataku. Tulisanbesar Masjid Al Jalil Plosorejo, begitu tajam tertempel pada dinding dekat atapnya. Terpandang pelataran yang begitu jembar, dengan rimbunnya pohon jambu yang mengeluarkan buahnya, dekat rumah sang Kyai yang kan kudatangi. Terdapati seorang nenek yang telah berusia lanjut di teras masjidnya. Panas terik pada pertengahan hari ini membuat kulit sawonya mengguncurkan keringat. Ia berteduh di emperan masjid itu, sambil mendinginkan tubuh yang terlalu sumpek. Tak kusangka ia adalah Ibu sang kyai itu. Kutatap rumah milik Sang Kyai, begitu sederhana. Tak muluk-muluk mewah yang tertata. Papanlah batas antaran ruang semesta dan dalam rumahnya.Di terasnya terdapati alat-alat untuk menanam, dan satu bonggol pisang hijau yang duduk di lantai empernya. Sang kyai begitu hangat menyambut kedatanganku. Menyuruhku duduk di kursi sekaligus tempat duduk Maddin (Madrasah Diniah : sekolah Agama Islam) pada sore hari dan malam hari. Terdapati banyak buku di rak-rak buku, yang tertata tak beraturan.Dan ada peralatan terbangan yang diperistirahatkan di meja, dimana suara terbang itu kan terdengar bila bocah-bocah sang penerus generasi pendahulu menabuhnya.
155
“Ada banyak buku, Al Quran, KItab-kitab untuk mengaji, dan terbangan diberi oleh Plan” Kata sang kyai itu dengan tutur kata lembut dan banyak ketenangan. Katanya, jamban masjid juga turut dibenahi Plan. Demikian pula dengan sarana pra sarana yang lain. Fokus mereka memang pada anak-anak. Bagaimana mereka berusaha mewujudkan bersama para warga sebuah Desa yang layak anak, hingga bantuan yang diberikan adalah secara umum tanpa membedakan Ras Suku dan Agama . Meski pernah kala itu, Plan mengadakan sebuah acara pesantren kilat di Desa ini. *** Masa itu… Buah jarak dikupas kulitnya. Dalamnya ia tancapkan pada lidi dari daun kelapa yang juga ia kupas, lalu petikan kecil nyala api ia semburatkan padanya hingga menjadi lampu bagi penerang jalan. Desa yang plosok dan masih tertinggal menurut paradigma mereka, dimana lampu tidak ada, dan jalan rusak parah. Sebelum maghrib tiba, bocah kecil yang biasa dipanggil Sutimen telah bersiap siaga menuju ke masjid Panimbo. Dari rumahnya Plosorejo, lewati jalan yang belum tertata jalan. Membuatnya harus belusukan di antara pepohonan untuk mencari jalan sendiri yang sekiranya bisa dilewati. Ia juga mesti menyebrangi sungai kala ingin sampai ke tempat tujuan. Belum ada jembatan penghubung untuk melewatinya, maka dengan berhati-hati, sambil mencincing celana, bocah laki-laki itu menyebrang sungai. Jama’ah magrib ditegakkan. Dilanjutkan dengan mengaji Al Quran bersama sesepuh ahli agama. Sutimen dengan semangat menggerakkan bibir dan menbaca lantunan ayat-ayat suci bersama kawankawannya. Tak jarang nyanyian-nyanyian islam disuarakan, untuk menghilangkan bosan, juga menambah rasa semangat dalam diri. Bagai Hp yang akan kehabisan baterai lalu di sulutnya cess dalam dirinya hingga sengatan listrik merasuk ke jiwanya, dan tubuhnya sedikit demi sedikit kembali bugar. ***
156
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Saat malam telah melipat siang. Selimut hitamnya begitu anggun menutupi mentari hingga berganti bulan yang bertengger di kanvas langit menggantikan cahaya mentari yang terlalu terang. Setelah ngaji, Sutimen berniat keluar mendahuli kawan-kawan lainnya. Dengan obor, dari daun kering kelapa yang dipercikkan api lantas timbul nyala terang, ia telusuri jalan malam pekat. Sungai begitu deras, tapi bocah kencur itu nekat nyebrang. Tak dinyana, beberapa saat kemudian ia terbawa deras arus sungai. Tubuhnya kelabaan berusaha melawan, tapi tetap tak bisa menaklukkan guyuran air sungai yang mengalir begitu gesit. Dengan sekuat tenaga ia coba menyelamatkan diri ke tepian walau sang air tanpa belas kasih mendorong tubuh itu dengan alirannya. Beruntung tubuhnya bisa terbawa ke pinggiran dan selamat. Meski baju yang dikenakannya basah kuyup karena air sungai menempel di sekujur tubuhnya. Suatu momen yang tak terlupakan, dimana kesungguhan itu tetap menyala apa pun yang dihadapi saat itu. ***
Sutimen terbawa arus sungai karena musim sedang penghujan hingga alirannya begitu deras. 157
Esok, aktifitas Sutimen seperti anak-anak lainnya, menimba ilmu pengetahuan di sekolah SD satu. Sungguh kasian para guru yang lokasi rumahnya jauh. Demi mengajarkan ilmu pada anak-anak Desa ini Ia harus datang dengan berjalan kaki dengan jarak delapan kiloan. Siangnya, kalau ada waktu luang, Sutimen membantu orang tua. Jika sore tiba, Abahnya mengajar agama di rumah yang memang dijadikan Madrasah Dinniyah itu. Selain Sang Abah, ada juga ahliahli agama lain yang turut menebarkan ilmunya. Berharap muncul penerus-penerus yang cemerlang. Sutimen kecil pun dengan semangat membara, turut mengikuti pelajaran yang ada.Tertambat rasa keingintahuan untuk mengerti, hingga itu selalu menjadi landasan dalam dirinya untuk belajar. Maka sebelum maghrib, seperti sediakala, ia berjalan menuju masjid Panimbo.Peristiwa terbawa arus, bukan suatu hal yang membuat langkahnya terhenti untuk belajar. Hanya saja ketika musim hujan, ia tak diperbolehkan untuk pergi. *** Setelah usai sudah semua kegiatan wajib, ia bermain bersama kawan yang lain. Sehingga malam tak pernah sepi. Berisik suara anak-anak mengisi dengan segala canda. Selodoran, petak umpet, dan beragam permainan tradisional mewarnai suasana. Semua keindahan itu terangkum jadi satu bersama dengan pemandangan indah malam. Kunangkunang yang melayang di udara, taburan bintang-gemintang, semua adalah pesona yang dihadirkan Sang Maha untuk melengkapi makna kenangan dalam benak Sutimen. *** Hingga masa pun berganti… Ia tumbuh menjasi sosok berilmu dan bersahaja. Dalam belajar agama, ia memang tidak melaluinya di pesantren seperti yang biasa ditempuh ulama lain. Namun ia banyak sowan atau silaturrahmi pada para kyai untuk memudahkannya belajar mendalami ilmu disisi lain ia berusaha sendiri dengan menggais-gais ma’na pada kitab-kitab yang ada. Sang abahnya adalah guru baginya. Hingga Sang abah telah pulang, meninggalkan dirinya dalam umur yang masih bocah, maka mbah Sujud sesepuh Dusun dekat rumahnya menjadi penerus bagi abahnya. 158
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Setelah mbah Sujud meninggal, dalam usianya yang sudah cukup matang untuk mengembannya, maka dirinya menerima amanah itu saat masyarakat memercayakan padanya. “Jujur, hal itu sangat berat bagi saya.Namun ya, mau gimana lagi.Ini kehendak masyarakat, maka saya pun menerimanya” Ucapnya lirih dengan santun. Matanya yang sendu, begitu terlihat banyak ketulusan. Bukan keinginan dirinya agar para masyarakat memilihnya, tapi dipilih, yang membuatnya mau memegang erat kepercayaan yang ada. Baju koko hijau yang ia kenakan hari ini, bersama sarung untuk bawahannya. Hawa begitu terasa hingga mengalirkan keringat di pelipis dahinya.Sang istri Bernama Waqini menghampiri ruang tamu, bersamaan membawa nampan di kerlingan tangannya. Membawa teh berwarna cokelat kekuningan untuk seorang tamu gadis remaja dan suaminya. Uap teh tak terlihat, karena terhalang tutup yang menyatu pada bibir-bibir gelas. Hingga tak dapat menjadi penanda tentang panas atau dinginnya. Terlihat tamu itu begitu canggung dari aura wajahnya hingga mempengaruhi lenggok tata bahasa yang ia tuturkan sedikit lebih gagap meski mencoba untuk tetap tidak gagap. Mungkin karena tak biasa bertamu .Walau begitu, Sang Kyai dengan gayanya, yang tetap sopan, dan segala keramah tamahannya tak peduli seperti apapun tamu di hadapannya. kala air teh itu akan diseduh si gadis , maka tangan putihnya menempel rapi pada gelasnya, hingga membuatnya mengurungkan diri untuk meminum tehnya, karena panasnya begitu menganga, mencantang tangannya. Ia biarkan begitu saja air itu agar lebih hangat untuk dinikmati, sambil melanjutnya banyak cerita dan tanya untuk Sang Kyai mengulas masa lalunya. *** Kutatapi renteten cerita itu begitu berharga. Dan meski kuhaturkan banyak tanya pada sang kyai ini, tak penat ia tuangkan wajah letih untuk memberi jawaban dengan bijaksana dan ketenangan yang terlukis di wajahnya.
159
Kambing Sang Kyai yang di letakkan di samping rumahnya
Keseharian yang ia jalani memanglah sederhana. Hanya saja, dalam benakku tak sesederhana esensi darinya. Pagi hari ditemani istri tercinta, ia isi dengan bertani di ladang. Ladang sebagai tambang mengeruk penghasilan, meski yang didapat tak seberapa. Baginya itu sangat bermanfaat bagi orang lain, maka hal itu ia pilihnya. Disisi lain, bertanilah yang bisa ia kerjakan. Jagung, delai, kacang, palawija, pisang adalah beberapa hal yang ia tanam dengan tangan kekarnya. Pernah dirinya merantaui ke Kota Jakarta. Hanya mengarungi hidup sebulan di sana, ia langsung kembali ke Dusun karena merasa tidak betah tinggal di Kotanya. “Jadi petani terima saja. Asalkan itu bermanfaat. Karena, gimana kalau nggak ada petani?” Ucapnya dengan segala ke chasan dirinya. Kambing milik Kyai bersua, sambil rakus makan rumput. Ia bertengger di kandang samping rumahnya, sambil mengeluarkan suara pada para pejalan yang melewati nya, walau jarang. Kambing pemberian dari Plan sebagai seorang pengurus Maddin, meski anaknya seorang SC (Sponsor Child), bukan itu alasan pemberian kambing untuk keluarganya. *** 160
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Terhentinya Maddin Kyai Sutimen menengok ke luar rumah. Menatapi pelataran yang tinggal sunyi. Bunyi celoteh bocah-bocah seperti kala ia kecil, tak lagi senyaring dulu. Suara rengekan manja, teriak-teriak syahdu kini hanya menyisakan tilas. Tawa itu pergi, wajah-wajah mungil itu hanya tinggal bisu, kosong tanpa sedikit pun menampakkan paras-paras lucunya. Kerudung yang dikenakan para gadis kecil juga telah ditanggalkan. Genggaman tangan yang tergantung Kitab suci dalam dekapan, kini hanya tinggal rindu yang selalu ingin terulang-dan terus terulang. Tak ada lagi bocah-bocah yang ramai ke Maddin yang biasa berlangsung di rumah Sang Kyai, juga di masjid depan rumahnya. Dulu pelataran ini begitu ramai. Kini yang ada hanya sepi. Terikan matahari hanya menyengat pelataran, tak ada raga-raga kecil itu yang tersinari cahaya sore dan cahaya rembulan saat malam. Pada zaman Sang Kyai belajar, akar kesungguhan itu begitu melekat. Walau padamnya lampu tak berlistrik begitu pekat, tidak membuat lampu nurani diri lantas mereda untuk tetap mengais-ngais makna pada kitab-kitab yang banyak memeberi pemahaman. Lantas sekarang, meski lampu begitu terang, tapi mengapa tak seterang semangat yang menggebu untuk mencari lebih banyak makna? Pada zaman Ridho, sepupu Sang Kyai sekaligus muridnya, banyak para pemuda masih begitu bersemangat untuk mengaji, hingga malam masjid yang semula hanya musollah kecil, masih saja ramai, bahkan mereka sering memilih untuk menginap. *** Ketika jarum jam telah menunjukkan sepertiga malam, maka Kyai yang memiliki kulit sawo matang, dengan tinggi sedang, berjalan menuju tempat air. Ia alirkan kran hingga keluar butiran-butiran air yang dingin. Ia basuh wajahnya, tangan, usap rambut kemudian membasuh kakinya. Berjalan ke tempat sholat, lalu ia tunaikan sholat tahajjud, pada saat mata-mata manusia sedang terlelap begitu dalam. Kokok ayam berbunyi saut-sautan. Dan malam masih manampakkan aura gelapnya walau telah sampai pada pagi. Dalam suasana syahdu itu, ia hadirkan hatinya dengan khusuk. Lalu ia angkat tangan membentuk wadah seolah siap menerima hujan rahmat dari langit. Membeberkan semua harapan-harapan pada Sang Kuasa. Ia tuangkan pada do’a-doa yang ia panjatkan atas kegelisan-kegelisahan diiringi harapannya.
161
Belajar “Faala, yaf’ulu, fa’la, wa maf a’lan, fahuwa fa’ilun, wazhakamafulun, uful, La taful, mafalun, mifalun” Suara lalaran tasrif dari para anak-anak Plosorejo yang belajar agama di rumah Kyai terdengar kompak. Gema itu membuat nuansa yang menyenyanangkan. Ridho dengan fasih dan lancar, penuh percaya diri menyetorkan hafalannya kepada sang ustadz. Semangatnya begitu membara walau dirinya menemui zaman ketiadaan listrik pada Dusunnya. Dengan remang-remang lampu petromak, sebagai penerang lampu belajarnya ia tetap semangat mencari ma’na. Pelataran rumah Sang Kyai begitu jembar nan luas, cocok untuk bermain jingkrak-jikrakan tradisional. “Yo pro konco dolanan nang njobo. Padang mbulan padange koyo rino rembulane seng awe-awe ngele ake ojo podo turu sore” lagu anak-anak tempo dulu terdengar rancak. Purnama sedang hadir, menghiasi gelap malam langit. Pancaran cahaya bundar sempurnanya begitu terang, hingga membawa tubuh bocah kecil sepupu Kyai itu, bermain riang dengan kawankawannya. Kunang-kunang hilir mudik berterbangan. Ridho kecil bersama kawan sebayanya begitu antusian menangkapi kunang-kunang. Ia masukkan hewan menyala hasil tangkapannya itu ke pelepah papaya, ia ikat dan dimasukkan dalam plastik, lalu jadilah ia pedang yang menyala. Bersama kawannya ia ayunkan ke udara, dalam permainan yang mereka sebut pedang-pedangan. Selain si kunang yang tenang terbang ia ganggu, ada juga si jangkrik yang lagi asyik menjerit, ia tangkap.
Maddin sekaligus rumah Sang Kyai
162
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Permainan pada malam biasanya terlaksana setelah belajar agama di Maddin. Ba’da maghrib sampai jam setengah tujuh Darus Quran di masjid depan rumah Kyai, dilanjutkan pelajaran-pelajaran agama hingga jam delapan malam. Tidur di masjid, sudah menjadi hal yang biasa. Karena dengan bermalam di sana, ia bisa bercerita tentang banyak hal bersama kawan-kawannya. Suasana yang begitu menyenangkan bila dirasa. Tak perlu pergi jauh atau berekreasi ke suatu tempat, hanya untuk mencipta sebuah nuansa yang fresh. Tinggal datangi ke masjid, duduk bersama kawan sambil melambungkan khayal ke angkasa dengan berbagai kisah, maka suasana nyaman akan tercipta dengan sendirinya. Ridho begitu asik candanya. *** Saat Ramadhan tiba, tidur atau bermain bedug untuk membangunkan sahur menjadi hal yang sangat digandrungi kaula muda. Termasuk juga suasana malamnya. Ba’da tarawih terlaksana, mereka melanjutkan dengan darus Qur’an hingga jam sepuluhan lebih. Suasana begitu damai tentram dengan hadirnya banyak suara lantunan-lantunan kitab suci yang menggema. Mereka berlomba-lomba merauk telaga untuk bekal pada suatu hari yang mereka yakini kehadirannya. Usai darus, Ridho kongko bersama kawannya. Suara bising bocah-bocah itu terdengar menyenangkan. Mereka biasa membicarakan apa saja dengan kepolosan mereka masing-masing, sampai suatu hari mereka merencanakan hal jahil. Jam satu seharusnya mereka sudah tertidur pulas di masjid, namun hari itu mereka rela menahannya karena hendak menjalankan suatu misi rahasia. Mata kecil Ridho ngintip ke sela-sela pintu, adakah sang kyai berada di dekat pintu rumahnya? “Ra ono (tak ada),” ungkap Ridho, memberi kabar pada kawannya yang lain. Dengan antusias ia dan kawan-kawannya melakukan aksinya, beduk di jam satu malam. Dung-dung-dung, Suara bising menggema pada kesunyian. Mata-mata yang terlelap nyenyak mungkin akan tenganggu dengan riuhnya suara bedug anak-anak polos itu. Tak dinyana Sang Kyai telah berada di
163
samping pintu, seperti hadir dengan tiba-tiba. Derap suara kakinya tak terdengar karena hilang ditelan suara tabuhan bedug. Sontak tangan mereka seperti kaku, diam tak lagi berulah. Takut kalau-kalau Kyai marah. Namun keaktifan mereka yang bisa merugikan banyak orang itu tak lantas membuat kyai buru-buru marah. Beliau hanya memberi nasehat, dengan segala kesantunannya. “Wes lek do turu, ko ndak sahure do kerinan (ayo pada tidur. Nanti kalau sahurnya telat)” “Nggeh (ya),” Ucap mereka sambil merunduk dan segera beranjak pergi. Tentu saja nuansanya tetap hening dalam gelapnya awal pagi. Kesantunan dan kesabaran Kyai memang memberikan kesan yang mendalam di hati masyarakat. “Nasehatilah dengan baik dan penuh kasih sayang,” Ujar kyai suatu ketika. Berbagai nasehat memang sering ia ucapkan sebagai bentuk pengabdian dan pengamalan ilmu. “Ilmu tanpa di amalkan bagaikan pohon tanpa berbuah,” Ungkapnya.
1998, Listrik Masuk Desa. Dari masa ke masa, perubahan-perubahan pun terjadi, termasuk diantaranya, hadirnya listrik ke Desanya Panimbo, Dusun Plosorejo, Kecamatan Kedung jati, Kabupaten Grobogan. Betapa girangnya Ridho melihat lampu bisa menyala tanpa sentuhan api. Hingga ia dan kawan-kawannya bisa bermain dengan mengambil tasbih yang mutiara bundarnya ia dekatkan pada cahaya lampu hingga berpendar semburat cahaya yang menakjubkan mereka. Desa yang gelap menjelma menjadi terang. Tak perlu berpayah-payah menyalakan api dari jarak lagi untuk menghasilkan suasana benderang. Tak perlu menggunakan teplok untuk menyinari rumah, dan tak perlu menggunakan petromak untuk belajar.
Plan masuk Desa. Meski dalam hal penerangan, Desa mereka sudah cukup baik. Namun belum untuk hal-hal lain. Bau busuk masih begitu mengganggu hidung.Masyarakat masih memiliki kebiasaan buruk buang hajat 164
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
sembarangan.Orang tua berlaku keras terhadap anak, bisa juga berupa kekerasan psikis. Nikah muda. Kurangnya pengetahuan terhadap hak-hak anak. Kurangnya pendidikan, Kemarau jadi susah air. Yang mana bila mencari air terkadang harus berjalan cukup jauh. Budaya Jakarta telah merabah masuk ke Desa, menulari mereka tentang sebuah hubungan tanpa ikatan pernikahan yang seolah sah dengan nama yang kerap terdengar , yaitu pacaran. Hubungan di luar nikah itu yang menjamur di masyarakat, hingga timbul permasalahan baru, yaitu kekerasan di dalam pacaran.
Tahun 2003, Plan masuk Desa Panimbo, setelah beberapa tahun melakukan banyak survey. Ramadhan tiba, bulan suci iniselalu ditunggu-tunggu masyarakat Dusun Plosorejo termasuk sang Kyai. Melihat mayoritas penghuni yang ada beragama islam. Hari-hari Ramadhan adalah hal yang paling mengesankan dalam hidup Sang kyai. Kesadaran para manusia tiba-tiba terbangun, mereka berbondong-bondong ke masjid, shalat, juga bertadarus. Lalu diadakan pula sebuah acara berbuka puasa, bersama warga, dengan Kyai sebagai pemberi pencerahan dengan tausyahnya. Dalam kesempatan itu, Kyaii juga memperkenalkan sebuah organisasi Internasional yang akan masuk ke Desa Panimbo seraya Dusun Plosorejo. “Plan adalah Organisasi yang peduli pada anak. Tujuannya datang, ingin mendampingi anak. Terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan hal-hal terkait. Ia tak berpihak terhadap Ras, Suku, dan Agama” Kala itu, tak semua warga menanggapinya dengan baik dan langsung menerima kehadirannya. Yang sudah bisa menerima pun, belum sepenuhnya percaya. Masih ada ketakutan-ketakutan dalam diri sebagian orang karena Plan sendiri kurang dalam bersosialisasi terhadap warga. Hanya saja kemudian, para relawan Plan terjun memberikan penjelasan pada warga mengenai Visi Misinya sekaligus mendata anak-anak untuk diikutkan dalam program Sponsor Child (SC) atau anak dampingan Plan. Di situ, keluarga anak, masyarakatnya, lingkungannya, pendidikan dibina Plan untuk mewujudkan desa yang layak anak. Perlahan masyarakat mulai merelakan sang buah hatinya untuk bergabung dalam program tersebut. Seperti halnya Sang kyai, ia tak langsung percaya akan lembaga itu. Anggapan kristianisasi,
165
Foto anak orang tua asuh yang diberikannya kepada keluarga Kyai
Surat dari orang tua asuh kepada Anam
Muhammad Khairul Anam, putra dari Kyai
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
membawa anak-anak ke luar Negri tersemat dalam benaknya. Setelah berusaha mencari jawaban dengan bertanya pada pihak terkait, ia akhirnya paham betul apa tujuannya.Maka dengan berlapang dada terbentuk penerimaan padanya. Hingga beberapa tahun kemudian ia setuju anaknya ia ikutkan dalam program SC. Setiap setahun sekali, relawan Plan mengadakan pemantauan kegiatan, kemajuan, perubahan sikap, dan kemajuan pendidikan, masyarakat Panimbo. Memberikan lembaran-lembaran berisikan pertanyaan untuk diisi para SC. Khoirul Anam nama anak Sang Kyai yang telah tercatat dalam SC. Hingga hadiah-hadiah berupa tas, alat-alat belajar ia dapatkan. Dan tak menyangka sang orang tua asuh pun memberikan kabar padanya. Melalui surat yang telah diterjemahkan dari Plan untuknya. Sang orang tua bercerita akan musim gugur yang hadir di negaranya, sedang di dusun ini, yang ada hawa panas yang mencekam kulit-kulit hingga dapat merubah warnanya menjadi matang dan lebih gelap kala berjemur di bawah teriknya. Foto-foto orang tua asuh dan anak-anaknya diberikan kepada keluarga Kyai. Warna semburat jingga merona di wajah bocah-bocah kecil itu saat tengah asyik bermain di musim gugur. Daun-daun terlihat bertebaran di jalanan. Bila dibayangkan, mungkin dedaunan itu begitu indah saat jatuhnya. Menari-nari di angkasa hingga mendarat sempurna di lantainya. Senyum-senyum girang itu begitu tersemi di antara dedaunan yang berjatuhan. Tertanda dalam suratnya nama orang tua asuh yang begitu susah diucapkan, hingga angan Sang Kyaipun tak sampai untuk mengingat siapa namanya. Anam menulis surat sendiri untuk mereka yang berada di balik sebrang lautan, tertutupi salju. Dengan tangannya, ia menggores pada suatu lembaran, lalu tulisan itu diterjemahkan oleh Plan, dan dikirim kepada orang tua asuhnya. Tidak banyak, dalam menjalin komunikasi dengan mereka. Karena harus lewati proses berbelit baru akan tersampaikan. Lembaran dua atau tiga surat bersama foto itu masih tersimpan rapi di rumah Sang Kyai sebagai kenang-kenangan. *** Bantuan Plan begitu banyak mengalir untuk Desa sekaligus Dusun ini, juga pelatihan-pelatihan yang digelar Plan. Bantuan yang ada untuk masarakat bisa berupa Pah (penampungan air hujan), 167
melihat begitu susahnya untuk mendapat air pada saat kemarau, WC untuk upaya mengurangi kebiasaan buruk warga yang buang air sembarangan, sumur, kambing, dan lain sebagainya. Meski bantuan tersebut tidak dibagi rata karena harus menyesuakan kondisi keluarga tertentu. Berbagai pelatihan khusus juga diikuti oleh kyai. Tidak semua warga dapat mengikutinya, hanya orang-orang yang dipilih sajalah yang mendapat kesempatan. Karena setelah itu, ia punya tanggung jawab bersama relawan Plan dan pamong-pamong Desa untuk mengajarkan hasil didikan masa pelatihan, kepada masyarakat. Seperti pelatihan CLTS di Purwodadi Noroyono. Ia diajarkan bagaimana membuat kakus yang ramah untuk anak. Di rumahnya Kyai sudah ada jamban sejak dulu, yang sekaligus untuk masjid dekat rumahnya. Walau ada jamban sekalipun, tetap saja sia-sia kalau masyarakat masih buang air kecil dan besar sembarangan. Karena ketika kotoran itu berada pada sembarang tempat, kemudian dihinggapi hewanhewan kecil, lalu ia terbang menuju makanan orang-orang, hingga hal itu menjadi salah satu sumber penyakit juga. Bersama relawan Plan dan kawan lain, para warga diajak berkumpul membahas hal ini. Tentang dampak kurang baiknya dari segi kesehatan, juga kebersihan. Lalu secara serempak membangun WC yang sederhana yaitu WC cemplung. Dewasa ini 80 % persenan warga telah memiliki jamban sendiri, dan memiliki kesadaran untuk tidak buang hajat sembarangan, menyadari dampak negatifnya bagi kesehatan, meski masih ada segelintir orang yang masih numpang ke kamar mandi tetangga. “Dideklarasikan pada tahun 2005 atau 2004, Desa Panimbo tidak buang hajat sembagarangan lagi,” Ucap Kyai Pada tamu yang mendengarkan dengan takzdim. “Memang dulu ada sedikit kekerasan dalam mendidik anak.Memang tak hanya kekerasan dalam fisik, tapi juga berupa psikis dengan menggunakan ucapan yang kasar atau kurang baik. Setelah mengikuti pelatihan Plan tentang hak-hak anak , kini jadi mengerti bahawa kekerasan juga bisa berupa kata-kata”. Ujar sang kyai. Dari situ pula terbentuk kesadaran akan ajaran agama. Bahwa hal-hal yang diajarkan tentang mendidik anak ternyata dalam agama pun juga ada. Hanya saja kurang peka dan kesadaran.
168
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
“Nasehatilah dengan baik dan penuh kasih saying,” Kutipannya Kyai yang mengambil kata-kata pada suatu pembelajaran dalam agama. *** Hari-berganti ,waktu terus saja berjalan. Tapi suara-suara bocah-bocah kecil itu terlalu bisu tuk didengar. Tiada lagi yang berlarian. Tiada lagi yang mengayuh sepeda untuk sampai di pelataran ini lalu dengan buku putihnya ia catati banyak makna. Setiap hari, yang ada para pemuda-pemuda asik bermain dengan permainan baru di Desa. Karambol, PS-an atau mengendarai motor miliknya. Hingga kurangnya rasa butuh dalam diri para pemuda untuk belajar agama. Begitu pula dengan para bocah-bocah. kala mencari sebab kejadian, akan memberi banyak sintesa-sintesa. “Mungkin kesibukan para guru yang banyak pekerjaan, hingga sering kali tak ada untuk mengajar, membuat bocah-bocah pergi meninggalkan Maddin atas ketiadaannya,” Ucapnya hanya menduga. Dan dugaan lain, sang guru telah datang, hanya saja kelas sepi. Peran orang tua dalam hal ini sangat lah penting. Mungkin kurangnya kepedulian mereka terhadap anaknya untuk belajar juga dapat menjadi sebab atas akibat yang terjadi. Sang Kyai terus mengingatkan dan terus mengingatkan. Kala malam Jumat, rutinan yasinan di rumah-rumah warga, ia ingatkan. Para pemuda-pemuda dusun juga ia ingatkan. Seminggu berlalu, Maddin kosong. Dua bulan berlalu, Maddin sepi dari suara bocah yang ingin belajar Tiga bulan, pelatara tak terdengar derap suara. Satu atau dua tahun telah berlalu, dengan kekosongan Maddin, tiada bocah yang menatap papan tulis untuk belajar. Sang generasi penerus yang di tunggu saat dalam buaian belajar, begitu tampil walau tidak semuanya. Termasuk Ridho, keponakan Kyai salah satunya, sebagai seorang yang sudah berpengalaman belajar agama bersamanya dan sesepuh lainnya, sekaligus menjabat ketua Karang taruna (kelompok pemuda) sedesa. Bahkan di dusunnya sendiri pun juga memiliki kelompok pemuda Karang Taruna,
169
dengan Doni kawannya sebagai ketua. Para pemuda Karang taruna Dusun, mulai merasakan keprihatinan yang begitu sangat. Melihat ironi yang terjadi pada Dusunnya. Kemerosotan belajar agama. Dimana dalam ajaran itu tatakrama ditata, bersosial diajarkan, akhlak dibangun hingga pendidikan moral terbentuk dengan sendirinya dalam diri mereka dan masih banyak lagi pembelajaran-pembelajaran yang penting. Ridho kecil kini telah dewasa. Bertubuh tinggi dan berbadan kekar. Kulitnya begitu kental berwarna sawo matang. Wajahnya terpahat banyak ketegaran dan kekuatan. Hingga ia bersama Karang Taruna, berupaya untuk menghidupi kembali Maddin. Tentu respon Sang Kyai begitu gembira, karena kesadaran para pemuda tumbuh mengakar dalam sanubarinya. Ridho yang dulu tak terlalu cakap berbicara di hadapan orang-orang, lantas ia turut ikut menjadi relawan Plan. Berbagai pelatihan ia ikuti, latihan usul, mengisi pelatihan seperti halnya kekerasan dalam pacaran. Banyak berbicara dengan orang baru,dan berdiskusi mencetak dirinya untuk fasih dalam berbicara di depan banyak orang.
Akhir 2013 Pada suatu malam. Karang taruna mengadakan kumpul bersama guna membahas keperihatinan mereka. Bilamana ada yang tidak berangkat, maka ia kan di jemput di rumahnya, atau dicari. Guna membahas Maddin yang sudah cukup lama vakum dengan harapan akan bengkit kembali. Lalu mereka menggerakkan para orang tua yang sangat berperan penting terhadap anak-anak mereka. Orang tua digerakkan agar lantas ia menggerakkan anaknya untuk kembali belajar ke Maddin. Acara-acara rutinan dusun dimasuki, dituangkan pada fikiran-fikiran orang tua penjelasanpenjelasan mengenai hal itu. Dalam diri mereka pun tersentuh. Ternyata masih ada keinginan dari mereka untuk agama, hanya saja untuk yang lalu, kepedulian akan hal itu sangat surut. Yasinan para ibu, dimasuki. Ridho mulai angkat bicara tetang menghidupi Maddin kembali. Dan dirasa Maddin tiada pemasukan, dalam yasinan itu pula ia sampaikan bahwa butuh dana untuk menghidupi dan menjaga Maddin agar tetap berjalan. “Buk, anak’ e jajan sedino peng piro? Entek piro?.Dak tuku mie ayam tek piro,” Tanyanya untuk
170
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
memancing suara para warga. Ada yang dua ribu ada yang lima ribu, mereka angkat bicara sambil menonjolkan berapa banyaknya. Betapa riuhnya suara ibu-ibu, membanggakan dirinya. Permulaan baik untuk mereka tersudut atas kata mereka sendiri. “Bagaimana bisa, kita rela membeli mie ayam. Sekali beli langsung keluar uang berapa ribu atau membeli bakso atau yang lain. Namun mengapa kita untuk agama saja kita tak memberi perhatian” Para ibu-ibu mendegarkan dengan saksama. “Senang sekali bisa mendengar para ibu-ibu bersholawat dan asmaul khusnaan. Namun bagaimana nanti dengan anak-anak kita?” Ucap Ridho melihat realita yang ada, hingga membuat bungkam rapat bibir-bibir para ibu. Mereka mulai berfikir dan menyadari setiap bait-bait kata yang Ridho sampaikan. “Iya, ee…. Anak saya kalau di suruh ngaji pada nggak mau” Ungkap salah seorang wanita yang perihatin pada anaknya. Dan untuk Maddin, tetap membutuhkan anggaran, setidaknya untuk memberi kapur atau hal-hal lain dalam proses belajar mengajar. “Untuk membeli mie ayam saja kita mudah mengeluarkan uang, bagaimana dengan Maddin ini. Hanya lima ribu rupiah saja, sebagai syahriah perbulan”. Ujar Ridho. Uang yang ada bukan untuk kepentingan diri semata, tapi untuk kepentingan bersama. “Uang itu untuk keperluan bocah-bocah belajar, apa itu berat daripada membeli mie ayam yang sekali beli langsung habis,” Ucap Ridho dengan ketulusan. Akhirnya mereka setuju untuk memberi iuran perbulan bersamaan menghidupi Maddin kembali. Tanpa bantuan pemerintah, dengan merintis bersama para warga, dukungan para warga maka Maddin kembali hidup. Selebaran-selebaran tentang adanya Maddin, tujuan Maddin dan pelajaran-pelajaran yang diadakan dibuat lalu disebarkan. Tertera syahriah dalam lembaran pamflet itu dengan dikenai hanya sebesar lima ribu rupiah perbulan. Tak hanya disebar di dusun sendiri, melainkan juga di dusun lain . Seperti halnya dusun Beran yang masih satu Desa dengan Plosorejo.
171
Dalam diri Ridho yang telah dewasa termaktuk harapan dimana setidaknya orang-orang di Dusun ini tau tentang agama, setidaknya bisa sholat, dan menghargai orang tua. *** Sebentar lagi Plan tutup usia untuk desa ini dan akan berganti ke Desa lain. “Bila mencari kekurangan, tentu ada, bila mencari kekecewaan untuk apa? Toh adanya ia, begitu membawa banyak perubahan tuk Desa ini.” Demikian komentarnya. “Ya, disyukuri adanya Plan,” kata Kyai “Ia bangunkan TK untuk Desa panimbo, ia beri pelatihan-pelatihan sebagai bekal untuk membentuk perekonomian, ia bangunkan warga tentang banyak kesadaran, ia tata itu semua tanpa mendapat imbalan dari warga. Plan juga banyak memberi sumbangan dalam acara-acara yang digelar seperti halnya tujuh belasan. Namun dalam hatinya tergelitik mengenai beberapa pelatihan yang menjurus pada kemampuan, seperti halnya pelatihan jahit, sablon, membuat roti, dan semacamnya yang berkaitan dengan ketrampilan yang diadakan Plan. Mengapa saat pelatihan selesai, kebanyakan masyrakat tidak meneruskannya? Hal itu sangat disayangkan. Terlebih banyak sekali peralatan yang Plan berikan untuk mereka. Lebih lagi, pelatihan-pelatihan dari Plan yang begitu banyaknya, sebagian mereka lewat begitu saja.Padahal pelajaran-pelajaran seperti itu jauh lebih penting untuk mereka karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan mereka. “Yang berjalan baik adalah fasilitas seperti halnya membuat sumur, jamban, dan PAH, namun, untuk pelatihan-pelatihan, atau acara pesantren kilat, setelah selesai maka selesai pula mereka, tidak ada keberlanjutan,”Ungkap Sang Kyai. Meski demikian, tetap saja bagi Kyai kehadiran Plan membawa dampak baik bagi masyarakat. Ia berharap ketika Plan telah menutup buku di desanya, masyarakat tetap bisa berdiri sendiri tanpa bergantung. Plan baginya adalah sekumpulan orang yang punya kepedulian dan memberi banyak kesadaran. Tetapi ia berharap, segala kebaikan Plan tidak lantas menjadikan masyarakat terlena dan justru memiliki mental berpangku tangan menunggu ulur orang lain. Ia berharap masyarakat bisa lebih mandiri sebagai hasil dari usaha perbaikan yang dilakukan lembaga yang peduli kepentingan sosial ini. 172
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Terkesan Purwodadi dalam rangka pelatihan khotbah. Para Kyai diikutkan dalam pelatihan ini. Termasuk Sang Kyai. Banyak sekali pembelajaran yang didapat oleh Sang Kyai berupa pengetahuan-pengetahuan baru, bagimana cara berkhotbah pada masa kini, bermusyawaroh bersama. Kyai mengatakan suatu tentang kata mutiara yang semula ia aggap hadist saat bermusyawaroh. “Ilmu tanpa di amalkan bagaikan pohon tanpa berbuah,” Ternyata kata itu bukanlah hadist, melainkan sebuah kata mutiara karena tiada bukti sama sekali melalui sanad-sanad yang menunjukkan bahwa itu adalah hadist. Dari banyak pelatihan yang ditempuh, adalah pelatihan khotbah ini yang dirasanya paling berkesan dalam dirinya, dari berbagai pelatihan yang diadakan oleh Plan. Meski yang lainnya pun juga sangat bermanfaat. “Jadi tahu tahu yang semulanya tidak tahu” Ungkapnya saat ditanya tentang perubahan yang ia alami. *** Nur Khumaidah anak perempuan Kyai sedang tidak berada di rumah. Ia pergi ke Cirebon untuk bekerja di PT Ganindo sebagai seorang sales. Semula ingin meneruskan sekolah, hanya saja keadaan yang tak mumpuni untuk melakukan hal itu, maka ia putuskan untuk bekerja. Hari ini Anam sedang tiada di rumah. Nama dengan kelengkapan Muhammad Khoirul Anam yang telah tergores pada lembaran akte kelahirannya. karena baru saja ia ujian SMP, dan libur untuk beberapa hari, maka ia gunakan waktunya untuk bermain bersama kawan-kawan sebayanya. Setelah begitu banyak mengulas masa lalu, beriringan waktu yang berjalan semakin sore, bocahbocah kecil berdatangan untuk belajar agama. Sepertinya tempat duduk yang ku duduki ini akan segera mereka duduki. Mereka masuk rumah kyai Sutimen lalu meletakkan buku dan tasnya. Gemericik suara itu begitu terdengar bising. Namun rasanya begitu merdu di telinga. Adanya mereka memberi sebuah harapan akan adanya penerus. Hingga suara kumandang adzan bocah kecil terdengar, cerita Sang Kyai ditutup.
173
Pasang surut semangat pasti ada, namanya juga hidup. Adanya manis, pahit, asin, kecut adalah untuk saling melengkapi. Maka langkahku kuputuskan untuk beranjak dari tempat duduk yang akan ramai oleh bocah-bocah. Meninggalkan pamit kepada sang Kyai karena sore begitu cepat datang. Sepertinya Matahari sudah letih untuk memberi sengatan tajamnya. Senyumnya memberikan ijin jalanku untuk pergi, lalu ia menggayuh ambil wudhu, untuk segera menunaikan sholat ashar di masjid bersama bocah-bocah kecil itu. Walau tak seramai dulu pastinya, tetap kan disyukuri karena masih ada yang mau belajar. Banyak sejarah kehidupan di sini. Dusun yang bersembunyi di sela-sela pepohonan jati dan pohonpohon pisang yang tegap berdiri dengan buahnya. “Berjuang dunia dan akhirat,” adalah motivasi hidup Sang kyai Kini matahari sore dan rembulan malam, dapat menerangi kembali bocah-bocah yang ramai di pelataran ini.
174
Suasana anak-anak berdatangan untuk belajar agama
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
TETAP SEMANGAT MESKI DIPANDANG SEBELAH MATA Oleh: Yunia Rahma Hendisha
C
ahaya matahari di sini, nyaris selalu terasa terik.Meski angin sesekali berhembus pelan,hawa panas masih saja melingkupi Desa Panimbo. Desa yang terletak di Kab. Grobogan, Jawa Tengah ini memang selalu diliputi udara panas. Karenanya hampir seluruh rumah penduduk memiliki kipas angin yang siap pakai.
Pohon-pohon rindang tampak masih menghiasi pinggiran jalan setapak yang menjadi sarana penghubung desa.Namun jangan heran jika melihat kondisi jalanan di sini. Sebagian masih berupa batubatu yang ditata, sedang yang lain sudah dicor. Masalah jalan memang menjadi masalah yang paling memprihatinkan.Karena sulitnya akses keluar-masuk desa, beberapa perkembangan ekonomi menjadi terhambat. Jika ingin belanja dalam jumlah besar, warga harus berbelanja di Kota Salatiga, Kedung Jati, atau di Karang Langu.Tentunya ini memakan waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak juga.Sempat ada pasar di desa Panimbo, namun saat ini sudah mati karena tidak adanya penjual dan pemasok barang yang masuk ke desa.
177
Pemandangan dan salah satu jalan di Panimbo
Hal yang sama terjadi dengan pelayanan kesehatan. Ibu-ibu hamil yang ingin cek kandungan harus menempuh jarak menuju Kedung Jati atau bahkan ke Salatiga. Meski ada dua bidan desa, beberapa prasarana kesehatan masih belum tersedia.Untungnya, 6 Mei lalu, wakil Bupati Grobogan sudah meresmikan Pos Kesehatan Desa di Panimbo. Sayangnya, pos kesehatan ini bukan berasal dari pemerintah melainkan bantuan dari salah satu yayasan kemanusiaan. Pembangunan pos kesehatan ini mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat.Pos kesehatan ini memang sudah lama diidam-idamkan warga. Jika ada warga yang sakit, tentu tidak perlu pergi ke kota lain atau ke kecamatan. Dan tidak ada lagi cerita bayi yang lahir di tengah perjalanan. Meski panas begitu menyengat, jalanan desa Panimbo tetap ramai. Beberapa motor tampak bersliweran. Rata-rata pengendaranya usia remaja. Di sudut-sudut halaman rumah warga, ibu-ibu sedang berkumpul.Agaknya cuaca panas tak menghalangi keinginan para ibu untuk saling berbincang. Ada yang sedang menguliti kedelai, ada juga yang baru pulang dari ladang sambil membawa jagung. Hampir sebagian warga Panimbo menanam kedelai, jagung dan pisang. Bukan tanpa alasan, karena daerah Panimbo sering mengalami kekeringan sehingga sulit ditanami padi. Jika musim kemarau datang, bahkan jagung yang belum matang terkadang sudah harus dipanen.
178
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Itu pula yang terjadi beberapa hari terakhir ini. Sumur-sumur mulai kekeringan karena hujan yang berhenti turun. Penampungan Air Hujan (PAH) milik warga juga sudah mulai habis. Padahal di beberapa tempat lain, curah hujan masih tinggi. Dulu, karena sulitnya mendapat air jika musim kemarau, Plan memberikan pelatihan dan bantuan berupa PAH. Kini hampir setiap rumah di Panimbo memiliki PAH untuk menyimpan air, meski tidak selalu mencukupi kebutuhan air, namun setidaknya cukup membantu. Plan adalah sebuah Non Government Organisation (NGO) yang berfokus pada masalah-masalah anak. Selain itu, Plan juga mencakup segala aspek yang berhubungan dengan anak, mulai dari lingkungan, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Sasaran Plan biasanya adalah negara-negara berkembang dengan bantuan sponsor dari negara maju. Plan tidak hanya memperhatikan masalah kesehatan dan transportasi, tetapi juga pendidikan. Di desa Panimbo, hanya ada dua Sekolah Dasar, dan satu Sekolah Menengah Pertama. Karena tidak adanya Sekolah Menengah Atas, remaja yang ingin melanjutkan sekolah harus pergi ke daerah lain, seperti ke Beringin atau ke Wonosegoro. Ditambah akses jalan yang semakin sulit jika hujan, tentu saja menambah kesulitan untuk berangkat sekolah. Kondisinya serba sulit, tapi sepertinya hal itu tidak menyurutkan semangat remaja-remaja untuk belajar.Salah satunya adalah Tri Ardiyanti, akrab dipanggil Ar. Putri bungsu dari tiga bersaudara ini bersekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Wonosegoro. “Jenenge wong niat yo tetep mangkat. Kadang nganti tak rewangi tibo-tibo” katanya ringan. Pengalaman paling tidak terlupakan yang dialami Ar adalah ketika dia tetap berangkat ke sekolah dengan lecet-lecet di tubuh padahal perjalanan ke sekolahnya masih sangat jauh. Sampai di sekolah, karena ia telat datang, ia bahkan hampir dihukum. Namun setelah gurunya tahu jika ia sempat jatuh, ia langsung dirawat di Unit Kesehatan Sekolah. “Aku paling iling kuwi dino Jumat. Pengalaman yang tidak terlupakan seumur hidup” Ujarnya bersemangat. Ar bahkan sangat bersyukur dengan kondisi jalan di Panimbo yang semakin membaik. Dulu, jalanan itu berupa tanah yang akan semakin sulit dilewati jika hujan turun. Apalagi jika ada kegiatan sampai malam di sekolah, tentu saja akan menambah kesulitannya. Karena belum ada penerangan di jalan, dan beberapa daerah masih berbentuk hutan dan ladang. 179
Bantuan Penampungan Air Hujan (PAH) untuk keluarga Pak Martin
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah tidak adanya water closet atau sering dicebut WC. Dulunya warga Panimbo jika ingin buang air besar atau kecil akan pergi ke sungai. Kebiasaan ini sudah lama berhenti, sejak diadakan pelatihan pembuatan kloset di Panimbo. Namun tetap ada satu dua keluarga yang buang air di sungai. Plan mulai masuk Panimbo sejak tahun 2004. Dengan program sponsored childnya, Plan banyak membantu anak-anak di Panimbo. Salah satu satunya adalah Ar. Remaja yang menginjak usia 17 tahun ini, masih duduk di kelas 3 SMA, dan baru saja menempuh ujian akhir terdaftar sebagai SC sejak tahun 2004.
Kondisi kamar mandi di rumah Ar
Plan, menurut Ardiyanti adalah organisasi yang membantu orang-orang kurang mampu di desa terpencil. Awalnya, Ar mendapat undangan dari para kader Plan. Saat itu, Mas Nugi yang bertugas sebagai CTA di Panimbo. Anak-anak yang mendapat undangan dikumpulkan, dan diberi hadiah. Ada banyak hadiah yang diberikan Plan, mulai dari buku-buku, tas dan beberapa kebutuhan lainnya. Sebelumnya, anak-anak ini sudah didata, dan hanya anak dari keluarga kurang mampu yang masuk data Plan. Karena itu, tidak semua anak di desa Panimbo menjadi sponsored child atau anak didik Plan. Meski terdaftar sebagai sponsored child (SC), Ar mengaku tak pernah tahu siapa orang tua
Kondisi rumah pak Martin
asuhnya. Meski banyak hadiah yang diberikan Plan, tidak pernah ada keterangan soal hubungan dengan orang tua asuh. Namun memang ada beberapa SC yang mendapat surat dari orang tua asuh mereka, dan juga berkirim surat dengan orang tua asuh tapi jumlahnya hanya beberapa. Ar sendiri mengaku tetap senang meski tidak pernah tahu siapa orang tua asuhnya. Keluarga Ar, hampir sama dengan keluarga-keluarga lain di Panimbo. Mata pencaharian orang tua Ar adalah pertanian dan berternak kambing. Jika musim hujan datang, biasanya ladang mereka ditanami padi. Namun jika hujan mulai berhenti turun, jagung atau keledai biasanya menjadi pilihan. Pagi hari, biasanya Pak Martin beserta istrinya sibuk di ladang. Siang hari, biasanya mereka sudah bersantai di rumah. Beban Pak Martin memang tinggal putri bungsunya saja. Kedua anak lelakinya sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Salah satu anaknya, Romadon juga aktif di Plan dan menjadi relawan untuk desa Panimbo. Tak hanya memberi bantuan dalam bentuk fisik, Plan juga sering memberi bantuan non fisik dalam bentuk pelatihan, mulai dari pelatihan pembuatan mi, pelatihan sablon, pelatihan perlindungan anak dan lain-lain.namun Ar jarang mengikuti pelatihan-pelatihan tersebut. Hal ini dikarenakan saat itu masih kecil sehingga kadang diwakilkan oleh kakak atau orang tuanya.Hal yang wajar, karena Ar adalah satu-satunya anak perempuan bahkan anak yang termuda. Ar hanya pernah mengikuti pelatihan tentang Kekerasan Dalam Pacaran dan juga acara-acara yang sering diadakan Plan seperti peringatan isra’ mi’raj, pencarian minat dan bakat anak, dan beberapa acara lain. 182
“Perubahan Bermakna Itu Nyata...”
Meski ada banyak kegiatan dan pelatihan yang sempat diikuti Ar, namun menurutnya yang paling berkesan adalah pesantren kilat.Meski hanya diadakan beberapa hari, justru baginya kegiatan tersebut sangat bermanfaat. Karena lewat pesantren kilat, ia mendapat pengetahuan lebih tentang agama dan ketenangan rohani. Pesantren kilat adalah salah satu kegiatan rutin yang diadakan Plan, meski hanya sekali dalam setahun. Namun yang paling berkesan di hatinya, Pesantren kilat membuat bisa berkumpul dengan temantemannya satu desa. “Kegiatan seng paling berkesan ki yo seng bareng-bareng sak deso” ujarnya. Tak Cuma pesantren kilat, ia juga sangat senang dengan event anak. Alasannya sama, ia suka saat berkumpul dengan teman-temannya. Jika ia biasa berkumpul hanya dengan teman satu dusun, di event anak atau pesantren kilat, ia bisa bertemu hampir semua anak desanya. “Mbiyen seng paling sering yo event anak.Kumpul kabeh cah deso.”Tambahnya lagi. Jika kita pernah mendengar tentang KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menjadi fokus beberapa lembaga kepedulian, maka uniknya di desa Panimbo pernah diadakan pelatihan tentang Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).Pelatihan ini didasari karena banyaknya perempuan yang menjadi korban, entah secara sadar ataupun tidak sadar. Beberapa peserta pelatihan berasal dari desa Panimbo sendiri, dan salah satunya adalah Ar. Meski baru diadakakan satu kali, ia mengaku mendapat beberapa pengetahuan baru tentang pacaran. Salah satunya adalah ia mulai paham tentang kekerasan-kekerasan yang secara tidak sadar terjadi. Kekerasan sendiri, menurut Ar, dimulai ketika salah satu orang mulai merasa tertekan dengan hubungan tersebut. Salah satunya ketika pasangan kita melarang kita untuk berteman dengan orang lain, tentu itu bisa dianggap kekerasan. Namun, jika kita merasa ikhlas-ikhlas saja atau istilahnya nrimo, menurut Ar itu bukan termasuk dalam kekerasan. Namun pendapat Ar langsung dibantah oleh Romadon.Romadon sendiri adalah kakak dari Ar, juga salah satu relawan Plan di desa Panimbo dan sempat mengikuti pelatihan tentang KDP di Jogja. Menurutnya, jika terjadi hubungan seksual meskipun atas dasar suka sama suka, itu tetaplah kekerasan. Karena tidak seharusnya dilakukan saat masih berpacaran.Karena dari itu, tetap penting untuk memilah,
183
mana hal yang boleh dilakukan dan mana hal yang dianggap kekerasan. Menurut Ar lagi, kekerasan psikis hanya masing-masing pribadi yang bisa menentukan.Karena tidak ada yang tahu bagaimana batas kekerasan setiap pribadi.Karena itu kita harus cerdas untuk tahu batas-batasnya. Pelatihan KDP di desa Panimbo sendiri diisi oleh Ridho, Santoso, dan satu orang relawan lagi. Kader-kader ini sebelumnya sudah mendapatkan pelatihan, dan harapannya peserta pelatihan ini dapat menyebarkan informasi ini kepada teman, atau masyarakat sekitar.Sehingga informasi ini terus tersebar dan bisa bermanfaat untuk masyarakat luas. Ar mengaku senang dengan adanya Plan.Salah satu perubahan yang disadari Ar adalah pola pikir anak-anak yang mulai berubah.Anak-anak mulai memahami hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, hal-hal yang seharusnya tidak dilanggar dan beberapa pengetahuan tentang anak lainnya. Salah satu manfaat yang dirasakannya adalah remaja-remaja Panimbo sering berkumpul dan aktif berorganisasi sejak adanyaPlan.Karena wilayahnya yang sangat luas, tentu sulit untuk saling mengobrol atau berteman akrab dengan tetangga dusun yang letaknya agak jauh.Dengan seringnya kegiatankegiatan yang diadakan Plan, secara tidak sadar mempererat persaudaraan di antara remaja Panimbo. Sayangnya, beberapa waktu terakhir kegiatan-kegiatan itu sudah jarang dilakukan. Organisasi remaja masjid di dusun Beran, yang juga diikuti oleh Ar, sempat mendapat bantuan kambing.Bahkan, kambing-kambing ini sempat memberikan keuntungan.Oraganisasi ini sempat sangat aktif, bahkan sering mengadakan acara-acara di dusun. Ditambah adanya Plan, kegiatan-kegiatannya menjadi semakin mudah karena Plan biasanya membantu menutupi kekurangan dana atau kekurangan yang lain. Namun seiring berjalannya waktu, perkumpulan pemuda-pemudi ini mulai tidak aktif. Beberapa anggotanya memutuskan berhenti karena sudah menikah, mulai berkerja di kota dan alasan-alasan lain. Sedangkan regenerasi belum bisa dilakukan karena anak-anak kecil belum belajar berorganisasi. Yang ditakutkan adalah organisasi ini malah rusak jika diganti pengurusnya.Saat ini, organisasi ini aktif setahun sekali yaitu setiap idul fitri.Karena saat lebaran, hampir seluruh lapisan masyarakat berkumpul di desa. Ar bahkan mengaku tidak banyak ingat soal kegiatan Plan.terlalu banyak kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan Plan di Panimbo. Kegiatan yang paling sering adalah pembagian hadiah berupa kebutuhan
184
Ar dan teman-temannya saat kumpul remaja
sekolah.Sesekali ada kegiatan tentang pelatihan untuk anak-anak, guru dan lain-lain.Ada juga bantuan berupa PAH, Kambing, dan WC.Biasanya satu rumah tangga, mendapat satu jenis bantuan.Meski begitu, kondisi di setiap dusun tetap berbeda. Plan yang berkiprah hampir 10 tahun itu telah menjadi bagian dari masyarakat Panimbo. Menurut Ar, bantuan Plan sangat membantu masyarakat terutama dengan bantuan untuk anak-anaknya. Karena akses yang sulit, harga beberapa barang juga bertambah mahal.Untuk keluarga yang kurang mampu, tentu hal ini sangat memberatkan.Dalam hal ini Plan sangat membantu. Ketergantungan pasti ada, itulah yang Ar lihat dari masyarakat.Meski begitu, bekal yang diberikan Plan sudah cukup banyak, sehingga warga Panimbo pasti bisa terus berkembang. Sebenarnya, kekuatan yang kurang dari Panimbo adalah muda mudinya. “Wong tuo kan wes kesel golek duit, wes dak mikir deso meneh. Kudune yo seng enom, seng bangun deso. Tapi wes kerjo kabeh, meh piye?” Ar sering bermimpi untuk membuat desanya maju.Ia sering mendapat ejekan soal desa Panimbo yang katanya tidak nampak di peta. Ia ingin ada sesuatu yang “wah” yang dikenal dari desanya. Tidak hanya soal jalanan yang jelek atau fasilitas desanya yang tertinggal.Ia ingin masyarakat mengenal Panimbo dengan hal-hal yang baik. Salah satu impiannya adalah internet untuk Desa Panimbo.Dengan adanya internet, banyak ilmu dan informasi yang bisa dengan cepat sampai di desa. Namun Ar sudah banyak bersyukur dengan keadaan desa yang sudah berkembang. Meski belum sebanding dengan daerah lain, tapi sedikit demi sedikit Panimbo mulai membaik. Yang terpenting semangat belajar dan memajukan desa itu selalu ada.”Ya, tetap semangat meski kita dipandang sebelah mata!”
186
Salah satu photo kenangan Ar dalam kegiatan yang diadakan Plan
PENUTUP
Profil Singkat Para Penulis dan Ilustrator 1. Theofani Zahra, 17 tahun Sejak terlahir dan sampai saat ini masih menetap di desa Kalibening, kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Warga belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah setara 2 SMA. Masuk di kelas Oryza Sativa dan bergelut di forum penulisan bernama Freedom Writer. Sebagai penikmat seni dan tertarik terjun di dunia sastra. Baginya menulis menjadi pekerjaan yang paling nyaman untuk berbagi hal yang ada dalam diri dan sekelilingnya. Selain dunia kepenulisan, gadis ini juga aktif dalam berbagai kelompok seni seperti teater, film, musik perkusi, seni bela diri, dan hobbi dalam dunia pertanian. Baginya, “Hidup itu perencanaan, mengerjakan dan mencintai prosesnya.” 2. Hana Rukhul Qisthi, 16 tahun Lahir di Salatiga 26 September 1997. Kelas Oryza Sativa Qaryah Thayyibah (Setara 2 SMA). Minat di bidang menulis, teater, gambar, desain photoshop, perkusi. Aku suka menulis karena aku bisa mengungkapkan apa yang terjadi dalam diriku, lingkunganku , apa yang kulihat, kudengar, kurasakan, kuresahkan dan mencari solusi, atau hanya sekedar mengungkapkannya agar lebih memahami yang terjadi. Karya-karya yang pernah kubuat adalah kumpulan cerpen, puisi, naskah teater, gambar realis dan cartoon. Moto hidupku, bermanfaat bagi orang lain meski hanya kecil. 3. Rizqi Fi’ismatillah, 17 tahun Di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah bergabung dengan kelas Oryza Sativa (setara 2 SMA). Anggota forum teater, menulis dan mengambar. Berminat mempelajari semua hal yang berkaitan fashion degsin. Bagi remaja kelahiran Salatiga ini melakukan hal yang menantang adalah hal yang menyenangkan. Impian besarnya adalah melahirkan karya besar yang nantinya dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. 4. Yunia Rahma Hendisha, 16 tahun Lahir di Bengkulu, 18 Juni 1998. Saat ini tergabung di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah dan berada di kelas Oryza Sativa (2 SMA). Tergabung di redaktur bulletin sekolah dan forum menulis yang bernama Freedom Writers. Memiliki minat di bidang tulis-menulis, translate komik, dan psikologi. Hobinya membaca buku, menikamati seni, dan mendengarkan musik.
5. Sangkan Nacah Mamangi, 17 tahun Lahir di Bantul, Yogyakarta. Saat ini berada di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, di kelas Electro KardioGraft (EKG), yang setara dengan kelas 3 SMA. Sejak kecil, mendalami bidang seni rupa lukis. dan semenjak SMP, ia mulai menekuni bidang komik/manga, serta drawing. Saat ini ia tengah membuat komik manga series dengan nuansa Jawa, yang berjudul Citrapatha. Ia juga memiliki minat yang lain seperti membuat handycraft, dan psikologi. Hobinya menggambar, membuat handycraft, dan mendengarkan musik. 6. Nur Rosyid, 22 tahun Laki-laki kelahiran Boyolali 1992 ini, tengah berjuang menyelesaikan studi Antropologi UGM Yogyakarta. Sekarang tinggal di Jalan Magelang KM 5,5 No. 422B, Kutu Tegal, Sinduadi, Mlati. Sebagai mahasiswa antropologi, kerja lapangan sangat disukainya. Pernah melakukan penelitian di berbagai daerah, antara lain: Pekalongan, Pemalang, Sanggau (Kalimantan Barat), Manggarai Barat, Alor (NTT). Mempuyai minat pada kajian pendidikan, ekologi, performance, pembangunan, studi dataran tinggi, dan Sensory Studies. Email:
[email protected] dan HP: 085743343295. 7. Pindho Adhiyaksa, 23 tahun Saya lahir di Yogyakarta. Tahun ini saya baru saja lulus program sarjana Jurusan Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Antropologi Budaya telah banyak mengajari bagaimana melihat dan memaknai dunia dan manusianya. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Plan Internasional Program Unit Grobogan. Dalam kegiatan itu saya harus tinggal di dua desa di wilayah Kecamatan Kedungjat, Grobogan. Masing-masing selama dua minggu. Kedua desa itu adalah Prigi dan Ngombak. Dua desa dengan karakter yang berbeda, yang telah memberikan kesan serta pengalaman uniknya masing-masing. Penduduk desa yang ramah serta keluarga-keluarga informan yang hangat, akan selalu saya kenang. Semoga semangat dan harapan kalian untuk terus maju ke depan akan menuai hasil baik secepatnya. Ucapan terimakasih saya sampaikan khusus pada seluruh jajaran staf Plan cabang Grobogan, terutama Mas Djuneidi yang juga senior saya di Antro. Terimakasih juga untuk keluarga Pak Mur dan keluarga Pak Kabul di Prigi, serta kepada keluarga Pak Mahfud, keluarga Dita, dan spesial pada keluarga Mbak Inayati di Ngombak. Sampai bertemu lagi dikemudian hari. (Pindho Adiyaksa, 11 Juni 2014)
EPILOG BAGIAN 1: Kata Penutup Dinamika global dalam gerakan kemanusiaan menuntut perubahan untuk penyesuaian dari lembaga dan organisasi kemanusiaan, termasuk Plan International dan Plan Indonesia yang menjadi bagian di dalamnya. Demikianlah Plan Indonesia PU Grobogan juga menjadi bagian dari dinamika perubahan ini yang mengacu pada tatanan global yang sedang dibangun, seperti MDGs, CEDAW, UNDHR, ICESCR, ICCPR, CRMW, CERD, GFATM, dan EFA-FTI. Dengan semangat perubahan yang lebih baik untuk anak-anak Indonesia, khususnya di Kab. Grobogan; pengadaan buku tentang kisah keluarga dampingan Plan dan perubahannya ini disajikan secara sederhana untuk memberikan pengalaman mereka selama didampingi Plan selama 11 tahun dalam intervensi program yang bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan anak-anak dan keluarga yang tidak mampu. Dengan penuh harapan, buku kecil ini bisa memberikan gambaran perubahan yang bermakna yang terjadi selama proses intervansi program Plan International di Kabupaten Grobogan. Dan membuat para pembaca mencoba memahami peristiwa demi peristiwa dari sudut pandang anak-anak dan keluarga sponsor yang dibantu para penulis muda untuk memahami perubahan yang terjadi dalam realitas kehidupan sehari-hari mereka di antara aktivitas untuk bertahan hidup dan meraih kualitas kehidupan yang lebih baik. Perubahan bermakna itu nyata mereka rasakan dan menjadi berarti juga bagi orang lain ketika mereka menuturkan bagaimana perubahan bermakna itu terjadi, perjuangan dan kerja keras mereka upayakan untuk meraih mimpi-mimpi kecil kehidupan yang lebih baik dan lebih baik lagi meraih mimpi besar. Dan semua itu bisa terwujudkan…. Buku ini ingin berbagi kisah pengalaman perubahan bermakna itu.
BAGIAN 2: Visi Plan Visi Plan untuk Perubahan : Sebuah dunia dimana anak-anak menyadari potensi penuh mereka dalam masyarakat yang menghormati hak-hak dan martabat manusia.
BAGIAN 3 : Prinsip-prinsip dan Strategi (skema grafik) CCCD Prinsip CCCD : 1. Anak sebagai pusat 2. Dipandu oleh standard an prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia 3. Tanggungjawab dan akuntabilitas 4. Inklusif dan tidak diskriminatif 5. Kesetaraan gender 6. Partisipasi Plan mengembangkan 6 strategi : 1. Mendaratkan program di komunitas 2. Berpegang pada akuntabilitas penyelenggaraan negara 3. Menguatkan kapasitas masyarakat sipil 4. Melibatkan sector swasta 5. Advokasi, dan 6. Bekerja secara kemitraan untuk mencapai manfaat lebih besar.
Plan’s vision for change: A world in which all children realise their full potential in societies that respect people’s rights and dignity Our Strategy
Parents, care-givers, communities Strenghthening Capacity
Civil society
Community Programmes
Engagement
Partnership
UN Agencies
INGO’s
Advocacy
Accountability
Corporate sector
The State Underpinned by the principles of Child-Centered Community Development
14
• Children at the centre • Guided by human rights principles and standards • Responsiibility and accountability • Inclusion and non-discrimination • Gender equality • Participation Inspired by Lisa VeneKlasen with Valerie Miller, A New Weave of Power, People & Politics The Action Guide for Advocacy and Citizen Participation Herndon, VA, Stylus Publishing (USA); Rugby, Practical Action Publishing (rest of world). Just Associates (online). Accessed 16 September 2010. Available from www.justassociates.org/ActionGuide.htm