FENOMENA MELEK POLITIK MASYARAKAT KLUN GKUNG PADA PEMILU 2014 DAN PEMILUKADA 2013 Penelitian ini merupakan bagian dari riset partisipasi masyarakat dalam pemilu
SUSUNAN TIM PENELITI Penasehat Penanggungjawab Tim Peneliti
: I Made Kariada SE SH : Dr. Drs. I GPB Suka Arjawa M.Si : Dr. Ni Made Ras Amanda Gelgel S.Sos M.Si Ni Kadek Dwita Apriani S.IP M.P ABSTRAK
Pemilu atau pemilihan umum berperan penting sebagai ujung tombak kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Dalam mewujudkan pemilu yang demokratis, maka memerlukan keterlibatan dari segala sektor, baik pemerintah dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum, Aktor Politik, hingga Partisipan Pemilih. Meningkatnya tingkat melek politik seyogyanya akan meningkatkan angka partisipasi politik. Klungkung memiliki catatan di mana partisipasi politiknya cukup tinggi. Namun tingginya angka partisipasi politik ini dapat juga akibat adanya mobilisasi pemilih yang digerakkan oleh pihak-pihak tertentu. Untuk itu penelitian ini akan melihat apakah partisipasi ini autonom atau hanya dimobilisasi. Metode dalam penelitian ini adalah metode kualitatif di mana menggunakan teknik pengumpulan data focus group discussion, dengan didukung oleh data-data sekunder seperti hasil penelitian. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemilih di Klungkung masih cenderung tradisional dan memilih berdasarkan pengaruh psikologis dan pragmatism. Untuk itu cara yang dinilai paling efektif dalam meningkatkan tingkat melek politik di Klungkung adalah dengan member pengarahan atau sosialisasi secara langsung kepada masyarakat. Pihak penyelenggara pun sebaiknya melakukan pendekatan dengan simpul-simpul informasi seperti Bendesa adat maupun prajuru adat lainnya agar tidak dijadikan alat maupun aktor dalam penggiringan massa dan suara. Kata kunci : Melek politik, partisipasi pemilu, Klungkung,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10 persen konsisten terjadi sampai pada Pemilu 2009. Sementara pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana dan apa yang menyebabkan angka partisipasi pemilu cenderung fluktuaatif. Oleh
karena itu diperlukan sebuah riset pemilu.
Riset pemilu merupakan salah satu elemen strategis dalam manajemen pemilu. Riset tidak hanya memberikan rasionalitas akademik mengenai suatu substansi pemilu. Riset lebih jauh memberikan pijakan empirik mengenai persoalan atas hal yang menjadi perdebatan. Hasil riset memastikan program dan kebijakan kepemiluan tidak dibangun atas postulat spekulatif, tetapi dikonstruksi berlandaskan pada argumen empirik dan rasional dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam negara demokrasi, partisipasi pemilih menjadi elemen penting demokrasi perwakilan. Ia adalah fondasi praktik demokrasi perwakilan. Persoalannya, terdapat sejumlah masalah menyangkut partisipasi pemilih yang terus menggelayut dalam setiap pelaksanaan pemilu. Sayangnya, persoalan itu tidak banyak diungkap dan sebagian menjadi ruang gelap yang terus menyisakan pertanyaan.
Beberapa persoalan terkait dengan partisipasi dalam pemilu diantaranya adalah fluktuasi kehadiran pemilih ke TPS, suara tidak sah yang tinggi, gejala politik uang, misteri derajat melek politik warga, dan langkanya kesukarelaan politik.
Masalah tersebut perlu dibedah sedemikian rupa untuk diketahui akar masalah dan dicari jalan keluarnya. Harapannya, partisipasi dalam pemilu berada pada idealitas yang diimajinasikan. Oleh karena itu, program riset menjadi aktivitas yang tidak terhindarkan dalam manajemen pemilu. Berbicara mengenai riset partisipasi dalam pemilu, tentu kekhasan daerah menjadi suatu yang amat penting sebagai pijakan pelaksanaan riset. Kabupaten Klungkung merupakan kabupaten yang memiliki ciri unik dibanding kabupaten lainnya di Bali. Jumlah pemilih di Gumi Serombotan ini paling kecil di Bali. Berdasarkan daftar pemilih tetap yang dirilis KPUD Klungkung pada bulan November 2013, jumlah pemilih di kabupaten ini hanya 153.487 orang atau setara dengan 5,1% dari total pemilih Bali yang menapai angka tiga juta jiwa. Klungkung juga memiliki kekhasan dibanding wilayah lain di Bali, yakni warna politik puri (aristokrasi lokal) yang kental dan wilayahnya yang terbagi menjadi dua bagian utama yaitu Klungkung daratan dan kepulauan Nusa yang terdiri atas Nusa Penida; Lembongan dan Ceningan. Kekhasan geografis di kabupaten ini menyebabkan masih ada wilayahwilayah yang sulit dijangkau, sehingga akses informasi dari dan ke wilayah itu juga relatif terhambat. Namun demikian, jika dilihat melalui tolok ukur angka partisipasi di wilayah
yang sulit di jangkau itu, tingkat partisipasinya menunjukkan angka yang cenderung tinggi. Hal tersebut di atas akhirnya memunculkan pertanyaan besar mengenai model partisipasi pemilih di wilayah itu, apakah partisipasi pemilihnya adalah partisipasi autonom yang didasarkan pada tingkat melek politik yang baik ataukah partisipasi yang dimobilisasi melalui beberapa cara. B. Permasalahan Adapun pertanyaan permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat melek politik masyarakat Klungkung dalam pemilukada 2013 dan pemilu 2014? 2. Apakah partisipasi politik masyarakat klungkung merupakan partisipasi yang autonom atau termobilisasi? 3. Cara apa yang paling efektif untuk meningkatkan tingkat melek politik di Klungkung? C. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat melek politik masyarakat Klungkung dalam pemilukada 2013 dan pemilu 2014 2. Mengetahui model partisipasi politik masyarakat klungkung. 3. Mengetahui cara apa yang paling efektif untuk meningkatkan tingkat melek politik di Klungkung. D. Manfaat Penelitian: 1. Mentradisikan kebijakan berbasis riset atas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan manajemen pemilu. 2. Bahan penyusunan kebijakan untuk meningkatkan dan memperkuat partisipasi warga dalam pemilu dan setelahnya. 3. Menemukan akar masalah atas persoalan-persoalan yang terkait dengan partisipasi dalam pemilu 4. Terumuskannya rekomendasi kebijakan atas permasalahan yang dihadapi dalam kaitannya dengan partisipasi dalam pemilu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Studi Literatur Studi pemilu memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejarahnya berkaitan dengan keberhasilan gerakan demokrasi pada abad ke-19. Menyebarnya demokrasi juga berati menyebarnya pemilu ke berbagai negara. Sejak itu juga hasil pemilu dapat dilihat dalam statistik resmi. Statistik resmi hasil pemilu inilah yang menjadi dasar analisa studi pemilu pertama. Beberapa kajian di Jerman yang dianggap sebagai tonggak awal dari studi ini, antara lain hasil studi Eugen Wuzburger (1907) yang meneliti secara mendalam alasanalasan golput (Roth,2008:11). Ia menemukan bahwa penyebab utama golput yaitu pemegang hak suara yang berhalangan hadir pada saat hari pemilu. Studi yang lebih kontemporer di Amerika Serikat menunjukkan 50% masyarakat Amerika berpendapat bahwa orang yang tidak peduli dengan hasil pemilu, sah untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Hanya 41% warga Amerika pada pemilu nasional 1996 yang berpendapat bahwa partisipasi dalam memilih merupakan kewajiban warga negara, sekalipun ia tak peduli dengan hasil akhir dari pemilu tersebut. (James W. Dkk, 2014; 519). Kampanye di Amerika Serikat dikatakan tidak diarahkan untuk meningkatkan jumlah orang yang memberikan suara karena jumlah pemberi suara akan mencapai tingkat tertentu. Hal lain yang menarik dalam studi pemilu di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, ditemukan bahwa minat dan kepedulian orang Amerika terhadap politik dan urusan-urusan publik berada pada level yang sama dengan negara-negara yang tingkat partisipasinya jauh lebih tinggi. Artinya tingkat partisipasi dalam pemilu tidak selalu berbanding lurus dengan minat dan kepedulian masyarakat terhadap urusan publik dan politik. Sangat mungkin tingkat partisipasi yang tinggi tidak didasari oleh tingkat melek politik yang baik, melainkan karena mobilisasi. Tingkat partisipasi yang tinggi tidak menjamin kualitas demokrasi di suatu negaraDi negaranegara yang memiliki kecenderungan otoriter, umumnya tingkat partisipasinya tinggi, tetapi partisipasinya dimobilisasi, bukan autonom.Di negara yang demokrasinya sudah terkonsolidasi, angka golput terlihat lebih tinggi, namun dinamika partisipasi dalam bentuk lain misalnya dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan pun lebih terasa.
B. Teori dan Konsep Partisipasi Politik Partisipasi politik menurut Herbert McClosky adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat, melalui mana mereka mengambil bagian dlm proses pemilihan penguasa dan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Penggunaan hak pilih dalam pemilu termasuk kegiatan partisipasi politik karena aktivitas tersebut mempengaruhi siapa yang duduk sebagai pengambil kebijakan yang secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan yang diambil. Partisipasi politik itu sendiri digolongkan menjadi dua jenis, yaitu partisipasi autonom dan partisipasi yang dimobilisasi.
Mobilisasi terkoordinasi dipandang penting karena ia memberi dampak besar pada kehadiran pemilih di TPS. Namun demikian, aktivitas kampanye calon dalam berbagai pemilihan sangat sedikit diarahkan untuk tujuan mendatangkan emilih ke TPS. Penelitian di 10 negara bagian di Amerika menunjukkan hanya 10% dana kampanye yang digunakan untuk menyadarkan pemilih datang ke TPS, sedangkan lebih dari 25% dana kampanye peruntukannya adalah iklan di media. Kegiatan pemberian suara dalam pemilu (memilih) pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan memilih yang biasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya memilih barang (Evans,2004:3). Tetapi ada satu hal yang harus dicatat dari pilihan tersebut, Ia tidak hanya berimbas pada individu, melainkan memiliki efek kolektif. Inilah menjadi pembeda dasar antara voting dan choice. Jika kita memilih barang di pasar untuk kita beli dan bawa pulang, lalu kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan, maka efeknya akan kita nikmati sendiri. Hal yang demikian tidak terjadi dalam voting. Pemilih Rasional Pemilih dalam pemilu sering kali digolongkan dalam dua jenis yakni pemilih tradisional dan pemilih rasional. Pemilih rasional biasanya merupakan pemilih yang mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai pemilu, kandidat dan isu. Untuk melihat tipologi pemilih ini biasanya digunakan pendekatan pilihan rasional.
Titik tekan dalam pendekatan pilihan rasional adalah pada pertimbangan untung rugi dari individu pemilih (Evans,2004:69). Terkait dengan itu, Evans menyebutkan adanya beberapa kriteria seorang pemilih untuk dapat dikatakan sebagai pemilih rasional. Setidaknya ada lima kriteria yang ia kemukakan, seperti di bawah ini: 1. Membuat keputusan jika disodorkan beberapa alternatif 2. Mampu membuat urutan preferensi 3. Urutan preferensi individu tidak selalu sama antara individu satu dengan yang lainnya 4. Menjatuhkan pilihan pada sesuatu yang berada di urutan pertama preferensinya 5. Ketika dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama atau seimbang sehingga ia tak mungkin membuat urutan preferensi, maka individu itu akan cenderung menjatuhkan pilihan pada alternatif yang pernah ia pilih sebelumnya. Jadi perbedaan utama dari pemilih rasional dan yang bukan terletak pada informasi yang dikumpulkan oleh pemilih untuk kemudian dipergunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetukan pilihan. Di akhir dari rangkaian itu, pemilih rasional biasanya mempertimbangkan untung rugi dari pilihannya itu. Dari kriteria tersebut, ada juga penulis yang mengatakan bahwa pemilih rasional itu sejatinya tidak pernah ada karena pemilih cenderung menerima informasi secara pasif dan lebih mudah mencerna informasi mengenai personal kandidat dibandingkan fakta mengenai isu tertentu (Shenkman,2008:43). Sehingga informasi yang dikumpulkan pemilih tidak ada yang sepenuhnya lengkap.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik Focus Group Discussion dan menggunakan sumber-sumber sekunder seperti hasil penelitian kuantitatif dari beberapa lembaga survei yang menyelenggarakan riset prapemilukada dan prapemilu legislatif 2014. Metode tersebut dirasa paling tepat untuk mengumpulkan data mengenai masalah yang telah dipaparkan di bagian terdahulu, karena tidak semua orang dapat memahami dan menjelaskan secara baik mengenai tingkat melek politik dari masyarakat Klungkung, oleh sebab itu metode kuantitaif tidak dapat dipergunakan pada penelitian ini dan pemilihan nara sumber berdasarkan kemampuannya menjelaskan permasalahan tersebut dianggap metode yang paling tepat. Selain itu, metode kualitatif memungkinkan peneliti untuk menggali lebih dalam mengenai permasalahan yang diangkat (Harrison,2009:104). Pengumpulan data dengan cara FGD ini sedianya akan dilakukan dengan 15 orang narasumber yang dapat memberikan informasi mengenai masalah yang diangkat dalam penelitian ini, antara lain: tokoh masyarakat; pemuka agama; aktivis; tokoh LSM; unsur MMDP; unsur partai politik peserta pemilu; tim pemenangan calon; tokoh pemuda; dan unsur Panwaslu.
A. Lokasi penelitian Lokasi penelitian mencakup seluruh kecamatan di Kabupaten Klungkung B. Bentuk Keluaran Secara umum, topik riset menghasilkan keluaran (out put) dalam bentuk (1) Laporan Hasil Riset, dan (2) Publikasi buku hasil riset. Secara khusus hasil akhir dari riset ini adalah dipetakannya akar persoalan atau peta masalah serta adanya rekomendasi atas persoalan dari setiap topik riset. Semua hasil akhir riset tersebut dibuat dalam bentuk hard file dan soft file baik format word maupun pdf, kemudian dikirimkan ke KPU, melalui alamat email :
[email protected]
C. Pelaksanaan dan Pengorganisasian Riset dapat dilaksanakan dengan cara swa-kelola atau dengan melibatkan pihak ketiga, baik perorangan/tim/lembaga yang mempunyai pengalaman pekerjaan dalam bidang riset.KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bertanggungjawab memastikan pelaksanaan riset dan hasilnya berjalan dengan baik. Berkaitan dengan itu maka setiap jenjang KPU dilakukan pembagian tugas sebagai berikut ini: Tabel 3.1: Pembagian Peran KPU
PELAKSANA
KPU
TUGAS
1. Melaksanakan riset tingkat nasional 2. Melakukan supervisi pelaksanaan riset KPU/KIP Kab/Kota 3. Publikasi hasil riset di website KPU 4. Menyusun buku hasil riset
KPU PROVINSI
1. Membagi tema riset untuk setiap KPU/KIP Kab/Kota dalam lingkup provinsi 2. Mengkoordinasikan dan mengumpulkan laporan pelaksanaan riset di KPU/KIP Kab/Kota dalam lingkup provinsi 3. Melaporkan rekap pelaksanaan kegiatan riset di KPU/KIP Kab/Kota dalam lingkup provinsi kepada KPU
KPU KAB/KOTA
1. Melakukan koordinasi dengan KPU Provinsi/KIP Aceh terkait tema riset 2. Melaksanakan riset tingkat kab/kota 3. Menyampaikan laporan pelaksanaan riset kepada KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU* 4. Publikasi hasil riset di website KPU/KIP Kab/Kota
* KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat menyampaikan laporan pelaksanaan riset kepada KPU melalui alamat email :
[email protected]
D. Waktu Pelaksanaan Kegiatan riset pemilu di KPU Kabupaten/Kota dilaksanakan pada rentang waktu antara April s.d. Juli 2015.
Tabel 3.2: Waktu Pelaksanaan
No. 1.
Agenda Persiapan dan
KPU
KPU Kab/Kota
Maret s.d. Juli 2015
April s.d. Juli 2015
Agustus s.d. November
Agustus s.d. November
2015
2015
pelaksanaan Riset 2.
Publikasi hasil riset
BAB IV PEMBAHASAN
Penelitian ini membahas mengenai bagaimana fenomena melek politik pada masyarakat di Kabupaten Klungkung, Bali. Adapun penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kualitatif dan kuantitatif. Di mana menggunakan teknik triangulasi yakni meneguhkan hasil penelitian berbasiskan kuantifikasi dengan data-data kualitatif yang didapatkan melalui metode focus group discussion. Membahas mengenai political literacy atau melek politik maka tidak dapat terpisahkan dari perilaku memilih. Dalam teori perilaku memilih terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan sosiologis atau sosial struktural; pendekatan psikologis dan pendekatan pilihan rasional. Tingkat partisipasi pemilih di Kabupaten Klungkung memiliki kecenderungan mengalami peningkatan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Angka ini seringkali dijadikan tolak ukur dan cerminan tingkat melek politik masyarakatnya. Untuk itu akan menarik untuk mengetahui apa fenomena yang mendorong terjaadinya peningkatan angka partisipasi pemilu di Klungkung, Bali. Asumsi positif dari peningkatan ini adalah meningkatnya angka melek politik pada masyarakat di Klungkung Bali. Terdapat beberapa indikator yang dapat menyingkap lebih lanjut mengenai fenomena ini. Pertama adalah melalui pandangan masyarakat terhadap politik, pandangan masyarakat terhadap money politics, dan perilaku memilih. Seluruh indikator ini yang akan dibahas dalam bab analisa data ini satu per satu.
A. Pandangan Masyarakat Terhadap Politik Tingginya angka partisipasi politik di Kabupaten Klungkung, ternyata tidak sejalan dengan kedekatan masyarakatnya dengan partai politik.Data Lab. Politik Universitas Udayana pada tahun 2013 menyatakan bahwa hanya 11 persen dari masyarakat Klungkung yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik, sedangkan sisanya merasa tidak memiliki kedekatan dengan partai politik manapun. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini:
G AMBAR 4.1. GRAFIK ATAS PERTANYAAN APAKAH ANDA M ERASA DEKAT DENGAN SALAH SATU PARTAI POLITIK?
Sumber : La b Politik UNUD, 2013 Dari data yang sama juga diketa hui ternyata, terdapat 16,6 persen responden yang menilai tidak
penting untuk memilih a nggota legislative, sedangkan 9,5 persennya menyatakan kurang penting. Hanya 30,4 persen yang menyatakan sangat penting. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini: GAMBAR 4.2. GRAFIK ATAS PERTANYAAN “APAKAH MEMILIH SIAPA YANG MENJAD I ANGGOTA LEGISLATIF MERUPAKAN S ESUATU YANG PENTING BAGI KEHIDUPAN SEHARI- HARI?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Walau angka kesadaran memilih itu penting cukup tinggi, namun sebagian bes ar responden menilai bahwa memilih anggo ta 17egislative tifak akan berpengaruh pada kehidupan keluarga mereka. Dan hanya 45 persen saja yang menilai bahwa memilih anggo ta legislative berpengaruh pada kehidupan keluarga. Hal ini terlihat dalam gambar grafik di ba wah ini: GAMBAR 4.3. GRAFIK ATAS PER TANYAAN APAKAH MEMILIH SIAPA YANG MENJADI ANGGOTA LEGISLATIF BERPENG ARUH LANGSUNG PADA KEHIDUPAN KELUARGA?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Salah satu kegiatan yang kerap kali menjadi wadah komunikasi antara pemilih dengan aktor politik di Klungkung adalah kegiatan simakrama. Simakrama adalah salah satu warisan kearifan lokal di Bali yang mer upakan wadah di mana konstituen dapat berte mu muka dan berbagi pendapat dengan pihak pemerintah atau aktor politik lainnya. Namun dalam perkembangannya, ajang simakr ama ini kerap kali dijadikan wadah di mana terjadi perjanjian atau transaksi politik antara konstituen dengan aktor politik. Ironisnya perjanjian atau transaksi politik ini berada dalam bentuk yang negatif di mana terjadi perjanjian vote buying, mobilisasi suara dan bentuk-bentuk lain dari vote buying. Hal ini pun terjadi i Klungkung Bali, di mana simakrama dijadikan ajang untuk perjanjian transaksi politik antara calon dengan masyarakat. “adat sebaiknya kritis apabila terindikasi simakrama diarahakan untuk menggiring ke satu calon.. hal itu dapat mendistorsi lembaga ( adatred)nya sebagai alat politik” I Nyoman Suastika (Partai Hanura) “Di muslim ada melalui silahturahmi, pakai kelompok pengajian, melalui remaja. Di m uslim juga ada praktik ini ini bukan tradisional tapi pragmatism ini yang lebih berbahaya. Dan jadi apatis. Harus ada sosialisasi lebih tepat.” Mustafit Amna (Ketua MUI Klungkung) Dewa Made Tirta juga menamb ahkan seringkali masyarakat juga berpikir pra ktis di mana belum tentu masyarakat memilih calon yang telah menjanjikan uang atau bantuan yang lain. “Setiap ada simakra ma pasti akan mendapatkan sesuatu. Kehadirannya tergantung dari ora ng yang akan mendapat sesuatu dari simakr ama tersebut tapi sekarang sudah bergeser, (calon) kena olok-olok.. siapapun yang datang pasti didukung tapi pada hari h belum tentu..”
Dewa Made Tirta (Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung) Untuk itu diperlukan peraturan atau himbauan yang dapat mereduksi penyimpangan vote buying melalui ajang simakrama ini. Salah satu langkah yang harus dilakukan di antaranya perlunya fasilitasi Komisi Pemilihan Umum Kabupaten dalam penyelenggaraan simakrama ini. Dewa Made Tirta juga menambahkan perlunya pemahaman dari para prajuru adat agar adat tidak tertarik masuk dalam permainan politik yang kotor seperti ini.
“Penegakan hukum untuk simakrama ini masih lemah…” I Komang Artawan (Mantan Panwaslu Klungkung)
“Maka KPU sebagai penyelenggara kalau bisa simakrama ini dijadikan pilar sosialisasi yang terdepan artinya tidak saja calon yang aktif tapi KPU yang mendesain agar tidak hanya dihadiri satu calon saja tapi beberapa calon.. sehingga masyarakat juga menjadi cerdas .” I Nyoman Suastika (Partai Hanura)
Selain simakrama bentuk komunikasi lainnya antara calon dan pemilihnya dapat melalui bentuk komunikasi luar ruang maupun melalui media massa. Media massa terutama televisi tercatat masih merupakan media favorit yang dikonsumsi oleh masyarakat di Klungkung. Berdasarkan data Lab Politik FISIP Udayana tahun 2013, 81 persen responden menyatakan menonton televisi setiap hari. Sedangkan media yang paling jarang dikonsumsi adalah Internet, di mana 79,8 persen responden menyatakan tidak pernah mengakses internet. Hal ini terlihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.1. Konsumsi Media
Setiap
Pola Konsumsi Media
hari
3-4 hari dalam
Minimal seminggu seminggu sekali
Jarang
Tidak Pernah
TT/TM
A. Membaca KORAN
9,2
12,5
2,2
24,6
49,2
2,4
B. Menonton TELEVISI
81,0
6,3
,2
11,2
,8
,5
C. Mendengarkan RADIO
14,2
5,8
,8
23,2
52,7
3,2
D. Mengakses Internet
5,6
1,2
,3
7,8
79,8
5,3
Namun diakui kampanye melalui media massa terutama televisi tidaklah murah, maka bentuk sosialisasi atau kampanye yang dapat digunakan antara lain adalah melalui komunikasi luar luar atau alat peraga seperti banner, spanduk, baliho, stiker hingga baju. Namun ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa bentuk apapun tentu saja membutuhkan dana yang cukup
besar, dan dikhawatirkan modal yang telah dikeluarkan nantinya akan dihara pkan kembali pada saat menjabat. “Saat saya mau dikirim baliho dan lain-lain, saya menolak baliho dan baju karena kesulitan memasang dan belum tentu baju itu cukup dan butuh banyak uang nanti ingin kembali.. saya sarankan balihonya terbatas saja tidak perlu menghabiskan uang.” Nengah Setar, Tokoh Masyarakat Nusa Penida Kesadaran pemilih akan politik dan pemilu memang penting dalam ala m demokrasi. Komunikasi politik untuk memupuk kesadaran ini juga penting untuk terus dijaga agar tetap pada esensinya. Namun apabila dalam prosesnya telah dinodai dengan praktik-p raktik money politics maka kesadaran yang terbangun pun hanyalah kesadaran semu berbasis pragmatism.
B. Pandangan Masyarakat Terhadap Money Politics Vote buying atau money politics menjadi salah satu tolak ukur dari melek politiknya seseorang atau masyarakat. Masyarakat yang telah memiliki kemelekan dal m berpolitik maka akan memiliki kecenderungan untuk tidak menerima praktik-praktik vote buying. Dari data lab politik Universitas Uda yana pada tahun 2013, ada beberapa fakta mena rik. Pertama, ternyata 30 persen masyarakat Klungkung menilai akan menerima uang apabila ada calon legislatif yang menawarkan uang untuk memilih. Hal ini tergambar dalam grafik di bawah ini: GAMBAR 4.4. GRAFIK A TAS PERTANYAAN “JIKA ADA CALEG YANG MEMBERI UANG, APAKAH ANDA MENERIMA?”
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Namun alasan responden menerima uang yang ditawarkan pun lebih cenderung pragmatis, di mana hanya 15 persen saja yang memiliki komitmen untuk mem ilih kandidat
yang memberi uang, sedangkan 85 persen lainnya mengatakan walau me nerima uang, responden belum tentu akan memilih calon yang telah memberi responden uang. Hal ini terlihat dalam gambar grafik di bawah ini: GAMBAR 4.5. GRAFIK ATAS PERTANYAAN “ JIKA MENERIMA, APAKAH A NDA AKAN MEMILIH/TIDAK CALEG YANG MEMBERI UANG?”
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Data ini cukup menarik untuk ditelusuri lebih lanjut mengenai komitmen responden itu sendiri terkait dengan pe menuhan janji responden dalam memilih k andidat yang memberikan uang. Pada pertanyaan berikut yakni siapa yang akan dipilih apakah kandidat yang memberikan uang terlebih dahulu ataukah memilih kandidat yang membe ri uang lebih banyak. Data menunjukkan bahwa terdapat 56 persen yang menyatakan akan memilih kandidat yang memberi uang lebih besar. Selengkapnya dalam gambar di bawah ini: GAMBAR 4.6. GRAFIK A TAS PERTANYAAN JIKA MENERIMA, YANG MANA Y ANG ANDA PILIH ANTARA YANG LEBIH DULU ATAU LEBIH BANYAK MEMBERI U ANG?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Bentuk vote buying pun beragam, tidak hanya berbentuk pemberian uang, namun juga dapat berbentuk pengerahan massa hingga iming-iming fasilitas gratis yang membantu pemilih memilih dari salah satu kandidat. Hal ini dinyatakan telah terjadi pada saat pemilukada Klungkung 2013 lalu. Adapun bentuk vote buying adalah dengan melalui sarana adat hingga fasilitasi prasarana dan sarana menuju Tempat Pemungutan Suara.
“karena ada calon yang menyediakan persiapan fasilitas gratis, kendaraan dan lain-lain. Ada nuansa adat yang dikatakan mengiring suara ke salah satu calon, ada perarem yang di buat, bahkan ada orang yang diluar wilayah berbondong2 ke tps. Ini harus diperhatikan pemerintah yang berkewajiban menyiapkan prasarana ini bukan calon. Ini bukan demokrasi, tapi apabila disiapkan fasilitas mau tidak mau mereka memilih yang menyiapkan fasilitas tersebut.”
Wayan Sutena, MADP Klungkung Sutena menambahkan praktik ini terjadi dan menjadi tanggung jawab tidak hanya pemilih namun juga kandidat. Bahkan Sutena menilai sudah tidak terdapat etika politik pada pemilukada. Sutena menambahkan pentingnya pendidikan politik untuk masyarakat. “Calon nya jug asudah tidak ada etika dan moral di mana menghalalkan segala cara untuk kemenangan. Uang di lihat bukan kualitasnya” Wayan Sutena, MADP Klungkung Temuan yang perlu diperhatikan lebih lanjut antara lain adalah adanya praktik politik uang yang telah memasuki ranah adat. Di mana setiap warga wajib memilih apabila tidak memilih maka akan dikenakan sanksi. “Di Nusa Penida ada perarem, atau “ancaman” kena sanksi adat ……. 40 ribu pemilih di Nusa Penida 20 rb tinggal di luar Nusa Penida. Ini diadakan untuk meningkatkan partisipasi namun meungkin melanggar hukum” I Ketut Pesta, Tokoh Masyarakat Nusa Penida Praktik-praktik ini ternyata dianggap dapat merusak tatanan demokrasi, di mana masyarakat terutama menengah ke bawah hanya akan memandang pemilu adalah ajang bagibagi uang dan masyarakat tidak mendapatkan perubahan apapun dari pesta demokrasi ini. Menurut tokoh masyarakat Nusa Penida, Setar mengatakan bahwa apa yang dijalankan sekarang telah melenceng.
“Oknum dalam menjalankan politik yang rusak. masyarakat Nusa Penid a pada ujung-ujungnya uang saja. Pejabat hanya memajukan pribadinya saja. Jangan hanya ngomong saja bisa disuap. Saat ini banyak yang main uang saja.. pasti ada fasilitasi memobilisasi.” Setar, Tokoh Masyarakat Nusa Penida C. Perilaku Memilih Penentuan pilihan pemilih pun dapat dijadikan indikator dari tingkat melek politik seseorang atau masyarakat. Sec ara teori terdapat beberapa pendekatan/ alas an penentuan memilih kandidat, seperti pemilih rasional, pemilih tradisional maupun pendekatan sosiologis. Berdasarkan data Lab Politik Unud tahun 2013, 41,2 persen menyatakan menginginkan wakil rakyat yang memiliki sifat merakyat. Adapun sifat lain ya ng diinginkan
adalah jujur dan bersih dari korupsi. Hal ini terlihat dalam gambar di bawah ini: GAMBAR 4.7 . SIFAT WAKIL RAKYAT YANG DIINGINKAN
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Latar belakang yang diinginkan dari kandidat pun mencerminkan tingkat melek politik masyarakat. Berdasarkan data yang dirilis Lab Politik Udayana tahun 2013, latar belakang yang diinginkan adalah beragam ada yang berbasis merit seperti professional, maupun latar belakang lainnya seperti tokoh puri, parpol hingga akademisi. Selengkapnya dalam gambar grafik di bawah ini:
GAMBAR 4.8. LATA R BELAKANG WAKIL RAKYAT YANG DIINGINKAN
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Indikator berikutnya adalah apakah daerah asal kandidat menjadi sal ah satu dasar dalam menentukan pilihannya da lam pemilu. Di Klungkung indikator ini hampir seimbang di mana responden yang menilai asal daerah tidak menjadi masalah sama bes arnya dengan responden yang menilai akan memilih caleg yang asal daerahnya sama. Hal ini terlihat dalam grafik di bawah ini: GAMBAR 4.9. FA KTOR ASAL DAERAH DALAM PILIHAN POLITIK
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Pada level yang berbeda yakni pada level pemilihan bupati, faktor asal kandidat cukup berpengaruh dan menja di pertimbangan dalam memilih. 56,2 persen menyatakan responden tidak masalah akan dipimpin oleh kandidat dari daratan atau pulau. H al ini terlihat dalam data di bawah ini: GAMBA R 4.10. FAKTOR ASAL CALON BUPATI
Dipimpin oleh kandidat dari … Ya, pilih kandidat yang dari … Ya, pilih kandidat yang dari daratan
56.2 11.7 8.6
Tidak Jawab
23.4 0
20
40
60
80
100
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Namun data di atas ternyata apa bila ditelusuri lebih lanjut didapatkan bahwa re sponden yang berasal dari Nusa Penida lebih ba nyak yang memutuskan untuk memilih kandida t bupati yang berasal dari Nusa Penida saja, walau sebagian besar yakni 57,4 persen menilai sama saja asal kandidat yang akan menjadi bupati. Hal ini menunjukkan bahwa fanatisme masyarakat di Nusa Penida lebih besar dibandingkan masyarakat di daratan. Hal ini terlihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 4.2 Tabel Silang Daerah asal dengan Pilihan Bupati
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Grafik-grafik di atas menggambarkan bahwa karakteristik dan pengelompokan sosial masih cenderung menjadi hal yang me mpengaruhi masyarakat dalam memilih wakilnya. Perilaku
pemilih seseorang berkenaan dengan kelompok sosial dari mana individu itu berasal (Roth,2008:25). Hal itu berarti karakteristik sosial menentukan kecenderungan politik seseorang. Pengelompokan sosial yang dimaksud disini adalah usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, kelas sosial ekonomi, kedaerahan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok-kelompok formal dan informal. Kelompok-kelompok sosial ini dipandang berpengaruh besar dalam keputusan memilih karena kelompok-kelompok tersebut berperan dalam pembentukan sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Di Klungkung faktor kedaerahan menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam perilaku pemilih. Hal ini ditegaskan oleh I Wayan Sukasta, di mana ia menegaskan bahwa pemilih di Klungkung masih cenderung Tradisional. “Masih tradisional karena berbaasiskan kewilayahan. Pemilih cenderung memilih karena ada kesamaan wilayah” I Wayan Sukasta (Nusa Penida) Namun pemilih tradisional ini dinilai lebih banyak di Nusa Penida dibandingkan di Daratan. Hal ini dinyatakan oleh I Komang Artawan. “Ada perbedaan, di daratan klungkung lebih rasional, di mana mereka juga memilih dari yang bukan hanya satu wilayah” I
Komang
Artawan
(Mantan
Panwaslu
Klungkung) Majelis Adat Desa Pakraman Klungkung, Wayan Sutena menilai perbedaan faktor kedaerahan ini juga tergantung dari pada tingkat pemilihannya. “Pemilukada ada nuansa tingkat partisipasi lebih tinggi di mana ada fanatisme wilayah” Wayan Sutena, MADP Klungkung Faktor fanatisme kedaerahan menjadi faktor penting dalam pemilukada Klungkung lalu. Dewa Made Tirta dari Majelis Madya Desa Pakraman menilai kedekatan calon dengan pemilihnya tetap yang terpenting. Ia juga menilai ejekan yang berkembang di masyarakat pun menyebabkan fanatisme kedaerahan menjadi lebih besar. “nak uling ditu kal jadi keto? Ini mengugah fanatisme. Ini merubah dari tradisional ke rasional maupun sebaliknya. Ada rasa jengah..” Dewa Made Tirta (Majelis Madya Desa Pakraman Klungkung)
Selain pendekatan sosiologis, p endekatan lainnya adalah pendekatan psikologis. Hal ini tercermin salah satunya dari alasan memilih yang berdasarkan kedekatan psikologis di mana saat memilih pemilih menjadi a kan selalu memilih kandidat atau partai yang sama tiap kali pemilu dilaksanakan. Berdasarka n data Lab Politik Unud 2013, masyarakat Klungkung lebih mementingkan faktor figur diban dingkan faktor parpol dalam memilih calon leg islative. 91,2 persen responden menilai figur menjadi lebih penting dibandingkan partai po litik. Hal ini terlihat dalam gambar grafik di bawah ini: GAMBAR 4.11. FAKTOR FIGUR A TAU PARPOL YANG LEBIH PENTING DALAM MEMILIH CALEG?
Sumber : Lab Politik FISIP Udayana, 2013
Dengan kata lain pemilih memiliki pilihan yang menetap tanpa dipengaruhi oleh sosialisasi dan komunikasi politik. Kavanagh menjelaskan konsep identifikasi partai sebagai semacam kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai tertentu. Ia menambah kan, konsep identifikasi partai ini mirip den gan loyalitas partai atau kesetiaan seorang pem ilih terhadap partai tertentu (Kavagh,1983:88).
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Partisipasi politik masyarakat Klungkung dalam pemilu maupun pemilukada dapat dikatakan unik. Kabupaten ini memiliki wilayah yang diperkirakan mengalami keterbatasan dalam akses informasi, oleh karenanya diasumsikan tingkat melek politiknya rendah. Setelah penelitian dilakukan ternyata diketahui bahwa daerah yang akses informasinya sulit, memiliki kecenderungan untuk mengandalkan tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat sebagai sumber informasi politik, sehingga forum-forum bernuansa adat seperti simakrama dipandang lebih efektif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait dengan hal-hal yang berkaitan dengan pemilu atau pemilukada. Tidak terbukti bahwa tingkat konsumsi media yang rendah menyebabkan tingkat melek politik yang rendah, sebab ada sumber informasi politik alternatif. Data dalam penelitian inipun memperlihatkan model partisipasi politik masyarakat Klungkung belum sepenuhnya partisipasi autonom. Di beberapa wilayah seperti Kecamatan Nusa Penida kerap terjadi mobilisasi pemilih. Keberadaan money politics dan vote buying diakui oleh masyarakat melalui survei dan tokoh-tokoh masyarakat melalui metode FGD. Masih eksisnya praktik money politics menjadi indikator untuk menyatakan bahwa pemilih belum dapat dikatakan autonom ataupun rasional. Pemilih rasional umumnya menentukan pilihan
berdasarkan
pertimbangan
untung
rugi
kolektif,
bukan
untung
rugi
pribadi/kelompok atau pertimbangan pragmatis. Sebagian pemilih di Klungkung dapat dikategorikan sebagai pemilih tradisional sebab mereka memperlihatkan kecenderungan lebih memilih kandidat berdasarkan kesamaan asal wilayah; arahan tokoh adat; afiliasi puri dari kandidat; dan identifikasi dengan partai politik tertentu. Namun demikian, jumlah mereka yang menyatakan bahwa asal wilayah kandidat bukan pertimbangan utama juga tidak sedikit. Pemilih tipe ini lebih mementingkan citra figur, misalnya melihat figur sebagai sosok yang merakyat dan jujur. Terkait dengan sosialisasi politik, masyarakat Klungkung bukan masyarakat pembaca koran atau pengguna internet. Mereka yang menggunakan internet dan membaca koran setiap hari, jumlahnya kurang dari 10%. Beberapa narasumber dalam FGD juga menyebutkan bahwa
kampanye via sosial media cukup efektif, namun jika dibandingkan dengan efek kampanye melalui simakrama, jauh lebih efektif simakrama. Hanya saja perlu menjadi catatan bahwa forum simakrama sering kali menjadi momentum kandidat untuk melakukan vote buying. Tak jarang mereka yang datang ke sebuah acara simakrama justru menanti “sesuatu” yang akan dibagikan dalam acara tersebut.
B. Saran/ Rekomendasi Kebijakan Dalam mengahadapi pemilu dan pemilukada yang akan datang, Klungkung perlu menjadi salah satu kabupaten yang mendapat perhatian khusus terkait mobilisasi pemilih berkedok memfasilitasi pemilih sampai di TPS. Mempermudah akses ke TPS, misalnya menyediakan angkutan gratis menjadi salah satu pilihan cara menekan partisipasi yang termobilisasi. Usaha lainnya dapat dilakukan dengan mengatur mengenai penyediaan angkutan oleh calon pada hari pemilihan. Usaha lain yang dapat dilakukan adalah membuat kebijakan di mana pemilih dapat dipermudah untuk melakukan pencoblosan tanpa harus kembali ke daerah asalnya yang cenderung terlalu jauh dari dia bermukim/bekerja. Sosialisasi menjadi hal yang masih sangat penting bagi pemilih Klungkung dalam menghadapi pemilihan. Proses sosialisasi selama ini harus dievaluasi dan diperbaiki karena belum maksimal. Sosialisasi melalui forum-forum simakrama dan menggunakan kelihan banjar atau bendesa sebagai agen komunikasi dipandang sebagai cara untuk meningkatkan melek politik warga utamanya di wilayah dengan akses informasi terbatas. Namun forum ini pun perlu diawasi lebih lanjut agar forum simakrama tidak digunakan oleh aktor politik dijadikan wadah transaksi politik dengan desa adat.
DAFTAR PUSTAKA Buku Ananta, Aris et.al., 2004 Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective, Singapore: ISEAS Bone, Hugh A dan Austin Ranney, 1981, Politics and Voters, USA: McGraw-Hill Cambell, Angus et. al., 1966 The American Voter USA: Jhon Wiley and Sons, Inc Clarke, Harold D. et.al., 2004Political Choice in Britain, New York: Oxford University Press Evans, Jocelyn A. J., 2004, Voting and Voters: An Introduction, London: SAGE Publications Gaffar, Afan, 1992 Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press Harison, Lisa, 2009, Metode Penelitian Politik, terj. Jakarta: Kencana Kavanagh, Denis, 1983, Political Science and Political Behaviour, London: George Allen & Unwin King, Dwight Y., 2003, Half Harted Reform: Electoral Institution and Strugle for Democracy in Indonesia, USA: Praeger Publishers Henk Schulte Nordholt, 2010,Bali: Benteng Terbuka 1995-2005 (terj.), Jakarta: KITLV Nursal, Adman, 2004, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu, Jakarta Gramedia Nuryanti, Sri, 2006, “Pilkada Langsung Memperkuat Demokrasi Lokal?,” Pusat Penelitian Politik: Year Book 2006 Roth, Dieter, 2008, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode, terj. Jakarta: Friedrich-Naumann Stiftung fur die Freiheit Shenkman, Rick, 2008, Just How Stupid Are We?: Facing the Truth about American Voter, New Yosrk: Basic Book Upe, Ambo, 2008, Sosiologi Politik Kontemporer: Kajian Tentang Rasionalitas Perilaku Politik Pemilih diEra Otondomi Daerah, Jakarta: Prestasi Pustaka
Jurnal Eriyanto et.al., “Mesin Partai atau Popularitas Kandidat?”, dalam Kajian Bulanan Lingkaran Survei Indonesia, No 12, (April 2008) Ikeda, Ken’ichi et.al, “Dynamics of interpersonal Political Environment and Party Identificatin: Longitudinal Studies of Voting in Japan and New Zeland”, dalam Political Psycology, Vol 26 No 4, (Aug. 2005) Kaspin, Deborah, “The Politics of Ethnicity in Malawi’s Democratic Transition”, dalam Journal of Modern Afrikan Studies, Vol. 33 No. 4 (Desember, 1995) Kinzo,Maria D’Alva Gin, “The 1989 Presidential Election: Electoral Behaviour in Brazilian City”, dalam Journal of Latin American Studies, Vol. 25 No. 3 (May, 1993) Liddle, R.William dan Saiful Mujani,“Leaderships, Party,and Religion: Explaining Voting Behavior In Indonesia” dalam Journal Of Democrcy,Vol. 21 No. 2 (April 2010) Rood, Steven, “Perspective on the Electorals Behaviour of Baguio City (Philipines) Voters in Transition Era”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 22 No. 1, (Maret 1991)
Tesis Agusmawanda, Perilaku Memilih Masyarakat Adat Ternate dalam Pemilihan Legislatif Kota Ternate 2009, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2011) Adnyana, Yudistira, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Memilih dalam Pilkada Badung 2005, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006) Toruan, Jhonsar L., Perilaku Memilih Pada Pemilihan Kepala Daerah 2005: Studi Kasus Kemenangan Mardin Sihombing/Marganti Manullang Sebagai Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi Sumatra Utara, Tesis Magister, (Jakarta: FISIP UI, 2006)