PERILAKU POLITIK TRANSAKSIONAL (Menggagas Fenomena Praktek Politik Uang Dalam Pemilu) H.M. Abdul Kholiq 1 Dosen Tetap UNSIQ Wonosobo Abstrak Kekuatan Politik, dimana dalam prosesi demokrasi seperti Pemilukada langsung untuk memilih bupati, walikota, gubernur atau anggota legislatif pada masa transisi demokrasi dewasa ini tidak lepas dari keberadaan kekuatan pemodal politik dari kandidat calon selalu dipenuhi kepentingan transaksional, bahkan dalam penyusunan anggaran atau kebijakan. Patronase politik dengan ciri klientalisme dan patrimonialisme yang dijalankan pemodal politik tersebut menjadi tanda-tanda kebangkitan otoritarianisme yang syah melalui pemilihan umum dan prosesi demokrasi. Politik Transaksional seolah dilegitimasi oleh semua kalangan, dari mulai mayarakat awam, tokoh masyarakat, sampai tokoh agama, buktinya banyak kalangan agamawan ikut memanfaatkan kesempatan tersebut dengan jalan pengajuan proposal pembangunan tempat ibadah. Walaupun politik transaksional (money politic) dilarang oleh undang-undang, tapi faktanya hampir semua orang melakukan walaupun caranya berbeda-beda, ada yang berdalih shodaqoh, ada yang berdalih “Ahsin ala mukhin” bahkan ada yang beranggapan memberi upah kerja, atau uang trasport. Cara- cara seperti itu dihukumi halal asal bersifat kebaikan. Politik transaksional amat dipahami bernuansa ”political trading” artinya politik sebagai wujud dagang; jual beli kesempatan dan kepercayaan antara rakyat dengan politisi. Politik transaksional ini berlangsung karena saling memahami dan “saling membutuhkan” akibat runtuhnya keyakinan bahwa politik adalah entitas yang sejatinya syarat virtualisme, bahwa politik adalah sarana untuk mensejahterakan masyarakat lewat produk aktivitas poltik. Proses demokrasi yang memenuhi aspek tesis Hans Joergen tentang adanya kompetisi, partisipasi dan kebebasan sipil untuk memilih ketika dalam framing “materialism dan hidonism politik”, maka meruntuhkan aspek nurani dan kejujuran pribadi dan menggeser substansi politik atas dasar kebajikan. Logika pasar biasanya penjual dan pembeli terdapat jarak di dalamnya. Politik transaksional akan menjadi keharusan apabila mentransaksikan aspirasi, kepentingan dan ekspektasi publik tentang kesejahteraan antara konstituen dengan aktor politik untuk diaksentuasikan ke dalam produk politik yang populis yakni memihak masyarakat dan bukan transaksi yang dipenuhi propaganda politik. Kata Kunci : Transaksional; Politik; Pemilu. Abstract Political force, in which democratic processes such as local election to elect the regent, mayor, governor, or legislative member during current transition, cannot be separated from the existence of financial force of the candidates as well as transactional interests, even in the budget or policy making. Political patronage characterized by clientalism and patrimonialism done by them is a clear sign of the revival of legalized authoriter through general election and democracy processes. It now seems that transactional politics is legitimated by all, common society or public figures, even religious leaders. It is proven by the presence of worship places construction proposal put forward by religious figures. Although constitutionally forbidden, transactional politics (money politic) is in fact committed by almost everyone, in many different ways. Some call it charity, some say “Ahsin ala mukhin,” some even argue that what they offer is wages, or transportation fee. Those are ways considered halal so long as they are used for common good. Transactional politics is largely understood as “political trading” in which politics is the object of trading; trade of opportunity and trust between people and politician. This transactional politics come into existence as a result of mutual understanding and dependence since the belief that politics is essentially an entity full of virtues, that politics is a mean to bring prosperity to society, has collapsed.
1
94
Dosen Tetap UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, Ketua Umum Orda ICMI Kabupaten Wonosobo, Pengamat Politik Lokal
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ……… Democracy process fulfilling Hans Joergen’s thesis aspect such as public freedom and participation in voting, when in the frame of “materialism and politic hedonism,” will destroy conscience and personal honesty aspect, and put aside political substance based on merits. Transactional politics becomes a must in transacting public aspiration, interest and expectation on public prosperity. It is done by constituents and political actors and accentuated in popular political products, the ones on public’s side instead of on political propaganda. Key words: Transactional; Politics; General Election
A. Pendahuluan Seorang filosof Yunani terkemuka Aristoteles 2 pernah mengatakan bahwa politik merupakan ilmu yang paling tinggi kedudukannya karena tujuan dan target akhir politik adalah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sehat, sehingga semua warga negara merasa dilindungi dan dibela hak-haknya untuk tumbuh menjadi pribadi sehat sesuai minat dan bakatnya. Selain itu para filosof juga pada umumnya memandang politik sebagai seni dan ilmu yang sangat terhormat dan karenanya para politisi haruslah memiliki kualitas moral dan intelektual yang tinggi. Pencerahan intelektual para pelaku politik sangat dibutuhkan, tetapi tidak cukup dengan kecerdasan akal dan keunggulan intelektual dalam proses politik, namun pencerahan moralitas justru lebih penting, kata Aristoteles 3, Keunggulan moral yang harus diolaqh antara lain dengan kesederhanaan politik, keberanian politik, keadilan politik, kebesaran jiwa dan kesetiakawanan. Keunggulan moral berbeda-beda tiap-tiap orang, tergantung dari perannya masing-masing, apakah dia sebagai presiden, buruh, wanita atau pria. Tugas dari seseorang adalah menentukan sampai seberapa jauh keunggulan moral harus dipenuhi dan jenis tindakan apa yang harus dupenuhi. Menurut para pemikir bahwasanya prasyarat politik adalah kualitas moral yang harus dimiliki oleh pelaku politik di samping kompetensi dan profesionalitas. Hal ini tentu melahirkan argumen lanjutan seperti yang disampaikan Komaruddin Hidayat: “Bila para politisi tidak bermoral dan tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka bisa mendidik dan mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi masyarakat yang beradab?” 4 Banyak pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?5 Nilai moral6 bagi manusia menjadi landasan utama dalam melakukan sesuatu. Mengapa? Karana etika, moralitas, dan hati nurani akan terus mengawasi tindakan dan prilaku manusia. Nafsu kebinatangan manusia cendrung mendominasi jika nilai dan hati nurani berjalan tidak berimbang, sehingga nilai baik buruk sulit dipilah secara terinci. Di sinilah etika dan kejernihan hati nurani itu diperlukan. 2
3
4 5
6
Dari sederetan nama-nama filsuf, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir yang memberi kontribusi besar pada perkembangan ilmu politik. Karyanya yang berjudul La Politica memiliki peran besar dalam perkembangan dasardasar ilmu politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung pun terpana dengan pandangan-pandangan politiknya tentang negara. Selain La Politica, guru dari Alexander Agung ini juga menulis Ethica. La Politica mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan yang sederhana hingga memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran yang kritis, mendalam, holistik, dan visioner. Wajar saja karena beginilah salah satu ciri dari para pemikir di masa lampau. Nah, hasil pemikirannya yang kontemplatif itu masih awet untuk dibaca kapanpun dan di manapun. William K. Frankena, Three Hostorical Philosopheis of Educatioan,Chapter two : Aristotle’s Philosophy of Education, Hal 41. Komaruddin Hidayat, Moralitas Politik, (Mizan Bandung, 2008), hal 112. Dialog di TVOne pada tanggal 15 April 2012, tema "membangun Negara yang bebas dari korupsi" dengan analisis kasus Wisma Atlet. Moral berkaitan dengan akhlak. Nilai moral secara normatif bisa dikatakan moralnya baik atau moralnya tidak baik. Seseorang yang memiliki karakter dan kepribadian yang menggambarkan sebagai suatu moral yang baik kalau dalam kesehariannya menunjukkan sikap yang sopan, jujur, toleran, bertanggungjawab .
95
Tokoh Spritual Hindu Mahatma Gandhi pernah berucap: “Bumi ini cukup untuk melayani keperluan manusia, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan manusia.” Indonesia termasuk salah satu negara kaya-raya. Sayangnya negara kaya-raya itu salah urus. Kesalahan dalam mengurus sebagai salah satu akibat keserakahan yang telah dilembagakan dan disahkan greeded has been institutionalized and legitimised. Korupsi kian menggurita, membudaya, dan seolah tak bertepi lagi. Dari bangun tidur, sampai tidur kembali, seolah tiada ruang hampa tanpa korupsi. Hal ini, tentu terkait dengan budaya bangsa ini. 7 Sejak Indonesia memasuki era reformasi, banyak perubahan fundamental telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan yang paling signifikan terjadi pada sistem tata kelola pemerintahan dengan diterapkannya sistem check and balances (pengawasan dan kesamaan kedudukan) dalam menjalankan fungsi dan wewenang di antara lembaga eksekutif, legislatif dan judisial. Namun sayang pelaksanaan reformasi yang sejatinya bertujuan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan masih dihadang oleh kendala lemahnya moral oknum pejabat negara yang mudah tergoda oleh faktor uang untuk kepentingan memperkaya diri sendiri. Faktor uang menjadi dominan dan mengalahkan kepentingan lainnya karena pejabat publik yang sedang berkuasa memerlukan investasi politik yang cukup besar guna memenuhi ambisi melanggengkan kekuasaannya bagi masa depan suksesi agar tetap berada di lingkungan keluarganya. Di beberapa daerah sudah terjadi alih-kepemimpinan pucuk pimpinan yang berlangsung mulus hanya di antara satu lingkaran keluarga. Ternyata rakyat di daerah cukup permisif menyikapi fenomena dinasti kekuasaan ini terlepas dari faktor nonteknis yang memudahkan pengajuan calon-calon kepala daerah yang masih ada ikatan keluarga dekat dengan pejabat yang akan digantikannya. Fenomena jabatan kepala daerah memang termasuk paling banyak mendapat sorotan, bukan semata-mata karena berpeluang melahirkan dinasti politik, tetapi juga diakibatkan oleh disharmonisasi hubungan kepala daerah dan wakilnya di tengah masa jabatan akibat seringkali orang nomor dua (wakil) berambisi merebut kursi nomor satu pada pilkada berikutnya. Guna mengeliminasi aspek peluang lahirnya kepala daerah yang berasal dari satu keluarga dan persaingan antara kepala daerah dan wakilnya, diperlukan amandemen konstitusi tentang susunan dan kedudukan (susduk) melalui niat yang tulus dalam pembahasan di lembaga legislatif tanpa ditunggangi kepentingan politik dan uang. Carut-marut kehidupan berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari manuver para politisi yang memiliki hak membuat undang-undang, baik atas inisiatif dewan sendiri maupun membahas rancangan konstitusi yang diajukan oleh pemerintah (eksekutif). B. Analisis Kebutuhan Kekuasaan Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Kebutuhan ini pada teori Maslow8 terletak antara kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. Mc Clelland9 menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan. n-pow adalah motivasi terhadap kekuasaan. Karyawan memiliki motivasi untuk berpengaruh terhadap lingkungannya, memiliki karakter kuat untuk memimpin dan memiliki ide-ide untuk menang. Ada juga motivasi untuk peningkatan status dan prestise pribadi. Mereka yang memiliki kebutuhan kekuasaan (need for power/n-Pow) dapat menjadi orang yang memiliki dua tipe, personal dan institusional. Mereka yang butuh kekuasaan personal menginginkan orang lain secara langsung, dan kebutuhan ini sering diterima sebagai hal yang tidak 7 8
9
96
Jurnal Muqaddimah, Nopember 2006-Mei 2007. Analisis Hirarchi kebutuhan manusia menurut Abraham H. Maslow, terjadi 5(lima) tingkatan, yakni kebutuhan dasar/ fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan mencintai dan dicintai dan kebutuhan esteem/rasa social dan tingkat kelima kebutuhan puncak manusia yakni aktualisasi diri. Analisis 3 (tiga) kebutuhan pokok manusia menurut David MC. Clelland, yakni need for echievement (kebutuhan berprestasi), kedua, need for power (kebutuhan berkuasa), dan ketiga, need for affiliation (kebutuhan berteman).
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ……… diingini. Seseorang yang membutuhkan kekuasan lembaga mau mengorganisir usaha orang lain untuk tujuan lebih lanjut dari organisasi. Manejer dengan kebutuhan kekuasaan lembaga yang tinggi cenderung lebih efektif dibandingkan dengan mereka yang membutuhkan kekuasaan personel tinggi. Dalam teeori Abraham H. Maslow yang sangat terkenal dengan Hirarchi Kebutuhan 10, budaya kita masih berada dalam kategori motivasi rendahan, papan bawah, alias level muruhan, karena hampir semuanya berada dalam kebutuhan fisiologis atau kebutuhan fa’ali, fisik dan kebendaan. Motivasi prilaku politik individu, elit, kelompok masih berkutat pada kebutuhan perut, seks, keamanan diri dan kelompoknya dengan maraknya money politic dikalangan politisi. Etika apalagi, moralitas dan bahkan nurani sudah tak berarti apa-apa. Yang penting adalah uang11. Kekuasaan dan kehormatan dapat dibeli dengan uang. Untuk memeroleh jabatan bahkan untuk menjadi Kepala Desa, Camat, Bupati, Gubernur, DPR. Bahkan, Presiden sekalipun, diperlukan uang, sisanya tidak peduli. Kalau sudah begini mungkin uang akan memelancar segala macam bentuk kamaksiatan dan kejahatan di negara ini. Lengkap sudah penderitaan bangsa ini. Mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, kehancuran sistem politik, moralitas, dan ditambah dengan bencana alam, seperti tsunami, tanah longsong, banjir dan sebagainya. Selain itu, Indonesia tidak hanya menyandang predikat sebagai negara koruptor harta terbesar di dunia, tatapi juga negara koruptor, sejarah paling sadis di muka bumi ini. Dimana-mana sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa uang bisa berbicara atau money talks. Uang telah mengatur kehidupan manusia. Uang bukan lagi menjadi alat, maens, untuk kebahagiaan kehidupan kelompok, tetapi sudah menjadi end tujuan hidup individu dan masyarakat. Padahal kritik para penyair uang pada hakekatnya tidak bisa membeli substansi tetapi simbol dan kulit luar. Profesor Abdurrahman Mas’ud menyitir sebuah sya’ir sebagai berikut : 12 “ What money well buy (Uang bisa membeli apa?), A bed but not sleep (Tempat tidur, bukan tidur), Book but not Brains (Buku bukan otak), Foot but not appetite (Makanan bukan selara), Finery but not beauty (Perhiasan bukan kecantikan), A house but not a home (Rumah bukan tempat tinggal), Medicine but not health (Obat bukan kesehatan), Luxuries but not culture (Kemewahan bukan peradaban), Amusements but not happiness ( Hiburan bukan kebahagiaan), Religion but not salvation (Agama bukan keselamatan). Merujuk pada syair diatas, sesungguhnya money politic yang marak dimana-mana, terutama pada proses pileg, pilpres, pemilukada dan akhir masa jabatan politik mestipun susah dibuktikan dan dijerat hukum, menandakan budaya haus hiburan, amusment, hidonisme dikalangan politisi. Para wakil rakyat kita, barangkali merasa selama ini doa mereka untuk hidup bahagia dunia akhirat tidak kunjung tiba. Maka mereka lebih memilih uang yang dipersepsikan akan mendatangkan kebahagiaan. Kata orang bijak, memang manusia memiliki beberapa tipologi yakni; mereka yang tahu bahwa mereka tidak tahu, mereka yang tidak tahu bahwa mereka tahu, mereka yang tahu bahwa mereka tahu. Belum termasuk dalam tiga klasifikasi ini adalah mereka yang pura-pura tidak tahu, serta mereka yang tidak tahu tetapi kalau diberitahu marah. Klasifikasi yang keempat dan kelima inilah dalam bahasa Al Qur’an “Asfala safilin” yakni manausia yang tadinya mulai “Ahsani 10
11
12
Maslow menggunakan piramida sebagai peraga untuk memvisualisasi gagasannya mengenai teori hirarki kebutuhan. Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Adapun hirarki kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :Kebutuhan fisiologis atau dasar, Kebutuhan akan rasa aman, Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, Kebutuhan untuk dihargai, Kebutuhan untuk aktualisasi diri; Uang memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari karena dengan uang kita dapat memenuhi kebutuhan hidup kita. Sehingga tidak heran bila ada statement bahwa uang merupakan darah dari perekonomian. Dikatakan uang bukan segala-galanya, tetapi segala galanya butuh uang. Walaupun orang bijak mengatakan bahwa uang bukanlah segala-galanya, namun hidup tanpa uang adalah sebuah derita. Berikut ini adalah pengertian dan definisi uang: Uang merupakan alat tukar yang diterima pleh masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah atas kesatuan hitungnya Uang adalah suatu media yang diterima dan digunakan oleh para pelaku ekonomi untuk memudahkan dalam bertransaksi. Uang dimaknai substansi, padalah uang adalah simbol. Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta, Gama Media, 2003, hal 141.
97
takwin” kemudian berubah menjadi makluk yang paling rendah statusnya (asfala safilin) dalam pandangan agama. Seperti diketahui bersama politik transaksional sangatlah berbahaya dan berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Senada dengan hal tersebut Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) berharap partai politik tidak terjebak pada politik transaksional. Menurutnya, politik dagang sapi semacam itu sangat membahayakan demokrasi Indonesia. Dalam sebuah wawancara dengan Michello Loebuis SBY pada 5 Mei 2014 lalu, mengatakan bahwa gaya politik transaksonal itu ibarat racun yang sangat mematikan bagi Demokrasi Indonesia. Selain mematikan demokrasi, politik transaksional juga berpotensi melahirkan pemimpin dan politisi korup. Hal tersebut terlihat dari beberapa kasus-kasus pejabat dan politisi yang terjebak dalam kasus yang menghianati amanah rakyat tersebut. Politik transaksional dikatakan dapat melahirkan pemimpin dan politisi korup karena sifat dan gaya yang berpedoman pada nilai-nilai ekonomi dan transaksi yang berujung pada keuntungan pribadi. Realitas tersebutlah yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia politik itu sarat dengan tukar-menukar jasa, atau dalam bahasa perniagaan (transaksional). Artinya, ada tukarmenukar jasa dan barang yang terjadi antara para politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dengan demikian, semakin banyaknya politikus yang terjerembab dalam skandal korupsi, menunjukkan kepada publik akan praktik politik transaksional tersebut. Berdasarkan hasil pemikiran yang dilahirkan oleh para pemikir Frankfurt School yang notabene berasal dari kalangan Marxisme, mengungkapkan teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat menyejahterakan para politikus dan kelompoknya. Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan. Logika politik transaksional, sadar atau tidak sadar, telah ikut memengaruhi jalannya kehidupan politik di Indonesia. Meski demikian, mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai otoritas hak suara dalam pesta demokrasi. Sehingga naluri dan kewaspadaan dalam memilih calon wakil rakyat harus benar-benar dikuatkan dalam setian pribadi calon pemilih, untuk mencegah pemimpin-pemimpin yang korup. C. Menengok teori perilaku politik Dalam penelitian ini landasan teoritis dibangun berasal dari konsep-teoritis pelbagai ilmuan sosial, seperti Max Weber, Alfred Schutz, dan khususnya Erving Goffman. Dalam pandangan Erving Goffman, “diri” sebagai entitas individu yang memerankan diri dalam peran yang sebenarnya merupakan hasil interaksi dari audien. Dalam konsep ini, yang dipertimbangkan dalam mengolah peran adalah panggung belakang (backstage) dan panggung depan (frontstage) yang menjadi satu kesatuan utuh yang dalam implementasi peran. Individu dalam konteks ini bukan merupakan aktor tunggal melainkan sebagai satu kesatuan individu yang tergabung dalam sebuah tim13 yang dalam bahasa Erving Goffman sebagai kelompok rahasia (secret society) Dalam memainkankan peran ini, tim sangat penting artinya dalam mensukseskan peran yang diperankan oleh seseorang. Dalam konteks pemilu legislatif, aktor yang melakukan kontestasi dalam panggung politik praktis dibaca bukan aktor tunggal melainkan suatu kerja tim yang bersatu padu untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
13
98
Tim menurut Erving Goffman, satu kelompok individu yang bekerja sama dalam pementasan rutinitas tunggal dapat disebut sebagai sebuah tim pertunjukan atau, singkatnya, sebuah tim, hal. 48. Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life,Edinburgh: University of Edinburgh, 1956, hal. 47-65
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ……… Sementara dalam melihat politik uang, dalam kajian dramaturgi, lebih melihat pada panggung depan, dimana uang itu hadir dan menjadi alat bagi aktor dalam memainkan peran-peran politiknya sebagai calon kontestan. Sementara pada panggung belakang, yang tidak banyak diketahui, seperti motif dan sumber uang. Uang dalam konteks ini dimaknai sebagai salah satu personal depan (front personal) untuk menguatkan peran dalam memainkan peran di panggung depan yang diharapkan oleh audien dapat dimiliki oleh aktor. Sementara pada panggung belakang, audien tidak banyak mengetahui motivasi uang diberikan, sumbernya dan cara memperolehnya. Secara geneologis, pendekatan ini berasal dari perdebatan tindakan sosial, sebagaimana digambarkan oleh Antony Giddens, tentang satu dilema yang memfokuskan pada tindakan manusia yang dikembangkan oleh Max Weber dan interaksionisme simbolik dengan struktur sosial yang dikembangkan oleh Emile Durkheim. 14 Menurut Max Weber tindakan “sosial” sejauh yang berarti subjektif mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada jalurnya. 15 Ada dua makna tindakan sosial menurut Max Weber, “pertama pada makna yang ada sebenarnya dalam kasus konkret yang diberikan seorang aktor tertentu, atau untuk arti rata-rata (umum) atau perkiraan yang disebabkan oleh sejumlah pelaku tertentu, atau kedua secara teoritis dapat dipahami sebagai pure type dari makna subjektif dikaitkan dengan hipotesis aktor atau aktor dalam jenis tindakan tertentu.” 16
Dalam pandangan Max Weber, subyektifitas individu sangat berperan dalam tindakan sosial. Dengan kata lain, tindakan sosial melekat pada subyektifitas individu dimana individu memberikan makna secara subyektif dalam mempertimbangkan perilaku orang lain. Alfred Schutz memberikan penjelasan tindakan sosial yang dimaksud oleh Max Weber, sebagai berikut, “tindakan adalah berarti bagi dia yang bertindak, ini adalah apa yang membedakan tindakan dari perilaku belaka, ..kami sekarang dapat membawa lebih dari konsep awal makna terhadap lingkungan sosial dan menerapkannya pada tindakan sosial, yang, seperti telah kita lihat, adalah tindakan didasarkan pada perilaku orang lain.” Menurut Alfred Schutz terdapat dua kategori tindakan sosial: (1) tindakan sosial biasa yang bermakna, (2) tindakan sosial yang didasarkan pada perilaku manusia lain. 17 Namun, menurut Alfred Schutz, tanpa keterlibatan sosial-pun, individu sudah dapat bertindak penuh arti atau makna.18 Berdasarkan pemikiran teoritis tersebut, Erving Goffman memperkenalkan kerangka analisis (frame analysis), studi frame atau skema sebagai dasar penafsiran, dimana orang dalam situasi sosial memahami koheren dari apa yang terjadi dalam situasi itu. Kerangka analisis mengasumsikan bahwa peristiwa sosial dan pengalaman pribadi dapat dipahami oleh para pelaku sosial dalam berbagai cara tetapi pemahaman seperti memiliki struktur sendiri dan koherensi, yang dapat secara sistematis dijelaskan.19 Dalam pemikirannya, Erving Goffman berangkat dari pemikiran terdahulunya seperti Edmund Husserl and Alfred Schutz. Khususnya tentang Alfred Schutz, dimana individu mengalami realitas jamak (multiple reality).20 Dari gagasan ini, Erving Goffman meminjam dan memperluas gagasan ini untuk mencakup realitas yang berbeda dari lelucon, latihan, parodi, drama, dan sejumlah interpretasi lainnya situasi yang kurang “kerangka utama” dari sederhana, kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Erving Goffman juga melanjutkan minat sosiologis dalam “definisi situasi” sebuah konsep yang mengakui 14 15
16 17
18 19 20
Anthony Giddens, Sociology, Cambridge: Politiy Press, 2006, hal. 105. Max Weber, Economy and Society, An Out Line an Interpretative Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich (ed), California:University of California, 1978, hal. 4. Dalam pembahasan yang lain tentang pemikiran Max Weber lihat, Bryan S. Turner, Classical Sociology, California: SAGE Publications, 1999, hal. 72. Ibid., hal.4. Alfred Schutz merupakan salah satu pendiri dari fenomenologi yang berpengaruh terhadap para sosiolog setelahnya. Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World,Boston: Northwestern University Press, 1967, hal. 15. Ibid., hal. 15-16. George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory,California: Sage Publications, 2005 hal. 289. Erving Goffman, On Essay on the Organization of Experience: Frame Analysis, Boston: Northeastern University Press, 1986, hal. 3
99
problem koherensi dan makna adegan sosial, dan dramaturgi sosial sendiri, yang secara aktif mengeksplorasi metafora kehidupan seperti teater.21 Dalam karyanya yang lain, Erving Goffman memberikan gambaran awal tentang dramaturgi yang melekat pada seseorang dalam melakukan tindakan sosial. Dalam pernyataannya, Erving Goffman menyebutkan, “ketika seorang individu memasuki kehadiran orang lain, mereka umumnya berusaha untuk memperoleh informasi tentang dirinya atau untuk membawa ke dalam informasi yang bermain tentang dia yang sebelumnya dimiliki. Mereka akan tertarik secara umum status sosio-ekonomi, konsepsi tentang diri, sikapnya terhadap mereka, kompetensi-nya, kepercayaan-kelayakan, dan lain-lain. Meskipun beberapa informasi ini tampaknya harus dicari hampir sebagai tujuan itu sendiri, biasanya cukup praktis alasan untuk mendapatkannya. Informasi tentang individu membantu mendefinisikan situasi, memungkinkan orang lain untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang akan ia harapkan dari mereka dan apa yang mereka harapkan dari dirinya. Informasi dalam cara ini, orang lain akan tahu bagaimana cara terbaik untuk bertindak dalam rangka untuk memberi respon balik yang diinginkan darinya.” Penekanan dalam dramaturgi, yang menekankan pada seseorang yang melakukan respon tentang individu yang lain dengan cara mengorek informasi secara lebih jelas dan detail yang dijadikan sebagai bahan dalam memberikan respon tersebut. Dengan demikian persentasi diri seseorang dapat berbeda dalam setiap waktunya sesuai dengan peran yang dimainkan. Dalam dramaturgi, yang menjadi pusat kajian bukan hanya tindakan saja melainkan interaksinya. Sebagaimana disampaikan oleh George Ritzer, “para teoritisi intrasionisme simbolik memusatkan perhatian terutama pada dampak dari makna dan simbol terhadap tindakan dan interaksi manusia”.22 Sementara konsep “diri” yang dimaksud oleh Erving Goffman, menurut George Ritzer dan Douglas J Goodman, diri bukan milik aktor tetapi lebih sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audie. Karena hasil dari interaksi dilematis, menurut Misztal yang dikutip oleh George Ritzer dan Douglas J Goodman, maka mudah terganggu selama penampilannya. Tergangunya penampilan aktor seperti yang dimaksud Misztal sangat mungkin terjadi dalam suatu pertunjukan dimana peran aktor memerankan peran yang berbeda yang terkadang asing dengan peran aslinya. Namun ini kemudian disiasati dalam teater dengan mempersiapkan secara matang dan penjiwaan secara utuh tentang peran yang akan dimainkan sehingga dapat meminimalisir kesalahan yang kemungkinan akan terjadi di atas panggung. Dari sana kemudian membawa pada kajian panggung depan dimana aktor memainkan perannya di hadapan audien. Sementara, pada panggung belakang, dalam kajian ini tidak banyak ditampilkan karena sengaja tidak ditampilkan karena di panggung belakang, pengelolaan kesan dan persiapanpersiapan tehnis dalam memastikan peran yang nantinya dimainkan di panggung depan sesuai dengan harapan. Namun tidak menutup kemungkinan satu tempat mempunyai peran yang berbeda sebagai panggung depan dan panggung belakang dalam waktu yang berbeda. 23 . Disamping itu, teori perilaku politik transaksional dapat kita jelaskan sebagai bereikut; (1), Teori Interaksionisme Simbolik : yaitu suatu proses interaksi individu dengan menggunakan symbol, baik yang berupa bahasa, isyarat dan symbol-simbol lainnya dalam memberikan makna tindakan sosial tertentu. Teori interaksi simbolik, dimana manusia atau individu hidup dalam suatu lingkungan yang dipenuhi oleh simbol-simbol. Tiap individu yang hidup akan memberikan tanggapan terhadap simbol-simbol yang ada, seperti penilaian individu menanggapi suatu rangsangan (stimulus) dari suatu yang bersifat fisik. Pemahaman individu terhadap simbol-simbol merupakan suatu hasil pembelajaran dalam berinteraksi di tengah masyarakat, dengan cara
21 22
23
Ibid,, hal. 289. George Ritzer mengklasifikasikan bahwa dramaturgi merupakan salah satu kajian teoritik dari interasionisme simbolik selain George Herbert Mead, Herbert Blumer, and Everett Hughes. George Ritzer dan Douglas J Goodman, Modern Sociological Theory, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 hal. 293 George Ritzer mencontohkan ruang professor yang pada saat bertemu dengan mahasiswa menjadi panggung depan dan menjadi panggung belakang saat mahasiswa itu meninggalkannya.
100
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ……… mengkomunikasikan simbol-simbol yang ada disekitar mereka, baik secara verbal maupun perilaku non verbal. Pada akhirnya, proses kemampuan berkomunikasi, belajar, serta memahami suatu makna di balik simbol-simbol yang ada, menjadi keistimewaan tersendiri bagi manusia dibandingkan mahluk hidup lainnya (binatang). Kemampuan manusia inilah yang menjadi pokok perhatian dari analisis sosiologi dari teori interaksi simbolik. Ciri khas dari teori interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masingmasing, untuk mencapai kesepakatan bersama. Teori ini digunakan untuk mengkaji perilaku politik Anggota DPRD, yang mempengaruhi tokoh agama dan tokoh masyarakat. (2), Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) adalah teori yang termasuk dalam paradigma perilaku sosial, yaitu paradigma yang mempelajari perilaku manusia secara terus-menerus di dalam hidupnya. Teori pertukaran sosial merupakan satu teori yang telah dikembangkan oleh pakar psikologi John Thibaut dan Harlod Kelley (1959),ahli sosiologi seperti George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita memasuki dalam hubungan pertukaran dengan orang lain kerana daripadanya kita dapat memperolehi sesuatu ganjaran Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan sesuatu ganjaran.Bagi kita teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lingkungan hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi dalam hubungan tersebut,yang terdapat unsur ganjaran (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Teori ini memandang hubungan interpersonal sebagai suatu transaksi dagang. Orang berhubungan dengan orang lain karena mengharapkan sesuatu yang memenuhi kebutuhannya. Thibaut dan Kelley, pemuka utama dari teori ini menyimpulkan teori ini sebagai berikut: “Asumsi dasar yang mendasari seluruh analisis kami adalah bahwa setiap individu secara sukarela memasuki dan tinggal dalam hubungan sosial hanya selama hubungan tersebut cukup memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya”. Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Teori pertukaran sosial melihat antara perilaku dengan lngkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi ( reciprocal), karena lingkungan kita umumnya erdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang –orang lain tersebut dipandang mempnyai perilaku yang saling mempengaruhi. Hubungan pertukara dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan kepada kita. Jadi Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) yaitu tindakan sosial manusia dipengaruhi oleh pertukaran sosial yang seimbang, hubungan pribadi bersifat timbal balik, walaupun proses pertukaran sosial tersebut tidak selalu dapat diukur dengan uang atau barang, tetapi dapat berupa jasa. D. Bentuk praktek perilaku politik transaksional 101
Praktek politik uang dalam pemilu merupakan salah satu permasalahan yang cukup merumitkan pelbagai kalangan. Laporan Pemantauan Transparancy International Indonesia (TII) dan Indonesian Corruption Watch (ICW) Pemilu 20014 merupakan salah satu bukti arikulatifnya. Dalam laparan ini, TII dan ICW menyimpulkan modus operandi politik uang dengan pola-pola tertentu dan beragam. Prakteknya: (1) ada yang dilakukan dengan cara yang sangat halus, sehingga para penerima uang tidak menyadari telah menerima uang sogokan, (2) ada juga dengan cara sangat mencolok (terang-terangan) di depan ribuan orang. Kondisi ini menurut laporan pemantauan TII dan ICW, seolah negara ini berdiri tanpa aturan hukum yang harus ditaati oleh setiap warganya.24 Dalam studi yang dilakukan Gary Goodpaster menyebutkan bahwa politik uang adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pembelian keuntungan atau pengaruh politik. Dalam studi ini menghubungkan politik uang sebagai bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses-proses pemilu, yang meliputi pemilihan presiden, kepala daerah, dan pemilu legislatif. Gary Goodpaster, kemudian menyimpulkan bahwa politik uang merupakan transaksi . Suap-menyuap yang dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan. Studi lain dilakukan oleh Johny Lomulus menyebutkan bahwa politik uang sebagai kebijaksanaan dan atau tindakan memberikan sejumlah uang kepada pemilih atau pimpinan partai agar masuk sebagai calon kepala daerah yang definitif dan atau masyarakat pemilih memberikan suaranya kepada calon tersebut yang memberikan bayaran atau bantuan tersebut.25 (Dalam website Wikipedia), politik uang disebutkan sebagai suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilu. Sedangkan menurut Adnan Topan Husodo, kajian saat ini, tindakan politik uang tidak hanya terbatas pada transaksi pembelian suara pemilih tetapi juga tindakan aktor dengan menyogok penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan. Tujuannya: (1) rekayasa hasil pemilihan, (2) mengikat antara calon dan penyelenggara pemilu tetapi tidak ikatannya longgar dengan pemilih. 26 Dari definisi-konseptual di atas, politik uang diartikan sebagai proses transaksional antara aktor yang berkontestasi dalam pemilu dengan pemilih untuk mendapatkan keuntungan langsung berupa mendapatkan suara dari pemilih yang bersangkutan. Pengertian ini secara faktual banyak terjadi saat diselenggarakan pemilu. Tidak berbeda dengan studi politik uang, studi tentang pemilu sudah banyak dilakukan kalangan akademisi. Menurut Didik Sukriono, pemilu terdiri dari: sistem, aktor, tahapan, manajemen, pembiayaan, etika, penegakan hukum dan lain-lain. Pemilu biasanya adalah masalah teknis bagaimana mengkonversi suara rakyat menjadi kursi. Namun demikian, dalam melihat persoalan pemilu, tidak boleh terjebak pada masalah teknis semata. Bagaimanapun pemilu sesungguhnya adalah instrumen demokrasi.27 Menurut Larry Diamond dan Marc F. Plattner kajian tentang pemilu sebagai instrumen demokrasi para ilmuwan politik mengistilahkan dengan demokrasi pemilihan (electoral democracy) yang mana dalam setiap negara, sistem pemilu mempunyai perbedaan-perbedaan sesuai dengan pilihan negara yang bersangkutan dalam memilih sistem pemilu yang diberlakukan di negara tersebut.28 Dalam kajian tersebut mencoba mengaitkan pemilu sebagai instrumen demokrasi atau 24
25 26 27
28
Ahsan Jamet Hamidi et al.,Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang,Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008, hal. 49.) Gary Goodpaster, reflesi tentang Korupsi di Indonesia, Jakarta: USAID, 2001, hal. 13 Lomulus, Johny, “Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Menjelang PILKADA Langsung di Kota Bitung,”dalam Demokrasi Mati Suri,Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 2007, LIPI. hal. 35. Wikipedia, Politik Uang,http://id.wikipedia.org(diakses 12 November 2011) Adnan Topan Husodo, Pergeseran Praktek Politik Uang, Koran Tempo, Rabu, 03 Juni 2009. Didik Sukriono, “Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia,” dalam Jurnal Konstitusi, Volume II Nomor 1 Juni 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. 11. Pembahasan sistem pemilu dan demokrasi dapat dilihat dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (eds.), Electoral Sistems and Democracy, Baltiomore Maryland:The Johns HopkinsUniversity Press and the National Endowment for Democracy, 2006.
102
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ……… pemilu merupakan salah satu kajian dalam demokrasi khususnya demokrasi prosedural yang mencoba untuk melakukan pelembagaan demokrasi melalui pemilihan pemimpin-pemimpin politik. Namun, dalam pembahasannya tidak secara spesifik menyebutkan masalah-masalah uang yang hadir dalam proses penyelenggaraannya yang mana uang selalu menjadi masalah yang serius dan perlu dikelola dan diatur secara lebih tehnis pula. Dalam pemilu, khususnya di Indonesia, penggunaan politik uang yang berorientasi pada pemenangan calon kontestan dalam pemilihan pemimpin politik. Politik Uang dan dalam konteks berdemokrasi menjadi fenomena politik yang kerapkali merisaukan banyak kalangan pro demokrasi. Cara penggunaan politik uang dalam pemilu dianggap oleh para kalangan sebagai cara yang tidak lazim dilakukan karena dalam proses pemilu dilakukan dengan cara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Ketidaklaziman dalam berkontestasi dimaksudkan karena pemilu yang dimaksudkan untuk melakukan kontestasi dan partisipasi ini tidak dilakukan secara jujur dan adil yang mempengaruhi pilihan para pemilih. Dalam memberikan pilihan pemilih bukan berangkat dari kepercayaan terhadap yang dipilih melainkan karena pemberian uang atau yang lainnya yang dapat dinilai dengan uang oleh calon yang punya kepentingan untuk dipilih sehingga dapat menjadi pemimpin politik. Peran aktor politik dalam melakukan kontestasi dalam pemilu sangat besar dalam merubah mainsetpilihan para pemilih. Namun dari temuan di atas sama sekali tidak mendiagnosa secara tepat akademis tentag politik uang. Hal ini karena melakukan generalisasi dan mereduksi pendefinisian politik uang dan menyamakannya dengan pembelian suara. Sementara fungsi uang dalam politik mempunyai fungsi yang sangat beragam tergantung pada peruntukan dan pendistribusian uang ketika calon berkontestasi. Terkait uang dalam pemilu tersebut Andi K. Yuwono et al., menyebutkan : “Hingga saat ini, transisi demokrasi yang sudah berusia lebih dari satu dekade masih mengisyaratkan terpuruknya rakyat. Ruang demokrasi khususnya yang prosedural telah dibajak, dikooptasi dan dijarah oleh kepentingan pemodal dan berbagai faksi politik elit dan reformis gadungan yang duduk di parlemen, pemerintahan dan berbagai partai politik utama, baik di pusat maupun daerah. Dominasi kekuatan ekonomi, politik dan budaya pro pasar bebas ini, mendorong lahirnya produk-produk kebijakan yang mengabdi kepada kepentingan pribadi, kelompok dan modal.”29 Kajian ini memberikan pembahasan bahwa demokrasi, khususnya demokrasi prosedural dirusak dengan kepentingan modal yang menodai esensi demokrasi dan menghambat terkonsolidasinya demokrasi. Sehingga, demokrasi tidak atau belum dapat mencerminkan kepentingan masyarakat luas melainkan lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, kelompok dan modal. Dalam pembahasan di atas, mempunyai perbedaan penekanan yang berbeda dengan pembahasan sebelumnya. Dalam pembahasan ini memberikan penekanan pada cara uang itu diperoleh yang kemudian dimanfaatkan dalam biaya-biaya politik dalam proses penyelenggaraan pemilu. Tentu saja, dalam proses itu ada perjanjian-perjanjian diantara kedua belah pihak yang dalam pelaksanaannya dapat mencederai perwakilan yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok yang telah membantu calon bersangkutan dengan kebijakan-kebijakan yang diputuskan dalam legislatif. Sinergis dengan pendapat di atas Antonio Pradjasto menuturkan bahwa; “Jika partisipasi mengikuti pemilu adalah ukurannya, timbangan itu hanya sanggup menimbang kuantitas tapi tidak kualitas demokrasi. Karena itu, demokrasi formal yang bersifat instan (kuantitatif) saja tidaklah cukup benar. Sebab, jika hanya mengandalkan semata-mata pada demokrasi formal, bisa saja sistem politik didominasi oleh kekuasaan uang dan pemilihan umum dikotori oleh politik uang.”30
29
30
Andi K. Yuwono et al (eds.,), Bersatu Membangun Kuasa Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat PascaPolitik Elektoral 2009, Jombang: Perkumpulan Praxis Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, Desember 2010, hal. iii Antonio Pradjasto, Belajar dari Batman,Materi Pendidikan Politik, Panduan untuk Fasilitator Pendidikan Politik di Aceh, Majalah TEMPO, 23 Januari 2004, hal. 47.
103
Dilihat dari beberapa pengertian di atas, politik uang dapat dikonseptualisasikan sebagai tindakan memberikan uang, barang dan jasa untuk tujuan mempengaruhi pilihan pemilih agar memilih calon tertentu dalam pemilihan. Politik uang ini, dengan demikian, sangat erat kaitannya dengan tujuan pemenangan seorang calon dalam pemilu. Ada beberapa komponen yang hadir terkait praktek politik uang dalam pemilu. Komponen-komponen tersebut antara lain: (1) pemberi dan penerima politik uang, (2) modus dan bentuk praktek politik uang, (3) pola penyaluran politik uang. Penjelasan komponen-komponen tersebut sebagai berikut: 1) Pemberi dan Penerima Politik Uang. Politik uang dapat dilakukan oleh calon legislatif kepada para pemilih selama tahapan-tahapan pemilu berlangsung dengan harapan pemilih dan mengubah pilihannya sesuai dengan harapan yang bersangkutan baik dengan cara menggunakan hak pilihnya yang sesuai dengan harapan calon tersebut. Dalam kondisi sosial ekonomi, budaya dan politik yang terdapat di tingkat lokal, politik uang tidak hanya diperuntukkan untuk para pemilih saja melainkan pihak-pihak tertentu yang dapat menguntungkan calon yang bersangkutan dalam memenangkan pemilu. Politik uang juga dapat dilakukan oleh kelompok kepentingan (interest group) yang mempunyai kepentingan dengan kekuasaan baik itu investor atau kelompok kepentingan ekonomi politik kepada calon legislatif dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah disetujui oleh keduanya. 2) Modus dan Bentuk Praktek Politik Uang. Berdasarkan dari praktek, modus dan bentuknya politik uang bervariasi. Calon mempunyai cara-cara sendiri dalam melakukan modusnya dan bentuknya secara umum dalam bentuk pemberian uang, barang dan jasa. Modus politik uang dilakukan dengan melalui: (1) membagi uang langsung pada saat kampanye/rapat akbar, (2) membagi uang lewat forum keagamaan, (3) mengadakan acara bakti sosial, (4) memberikan sembako gratis, (5) membantu biaya pembangunan infrastruktur, (6) membagikan hadiah lewat undian atau door prizedan pemberian tropi, (7) memberikan beasiswa, (8) menyumbang kelembagaan keagamaan, (9) pembagian barang-barang mewah, (10) sumbangan untuk usaha tani, bantuan bibit, pupuk dan lain sebagainya.” 31 Praktek politik uang dapat dilakukan secara: (1) sembunyi-sembunyi, (2) terang-terangan. Bentuknya seperti: (1) membagikan uang pada proses dan tahapan pemilu, (2) membagikan barang dan jasa. Modus dan bentuk praktek politik uang ini bisa bervariasi lagi, dimana antara daerah yang satu dengan daerah lainnya bisa berbeda tergantung pada kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik daerah dan penerima politik uang. 3) Pola Penyaluran Politik Uang Pola penyaluran politik uang, khususnya dalam pemilu: (1) dilakukan calon sendiri, (2) dilakukan tim sukses. Pada pemilu untuk calon pemilihan tingkat kabupaten/kota, praktek politik uang biasanya dilakukan calon sendiri. Sedangkan untuk pemilu calon tingkat provinsi dan nasional, praktek politik uang dilakukan tim sukses. Namun kondisi ini tidak selalu demikian linier, karena kenyataannya, dalam pemilu, politik uang bisa saja dilakukan oleh calon yang bersangkutan secara langsung maupun melalui tim suksesnya yang tidak terdaftar dan dikenal dengan “tim siluman”. 32 Pilihan tersebut tidak terlepas dari Tim Siluman adalah tim sukses dari calon tertentu yang dibentuk untuk kepentingankepentingan khusus dan tidak terdaftar sehingga tim siluman lebih bebas bergerak dan tidak dapat diidentifikasi sebagai tim dari calon yang bersangkutan. pertimbangan-pertimbangan khusus yang dianalisis berdasarkan efektifitas dan efisiensi tujuan politik yang diharapkan. Semoga.
31
32
Ahsan Jamet Hamidi et al Pemilu 2004 Tidak bebas Politik Uang: Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008, hal. 49. Tim Siluman adalah tim sukses dari calon tertentu yang dibentuk untuk kepentingan-kepentingan khusus dan tidak terdaftar sehingga tim siluman lebih bebas bergerak dan tidak dapat diidentifikasi sebagai tim dari calon yang bersangkutan.
104
H. M. Abdul Kholiq – Perilaku Politik Transaksional ……… DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Mas’ud, Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta, Gama Media, 2003, hal 141. Adnan Topan Husodo, Pergeseran Praktek Politik Uang, Koran Tempo, Rabu, 03 Juni 2009. Ahsan Jamet Hamidi et al Pemilu 2004 Tidak bebas Politik Uang: Laporan Pemantauan Dana Kampanye, Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008, hal. 49. Ahsan Jamet Hamidi et al.,Pemilu 2004 Tidak Bebas Politik Uang,Jakarta: Transparancy International Indonesia, 2008, hal. 49.) Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World,Boston: Northwestern University Press, 1967, hal. 15. Andi K. Yuwono et al (eds.,), Bersatu Membangun Kuasa Pengembangan Strategi Gerakan Rakyat PascaPolitik Elektoral 2009, Jombang: Perkumpulan Praxis Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, Desember 2010, hal. iii Anthony Giddens, Sociology, Cambridge: Politiy Press, 2006, hal. 105. Antonio Pradjasto, Belajar dari Batman,Materi Pendidikan Politik, Panduan untuk Fasilitator Pendidikan Politik di Aceh, Majalah TEMPO, 23 Januari 2004, hal. 47. Bryan S. Turner, Classical Sociology, California: SAGE Publications, 1999, hal. 72. Didik Sukriono, “Menggagas Sistem Pemilihan Umum di Indonesia,” dalam Jurnal Konstitusi, Volume II Nomor 1 Juni 2009, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. 11. Erving Goffman, On Essay on the Organization of Experience: Frame Analysis, Boston: Northeastern University Press, 1986, hal. 3 Gary Goodpaster, reflesi tentang Korupsi di Indonesia, Jakarta: USAID, 2001, hal. 13 George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory,California: Sage Publications, 2005 hal. 289. George Ritzer dan Douglas J Goodman, Modern Sociological Theory, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007 hal. 293 Jurnal Muqaddimah, Nopember 2006-Mei 2007. Komaruddin Hidayat, Moralitas Politik, (Mizan Bandung, 2008), hal 112. Lomulus, Johny, “Sikap Pemilih terhadap Pasangan Calon Menjelang PILKADA Langsung di Kota Bitung,”dalam Demokrasi Mati Suri,Jurnal Penelitian Politik Vol. 4 No. 1 2007, LIPI. hal. 35. Max Weber, Economy and Society, An Out Line an Interpretative Sociology, Guenther Roth and Claus Wittich (ed), California:University of California, 1978, hal. 4. Pembahasan sistem pemilu dan demokrasi dapat dilihat dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner (eds.), Electoral Sistems and Democracy, Baltiomore Maryland:The Johns HopkinsUniversity Press and the National Endowment for Democracy, 2006. Wikipedia, Politik Uang,http://id.wikipedia.org(diakses 12 November 2011) William K. Frankena, Three Hostorical Philosopheis of Educatioan,Chapter two : Aristotle’s Philosophy of Education, Hal 41.
105