PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI DITINJAU DARI SIKAP BELAJAR SISWA PADA SUB POKOK BAHASAN PEMANTULAN CAHAYA UNTUK SISWA SMP
D
Skripsi
Oleh: Warsiningsih K2305020
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI DITINJAU DARI SIKAP BELAJAR SISWA PADA SUB POKOK BAHASAN PEMANTULAN CAHAYA UNTUK SISWA SMP
Oleh : Warsiningsih K2305020
Skripsi Ditulis Dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Fisika Jurusan P.MIPA Universitas Sebelas Maret
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pada hari : Kamis Tanggal
: 14 Januari 2010
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I;
Pembimbing II;
Drs. Surantoro, M.Si NIP.19570820 198601 1 001
Drs. Y. Radiyono NIP.19540831 198303 1 002 PENGESAHAN
iii
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi sebagian dari persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari
: Jumat
Tanggal
: 29 Januari 2010
Tim Penguji Skripsi :
Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
:
Drs. Supurwoko,M.Si ............................
Sekretaris
:
Drs.Darianto
Anggota I
:
Drs. Surantoro, M.Si
Anggota II
:
Drs. Y. Radiyono
.......................... ............................ ..........................
Disahkan oleh Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Dekan,
Prof. Dr.H. M.Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP. 19600727 198702 1 001
ABSTRAK Warsiningsih, PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE EKSPERIMEN DAN DEMONSTRASI
iv
DITINJAU DARI SIKAP BELAJAR SISWA PADA SUB POKOK BAHASAN PEMANTULAN CAHAYA UNTUK SISWA SMP, Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak adanya: (1) Perbedaan pengaruh antara penggunaaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. (2) Perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. (3) Interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan desain faktorial 2 x 2. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 7 Surakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 7 Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009 yang terdiri dari 6 kelas, yaitu kelas VIII A sampai dengan kelas VIII F. Sampel diambil dengan teknik cluster random sampling sehingga diperoleh dua kelas, yaitu kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII B sebagai kelas kontrol yang masing-masing sampel berjumlah 30 siswa. Kedua kelas tersebut diasumsikan mempunyai kemampuan awal Fisika yang sama. Teknik pengambilan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, angket dan tes. Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data kemampuan awal Fisika siswa yang diambil dari nilai mata pelajaran Fisika semester I, teknik angket digunakan untuk mendapatkan data sikap belajar Fisika siswa serta teknik tes untuk memperoleh data kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah anava dua jalan dengan isi sel tak sama, kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut anava yaitu komparasi ganda metode Scheffe. Dari analisis data dan pembahasan diperoleh hasil: (1) Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disertai tanya jawab terhadap
v
kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya (Fa = 5,3847 ≥ F0.05;
1.56
= 4,02). Dari uji komparasi ganda diperoleh hasil bahwa
pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok lebih efektif daripada pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab. (2) Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya (Fb = 127,870 ≥ F0.05; 1.56 = 4,02). Dari uji komparasi ganda diperoleh hasil bahwa siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori tinggi memberikan pengaruh lebih baik daripada siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori rendah. (3) Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran Fisika dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya (Fab = 10,9149 ≥ F0.05;
1.56
= 4,02). Dari uji
komparasi ganda diperoleh hasil bahwa penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika, penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi
vi
lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah pada pembelajaran Fisika ternyata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai referensi bagi guru dalam menentukan metode yang tepat bagi siswa. Sikap belajar Fisika siswa mempunyai pengaruh terhadap kemampuan kognitif Fisika. Siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori tinggi akan mencapai prestasi yang lebih baik daripada siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori rendah, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai referensi bagi guru untuk memperhatikan dan mempertimbangkan sikap belajar Fisika siswa.
ABSTRACT
Warsiningsih. CONSTRUCTIVISM BY EXPERIMENTS AND DEMONSTRATION METHOD VIEWED FROM THE STUDENTS’ LEARNING ATTITUDE IN THE SUBJECT MATTER OF REFLECTION AT GRADE VIII IN JUNIOR HIGH SCHOOL. Thesis. Surakarta: Teacher Training and Education Faculty , Sebelas Maret University, January 2010. The purpose of the research are to know: (1) the effect differences in the use of constructivism by experiment method with group discussion and demonstration method with questions and answers to students’ cognitive ability. (2) the effect difference
vii
between high and low student’s learning attitude to students’ cognitive ability. (3) the interaction of the effect between the use constructivism by experiment method with the group discussion and demonstration method demonstration method with questions and answers and students’ learning attitude to students’ cognitive ability. This study uses the experiment method with 2x2 factorial design. The population of this research is the VIII grade students of SMP Muhammadiyah 7 Surakarta in the Academic Year of 2008/2009 consisting of 6 classes, Class VIII A to VIII F. The sampling technique uses is cluster random sampling. Which gets 2 classes: VIII A as the experiment class and VIII B as the control class where each of which has 40 students. Techniques of collecting the data are used document, test, and questionnaire. The document technique is used to obtain the data on the students’ initial ability. The test technique is used to obtain the data on the students’ cognitive ability in physics in the subject matter of reflection. The test questionnaire is used to obtain the data on the students’ learning attitude. Technique of analyzing the data employed is a two-way anava with different cell, followed by the anava advanced test: scheffe multiple comparison method. Based on the result of research, it can be conclude that (1) there is a difference effect between use of constructivism by experiment method with the group discussion and demonstration method with questions and answers to students’ cognitive ability (Fa = 5,3847 ≥ F0.05;
1.56
= 4,02) based on the multiple comparison method, the uses of
experiment method with group discussion approach is more effective than the demonstration method with questions and answers approach (2) there is a differences to students’ attitude learning who have high and low students’ learning attitude to students’ cognitive ability (Fb = 127,870 ≥ F0.05;1.56 = 4,02) based on the multiple comparison method, the students with high students’ attitude learning have better cognitive competence compared with the students with low student’ attitude learning. (3) there is an interaction of the effect between use of constructivism learning by experiment with group discussion and demonstration with questions and answers method and students’ learning attitude to students’ cognitive ability (Fab = 10,9149 ≥F0.05; 1.56 = 4,02) based on the multiple comparison method, the use of constructivism by experiment method with group discussions and high students’ attitude learning better
viii
than experiment method with group discussions and low students’ attitude learning, the use of constructivism by experiment method with group discussions and high students’ attitude learning better than demonstration method with questions and answers and high students’ attitude learning, the use of constructivism by experiment method with group discussions and high students’ attitude learning better than demonstration method with questions and answers and low students’ attitude learning, the use of constructivism by experiment method with group discussions and low students’ attitude learning better than demonstration method with questions and answers and high students’ attitude learning, the use of constructivism by experiment method with group discussions and low students’ attitude learning not better than demonstration method with questions and answers and low students’ attitude learning, the use of constructivism by demonstration method with questions and answers and high students’ attitude learning better than demonstration method with questions and answers and low students’ attitude learning. The implications of the research result is that in learning physics through a constructivism by experiment method with group discussion provide a better effect than by demonstration method questions and answers, so that it can be used as a reference for teachers in determining appropriate method for students. Physics students' learning attitudes have an influence on cognitive abilities in Physics. Students who have high learning attitude will achieve a better cognitive ability than students who have lower learning attitudes, so it can be used as a reference for teachers to pay attention and consider the students’ attitudes in learning physics.
ix
MOTTO
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan) kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Q.S. Insyirah: 6-7)
Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al- Baqarah: 153)
x
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan kepada:
xi
·
Ibu dan bapak (atas segala cinta, kasih sayang dan doa yang telah tercurah untukku)
·
Adikku (atas perhatian dan dukungannya)
·
Sahabat – sahabat terbaik Fisika 2005 khususnya Ana, Arina, Nurul, Rini, Tika, Salim.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr.H.M.Furqon Hidayatullah, M.Pd. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Ibu Dra. Hj. Kus Sri Martini, M.Si. Selaku Ketua Jurusan P. MIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ibu Dra. Rini Budiharti, M.Pd. Selaku Ketua Program Fisika Jurusan P. MIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Drs. Sutadi Waskito, M.Pd. Selaku Koordinator Skripsi Program Fisika Jurusan P. MIPA FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta..
xii
5. Bapak Drs. Surantoro, M.Si. Selaku Pembimbing I
atas bimbingannya dalam
menyelesaikan Skripsi ini. 6. Bapak Drs. Y. Radiyono. Selaku Pembimbing II
atas bimbingannya dalam
menyelesaikan Skripsi ini. 7. Ibu dan Bapak yang telah memberikan do’a restu dan dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. 8. Dewan Guru SMP Muhammadiyah 7 Surakarta, terkhusus Ibu Diah atas bantuannya dalam penelitian. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun demikian besar harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan. Amin.
Surakarta,
Januari 2010
Penulis DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL .................................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ...........................................................................
v
HALAMAN MOTTO ...............................................................................
xi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................
xii
KATA PENGANTAR ...............................................................................
xiii
DAFTAR ISI .............................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL .....................................................................................
xviii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xix
BABI PENDAHULUAN……………………………………………....
1
A. Latar Belakang Masalah………….………………………..
1
B. Identifikasi Masalah……………….………………………
4
C. Pembatasan Masalah …………….………………………..
4
xiii
D. Perumusan Masalah……………………………………….
5
E. Tujuan Penelitian …………………………………………
5
F. Manfaat Penelitian………………………………………...
6
BAB II LANDASAN TEORI ………………………………………..
7
A. Tinjauan Pustaka………………………………………...
7
1. Belajar dan Mengajar…………………………………
7
a. Belajar….…………………….……........................
7
1) Pengertian Belajar .............................................
7
2) Tujuan Belajar ...................................................
8
3) Ciri-Ciri Perubahan Tingkah Laku Dalam Pengertian Belajar..............................................
8
4) Teori Belajar......................................................
9
b. Mengajar..................................................................
10
1) Pengertian Mengajar..........................................
10
2) Prinsip-prinsip Mengajar………………………
11
c. Proses Belajar-mengajar…………………………..
13
1) Pengertian Proses Belajar-mengajar…………..
13
2) Komponen Proses Belajar-mengajar………….
13
2. Pembelajaran Fisika.......................................................
14
3. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme…………..
16
a. Pengertian Konstruktivisme……………………….
16
b. Meaningful Learning dan Konstruktivisme……….
18
c. Tahapan Belajar-Mengajar Konstruktivisme……..
19
4. Metode Mengajar……………………………………...
20
a. Metode Demonstrasi………………………………
21
b. Metode Tanya Jawab……………………………..
22
c. Metode Eksperimen……………………………….
24
d. Metode Diskusi Kelompok………………………..
25
5. Sikap Belajar Fisika Siswa.....……...............................
26
6. Kemampuan Kognitif Fisika …………………………
29
7. Konsep Pemantulan Cahaya…………………………..
31
xiv
B. Penelitian yang Relevan ......................................................
40
C. Kerangka Berfikir………..………………………………..
41
D. Perumusan Hipotesis………………………………………
43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………………………………
44
A. Tempat dan Waktu Penelitian …………………………….
44
1. Tempat Penelitian …………………………………….
44
2. Waktu Penelitian ……………………………………..
44
B. Metode Penelitian ………………………………………...
44
1. Metode Penelitian……………………………………..
44
2. Rancangan Penelitian…………………………………
44
C. Populasi dan Sampel ….......................................................
45
1. Populasi.......………………………………...................
45
2. Sampel Penelitian...............…………………....………
45
3. Teknik Pengambilan Sampel…………………………
45
D. Uji Kesamaan Keadaan Awal……………………………
46
E. Variabel Penelitian………………………………………..
47
1. Variabel Bebas………………………………………..
47
2. Variabel Terikat………………………………………
48
F. Teknik Pengumpulan Data……………………………….
48
1. Teknik Dokumentasi………………………………….
48
2. Teknik Tes……………………………………………
49
3. Teknik Angket………………………………………..
49
G. Instrumen Penelitian...........................................................
50
1. Instrumen Pelaksanaan Penelitian..................................
50
2. Instrumen Pengambilan Data.........................................
50
a. Uji Validitas.............................................................
51
b. Uji Reliabilitas.........................................................
51
c. Indeks Kesukaran ...................................................
52
d. Daya Pembeda.........................................................
53
H. Teknik Analisis Data ……………………………….........
53
1. Uji Prasyarat Analisis……………………………….....
xv
53
a. Uji Normalitas............................................................
54
b.Uji Homogenitas .......................................................
54
2. Pengujian Hipotesis ......................................................
55
a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama..........
55
b.Uji Komparasi Ganda.................................................
61
BAB IV. HASIL PENELITIAN ……………………………………….
63
A. Deskripsi Data …………………………………………
63
1. Data Keadaan Awal Siswa.............................................
63
2. Data Sikap Belajar Fisika Siswa ………………….......
65
3. Data Kemampuan Kognitif Fisika Siswa ……..............
68
B. Analisis Data………………………………………………
70
1. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa..............................
70
2. Uji Prasyarat Analisis …………………………………..
71
a. Uji Normalitas………………………………………
71
b.Uji Homogenitas ……………………………………
72
C. Pengujian Hipotesis ……………………………………….
72
1. Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Frekuensi Sel Tak Sama …………………………………………………..
72
2. Uji LanjutAnava ……………………………………...
73
D. Pembahasan Hasil Analisis Data …………………………
79
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ………………
83
A. Kesimpulan ……………………………………………….
83
B. Implikasi …………………………………………………..
83
C. Saran ………………………………………………………
84
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
85
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................
87
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel no
Hal
3.1
Pola Penelitian .........................................................................................
45
3.2
Notasi dan Tata Letak Data......................................................................
56
3.3
Tabel Data................................................................................................
57
3.4
Tabel Data Sel..........................................................................................
58
3.5
Rangkuman Anava……………………………………………...............
60
4.1
Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Siswa Kelas Eksperimen ...............
64
4.2
Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Siswa Kelas Kontrol .....................
65
4.3
Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas Eksperimen ......
66
4.4
Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas Kontrol .............
67
4.5
Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Eksperimen …………………………………………………………......
4.6
69
Distribusi Frekuensi Nilai Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Kontrol.....................................................................................................
xvii
70
4.7
Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Frekuensi Sel Tak Sama ........
72
4.8
Rangkuman Komparasi Ganda................................................................
74
DAFTAR GAMBAR
Gambar no
Hal
2.1
Pemantulan Cahaya................................................................................
32
2.2
Pemantulan Teratur……………………………………………………
32
2.3
Pemantulan Baur………………………………………………………
33
2.4
Sebuah Titik di Depan Cermin Datar dan Bayangannya.......................
33
2.5
Sebuah Garis Berada di depan Cermin Datar dan Bayangannya...........
34
2.6
Pembentukan Bayangan Sebuah Benda di Depan Cermin Datar...........
35
2.7
Panjang Minimum Cermin Datar yang Dibutuhkan..............................
35
2.8
Dua Buah Cermin Datar yang Membentuk Sudut 180°.........................
36
2.9
Dua Buah Cermin Datar yang Membentuk Sudut 90°...........................
36
2.10 Bagian-bagian dari Cermin Cekung.....................................................
37
2.11 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cekung...........................................
38
2.12 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cembung........................................
39 43
xviii
2.13 Paradigma Penelitian.............................................................................. 4.1
Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelas
64
Eksperimen ........................................................................................... 4.2
Histogram Distribusi Frekuensi Nilai Keadaan Awal Siswa Kelas
65
Kontrol .................................................................................................. 4.3
Histogram Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas
67
Eksperimen ........................................................................................... 4.4
Histogram Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelas
68
Kontrol .................................................................................................. 4.5 Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Siswa Kelas
69
Eksperimen ........................................................................................... 4.6
Histogram Distribusi Nilai kemampuan Kognitif Siswa Kelas Kontrol...................................................................................................
xix
70
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dalam mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Menurut UndangUndang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 pasal 1 ayat 1: “Pendidikan adalah usaha secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Pada era
globalisasi sekarang ini, masyarakat dituntut untuk memiliki kompetensi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan mampu menghasilkan produk unggul untuk menghadapi kemajuan jaman. Dengan penyelenggaraan pendidikan, masyarakat akan memperoleh kesempatan untuk menambah dan menguasai IPTEK. Pendidikan merupakan suatu proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang melalui pengajaran yang menitik beratkan pada upaya pembentukan kepribadian. Fisika merupakan salah satu bagian dari sains yang mempelajari tentang sifat materi, gerak ataupun fenomena alam lainnya. Belajar Fisika harus ditampilkan dalam bentuk sikap ilmiah, proses ilmiah dan produk ilmiah. Jadi, dalam pengajaran Fisika tenaga pendidik tidak hanya menyampaikan materi konsepsi saja, tetapi juga menekankan pada proses dan dapat menumbuhkan sikap ilmiah pada siswa. Pengajaran Fisika bertujuan agar siswa menguasai konsep-konsep Fisika dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Fisika sebagai bagian ilmu sains dirasa cukup sulit karena selain perhitungannya yang rumit, juga keterkaitan tiap kejadian dengan kenyataan yang telah dipelajari sebelumnya. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam mempelajari Fisika perlu memilih dan menggunakan metode dan strategi belajar-mengajar yang tepat, ketersediaan media yang sesuai, kelengkapan sarana dan prasarana yang memadahi dan sebagainya.
xx
Guru dalam menyajikan sesuatu bahan pelajaran Fisika harus dapat mempersiapkan dengan baik seluruh komponen-komponen dalam situasi mengajar. Komponen-komponen tersebut antara lain: beberapa tujuan mengajar, metode dan evaluasi. Dalam kegiatan belajar-mengajar, metode dan evaluasi mempunyai peranan penting. Metode mengajar merupakan cara yang digunakan guru dalam kegiatan belajar-mengajar dan juga merupakan usaha untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kegiatan belajar-mengajar akan kurang berarti bila tidak ditunjang dengan metode yang tepat. Dengan penerapan metode yang tepat, maka akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Metode belajar ada beberapa macam, antara lain: ceramah, demonstrasi, diskusi, dan lain-lain. Dalam proses belajar-mengajar tidak mungkin hanya menggunakan satu metode saja. Hal ini menjadi dasar pertimbangan dalam menggunakan metode mengajar. Untuk melaksanakan pendekatan pengajaran agar berhasil dengan baik memerlukan metode mangajar yang sesuai. Dalam pendekatan konstruktivisme terdapat beberapa metode mengajar, antara lain metode eksperimen dan demonstrasi. Eksperimen memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan percobaan tentang suatu hal, menuliskan hasil percobaan dan menganalisis hasil percobaan tersebut untuk memperoleh suatu konsep yang dipelajari. Demonstrasi memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati secara cermat dan memberikan gambaran secara jelas hasil pengamatan tersebut untuk memperoleh suatu konsep yang sedang dipelajari serta menumbuhkan sikap berpikir ilmiah. Peran guru dalam hal ini memberikan petunjuk dan pembimbing. Pada konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan siswa merupakan konstruksi (bentukan) dari siswa yang mengetahui sesuatu. Siswa belajar membentuk pengertian yang tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau apa yang dibaca melainkan menciptakan pengertian, pengetahuan ataupun pengertian yang dibentuk oleh siswa secara aktif bukan hanya diterima secara pasif dari guru. Guru lebih berperan sebagai fasilitator yang membentuk keaktifan siswa dalam pembentukan pengetahuannya. Teori belajar konstruktivisme menerangkan bahwa siswa mempunyai konsep-konsep yang berbeda walaupun mereka berada dalam lingkungan yang sama. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal (dalam diri siswa) dan eksternal (luar
xxi
diri siswa). Salah satu faktor internal adalah sikap belajar siswa terhadap Fisika. Sikap belajar siswa terhadap Fisika adalah sikap positif terhadap kegiatan belajar Fisika dalam rangka memperoleh suatu hasil. Dan adanya sikap positif dari diri siswa akan mendorong siswa untuk lebih mencintai Fisika, dengan menganggap Fisika bukan hal yang sulit dan menakutkan. Sikap belajar Fisika dapat mengembangkan potensi siswa menuju pada kemajuan yang optimal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses pembangunan potensi awal siswa adalah lingkungan belajar siswa. Peran guru dan lingkungan sangat menentukan keberhasilan siswa dalam meningkatkan prestasi belajarnya. Pembelajaran Fisika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebaiknya disajikan dengan kegiatan yang menyenangkan yang disesuaikan dengan kondisi siswa. Indikator pembelajaran yang menyenangkan antara lain setelah proses pembelajaran dilakukan, mereka akan mengatakan bahwa Fisika itu menyenangkan, mudah, saya menyukai dan menantikan pelajaran Fisika pada pertemuan mendatang. Materi pembelajaran Fisika di SMP kelas VIII antara lain gaya dan prcepatan, usaha dan energi, tekanan, getaran dan gelombang, bunyi, pemantulan cahaya, dan alatalat optik. Dari uraian di atas, penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul: ”Pembelajaran Fisika Dengan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Eksperimen dan Demonstrasi Ditinjau dari Sikap Belajar Siswa Pada Sub Pokok Bahasan Pemantulan Cahaya Untuk Siswa SMP”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, muncul berbagai masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Rendahnya keberhasilan belajar siswa mungkin dikarenakan ketidaktepatan penggunaan metode pembelajaran dan lemahnya penguasaan materi oleh siswa.
xxii
2. Belum diketahui pengaruh sikap belajar Fisika siswa terhadap pencapaian hasil belajar siswa. 3. Adanya perbedaan sikap belajar Fisika siswa dalam proses belajar-mengajar dimungkinkan berpengaruh terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa. 4. Masih banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar tidak mendapat penanganan yang serius sehingga perlu dipilih pendekatan dan metode pengajaran yang tepat yang dapat mengatasi kesulitan siswa. 5. Banyak materi pembelajaran Fisika di kelas VIII SMP yang tepat apabila cara penyampaiannya melibatkan keaktifan siswa.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, agar lebih jelas dan tepat pada sasaran yang ingin dicapai, maka masalah perlu dibatasi pada: 1. Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan konstruktivisme. 2. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab. 3. Sikap belajar Fisika siswa dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu kategori tinggi dan rendah. 4. Materi pelajaran yang diambil adalah sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai
xxiii
tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya? 2. Adakah perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya? 3. Adakah interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya?
E. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidak adanya: 1. Perbedaan pengaruh antara penggunaaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya 2. Perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 3. Interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
F. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya memilih pendekatan dan metode pengajaran yang tepat dalam pengajaran Fisika.
xxiv
2. Memberikan wawasan bagi guru dalam menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab agar mencapai hasil yang optimal.
xxv
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar dan Mengajar Manusia tidak lepas dari kegiatan belajar dan mengajar. Jika manusia ingin mencapai kesuksesan maka manusia harus menempuh kegiatan tersebut untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan belajar dan mengajar dapat ditemukan pada bidang pendidikan. a. Belajar 1) Pengertian belajar Berikut ini pengertian belajar yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan, Wheterington dalam Ngalim Purwanto (2003: 84) mengemukakan bahwa: “Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola dari reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, atau suatu pengertian”. Menurut Gagne dalam Ngalim Purwanto (2003: 84) bahwa “Belajar terjadi apabila situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi”. Sedangkan Morgan dalam Ngalim Purwanto (2003: 84) berpendapat “Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”. Sementara itu menurut Hintzman dalam Muhibbin Syah (2005: 90) “Learning is a change in organism due to experience which can affect the organism’s behavior, artinya belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut”. Sedangkan menurut Slameto (2003: 2) “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai
hasil
pengalamannya
sendiri
dalam
interaksi
dengan
lingkungannya”. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suaru proses perubahan tingkah laku yang dilakukan oleh seseorang melalui
xxvi
pengalaman dan latihan yang telah dilakukannya sendiri. belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari pada itu, yaitu belajar harus mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, merupakan perubahan kelakuan. 2) Tujuan belajar “Tujuan belajar adalah sejumlah hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar, yang umumnya meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa”. (Oemar Hamalik, 2003: 73). “Tujuan belajar merupakan komponen sistem pembelajaran yang sangat penting, karena semua komponen yang ada dalam pembelajaran dilaksanakan atas dasar pencapaian tujuan belajar. (Gino et al, 1997: 18). Berdasarkan penyataan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar adalah komponen sistem pembelajaran yang menunjukkan hasil belajar siswa tercapai setelah melakukan perbuatan belajar. 3) Ciri-Ciri Perubahan Tingkah Laku Dalam Pengertian Belajar Ada beberapa ciri-ciri tingkah laku dalam pengertian belajar, menurut Slameto (2003: 3-5). a) Perubahan secara sadar. Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi adanya suatu perubahan dalam dirinya. b) Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional. Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara berkesinambungan, tidak statis. Satu perubahan akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses belajar berikutnya. c) Perubahan dalam bersifat positif dan aktif. Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan tertuju untuki memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar itu dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh. Perubahan yang bersifat aktif artinya bahwa perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya melainkan karena usaha individu sendiri. d) Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara.
xxvii
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat menetap dan permanen. Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. e) Perubahan dalam belajar bertujuan dan terarah. Ini berarti bahwa perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang akan dicapai. Perbuatan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku yang benar-benar disadari. f) Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku. Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri –ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar adalah suatu perubahan secara sadar yang bersifat kontinyu, fungsional, positif, aktif dan bukan bersifat sementara yang memiliki tujuan yang mencakup seluruh aspek tingkah laku dalam belajar. 4) Teori Belajar Menurut Sardiman A.M (1999: 34-39) teori belajar dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu: a) Teori Belajar menurut Ilmu Jiwa Daya Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya seperti berpikir, mengingat, memahami, dan mengamati. Daya-daya itu dikembangkan dan dilatih untuk memenuhi fungsinya dengan menggunakan cara-cara tertentu. Menurut pandangan ini seseorang akan berhasil dalam pembentukan daya-daya. b) Teori Belajar menurut Ilmu Jiwa Gestalt Menurut teori ini, keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian, maksudnya jiwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh. Jiwa manusia itu hidup dan aktif serta berinteraksi dengan lingkungan. Oleh karena itu, belajar merupakan suatu bentuk penyesuaian diri dengan lingkungan. Teori belajar seperti ini sesuai dengan kegiatan belajar memecahkan masalah. c) Teori Belajar berdasarkan Asosiasi Teori ini mempunyai prinsip bahwa keseluruhan terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Menurut aliran ini ada dua teori yaitu: (1) Teori Connectionisme Belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dengan respon. Hubungan antara stimulus dan respon terjalin jika sering dilatih. Latihan terus menerus membuat hubungan antara stimulus dan respon menjadi biasa (otomatis). (2) Teori Conditioning
xxviii
Seseorang akan melakukan kebiasaan karena adanya suatu tanda. Misalnya bel tanda masuk berbunyi maka siswa segera masuk kelas untuk memulai aktivitas belajar. Berdasarkan pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses belajar merupakan proses psikologis, terjadi di dalam diri seseorang dan karena itu sukar diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. b. Mengajar 1) Pengertian mengajar Kegiatan belajar-mengajar merupakan interaksi dari dua pihak yaitu guru sebagai orang yang menyampaikan pengetahuan dan siswa sebagai subyek belajar. Secara umum mengajar diartikan sebagai kegiatan guru memberikan pelajaran atau pengetahuan kepada anak didik. Dengan demikian keberhasilan mengajar sangat tergantung dari peran guru sebagai pengajar dalam penyampaian pengetahuan. Menurut Nana Sudjana (2005: 29) bahwa “Mengajar adalah suatu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar”. Sementara Nasution dan Muhibbin Syah (2005: 182) berpendapat bahwa “Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar”. Dari beberapa pengertian mengajar tersebut, dapat disimpulkan bahwa mengajar merupakan proses penyampaian ilmu pengetahuan yang disertai dengan kegiatan mengorganisasikan dan mengatur lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga proses belajar-mengajar tersebut dapat belangsung dengan baik. Mengajar dikatakan berhasil apabila anak didik mampu memahami dan menerapkan pengetahuan yang telah diajarkan oleh pengajarnya. Mengajar tidak hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran saja melainkan penanaman sikap dan nilai-nilai pada diri siswa yang sedang belajar. Tujuannya adalah agar anak didik dapat belajar memahami dan menerapkan apa yang telah dipelajarinya. 2) Prinsip-prinsip Mengajar Mengajar bukan tugas yang ringan bagi seorang guru. Dalam mengajar guru berhadapan dengan sekelompok siswa, mereka adalah makhluk hidup yang memerlukan
xxix
bimbingan dan pembinaan untuk menuju kekedewasaan. Siswa setelah mengalami proses pendidikan dan pengajaran diharapkan telah menjadi manusia dewasa yang sadar akan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain. Menurut Slameto (2003: 3539), ada sepuluh prinsip-prinsip mengajar yang harus dilaksanakan oleh seseorang guru. Prinsip-prinsip mengajar tersebut adalah sebagai berikut: a) Perhatian Dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian siswa kepada pelajaran yang diberikan oleh guru. Bila perhatian kepada pelajaran itu ada pada siswa, maka pelajaran yang diterimanya akan dihayati, diolah di dalam pikirannya, sehingga timbul pengertian. Usaha ini mengakibatkan siswa dapat membanding-bandingkan, membedakan, dan menyimpulkan pengetahuan yang diterimanya. b) Aktivitas Dalam proses belajar-mengajar, guru perlu menimbulkan aktivitas siswa dalam berfikir maupun berbuat. Penerimaan pelajaran dalam berfikir maupun dalam berbuat. Penerimaan pelajaran jika dengan aktivitas siswa sendiri, kesan itu akan berlalu begitu saja, tetapi jika siswa menjadi partisipan yang aktif dengan bertanya, mengemukakan pendapat, menjalankan perintah dan melaksanakan tugas yang disajikan oleh guru maka ia memiliki pengetahuan itu dengan baik. c) Appersepsi Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, ataupun pengalamannya sehingga siswa akan memperoleh hubungannya. Hal ini dapat membantu siswa untuk memperhatikan pelajarannya dengan lebih baik. d) Peragaan Waktu mengajar di depan kelas, seorang guru harus berusaha menggunakan peragaan dalam mengajar. Guru dapat menggunakan benda-benda yang asli dalam mengajar yng berkaitan dengan materi pelajaran. Jika mengalami kesukaran boleh menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau media pembelajaran lainnya seperti radio, tape recorder, TV dan lain sebagainya. Hal ini akan membantu guru dalam menjelaskan materi pelajaran yang akan diberikan kepada siswa. e) Repetisi Bila guru menjelaskan satu unit pelajaran, itu perlu diulang-ulang. Ingatan siswa itu tidak setia, maka perlu dibantu dengan mengulangi pelajaran yang sedang dijelaskan. Pelajaran yang diulang akan memberikan tanggapan yang jelas dan tidak mudah dilupakan. f) Korelasi Dalam mengajarkan materi pelajaran hendaknya guru selalu mengkaitkan antara tiap-tiap materi pelajaran dengan materi pelajaran lainnya. Hal ini dapat memperluas pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan. g) Konsentrasi
xxx
Konsentrasi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar tidak boleh diabaikan begitu saja. Konsentrasi yang penuh pada saat pelajaran berlangsung akan membuat siswa mengalami kegiatan belajar-mengajar yang bermakna. Setiap siswa akan mampu menangkap setiap materi pelajaran yang diberikan dengan baik, sehingga siswa akan memperoleh pengalaman langsung, mengatasi sendiri untuk menyusun dan menyimpulkan pengetahuan itu sendiri. h) Sosialisasi Dalam perkembangannya siswa perlu bergaul dengan teman lainnya. Siswa disamping sebagai individu juga mempunyai segi sosial yang perlu dikembangkan. Waktu siswa berada di kelas, ataupun di luar kelas dan menerima pelajaran bersama, alangkah baiknya bila diberikan kesempatan untuk melaksanakan kegiatan bersama. Belajar di dalam kelompok dapat juga meningkatkan cara berpikir mereka sehingga dapat memecahkan masalah dengan baik dan lancar. i) Individualisasi Disamping sebagai makhluk sosial, setiap siswa makhluk individu yang masing-masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti latar belakang, intelegensi, minat, bakat, tingkah laku, watak maupun sikapnya, sosial ekonomi dan keadaan orang tuanya. Dalam hal ini guru harus mencari teknik penyajian atau sistem pengajaran yang dapat melayani kelas, maupun siswa sebagai individual. j) Evaluasi Setelah kegiatan belajar selesai dilakukan, hendaknya guru melakukan evaluasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berhasil tidaknya tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian akan dapat diketahui prestasi dan kemajuan setiap siswa setelah mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Evaluasi dapat juga digunakan untuk perbaikan mengajar oleh guru agar lebih baik dari sebelumnya. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa guru dalam mengajar di depan kelas harus mempunyai prinsip-prinsip mengajar dan harus dilakukan seefektif mungkin, agar guru tidak asal mengajar sehingga diharapkan tugas guru sebagai pengajar maupun pendidik dapat terpenuhi secara baik. c. Proses belajar-mengajar 1) Pengertian proses belajar-mengajar Proses belajar-mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar-mengajar mempunyai makna dan pengertian yang lebih luas daripada pengertian mengajar. Dalam proses belajar-mengajar tersirat adanya satu kesatuan kegiatan yang tak terpisahkan antara siswa yang belajar dan guru yang mengajar. Antara kedua kegiatan ini terjalin interaksi yang saling menunjang.
xxxi
Menurut Moh. Uzer Usman (2005: 4) bahwa “Proses belajar-mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu”. Sementara itu Muhibbin Syah (2005: 237) berpendapat bahwa “Proses belajar-mengajar adalah sebuah kegiatan integral (utuh terpadu) antara siswa sebagai pelajar yang sedang belajar dengan guru sebagai pengajar yang sedang mengajar”. Sedangkan menurut Djago Tarigan (1990: 38) bahwa “Proses belajar-mengajar merupakan suatu kegiatan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program pengajaran”. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan, proses belajarmengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program pengajaran atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar- mengajar. 2) Komponen proses belajar-mengajar Setiap proses interaksi belajar-mengajar selalu ditandai dengan adanya sejumlah unsur atau komponen. Komponen-komponen tersebut harus ada dan saling mendukung satu sama lain. Djago Tarigan (1990: 40) menyebutkan “ada beberapa komponen proses belajar-mengajar”. Komponen proses belajar-mengajar tersebut adalah sebagai berikut: a) Siswa Siswa merupakan komponen dalam setiap proses belajar-mengajar karena siswa adalah subyek bukan obyek dari pengajaran. Hal-hal mengenai siswa yang perlu mendapat perhatian para pengajar dalam proses belajar-mengajar antara lain minatnya, bakatnya dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi. b) Guru Guru harus berkualifikasi tinggi, ia juga harus dapat menyusun, menyelenggarakan dan menilai program pengajaran. Guru juga dituntut menjadi contoh yang baik, mengenal siswa-siswanya. c) Tujuan Tujuan menyatakan apa yang harus dikuasai, diketahui atau dapat dilakukan oleh anak didik setelah mereka selesai melakukan kegiatan belajar-mengajar. Tujuan pelajaran sangat menentukan bahan yang harus diajarkan, cara penyampaian bahan dan juga menentukan media yang digunakan. d) Bahan
xxxii
Bahan atau materi pengajaran harus menunjang tujuan yang telah ditetapkan. Bahan pelajaran harus pula sesuai dengan taraf perkembangan dan kemampuan siswa, menarik dan merangsang serta berguna bagi siswa baik untuk pengembangan pengetahuannya maupun untuk keperluan tugasnya di lapangan. e) Metode Metode, cara atau teknik pengajaran merupakan komponen proses belajarmengajar yang banyak menentukan keberhasilan pengajaran. f) Media Fungsi media untuk memperjelas materi yang disampaikan kepada siswa. Pilihan dan penggunaan media pengajaran yang tepat menciptakan situasi belajar-mengajar yang baik dan terarah. g) Evaluasi Evaluasi dapat ditujukan kepada prestasi belajar siswa dan dapat pula ditujkan kepada program. Evalusi dapat memberikan umpan balik bagi guru dalam rangka perbaikan setiap komponen proses belajar-mengajar yang ikut berproses. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa komponen proses belajar-mengajar sangat penting dalam pembelajaran dan terkait satu dengan yang lainnya, dengan adanya komponen belajar-mengajar yang lengkap maka kegiatan belajar-mengajar dapat berjalan dengan lebih baik pula.
3. Pembelajaran Fisika Kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan suatu kesatuan dari dua kegitan yang searah. Kegiatan belajar adalah kegiatan primer dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan sekunder yang diupayakan untuk mencapai kegiatan belajar yang optimal. Menurut Poerwadarminta, pembelajaran merupakan terjemahan dari kata ”instruction” yang dalam bahasa Yunani disebut ”instructus” atau ”instruere” yang berarti menyampaikan pikiran. Dengan demikian arti instruksional adalah penyampaian pikiran atau ide yang telah diolah secara bermakna melalui pembelajaran. Pengertian ini lebih mengarah kepada guru sebagai pelaku perubahan. Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999: 297) ”Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat siswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar”. Selain itu menurut Gino, dkk (1993: 32): ”Pembelajaran merupakan usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk membuat siswa
xxxiii
belajar dengan jalan mengaktifkan faktor intern dan faktor ekstern dalam kegiatan belajar-mengajar”. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2003: 57): ”Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawai, material, fasilitas, perlengkapan prosedur yang salaing mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Secara umum Fisika adalah bagian dari IPA yang mempelajari gejala-gejala alam. Ilmu Fisika juga disebut ilmu pengukuran (Science of meansurement). Secara sederhana “IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gelaja alam (Margono, Sri Subandi, Indro Muryanto, Sri Suwarni, Nunik Sri Wahyuni, Sri Utari, Joko Purnomo, Siti Aisyah, Fadmah, Hisyam, Sugiharto dan Sri Hartati, 2000: 21). Dalam perkembangannya, IPA tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan fakta tetapi juga oleh timbulkannya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Dari definisi itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian IPA meliputi tiga hal yaitu: 1) Produk IPA Produk IPA yaitu berupa fakta, konsep dan prinsip, hukum dan teori. 2) Proses IPA Proses IPA atau metode ilmiah adalah cara kerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil-hasil IPA atau produk-produk IPA. 3) Nilai dan sikap ilmiah Nilai dan sikap ilmiah adalah sebuah tingkah laku yang diperlukan selama melakukan proses IPA, sehingga diperoleh proses hasil IPA. (Margono et al, 2000: 21) Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha dari pengajar untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku pada diri siswa. Pembelajaran Fisika adalah proses belajar-mengajar yang di dalamnya mempelajari alam dan kejadian-kejadiannya. Pembelajaran Fisika akan lebih cepat dipahami jika diajarkan sesuai hakikat Fisika, yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah.
4. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme a. Pengertian Pendekatan konstruktivisme telah mendapatkan perhatian yang besar dikalangan peneliti pendidikan sains pada masa akhir-akhir ini. Pendekatan ini memiliki
xxxiv
masa depan yang menyajikan dalam bidang pendidikan sains. Pendekatan ini merupakan
pengembangan
dari
teori
perkembangan
kognitif
Piaget.
Model
konstruktivisme tidak hanya cocok untuk pendidikan sains, tapi juga dapat berdaya guna dalam pendidikan ilmu sosial. Fokus pendekatan konstruktivisme bukan pada rasionalitas, tapi pada pemahaman. Inilah alasan utama mengapa konstruktivisme dengan cepat menggantikan teori perkembangan kognitif sebagai dasar dalam penelitian dan praktek
pendidikan.
Daya
tarik
dari
model
konstruktivisme
adalah
pada
kesederhanaannya. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri”. Von Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan. Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang (Paul Suparno, 1997: 13) Secara sederhana konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan kita merupakan konstruksi orang yang sedang mengetahui. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal ditemukan, merupakan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Jadi seseorang yang belajar itu membentuk pengertian. Bettencourt (1989) menyimpulkan bahwa konstruktivisme tidak bertujuan mengenai hakikat realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana proses kita menjadi tahu tentang sesuatu. (Paul Suparno: 1997: 14) Menurut pandangan dan teori konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif dari si subyek belajar untuk merekonstruksi makna, sesuatu entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman fisik dan lain-lain. Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, sehingga pengertiannya menjadi berkembang. Sehubungan dengan itu, ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar yang dijelaskan sebagai berikut: a. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. b. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melaikan merupakan perkembangan itu sendiri.
xxxv
d. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrum) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar. e. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar, konsep-konsep, tujuan, motivasi yang mempengaruhi prosaes interaksi dengan bahan yang dipelajari. (Paul Suparno: 1997: 61) Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana si subyek belajar membangun sendiri pengetahuannya. Subyek belajar juga mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari. Sesuatu dengan prinsip-prinsip tersebut, maka proses belajar-mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke subyek belajar atau siswa, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan subyek belajar merekonstruksi sendiri pengetahuannya. Mengajar adalah bentuk partisipasi dengan subyek belajar dalam membentuk pengetahuan, dan membuat makna, mencari kejelasan dan menentukan justifikasi. Prinsip penting, berfikir lebih bermakna dari pada mencari jawaban yang benar atas sesuatu. Karena itu guru hal ini berperan sebagai mediator dan fasilitator untuk membantu optimalisasi belajar siswa.
b
Meaningful Learning dan Konstruktivisme Strategi dasar dari konstruktivisme adalah meaningful learning, yaitu
pembentukan pengetahuan yang melibatkan interpretasi terhadap suatu peristiwa” (Mulyasa, 2006: 238). Interpretasi ini adalah suatu proses berfikir yang singkat dan cepat yang terjadi dalam otak manusia. Interpretasi berada di antara peristiwa yang dilihat dan pemahaman manusia tentang peristiwa. Interpretasi dipengaruhi oleh pengalaman manusia pada masa lampau, teori, nilai dan kepercayaan yang dimiliki sebelumnya. “Dasar filsafat dari model konstruktivisme adalah epistemological fallibism yaitu semua pengetahuan dapat salah (tidak selalu benar) karena hakekat pengetahuan adalah kurang exactitude dan kurang comprehensivenees (Mulyasa, 2006: 238) Model pembelajaran konstruktivisme memperlihatkan bahwa pembelajaran merupakan proses aktif dalam membuat sebuah pengalaman menjadi masuk akal, dan proses ini sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah diketahui orang sebelumnya. Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru harus memperoleh atau sampai
xxxvi
pada persamaan pemahaman siswa. Dalam model konstruktivisme, pembelajaran melibatkan negosiasi (pertukaran pikiran) dan interpretasi. Wacana penyesuaian pikiran ini dapat dilakukan antara siswa dengan guru, atau antara sesama siswa. Dalam model konstruktivisme harus tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan siswa, dan antar sesama siswa.
c
Butir-butir penting yang disarankan oleh model belajar-mengajar konstruktivisme yaitu: 1) Murid harus selalu aktif selama pembelajaran. 2) Proses aktif ini adalah proses membuat transmisi, tapi melalui interpretasi. 3) Interpretasi selalu dipengaruhi oleh pengetahuan sebelumnya. 4) Interpretasi dibantu oleh metode instruksi yang memungkinkan negosiasi pemikiran (bertukar pikiran), melalui diskusi, tanya jawab. 5) Tanya jawab didorong oleh kegiatan inquiry (ingin tahu) para siswa. Jadi, kalau siswa tidak bertanya atau tidak berbicara, berarti murid tidak belajar optimal. 6) Kegiatan belajar-mengajar tidak hanya merupakan suatu proses pengalihan pengetahuan, tapi juga pengalihan ketrampilan dan kemampuan. (Mulyasa, 2006: 240) Tahapan Belajar-Mengajar Konstruktivisme PEMANASAN – APERSEPSI
5-10%
Tanya jawab tentang pengetahuan dan pengalaman
EKSPLORASI
25-30%
Memperoleh atau mencari informasi baru
KONSOLIDASI PEMBELAJARAN
35-40%
Negosiasi dalam mencapai pengetahuan baru
PEMBENTUKAN SIKAP DAN PERILAKU
10%
Pengetahuan diproses menjadi nilai, sikap dan perilaku
PENILAIAN FORMATIF
xxxvii
10%
1) Pemanasan- Apersepsi a) Pelajaran dimulai dengan hal-hal yang diketahui dan dipahami peserta didik. b) Motivasi peserta didik dengan bahan ajar yang menarik dan berguna bagi peserta didik. c) Peserta didik didorong agar tertarik untuk mengetahui hal-hal yang baru. 2) Eksplorasi a) Materi atau keterampilan baru yang diperkenalkan. b) Mengaitkan materi dengan pengetahuan yang sudah ada pada peserta didik. c) Mencari metodologi yang paling tepat dalam meningkatkan penerimaan peserta didik terhadap materi baru tersebut. 3) Konsolidasi Pembelajaran a) Melibatkan peserta didik secara aktif dalam menafsirkan dan memahami materi ajaran baru. b) Melibatkan siswa secara aktif dalam proses problem solving. c) Meletakkan penekanan pada kaitan struktural, yaitu kaitan antara materi ajar yang baru dengan berbagai aspek kegiatan atau kehidupan di dalam lingkungan. d) Mencari metodologi yang paling tepat sehingga materi ajar dapat terproses menjadi bagian dari pengetahuan peserta didik. 4) Pembentukan Sikap dan Perilaku. a) Peserta didik didorong untuk menerapkan konsep atau pengertian yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. b) Peserta didik membangun sikap dan perilaku baru dalam kehidupan seharihari berdasarkan pengertian yang dipelajari. c) Mencari metodologi yang paling tepat agar terjadi perubahan sikap dan perilaku peserta didik. 5) Penilaian formatif. a) Mengembangkan cara-cara untuk menilai hasil pembelajaran peserta didik. b) Menggunakan hasil penilaian tersebut untuk melihat kelemahan atau kekurangan peserta didik dan masalah – masalah yang dihadapi guru. c) Mencari metodologi yang paling tepat yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. (Mulyasa, 2006: 243) Jadi pada pendekatan konstruktivisme terdapat tahapan-tahapan belajarmengajar yaitu pemanasan, eksplorasi, konsolidasi pembelajaran, pembentukan sikap, perilaku
dan
penilaian
formatif,
sehingga
apabila
tahapan
belajar-mengajar
konstruktivisme tersebut terlaksana maka tujuan belajar-mengajar akan tercapai.
5. Metode Mengajar
xxxviii
“Metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum” (Oemar Hamalik, 2003: 26). Suatu metode mengandung pengertian terlaksananya kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam proses pembelajaran. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu. Dewasa ini, keaktifan siswa belajar mendapat tekanan utama dibandingkan dengan keaktifan guru yang bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa. Oleh karena itu, istilah metode yang lebih menekankan pada kegiatan guru, selanjutnya diganti dengan strategi pembelajaran yang lebih menekankan pada kegiatan siswa. Dalam kegiatan belajar-mengajar ada bermacam-macam metode, seperti metode eksperimen, demonstrasi dan sebagainya. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode demonstrasi disertai tanya jawab dan metode eksperimen disertai diskusi kelompok. a. Metode Demonstrasi 1) Pengertian Metode Demonstrasi Metode demonstrasi digunakan guru untuk memperagakan atau menunjukkan suatu prosedur yang harus dilakukan peserta didik yang tidak dapat dijelaskan hanya dengan kata-kata saja. Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh guru atau sumber belajar lain yang memahami atau ahli dalam topik bahasan yang harus didemonstrasikan”. (Mulyani S & Johar P, 2001: 133) Metode demonstrasi biasanya berkenaan dengan tindakan-tindakan atau prosedur yang harus dilakukan, misalnya proses mengatur sesuatu, proses mengerjakan dan
menggunakannya,
komponen-komponen
yang
membentuk
sesuatu,
membandingkan suatu cara dengan cara lain untuk mengetahui atau melihat kebenaran sesuatu. 2) Tujuan Metode Demonstrasi Tujuan metode demonstrasi yaitu: a) Mengajarkan sesuatu proses atau prosedur yang harus dimiliki peserta didik atau dikuasai peserta didik. b) Mengongkritkan informasi atau penjelasan kepada peserta didik. c) Mengembangkan kemampuan pengamatan pandangan dan penglihatan para peserta didik secara bersama-sama.
xxxix
a) b) c) d)
a) b) c) d) e)
a) b) c) d)
3) Alasan Penggunaan Metode Demonstrasi Alasan penggunaan metode demonstrasi yaitu: Tidak semua topik dapat diterangkan melalui penjelasan atau diskusi. Sifat pelajaran yang menuntut diperagakan. Tipe belajar peserta didik yang berbeda ada yang kuat visual, tetapi lemah dalam auditif dan motorik ataupun sebaliknya. Memudahkan mengajarkan suatu cara kerja atau prosedur. 4) Kelebihan Metode Demonstrasi Kelebihan metode demonstrasi yaitu: Dapat membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan konkrit Siswa lebih mudah dalam memaahami apa yang dipelajari Proses pengajaran akan lebih menarik Siswa dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan Melalui metode ini dapat disajikan materi pelajaran yang tidak mungkin atau kurang sesuai dengan metode lain. 5) Kekurangan Metode Demonstrasi Kekurangan metode demonstrasi yaitu: Memerlukan keterampilan guru secara khusus Keterbatasan dalam sumber belajar, alat pelajaran, situasi yang harus dikondisikan dan waktu untuk mendemonstrasikan sesuatu. Memerlukan waktu yang banyak. Memerlukan kematangan dalam perancangan atau persiapan. (Mulyani S & Johar P, 2001: 133-134) Dari uraian di atas, diketahui bahwa metode demonstrasi akan dapat
memperjelas pengertian konsep dan memperlihatkan cara melakukan sesuatu proses terjadinya sesuatu kepada siswa. Dengan metode demonstrasi, siswa dapat mengamati dan memperhatikan pada apa yang diperlihatkan oleh guru selama pelajaran berlangsung, sehingga siswa lebih paham tentang konsep yang disampaikan oleh guru dan penggunaan metode demonstrasi di dalam proses belajar-mengajar dimaksudkan agar penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam ke dalam benak siswa. b. Metode Tanya Jawab 1) Pengertian Tanya Jawab Bertanya dan menjawab kerap kali dilakukan orang apabila ada ketidaktahuan atau ketidakpahaman. Dalam proses belajar-mengajar tanya jawab dijadikan salah satu
xl
metode untuk menyampaikan materi pelajaran dengan cara guru bertanya kepeda peserta didik atau peserta didik bertanya pada guru. “Metode tanya jawab adalah cara panyajian pelajaran dalam proses belajarmengajar melalui interaksi dua arah atau “two way traffic” dari guru ke peserta didik atau dari peserta didik kepada guru diperoleh jawaban kepastian materi melalui jawaban lisan guru atau peserta didik”. (Mulyani S & Johar P, 2001: 120) Dalam metode tanya jawab, guru dan peserta didik sama-sama aktif. Namun demikian keaktifan peserta didik patut mendapat perhatian sungguh-sungguh sehingga hal itu tidak harus banyak tergantung pada keaktifan guru. Sifat atau rasa ingin tahu anak didik harus ditumbuh kembangkan sekaligus mendapat penyaluran yang wajar. Oleh karena itu, guru hanya dituntut untuk menguasai teknik-teknik bertanya dan jenisjenis pertanyaan, tetapi juga semangat tinggi dalam membangun situasi yang kondusif bagi terjadinya diskusi.
a) b) c)
d) e)
a)
b) c) d)
2) Tujuan Metode Tanya Jawab Tujuan metode tanya jawab yaitu Mengecek dan mengetahui sampai sejauh mana kemampuan peserta didik terhadap pelajaran yang dikuasainya. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengajukan pertanyaan kepada guru tentang sesuatu masalah yang belum dipahami. Memotivasi dan menimbulkan kompetensi belajar yaitu peserta didik yang aktif dan tepat menjawab lebih percaya diri dan berusaha untuk selalu lebih baik, dan peserta didik yang belum aktif atau tidak dapat menjawab dan mempersiapkan diri dalam kesempurnaan lain. Melatih peserta didik untuk berfikir dan berbicara secara sistematis dan sistematik serta berdasarkan pemikiran yang orisinil. Mengetes kemampuan peserta didik tetapi diarahkan sebagai upaya guru membuat peserta didik mengerti, mamahami, dan berinteraksi secara aktif dalam PBM sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik. 3) Alasan Penggunaan Metode Tanya Jawab Alasan penggunaan metode tanya jawab yaitu Menimbulkan rasa ingin tahu peserta didik terhadap permasalahan yang sedang dibicarakan sehingga menimbulkan partisipasi peserta didik dalam PBM. Menimbulkan berfikir reflektif, sistematis, kreatif, dan kritis pada peserta didik. Mewajudkan cara belajar peserta didik aktif. Melatih dan mendorong peserta didik untuk belajar mengekspresikan kemampuan lisannya.
xli
e) Memberikan kesempatan kepada peserta didik menggunakan kemampuan sebelumnya.
a) b)
c) d) e)
a)
b) c) d)
4) Kelebihan Metode Tanya Jawab Kelebihan metode tanya jawab yaitu Dapat menarik dan memusatkan perhatian peserta didik terhadap pelajaran. Mengetahui kedudukan peserta didik dalam belajar di kelas dari aktivitas Tanya jawab dan dari jawaban-jawaban serta tanggapan-tanggapan yang dilontarkannya secara kontinyu. Lebih merangsang peserta didik untuk mendayagunakan daya pikir dan daya nalarnya. Menumbuhkan keberanian dalam mengemukakan jawaban. Pembuka jalan bagi proses belajar yang lain. 5) Kekurangan Metode Tanya Jawab Kekurangan metode tanya jawab yaitu Pada kelas besar pertanyaan tidak dapat disebarkan kepada seluruh peserta didik, sehingga peserta didik tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjawab atau bertanya. Peserta didik yang tidak aktif tidak mempertahankan bahkan tidak terlibat secara mental. Menimbulkan rasa gugup pada peserta didik yang tidak memiliki keberanian menjawab dan bertanya (kemampuan lisan). Dapat membuang waktu bila peserta didik tidak respons terhadap pertanyaan. (Mulyani S & Johar P, 2001: 121-122) Dari uraian di atas, diketahui bahwa metode tanya jawab akan membuat peserta
didik mengerti, memahami dan berinteraksi secara aktif dalam proses belajar-mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik.
c. Metode eksperimen 1) Pengertian Metode Eksperimen Ekperimen atau percobaan adalah suatu tuntunan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agar menghasilkan suatu produk yang dapat dinikmati masyarakat secara aman. Eksperimen dilakukan orang agar diketahui kebenaran suatu gejala dan dapat menguji dan mengembangkannya menjadi suatu teori. Kegiatan eksperimen yang dilakukan peserta didik merupakan kesempatan meneliti yang dapat mendorong mereka sendiri, berfikir ilmiah dan rasional dan lebih lanjut pengalaman dapat berkembang di masa datang (Mulyani S & Johar P, 2001: 135) Metode eksperimen atau percobaan diartikan sebagai cara belajar-mengajar yang melibatkan peserta didik dengan mengalami dan membuktikan sendiri proses dan hasil percobaan itu. 2) Tujuan Penggunaan Metode Eksperimen
xlii
Tujuan penggunaan metode eksperimen yaitu a) Agar peserta didik mampu menyimpulkan fakta-fakta, informasi atau data yang diperoleh. b) Melatih peserta didik merancang, mempersiapkan, malaksanakan dan melaporkan percobaan. c) Melatih peserta didik menggunakan logika berfikir induktif untuk menarik kesimpulan dari fakta, informasi atau data yang terkumpul melalui percobaan. 3) Alasan Penggunaan Metode Ekperimen Alasan penggunaan metode eksperimen yaitu a) Metode eksperimen diberikan untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik agar dapat mengalami sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang suatu objek, keadaan atau proses sesuatu. b) Metode eksperimen dapat menumbuhkan cara berfikir rasional dan ilmiah.
a) b) c) d) e)
a) b) c) d)
4) Keuntungan Metode Ekperimen Keuntungan metode eksperimen yaitu Membuat peserta didik percaya pada kebenaran kesimpulan percobaannya sendiri dari pada hanya menerima kata guru atau buku. Peserta didik aktif terlibat mengumpulan fakta, informasi, atau data yang diperlukan melalui percobaan yang dilakukannya. Dapat menggunakan dan melaksanakan prosedur metode ilmiah dan berfikir ilmilah. Memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif, realities dan menghilangkan verbalisme. Hasil belajar menjadi kepemilikan peserta didik yang bertalian lama. 5) Kelemahan Metode Ekperimen Kelemahan metode eksperimen yaitu Memerlukan peralatan percobaan yang komplit. Dapat menghambat laju pembelajaran dalam penelitian yang memerlukan waktu yang lama. Menimbulkan kesulitan bagi guru dan peserta didik apabila kurang berpengalaman dalam penelitian. Kegagalan dan kesalahan dalam bereksperimen akan berakibat pada kesalahan menyimpulkan. (Mulyani S & Johar P, 2001: 136-137) Dari uraian di atas, diketahui bahwa metode eksperimen siswa dapat
membuktikan suatu prisip atau hokum yang telah diajarkan dengan melihat apa yang telah terjadi dan membandingkannya dengan teori. Bahkan kalau mungkin eksperimentasi diarahkan pada penemuan sesuatu yang baru. d. Metode Diskusi Kelompok 1) Pengertian Metode Diskusi Kelompok
xliii
Penggunaan
metode
diskusi
kelompok
dalam
kerangka
pendekatan
pembelajaran sebenarnya bukan saja sebagai salah satu cara penyampaian materi pelajaran kepada peserta didik yang bersifat problematik, tetapi juga melatih anak dalam kehidupan sehari-hari untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi dan membentuk kompetensi-kompetensi sosial yang dibutuhkan. Metode diskusi kelompok diartikan sebagai siasat “penyampaian” bahan pengajaran yang melibatkan peserta didik untuk membicarakan dan menemukan alternatif pemecahan suatu topik bahasan yang bersifat problematik yang pelaksanaannya secara kelompok. Guru, peserta didik, dan atau kelompok peserta didik memiliki perhatian yang sama terhadap topik yang dibicarakan dalam diskusi. (Mulyani S & Johar P, 2001: 123)
a) b) c) d) e)
2) Tujuan Metode Diskusi Kelompok Tujuan metode diskusi kelompok yaitu Untuk membuat problema itu menarik. Untuk membantu peserta mengemukakan pendapatnya. Untuk mengenal dan mengolah problema. Untuk menciptakan suasana yang informal. Untuk memperoleh pendapat dari orang-orang yang tidak suka berbicara.
a) b) c) d) e) f)
3) Kelebihan Metode Diskusi Kelompok Kelebihan metode diskusi kelompok yaitu Memberi kemungkinan untuk saling mengemukakan pendapat. Merupakan pendekatan yang demokratis Mendorong rasa kesatuan. Memperluas pandangan. Menghayati kepemimpinan bersama-sama. Membantu mengembangkan kepemimpinan.
a) b) c) d) e) f)
4) Kekurangan Metode Diskusi Kelompok Kekurangan metode diskusi kelompok yaitu Tidak dapat dipakai pada kelompok besar. Peserta mendapat informasi yang terbatas. Diskusi mudah terjerumus. Membutuhkan pemimpin yang terampil. Mungkin dikuasai orang-orang yang suka berbicara. Biasanya orang menghendaki pendekatan yang lebih formil. (Nonoh Siti Aminah & Sumanto, 1987: 6) Dari uraian di atas, diketahui bahwa metode diskusi kelompok sebagai salah
satu metode pembelajaran, siswa belajar bagaimana belajar dengan orang lain, bagaimana menanggapi pendapat orang lain, bagaimana memelihara kesatuan
xliv
kelompok, dan belajar tentang teknik-teknik pengambilan keputusan yang sangat berguna bagi mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
6. Sikap Belajar Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1997: 120), ”Sikap (altitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu”. ”Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (response tentency) dengan cara yang relatif tetap terhadap obyek orang, barang dan sebagainya baik secara positif maupun negatif” (Muhibbin Syah: 1997:135). Sikap belajar siswa dalam merespon suatu stimulus dapat berpengaruh pada prestasi belajar siswa yang bersangkutan. Sikap siswa yang positif kepada guru dan mata pelajaran merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar-mengajar siswa tersebut. Sebaliknya sikap yang negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran dapat menunjukkan kesulitan belajar. Untuk mengatasi sikap negatif siswa, guru dituntut untuk lebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan mata pelajaran yang diampu. Dengan demikian guru mampu meyakinkan para siswa akan bidang studi tersebut, dengan begitu siswa akan merasa membutuhkan dan pada akhirnya dapat memunculkan sikap positif, selain pada bidang studi juga pada guru yang bersangkutan. Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif, afektif dan konaktif. Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi obyek sikap. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subyektif seseorang terhadap suatu obyek sikap. Reaksi emosional yang merupakan komponen afektif banyak dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang dipercaya sebagai kebenaran yang berlaku obyek yang termaksud. Komponen konaktif atau perilaku menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya.
xlv
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan timbal balik yang dapat mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu. Pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan, dan lembaga agama serta faktor emosi dalam diri individu dapat mempengaruhi pembentukan sikap. Dalam bukunya yang berjudul Principle of Education and Phychological Meansurement and Evaluation, Sax (1980) yang dikutip oleh Saifuddin Azwar (1995: 87), ada beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan, konsistensi, dan spontanitas Ÿ Ÿ
Ÿ Ÿ
Ÿ
Sikap mempunyai arah artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak. Orang yang setuju pada suatu obyek berarti memiliki sikap yang arahya positif, sebaliknya yang tidak setuju memiliki sikap yang arahnya negatif. Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin berbeda. Dua orang yang sama-sama memiliki sikap yang berarah negatif belum tentu sama intensitasnya, begitu pula sebaliknya. Sikap memiliki keleluasaan, maksudnya kesetujuan atau ketidak setujuan terhadap suatu obyek sikap dapat mengenai hanya pada aspek sedikit dan sangat spesifik, akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada obyek sikap. Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikembangkan dengan responnya terhadap obyek sikap termaksud. Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian sikap dan waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam diri individu untuk waktu yang relatif panjang. Sikap mempunyai spontanitas, yaitu menyangkut sejauh mana kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secar terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan agar individu mengemukakannya. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam sikap terdapat
kecenderungan mental untuk mereaksi suatu obyek, baik dengan perasaan mendukung (positif) maupun perasaan tidak mendukung (negatif). Jadi pada dasarnya sikap itu dapat dianggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini perwujudan perilaku belajar siswa akan ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu obyek, tata nilai, peristiwa, dsb. Apabila kita ingin memperdalam pemahaman tentang sikap maka harus mencakup kesemua dimensi tersebut di atas.
xlvi
Ada beberapa cara bagaimana sikap seseorang bisa dilihat, seperti yang diungkapkan oleh Ruseffendi dalam bukunya yang berjudul ”Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Eksakta, dia mengelompokkan cara mengetahui sikap seseorang dengan tiga cara, yaitu: 1) lapor diri meliputi angket dengan skala sikap, kalimat tak lengkap ataupun karangan, 2) Diamati oleh orang lain (observasi) dan 3) wawancara. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui sikap seseorang digunakan cara lapor diri melalui angket dengan skala sikap. Cara lapor diri adalah suatu pernyataan sikap yang ditulis secara sadar dan dipersiapkan secara matang. Dengan sendirinya hasilnya akan lengkap, tetapi mungkin ada yang ditulis tidak menggambarkan sikap sebenarnya, sebab waktu responden sedang mengisi sedang merasa dinilai. Cara ini dapat juga dipandang sebagai interview tertulis karena pada angket, sampel dihubungkan melalui daftar pertanyaan tertulis. Angket bersifat kooperatif dalam arti kata dari sampel diharapkan kerjasama dalam menyisihkan waktu dan menjawab pertanyaan sesuai dengan petunjukpetunjuk yang diberikan. 7. Kemampuan Kognitif Proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan- kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Bunyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Berikut ini akan dijelaskan tentang ranah kognitif. Kemampuan kognitif adalah kemampuan intelektual siswa seperti yang ditampakkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika, menyusun suatu karangan, atau dalam memecahkan berbagai jenis soal yang membutuhkan “pemikiran”. Jadi, kata “kognitif” dapat diganti dengan “intelektual” atau ”serebral”. (W James Popham dan Eva L Baker Terjemahan Amirul Hadi dkk, 1992:27) Kemampuan kognitif siswa adalah kemampuan yang berhubungan dengan atau melibatkan kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri, juga suatu proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang serta hasil perolehan pengetahuan (Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996: 611).
xlvii
Bloom membagi ranah kognitif menjadi dua bagian yaitu kemampuan mengingat informasi dan kemampuan intelektual. kemampuan mengingat informasi merupakan kategori tujuan belajar yang paling rendah yaitu pengetahuan, sedangkan kemampuan intelektual secara hirarkis yaitu kemampuan memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis dan kemampuan menilai. Secara rinci ranah kognitif dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kemampuan pengetahuan (Knoledge) yaitu kemampuan untuk mengenal atau mengingat kembali suatu objek, ide, prosedur, prinsip atau teori yang pernah ditemukan dalam pengalaman tanpa memanipulasinya dalam bentuk atau simbol lain. Untuk mengukur hasil belajar ini guru dapat memulai pertanyaan dengan kata-kata operasional, didefinisikan, tuliskan, sebutkan, dsb. b. Kemampuan pemahaman (Comprehension) yaitu kemampuan untuk memahami atau mengerti, menangkap arti atau makna. Untuk mengevaluasi sasaran it guru dapat menggunakan kata-kata: bedakan, simpulkan, berilah contoh, rangkumlah dsb. c. Kemampuan menerapkan (Application) yaitu kemampuan menggunakan konsep, prinsip, prosedur atau teori tertentu pada situasi tertentu. Sasaran ini dapat dievaluasi dengan menggunakan kata-kata: gunakan teori, konsep, rumus, dan prinsip-prinsip. d. Kemampuan manganalisis (Analysis) yaitu kemampuan untuk menguraikan suatu bahan (fenomena atau bahan pelajaran) ke dalam unsur-unsurnya, kemudian menghubung-hubungkan bagian dengan bagian dengan cara mana ia susun dan diorganisasikan. Kata-kata yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan ini antara lain: uraikan, membedakan, memisah, menjabarkan dan menurunkan. e. Kemampuan mensintesis (Syntesis) yaitu kemampuan untuk mengumpulkan dan mengorganisasian semua unsur atau bagian, sehingga membentuk satu keseluruhan secara utuh. Tingkah laku yang menggambarkan kemampuan mensintesis ini antara lain: mengkategorikan, mengkombinasikan, mengkomposisi, merakit, merekonstruksi, menyunting dan merevisi. f. Kemampuan mengevaluasi (Evaluation) yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan, menyatakan pendapat untuk mengambil keputusan, menyatakan pendapat atau memberi penilaian berdasar kriteria-kriteria tertentu baik kualitatif maupun kuantitatif. kata-kata atau istilah yang menggambarkan kemampuan ini adalah menghargai, mengkritik, memutuskan dan menilai hasil karya (W. Gulo, 2002: 57-65) Kategori – kategori ini disusun secara hirarkis sehingga menjadi taraf-taraf semakin menjadi komplek, mulai dari yang pertama sampai dengan yang terakhir. Jadi dalam proses belajar bidang studi Fisika, ranah yang sering dijadikan obyek sebagai hasil kerja adalah ranah kognitif karena ranah ini berkaitan erat dengan
xlviii
kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Untuk mengetahui hasil belajar siswa perlu diadakan kegiatan penilaian terhadap suatu bidang pelajaran tertentu dengan menggunakan evaluasi atau tes. Nilai itu dapat berupa angka-angka yang menggambarkan kedudukan siswa di dalam kelompoknya. sehingga dapat dikatakan bahwa nilai siswa pada mata pelajaran Fisika merupakan hasil belajarnya.
8. Konsep Pemantulan Cahaya A. Perambatan Cahaya Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang dapat merambat dalam ruang hampa udara dengan kecepatan rambat cahaya 3 x 108 m/s. Beberapa contoh peristiwa sehari-hari yang menunjukkan adanya cahaya merambat antara lain sebagai berikut : 1) Pada malam hari yang gelap, cahaya dari lampu senter merambat lurus. 2) Sinar matahari merambat lurus ke dalam rumah melalui genting kaca atau celah sempit. 3) Berkas sinar pada proyektor film merambat lurus. Benda gelap terdiri atas beberapa jenis sebagai berikut : 1) Benda gelap yang dapat meneruskan seluruh cahaya. 2) Benda gelap yang dapat meneruskan sebagian cahaya. 3) Benda gelap yang sama sekali tidak meneruskan cahaya. Sifat-sifat cahaya : 1) merambat lurus (dalam medium yang sama). 2) memiliki energi. 3) dapat dipantulkan. 4) dapat dibiaskan. 5) dapat berinterferensi.
B. Pemantulan Cahaya Perambatan cahaya apabila mengenai dinding penghalang maka cahaya akan dipantulkan. Pemantulan cahaya terjadi menurut hukum pemantulan cahaya Perhatikan gambar 2.1.
xlix
Hukum Snellius untuk Pemantulan Cahaya 1) Sinar datang, garis normal, dan sinar pantul terletak pada satu bidang datar. 2) Besarnya sudut datang sama dengan sudut pantul. N A B
i
r
O Gambar 2.1 Pemantulan Cahaya Keterangan : A : sinar datang B : sinar pantul N : garis normal i : sudut datang r : sudut pantul Jenis-jenis Pemantulan Cahaya 1) Pemantulan teratur atau reguler, yaitu pemantulan yang terjadi jika cahaya mengenai permukaan datar yang halus (rata). Pada pemantulan teratur berlaku hukum Snellius seperti yang terlihat pada gambar 2.2 di bawah ini.
Gambar 2.2 Pemantulan Teratur 2) Pemantulan baur atau difus, yaitu pemantulan yang terjadi jika cahaya mengenai permukaan yang kasar (tidak rata). Pada pemantulan teratur berlaku hukum Snellius seperti yang terlihat pada gambar 2.3 di bawah ini.
l
Gambar 2.3 Pemantulan Baur C. Pemantulan pada Cermin Datar Cermin datar adalah sebuah cermin yang salah satu permukaannya mengkilap sehingga bersifat memantulkan sebagian besar cahaya yang datang.
A
O
A’
Gambar 2.4 Sebuah Titik di Depan Cermin Datar dan Bayangannya keterangan :
A : Sebuah titik O : Cermin datar A’ : Bayangan
Pada gambar 2.4 titik A berada di depan cermin datar dan bayangannya A’ berada di belakang cermin datar. Jarak antara A dan O sama dengan jarak antara A’ dengan O. Hal ini dapat diartikan bahwa jarak benda ke cermin sama dengan jarak bayangan ke cermin. Besar benda juga sama dengan besar bayangan, begitu pula bentuk benda sama dengan bentuk bayangannya. Dari gambar 2.4 dapat diambil kesimpulan bahwa sifat-sifat bayangan pada cermin datar :
li
a) maya, yaitu sebuah bayangan yang terjadi karena pertemuan dari perpanjangan sinar-sinar pantul. b) tegak seperti bendanya. c) simetris (bentuk dan tinggi bayangan sama dengan benda) d) berkebalikan sisi e) jarak benda ke cermin sama dengan jarak bayangan ke cermin U
S
A benda
A’
R
bayangan
T Q
B
B’
P
Gambar 2.5 Sebuah Garis Berada di Depan Cermin Datar dan Bayangannya keterangan: AR, BP, BQ dan AS adalah sinar-sinar datang. PB, QT, RA dan SU adalah sinar-sinar pantul. PB’, QB’, RA’ dan SA’ adalah perpanjangan sinar pantul. Pada gambar 2.5, benda AB berada di depan cermin datar. Berkas cahaya yang sejajar datang pada benda. Cahaya AS sejajar BQ dan cahaya AR sejajar BP. Menurut hukum pemantulan cahaya, cahaya dari A yang datang ke cermin datar (di R) akan dipantulkan kembali ke A, sedangkan cahaya dari titik A yang menuju ke cermin datar (di S) akan dipantulkan ke U. Sinar-sinar pantul (RA dan SU) tidak berpotongan sehingga untuk mendapatkan bayangan benda, kedua sinar pantul itu diperpanjang hingga bertemu di titik A’. Dengan cara yang sama, cahaya dari B yang datang menuju cermin datar di P akan dipantulkan kembali ke B, sedangkan cahaya dari titik B yang menuju ke cermin datar (di Q) akan dipantulkan ke T. Perpanjangan sinar pantul PB dan QT berpotongan di B’. Apabila titik A’ dan B’ dihubungkan, maka terbentuklah bayangan. Bayangan yang terjadi bersifat maya karena terbentuk dari titk potong perpanjangan sinar-sinar pantul. Untuk lebih memahami proses pembentukan bayangan pada cermin datar, perhatikan gambar 2.6 di bawah ini.
lii
B
O
B’
A
A’
Gambar 2.6 Pembentukan Bayangan Sebuah Benda di depan Cermin Datar
Gambar 2.7 Panjang Minimum Cermin Datar yang Dibutuhkan Dari gambar 2.7 terlihat bahwa tinggi minimal cermin datar L = s + ½ d, sedangkan h = 2s + d atau s = ½ (h – d) sehingga kita dapatkan tinggi minimal cermin L = ½ (h – d) + ½ d L=½h-½d+½d L=½h keterangan : L
: tinggi cermin datar
h
: tinggi benda Apabila sebuah benda diletakkan di antara dua buah cermin datar yang saling
membentuk sudut., maka jumlah bayangan yang terjadi dapat ditentukan dengan prinsip pemantulan pada cermin datar. Misalkan dua buah cermin datar (C1 dan C2) yang diatur sedemikian rupa sehingga membentuk suatu sudut tertentu (perhatikan Gambar 2.8 dan 2.9).
liii
Ÿ
a
Sudut 180°
180°
C1
C2
O a1 Gambar 2.8 Dua Buah Cermin Datar yang Membentuk Sudut 180° Kedua cermin (C1 dan C2) seakan-akan menjadi sebuah kesatuan cermin datar a = benda a1 = bayangan a oleh cermin C1 dan C2 Ÿ
Sudut 90° C1
a1
90° C2
a2 a3 = a4
Gambar 2.9 Dua Buah Cermin Datar yang Membentuk Sudut 90°
Perhatikan gambar 2.8, sesuai dengan hukum pemantulan cahaya pada cermin datar sebagamana telah diuraikan sebelumnya, bayangan benda a pada cermin C1 adalah a1 dan pada cermin C2 adalah a2. Bayangan a1 berada di depan cermin C2 sehingga tercipta bayangan a3 di belakang cermin C2, hal yang sama terjadi pada a2 yang berada
liv
di depan cermin C1 sehingga terbentuk bayangan a4 di belakang cermin C1 dan ternyata a3 berhimpit dengan a4. Dengan memperhatikan gambar 2.8 dan gambar 2.9, jumlah bayangan yang dibentuk oleh dua buah cermin yang berpotongan dengan Ÿ
sudut 180° menghasilkan1 bayangan;
Ÿ
sudut 90° menghasilkan 3 bayangan;
Maka dapat disimpulkan bahwa jumlah bayangan sebuah benda oleh cermin datar yang membentuk sudut α dirumuskan dengan : n=
360° -1 α
keterangan : n : jumlah bayangan α : sudut antara dua buah cermin datar
D. Pemantulan Cahaya Pada Cermin Cekung Cermin cekung adalah cermin yang permukaannya mengkilap dan letaknya ada di bagian dalam kelengkungan cermin. Bagian-bagian cermin cekung dapat dilihat pada gambar 2.10 berikut ini.
Gambar 2.10 Bagian-Bagian Pada Cermin Cekung Hubungan antara jarak benda, jarak bayangan, dan jarak fokus dirumuskan sebagai berikut. 1 1 1 + = S o Si f keterangan :
jika f =
So : jarak benda ke cermin (cm) Si : jarak bayangan ke cermin (cm) f : jarak fokus (cm)
lv
R 2
1 1 2 + = S o Si R
R : jari-jari kelengkungan cermin (cm) M : perbesaran benda (kali) Jalannya sinar istimewa pada cermin cekung (perhatikan gambar 2.11) : a) Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan melalui titik fokus (F). b) Sinar datang melalui titik fokus (F) dipantulkan sejajar sumbu utama. c) Sinar datang melalui pusat kelengkungan cermin (P) dipantulkan kembali melalui P (pada garis yang sama).
(a)
(b) (c) Gambar 2.11 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cekung
Untuk menentukan perbesaran bayangan yang dibentuk oleh cermin cekung, digunakan rumus sebagai berikut: M=
Si So
M=
atau
hi ho
keterangan : hi : tinggi bayangan (cm)
ho : tinggi benda (cm)
E. Pemantulan Cahaya Pada Cermin Cembung Cermin cembung adalah cermin yang bagian depannya mengkilap dan terletak di bagian luar kelengkungan. Hubungan antara jarak benda, jarak bayangan, dan jarak fokus dirumuskan sebagai : 1 1 1 + = S o Si f
jika f =
1 1 2 + = S o Si R
R 2
keterangan : So : jarak benda ke cermin (cm) Si : jarak bayangan ke cermin (cm)
lvi
f : jarak fokus (cm) R : jari-jari kelengkungan cermin (cm) M : perbesaran benda (kali) Jalannya sinar istimewa pada cermin cembung (perhatikan gambar 2.12): a) Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan seolah-olah dari titik fokus (F). b) Sinar datang seolah-olah menuju titik fokus (F) akan dipantulkan sejajar dengan sumbu utama. c) Sinar datang seolah-olah menuju pusat P akan dipantulkan kembali (pada garis yang sama).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.12 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cembung Pada cermin cembung, titik fokus terletak di belakang bidang pemantul cahaya sehingga jarak fokus dan jari-jari cermin bertanda negatif (-). Untuk menentukan perbesaran bayangan digunakan rumus sebagai berikut. M=
Si So
M= atau
hi ho
keterangan : hi : tinggi bayangan (cm)
ho : tinggi benda (cm) B.
Penelitian yang Relevan
M.Gail Jones dan Laura Brader (2002: 5) dalam penelitiannya yang berjudul The Impact of Constructivism on Education: Language, Discourse, and Meaning menyatakan bahwa:
lvii
Constructivism's perspectives on the role of the individual, on the importance of meaning-making, and on the active role of the learner are the very elements that make the theory appealing to educators. Teachers are typically acutely aware of the role of prior knowledge in students' learning, recognizing that students are not blank slates or empty vessels waiting to be filled with knowledge. Instead, students bring with them a rich array of prior experiences, knowledge, and beliefs that they use in constructing new understandings. Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam konstruktivisme mengandung komponen yang penting, yaitu peran individu, pentingnya arti keputusan, dan peran aktif pelajar. Guru harus terlebih dahulu mengetahui pengetahuan belajar siswanya, mengetahui bahwa siswa bukan seperti papan tulis atau bejana kosong yang menunggu untuk diisi, sebaliknya siswa membawa berbagai pengalaman sebelumnya, pengetahuan, dan keyakinan yang mereka gunakan dalam membangun pemahaman baru. Dan menurut Moses A. Boudourides (2003: 3) “…By viewing learning as an active process, taking students prior knowledge into consideration, building on preconceptions, and eliciting cognitive conflict, teachers can design instruction that goes beyond rote learning to meaningful learning that is more likely to lead to deeper, longer lasting understandings”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan melihat bahwa belajar merupakan suatu proses aktif, siswa mengambil pengetahuan menjadi pertimbangan, membangun prasangka, dan memunculkan konflik kognitif, guru dapat merancang instruksi sehingga proses belajar menjadi belajar yang bermakna, yang lebih cenderung menghasilkan pengetahuan lebih dalam dan pemahaman lebih tahan lama. Jadi pendekatan konstruktivisme sangat cocok digunakan dalam proses pembelajaran. Siswa mampu membangun pengetahuan baru dengan cara berperan aktif dalam pembelajaran tersebut. Dengan pendekatan konstruktivisme yang terencana dengan baik maka dimungkinkan prestasi belajar siswa akan lebih baik daripada pendekatan pembelajaran lain. C.
Kerangka Berpikir
Berdasarkan dari tinjauan pustaka dapat dikemukakan kerangka pemikiran sebagai berikut:
lviii
1. Pengaruh Antara Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Eksperimen Disertai Diskusi Kelompok dan Demonstrasi Disertai Tanya Jawab Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Pendekatan dan metode mengajar memegang peran penting dalam keberhasilan proses belajar-mengajar. Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disetai tanya jawab. Dalam penelitian ini keadaan awal siswa dianggap sama. Metode eksperimen memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri jawaban atau masalah yang dihadapi sehingga siswa terlibat dalam pemecahan masalah tersebut, memberi kesempatan kepada siswa untuk lebih terampil menggunakan alat ataupun media pembelajaran lainnya sehingga dapat memperjelas pengertian konsep dan pada akhirnya diharapkan kemampuan kognitif Fisika siswa akan menjadi lebih baik. Metode demonstrasi memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati secara cermat dan memberikan gambaran secara jelas hasil pengamatan tersebut untuk memperoleh suatu konsep yang sedang dipelajari serta menumbuhkan sikap berpikir ilmiah sehingga pada akhirnya diharapkan kemampuan kognitif Fisika siswa akan menjadi lebih baik. Berdasarkan dari pemikiran tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis alternatif: “Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.” 2. Pengaruh antara Sikap Belajar Fisika Siswa Kategori Tinggi dan Kategori Rendah Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Sikap dalam belajar dalam diri siswa, khususnya Fisika berbeda-beda. Dalam sikap ada kecenderungan mental untuk mereaksi suatu obyek, baik dengan perasaan mendukung (positif) maupun perasaan tidak mendukung (negatif). Sikap siswa yang positif pada pelajaran merupakan pertanda yang baik bagi proses belajar siswa. Siswa yang memiliki sikap belajar positif belum merasa puas atas apa yang disampaikan guru.
lix
Siswa akan mengembangkan pengetahuannya dengan cara tersendiri sehingga siswa mendapat pengetahuan yang lebih luas. Sebaliknya siswa yang memiliki sikap belajar negatif tidak akan mengembangkan pengetahuannya, karena siswa merasa tersebut merasa telah cukup atas apa yang diperoleh dari guru. Berdasarkan dari kerangka berpikir tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis alternatif: “Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.” 3. Interaksi antara Pengaruh Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode pembelajaran dan Sikap Belajar Siswa Terhadap Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen ditinjau dari sikap belajar siswa pada dasarnya menitikberatkan pada keaktifan siswa dan guru dalam
mengembangkan
ketrampilan
membentuk
pengetahuan
baru
dengan
menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya yang sesuai sikap IPA, dengan dibantu sikap belajar yang dimiliki siswa, siswa dituntut dapat menarik kesimpulan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemahaman konsep Fisika. Berdasarkan dari kerangka berpikir tersebut di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis alternatif: “Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya”. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan paradigma penelitian sebagai berikut:
Kelompok Eksperimen
Populasi
Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Eksperimen Disertai Diskusi Kelompok
Sikap Belajar Tinggi (A1B1)
Sikap Belajar Rendah (A1B2)
Kemampuan Kognitif
Sampel
lx Pendekatan
Sikap Belajar Tinggi (A2B1)
Gambar 2.13 Paradigma Penelitian
D. Perumusan Hipotesis Berdasarkan dari kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis alternatif sebagai berikut: 1. Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 2. Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 3. Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
lxi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Muhammadiyah 7 Surakarta. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2008/2009. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut: a. Tahap persiapan meliputi: pengajuan judul skripsi, pembuatan proposal, permohonan pembimbing, dan permohonan perijinan kepada lembaga terkait. b. Tahap pelaksanaan meliputi: uji coba instrumen penelitian, pengarahan penelitian pada sekolah yang bersangkutan, pelaksanaan mengajar dan pengambilan data. c. Tahap penyelesaian meliputi: analisa data, penyusunan laporan dan konsultasi kepada pembimbing.
B. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental semu (quasi eksperimental) karena peneliti tidak mungkin mengontrol semua variabel yang relevan, kecuali beberapa dari variabel-variabel tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Budiyono (2003 : 82) bahwa: ”Tujuan eksperimental semu adalah untuk memperoleh informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimentasi yang sebenarnya dalam keadaan tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasi semua variabel yang relevan”.
2. Rancangan Penelitian Adapun desain eksperimen yang digunakan adalah desain faktorial 2 x 2 dengan isi atau frekuensi sel tidak sama, dengan model sebagai berikut:
lxii
Sikap Belajar Fisika Siswa
Kategori
Kategori
(B)
Tinggi
Rendah
(B1)
(B2)
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
Pendekatan Konstruktivisme (A) Metode Eksperimen Disertai Diskusi Kelompok (A1) Metode Demonstrasi Disertai Tanya Jawab (A2)
Tabel 3.1 Pola Penelitian Dua kelompok ini selanjutnya diberi pengajaran konstruktivisme melalui metode yang berbeda. Kelompok eksperimen diberi pembelajaran dengan pendekatan konstruksivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok sedangkan kelompok kontrol diberikan dengan pendekatan konstruksivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab. Setelah pengajaran diberi tes untuk mengetahui keadaan kognitif siswa.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2008 / 2009 2. Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-A dan siswa kelas VIII-B SMP Muhammadiyah 7 Surakarta, yang masing-masing berjumlah 30 siswa. 3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah cluster random sampling artinya sampel diambil secara acak tanpa mempertimbangkan kondisi awal dari sampel.
lxiii
D. Uji Kesaman Keadaan Awal Uji ini dilakukan sebelum kedua kelompok baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dikenai perlakuan yang berbeda. Uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah kedua kelompok tersebut dalam keadaan seimbang. Dengan kata lain secara statistik apakah terdapat perbedaan mean yang signifikan dari sampel yang independen. Statistik uji yang digunakan adalah uji t 2 ekor, yaitu : 1. Hipotesis : H0 : tidak ada perbedaan keadaan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. H1 : ada perbedaan keadaan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. 2. Statistik Uji : t=
s
X1 - X 2 1 1 s + n1 n2
= standar deviasi (simpangan baku) (n - 1) s1 + (n2 - 1) s2 = 1 n1 + n2 - 2 2
2
dengan : X 1 = rata-rata kelompok eksperimen X 2 = rata-rata kelompok kontrol
s1 = simpangan baku kelompok eksperimen s2 = simpangan baku kelompok kontrol n1 = jumlah siswa kelompok eksperimen n2
= jumlah siswa kelompok kontrol
3. Kriteria pengujian ttabel = t (1-1/2a ;dk dk
= (n1 + n2 - 2)
α
= 5%
Jika - t (1-1/2a ) ; dk < t < t (1-1/2a ) ; dk maka H0 diterima 4. Keputusan uji
lxiv
Jika H0 diterima maka tidak ada perbedaan keadaan awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam penelitian ini. (Budiyono, 2004: 149)
E. Variabel Penelitian Pada penelitian ini ada dua variabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu: 1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: a. Pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran 1) Definisi operasional Pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran adalah faktor eksternal yang direkayasa oleh guru untuk pencapaian keberhasilan belajar dengan pendekatan pembelajaran yang menekankan keaktifan dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. 2) Kategori : - pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok. - pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab. 3) Skala Pengukuran : nominal. b. Sikap Belajar Fisika Siswa 2) Definisi operasional Sikap belajar adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif tetap terhadap guru maupun siswa lainnya, baik secara positif maupun negatif. 3) Kategori - Sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi (positif) - Sikap belajar Fisika siswa kategori rendah (negatif) 4) Indikator
lxv
- Sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi jika nilai siswa lebih atau sama dengan nilai rata-rata. - Sikap belajar Fisika siswa kategori rendah jika nilai siswa kurang dari ratarata. 5) Skala pengukuran: nominal. 2. Variabel terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: a. Definisi operasional Kemampuan Kognitif siswa adalah tingkat penguasaan siswa dalam mempelajari Fisika pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. b. Indikator - Nilai tes kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. c. Skala pengukuran: Interval.
E. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data penelitian digunakan teknik dokumentasi dan teknik tes, dan teknik angket. 1. Teknik Dokumentasi Teknik
dokumentasi
merupakan
teknik
pengumpulan
data
dengan
menggunakan dokumen sebagai sumber data. Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data jumlah siswa dan data keadaan siswa baik dari kelas ekperimen maupun kelas kontrol. Data keadaan awal siswa diambil dari nilai Fisika hasil ujian sebelumnya yaitu nilai UTS Fisika kelas VIII semester I.
2. Teknik Tes Tes adalah seperangkat pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok. Teknik tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kognitif, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang
lxvi
setelah mempelajari sesuatu. Teknik tes digunakan untuk memperoleh data kemampuan kognitif siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya, sebagai instrumen pengumpul datanya berupa seperangkat tes dalam bentuk obyektif. 3. Teknik Angket Dalam penelitian ini teknik angket digunakan untuk mengetahui bagaimana sikap belajar siswa terhadap pelajaran Fisika, yang dibagi dalam kategori tinggi dan kategori rendah. Bentuk angket digunakan berupa angket tertutup dengan empat alternatif jawaban. Pengukuran skor angket ini digunakan skala 4 dengan lamabang (angka) 1, 2, 3, 4. Kategori tinggi diperoleh jika skor angket yang diperoleh lebih dari atau sama dengan nilai rata-rata, sedang kategori rendah diperoleh jika dibawah ratarata. Langkah langkah pembuatan angket sikap belajar: a. Membuat kisi-kisi angket sikap belajar, yaitu dengan 1) menentukan kemampuan yang akan diukur 2) menentukan indikator dari kemampuan yang akan diukur 3) menentukan ruang lingkup dan banyaknya pernyataan untuk masing-masing sub variabel. b. Menyusun item pertanyaan angket sesuai dengan indikator. c. Mengujicobakan angket sikap belajar untuk mengetahui validitas dan reliabilitas dari angket yang akan dibuat. Prosedur pemberian skor berdasarkan tingkat sikap belajar Fisika siswa, antara lain: a. Untuk angket sikap belajar Fisika siswa pada item positif 1) jawaban selalu dengan skor 4 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa sangat tinggi 2) jawaban sering dengan skor 3 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa tinggi 3) jawaban kadang-kadang dengan skor 2 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa rendah. 4) jawaban tidak pernah dengan skor 1 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa sangat rendah
lxvii
b. Untuk angket sikap belajar Fisika siswa pada item negatif 1) jawaban sangat sesuai dengan skor 1 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa paling tinggi 2) jawaban sesuai dengan skor 2 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa tinggi 3) jawaban tidak sesuai dengan skor 3 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa rendah 4) jawaban sangat tidak sesuai dengan skor 4 menunjukkan sikap belajar Fisika siswa paling rendah
G. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini instrumen penelitian terbagi menjadi dua yaitu: 1. Instrumen Pelaksanaan Penelitian Instrumen pelaksanaan penelitian dalam penelitian ini berupa satuan pelajaran (SP), rencana pembelajaran (RP), lembar kerja siswa (LKS). Instrumen pelaksanaan penelitian tersebut disusun oleh peneliti. Untuk menjamin bahwa instrumen pelaksaan penelitian valid, maka instrumen dikonsultasikan kepada pembimbing. 2. Instrumen Pengambilan Data Instrumen pengambilan data pada penelitian ini berupa instrumen tes kemampuan kognitif Fisika dan tes sikap belajar Fisika siswa. Instrumen pengambilan data tersebut disusun oleh peneliti, yang sudah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, dan diujicobakan terlebih dahulu untuk menguji bahwa item dalam instrumen baik. Adapun uji yang dilakukan terhadap instrumen tes meliputi validitas item tes, reliabilitas, daya pembeda, dan taraf kesukaran. a. Uji Validitas Validitas (kesahihan) adalah kualitas yang menunjukkan hubungan antara suatu pengukuran dengan tujuan kriteria belajar. Teknik untuk mengukur validitas pada penelitian digunakan korelasi point biseral, sebagai berikut : rpbis =
M p - Mt St
p q
di mana :
lxviii
rpbis = koefisien korelasi point biserial
Mp
= rerata skor dari subyek yang menjawab benar bagi item yang dicari
korelasinya Mt
= rerata skor total (skor rata-rata dari seluruh pengikut tes)
P
= proporsi subyek yang menjawab benar item tersebut
q
= 1- p
dengan kriteria validitas (rpbis) adalah : Jika rpbis ≥ rtabel, maka soal dinyatakan valid Jika rpbis < rtabel , maka soal dinyatakan tidak valid (Suharsimi Arikunto, 2002: 79)
b. Uji Reliabilitas Reliabilitas suatu soal menunjukkan tingkat keterandalan keajegan soal. Jadi suatu soal atau alat ukur tersebut dapat dipercaya sehingga alat ukur tersebut dapat digunakan sebagai pengumpul. Dalam penelitian ini untuk mengukur reliabilitas dilakukan dengan mengukur koefisien reliabilitas berdasarkan bentuk instrumen yang dibuat, yaitu soal tes obyektif dengan lima pilihan. Rumus yang digunakan untuk uji reliabilitas adalah rumus Kuder Richardson (KR-20) 2 é n ù é S - å pq ù r11 = ê ú úê S2 ë n - 1û ëê ûú
di mana : r11
= reliabilitas instrumen
p
= proporsi subyek yang menjawab item dengan benar
q
= proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (q = 1-p)
Spq
= jumlah hasil perkalian antara p dan q
n
= banyaknya item
S
= standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar varians)
Adapun Kriteria reliabilitas (r11) adalah : 0,00 £ r11 < 0,20
: reliabilitas soal sangat rendah
lxix
0,20 £ r11 < 0,40
: reliabilitas soal rendah
0,40 £ r11 < 0,70
: reliabilitas soal cukup
0,70 £ r11 < 0,90
: reliabilitas soal tinggi
0,90 £ r11 £ 1,00
: reliabilitas soal sangat tinggi atau sempurna (Suharsimi Arikunto, 2002: 100-101)
c. Indeks Kesukaran Taraf kesukaran ditunjukkan dengan indeks kesukaran yaitu bilangan yang menunjukkan sukar mudahnya suatu soal, yang harganya dapat dicari dengan rumus sebagai berikut : P=
b Js
di mana : P
= indeks kesukaran
B
= banyaknya siswa yang menjawab benar
Js
= jumlah peserta
Penggolongan derajat kesukaran suatu soal tes adalah sebagai berikut : Soal dengan P;0,00 £ D<0,30 adalah soal dikatakan sukar Soal dengan P;0,30 £ D<0,70 adalah soal dikatakan sedang Soal dengan P;0,70 £ D £ 1,00 adalah soal dikatakan mudah (Suharsimi Arikunto, 2002: 208)
d. Daya Pembeda Daya pembeda soal memberikan gambaran tentang kemampuan butir-butir soal membedakan antara mereka yang berkemampuan rendah dan mereka yang berkemampuan tinggi, atau mereka yang pandai dan mereka yang kurang pandai. Rumus yang digunakan untuk mencari daya pembeda adalah : D=
Ba Bb Ja Jb
di mana : D
: Daya pembeda
lxx
Ja
: Banyaknya peserta kelompok atas
Jb
: Banyaknya peserta kelompok bawah
Ba
: banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
Bb
: banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Penggolongan daya pembeda suatu soal tes adalah sebagi berikut : D;0.00 £ D < 0.20 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek D;0.20 £ D < 0.40 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek cukup D;0.40 £ D< 0.70 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek baik D;0.70 £ D£1.00 : soal tes mempunyai daya pembeda jelek baik sekali Butir soal yang baik dalah butir soal yang mempunyai daya pembeda D;0.40 sampai 0.70. (Suharsimi Arikunto, 2002 : 211)
G. Teknik Analisis Data 1. Uji Prasyarat Analisis Untuk menguji hipotesis, sebelumnya harus dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. a. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang digunakan berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini uji normalitas yang digunakan adalah metode Liliefors. Prosedur uji normalitas dengan menggunakan metode Liliefors adalah sebagai berikut : 1) Hipotesis H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. H1 :. sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal 2) Statistik uji Lobs = maksimal F ( Z i ) - S ( Z i ) dimana: Lobs = koefisien Lilliefors dari pengamatan Z i = skor standar, untuk Z i =
( xi - x ) s
lxxi
S = standar deviasi F (zi) = P (Z £ zi) ; Z ~(0,1) S (zi) = proporsi cacah Z £ zi seluruh cacah zi 3) Tingkat signifikansi : α = 0,05 4) Daerah kritik DK = {L Lobs >Lα : n} dengan n adalah ukuran sampel Harga Lα : n dapat diperoleh dari tabel Lilliefors pada tingkat signifikansi α dengan derajat kebebasan n. 5) Keputusan Uji Jika Lobs £ La:0; maka sampel berasal dari populasi berdistribusi normal. Jika Lobs > La:0; maka sampel berasal dari populasi yang tidak terdistribusi normal. (Budiyono, 2004: 170-171) b. Uji homogenitas Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang homogen. Dalam penelitian ini uji homogenitasnya menggunakan uji Bartlett yang prosedurnya adalah sebagai berikut: 1) Hipotesis H0 : s 12 = s 22 = s 32 = s 42 (sampel berasal dari populasi yang homogen) H1 : s 12 Ï s 22 Ï s 32 Ï s 42 (paling sedikit terdapat satu variansi yang berbeda atau sampel berasal dari populasi yang tidak homogen)
2). Statistik uji
c2 =
(
2,303 f log RKG - å f j log S 2j c
)
keterangan : f
:
derajat kebebasan untuk RKG = N – k
N :
banyaknya seluruh nilai
k
cacah sampel
:
fj :
derajat kebebasan untuk Sj2= nj – 1;j=1,2,….,k
nj :
cacah pengukuran pada sampel ke-j
lxxii
= 1+
c
1 æ 1 1ö çç å - ÷÷ 3(k - 1) è fj f ø
RKG = rataan kuadrat gala t =
å SS f
(Sx ) = (n 2
j
; SS j = Sx j 2
j
nj
j
- 1)S j
2
3). Daerah Kritik
{
DK = c 2 c 2 > ca2j ; k -1
}
4). Keputusan Uji Jika c 2hitung < c 2aj:
k -1,
maka kedua sampel berasal dari populasi yang
homogen. (Budiyono, 2004: 176-177)
2. Pengujian Hipotesis Pada penelitian ini ada tiga hipotesis (seperti yang telah disebutkan di atas), untuk menguji ketiga hipotesis tersebut digunakan: a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama Anava digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan efek dua faktor A dan B serta interaksi terhadap variabel terikat. 1) Model Xijk = m = ai + bj + abij +
å
ijk
(Budiyono, 2004 : 228)
keterangan Xijk :
observasi pada subyek ke-k dibawah faktor A kategori ke-i faktor B kategori ke-j
m
:
rerata besar
ai
:
efek faktor A kategori i
bj
:
efek faktor B kategori j
abij :
interaksi faktor A dan B
å
kesalahan eksperimental yang berdistribusi normal
ijk
:
lxxiii
i = 1,2,3,....,p ; p : cacah kategori A j = 1,2,3,....,q ; q : cacah kategori B k = 1,2,3,....,n ; n : cacah kategori pengamatan setiap sel 2) Notasi dan tata letak data Analisis variansi dua jalan 2 x 2 Tabel 3.2. Notasi dan tata letak data B
B1
B2
A1
A1 B1
A1 B2
A2
A2 B1
A2 B2
A
3) Hipotesis a) HoA : ai = 0 untuk setiap i = 1,2,3, …,p. Berarti tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan koginitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. H1A : ai ¹ 0 untuk paling sedikit satu harga ai yang tidak nol. Berarti: Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan koginitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya b) HoB : b j = 0 untuk setiap j = 1,2,3 …,q. Berarti tidak ada perbedaan pengaruh antara siswa yamg mempunyai sikap belajar Fisika kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. H1B : b j ¹ 0 untuk paling sedikit satu bj yang tidak nol. Berarti ada perbedaan pengaruh antara siswa yamg mempunyai sikap belajar Fisika
lxxiv
kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. c) HoAB : a b ij = 0 untuk setiap i = 1,2,…,p dan j = 1,2,….,q. Berarti Tidak ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. H1AB : a b ij ¹ 0 untuk paling sedikit ada satu (ab)ij yang tidak nol. Berarti ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 4) Komputasi a) Tabel 3.3. Tabel Data B A
B1
B2
Total
A1
A1B1
A1B2
A’1
A2
A2B1
A2B2
A’2
Total
B’1
B’2
G
Keterangan: A : pendekatan konstruktivisme A1 : pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok A2 : pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab B
: sikap belajar Fisika siswa
B1 : sikap belajar Fisika kategori tinggi B2 : sikap belajar Fisika kategori rendah b) Tabel 3.4. Tabel Data Sel
lxxv
B A nij
A1
nh =
B2
n11
n12
ΣXij
åX
X ij
X11
åX
A2
B1
2 ij
åX
11
åX
12
X12 2
11
åX
2 12
Cij
C11
C12
SSij
SS11
SS12
n2j
n21
n22
ΣX2j
åX
X2j
X 21
åX
2 2j
åX
21
åX
22
X 22 2
21
åX
2 22
C2j
C21
C22
SS2j
SS21
SS22
pq 1 åij n ij
nh
: rataan harmonik frekuensi sel
nij
: ukuran sel ij (sel pada baris ke-i dan kolom ke-j)
N = å n ij
: banyaknya seluruh data amatan
ij
SS ij = å X
2 ijk
k
(å X ) -
2 2 ijk
n ijk
: jumlah kuadrat devasi data amatan pada sel ij
: rataan pada sel ij
AB ij
G = å ABij
: jumlah rataan semua sel
ij
(Budiyono, 2004: 174) 5) Komponen Jumlah Kuadrat
lxxvi
(1) =
G '2 pq
(2) =
å SS
ij
i, j
(3) =
dengan SSij = å X ijk - C 2
(å X ) dan C =
k
A'i2 åi q
B'i2 (4) = å p i
(5) =
å A' B'
2
ij
ij
6) Jumlah Kuadrat JKA
= nh [(3) - (1)]
JKB
= nh [(4 ) - (1)]
JKAB
= nh [(5) - (4 ) - (3) + (1)]
JKG
=
JKT
= nh [(5) - (1)] + å SS ij
å SS
ij
7) Derajat kebebasan dkA
= p –1
dkB
=
dkAB
q –1
= (p –1)(q –1)
dkG
=
pq (N –1)
dkT
=
Npq –1 = N – 1
8) Rerata Kuadrat RKA
= JKA/ dkA
RKB RKAB
=
JKB / dkB
= JKAB / dkAB
RKG
=
JKG / dkG
9) Statistik Uji Fa =
RKA/ RKG
lxxvii
2
ijk
nijk
Fb =
RKB/ RKG
Fab =
RKAB/ RKG
10) Daerah Kritik DKa = Fa > Fa;q-1,N-pq DKb = Fb > Fa;q-1,N-pq DKab= Fab > Fa;(p-1)(q-1),N-pq 11) Keputusan uji Jika Fa > Fa;q-1,N-pq maka H01 ditolak Jika Fb > Fa;q-1,N-pq maka H02 ditolak Jika Fab > Fa;(p-1)(q-1),N-pq maka H03 ditolak 12) Rangkuman ANAVA Tabel 3.5. Rangkuman Anava Sumber Variansi
Jk
Dk
Rk
F
P
Baris (A)
JKA
p-1
RKA
Fa
> α atau<α
Kolom (B)
JKB
q-1
RKB
Fb
> α atau<α
JKAB
(p-1)(q-1)
RKAB
Fab
> α atau<α
JKG
N-pq
RKG
-
-
JkT
N-1
Efek Utama
Interaksi (AB) Kesalahan
Total
b. Uji Komparasi Ganda Uji Komparasi Ganda merupakan tindak lanjut dari analisis variansi. Tujuan dari komparasi ganda ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut rerata mana yang berbeda dan rerata mana yang sama. Metode komparasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode Scheffe, yaitu : 1) Mengidentifikasi semua pasangan komparasi rerata 2) Merumuskan hipotesis yang bersesuaian dengan komparasi tersebut. 3) Mencari harga statistik uji F dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
lxxviii
a) Untuk komparasi rerata antar baris ke-i dan ke-j
(x - x )
2
Fi - j =
i
j
æ1 1ö RKGç + ÷ çn n ÷ j ø è i
b) Untuk komparasi rerata antar kolom ke-i dan ke-j
(x - x )
2
Fi - j =
i
j
æ1 1ö RKGç + ÷ çn n ÷ j ø è i
c) Untuk komparasi rerata antar sel ij dan sel kj Fij - kj =
(x
- xkj )
2
ij
æ1 1 ö÷ RKGç + çn ÷ è ij nkj ø
d) Untuk komparasi rerata antar sel ij dan sel ik Fij - ik =
(x
ij
- xik )
2
æ1 1 ö÷ RKG ç + çn ÷ è ij nik ø
4) Menentukan tingkat signifikansi (a) 5) Menentukan DK dengan rumus sebagai berikut :
{ = {F = {F = {F
} }
a) DKi-j = Fi - j Fi - j > ( p - q ) Fa : p -1, N - pq b) DKi-j
i- j
Fi - j > (q - 1) Fa :q -1, N - pq
} }
c) DKij-kj
ij - kj
Fij - kj > ( pq - 1) Fa : pq -1, N - pq
d) DKij-ik
ij - ik
Fij -ik > ( p - q ) Fa : pq -1, N - pq
6) Menyusun rangkuman analisis (komparasi ganda) 7) Menentukan keputusan uji (beda rerata) untuk setiap pasangan komparasi rerata. (Budiyono, 2004 : 214-215)
lxxix
BAB IV HASIL PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent). Variabel bebas dalam penelitian ini metode pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme dan sikap belajar Fisika siswa, variabel terikatnya adalah kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Penelitian ini menggunakan sampel 2 kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Jumlah siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol sama yaitu 30 siswa, sehingga secara keseluruhan terdiri dari 60 siswa. Data dalam penelitian ini adalah data dokumentasi, data hasil angket dan data hasil tes. Data dokumentasi yang diambil adalah data nilai ulangan harian siswa untuk menguji kesamaan keadaan awal siswa, data skor sikap belajar Fisika siswa diambil dengan angket, sedangkan nilai kemampuan kognitif Fisika diambil dengan tes. Secara rinci data tersebut adalah sebagai berikut :
A. Deskripsi Data 1. Data Keadaan Awal Fisika Siswa Data keadaan awal yang digunakan adalah nilai ulangan tengah semester Fisika siswa kelas VIII semester I. Data keadaan awal siswa kelas VIII semester I kelompok eksperimen memiliki rentang antara 45 sampai 68 dengan rata-rata 55,700, standar deviasi 6,138 dan variansinya 37,677. Untuk melengkapi deskripsi data tersebut, disajikan distribusi frekuensi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan histogram. Distribusi frekuensi keadaan awal siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada tabel 4.1 dan 4.2. Sedangkan histogramnya disajikan pada gambar 4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Data Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok
lxxx
Eksperimen Interval
Frekuensi Mutlak
Frekuensi Relatif
45 – 48
6
20 %
49 – 52
3
10 %
53 – 56
6
20 %
57 – 60
10
33,33 %
61 – 64
2
6,67 %
65 – 68
3
10 %
Jumlah
30
100 %
14
12
10 Frekuensi 8
6
4
2
0 1
2 46,5
3 50,5
4 54,5
5 58,5
6 62,5
7 66,5
Tengah Interval
Gambar 4.1. Histogram Data Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok Eksperimen. Data keadaan awal siswa kelas VIII semester I kelompok kontrol memiliki rentang antara 45 sampai 68 dengan rata-rata 55,757, standar deviasinya 5,976 dan variansinya 35,712. Deskripsi datanya dapat dilihat dalam tabel distribusi frekuensi dan histogram berikut ini:
Tabel 4. 2. Distribusi Frekuensi Data Keadaan Awal Fisika Siswa Kelompok Kontrol.
lxxxi
Interval
Frekuensi Mutlak
Frekuensi Relatif
45 – 48
5
16,67 %
49 – 52
4
13,33 %
53 – 56
5
16,67 %
57 – 60
11
36,67 %
61 – 64
2
6,66 %
65 – 68
3
10 %
Jumlah
30
100 %
12
10
8 Frekuensi 6
4
2
0 1
46,5 2
50,5 3
54,5 4
58,5 5
62,5 6
66,5 7
Tengah Interval
Gambar 4.2. Histogram Data Keadaan awal Fisika Siswa Kelompok Kontrol. 2. Data Sikap Belajar Fisika Siswa Data sikap belajar Fisika siswa digunakan untuk mengetahui apakah siswa mempunyai sikap belajar Fisika yang tinggi atau rendah. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata gabungan antara kelompok eksperimen dan kontrol sebesar 100,416, sehingga siswa yang mempunyai skor sikap belajar ≥ 100,416 termasuk siswa yang
lxxxii
mempunyai skor sikap belajar Fisika kategori tinggi dan siswa yang mempunyai sikap belajar < 100,416 termasuk siswa yang mempunyai skor sikap belajar Fisika dengan kategori rendah. Skor sikap belajar Fisika siswa kelompok eksperimen memiliki rentang antara 88 sampai 110 dengan rata-rata 100,567, standar deviasinya 5,5117 dan variasinya 30,3788. Untuk melengkapi deskripsi data tersebut, disajikan distribusi frekuensi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan Histogram. Distribusi frekuensi data sikap belajar siswa pada kelas eksperimen disajikan pada tabel 4.3. Sedangkan histogramnya disajikan pada gambar 4.3. Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Sikap Belajar Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Interval 88 – 91
Frekuensi Mutlak 2
Frekuensi Relatif 6,66 %
92– 95
2
6,66 %
96 – 99
8
26,67 %
100 – 103
8
26,67 %
104 – 107
8
26,67 %
108 – 111
2
6,66 %
Jumlah
30
100 %
12
10
8 Frekuensi 6
4
2
0 1
2 89,5
3 93,5
4 97,5 Tengah Interval
lxxxiii
5 101,5
6 105,5
7 109,5
Gambar 4.3. Histogram Sikap Belajar Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Sikap belajar Fisika siswa kelompok kontrol memiliki rentang antara 91 sampai 107 dengan rata-rata 100,267, standar deviasinya 4,3045 dan variansinya 18,5287. Distribusi frekuensi data sikap belajar siswa pada kelas kontrol disajikan pada tabel 4.4 Sedangkan histogramnya disajikan pada gambar 4.4. Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Skor Sikap Belajar Fisika Siswa Kelompok Kontrol Interval Frekuensi Mutlak Frekuensi Relatif 91 – 93
3
10%
94 – 96
2
6,67%
97 – 99
7
23,33%
100 – 102
6
20%
103 – 105
10
33,33%
106 –108
2
6,67%
Jumlah
30
100 %
14
12
10 Frekuensi 8
6
4
2
0 1
922
953
984 Tengah Interval
lxxxiv
101 5
104 6
107 7
Gambar 4.4. Histogram Sikap Belajar Fisika Siswa Kelompok Kontrol.
3. Data Kemampuan Kognitif Fisika Data kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok eksperimen yang diberi pengajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen memiliki rentang antara 37 sampai 77 dengan rata-rata 57,8667, standar deviasinya 12,0297 dan variasinya 144,7136. Deskripsi datanya dapat dilihat dalam tabel distribusi frekuensi dan histogram berikut ini.
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen Interval 37 – 46
Frekuensi Mutlak 6
Frekuensi Relatif 20 %
47 – 56
7
23.33 %
57 – 66
7
23,33 %
67 – 76
8
26,67 %
77 – 86
2
6,67 %
Jumlah
30
100 %
lxxxv
12
10
8 Frekuensi 6
4
2
0 1
2 41.5
3 51.5
4 61.5
5 71.5
6 81.5
7
Tengah Interval
Gambar 4.5. Histogram Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Eksperimen.
Data kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok kontrol yang diberi pengajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab memiliki rentang antara 37 sampai 70 dengan rata-rata 52,9, standar deviasinya 8,596 dan variansinya 73,8912. Deskripsi datanya dapat dilihat dalam tabel distribusi frekuensi dan histogram sebagai berikut : Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol Interval Frekuensi Mutlak Frekuensi Relatif 36 – 42
5
16,67 %
43 – 49
3
10 %
50 – 56
8
26,67 %
57 – 63
12
40 %
64 – 70
2
6.66 %
Jumlah
30
100 %
lxxxvi
12
10
8 Frekuensi 6
4
2
0 1
2 39
463
534
5 60
6 67
7
Tengah Interval
Gambar 4.6. Histogram Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelompok Kontrol
B. Analisis Data 1. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa Hasil Uji Normalitas keadaan awal siswa kelompok eksperimen didapatkan nilai Lobs sebesar 0,0948 yang lebih kecil dari harga kritik untuk n = 30 dengan taraf signifikansi a = 5 % yaitu Ltab = 0,161, karena Lobs < Ltabel maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelompok eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan untuk data keadaan awal kelompok kontrol uji normalitas didapatkan nilai Lobs sebesar 0,1177 yang lebih kecil dari harga kritik untuk n = 30 dengan taraf signifikansi a = 5 % yaitu Ltab = 0,161, karena Lobs < Ltabel maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil uji homogenitas pada data keadaan awal diperoleh harga c2
hit
= 0,0204
yang tidak melebihi harga c2 pada taraf signifikansi 5 %, dk = 1 yaitu c2tab = 3,841, karena c2
hitung
< c
2
tabel
berarti sampel berasal dari populasi yang homogen. Hasil
lxxxvii
perhitungan dengan uji Bartlett dan metode lillifors data kemampuan awal Fisika dapat dilihat dalam lampiran 19. Uji kesamaan keadaan awal menggunakan uji-t dua ekor. Hasil uji-t ini didapatkan nilai thit sebesar -0,0419. Sedangkan ttabel pada taraf signifikan 5% dengan dk = (30+30)- 2 = 58 sebesar 1,645. Karena –ttabel = -1,645 < thit = 0,748 < ttabel = 1,645 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keadaan awal antara siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji-t dua ekor tersebut selanjutnya dapat dilihat pada lampiran 20.
2. Uji Prasyarat Analisis Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Variansi Dua Jalan (2x2) dengan Sel Tak Sama. Namun demikian uji tersebut baru dapat dilaksanakan bila terpenuhi uji prasyarat yang terdiri dari uji normalitas dengan teknik uji Liliefors dan uji homogenitas dengan uji Bartlett. Hasil uji prasyarat ini adalah sebagai berikut : a. Uji Normalitas Hasil uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah sampel yang berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak normal. Uji normalitas data kemampuan kognitif Fisika siswa kelompok eksperimen didapatkan nilai Lobs sebesar 0,1521 yang lebih kecil dari harga kritik untuk n = 30 dengan taraf signifikansi a = 5% yaitu Ltab = 0,161 karena Lobs < Ltabel maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelompok eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Sedangkan data kemampuan kognitif Fisika kelompok kontrol uji normalitas didapatkan nilai Lobs sebesar 0,1162 yang lebih kecil dari harga kritik untuk n = 30 dengan taraf signifikansi a = 5% yaitu Ltab = 0,161 karena Lobs < Ltabel maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelompok kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah data berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Uji homogenitas dalam penelitian ini digunakan metode Bartlett. Uji homogenitas kemampuan kognitif Fisika siswa diperoleh harga
lxxxviii
c2hit= 3,162 yang tidak melebihi harga c2 pada taraf signifikansi 5 % dk = 1 yaitu c2tab = 3,841, berarti sampel berasal dari populasi yang homogen.
C. Pengujian Hipotesis 1. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama Dari hasil uji normalitas dan uji homogenitas dapat diketahui bahwa prasyarat uji telah terpenuhi, maka data yang diperoleh dapat dianalisis dengan anava dua jalan. Untuk selanjutnya data tersebut diuji pasca anava dengan Uji Scheffe. Dari hasil uji Anava dua jalan (2x2) diperoleh harga Fa = 5,3847; Fb = 127,870; dan Fab = 10,9139. Harga Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk = 1 dan galat (error) 56 atau F(0,05;1,56) diperoleh harga 4,02. Hasil pengujian ini terangkum dalam tabel 4.7 sebagai berikut: Tabel 4.7. Rangkuman Anava Kemampuan Kognitif Fisika Siswa. Sumber Variansi
JK
db
RK
Fobs
Fa
P
A (Baris)
181,9137
1
181,9137
5,3847
4,02
< 0,05
B (Kolom)
4319,8623
1
4319,8623
121,870
4,02
< 0,05
AB
368,7054
1
368,7054
10,9139
4,02
< 0,05
Galat
1891,8612
56
33,7832
-
-
-
Total
3074,47338
59
-
-
-
-
Efek Utama
Interaksi
Dari hasil analisis ini diperoleh kesimpulan: 1. Fa = 5,3847 > F(0,05; 1,56) = 4,02, maka H01 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan metode demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 2. Fb =127,870 > F(0,05; 1,56) = 4,02, maka H02 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan rendah
lxxxix
terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 3. Fab = 10,9139 > F(0,05; 1,56) = 4,02, maka H03 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada interaksi pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
2. Uji Lanjut Anava Untuk mengetahui lebih lanjut tentang masalah di atas, maka dilakukan uji komparasi ganda antar rerata dengan menggunakan metode Scheffe, yang rangkuman analisisnya sebagai berikut :
Tabel 4.5. Rangkuman Komparasi Ganda Rerata Komparasi Rerata
Xi
Statistik Uji (X i - X j ) Harga Kritik Fij = 1 1 MSerr ( + ) ni n j
Xj
P
mA1 vs mA2
57,8667
52,9
10,9527
4,02
< 0,05
mB1 vs mB2
63,4375
46,1786
131,6689
4,02
< 0,05
mA1B1 vs mA1B2
67,41
45,38
105,83
4,02
< 0,05
xc
mA1B1 vs mA2B1
67,41
58,93
16,96
4,02
< 0,05
mA1B1 vs mA2B2
67,41
46,87
99,52
4,02
< 0,05
mA1B2 vs mA2B1
45,38
58,93
37,85
4,02
< 0,05
mA1B2 vs mA2B2
45,38
46,87
0,457
4,02
>0,05
mA2B1 vs mA2B2
58,93
46,87
32,289
4,02
< 0,05
Dari tabel di atas dapat disimpulkan hasil uji beda rerata yaitu : 1. FA12 = 10,9527 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara baris A1 (pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok) dan baris A2 (pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab). Rerata penggunaan metode pembelajaran eksperimen disertai diskusi kelompok X A1 = 57,8667 , sedangkan rerata penggunaan metode pembelajaran demonstrasi X A2 = 52,9 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok memberikan pengaruh lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 2. FB12 = 131,6689 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara kolom B1 (Sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan kolom B2 (Sikap belajar Fisika siswa kategori rendah). Rerata Sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X B1 = 63,4375 , sedangkan rerata X B2 = 46,1786 . Dengan demikian dapat
Sikap belajar siswa kategori rendah
disimpulkan bahwa siswa dengan sikap belajar Fisika kategori tinggi mempunyai kemampuan kognitif Fisika yang lebih baik daripada siswa dengan sikap belajar Fisika kategori rendah pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
xci
3. FA1B1-A1B2 = 105,83 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B1 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A1B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah). Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X A1B1 = 67,41 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah X A1B2 = 45,38 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
4. FA1B1-A2B1 = 16,96 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B1 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A2B1 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi). Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X A1B1 = 67,41 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah X A2B1 = 58,93 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap
xcii
belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 5. FA1B1-A2B2 = 99,52 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B1 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A2B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah). Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi X A1B1 = 67,41 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah X A2B2 = 46,87 .
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
penggunaan
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 6. FA1B2-A2B1 = 37,85 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah) dan sel A2B1 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi). Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi
kelompok
dengan
sikap
belajar
Fisika
siswa
kategori
rendah
X A1B2 = 45,38 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori
xciii
tinggi X A2B1 = 58,93 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 7. FA1B2-A2B2 = 0,457 < F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho diterima. Hal ini menunjukkan bahwa: tidak ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A1B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah) dan sel A2B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah). Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi
kelompok
dengan
sikap
belajar
Fisika
siswa
kategori
rendah
X A1B2 = 45,38 , sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah X A2B2 = 46,87 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. 8. FA2B1-A2B2 = 32,289 > F0,05; 1,56 = 4,02 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa: Ada perbedaan rerata yang signifikan antara sel A2B1 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi) dan sel A2B2 (penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah). Rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi
xciv
X A2B1 = 58,93 ,
sedangkan rerata penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah X A2B2 = 46,87 . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dengan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya.
D. Pembahasan Hasil Analisis Data 1. Hipotesis Pertama Berdasarkan hasil analisis variansi dan uji lanjut anava diperoleh bahwa: Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Untuk uji lanjut anava menunjukkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok lebih efektif daripada pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok ternyata memberikan hasil yang lebih baik, hal ini dikarenakan pada pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok siswa mampu menemukan dan membangun konsep yang ditanamkan guru dan melalui percobaan sendiri dengan berdasarkan konsep yang telah dimilikinya, sehingga pendekatan konstruktivisme sangat mendukung jika dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen disertai diskusi kelompok, karena dengan metode eksperimen disertai diskusi kelompok siswa akan selalu dapat melakukan percobaan sendiri dan secara teratur sehingga konsep-konsep yang didapat secara bertahap melalui serangkaian eksperimen akan selalu tetap melekat kuat pada ingatannya. Dengan
xcv
demikian serangkaian kegiatan eksperimen secara teratur dan terpadu akan menghasilkan suatu konsep Fisika yang benar dan mudah dipahami. Dengan cara melakukan eksperimen ini, siswa akan lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri. Selain itu dengan metode ini diharapkan siswa akan lebih memahami arti konsep Fisika yang sesungguhnya. Sedangkan penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab kurang cocok, karena dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab siswa tidak dapat melakukan percobaan sendiri, siswa hanya dapat melihat seorang guru yang melakukan demonstrasi dengan demikian siswa sulit untuk memahami arah konsep yang ditanamkan oleh guru. Selain itu sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya juga merupakan pokok bahasan yang mempelajari hal-hal yang kecil dan abstrak sehingga apabila hanya dengan demonstrasi kurang sesuai. 2. Hipotesis Kedua Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Siswa yang mempunyai sikap belajar Fisika kategori tinggi lebih mudah menangkap materi dan juga mudah memahami dalam melakukan percobaan dalam membuktikan suatu konsep, lebih kritis dalam berargumen, dan lebih rajin dalam melakukan percobaan. Selain itu sikap belajar Fisika yang tinggi akan mendukung untuk mereaksi atau merespon suatu tindakan yang baru. Dengan demikian sikap belajar sangat diperlukan dalam mendukung suatu tindakan ilmiah, sehingga menghasilkan hasil yang ilmiah. Sebaliknya siswa yang mempunyai sikap belajar Fisika kategori rendah akan susah dalam memahami cara melakukan eksperimen, malas, dan kurang dalam menanggapi suatu permasalahan konsep yang ada, karena merasa apa yang dipelajari kurang bermanfaat. 3. Hipotesis Ketiga Ada interaksi pengaruh antara
penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya. Penggunaan
xcvi
pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah tidak lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi lebih baik daripada pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab dan sikap belajar Fisika siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika tinggi lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme dan sikap belajar Fisika yang rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kemampuan kognitif Fisika siswa yang diajar dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok selalu lebih baik daripada dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab baik pada siswa yang mempunyai sikap belajar Fisika kategori tinggi maupun rendah. Di samping itu, kemampuan kognitif Fisika pada siswa yang sikap belajarnya tinggi selalu lebih baik daripada siswa yang sikap belajarnya rendah, baik yang diberi pengajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok maupun demonstrasi.
xcvii
Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran yang tepat yang sesuai dengan materi yang diajarkan akan memberikan hasil kemampuan kognitif Fisika siswa yang optimal. Selain itu sikap belajar Fisika yang tinggi juga akan mempengaruhi kemampuan kognitif siswa, semakin tinggi sikap belajar Fisika siswa, maka akan semakin tinggi kemampuan kognitifnya. Sebaliknya semakin rendah sikap belajar Fisika, maka akan semakin rendah pula kemampuan kognitif Fisika. Penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran yang sesuai dan sikap belajar Fisika siswa yang tinggi akan mengakibatkan meningkatnya kemampuan kognitif Fisika siswa, sebaliknya kurang tepatnya metode pembelajaran dan rendahnya sikap belajar Fisika akan mengakibatkan rendahnya kemampuan kognitif Fisika siswa, karena dalam memahami konsep Fisika diperlukan semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi.
xcviii
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : i.
Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok dan demonstrasi disertai tanya jawab terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya
ii.
Ada perbedaan pengaruh antara sikap belajar Fisika siswa kategori tinggi dan kategori rendah terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya
iii.
Ada interaksi antara pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan sikap belajar Fisika siswa terhadap kemampuan kognitif Fisika siswa pada sub pokok bahasan Pemantulan Cahaya
b. Implikasi Hasil Penelitian Dengan diperolehnya kesimpulan penelitian ini, sebagai implikasi adalah: 1. Pada pembelajaran Fisika ternyata pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen disertai diskusi kelompok memberikan pengaruh yang lebih baik dari pada melalui metode demonstrasi disertai tanya jawab, sehingga hal ini dapat digunakan sebagi referensi bagi guru dalam menentukan metode yang tepat bagi siswa. 2. Sikap belajar Fisika siswa mempunyai pengaruh terhadap kemampuan kognitif Fisika. Siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori tinggi akan mencapai prestasi yang lebih baik daripada siswa yang memiliki sikap belajar Fisika kategori rendah, sehingga hal ini dapat digunakan sebagai referensi bagi guru untuk memperhatikan dan mempertimbangkan sikap belajar Fisika siswa.
xcix
C. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dan implikasinya tersebut, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut : 1. Guru Fisika diharapkan dalam penyampaian materi Fisika lebih memperhatikan penggunaan metode pengajaran yang tepat sehingga kegiatan belajar mengajar berjalan sesuai dengan tujuan yang dicapai dan materi yang disampaikan dapat diterima oleh siswa secara efektif. 2. Kepada pihak sekolah termasuk guru hendaknya selalu berusaha agar siswa-siswa tetap bersemangat untuk belajar, serta menjadikan belajar sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi sehingga siswa betah untuk belajar di sekolah. 3. Siswa hendaknya menyadari bahwa yang menentukan keberhasilan belajar adalah siswanya sendiri yaitu salah satunya dengan memperhatikan sikap belajar.
c
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press . 2004. Statistika Dasar Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press Budi Purwanto.2007.Sains Fisika 2. Surakarta: Tiga Serangkai Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Djago Tarigan. 1990.PBM Pragmatik. Bandung: Angkasa FKIP UNS.2007.Pedoman Penulisan Skripsi.Surakarta:UNS Gail Jones, M dan Laura Brader. 2002. The Impact of Constructivism on Education: Language, Discourse, and Meaning. American Comunication Journal. Volume 5, Issue 3, Spring 2002 Gino, Suwarni, Suripto, Maryanto dan Sutijan. 1997. Belajar dan Pembelajaran I. Surakarta: UNS Press Herbert Druxes, Fritz Siemsien, Dan Gernor Born. 1986. Kompendium Didaktik Fisika. (diterjemahan oleh: Soeparmo). Bandung : Remaja Karya. Margono. 2000. Stategi Belajar Mengajar. Surakarta: UNS Press Moh.Uzer Usman. 2005.Menjadi Guru Profesional.Bandung:Remaja Rosdakarya Moses A. Boudourides. 2003. Constructivism, Education, Science and Technology. Canadial Journal of Learning and Technology, Volume 29, No.3 Muhhibin Syah. 2005. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya. Mulyani Sumantri & Johar Permana. 2001. Strategi Belajar Mengajar.Bandung: CV.Maulana Mulyasa.2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi.Bandung: Remaja Rosdakarya Nana Sudjana. 2005. Penilaian Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo Ngalim Purwanto. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya Nonoh Siti Aminah & Sumanto.1987. Strategi Belajar Mengajar. Surakarta: UNS Press Oemar Hamalik. 2003. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius
ci
Saifuddin Azwar. 2002. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sardiman,AM. 2004. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Persada Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
cii