JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN MELALUI IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)/ SEWA RAHIM DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
Untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mencapai derajat S-1 pada Program Studi Ilmu Hukum
Oleh : IMAM FARIANSYAH D1A 110 203
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2016
Halaman Pengesahan KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN MELALUI IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)/ SEWA RAHIM DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
JURNAL ILMIAH
Oleh : IMAM FARIANSYAH D1A 110 203
Menyetujui
Pembimbing Pertama,
H. Supardan Mansyur, SH, MH. NIP. 19571231 198403 1 010
KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN MELALUI IBU PENGGANTI (SURROGATE MOTHER)/ SEWA RAHIM DITINJAU DARI HUKUM ISLAM IMAM FARIANSYAH D1A 110 203 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2016 ABSTRAK Salah satu perkembangan teknologi bayi tabung adalah perbuatan menitipkan benih (embrio) pada rahim wanita lain yang disebut dengan ibu pengganti (surrogate mother). Ditinjau dari hukum Islam perbuatan tersebut telah mengacaukan konsep keluarga, merusak garis keturunan, khususnya akibat yang ditimbulkan yakni status nasab anak yang dilahirkan menjadi tidak jelas kepastian hukumnya. Terdapat dua macam hasil ijtihad dalam menarik garis hukum terhadap perbuatan penitipan janin, yaitu yang menghalalkan dan yang mengharamkan perbuatan tersebut. Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa nasab anak yang dilahirkan melalui surrogate mother hanya disambungkan dengan wanita yang mengandung dan melahirkannya. Karena hakikat seorang ibu adalah mengandung, melahirkan dan menyusui. Kata kunci : Surrogate Mother, Hukum Islam, Status Nasab Anak THE LEGAL POSITION OF CHILDREN BORN TROUGH A SURROGATE MOTHER / LEASE WOMB IN TERMS OF ISLAMIC LAW ABSTRACT One development of IVF technology is an act entrusts the seed ( embryo ) in the womb of another woman called surrogacy ( surrogate mother ). Judging from the action of Islamic law has disrupted the family concept, damaging lineage, particulary the impact that children born nasab statute became unclear legal certainly. There are two kind of result ijtihad in drawing the line of the law against fetal care act, ie one which justifies and which forbids suc actions. The results showed that nasab children born through a surrogate mother just connect with women who are pregnant and giving birth. Because of the nature of a mother is pregnant, give birth and breastfeeding. Keywords : Surrogate Mother, Islamic law, Statute of children nasab
I.
PENDAHULUAN
Idealnya dalam suatu perkawinan adalah terpenuhinya tujuan-tujuan dilangsungkannya perkawinan itu sendiri, yang salah satunya adalah memperoleh keturunan yang sah, artinya jelas nasabnya, baik dilihat dari sudut pandang hukum Islam. Dewasa ini, ilmu dan teknologi di bidang kedokteran mengalami perkembangan pesat dan memberikan dampak positif bagi manusia, yaitu dengan ditemukannya cara-cara baru dalam memberi jalan keluar bagi pasangan suamiisteri yang tidak dapat memperoleh anak secara alami yakni salah satunya metode In Vitro Fertilization (IVF).1 Sejalan dengan pembuahan in vitro fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu pengganti), surrogate mother terjadi pada saat dimana wanita yang bersedia rahimnya untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya kepada pasangan suami-istri yang tidak mempunyai keturunan tersebut dengan imbalan sejumlah materi yang diberikan kepada surrogate mother (ibu pengganti), karena istri tersebut tidak bisa mengandung. Ada varian lain yakni, yang menyatakan bahwa perikatan yang terjadi tidak didasari berdasarkan imbalan melainkan karena dasar kekerabatan (walaupun jarang),2 Awalnya surrogate mother terjadi karena pihak dari istri tidak bisa mengandung karena sesuatu hal yang terjadi pada rahimnya sehingga peran si
1
Veronica Dwi Astuti et al.,”Fertilisasi In Vitro dan Transplantasi Embrio Pada Manusia: Apa kendala Etisnya ?” < http://ferrykarwur.i8.com/materi bio/materi2. html >, 1 Oktober 2015. 2 Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012, hal. 36
istri dialihkan kepada wanita lain untuk menggantikan fungsinya sebagai seorang ibu untuk mengandung dan melahirkan, baik dengan imbalan materi ataupun sukarela, tetapi pada perkembangannya, terjadi pergeseran makna dari substansi awal sebagai alternatif kelainan medis (karena cacat bawaan atau penyakit) kearah sosial dan eksploitasi nilai sebuah rahim. Meskipun
surrogate
mother
ini
cukup
menjanjikan
terhadap
penanggulangan beberapa kasus infertilitas, tetapi karena proses ini masih terkendala pada peraturan perundang-undangan yang disebabkan belum adanya aturan hukum yang secara jelas mengatur tentang praktek surrogate mother, hal tersebut tentu saja menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga praktek surrogate mother ini masih dipertanyakan bagaimana status hukumnya karena ada permasalahan besar sebagai dampak dari kasus surrogate mother yaitu nasib anak yang dilahirkan yang menyangkut status anak tersebut terhadap hak warisnya. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik permasalahan yaitu : Bagaimana ketentuan penitipan janin menurut Hukum Islam dan Bagaimana akibat hukum terhadap anak hasil praktek surrogate mother dalam perspektif hukum Islam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan terkait dengan penitipan janin menurut hukum Islam dan lebih spesifik untuk mengetahui mengenai akibat hukum yang ditimbulkan terhadap anak hasil praktek surrogate mother dalam perspektif hukum islam itu sendiri. Jenis penelitian ini adalah penelitian Normatif. Penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti Undang-Undang, bahan pustaka, pendapat ahli dan ditambah
dengan analisis dari penyusun. Manfaaat dari penelitian ini sendiri adalah utuk memenuhi salah persyaratan akademik dalam menyelesikan studi strata satu (S1) program studi ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Mataram, untuk menambah kajian-kajian teoritis dalam ranah perkembangan ilmu hukum Islam dan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai aturan-aturan yang jelas dalam menentukan nasab anak yang dilahirkan melalui surrogate mother dilihat dari perspektif hukum Islam.
II.
PEMBAHASAN
Ketentuan Penitipan Janin Menurut Hukum Islam Persoalan inseminasi buatan pada manusia muncul di zaman modern, sehingga pembahasannya tidak dijumpai dalam buku-buku fikih klasik. Penemuan bio-teknologi ini banyak dibicarakan ulama Islam di berbagai belahan dunia islam pada abad ke-20. Persoalan yang muncul di kalangan ulama fikih adalah cara yang di tempuh untuk mendapatkan anak melalui bayi tabung yang melalui cara alamiah tersebut, sementara dalam literatur fikih ulama klasik, persoalan tersebut tidak ditemukan. Oleh sebab itu, persoalan bayi tabung mendapatkan tanggapan serius di kalangan ulama fikih kontemporer dan menganggapnya merupakan persoalan ijtihad yang memerlukan analisis mendalam. karena menyangkut kemaslahatan hubungan suami isteri dan nyawa seseorang yang akan lahir dan yang melahirkan. Dalam menanggapi hal ini Islam sangat menghargai berbagai upaya yang menuju kemaslahatan, karena manusia memang dituntut untuk mengubah nasibnya sendiri. Termasuk dalam hal ini adalah upaya Teknologi Reproduksi Buatan, atau dalam bidang kedokteran disebut dengan in vitro fertilization (IVF) untuk mendapatkan keuturunan dikarenakan tidak mampunya mendapatkan kehamilan secara normal. Perlu diperhatikan juga adalah cara mengeluarkan sel sperma yang digunakan untuk proses in vitro fertilization (IVF), menurut keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama bahwa bayi tabung dengan menggunakan sel sperma dan sel ovum dari pasangan suami-istri yang sah secara
muhtaram, dibenarkan oleh Islam, selama mereka dalam ikatan perkawinan yang sah. 3 Dengan demikian, tidak akan menimbulkan permasalahan dan penentuan status nasab anak. Masalah penitipan janin yang merupakan perkembangan dari penemuan teknologi reproduksi bayi tabung, tidak ditemukan dalam Al-Quran dan hadist secara detail. Ajaran-ajaran dalam Al-Quran tidak bersifat rinci, melainkan bersifat prinsipil dan fundamental, sedangkan masalah penitipan janin bersifat implementatif dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam ajaran Al-Quran, oleh sebab itu menjadi objek ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang mujtahid untuk mencapai suatu putusan syarak (Hukum Islam) tentang kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. 4 Menurut Mahmud Syaltut, apabila inseminasi buatan itu dilakukan untuk mendapatkan keturunan bagi suami isteri yang sah dan sperma yang diinjeksikan kedalam rahim wanita itu adalah sperma suaminya, maka hukumnya boleh, dengan syarat bahwa upaya alamiah untuk mendapatkan anak melalui hubungan seksual tidak berhasil dan upaya medis pun melaui cara alamiah ini tidak mendatangkan hasil. Mahmud Syaltut mengungkapkan, inseminasi buatan diperbolehkan karena kebutuhan suami isteri terhadap keturunan sudah mencapai tingkat yang sangat diutuhkan. Oleh sebab itu, menurutnya, terhadap mereka bisa
3
Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), Surabaya : Khalista, 2007. Hlm. 352. 4
Abdul Aziz Dahlan, et. Al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 2, (Jakarta: Ictihar Van Hoeven, 1996)., hlm. 662.
diberlakukan kaedah fikih yang menyatakan al-ha’jah tanzilu manzilah addaru’rah (kebutuhan yang sangat penting diperlukan sama seperti keadaaan darurat).5 Jika dikaitkan dengan hukum positif Indonesia dalam membahas status hukum anak yang dilahirkan melalui penitipan janin, yaitu berdasarkan pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berisi pengertian anak sah belum meliputi kedudukan anak tersebut. Dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. 6 Dalam Kompilasi Hukum Islam, pada pasal 99 dinyatakan bahwa anak yang sah adalah : 7 a) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; b) Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Jika melihat ketentuan pada huruf (a) pasal tersebut, maka hal tersebut sama dengan ketentuan pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Maka bisa ditarik kesimpulan yang sama. Namun, jika melihat ketentuan huruf (b) pasal tersebut, maka anak yang dilahirkan melalui surrogate mother tidak dapat menjadi anak sah dari pasangan suami-istri pemilik benih atau orang tua genetis. Karena anak tersebut dilahirkan melalui proses pembuahan di luar rahim dan tidak dilahirkan oleh si istri, melainkan oleh wanita lain yang yang bukan istrinya. 5
Ibid, hlm. 729.
6
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Op. cit., Pasal 42. 7
Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Op. cit., Pasal 99.
Majma Al-Buhus Al-Islamiyyah, Lembaga Fikih Islam yang berada di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam (OKI), dalam sidangnya di Amman, Yordania pada tahun 1986. Memutuskan bahwa, jika bayi tabung dilakukan dengan tujuan membantu suami isteri yang tidak bisa mendapatkan anak melalui cara alamiah, maka tindakan tersebut dapat ditolerir, dengan syarat sperma dan ovum yang diproses itu berasal dari suami isteri yang sah, dan ditempatkan kembali kerahim isteri pemilik ovum tersebut, Apabila suami mempunyai dua orang isteri dan ovumnya diambil dari isteri pertama, kemudian setelah terjadi pembuahan diletakkan ke dalam rahim isteri kedua, maka hal ini tidak dapat dibenarkan.8 Pencampuran sperma dan ovum dapat dibenarkan syariat Islam apabila dilakukan oleh suami isteri yang sah. Oleh sebab itu, bayi tabung, jika berasal dari sperma dan/atau ovum donor dari orang lain, maka tidak dapat diterima atau dibenarkan, karena meraka bukan suami isteri yang sah, bahkan dapat dianggap sebagai suatu perzinaan. Dalam kaitan inilah Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam menyatakan bahwa memproses bayi tabung dengan mencampurkan sperma atau ovum donor dari orang lain adalah merupakan suatu perbuatan prostitusi terselubung yang dilarang syariat Islam.9
8
Imam Bajuri, “Penitipan Pra Embrio Pada Rahim Wanita Lain (Sewa Rahim) Menurut Hukum Islam”, (Ponorogo; Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, ISID, 2011), hlm. 730. 9
Abdul Aziz Dahlan, Jil. 3, Op. cit., hlm. 731.
Akibat Hukum Terhadap Anak Hasil Praktek Surrogate Mother Dalam Perspektif Hukum Islam. Masalah penitipan janin terhadap bayi tabung dengan menggunakan rahim ibu pengganti, menimbulkan beberapa permasalahan tentang harkat ayah dan ibu serta hakikat hubungan hukum antara orang tua dengan anak bersangkutan. Terkait dengan hal ini memunculkan permasalahan tentang pengertian ibu. Apakah seorang ibu itu adalah wanita yang menghasilkan sel telur, atau wanita yang mengandung anak serta yang melahirkannya. Permasalahan lain adalah mengenai hubungan hukum antara anak yang dikandung dan dilahirkan oleh ibu pengganti, dengan ayah biologisnya. Begitu pula jika ibu pengganti bersuami, permasalahan hubungan hukum antara suami dari ibu pengganti dengan anak yang dikandung oleh isterinya akan muncul. Adanya permasalahan untuk menentukan hubungan hukum antara orang tua pemilik benih dengan anak yang dikandung oleh ibu pengganti, berakibat pada penentuan status hukum anak tersebut. Dalam ajaran Islam sudah ditetapkan suatu konsep dasar bahwa yang dinamakan ibu adalah wanita yang melahirkan, dan ayah adalah suami sah dari ibu yang memiliki benih anak yang bersangkutan (sperma). Anak adalah hasil dari perkawinan yang sah antara ibu dan ayah. Oleh karena itu, akibat dari perbuatan penitipan janin pada rahim ibu pengganti ini adalah kedudukan ayah dari ibu menjadi tidak jelas. Akibat yang paling menonjol dari perbuatan ini
adalah rusaknya harkat seorang ibu dan ayah, serta adanya ketidakpastian pada status hukum seorang anak.10 Akibat pertama yang tampak paling jelas dari perbuatan penitipan janin ini adalah makna keibuan menjadi tidak sesuai dengan makna ibu sebagai mana yang diciptakan Allah dan yang dikenal manusia. Menurut para ulama mazhab imammiyah (syiah), nasab dari anak yang dilahirkan melalui inseminasi buatan tidak dikaitkan dengan suami (dari wanita yang mengandung) sebab dia tidak dilahirkan dari spermanya. Tetapi juga tidak bisa dikaitkan dengan laki-laki pemilik sperma, sebab laki-laki ini tidak secara langsung melangsungkan hubungan seksual yang menyebabkan kehamilan itu, baik sebagai seorang suami maupun melalui hubungan syubhat11. Anak tersebut dikaitkan nasabnya kepada wanita yang mengandungnya, sebab secara hakiki dia adalah anaknya, yang dengan demikian anak itu adalah anak yang sah, sampai terbukti hal yang sebaliknya.12 Akibat kedua dapat merusak kedudukan ayah karena keabsahan seorang anak ternyata ditentukan oleh kejelasan nasab dengan ayahnya secara sah menurut hukum Islam. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah surat Al-Ahzab ayat 4-5 yang mengatakan bahwa seorang anak harus dihubungakan nasabnya dengan ayah genetisnya. Sedangkan, seperti yang telah dikemukakan bahwa akibat dari perbuatan penitipan janin antara lain adalah adanya ketidakpastian 10
Ibid, hlm. 737.
11
Syubhat adalah sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak diketahui secara pasti, apakah dihalalkan atau diharamkan. Lihat Abdul Azis Dahlan, jil. 5, Op. Cit., hlm. 1715. 12
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, cet 1, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996), hlm. 413-414
dalam menentukan status hukum atau nasab si anak yang dilahirkan oleh ibu pengganti. Berdasarkan surat An-Nisa ayat 1, yang terjemahanya :13 “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangan (Hawa) dari (diri)nya; dan dari kedunya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….,” Dapat disimpulkan bahwa ayah adalah suami dari ibu, dan ibu adalah wanita yang melahirkan anak. Pada perbuatan penitipan janin, ibu pengganti bukanlah isteri dari ayah pemilik sperma.
Penitipan janin pada rahim ibu pengganti menimbulkan konflik mengenai status hukum anak atau nasab anak bersangkutan, yakni apakah si anak adalah anak sah dari suami isteri pemilik benih atau anak sah dari ibu pengganti. Berdasarkan keputusan Komisi B Ijtma’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama seIndonesian ke-II Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah, dalam ketetapannya mengenai ketentuan hukum transfer embrio kerahim titipan, menetepkan bahwa anak yang lahir dari transfer embrio ke rahim titipan adalah anak laqith.14 Anak laqith adalah anak kecil yang belum baliqh yang didapati di jalan, atau yang tersesat dijalan, atau yang tidak diketahui nasabnya. 15 Oleh
13
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahan, (Surabaya: Dua Ilmu Surabaya,2009), hlm. 99. 14
Keputusan Komisi B Ijtma’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesian ke-II Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah, “ketentuan hukum transfer embrio ke rahim titipan”, poin ke-4 15
Fadly, “Bab Laqith (Bayi/Anak Kecil Yang Ditemukan),” http://alislamu.com.index.php? option=com content&task=view&id=28&itemid=22. 28 maret 2016.
karena itu, status anak yang lahir dari penitipan janin pada rahim ibu pengganti jika dilihat dari hukum Islam adalah anak laqith, sebagaimana dikemukakan oleh MUI dalam keputusan Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama seIndonesia ke-II Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah. Dengan demikian maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu yang melahirkannya dan bukan dengan pasangan suami isteri pemilik benih (donor). Diantara akibat-akibat yang disebabkan oleh perbuatan penitipan janin pada rahim ibu pengganti, akibat pada hukum kewarisan termasuk masalah yang rumit, karena adanya ketidakpastian dalam menentukan nashab atau status hukum anak yang lahir dari proses penitipan janin pada rahim ibu pengganti tersebut. Menurut pandangan MUI, berdasarkan keputusan ijtihad Komisi B Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesia ke-II tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu;ashirah yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari transfer embrio kerahim titipan adalah anak laqith atau anak temuan, maka anak yang dilahirkan dari perbuatan penitipan janin pada rahim ibu pengganti hanya memiliki hubungan waris mewarisi dengan sang ibu yang melahirkannya, dalam hal ini sang ibu pengganti. Hal tersebut dikarenakan, anak yang lahir dari perbuatan penitipan janin pada rahim ibu pengganti hanya mempunyai hubungan nashab atau hubungan darah dengan sang ibu yang melahirkannya. Apabila anak anak laqith meninggal dunia dan ia meninggalkan harta warisan, namun tidak meningglkan ahli waris, maka harata warisannya menjadi hak milik baitul mal.16
16
Ibid
III.
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hukum sewa rahim baik dengan sperma dan ovum dari suami istri yang sah kemudian di tanam dalam rahim wanita lain adalah haram, karena dalam pelaksanaannya disamakan zina, yaitu terjadi percampuran sperma pria dan ovum wanita tanpa perkawinan yang sah, meskipun bukan zina yang hakiki (memasukkan kelamin ke dalam lubang vagina), sewa rahim menimbulkan kemudaratan lebih banyak dari pada manfaatnya dan memunculkan masalah baru dalam rumah tangga,yaitu merugikan kedua belah pihak dan anak yang di lahirkan, terutama bagi bayi yang diserahkan kepada pasangan suami istri yang menyewa sesuai dengan kontrak, tidak akan terjalin hubungan keibuan secara alami. Serta dalam hal kedudukan hukum anak dalam keluarga yang dilahirkan melalui proses inseminasi buatan/bayi tabung menggunakan surrogate mother (ibu titipan) adalah haram karena anak dengan ibu biologisnya tidak terjalin hubungan keibuan secara alami dan status kedudukannya sebagai anak adalah tidak sah, dan dalam hal kewarisan menurut hukum Islam, anak tersebut dinasabkan dan hanya berhak mewaris dari ibu yang mengandung dan melahirkannya.
Saran Ternyata program bayi tabung ini mampu memberikan kebahagiaan bagi pasangan suami-isteri yang telah hidup bertahun-tahun dalam ikatan perkawinan yang sah. Program ini semakin lama semakin disenangi oleh pasangan suamiisteri yang mandul untuk mendapatkan keturunan. Namun di balik kebahagiaan itu ternyata program bayi tabung termasuk di dalamnya sewa rahim menimbulkan persoalan di bidang hukum, sebab undang-undang yang mengatur tentang bayi tabung di Indonesia belum ada. Oleh sebab itu hendaknya pemerintah, yang dalam hal ini adalah lembaga atau badan yang berwenang dalam membuat peraturan, untuk segera merealisasikan Undang- Undang Khusus yang mengatur tentang Bayi Tabung atau Sewa Rahim dan segala aspek hukumnya, atau dengan jalan mengakomidir dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Yang Baru, atau Undang-Undang Perkawinan Yang Baru dan kepada seluruh masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat muslim sebaiknya jika ingin menggunakan proses inseminasi buatan/bayi tabung untuk memperoleh keturunan hendaknya
mengetahui
ketentuan
hukumnya
terlebih
dahulu
dengan
mempertimbangkan antara maslahah dan mudharat yang kemungkinan akan terjadi jika adanya keturunan yang diperoleh melalui proses inseminasi buatan/bayi tabung.
DAFTAR PUSTAKA Buku Abdul Aziz Dahlan, et. Al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1, Jil. 2, (Jakarta: Ictihar Van Hoeven, 1996). Desriza Ratman, Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012. Imam Bajuri, “Penitipan Pra Embrio Pada Rahim Wanita Lain (Sewa Rahim) Menurut Hukum Islam”, (Ponorogo; Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, ISID, 2011). Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, cet 1, (Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996). Perundang-undangan Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahan, (Surabaya: Dua Ilmu Surabaya,2009) Keputusan Komisi B Ijtma’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama se-Indonesian ke-II Tahun 2006 tentang Masa’il Waqityyah Mu’ashirah, “ketentuan hukum transfer embrio ke rahim titipan”. Lajnah Ta’lif Wan Nasyr NU, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (19262004 M), Surabaya : Khalista, 2007. Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Internet Fadly, “Bab Laqith (Bayi/Anak Kecil Yang Ditemukan),” http://alislamu.com.index.php?option=comcontent&task=view&id=28&ite mid=22. Veronica Dwi Astuti et al.,”Fertilisasi In Vitro dan Transplantasi Embrio Pada Manusia: Apa kendala Etisnya ?” < http://ferrykarwur.i8.com/materi bio/materi2. html >.