212 PERUBAHAN ORIENTASI NILAI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL SUKU SASAK DI KAWASAN WISATA SENGGIGI PULAU LOMBOK THE CHANGE IN ORIENTATION OF CULTURAL VALUE OF SASAK TRIBE IN TOURISM AREA OF SENGGIGI LOMBOK Nuning Juniarsih Fakultas Pertanian Universitas Mataram ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan orientasi nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak dalam menghadapi masalah hidup di kawasan wisata Senggigi Pulau Lombok. Penelitian menggunakan pendekatan kualititaf yang didesain dengan model studi kasus. Objek penelitian adalah masyarakat lokal Suku Sasak yang berdomisili di kawasan wisata Senggigi. Pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi, yaitu: pengamatan lapang, dokumentasi, wawancara mendalam dengan para informan, studi pustaka dan diskusi terfokus (FGD). Analisis data menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak di Kawasan Senggigi tidak mengalami perubahan secara keseluruhan sebagaimana yang diharapkan dalam pembangunan. Masyarakat masih tetap cepat pasrah dan cepat puas pada nasib dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi sudah mulai berorientasi ke masa depan, melestarikan sumberdaya alam (hutan dan laut) dan berorientasi individual. ABSTRACT A research was aimed to describe the orientation change in cultural value of sasak tribe in facing living problems in tourism area of Senggigi Lombok. The research was conducted using qualitative approach with case study model. The object of the research was local community of sasak tribe living in tourism area of Senggigi. Data was collected using triangulation technique consisting of field observation, indepth interview with informants, desk study and focus group discussion (FGD). Data was analyzed using qualitatetive and descriptive analysis. The results show that the orientation of cultural value of local community of sasak tribe in torism area of Senggigi did not change totally as expected in development. The local community easily accepts their destiny and easily satisfied by their fate works only to fullfil their need to live. However, this community started to have future orientation, to presurve their natural resources and individual orientated. ____________________________ Kata kunci: orientasi nilai budaya, kawasan wisata, masyarakat lokal Key words: orientation of cultural value, tourism area, local community PENDAHULUAN Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam tiga dekade terakhir telah menempatkan pembangunan sektor pariwisata sebagai perioritas kedua setelah pembangunan sektor pertanian. Pembangunan sektor pariwisata tersebut diatur dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah TK I NTB. No. 113/1984, kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Kepala Daerah TK I NTB No. 20 tahun 1989 tentang penunjukkan lokasi, pengaturan penggunaan tanah dan pedoman pembangunan kawasan wisata (Bappeda TK I NTB, 1989/1990). Sejak itu banyak kawasan telah dibuka dan ditetapkan sebagai kawasan wisata. Diantara kawasankawasan tersebut yang paling cepat perkembangannya adalah kawasan wisata N. Juniarsih: Perubahan orientasi nilai budaya…
Senggigi yang letaknya sekitar 5 km dari Kota Mataram ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kawasan wisata Senggigi sebelumnya merupakan kawasan yang terisolir. Setelah ditetapkan sebagai kawasan wisata, berubah menjadi kawasan yang terbuka dan ramai dikunjungi oleh pekerja dan pengusaha serta turis domistik yang berasal dari berbagai wilayah nusantara dan turis mancanegara yang berasal dari berbagai bangsa dan negara dengan membawa nilai budaya yang berbeda. Karena itu, kehadiran masyarakat pendatang, baik yang menetap maupun sebagai turis secara terus menerus tentu berpengaruh terhadap nilai budaya masyarakat lokal. Hal ini timbul sebagai akibat adanya kontak dan interaksi sosial baik
213 secara langsung ataupun tidak langsung dengan masyarakat pendatang. Dalam proses perubahan nilai budaya tersebut, ada yang dikehendaki dan ada pula yang tidak dikehendaki (Soekanto, 1990). Perubahan yang dikehendaki berarti berdampak positif terhadap nilai budaya masyarakat lokal; sebaliknya perubahan yang tidak dikehendaki berarti berdampak negatif terhadap nilai budaya masyarakat lokal. Arah perubahan nilai budaya masyarakat lokal tersebut ditentukan oleh orientasi nilai budaya dari masyarakat itu sendiri, karena pada dasarnya nilai budaya merupakan pedoman masyarakat dalam bertindak dan berperilaku (Kontjaraninggrat, 1996); termasuk dalam menentukan apa yang benar atau salah (nilai moral), baik atau buruk (nilai etika) serta indah dan jelek (nilai estitika). Dari sistem nilai budaya inilah kemudian tumbuh norma yang merupakan suatu patokan atau rambu-rambu yang mengatur perilaku manusia di dalam masyarakat (Wirutomo, 2005). Menurut kerangka Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 1982), orientasi nilai budaya masyarakat dapat dilihat dari 5 masalah pokok dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) masalah hakekat dari hidup manusia; (2) masalah hakekat dari karya manusia; (3) masalah hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) masalah hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; dan (5) masalah hakekat dari hubungan manusia dengan sesama atau manusia lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan orientasi nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak di kawasan wisata Senggigi yang berkaitan dengan 5 (lima) masalah pokok dalam kehidupan manusia tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian yang telah dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif yang ditujukan untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang orientasi nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak dalam menghadapi masalah hidup. Penelitian didesain dengan menggunakan model “studi kasus” (Newman,1984; Nisbet dan Watt, 1994). Objek penelitian adalah masyarakat lokal Suku Sasak yang berdomisili di kawasan Senggigi sejak sebelum kawasan itu berkembang menjadi kawasan wisata. Pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi (Triyono dkk, 1992), yaitu dengan mengkombinasikan beberapa teknik penelitian secara bersama-sama, yakni: a) pengamatan lapang (field observation); (b) dokumentasi (documentation); (c) wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan kunci
yang terdiri dari tokoh formal dan informal desa sebanyak 10 orang. (d) studi pustaka (desk study) dan (e) diskusi kelompok terfokus (Focused Group Discussion = FGD). Analisis data secara deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh di lapangan, diseleksi kemudian dikelompokkan berdasarkan masalah yang diteliti, selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian. Dari uraian tersebut ditarik kesimpulan sementara sebagai bahan diskusi (FGD) dengan semua informan yang terlibat dalam penelitian ini. Setelah semua pihak menyetujuinya, barulah ditarik kesimpulan akhir. HASIL PENELITIAN Orientasi Nilai Budaya Tentang Hakekat Hidup Nilai budaya yang berkaitan dengan hakekat hidup didasarkan atas kepercayaan adanya alam lain selain alam dunia yaitu alam kematian atau alam akherat. Bagi masyarakat yang memiliki nilai budaya bahwa hidup di dunia merupakan suatu hal yang buruk dan menyedihkan, maka akan menghindarinya dengan cara mencari cara agar dapat hidup baik di alam lain (akherat). Sebaliknya bagi masyarakat yang memiliki nilai budaya bahwa hidup di dunia ini baik dan menyenangkan, maka akan cenderung hidup dengan berfoya-foya, tanpa memikirkan hari depan dan adanya kehidupan lain di alam akherat. Tapi ada pula nilai budaya yang menganggap bahwa hidup di dunia itu buruk, tetapi manusia dapat mengusahakannya agar hidup di dunia itu menjadi hal yang baik dan menyenangkan (Koentjaraninggrat, 1982). Dalam ajaran Agama Islam yang menjadi salah satu sumber nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak di Kawasan Senggigi, lebih memandang bahwa hidup di dunia merupakan anugrah Tuhan yang harus dijalani dan disyukuri. Sehingga dalam kondisi burukpun harus tetap diterima dan diperjuangkan agar hidup di dunia itu menjadi lebih baik. Hal ini dapat ditelaah dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi pedoman hidup bagi pemeluknya yang beragama Islam, berikut : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S. Al-Ra’ad ayat 11). “Dan Allah melebihkan orang-orang yang bekerja atas orang yang duduk (menganggur) dengan pahala yang lebih besar” (Q.S. An-Nisa ayat 95). Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
214 “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya; dan bekerjalah untuk akheratmu seolah-olah akan mati besok pagi” (Al-Hadist). “Bukanlah sebaik-baik kamu, orang bekerja untuk dunianya saja tanpa akheratnya, dan tidak pula orang-orang yang bekerja untuk akheratnya saja dan meninggalkan dunianya. Dan sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah orang yang bekerja untuk akherat dan untuk dunia” (Al-Hadist) Berdasarkan ajaran Agama Islam di atas, berarti pemeluknya disuruh berjuang untuk memperbaiki hidupnya di dunia dengan tanpa meninggalkan kepentingan hidupnya kelak setelah mati di akherat; dan hal tersebut harus dilakukan secara berimbang. Menurut penilaian tokoh agama: H.Abdul Karim (65 tahun), Pendiri Yayasan Pondok Pesantren Riyadlul Wardiyah Kerandangan Desa Senggigi, bahwa masyarakat Suku Sasak dalam menjalankan kehidupannya baik sebelum maupun setelah berkembang pariwisata, selalu berorientasi pada kepentingan dunia dan kepentingan akherat secara seimbang. Dalam arti, mereka tidak ada yang melakukan kepentingan dunianya saja dengan meninggalkan kepentingan akheratnya; atau melakukan kepentingan akheratnya saja dengan meninggalkan kepentingan dunianya. Namun diakui bahwa secara umum masyarakat Suku Sasak di kawasan Senggigi sebelum berkembang menjadi kawasan wisata cenderung ”cepat pasrah” menerima nasib yang menimpanya, kurang berjuang untuk memperbaiki kualitas kehidupannya di dunia. Bahkan dalam kondisi tertentu, suka menggantungkan nasibnya pada dukun atau makam-makam yang dianggap keramat, seperti Makam Batu Layar atau Makam Loang Balok, dengan membuat nazar di makam-makam tersebut. Karena itu dapat dikatakan bahwa nilai budaya yang hidup pada masyarakat Suku Sasak sebelum berkembang pariwisata adalah ”islam mistik” atau ”islam animis”, yaitu mencampur ajaran Islam dan adat istiadat yang berbau mistik. Pelaksanaan ajaran Agama Islam yang mencampur-baurkan dengan adat kebisaan ini yang sering disebut ”islam wetu telu” (Budiwanti, 2000). Ini menunjukkan bahwa bahwa adat kebiasaan pada masa lalu sebelum Islam masuk ke Pulau Lombok sebagian masih diterapkan sampai sekarang, termasuk dalam kegiatan-kegiatan yang bernuansa Agama Islam. Kalau ditelaah lebih jauh, tanpaknya hal tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan agama masyarakat pada waktu itu N. Juniarsih: Perubahan orientasi nilai budaya…
yang masih kurang; dan mata pencaharian masyarakat yang sangat tergantung pada alam, sehingga cenderung mencari perlindungan terhadap hal-hal gaib yang berbau mistik sebagaimana yang dilakukan oleh nenek moyang mereka sebelum Islam masuk ke Pulau Lombok. Setelah berkembang menjadi kawasan wisata, kepercayaan akan hal-hal mistik masih ada, namun cenderung semakin berkurang bersamaan dengan munculnya pesantren di setiap dusun dan intensifnya ceramah agama di setiap masjid yang cukup berperan menambah pengetahuan masyarakat tentang ajaran-ajaran agama Islam yang dipeluknya. Namun dengan semakin banyaknya penduduk luar yang memiliki budaya dan agama yang beraneka ragam yang datang ke kawasan wisata, kontrol sosial masyarakat terhadap pelanggaran nilai-nilai sosial dan agama semakin longgar. Menurut tokoh masyarakat setempat, sebelum berkembang pariwisata, kontrol sosial cukup ketat. Perilaku masyarakat yang menyimpang dari kebiasaan akan cepat disoroti dan akan mendapat teguran minimal cibiran dari tetangga sekitarnya. Tapi setelah pariwisata berkembang, kelonggaran kontrol sosial ini pada mulanya berlaku pada penduduk luar, tapi akhirnya berkembang ke masyarakat lokal, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai budaya masyarakat sudah mengalami perubahan dari nilai budaya masyarakat pedesaan yang menjunjung tinggi adat istiadat dan nilai agama menuju nilai budaya masyarakat perkotaan yang toleran terhadap perbedaan dan penyimpangan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan para tokoh masyarakat menunjukkan, meskipun pola pergaulan masyarakat sudah mengalami perubahan yang sangat signifikan, akan tetapi ditinjau dari nilai budaya yang berkaitan dengan hakekat hidup, tampaknya tidak banyak berubah. Masyarakat masih cenderung ”cepat pasrah” dan ”cepat puas” dengan kualitas kehidupan yang dimiliki. Hal ini juga terungkap pada saat dilakukan diskusi terfokus (FGD), bahwa perilaku masyarakat lokal Suku Sasak pada saat mereka ”tidak ada” atau mengalami kesulitan hidup cepat pasrah dan dianggap hal tersebut sebagai ”garis hidup” atau ”garis nasib” yang harus diterima, tanpa banyak melakukan perjuangan untuk memperbaiki hidup. Pada saat mereka ”ada”, maka cepat puas dengan apa yang dimiliki. Perilaku itu dicontohkan dengan cara mereka mengalokasikan uang hasil pembebasan tanahnya yang cenderung konsumtif dibandingkan produktif dan berjangka panjang. Mereka beramai-ramai menu-naikan ibadah haji, membangun rumah dan membeli barang-barang konsumtif lainnya,
215 tanpa memikirkan bagimana seharusnya mengalokasikan uangnya untuk memperbaiki kualitas hidup yang sebelumnya sangat terpuruk dan berat. Bila informasi tokoh masyarakat dan bahasan di atas dikaitkan dengan nilai budaya tentang hakekat hidup, maka jelas tidak menunjukkan perubahan secara signifikan; dalam arti masuknya pariwisata tidak membawa perbaikan pada nilai budaya masyarakat yang sebelumnya cenderung ”cepat pasrah” dan ”cepat puas” dengan kehidupan yang mereka alami. Nilai agama yang seharusnya menjadi pedoman mereka untuk memperjuangkan hidupnya menjadi lebih baik, kurang dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari; bahkan cenderung ke arah hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang dipeluknya, seperti hakekat yang berkaitan dengan keharusan untuk memperbaiki kualitas kehidupannya kurang dijalani. Orientasi Nilai Budaya Tentang Hakekat Karya Menurut Kerangka Kluckhohn, ada tiga kemungkinan nilai budaya yang berkembang berkaitan dengan hakekat karya. Pertama, nilai budaya yang memandang bahwa hakekat dari karya manusia adalah untuk memungkinkannya hidup; kedua, nilai budaya yang menganggap bahwa hakekat dari karya manusia itu adalah untuk memberikan suatu kedudukan yang penuh kehormatan (status sosial) dalam masyarakat; dan ketiga adalah nilai budaya yang menganggap hakekat dari karya manusia itu adalah sebagai gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi (Koentjaraninggrat, 1982). Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat Desa Senggigi, orientasi nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak pada masa sebelum berkembang menjadi kawasan wisata lebih dominan menganggap bahwa berkarya untuk hidup daripada berkarya untuk status sosial terlebih-lebih untuk menambah karya. Sebagai gambaran tentang orientasi nilai budaya masyarakat lokal yang berkaitan dengan hakekat karya pada masa sebelum berkembang pariwisata dapat disimak dari cerita H. Mukti (55 tahun) tokoh masyarakat Desa Senggigi berikut terjemahannya: ”....waktu itu (maksudnya sebelum pariwisata), kami semua berjuang agar tetap hidup. Tidak pernah berfikir untuk memiliki apa-apa, untuk makan saja susah. Karena waktu itu, kami semua hidup dari hasil kelapa, ubi, jagung dan
hasil tani lain yang dapat ditanam di lahan kering. Hasil tani tersebut tidak cukup untuk makan, terpaksa cari kayu bakar di hutan dan bantu teman yang jadi nelayan mengangkat perahu di laut. Kalau tidak begitu, tidak cukup untuk hidup” (Wawancara tanggal 20 Juli 2007) Sebagaimana diceritakan di atas, bahwa pekerjaan dan kehidupan masyarakat pada masa sebelum masuk pariwisata sangat tergantung pada alam, yaitu pada usaha tani lahan kering yang tandus, hasil hutan, hasil laut, hasil ternak yang dipelihara secara ekstensif. Karena itu, hasil dari pekerjaannya sangat tergantung pada kondisi atau ”belas kasihan” alam yang menyebabkan mereka setiap tahun dan setiap waktu hanya bekerja dan berjuang untuk mempertahankan hidup. Pekerjaan yang berat bagi masyarakat Desa Senggigi pada masa lalu diperkuat oleh Djohan Bachry (46 tahun, Sekretaris Masyarakat Adat Sasak yang tinggal tidak jauh dari Kawasan Senggigi) berikut ini : ” Pada dekade 80an (sebelum berkembang menjadi kawasan wisata), masyarakat kawasan Senggigi setiap harinya hanya bergelut berjuang mempertahankan hidupnya dengan berjuang mencari nafkah dengan kerja keras. Masyarakat pada waktu itu adalah petani lahan kering pada lahan tegalan dan perkebunan yang tandus. Falsafah ngaro yang berarti bertani dijalani secara subsisten dan ekstraktif. Mereka menanam kelapa, singkong sambil mencari kayu bakar ke hutan sekitarnya. Selain ngaro masyarakat yang memilki ternak juga melakukan aktivitas ngarat yang berarti mengembala ternak. Ternak yang diarat (digembalakan) adalah sapi dan kambing. Sistem ngarat yang dilakukan bercorak sumbsisten ekstensif, dimana sapi dan kambing digembala secara liar, karena pada waktu itu, lahan pengembalaan tersedia cukup luas. Di samping itu, sebagian masyarakat juga mencari penghidupan dengan turun ke laut. Aktivitas yang dilakukan di laut adalah mencari batu karang untuk dijadikan kapur, memancing ikan, dan kadang kala menjaring dan bahkan ’ngebom’. Tradisi madak (menangkap ikan pada saat air laut surut) dan ngujur (membantu menarik perahu nelayan), menjadi aktivitas di luar musim tanam sebagai alternatif untuk mempertahankan kehidupan keluarga. Semua pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu, memang berorientasi subsisten, tidak banyak berfikir apakah pekerjaannya dapat Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
216 meningkatkan kualitas hidupnya atau tidak apalagi untuk dijadikan standar status sosial”. Berdasarkan pola dan orientasi pekerjaan yang dilakukan sebagaimana diceritakan oleh H.Mukti dan Djohan Bachry di atas, maka jelas bahwa pada masa sebelum masuk pariwisata, orientasi nilai budaya yang hidup pada masyarakat lokal berkaitan dengan hakekat karya hanya untuk tetap bertahan hidup. Setelah menjadi kawasan wisata, aktivitas masyarakat pada sektor pertanian dalam arti luas masih ada dan dipertahankan, namun polanya mengalami perubahan. Tradisi ngaro dan ngarat yang dilakukan secara ekstensif berubah ke pola pertanian dan peternakan yang intensif. Ini didorong oleh karena lahan pertanian dan pengembalaan yang dimiliki/dikuasai semakin sempit. Hal ini juga terjadi pada aktivitas masyarakat di laut. Selain sebagian besar kawasan pantai di kuasai oleh investor, pada waktu yang sama juga keluar Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melarang pengambilan batu karang di laut dan penangkapan ikan dengan bom, sehingga aktivitas masyarakat ke laut menurun sangat drastis. Pada masa awal masuknya pariwisata masyarakat belum merasakan beratnya hidup, karena pada waktu itu masyarakat masih memilki asset yang dapat dijual dengan harga yang relatif mahal dibandingkan sebelumnya. Pada waktu itu, berkarya atau bekerja bukan lagi untuk mempertahankan hidup, karena dari hasil penjualan tanah atau asset-asset lainnya mereka masih bisa hidup layak. Justru ada kecenderungan bahwa pola konsumsi masyarakat yang semakin meningkat mengikuti pola konsumsi para turis yang datang berinvestasi atau berlibur di kawasan wisata. Karena itu, pada masa transisi yang berlangsung singkat (sekitar 5 tahun sejak 1986-1990), telah merubah gaya hidup masyarakat dari gaya hidup masyarakat subsisten pedesaan ke gaya hidup konsumtif masyarakat perkotaan. Setelah masuk masa transisi yang kedua (tahun 1990-2001), yaitu setelah asset-asset tanah banyak terjual dan habis terpakai, maka untuk melanjutkan kehidupannya masyarakat harus bekerja keras. Pada masa ini lapangan pekerjaan banyak tersedia; baik yang berkaitan langsung dengan pariwisata maupun yang timbul karena adanya pariwisata, sehingga masyarakat, terutama generasi muda tidak mengalami kesulitan untuk dapat bekerja. Namun jenis-jenis pekerjaan yang dapat dimasuki hanya yang mengandalkan tenaga kasar. sementara jenis pekerjaan yang mengandalkan pengetahuan dan N. Juniarsih: Perubahan orientasi nilai budaya…
kerterampilan jarang dapat dimasuki. Karena itu penghasilan yang diperoleh dari hasil kerjanya belum mampu untuk meningkatkan status sosial apalagi untuk merubah orientasi nilai budayanya. Setelah masuk fase berikutnya (2001 sampai sekarang), yaitu setelah terjadi peristiwa sara pada tanggal 1 Juli 2001 yang dikenal dengan peristiwa satu tujuh satu kemudian diikuti oleh Bom Bali, maka kehidupan masyarakat lokal justru semakin berat. Turis domistik maupun manca negara semakin jarang datang, sehingga banyak hotel atau fasilitas pariwisata lainnya tutup. Akibatnya anggota masyarakat yang bekerja pada sektor pariwisata banyak yang di PHK. Begitu juga kegiatan-kegiatan lain yang menunjang kegiatan pariwisata semakin berkurang, sehingga aktivitas ekonomi masyarakat menurun secara drastis, pengangguran meningkat tajam. Sementara pekerjaan pada sektor pertanian yang diharapkan dapat menampung mereka juga sudah terbatas; karena selain lahanlahan usahatani dan lahan pengembalaan semakin sempit, minat generasi muda untuk kembali bekerja pada sektor pertanian juga sudah berkurang. Kondisi ini mengakibatkan ekonomi rumahtangga penduduk lokal terpuruk drastis. Menyimak pendapat tokoh masyarakat dan bahasan di atas, berarti masuknya pembangunan pariwisata ke kawasan Senggigi belum mampu merubah orientasi nilai budaya masyarakat tentang hakekat karya dari karya untuk hidup ke karya untuk meningkatkan karya sebagaimana yang diharapkan dalam pembangunan. Ini selain disebabkan oleh tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat yang rendah, juga disebabkan oleh munculnya peristiwa-peristiwa yang menghambat perkembangan pariwisata itu sendiri. Orientasi Nilai Budaya Tentang Hakekat Ruang dan Waktu Berkaitan dengan hakekat ruang dan waktu; ada tiga kemungkinan nilai budaya yang berkembang; yaitu nilai budaya yang berorientasi pada masa lampau, yang memandang kehidupan masa lampau lebih baik, sehingga dalam bertingkah laku dan mengambil keputusan sering berpedoman pada kehidupan masa lampau. Sebaliknya ada nilai budaya yang berorientasi pada masa kini. Masyarakat yang bernilai budaya seperti ini umumnya berpandangan sempit, tidak peduli dengan kehidupan masa lampau maupun masa yang akan datang; yang penting adalah kehidupannya pada masa kini. Selain itu ada pula masyarakat yang
217 memiliki nilai budaya yang berorientasi pada masa depan; dimana warga masyarakatnya memiliki pandangan jauh ke depan, sehingga dalam menjalankan kehidupan biasanya dibarengi dengan perencanaan. Kalau nilai budaya di atas dikaitkan dengan nilai budaya yang berkembang pada masyarakat lokal Suku Sasak, maka sebelum masuk pariwisata cenderung nilai budayanya berorientasi ke masa kini dibandingkan masa lampau atau masa depan. Ini artinya masyarakat mempunyai pandangan yang sempit, tanpa banyak melihat kehidupan masa lampau ataupun masa yang akan datang. Kalau ditelaah lebih mendalam, kenapa masyarakat lokal tidak berorientasi ke masa lampau atau masa depan. Ini dapat ditelusuri dari kedudukan masyarakat lokal dalam struktur sosial masyarakat Suku Sasak secara umum. Pada masa lalu kedudukan seseorang dalam struktur sosial ditentukan oleh keturunannya. Bila seseorang keturunan bangsawan atau keturunan tokoh agama, tokoh adat atau tokoh pemimpin terdahulu, maka masyarakat cenderung memberikan kedudukan yang lebih tinggi. Penghargaan yang tinggi terhadap kelompok masyarakat ini tercermin dari sikap, pendapat dan keputusan masyarakat yang sangat ditentukan oleh mereka. Namun karena masyarakat lokal Suku Sasak yang tinggal di kawasan Senggigi rata-rata merupakan masyarakat biasa atau dalam istilah setempat adalah masyarakat ”jajar karang”, maka penghormatan masyarakat terhadap keturunan masa lalunya tidak terlalu kentara bahkan boleh dikatakan tidak ada; hanya terbatas pada penghormatan misalnya seorang anak terhadap orang tuanya saja. Pada masa lalu, masyarakat jajar karang, merupakan stratifikasi sosial paling bawah dalam struktur masyarakat Suku Sasak. Pada waktu itu, lapisan masyarakat ini kehidupannya paling menderita, baik sebagai akibat penjajahan bangsa Belanda, Jepang atau karena tindasan bangsa sendiri. Mereka umumnya hidup di daerah yang kering dan tandus yang tidak disukai oleh para bangsawan Suku Sasak atau Suku Bali yang pernah menjajah Pulau Lombok pada masa lalu (Zakaria, 1998). Karena itu mereka tidak berorientasi pada masa lalu yang penuh penderitaan. Hal ini pula menyebabkan pandangan masyarakat ke masa depan menjadi sangat terbatas, karena setiap hari mereka bergelut dengan perjuangan hidup yang berat, sehingga mereka tidak banyak memikirkan masa depan. Untuk mendapat gambaran tentang orientasi nilai budaya masyarakat yang berkaitan dengan hakekat ruang dan waktu dapat disimak
dari cerita H. Mukti (55 tahun) berikut terjemahannya: ”.......dulu orang tua lebih susah dibanding kita sekarang. Kesana sini kita berumah supaya dapat makan, sekarang baru ada enaknya sedikit. Dulu orang tua kita hidup dari hasil hutan dan hasil laut. Kalau hasil tani cuma seberapa; belum tentu berhasil lagi. Karena tanah disini kan tanah kering dan tandus, jarang berhasil apa yang kita tanam. Kerbau, sapi kebanyakan dapat dari ngadas (nandu atau bagi hasil) dari orang kita dan orang bali yang kaya dari Ampenan, Mataram atau Cakranegara. Mereka rata-rata orang bebangse (bangsawan atau priyayi). Kalau kita yang menjadi orang biasa (jajar karang), ratarata miskin, kadang makan kadang tidak. Karena itu orang tua tidak pernah memikirkan untuk menyekolahkan kita, paling-paling kita di suruh mengaji di surau.....(Wawancara tanggal 20 Juli 2007). Setelah masuk pariwisata, dengan melihat berbagai budaya dan kemajuan yang ada; disertai dengan munculnya berbagai macam lapangan kerja di luar pertanian, orientasi masyarakat tentang hakekat ruang dan waktu mengalami pergeseran ke masa depan. Meskipun pada awal masuknya pariwisata tidak menunjukkan orientasinya ke masa depan dengan sikapnya yang boros memanfaatkan hasil pembebasan tanahnya untuk tujuan konsumtif, namun pada perkembangan berikutnya, yaitu setelah assetasset banyak terjual dan terpakai, masyarakat mulai menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarganya maka harus melalui pendidikan. Hal ini didorong oleh kenyataan, bahwa warga yang memiliki pendidikan dan keterampilan tertentu mempunyai peluang yang lebih besar untuk bekerja di sektor pariwisata; dan mendapatkan kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi. Sejak itu, masyarakat mulai terdorong untuk menyekolahkan atau mengkursuskan anak-anaknya agar mampu bekerja pada kedudukan yang diidamkan. Hal ini disampaikan oleh para tokoh masyarakat pada saat dilakukan diskusi kelompok (FGD). Orientasi Nilai Budaya Tentang Hubungan Manusia Dengan Alam Dalam kaitannya dengan hakekat hubungan manusia dengan alam, terdapat nilai budaya yang menganggap bahwa alam merupakan suatu yang sangat dahsyat, sehingga manusia harus tunduk dan menyerah pada kemauan alam. Sebaliknya ada pula nilai budaya yang Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
218 menganggap bahwa alam dapat dilawan dan dikuasai sehingga cenderung mengekspoitasi alam. Diantara kedua nilai budaya tersebut, ada nilai budaya yang menselaraskan diri dengan alam, sehingga masyarakatnya cenderung melestarikan alam. Orientasi masyarakat lokal Suku Sasak di kawasan Wisata Senggigi dalam kaitannya dengan hakekat hubungan manusia dengan alam menurut informasi yang disampaikan oleh tokoh masyarakat mengalami perubahan setelah berkembang pariwisata. Sebelum berkembang pariwisata, masyarakat cenderung mengeksploitasi alam. Hal ini dapat diamati dari beberapa aktivitas masyarakat di laut ataupun di darat. Di laut, masyarakat dalam menangkap ikan banyak yang menggunakan bom; tanpa memikirkan akibatnya terhadap ekosistem laut lainnya. Selain itu, masyarakat juga banyak memiliki aktivitas mengambil batu kapur dengan merusak terumbu karang tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Hal yang sama juga terjadi di darat, terutama di hutan. Masyarakat banyak yang memiliki pencarian di hutan dengan menebang kayu hutan untuk dijadikan bahan bakar dan bahan bangunan. Setelah berkembang pariwisata, orientasi nilai budaya masyarakat cenderung menyelaraskan diri dengan alam, karena selain adanya Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melarang penggunaan bom, pengambilan batu karang dan penebangan hutan; masyarakat juga sudah mulai sadar bahwa keindahan alam yang mereka memiliki mempunyai nilai jual yang tinggi. Akan tetapi menurut para tokoh masyarakat, bila perekonomian masyarakat terus terpuruk, maka tidak menutup kemungkinan akan kembali seperti sebelum masuk pariwisata, yaitu akan mengeksploitasi dan merusak alam sekitarnya. Karena itu, salah satu cara agar masyarakat tetap hidup menyelaraskan diri dengan lingkungan alam adalah meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan keamanan agar tetap kondusif, supaya aktivitas pariwisata kembali berjalan normal sebagaimana sebelum terjadi peristiwa satu tujuh satu dan bom Bali. Untuk itu, maka semua pihak perlu mendukung dan mengendalikan diri terhadap hal-hal yang mengancam keberlanjutan pembangunan pariwisata tersebut. Orientasi Nilai Budaya Tentang Hubungan Manusia Dengan Sesamanya Nilai budaya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, terdapat tiga kemungkinan, yaitu: nilai budaya yang lebih mementingkan hubungan vertikal antara manusia N. Juniarsih: Perubahan orientasi nilai budaya…
dengan sesamanya. Nilai budaya seperti ini dicirikan oleh kecenderungan masyarakat berpedoman pada tokoh-tokoh masyarakat, orang-orang yang dianggap senior atau orangorang yang menjadi atasannya. Berikutnya adalah nilai budaya yang lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya; dimana manusia merasa sangat tergantung kepada sesamanya, sehingga senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Nilai budaya seperti ini dicirikan oleh menonjolnya aktivitas masyarakat dalam kegiatan gotong royong dan tolong menolong. Selain itu, ada nilai budaya yang tidak membenarkan bahwa manusia hidup harus tergantung pada orang lain. Masyarakat dengan nilai budaya seperti ini sangat individualis, mandiri, dan senantiasa berusaha mencapai tujuannya dengan sedikit mungkin melibatkan orang lain. Pada masyarakat lokal Suku Sasak yang ada di kawasan wisata Senggigi, nilai budaya yang berkembang sebelum masuk pariwisata, cenderung lebih mementingkan hubungan horizontal, dibandingkan hubungan vertikal atau individual. Dalam banyak hal memang masyarakat masih banyak tergantung pada orang-orang yang ditokohkan, seperti tokoh agama yang disebut ”Tuan Guru” atau ”Ustaz” atau tokohtokoh adat yang disebut ”keliang” atau tokohtokoh formal, seperti Kepala Desa, Camat atau Bupati. Namun ketergantungan masyarakat terhadap tokoh-tokoh masyarakat tersebut, masih dalam lingkup terbatas, yaitu pada bidang kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat itu. Dalam kehidupan sehari-hari; masyarakat lebih mementingkan hubungan horizontal yang terlihat dari aktivitas gotong royong dan tolong menolong yang dilakukan. Untuk mendapatkan gambaran tentang aktivitas gotong royong dan tolong menolong, sebelum dan setelah berkembang pariwisata, dapat disimak dari penuturan Djohan Bachry (46 tahun, Dosen Fakultas Pertanian yang pernah melakukan penelitian di Kawasan Senggigi) berikut : ”menyangkut solidaritas sosial atau saling tolong menolong antara sesama warga tidak banyak mengalami perubahan antara sebelum dengan setelah berkembang pariwista. Misalnya jika salah seorang warga mengalami kematian, maka solidaritas sosial muncul secara spontan. Hal ini ditunjukkan melalui kepedulian untuk turut terlibat dalam proses penanganan masalah yang berhubungan dengan kematian tersebut. Bila warga mendengar kematian salah seorang warga, maka sudah menjadi tradisi ibu-ibu akan pergi melayat ke rumah
219 ”ahlul musibah” dengan membawa segantang beras yang dalam istilah lokal disebut ”belangar”. Sementara kaum pria dewasa akan melibatkan diri dalam pembuatan keranda jenazah yang disebut ”korong batang”, kemudian memandikan jenazah, mensholatkan, dan mengantarnya ke pemakaman. Solidaritas sosial terus berlanjut sampai sembilan malam, yaitu melakukan acara tahlilan di rumah duka. Solidaritas sosial seperti ini masih berlanjut sampai sekarang. Hal yang mengalami pergeseran atau perubahan yang cukup signifikan adalah pada cara menyikapi kematian tersebut. Dulu sebelum masuk pariwisata, kalau ada warga yang meninggal dunia, maka warga sekampung tidak dibenarkan bahkan ditabukan untuk bekerja ke luar kampung. Tapi sekarang, hal tersebut tidak terlalu mengikat; yang masih mengikat adalah kewajiban untuk turut dalam acara pemakaman dan tahlilan selama sembilan malam” ”Dalam kehidupan sehari-hari, solidaritas sosial dalam bentuk tolong menolong dan gotong royong juga banyak dilakukan oleh masyarakat. Pada masa lalu, ada istilah ”besiru” yang merupakan istilah yang umum dipakai dalam hubungan kemanusiaan yang bernuansa tolong menolong dan gotong royong. Adapun bentuk besiru yang dilakukan oleh masyarakat pada masa itu, khususnya yang berkaitan dengan nelayan adalah: (1) Ngujur. Istilah ini mengacu pada saling bantunya warga dalam menarik jaring atau jala ketika seseorang memasang jala untuk menangkap ikan atau dalam istilah setempat ”mencar”. Pada saat itu setiap laki-laki dewasa yang ada di sekitar lokasi tersebut akan turut terlibat membantu menarik jala besar ke pesisir. Bila ada ikan yang terjaring, maka untuk mengapresiasikan keterlibatan warga, pemilik jala biasanya akan memberikan ikan yang berhasil dijaring dengan bagian sekitar 1/10 bagian atau dalam istilah setempat ”nyolasin”. (2) Mendakin dan Nyombo. Kedua istilah ini dipakai dalam membantu nelayan pemilik perahu untuk menaikkan atau mengusung perahu ke daratan tempat parkir. Begitu juga bila ada ikan yang berhasil ditangkap, maka pemilik perahu akan memberikan ikan kepada warga sekitar 1/10 bagian. Kebiasan ini terus berlanjut sampai sekarang, tapi aktivitas nelayan sekarang semakin berkurang,
sehingga istilah ’mendakin”, ”nyombo” dan ”ngujur” semakin menghilang”. Setelah cerita Djohan Bachry di atas dikonfirmasi dengan tokoh-tokoh masyarakat pada saat melakukan FGD, semua tokoh masyarakat yang hadir membenarkannya. Bahkan dikatakan aktivitas tolong menolong dan gotongroyong pada masa sebelum masuk pariwisata, tidak hanya terjadi pada saat menghadapi masalah kematian dan pada masyarakat nelayan saja; tapi terjadi pada semua aktivitas kehidupan dan semua lapisan masyarakat. Untuk kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, masjid dilakukan secara gotong royong. Begitu juga dalam kegiatan penjagaan keamanan kampung dilakukan dengan cara jaga malam bersama atau istilah setempat ”beronde”. Untuk kepentingan pribadi, seperti pembangunan rumah dan dalam menghadapi kesulitan hidup diatasi dengan cara tolong menolong dengan menggunakan barang dan tenaga. Dalam melakukan kegiatan ekonomi yang membutuhkan tenaga kerja, semua dilakukan dengan cara ”besiru”, yaitu saling tolong menolong dengan menggunakan tenaga, tanpa imbalan uang. Budaya gotong royong dan tolong menolong antara sesama warga pada masa itu, didorong oleh adanya perasaan ”senasib sepenanggungan”, karena pada waktu itu, masyarakat hidup dalam kondisi penuh keprihatinan dan perjuangan; dimana hidupnya sama-sama tergantung pada kemurahan alam. Setelah berkembang pariwisata, budaya gotong royong dan tolong menolong semakin berkurang. Aktivitas tolong menolong yang masih tetap ada adalah dalam menghadapi kematian, keamanan kampung dan masalah-masalah yang bersifat darurat, seperti kebakaran atau kecelakaan. Dalam kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum yang masih dilakukan secara gotong royong adalah pembangunan masjid dan kebersihan kampung. Sedangkan untuk pembangunan jalan dan prasarana-prasarana umum lainnya semuanya diserahkan pembiayaannya kepada pemerintah. Istilah ”besiru” pada pembangunan rumah warga sudah tidak ditemukan lagi. Begitu juga ”besiru” yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi warga, semua dilakukan atas dasar imbalan sejumlah uang tertentu. Aktivitas tolong menolong dan gotong royong yang sebelumnya menggunakan tenaga dan barang natura cenderung berubah dengan menggunakan uang. Kecenderungan perubahan gotong royong dan tolong menolong dari bentuk barang dan tenaga menjadi bentuk uang ini dilandasai oleh permikiran rasional, yaitu praktis dan ekonomis. Hal ini terungkap dari cerita H.Hairi (60 tahun), Agroteksos Vol.17 No.3 Desember 2007
220 tokoh masyarakat terjemahannya:
Desa
Senggigi
berikut
”....sekarang ini, orang gotong royong atau saling tolong menolong dengan teman, tidak hanya menggunakan tenaga dan barang. Bahkan kebanyakan menggunakan uang. Kita yang tua-tua yang menggunakan tenaga dan barang. Kalau anak-anak muda kebanyakan menggunakan uang. Pada kegiatan beronda saja, kalau tidak keluar (beronda), bisa diganti dengan uang, upah teman yang keluar beronda. Kalau dipikirpikir, lebih praktis dan lebih murah menggunakan uang dibandingkan menggunakan barang dan tenaga...” (Wawancara, Tanggal 18 Juli 2007). Kalau ditelaah lebih mendalam semua informasi di atas; setelah masuk pariwisata ada kecenderungan masyarakat semakin individualis yang ditunjukkan dengan semakin berkurangnya aktivitas tolong menolong dan gotong royong. Aktivitas tolong menolong dan gotong royong yang masih dilakukan juga ada kecenderungan berubah, dari atas dasar kebersamaan dan senasib sepenanggungan menjadi atas dasar pertimbangan rasional ekonomis. Ini menandakan bahwa orientasi nilai budaya masyarakat mengalami sedikit pergeseran dari atas dasar hubungan horizontal ke atas dasar kepentingan individu. KESIMPULAN Kesimpulan Orientasi nilai budaya masyarakat lokal Suku Sasak di Kawasan Senggigi setelah berkembang menjadi kawasan wisata tidak mengalami perubahan secara keseluruhan sebagaimana yang diharapkan dalam pembangunan. Masyarakat masih tetap cepat pasrah dan cepat puas pada nasib dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi sudah mulai berorientasi ke masa depan, melestarikan sumberdaya alam (hutan dan laut) dan berorientasi individual. Saran Agar nilai budaya yang bersumber dari nilai agama dan adat-istiadat yang positif dapat dipertahankan, maka perlu membentuk lembaga adat atau lembaga agama yang berfungsi untuk
N. Juniarsih: Perubahan orientasi nilai budaya…
melakukan kontrol sosial (social controls) kepada warga masyarakat agar perubahan nilai budaya yang terjadi tidak menyimpang dari nilai agama dan nilai-nilai budaya positif yang ada yang dapat dijadikan modal sosial (social capital) dalam pembangunan. DAFTAR PUSTAKA Bachry, D., 2007. Kearifan Budaya Sebagai Modal Merajut Keselarasan Kehidupan Multietnik. Makalah Disampaikan Pada Kegiatan Orientasi Peningkatan Wawasan Multikultur Bagi Guru-Guru Agama Propinsi NTB. Mataram. Budiwanti, E., 2000. Islam Sasak: Watu Telu versus Waktu Lima. LKiS. Yogyakarta. Hefner, R. W., 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (Terjemahan : A.Wisnuhardana dan Imam Ahmad).LkiS. Yogyakarta. Juniarsih, N., 2005. Studi Perubahan Nilai Budaya Masyarakat Etnis Samawa Kawasan Tambang PT.NNT di Kabupaten Sumbawa Barat NTB (Tesis S-2). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Koentjaraninggrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT.Gramedia Jakarta. Miles, M. B. dan H. A.Michael., 1992. Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru (Penterjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi). UI-Press. Jakarta. Soekanto, S., 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta. Triyono, Lambang dan Nasikun, 1992. Proses Perubahan Sosial di Desa Jawa. Fisipol UGM. Yogyakarta. Windia, B., 2006. Manusia Sasak, Bagaimana Menggaulinya?. Genta Press, Yogyakarta. Wirutomo, P., 2005. Mencari Format Pembangunan Berbasis Nilai. Jurnal Sosiologi Indonesia. Ikatan Sosiologi Indonesia, Jakarta. Zakaria, F., 1998. Mozaik Budaya Orang Mataram. Yayasan “Sumurmas Al Hamidy” Pagutan Mataram.