54 KARAKTERISTIK DAN FAKTOR PENENTU INTERAKSI MASYARAKAT LOKAL DENGAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI PULAU LOMBOK CHARACTERISTICS AND MAIN FACTORS AFFECTING INTERACTION BETWEEN LOCAL COMMUNITY AND RINJANI MOUNTAIN NATIONAL PARK ON LOMBOK ISLAND L. Sukardi 1), Dudung Darusman 2), Leti Sundawati 2), Hardjanto 2) 1)
Fakultas Pertanian Universitas Mataram 2) Fakultas Pertanian IPB, Bogor ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah menelaah karakteristik dan faktor penentu interaksi masyarakat lokal dengan TNGR. Penelitian dilaksanakan di 5 resort TNGR, yaitu Resort Senaru, Santong, Stiling, Aikmel, dan Sembalun. Data dianalisis secara deskriptif, regresi berganda, serta analisis pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi masyarakat untuk mengekstraksi hasil hutan kayu (HHK) dilakukan karena alasan/motif ekonomi. Namun demikian, pengambilan kayu secara liar (illegal logging) ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat karena tidak ada alternatif lain yang dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Interaksi hasil hutan kayu (HHK) secara nyata (significant) dipengaruhi oleh 7 (tujuh) faktor yaitu: (1) lokasi interaksi, (2) WTP, (3) pengetahuan lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengekstraksi hasil hutan kayu (HHK), (4) pengeluaran untuk kebutuhan makanan, (5) penghasilan dari luar hutan, (6) keterlibatan dalam HKm , dan (7) kepemilikan/pemeliharaan sapi. ABSTRACT The general objective of this research was to identify the characteristics and main factors affecting interaction between local communities and Rinjani Mountain National Park (RMNP). This research was conducted in five resorts of RMNT, i.e. Senaru, Santong, Stiling, Aikmel, and Sembalun. Data were analyzed using descriptive statistics, multiple regression, and household income and expenditure analyses. The results showed that the local communities’ interaction for extracting timber was done because of economic reasons. Yet, illegal logging is the last choice for the community because there were no other alternatives to meet the needs of their family. Timber product interaction was significantly affected by seven factors: interaction location, willingness to pay (WTP), local knowledge or their habit in extracting timber product, expenditure for food, non-forest income, involvement in community forestry (HKm), and cattle ownership. _____________________________________________________ Kata kunci: karakteristik, faktor utama, interaksi, masyarakat lokal Keywords : characteristics, main factor, interaction, local community
PENDAHULUAN Data dari Departemen Kehutanan RI (2006) menunjukkan hampir seluruh pasokan air di Pulau Lombok (sekitar 90%) baik untuk keperluan air bersih maupun irigasi bersumber dari kawasan Hutan Rinjani. Manfaat lain dari keberadaan Hutan Rinjani (khususnya TNGR) (FAO 1981; Dinas Kehutanan NTB 1997; Suhendang 2002) berupa stabilisasi iklim, habitat vegetasi dan satwa maupun mempertahankan siklus hara tanah. Selain itu, TNGR juga memiliki potensi ekonomi yang cukup penting, yakni berupa aset pariwisata alam (jasa lingkungan). Hasil estimasi manfaat ekonomi jasa pariwisata dapat memberikan L. Sukardi dkk: Karakterisasi dan faktor …
konstribusi pada perekonomian internasional, nasional dan lokal pada lima tahun terakhir sebesar Rp 7 765 miliar (2001-2005). Namun demikian kawasan Hutan Rinjani (125 200 ha) termasuk Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) telah banyak mengalami kerusakan. Hasil penelitian WWF-Program Nusa Tenggara (2002) menunjukkan bahwa nilai kerugian financial akibat gangguan pencurian hasil hutan kayu, penyerobotan kawasan, dan kebakaran hutan mencapai Rp 4,5 milyar/th. Sementara itu nilai benefit bersih yang akan diperoleh jika Kawasan Rinjani dilestarikan adalah sebesar Rp 5.178,159 milyar/th.
55 Efek kerusakan Hutan Rinjani sudah terasa beberapa tahun terakhir. Markum et al. (2004) menegaskan bahwa rusaknya sumberdaya hutan mengakibatkan hilangnya sejumlah sumber mata air. Di kawasan Hutan Rinjani, dari ratusan lokasi sumber mata air, kini hanya tinggal 85 lokasi. Laporan Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (2007) menunjukkan berbagai gangguan yang terjadi di kawasan TNGR, yaitu: penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, pembuatan arang, pengambilan kayu bakar, dan perburuan satwa. Bagi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan (khususnya para petani yang berlahan sempit), salah satu andalan sumber penghasilan rumahtangga adalah dari berbagai bentuk hasil hutan. Dapat diduga bahwa ketergantungan dan interaksi masyarakat dengan hutan pada awalnya didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Akan tetapi dengan berbagai perkembangan dan globalisasi informasi, memicu terjadinya transformasi sosial ekonomi (termasuk masyarakat di sekitar kawasan hutan). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan pola fikir dan pola tindak dari masyarakat (termasuk gaya hidup). Semua ini tentunya akan berimplikasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan yang tidak hanya primer, tetapi juga sekunder dan tersier. Jika kebutuhan ini tidak dapat ditutupi oleh penghasilan keluarga dari sumber luar kehutanan, maka akan mengakibatkan tekanan yang semakin berat terhadap sumberdaya hutan. Artinya, eksploitasi sumberdaya hutan akan semakin meningkat. Di satu sisi ketergantungan terhadap keberadaan hutan akan menjadi insentif bagi masyarakat untuk memeliharanya; didasarkan pada berbagai kearifan lokal yang diyakini secara turun temurun. Namun di sisi lain, akibat desakan kebutuhan yang semakin meningkat serta adanya faktor-faktor lain justru akan menjadi pemicu perambahan hutan. Peraturan perundangan yang berlaku memang memberikan akses kepada masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan (termasuk memanfaatkan hasil hutan), namun harus mematuhi berbagai ketentuan dan rambu-rambu yang berlaku. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan pengkajian secara cermat dan komprehensif mengenai “Karakteristik dan Faktor Penentu Interaksi Masyarakat Lokal dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR)”. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menelaah bentuk dan jenis interaksi masyarakat lokal dengan TNGR, (2) Menelaah motif dan frekwensi interaksi, (3) Menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi interaksi masyarakat
lokal dengan TNGR, dan (4) Tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Pulau Lombok dengan memilih 5 (lima) resort sebagai lokasi penelitian, yaitu: Resort Santong, Senaru, Sembalun, Aikmel, dan Stiling. Pemilihan resort didasarkan pada pertimbangan kompleksitas persoalan yang dihadapi (tingkat kerawanan gangguan). Aspek utama yang menjadi fokus perhatian adalah interaksi masyarakat dengan TNGR serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder, meliputi data kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data dan informasi objektif sesuai dengan kebutuhan dilakukan dengan pendekatan/teknik survei, yaitu wawancara (interview) dengan 30 rumahtangga contoh pada setiap lokasi penelitian yang ditentukan secara random sampling. Untuk melengkapi informasi yang diperoleh, dilakukan wawancara mendalam dengan informan kunci (key informan) pada setiap lokasi penelitian. Selanjutnya data dan informasi yang diperoleh, selain dianalisis secara deskriptif, juga dilakukan analisis regresi berganda, serta analisis pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk dan Jenis Interaksi Secara garis besar interaksi masyarakat dengan TNGR dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) mengambil (mengekstraksi) hasil hutan, (2) kegiatan pendakian, dan (3) kegiatan bercocok tanam di kawasan TNGR. Selain dari ketiga bentuk interaksi ini, beberapa orang pemilik ternak sapi khusus di wilayah Resort Sembalun melakukan penggembalaan liar di kawasan TNGR. Akan tetapi ternaknya dilepas berkeliran di kawasan sekitar tanpa dilakukan pengawasan dan pengembalaan ini bukan semata-mata ditujukan di kawasan TNGR. Dalam tulisan ini, telaahan difokuskan pada interaksi untuk mengambil (mengekstraksi) hasil hutan dengan pertimbangan utama bahwa kegiatan ini dikhawatirkan akan mengaggu keberadaan (eksistensi) TNGR. Interaksi berupa kegiatan bercocok tanam di kawasan jalur hijau TNGR tidak dikaji dan dianalisis secara mendalam karena dilakukan secara rutin dan bersifat resmi dan saat ini sudah tidak dilakukan Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
56 lagi. Begitu pula halnya kegiatan pendakian (treking) ke Puncak Rinjani dan/atau Danau Segara Anak dilakukan bukan karena motif ekonomi, melainkan sekedar untuk mandi (berendam) pada kolam air panas atau hanya sekedar untuk memancing di Danau Segara Anak sehingga diasumsikan tidak akan merusak vegetasi dan kelestarian sumberdaya hutan TNGR. Hasil hutan yang diambil (diekstraksi) masyarakat dari kawasan TNGR dan kawasan hutan sekitarnya adalah berupa kayu, perburuan satwa, rumput, pakis (sayur), madu, serta hasilhasil hutan bukan kayu lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 150 rumahtangga contoh, sebanyak 138 rumahtangga (92%) melakukan interaksi dengan hutan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 rumahtangga (43,48%) diantaranya melakukan interaksi dengan TNGR. Selebihnya melakukan interaksi dengan hutan lindung, hutan produksi dan hutan kemasyarakatan (HKm) yang berada di sekitar TNGR (Tabel 1). Dilihat dari jumlah masyarakat yang melakukan interaksi, dapat dikatakan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap Hutan Rinjani relatif tinggi. Ketergantungan ini juga tercermin dari pemanfaatan hutan sebagai salah satu sumber pendapatan ekonomi keluarga dan berbagai keperluan domestik lainnya seperti sumber kayu bakar, kayu bangunan, sayuran, bahkan sebagai tempat berusahatani. Berkenaan dengan jenis kegiatan interaksi, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (71,74%) masyarakat melakukan pengambilan hasil hutan kayu (HHK), terutama kayu bakar. Lebih lanjut jika ditelaah secara seksama khusus bagi masyarakat yang melakukan interaksi dengan TNGR, seluruhnya (100%) melakukan pengambilan hasil hutan kayu (HHK). Dari 60 orang yang melakukan interaksi
dengan TNGR, 10 orang (16,67%) diantaranya melakukan pengambilan kayu balok/bahan bangunan. Artinya, mereka ini setiap saat melakukan penebangan berbagai jenis kayu di kawasan TNGR sehingga akan berimplikasi terhadap penurunan kelestarian daya dukung kawasan. Di sisi lain adanya rencana kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM (minyak tanah) akan mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli minyak tanah. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk kembali menggunakan kayu sebagai sumber utama bahan bakar rumahtangga sehingga pada akhirnya akan memicu penebangan liar (illegal logging) termasuk di kawasan TNGR. Sebagai gambaran, hingga tahun 2006 (BPS Propinsi NTB, 2006), penggunaan kayu sebagai bahan bakar di 37 desa yang berbatasan dengan TNGR masih cukup besar, yaitu 77,26% dari seluruh rumahtangga yang ada. Dikhawatirkan angka ini akan terus bertambah seiring dengan penerapan kebijakan ini. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan dan antisipasi sejak dini agar kawasan TNGR tidak terancam kepunahan. Pelaku interaksi dalam sebuah rumahtangga pada umumnya adalah suami (kepala keluarga) dan ada juga yang melibatkan istri (ibu rumahtangga). Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa kegiatan pengambilan kayu balok/ bahan bangunan, berburu binatang dan/atau burung, serta pencarian madu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki (kepala keluarga); sedangkan untuk pengambilan sayur (pakis) hanya dilakukan oleh kaum perempuan (ibu rumahtangga). Sementara itu untuk pengambilan kayu bakar dilakukan baik oleh laki-laki (kepala keluarga) maupun perempuan (ibu rumahtangga).
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis dan Lokasi Interaksi No 1.
2. 3.
Jenis Interaksi TNGR Ekstraksi Hasil Hutan Kayu (HHK) a. Kayu Balok/Bangunan b. Kayu Bakar c. Kayu Balok dan Kayu Bakar Ekstraksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) a. Hanya HHBK b. HHBK & HHK Lainnya Total yang berinteraksi
L. Sukardi dkk: Karakterisasi dan faktor …
Lokasi Interaksi Luar HKm Total TNGR Resp Persen
1 50 9
3 35 1
-
4 85 10
2,90 61,59 7,25
13
12 12
60
51
27 27
12 25 27 138
8,70 18,12 19,57 100,00
57 Dari segi pelaksanaan interaksi, sebanyak 99 orang (66%) melakukannya secara terangterangan, selebihnya mengakui melakukan interaksi secara sembunyi-sembunyi. Interaksi yang dilakukan secara terang-terangan adalah pengambilan hasil hutan bukan kayu (HHBK), sedangkan pengambilan hasil hutan kayu (HHK) terutama kayu balok/bahan banguan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Adapun inisiatif untuk berinteraksi dengan hutan, diakui sebagian besar responden (51,33%) atas inisiatif sendiri dan 9,33% diajak teman/tetangga. Dalam pelaksanaannya, kegiatan interaksi dilakukan secara sendiri-sendiri (perorangan) dan ada juga yang dilakukan secara berkelompok. Kegiatan yang dilakukan secara perorangan antara lain pengambilan kayu bakar, mencari madu dan sayur (kadang-kadang juga dilakukan secara berkelompok); sedangkan kegiatan yang dilakukan secara kelompok adalah pengambilan kayu balok/kayu bangunan dan berburu binatang. Interaksi kelompok ini dilakukan karena mengalami kesulitan untuk melakukannya sendiri. Sebanyak 32,67% mengaku melakukan interaksi secara sendirisendiri, 52,67% melakukan secara bekelompok, dan 6,67% kombinasi keduanya. Motif dan Frekuensi Interaksi Frekuensi interaksi sebagaimana disajikan pada Tabel 2 hanya difokuskan pada interaksi dengan motif ekonomi berupa ekstraksi hasil hutan. Hasil analisis menunjukkan bahwa ratarata frekwensi interaksi untuk pengambilan hasil hutan kayu (HHK) mencapai lebih dari 2 (dua) kali interaksi HHBK. Dengan perkataan lain interaksi HHK (terutama untuk pengambilan kayu bakar) lebih intensif dibandingkan dengan
interaksi HHBK. Kenyataan ini terjadi karena selain untuk dijual, sebagian kayu bakar hasil interaksi digunakan untuk konsumsi sendiri. Berkenaan dengan kegiatan penebangan, metode/teknik yang digunakan oleh masyarakat (pelaku penebangan liar) untuk menentukan jenis pohon yang akan ditebang adalah: (1) memilih kayu yang sudah tua dan hampir mati (2) memilih kayu dengan posisi yang tidak akan banyak merusak pohon lainnya (3) memilih kayu yang bernilai ekonomi tinggi, (4) sesuai dengan permintaan konsumen, (5) memilih kayu besar, (6) sembarang, dan (7) kombinasi dari berbagai pertimbangan. Kayu hasil jarahan (penebangan liar) ada yang diangkut dalam bentuk gelondongan dan ada juga yang diolah langsung sebelum dikeluarkan dari hutan, yaitu dijadikan balok, lis, atau bahan bangunan lainnya seperti rangka pintu dan jendela rumah. Lokasi pengolahan dilakukan secara berpindah-pindah sehingga aparat kesulitan untuk melacaknya. Selanjutnya hasil tersebut dijual ke pedagang (penadah) yang berada di kampung-kampung atau di tempattempat tersembunyi. Kepada para penebang kayu (bahasa setempat “peramoq”) diberikan modal atau pinjaman terlebih dahulu sebelum mengambil kayu di hutan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa lokasi kegiatan interaksi untuk pengambilan HHK di kawasan TNGR lebih intensif dibandingkan dengan luar TNGR. Kenyataan ini mencerminkan bahwa kawasan TNGR masih rawan terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging). Karena itu diperlukan kesadaran dan partisipasi semua pihak untuk menyelamatkan dan melestarikan keberadaan TNGR.
Tabel 2. Rata-rata Frekwensi Responden Berinteraksi dengan Hutan Dirinci Menurut Jenis dan Lokasi Interaksi No
Jenis Interaksi
1. Ekstraksi Hasil Hutan Kayu (HHK) a. Kayu Balok/Bangunan b. Kayu Bakar 2. Ekstraksi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) a. Madu b. Berburu c. Sayur HHK + HHBK
Rata-rata Frekwensi Interaksi (kali/bulan) TNGR Luar-TNGR Agregat 11 7 9 8 5 7 10 7 9 4 5 4 1 2 2 3 2 3 10 8 9 12 7 10
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
58 Lebih intensifnya interaksi HHK dibandingkan HHBK mengindikasikan harapan ekonomi (motif ekonomi) dari kegiatan interaksi. Hal ini seiring dengan pernyataan 67 orang (44,67%) responden yang mengakui bahwa sumber penghasilan utama keluarga adalah dari hasil interaksi dengan hutan dan 69 orang (46,00%) sebagai sumber penghasilan sampingan. Lebih lanjut 117 orang (78%) mengungkapkan bahwa hasil interaksi (terutama HHK) digunakan untuk menutupi keperluan hidup (makan) keluarga sehari-hari. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif untuk melakukan interaksi dengan hutan adalah karena alasan ekonomi. Meski demikian, pengambilan hasil hutan (terutama kayu) merupakan pilihan terakhir bagi warga masyarakat karena tidak ada alternatif lain. Hal ini tercermin dari berkurangnya gangguan illegal logging pada musim penghujan. Berkurangnya interaksi masyarakat dengan hutan pada musim hujan bukan disebabkan karena kondisi hutan yang relatif licin atau bahkan terjadi banjir dan longsor yang dapat membahayakan mereka. Akan tetapi setelah dilakukan penelusuran dan analisis ternyata penyebab terjadinya penurunan gangguan ini karena banyak tersedia lapangan kerja di sektor pertanian (berkenaan dengan aktivitas usahatani). Kuantitas dan kualitas gangguan keamanan hutan (penebangan liar)
berkurang secara signifikan ketika musim hujan tiba seiring dengan mulainya aktivitas pertanian di lahan sawah dan/atau kebun. Sebagai gambaran, rata-rata interaksi pada musim hujan hanya berkisar 3 - 4 kali per bulan, sedangkan pada musim kemarau 3 – 5 kali per minggu. Kenyataan ini seiring dengan Teori Pilihan (Coleman dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007) yang mengatakan bahwa tindakan perseorangan mengarah pada suatu tujuan, dimana tujuan (dan juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferency). Dalam hal ini aktor memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhan mereka. Faktor-faktor Penentu Interaksi Untuk mengetahui faktor penentu interaksi masyarakat dengan hutan dilakukan analisis regresi berganda (Arief 1993; Gaspersz 1992). Dalam hal ini sebagai variabel terikat (dependent) atau variabel respons adalah frekwensi interaksi untuk mengambil hasil hutan kayu (HHK), sedangkan variabel penjelas (explanatory) atau variabel bebas (independent) terdiri atas beberapa variabel kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap 9 (sembilan) variabel penjelas dengan koefisien regresi masing-masing disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Besarnya Koefisien Regresi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Masyarakat untuk Mengambil Hasil Hutan Kayu (HHK) No
Variabel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Konstanta (a) Lokasi interaksi (X1) WTP (X2) Pengeluaran RT untuk makanan (X3) Pengeluaran RT selain makanan (X4) Penghasilan RT dari luar hutan (X5) Luas lahan usahatani (X6) Aturan lokal dan kebiasaan turun-temurun dalam mengekstraksi HHK (X7) 9. Keterlibatan dalam HKm (X8) 10. Kepemilikan/pemeliharaan sapi (X9) Ket.: R2 = 0,397;
L. Sukardi dkk: Karakterisasi dan faktor …
Koefisien t-Stat Nilai-P Keterangan Regresi 4,574 2,128 0,036 5,135 3,929 0,000 Nyata pada α = 1% -6,24E-05 -2,339 0,021 Nyata pada α = 5% 8,041E-06 1,547 0,125 Nyata pada α = 15% 7,378E-06 1,186 0,239 -4,62E-06 -1,650 0,102 Nyata pada α = 15% -0,206 -0,372 0,711 2,085 1,861 0,066 Nyata pada α = 10% -3,944 -2,723 -1,411 -1,331 R2 Adj = 0,343
0,008 Nyata pada α = 1% 0,186 Nyata pada α = 20%
59
Hasil analisis yang disajikan pada Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa ada 7 (tujuh) faktor/ variabel yang dapat menjelaskan atau berpengaruh secara nyata terhadap frekwensi interaksi masyarakat untuk mengambil (mengekstraksi) hasil hutan kayu (HHK). Ketujuh faktor/variabel tersebut lebih lanjut dapat dipilahkan menjadi 3 (tiga) kategori sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management SFM). Kategori pertama berkenaan dengan kondisi biofisik TNGR, meliputi: lokasi interaksi (X1); kategori kedua berkenaan dengan sosial budaya masyarakat, meliputi: WTP (X2) dan pengetahuan lokal atau kebiasaan turun-temurun dalam mengekstraksi HHK (X7); serta kategori ketiga berkenaan dengan ekonomi masyarakat, meliputi: pengeluaran untuk makanan (X3), penghasilan dari luar hutan (X5), keterlibatan dalam HKm (X8), dan kepemilikan/ pemeliharaan sapi (X9). Berkenaan dengan lokasi interaksi, ada kecenderungan penebangan liar dilakukan di hutan yang jaraknya relatif jauh dari pemukiman atau jalan raya. Alasannya, di lokasi ini lebih aman untuk melakukan penebangan karena jauh dari pemantauan petugas. Sementara di lokasi yang dekat pemukiman atau jalan raya, selain ada petugas juga banyak masyarakat lain yang melihat sehingga kurang aman untuk melakukan penebangan. Pertimbangan lainnya dalam menentukan lokasi interaksi adalah ketersediaan pohon kayu yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pembeli. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa interaksi masyarakat untuk mengekstraksi HHK secara nyata (significant) lebih banyak dilakukan di kawasan TNGR dibandingkan tempat lainnya, ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 4,57. Artinya, frekwensi pengambilan HHK di kawasan TNGR 4,57 kali lebih banyak dibandingkan wilayah lainnya. Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kerawanan kawasan TNGR terhadap penebangan liar cukup tinggi. Selain karena lokasinya, lebih tingginya intensitas pengambilan kayu di kawasan TNGR diduga disebabkan karena vegetasi (tegakan kayu) di kawasan ini masih lebih utuh dibandingkan dengan kawasan hutan lainnya. Kenyataan ini mencerminkan bahwa kelestarian aspek biofisik/ekologis TNGR mengalami ancaman sehingga perlu dilakukan antisipasi sejak dini agar keutuhan TNGR tetap terjaga. Menurut pengakuan masyarakat (responden), mereka terpaksa melaku-kan pengambilan kayu di hutan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (terutama kebutuhan makan). Kenyataan ini terbukti dari hasil analisis
yang menunjukkan bahwa pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan berpengaruh positif nyata (α = 15%) terhadap interaksi HHK. Artinya, semakin besar pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan makan akan mengakibatkan frekwensi interaksi HHK mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan tingkat penghasilan masyarakat yang masih berada di bawah standar garis kemiskinan pedesaan NTB serta terbatasnya lapangan usaha di luar kehutanan menjadi pemicu masyarakat melakukan penebangan liar (illegal logging). Langkah yang bisa ditempuh guna menyelamatkan hutan (termasuk TNGR) dari kegiatan penebangan liar (illegal logging) adalah meningkatkan penghasilan masyarakat yang bersumber dari luar kehutanan. Hal ini seiring dengan hasil analisis yang meunjukkan bahwa penghasilan dari luar kehutanan berpengaruh negatif nyata (significant) terhadap intesitas pengambilan HHK. Artinya, semakin tinggi penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan mengakibatkan semakin menurunnya intensitas interaksi HHK. Faktor ekonomi lainnya yang juga dapat menjelaskan atau berpengaruh negatif secara nyata (significant) terhadap intensitas interaksi HHK adalah keterlibatan masyarakat dalam Program HKm. Dari hasil analisis (Tabel 3) dapat diketahui bahwa masyarakat peserta HKm intensitas interaksinya 3,94 kali lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang tidak terlibat dalam HKm. Begitu pula halnya dengan kepemilikan/pemeliharaan ternak sapi dapat menpengaruhi (menurunkan) secara nyata intensitas interaksi HHK, ditunjukkan nilai koefisien regresi yang bertanda negatif. Interaksi HHK yang dilakukan oleh masyarakat yang memelihara sapi 1,41 kali lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak memelihara. Kenyataan ini mencerminkan bahwa masyarakat tidak akan melakukan pencurian kayu (illegal logging) di hutan TNGR manakala memiliki alternatif sumber penghidupan lain di luar hutan. Indikasi ini diperkuat oleh hasil analisis yang menunjukkan bahwa luas lahan yang dimiliki/digarap mempunyai pengaruh negatif (tidak nyata) terhadap intensitas interaksi. Tinggi rendahnya interaksi pengambilan kayu secara nyata (significant) juga dipengaruhi oleh kesediaan masyarakat untuk membayar kelestarian (WTP) sumberdaya hutan. Dalam hal ini semakin tinggi WTP semakin rendah frekwensi interaksi untuk pengambilan kayu dan sebaliknya (koefisien regresi negatif). Hasil analisis ini menggambarkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
60 sumberdaya hutan yang diwujudkan dalam bentuk WTP (Colin 2000) dapat mengendalikan mereka untuk melakukan penebangan liar. Di sisi lain adanya pengetahuan dan kebiasaan lokal berkenaan dengan ekstraksi HHK yang diperoleh secara turun temurun berpengaruh positif nyata (significant) terhadap intensitas interaksi, tercermin dari nilai koefisien sebesar 2,09. Artinya, mereka yang memiliki pengetahuan tentang cara penebangan dan memiliki kebiasaan secara turun temurun akan melakukan interaksi 2,09 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki pengetahuan serupa. Tingkat Pemenuhan Kebutuhan Rumahtangga Rata-rata besarnya penghasilan rumahtangga di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,- per bulan dimana lebih dari 30%-nya bersumber dari hasil hutan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat akan hasil hutan secara relatif masih cukup tinggi. Sementara itu rata-rata pengeluaran rumahtangga sebesar Rp 513 533,- per bulan dimana 68,15% merupakan pengeluaran untuk makanan. Dengan demikian terjadi defisit sebesar Rp 5 694,- per bulan atau sebesar Rp 68 324,- per tahun). Berdasarkan komposisi ini tentunya dapat disimpulkan bahwa tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga belum tercukupi (baru mencapai 99%). Nilai nominal pengeluaran ini belum termasuk pengeluaran yang sifatnya insidental seperti pengobatan, biaya sosial, rokok, dan pengeluaran tidak terduga lainnya. Jika semua pengeluaran ini dimasukkan maka defisit keuangan rumahtangga akan semakin besar. Dalam penelitian ini yang penting untuk dikaji adalah tingkat pemenuhan kebutuhan dengan penghasilan yang besumber dari luar kehutanan, yaitu rata-rata sebesar Rp 342 979,per bulan. Tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dengan penghasilan sebesar ini baru mencapai 67%. Sementara itu jika sumber penghasilan hanya dari hasil hutan, maka tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga baru mencapai 32% dan akan semakin kecil jika pengeluaran yang sifatnya insidental juga diperhitungkan. Dibandingkan dengan sumber lainnya, penghasilan dari hasil hutan relatif lebih pasti dan bisa diambil/diperoleh sepanjang tahun. Lebih lanjut, jika penghasilan dari hasil hutan sebesar Rp 164 860,- hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rutin (makan sehari-hari sebesar Rp 349 993,- per bulan), maka hampir separuh (47,10%) dari kebutuhan keluarga telah dapat dicukupi. L. Sukardi dkk: Karakterisasi dan faktor …
Gambar 1 mengilustrasikan keseimbangan ekonomi rumahtangga yang berdomisili di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), dimana terjadi ketidakseimbangan (defisit penghasilan sebesar Rp 170 554,- per bulan). Besarnya defisit ini disebabkan karena penghasilan yang bersumber dari hasil hutan dieliminir karena penghasilan ini merupakan hasil interaksi dengan hutan berupa ekstraksi hasil hutan kayu (HHK) yang dilakukan secara liar (illrgal logging). Karena itu dalam rangka pengelolaan hutan lestari (khususnya TNGR), maka penghasilan yang bersumber dari hasil hutan ini harus dikompensasi dengan pengembangan alternatif kegiatan ekonomi produktif. Langkah yang dapat ditempuh salah satunya melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (Sudarmadji 2002). Perlunya pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar TNGR juga disebabkan karena rata-rata penghasilan atau pengeluaran per kapita (Gambar 1) masih berada di bawah standar garis kemiskinan pedesaan NTB Tahun 2007. Paradigma baru secara global menekankan bahwa pengelolaan hutan harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Hal ini tercermin dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan tema “Forest for People”. Dengan adanya konsep tersebut, maka sejak tahun 1984/1985 di Indonesia dikembangkan program ‘perhutanan sosial’ (Social Forestry). Berkenaan dengan pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) berkelanjutan, perlu diciptakan keharmonisan masyarakat dengan biofisik TNGR. Dalam hal ini pemanfaatan TNGR harus dilakukan secara lestari dengan memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Oleh karena itu harus dibangun model pemberdayaan masyarakat yang menjamin keharmonisan antara masyarakat dengan Hutan Rinjani (TNGR) atau disingkat “MAHAR-RINJANI” (Masyarakat Harmonis dengan Hutan Rinjani). Salah satu alternatif kegiatan pemberdayaan ekonomi yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan/pemeliharaan sapi. Pengembangan sapi dapat memberikan manfaat ganda; selain menjadi sumber penghasilan keluarga, juga dapat diintegrasikan dengan kegiatan pertanian, yaitu dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan pertanian. Dari segi ekoligis (aspek lingkungan), kotoran (feces) sapi dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas yang dapat digunakan untuk memasak (keperluan dapur) sebagai pengganti kayu bakar. Hal ini akan dapat menekan terjadinya penebangan liar (illegal
61 logging). Selain itu feces (limbah biogas) bersama dengan sisa pakan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos (pupuk kandang). Penggunaan pupuk kandang ini akan dapat mengurangi terjadinya pencemaran lahan sebagai akibat penggunaan pupuk kimia (pupuk anorganik) dan sekaligus dapat menjadi salah satu alternatif sumber penghasilan keluarga. Jadi dengan demikian tekanan terhadap lingkungan (hutan) dapat
Keranjang Penghasilan (Income Basket)
berkurang karena 2 (dua) alasan utama, yaitu: (1) penebangan liar (illegal logging) tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan ekonomi sebab mereka telah memiliki sumber penghasilan keluarga, dan (2) penebangan liar (illegal logging) tidak akan dilakukan masyarakat dengan alasan kebutuhan kayu bakar karena telah dikomversi dengan penggunaan biogas.
99%
Keranjang Konsumsi (Consumption Basket)
HLH : Rp 308 099,H HKm : Rp 24
MP : Rp 349 993,67%
98%
BM : Rp 34 670,PK : Rp 21 109,-
L. CWK : Rp 10 233,47%
HH : Rp 164 860,-
32%
Lain : Rp 70 077,-
Ekuivalen Penghasilan Rp 342.979,-
PA : Rp 37 683,-
Konsumsi Rp 513.533,-
- Rp 170 554,-
Dikompensasi
PPK : Rp 121
Pemberdayaan
Masy Sekitar TNGR Masa
KPK : Rp 122
GK Pedes NTB 2007 : Rp 130 867 Masy Sekitar TNGR Saat ini
Gambar 1. Hubungan antara Keranjang Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Kawasan TNGR Keterangan : MP BM PK
= Pengeluaran untuk makanan pokok (Beras dan lauk-pauk) = Pengeluaran untuk selain makanan pokok = Pengeluaran untuk perawatan kesehatan (sabun mandi, sabun cuci, dan sampo) PA = Pengeluaran untuk biaya pendidikan anak HLH = Penghasilan dari luar hutan HHKm = Penghasilan dari hasil HKm HH = Penghasilan dari hasil hutan LCWK = Penghasilan dari luar curahan waktu kerja
Agroteksos Vol. 18 No. 1-3, Desember 2008
62 KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan kajian terhadap intreraksi masyarakat dengan hutan TNGR, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Bentuk interaksi masyarakat dengan hutan TNGR adalah: (1) mengambil (mengekstraksi) hasil hutan, (2) pendakian ke Puncak Rinjani dan/atau Danau Segara Anak, dan (3) bercocok tanam di kawasan TNGR. 2) Interaksi untuk mengekstraksi hasil hutan kayu (HHK) dilakukan karena alasan/motif ekonomi. Namun demikian, pengambilan kayu secara liar (illegal logging) ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat karena tidak ada alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. 3) Interaksi masyarakat untuk mengambil hasil hutan kayu secara nyata dipengaruhi oleh tujuh faktor yaitu: (1) lokasi interaksi, (2) WTP, (3) pengetahuan lokal atau kebiasaan turuntemurun dalam mengekstraksi hasil hutan kayu, (4) pengeluaran untuk kebutuhan makanan, (5) penghasilan dari luar hutan, (6) keterlibatan dalam HKm , dan (7) kepemilikan/pemeliharaan sapi. 4) Menurut hasil analisis, tingkat kerawanan kawasan TNGR terhadap kegiatan penebangan liar (illegal logging) relatif lebih tinggi dibandingkan kawasan hutan lainnya. 5) Rata-rata penghasilan masyarakat di kawasan TNGR sebesar Rp 507 839,- per bulan dimana lebih dari 30%-nya bersumber dari hasil hutan, sementara rata-rata pengeluaran sebesar Rp 513.533,- per bulan (68,15% diantaranya merupakan pengeluaran untuk kebutuhan makan). Tingkat pemenuhan kebutuhan keluarga dengan penghasilan yang bersumber dari luar kehutanan baru mencapai 67%. Saran 1) Sejalan dengan paradigma global, pengelolaan TNGR harus memperhatikan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitarnya. 2) Perlu diciptakan alternatif kegiatan ekonomi produktif yang berbasis sumberdaya lokal sehingga dapat mengkompensasi penghasilan masyarakat yang bersumber dari hasil hutan; karena itu perlu pemberdayaan ekonomi masyarakat di kawasan penyangga TNGR, salah satunya adalah melalui pengembangan ternak sapi. DAFTAR PUSTAKA Arief S., 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta: UI-Press. L. Sukardi dkk: Karakterisasi dan faktor …
Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, 2007. Laporan Daftar Daerah Rawan Gangguan di Taman Nasional Gunung Rinjani. Balai TNGR. Mataram: Balai TNGR. Badan Pusat Statistik NTB, 2006. Kecamatan Dalam Angka 2006. Mataram: BPS NTB. Colin P., 2000. Valuation of Unpriced Products: Contingent Valuation, Cost-Benefit Analysis and Participatory Democracy. Land Use Policy 17 (2000) 187-196. Bangor: School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales. Dephut RI, 2006. Master Plan Pengembangan Pariwisata Alam di Taman Nasional Gunung Rinjani. Bogor: PT. Sarbi Moerhani Lestari. Dinas Kehutanan Dati I NTB, 1997. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Rinjani 1998–2003 (Buku III). Mataram: Dinas Kehutanan Dati I NTB.
Rencana (RPTN) I, II dan Provinsi
FAO, 1981. Feasibility Study of the Rinjani Complex Lombok. Field Report of Project National Park Development. Jakarta: Food and Agricultural Organization - UNDP. Gaspersz V., 1992. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Edisi Pertama. Bandung: Tarsito. Markum, Sutedjo EB, Hakim MR., 2004. Dinamika Hubungan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Pulau Kecil Kasus Pulau Lombok. Mataram: WWF Indonesia Program Nusa Tenggara. Sudarmadji, 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmu Dasar. Volume 3 No 1 2002: 50-55. Suhendang E., 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan (YPFK) IPB. Wrihatnolo RR, Dwidjowijoto RN, 2007. Manajemen Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. WWF Program Nusa Tenggara, 2002. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Kawasan Gunung Rinjani. Mataram: WWF-Indonesia.