LAPORAN AKHIR ANALISIS KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPI GUNA PENYUSUNAN PARAMETER TEKNIS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DI NUSA TENGGARA BARAT
Kerja Sama
Antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Nusa Tenggara Barat Dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram Mataram, 2013
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR
1. Judul
2. Ketua Tim
: Analisis Koefisien Teknis Ternak Sapi guna Penyusunan Parameter Teknis Peternakan dan Kesehatan Hewan di NTB :
a.
Nama Lengkap
: Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U
b.
NIP
: 195111111977021001
c.
Pangkat/Golongan
: Pembina Utama Madya/IVd
d.
Jabatan
: Guru Besar pada Fakultas Peternakan Unram
e.
Bidang Keahlian
: Sosial Ekonomi Peternakan
f.
Tempat Kegiatan
: Provinsi NTB
3. Jangka Waktu Kegiatan
: 3 (empat) bulan (Juli s/d September 2013)
4. Sumber Dana
: APBD 2013 pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi NTB
Mataram,
September 2013
Mengetahui: Dekan Fakultas Peternakan Universitas Mataram
Prof. Ir. Yusuf Akhyar Sutaryono, Ph.D NIP 196110251985031003
Ketua Tim
Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U NIP 195111111977021001
SUSUNAN TIM PENELITI Penanggung Jawab
: Prof. Ir. Yusuf A. Sutaryono, Ph.D (Dekan Fakultas Peternakan Unram)
Ketua Tim
: Prof. Dr. Ir. Soekardono, S.U
Sekretaris
: Dr. Ir. Lalu Muhammad Kasip, M.S.
Anggota
: 1. Dr. Ir. Erwan, M.S 2. Ir. Uhud Abdullah, M.P. 3. Ir. Bulkaini, M.P
Administrasi Keuangan
: Ir. Harjono, M.P. (PD II Fakultas Peternakan)
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul .................................................................................... Halaman Pengesahan .......................................................................... Susunan Tim ....................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................. Daftar Tabel ........................................................................................ Kata Pengantar ................................................................................... I
i ii iii iv v vi
PENDAHULUAN .....................................................................
1
1.1.Latar Belakang ..................................................................... 1.2.Tujuan .................................................................................. 1.3.Luaran Kegiatan....................................................................
1 2 2
II
METODE KAJIAN .................................................................. 2.1. Lokasi Kajian ................................................................. 2.2. Pemilihan Sampel................................................................ 2.3. Variabel yang diukur .......................................................... 2.4. Pengumpulan data ............................................................ 2.5. Analisis data .......................................................................
3 3 3 4 5 5
III
KEADAAN UMUM PETERNAKAN SAPI............................ 3.1. Populasi Ternak Pemakan Hijauan .................................... 3.2. Daya Tampung Ternak .......................................................
6 6 12
IV
KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPI ................................... 4.1. Kondisi Umum Pemeliharaan Sapi .................................... 4.2. Koefisien Peternakan Ternak Sapi ..................................
18 18 19
V
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 5.1. Kesimpulan ........................................................................ 5.2. Saran ......................................................................
32 32 33
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 4.1. 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12
Populsi ternak di NTB ………………………………………… Populasi ternak menurut jenis kelamin ……………………….. Populasi ternak menurut struktur umur ………………………. Populasi ternak betina menurut umur ………………………… Populasi ternak besar menurut kabupaten ……………………. Populasi ternak kecil menurut kabupaten …………………….. Populasi ternak pemakan hijauan dalam UT ………………….. Luas lahan sumber pakan di P. Lombok ……………………… Luas lahan sumber pakan di P. Sumbawa ……………………... Daya tamping ternak pemakan hijauan di p. Lombok ………… Daya tamping ternak pemakan hijauan di p. Sumbawa ……….. Potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB ……… Populasi sapid an kerbau menurut ST-2013 dan PSPK-2011 … Luas lahan menurut penggunaannya di NTB .............................. Umur sapi betina pertama dikawinkan ........................................ Jarak beranak ternak sapi di NTB ............................................... Umur penyapihan pedet di NTB .................................................. Umur sapi induk diafkir .............................................................. Sistem perkawinan ternak sapi ................................................... Asal pejantan pemacek yang digunakan ..................................... Asal usul pejantan pemacek ........................................................ Waktu perkawinan ternak sapi ................................................... Kematian pedet di bawah 1 tahun dan di atas 1 tahun ................ Pola pemeliharaan ternak sapi ..................................................... Sistem perkandangan yang digunakan ........................................
v
Halaman 6 8 9 9 10 11 12 13 13 14 15 16 16 18 20 21 22 24 25 26 27 28 29 30 31
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T, karena limpahan rahmat dan taufiq Nya maka laporan akhir kajian “Analisis Koefisien Teknis Ternak Sapi Guna Penyusunan Parameter Teknis Peternakan dan Kesehatan Hewan di NTB” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Laporan ini merupakan pertanggung-jawaban Fakultas Peternakan Unram sebagai pihak pelaksana kegiatan sesuai dengan perjanjian kerja sama antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Hal-hal pokok yang dibahas dalam laporan ini meliputi kondisi terkini peternakan sapi dan koefisien teknis ternak sapi di NTB. Dengan telah selesainya laporan ini, tim menyampaikan terima kasih kepada: 1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB yang telah memberikan kepercayaan kepada Fakultas Peternakan Unram untuk melaksanakan kegiatan kajian ini; 2. Dekan Fakultas Peternakan Unram yang telah menugaskan kepada kami sebagai tim pelaksana kegiatan kajian ini; 3. Para dosen dan alumni Fakultas Peternakan Unram yang telah membantu dalam pengumpulan data lapangan. Akhirnya, semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan peternakan sapi di NTB.
Mataram,
September 2013
Ketua Tim
Prof. Dr. Ir. Soekardono,S.U.
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya mengatasi permasalahan penyediaan daging sapi di Indonesia sampai dengan saat sekarang belum berhasil sesuai harapan. Selama empat tahun terakhir (2009-2012) impor daging dan sapi bakalan masih cukup besar. Impor daging sapi berturut-turut sebesar 110.000 ton, 120.000 ton, 100.000 ton, dan 34.000 ton. Impor sapi bakalan berturut-turut 765 ekor, 521.000 ekor, 560.000 ekor, dan 283.000 ekor. Impor tahun 2012 terlihat jauh lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merupakan kebijakan pemerintah, setelah hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) Tahun 2011 mencatat populasi sapi potong sebanyak 14,8 juta ekor. Dengan populasi tersebut diperkirakan dapat memproduksi daging sekitar 399.000 ton sehingga apabila konsumsi daging sapi tahun 2012 diperkirakan sebanyak 484.000 ton maka kekurangannya tinggal 85.000 ton. Kekurangan inilah yang digunakan sebagai dasar kebijakan impor daging sapi dan sapi bakalan tahun 2012. Namun, kebijakan impor tersebut ternyata menimbulkan
kelangkaan
pasokan daging sapi pada industri pengolahan daging sapi di Jakarta dan sekitarnya. Menurut Direktur Utama PD Dharma Jaya, RPH Cakung pada tahun 2011 dapat memotong hingga 3.000 ekor per bulan, pada awal tahun 2012 pasokan sapi potong hanya 600 – 900 ekor per bulan (Komite Daging Sapi DKI Jakarta dalam Majalah Kontan No.30-XVI, Edisi 23-29 April 2012, halaman 7). Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi pemasok sapi potong nasional yang cukup potensial. Berdasarkan hasil PSPK tahun 2011, populasi sapi di NTB tercatat 685.810 ekor, menempati urutan keenam setelah Jatim, Jateng, Sulsel, NTT, dan Lampung. Dalam upaya meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong, pemerintah provinsi NTB meluncurkan program unggulan yang dikenal dengan Bumi Sejuta Sapi (BSS) sejak tahun 2009. Dalam Blue Print NTB-BSS, pada akhir tahun 2013 diharapkan populasi sapi dapat mencapai 1.032.507 ekor. Trend pertumbuhan populasi ternak sapi pada program BSS diperhitungkan berdasarkan parameter-parameter yang diasumsikan semakin baik dari tahun ke tahun. Misalnya, proporsi populasi induk yang semula (tahun 2008) adalah 37%, pada tahun 2012 diasumsikan
bertambah menjadi 45%.
Kematian pedet yang semula 15%, pada tahun 2012 diasumsikan menurun menjadi 1
5%. Calving Interval yang semula 18 bulan, pada tahun 2012 diasumsikan menurun menjadi 14 bulan. Oleh karena parameter-parameter tersebut merupakan asumsi, tentu akan menyebabkan kesalahan dalam perhitungan trend populasi apabila asumsi tersebut tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Oleh karena itu, parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan trend pertumbuhan ternak sapi seharusnya bukan berdasarkan asumsi melainkan berdasarkan hasil kajian lapangan secara periodik. Program NTB-BSS tahap I (2009-2013) akan segera berakhir. Berdasarkan data perkembangan populasi, program tersebut dapat dikatakan berhasil, dengan ditandai telah dapat dicapai populasi pada tahun 2012 sebanyak 916.560 ekor lebih tinggi dari pada target program BSS sebanyak 897.832 ekor. Namun, disadari bahwa realitas di lapangan sering terjadi kontradiksi. Sebagai contoh, masih terdapat kesulitan mencari sapi potong berat di atas 300kg untuk di potong pada RPH dalam NTB sendiri atau untuk diantar pulaukan. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi sapi potong di NTB masih rendah, yang salah satu penyebabnya adalah rendahnya populasi. Oleh karena itu, kajian tentang parameter-parameter yang digunakan dalam perhitungan perubahan populasi, perhitungan produksi, dan perhitungan konsumsi perlu dilakukan. 1.2. Tujuan Kajian Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui: a. Koefisien-koefisien teknis yang terkait dengan produksi, reproduksi, dan sarana produksi pada sapi perbibitan; b. Koefisien ekonomis usaha ternak sapi potong, baik sapi perbibitan maupun sapi penggemukan. c. Menyusun parameter-parameter teknis Peternakan Sapi di NTB. 1.3. Luaran Kajian Luaran kajian ini adalah dokumen yang berisi koefisien-koefisien teknis ternak sapi perbibitan dan koefisien ekonomis sapi perbibitan dan sapi penggemukan yang dapat digunakan untuk: (1) sebagai parameter dalam menyusun trend perkembangan populasi, (2) sebagai masukan dalam perencanaan kegiatan pengembangan usaha ternak sapi potong di NTB, dan (3) sebagai bahan dasar penyusunan pengembangan Blue Print NTB-BSS tahap II (2014-2018). 2
3
BAB II METODE KAJIAN 2.1. Lokasi Kajian Kajian ini dilaksanakan di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan menggunakan metode survei. Wilayah NTB terdiri dari dua pulau besar, yaitu Sumbawa dan Lombok, yang masing-masing memiliki kondisi geografi dan demografi yang berbeda. Kondisi geografi tersebut berpengaruh kepada sistem pemeliharaan ternak sapi pada masing-masing pulau tersebut. Di wilayah Pulau Sumbawa, umumnya ternak sapi dipelihara secara ekstensif, yaitu dengan menggembalakannya di padangpadang penggembalaan yang tersedia atau di hutan-hutan atau di lahan kebun/ladang milik sendiri. Di wilayah Pulau Lombok, ternak sapi umumnya dipelihara secara intensif, yaitu dikandangkan setiap harinya dan disediakan pakan ternak secara cut and carry.
Oleh karena itu, dalam kajian ini diambil sampel lokasi yang dapat
mewakili sifat-sifat pada kedua wilayah tersebut. 2.2. Pemilihan Sampel Pemilihan sampel dalam kajian ini dilakukan dengan teknik multi stage sampling, dengan tahapan penetapan Kabupaten sampel, Kecamatan sampel, dan Responden. Penetapan Kabupaten, Kecamatan, dan Desa sampel dilakukan secara purposive. Pemilihan responden dilakukan secara stratified random sampling. Penetapan strata berbeda antara di wilayah P. Sumbawa dan P. Lombok. Range pemilikan ternak sapi di wilayah P. Sumbawa lebih besar dari pada di P. Lombok. Oleh karena itu, responden di wilayah P. Sumbawa dikelompokkan menjadi tiga strata, yaitu Strata I (S-I): peternak dengan pemilikan 10 ekor ke bawah, Strata II (S-II): peternak dengan pemilikan 11 ekor sampai 50 ekor, dan Strata III (S-III): peternakan dengan pemilikan di atas 50 ekor. Untuk wilayah P. Lombok, responden dikelompokkan menjadi tiga strata, yaitu Strata I (S-I): peternak dengan pemilikan 4 ekor ke bawah, Strata II (S-II): peternak dengan pemilikan 5 ekor sampai 10 ekor, dan Strata III (S-III): peternakan dengan pemilikan di atas 10 ekor. Jumlah sampel responden keseluruhan ditetapkan sebanyak 480 peternak. Secara rinci, nama Kabupaten dan Kecamatan sampel serta jumlah responden menurut strata tertera pada Tabel 1.
3
Tabel 1. Kabupaten dan Kecamatan sampel serta responden menurut strata Responden No Kabupaten Kecamatan S-I S-II S-III 1 25 Dompu 1. Manggalewa 20 15 25 2. Pekat 20 15 2 25 Sumbawa 1. Moyo Hulu 20 15 25 2. Lopok 20 15 P. Sumbawa 100 80 60 3 25 Lombok Timur 1. Aikmel 20 15 25 2. Pringgesile 20 15 4 25 Lombok Tengah 1. Pringgerate 20 15 25 2. Pujut 20 15 P. Lombok 100 80 60 NTB 200 160 120
Jumlah 60 60 60 60 240 60 60 60 60 240 480
2.3. Variabel yang diukur Variabel yang diukur dalam kajian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu variabel penunjang dan variabel pokok. 2.3.1. Variabel penunjang Variabel penunjang meliputi: a.
Kondisi Umum Daerah NTB dan Kabapaten/Kota se NTB meliputi, keadaan alam, kependudukan, pertanian-peternakan, SDM peternakan, dan kelembagaan peternakan
b.
Latar belakang para peternak responden.
2.3.2. Variabel pokok Variabel pokok meliputi: a.
Koefisien teknis produksi dan reproduksi: 1. Jenis kelamin dan struktur umur ternak sapi 2. Jumlah induk 3. Jumlah pejantan 4. Bibit betina 5. Calon pejantan 6. Induk afkir 7. Sapi betina muda non bibit 8. Umur betina bibit dikawinkan pertama
4
9. Umur induk diafkir 10. Jarak beranak 11. Umur pedet disapih 12. Kematian pedet 13. Kematian ternak muda dan dewasa b.
Koefisien ekonomi usaha ternak sapi: 1. Besar dan komponen biaya produksi 2. Besar dan komponen pendapatan 3. Pemasaran ternak yang dilakukan peternak.
2.4. Pengumpulan Data Data terkait kondisi umum daerah diperoleh dari berbagai instansi terkait, baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, seperti Bappeda, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kehutanan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Data terkait dengan latar belakang peternak responden dan variabel-variabel pokok diperoleh dari wawancara mendalam terhadap responden dan observasi lapangan. 2.5. Analisis Data Data keadaan umum daerah dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran umum potensi pengembangan ternak sapi di NTB
ditinjau dari aspek
sumberdaya lahan, sumberdaya ternak, SDM, dan kelembagaan yang tersedia. Latar belakang peternak dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran kemampuan peternak untuk mengadopsi teknologi peternakan. Data koefisien teknis produksi dan reproduksi dianalisis secara deskriptif untuk merumuskan parameterparameter perubahan populasi dan produksi ternak sapi. Data koefisien ekonomi usaha ternak sapi dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran seberapa besar efisiensi pemeliharaan ternak sapi rakyat.
5
BAB III KEADAAN UMUM PETERNAKAN SAPI DI NTB 3.1. Populasi Ternak Pemakan Hijauan Ternak pemakan hijauan terdiri atas sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba. Dalam analisis pengembangan ternak sapi, perlu juga diketahui kondisi ternak kerbau, kuda, kambing, dan domba karena ternak-ternak ini bersifat bersaing dengan ternak sapi dalam penggunaan sumberdaya terutama pakan ternak. Perkembangan populasi ternak pemakan hijauan di NTB selama lima tahun terakhir tertera pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Perkembangan populasi ternak pemakan hijauan di NTB periode 2008-2012 Jenis ternak
Tahun
r
2008
2009
2010
2011
2012
(%)
Kuda
77.997
77.837
76.622
72.909
77.520
-4
Sapi
546.114
592.875
695.951
784.019
916.560
10
Kerbau
161.450
155.307
155.904
141.511
144.261
-2
Kambing
495.028
439.989
490.830
579.250
627.282
1
Domba
27.875
25.878
29.539
37.500
37.875
10
Keterangan: r = pertumbuhan rata-rata per tahun Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2012) Tabel 3.1 menunjukkan bahwa sapi, kambing, dan domba mengalami perkembangan positif sedangkan kuda dan kerbau mengalami penurunan. Populasi ternak kerbau dan kuda menurun kemungkinan karena nilai manfaat bagi peternak tergeser oleh ternak sapi. Lebih-lebih sejak tahun 2009 NTB lebih berkonsentrasi pada pengembangan ternak sapi melalui program unggulan Bumi Sejuta Sapi (BSS). Oleh karena itu kedua jenis ternak ini, ke depan juga perlu mendapat perhatian, minimal untuk menjaga kestabilan populasinya. Untuk lebih mudah membaca data perkembangan populasi ternak pemakan hijauan, berikut ini disajikan grafik perkembangan populasi ternak besar dan ternak kecil periode tahun 2008-2012 seperti tertera pada Gb. 3.1 dan 3.2. Gambar. 3.1 menunjukkan bahwa populasi sapi terus meningkat cukup besar setiap tahunnya,
6
terutama mulai tahun 2009. Peningkatan populasi demikian sesuai dengan tujuan program BSS-NTB untuk mencapai populasi sekitar satu juta ekor pada tahun 2013. 1,000,000 900,000 800,000 700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000 0
Kuda Sapi Kerbau
2008
2009
2010
2011
2012
Gb. 3.1. Perkembangan populasi ternak besar 2008-2012 Grafik pertumbuhan populasi ternak kerbau dan kuda nampak datar cenderung menurun yang menunjukkan bahwa populasi ternak-ternak tersebut cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ternak kerbau perlu mendapat perhatian karena selain dapat mensubstitusi ternak sapi, ternak kerbau merupakan ternak khas Sumbawa yang telah menjadi aset nasional. Perkembangan ternak kecil (kambing dan domba) terlihat pada Gb. 3.2 . 700,000 600,000 500,000 400,000 Kambing
300,000
Domba
200,000 100,000 0 2008
2009
2010
2011
2012
Gb. 3.2. Perkembangan ternak kambing dan domba 7
Pada Gb. 3.2 terlihat bahwa grafik perkembangan populasi ternak kambing menaik relatif besar sedangkan perkembangan populasi ternak domba datar cenderung naik. Ternak kambing perlu mendapat perhatian karena sangat besar peranannya dalam peningkatan pendapatan rumah tangga kurang mampu di pedesaan. Ternak kambing lebih cepat menghasilkan uang dibandingkan dengan ternak besar (sapi dan kerbau) sehingga lebih cocok diusahakan oleh rumah tangga kurang mampu. Dengan demikian usaha ternak kambing lebih cocok untuk program pengentasan kemiskinan di pedesaan. Perkembangan populasi ternak sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara populasi ternak jantan dan betina. Untuk menghasilkan perkembangan populasi yang maksimal, harus diupayakan agar perbandingan antara jumlah pejantan dan betina induk optimal. Sebagai contoh, apabila program pengembangan sapi dilakukan dengan sistem perkawinan alam, maka perbandingan antara jumlah induk dan jumlah pejantan sebaiknya sekitar 20 : 1. Dalam Tabel 3.2 disajikan data jumlah ternak di NTB menurut jenis kelaminnya. Tabel 3.2. Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2012 Jenis Ternak
Jantan
Betina
Jantan & Betina
(ekor)
(%)
(ekor)
(%)
(ekor)
Sapi
331.061
36,12
585.499
63,88
916.560
Kerbau
50.448
34,97
93.813
65,03
144.261
Kuda
35.907
46,32
41.613
53,68
77.520
Kambing
212.272
33,84
415.010
66,16
627.282
9.196
24,28
28.679
75,72
37.875
Domba Sumber
: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Dalam Tabel 3.2 terlihat bahwa baik ternak besar maupun ternak kecil proporsi ternak betina lebih besar dari pada ternak jantan. Kecuali ternak kuda proporsi ternak betina di atas 60%. Kondisi ini cukup ideal karena untuk perkembangan ternak diperlukan ternak betina yang lebih banyak terutama sebagai induk produktif. Disamping proporsi populasi berdasarkan jenis kelamin, proporsi berdasarkan umur sngat penting untuk program perkembangan ternak pemakan hijuan. Dalam Tabel 3.3 disajikan data populasi ternak pemakan hijauan berdasarkan struktur umur. Tabel 3.3 menunjukkan bahwa ternak dewasa menempati proporsi terbanyak, yaitu sekitar 50%, sedangkan ternak muda dan anak relatif sama, masing-masing sekitar 8
25%. Khusus pada sapi, ternak dewasa 48,55%; muda 26, 29%; dan anak 25,17%. Struktur umur ini cukup ideal untuk perkembangan populasi ternak pada tahun-tahun mendatang. Tabel 3.3. Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2012 Jenis Ternak
Anak
Muda
Dewasa
Jumlah
(ekor)
(%)
(ekor)
(%)
(ekor)
(%)
(ekor)
Sapi
230.698
25,17
240.964
26,29
444.990
48,55
916.560
Kerbau
32.834
22,76
35.632
24,7
75.795
52,54
144.261
Kuda
11.868
15,31
13.721
17,7
51.938
67,00
77.520
Kambing
184.484
29,41
170.307
27,15
272.429
43,43
627.282
8.245
21,77
8.333
22
21.297
56,23
37.875
Domba Sumber
: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Data proporsi populasi menurut umur khusus untuk ternak betina menentukan dalam perkembangan ternak. Semakin besar proporsi ternak betina dewasa semakin banyak pula anak beranaknya yang dihasilkan. Proporsi populasi ternak pemakan hijauan menurut umur tertera dalam Tabel 3.4. Tabel 3.4. Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2012 Anak Jenis ternak
Muda
Dewasa
Jumlah
(ekor)
(%)
(ekor)
(%)
(ekor)
Sapi
119.886
20,47
114.662
19,58
351.042
59,95 585.590
Kerbau
17.441
18,59
19.908
21,22
56.464
60,19
93.813
Kuda
6.163
14,81
7.093
17,05
28.357
68,15
41.613
105.509
25,42
103.188
24,86
206.313
49,71 415.010
4.776
16,65
6.700
23,36
17.203
59,98
Kambing Domba Sumber
(%)
(ekor)
28.679
: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Tabel 3.4. menunjukkan bahwa proporsi populasi ternak betina dewasa adalah terbanyak, yaitu sekitar 60%, ternak betina muda sekitar 20% , dan betina anak sekitar 20%. Populasi ternak betina anak sebaiknya mendekati 40% dari populasi ternak induk. Proporsi demikian cukup baik untuk perkembngan populasi ke depan, dengan catatan ternak muda yang berkuallitas diprioritaskan sebagai ternak bibit pengganti induk atau pengganti pejantan. Oleh karena itu, kebijakan pengendalian pengeluaran ternak betina bibit perlu mendapat perhatian.
9
Keadaan
populasi
ternak
pemakan
hijauan
berdasarkan
Pulau
dan
Kabupaten/Kota sangat diperlukan untuk penyusunan perencanaan pengembangan ternak sesuai dengan daya tampung wilayah. Populasi ternak besar dan ternak kecil, menurut Pulau dan Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut (Tabel 3.5 dan 3.6). Tabel 3.5. Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012 No
Kab./Kota/Pulau
Sapi (ekor)
Kerbau (ekor)
Kuda (ekor)
1
Mataram
1.994
22
754
2
Lombok Barat
80.881
8.564
4.026
3
Lombok Utara
76.086
435
612
4
Lombok Tengah
137.200
18.894
2.361
5
Lombok Timur
110.979
4.864
5.277
407.140
32.779
13.030
Jumlah P. Lombok 6
Sumbawa Barat
54.393
13.264
5.787
7
Sumbawa
197.141
54.022
39.660
8
Dompu
96.205
20.411
8.119
9
Bima
148.089
23.072
8.483
10
Kota Bima
13.592
713
2.441
Jumlah P. Sumbawa
509.420
111.482
64.490
TOTAL
916.560
144.261
77.520
Sumber
: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Dalam Tabel 3.5 terlihat bahwa populasi ternak besar di P.Sumbawa lebih banyak dari pada di P. Lombok. Populasi ternak sapi di P. Sumbawa sebanyak 509.420 ekor (55,58%) sedangkan di P. Lombok sebanyak 407.140 ekor (44,42%). Ternak kerbau di P. Sumbawa sebanyak 111.482 ekor (77,28%) sedangkan di P. Lombok sebanyak 32.779 ekor (22,72%). Ternak kuda juga jauh lebih banyak di P. Sumbawa 64.490 ekor (83,19%) dari pada di P. Lombok 13.030 ekor (16,81%). Hal ini menunjukkan bahwa P. Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan ternak besar di NTB karena masih terdapat padang penggembalaan yang luas. Populasi
ternak
kecil
(kambing
dan
domba)
menurut
Pulau
dan
Kabupaten/Kota di NTB adalah sebagai berikut (Tabel 3.6). Seperti halnya pada ternak besar, populasi ternak kecil (kambing dan domba) di P. Sumbawa juga lebih banyak 10
dari pada di P. Lombok. Populasi kambing di P. Sumbawa tercatat 403.093 ekor (64,26%) sedangkan di P. Lombok tercatat 224.190 ekor (3574%). Demikian pula populasi domba di Kabupaten Sumbawa juga lebih banyak dari pada di P. Lombok. Di P. Sumbawa populasi domba tercatat 25.435 ekor (69,16%) sedangkan di P. Lombok tercatat 11.221 ekor (29,63%). Dari sisi populasi, menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki potensi lebih besar dari pada Pulau Lombok untuk pengembangan ternak pemakan hijauan. Tabel. 3.6. Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012 No 1 2 3 4 5
Kab./Kota/Pulau Kambing (ekor) Mataram 2.346 Lombok Barat 40.297 Lombok Utara 28.208 Lombok Tengah 76.076 Lombok Timur 77.263 Jumlah di P. Lombok 224.190 6 Sumbawa Barat 16.149 7 Sumbawa 38.368 8 Dompu 62.889 9 Bima 270.332 10 Kota Bima 15.355 Jumlah di P. Sumbawa 403.093 TOTAL (NTB) 627.282 Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Domba (ekor) 11 2.955 632 7.623 11.221 1.711 1.617 78 21.458 571 25.435 37.875
Data populasi ternak pemakan hijauan perlu dikonversikan ke dalam satuan Unit Ternak (UT) karena Unit Ternak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dalam perencanaan usaha peternakan, salah satunya untuk menghitung daya tampung wilayah (carryng capacity).
Populasi ternak pemakan hijauan dalam satuan Unit
Ternak tertera dalam Tabel 3.7).
Dalam Tabel 3.7 terlihat bahwa perbandingan
populasi di NTB dalam UT antara sapi, kerbau, kuda, dan kambing-domba adalah 73,80%, 11,96%, 7,16%, dan 7,09%. Proporsi ini menunjukkan bahwa ternak sapi merupakan ternak yang memiliki potensi pengembangan terbesar di NTB, sehingga sangat tepat jika ternak sapi menjadi ternak unggulan di NTB. Proporsi populasi antara P. Lombok dan P. Sumbawa adalah sebagai berikut: untuk sapi adalah 44,5% dan 55,6%, kerbau 23% dan 77%, kuda 17% dan 83%, kambing dan domba 35% dan 65%.
11
Apabila dibuat klasifikasi berdasarkan populasi pada masing-masing Kabupaten/Kota, maka Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Sumbawa dapat dikategorikan ke dalam kabupaten yang memiliki potensi besar, yaitu dengan populasi ternak pemakan hijauan di atas 100.000 UT; kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Dompu, masuk dalam kategori sedang, dengan populasi di atas 50.000 sampai 100.000 UT; dan kota Bima dan kota Mataram masuk kategori kecil, dengan populasi di bawah 50.000 UT. Tabel 3.7. Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012 Kab./Kota/ Pulau Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur
Sapi
Kerbau
Kuda
Kb+Db
Jumlah
1.356 54.999 51.738 93.296 75.466
15 5.995 305 13.226 3.405
588 3.140 477 1.842 4.116
212 3.893 2.539 6.904 7.640
2.413 69.137 55.009 116.419 93.505
Jumlah P. Lombok
276.855
22.945
10.163
21.187
336.483
6 Sumbawa Barat 36.987 9.285 4.514 1.607 7 Sumbawa 134.056 37.815 30.935 3.599 8 Dompu 65.419 14.288 6.333 5.667 9 Bima 100.701 16.150 6.617 26.261 10 Kota Bima 9.243 499 1.904 1.433 Jumlah P. Sumbawa 346.406 78.037 50.302 38.568 TOTAL 623.261 100.983 60.466 59.864 Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2012)
54.363 209.269 94.424 148.289 13.479 519.825 856.308
No 1 2 3 4 5
Dalam Tabel 3.7 juga menunjukkan bahwa populasi ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba) adalah sebanyak 856.308 UT, tepat sama dengan populasi tahun 2011. Namun ternak sapi meningkat dari 597.266 UT menjadi 623.261 UT atau naik sekitar 6%. 3.2. Daya Tampung Wilayah NTB untuk Ternak Pemakan Hijauan dan Potensi Pengembangan Ternak Sapi Sumber daya alam (SDA) NTB sangat mendukung untuk pengembangan ternak pemakan hijauan, terutama sapi, kerbau, kambing, dan domba. Lahan yang dapat menjadi sumber pakan ternak antara lain adalah sawah, tegal, kebun, ladang, hutan negara, hutan rakyat, perkebunan, lahan yang tidak digunakan, dan padang
12
penggembalaan. Jenis dan luas penggunaan lahan di NTB adalah sebagai berikut (Tabel 3.8 dan Tabel 3.9). Tabel 3.8. Luas Lahan Sumber Pakan Ternak di P.Lombok menurut Penggunaannya Jenis Penggunaan Lahan Sawah (Ha) Irigasi Tadah Hujan Lahan Kering (Ha) Tegal/ Kebun Ladang/ Huma Padang Pengembalaan Lahan tidak diusahakan Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Jumlah
Lobar 16.836 15.632 1.204 67.169 22.908 9.094 160 6.616 20.310 8.081 84.005
Loteng 51.189 39.977 11.212 41.392 20.576 1.058 2.260 17.021 477 143.186
Kabupaten/Kota Lotim KLU 45.350 8.301 44.708 8.185 642 116 91.997 61.985 22.677 16.720 6.178 4.105 556 160 20 3.476 6.000 55.927 27.000 3.163 8.000 137.347 70.286
Mtr 2.095 2.095 148 83 65 2.243
P. Lombok 123.771 110.597 13.174 262.691 82.964 20.435 876 20 18.352 120.258 19.786 386.462
Keterangan: Data Lombok Barat dan KLU, untuk padang penggembalaan, hutan dan perkebunan merupakan hasil pendekatan. Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB (2010) Tabel 3.9. Luas Lahan Sumber Pakan di P. Sumbawa menurut Penggunaannya Kabupaten/Kota Jenis Penggunaan Lahan Sawah (Ha) Irigasi Tadah Hujan Lahan Kering (Ha) Tegal/ Kebun Ladang/ Huma Padang Pengembalaan Lahan tidk diusahakan Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan Jumlah
Sbw
KSB
Dompu
Bima
Kota Bima
P. SBW
48.194 39.625 8.569 495.932 59.000 9.883
19.243 14.961 4282 156.851 16.473 2.598
31.716 23.451 8.265 215.761 70.731 9.047
30.743 23.060 7.683 381.397 65.538 7.570
2.255 2.021 234 26.787 8.896 4.069
132.151 103.118 29.033 1.276.728 220.638 33.167
3.773
2.445
6.526
15.326
-
28.070
25.937
1.905
3.838
22.108
215
54.003
91.336 278.154 27.849 544.126
1.850 128.263 3.317 176.094
20.905 96.272 8.442 247.477
40.375 219.703 10.777 412.140
2.840 9.827 940 29.042
157.306 732.219 51.325 1.408.879
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB (2010)
13
Apabila diasumsikan bahwa lahan sawah dapat menampung ternak 1,5 UT per ha; ladang/huma, tegal/kebun, hutan rakyat, perkebunan, lahan tidak diusahakan, dan padang penggembalaan dapat menampung ternak 1 UT per ha dan lahan hutan negara 0,25 UT per ha , maka dapat diperhitungkan daya tampung ternak pemakan hijauan, untuk wilayah P. Lombok seperti terlihat pada Tabel 3.10 dan untuk P. Sumbawa pada Tabel 3.11. Tabel 3.10. Daya tampung ternak pemakan hijauan per kabupaten/kota di P. Lombok (Unit Ternak =UT) Kabupaten/Kota Jenis Penggunaan
Lobar
Loteng
Lotim
KLU
Mtr
P. Lombok
Lahan Sawah
25.254
76.784
68.025
12.452
3.143
185.657
Lahan Kering
51.937
28.626
50.052
41.735
148
172.498
Tegal/ Kebun
22.908
20.576
22.677
16.720
83
82.964
Ladang/ Huma
9.094
1.058
6.178
4.105
0
20.435
160
0
556
160
0
876
Padang Pengembalaan Lahan tidak diusahakan Hutan rakyat
0
0
20
0
0
20
6.616
2.260
3.476
6.000
0
18.352
Hutan negara
5.078
4.255
13.982
6.750
0
30.065
Perkebunan
8.081
477
3.163
8.000
65
19.786
Jumlah
77.191
105.410
118.077
54.187
3.291
358.154
Dalam Tabel 3.10 terlihat bahwa wilayah P. Lombok memiliki daya tampung ternak pemakan hijauan sebanyak 358.154 UT, yang tersebar di Kabupaten Lombok Barat 77.191 UT, Lombok Tengah 105.410 UT, Lombok Timur 118.077 UT, Lombok Utara 54.187 UT, dan Kota Mataram 3.291 UT. Daya tampung tersebut sebagian besar berasal dari lahan sawah (sekitar 52%) dan lainnya berasal dari lahan kering (sekitar 48%). Daya tampung lahan kering, sebagian besar berupa tegal/kebun, yaitu sekitar 48% dari luas lahan kering, lainnya berupa ladang/huma 12%, hutan rakyat 11%, hutan negara 17%, dan perkebunan sekitar 11%. Padang penggembalaan dan lahan yang tidak diusahakan sangat kecil daya tampungnya. Oleh karena daya tampung ternak pemakan hijauan di wilayah P. Lombok sebagian besar berasal dari lahan sawah maka
14
sebagian besar bahan pakan ternak berupa limbah pertanian dan hasil sisa produksi pertanian. Tabel 3.11. Daya tampung ternak pemakan hijauan per kabupaten/kota di P. Sumbawa (Unit Ternak = UT) Kabupaten/Kota Jenis Penggunaan
Sbw
KSB
Dompu
Bima
Kota Bima
P. SBW
Lahan Sawah
72.291
28.865
47.574
46.115
3.383
198.227
Lahan Kering
287.317
60.654
143.557
216.620
19.417
727.564
Tegal/ Kebun
59.000
16.473
70.731
65.538
8.896
220.638
Ladang/ Huma
9.883
2.598
9.047
7.570
4.069
33.167
Padang Pengembalaan
3.773
2.445
6.526
15.326
0
28.070
Lahan tidak diusahakan
25.937
1.905
3.838
22.108
215
54.003
Hutan rakyat
91.336
1.850
20.905
40.375
2.840
157.306
Hutan negara
69.539
32.066
24.068
54.926
2.457
183.055
Perkebunan
27.849
3.317
8.442
10.777
940
51.325
Jumlah
359.608
89.518
191.131
262.734
22.799
925.790
Dalam Tabel 3.11 terlihat bahwa wilayah Pulau Sumbawa dapat menampung 925.790 UT. Kebalikan dari wilayah P. Lombok, daya tampung tersebut sebagian besar berasal dari lahan kering sekitar 79%, sisanya berasal dari lahan sawah sekitar 21%. Lahan tegal/kebun memiliki daya tampung terbanyak, disusul oleh lahan hutan negara, hutan rakyat, lahan yang tidak diusahakan, perkebunan, ladang/huma, dan padang penggembalaan. Dengan membandingkan daya tampung lahan sumber pakan dengan populasi ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing/domba) dalam Unit Ternak (UT) dapat dihitung potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB, seperti tertera pada Tabel 3.12. Dalam Tabel 3.12 terlihat bahwa pada tahun 2012 potensi pengembangan ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba) di NTB sebesar 427.636 UT , tersebar di P. Lombok sebanyak 21.671 UT dan di P. Sumbawa sebanyak 405.965 UT. Apabila seluruh potensi ini digunakan untuk pengembangan ternak sapi maka NTB masih dapat menampung tambahan
ternak sapi sebanyak
427.636 UT atau sekitar 598.691 ekor. Terdapat dua kabupaten di P. Lombok yang telah melebihi kapasitas daya tampungnya, yaitu Lombok Tengah dan Lombok Utara. Kabupaten lainnya masih memiliki potensi pengembangan yang cukup besar. 15
Tabel 3.12. Potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di NTB No
Kab./Kota/Pulau
1 2 3 4 5
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Jumlah P. Lombok 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima Jumlah P. Sumbawa TOTAL (NTB)
Daya Tampung (UT)
Populasi TPH (UT)
3.291 77.191 54.187 105.410 118.077 358.154 89.518 359.608 191.131 262.734 22.799 925.790 1.283.944
2.413 69.137 55.009 116.419 93.505 336.483 54.363 209.269 94.424 148.289 13.479 519.825 856.308
Potensi Pengembangan (UT) 878 8.054 (823) (11.009) 24.572 21.671 35.155 150.339 96.707 114.445 9.320 405.965 427.636
Potensi pengembangan tersebut dihitung berdasarkan data pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB tahun 2013. Data ini berbeda dengan data hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau tahun 2011 (PSPK-2011) dan data Sensus Ternak tahun 2013 (ST-2013). Menurut data PSPK-2011 dan ST-2013 populasi sapi dan kerbau di NTB tercacat seperti pada Tabel 3.13. Tabel 3.13. Populasi Sapi dan Kerbau di NTB menurut ST-2013 dan PSPK-2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kabupaten/Kota Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Lombok Utara Kota Mataram Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat Sumber: www.bps.go.id
ST-2013 54.200 104.300 82.000 187.400 83.600 115.100 34.900 53.700 1.900 9.700 726.900
PSPK-2011 60.900 119.700 96.200 198.900 87.300 118.400 39.500 57.800 1.800 10.600 791.200
Apabila data ST-2013 dijadikan sebagai data dasar dalam perhitungan daya tampung wilayah maka potensi pengembangan ternak sapi di NTB tentu lebih besar dari perhitungan di atas.
16
BAB IV KOEFISIEN TEKNIS TERNAK SAPI 4.1. Kondisi Umum Pemeliharaan Sapi Provinsi NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah 15.414,50 km 2 (76,49%),
sekitar tiga kali lebih luas dari pada Pulau Lombok 4.738,70 km2 (23,51%). Kondisi geografi, topografi, dan iklim di kedua pulau ini sangat berbeda. Tofografi pulau Sumbawa lebih banyak berbukit dan bergunung sedangkan pulau Lombok lebih banyak yang datar. Kondisi curah hujan dan hari hujan secara umum di P. Lombok lebih baik dari pada di P. Sumbawa. Sumberdaya lahan menurut penggunaannya juga berbeda antara di P. Sumbawa dan P. Lombok (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Luas lahan menurut penggunaannya di NTB tahun 2009 No A 1 2 B 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Penggunaan P. Lombok P. Sumbawa Lahan Sawah (Ha) 185.657 198.227 Irigasi 165.896 154.677 Tadah Hujan 19.761 43.550 Lahan Kering (Ha) 218.982 935.662 124.446 Tegal/ Kebun 330.957 30.653 Ladang/ Huma 49.751 1.314 Padang Pengembalaan 42.105 30 Lahan tidak diusahakan 81.005 27.528 Hutan rakyat 235.959 Hutan negara 30.065 183.055 Perkebunan 4.947 12.831 Jumlah 404.638 1.133.889 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura NTB (2010)
NTB 383.883 320.573 63.311 1.154.644 455.403 80.403 43.419 81.035 263.487 213.119 17.778 1.538.527
Dalam Tabel 4.1 terlihat bahwa di Pulau Sumbawa didominasi oleh lahan kering (82,52% ) dan sisanya berupa lahan sawah 17,48%, sedangkan di Pulau Lombok luas lahan kering sebesar 54,12% dan sisanya 45,88% berupa lahan sawah. Perbedaan kondisi di atas sangat mempengaruhi sistem pemeliharaan ternak sapi di kedua wilayah pulau tersebut. Peternak di pulau Lombok umumnya memelihara sapi secara intensif, di kandangkan terus menerus dengan penyediaan pakan secara cut and carry. Sistem ini berpengaruh terhadap jumlah pemeliharaan sapi sesuai dengan kemampuan peternak mencari rumput setiap harinya. Oleh karena itu, jumlah pemeliharaan ternak sapi per peternak di P. Lombok umumnya relatif kecil, yaitu 1 – 3
17
ekor.
Sistem pemeliharaan di P. Sumbawa berbeda dengan di P. Lombok.
Pemeliharaan sapi di P. Sumbawa umumnya dilakukan secara ekstensif, sapi dilepas pada padang penggembalaan atau di kawasan hutan terus menerus, sewaktu-waktu diambil untuk dikontrol dan dijual. Disamping itu telah banyak berkembang pemeliharaan semi ekstensif, pada siang hari sapi dilepas di tegal/kebun, ladang/huma, lahan yang tidak diusahakan, atau di padang penggembalaan umum, dan pada malam hari dikandangkan. Oleh karena itu, jumlah pemeliharaan rata-rata per peternak di P. Sumbawa lebih banyak dari pada di P. Lombok, yaitu lebih dari 5 ekor, bahkan banyak yang memelihara ratusan ekor. Hasil penelitian terhadap 558 orang responden, menunjukkan bahwa pemilikan ternak sapi rata-rata per peternak adalah sebagai berikut (Tabel 4.2 dan 4.3). Tabel 4.2. Pemilikan ternak sapi per peternak menurut umur di NTB Kabupaten KLU Lobar Loteng Lotim P.Lbk KSB Sumbawa Dompu Bima P. Sbw
Dewasa Ekor 2,53 2,33 2,33 2,23 2,35 8,58 7,35 4,48 7,01 6,85
% 71,13 65,49 59,62 57,42 63,19 53,26 42,75 48,79 45,42 47,34
Muda ek 0,73 0,54 0,73 0,59 0,64 5,10 5,36 2,37 3,95 4,20
% 20,42 15,14 18,59 15,16 17,31 31,68 31,19 25,81 25,59 28,98
Anak ek 0,30 0,69 0,85 1,06 0,73 2,43 4,48 2,33 4,48 3,43
% 8,45 19,37 21,79 27,42 19,50 15,06 26,07 25,40 28,99 23,68
Jml 3,55 3,55 3,90 3,88 3,72 16,10 17,19 9,19 15,44 14,48
Tabel 4.3. Pemilikan ternak sapi menurut jenis kelamin di NTB Kabupaten KLU Lobar Loteng Lotim P.Lombok KSB Sumbawa Dompu Bima P. Sumbawa NTB
Betina 1,53 2,21 2,49 2,54 2,19 10,50 11,43 6,37 10,73 9,76 5,97
Jantan 2,03 1,34 1,41 1,34 1,53 5,60 5,76 2,81 4,71 4,72 3,12
Jml 3,55 3,55 3,90 3,88 3,72 16,10 17,19 9,19 15,44 14,48 9,10
Btn (%) 42,96 62,32 63,78 65,48 58,91 65,22 66,49 69,35 69,51 67,39 65,66
Jtn (%) 57,04 37,68 36,22 34,52 41,09 34,78 33,51 30,65 30,49 32,61 34,34
18
Dalam Tabel 4.2 dan 4.3 terlihat bahwa pemilikan ternak sapi di P. Sumbawa lebih banyak dari pada di P. Lombok. Pemilikan rata-rata per peternak di P. Sumbawa sebanyak 14,48 ekor terdiri atas 9,7 ekor betina dan 4,72 jantan sedangkan di P. Lombok rata-rata 3,72 ekor terdiri atas 2,19 ekor betina dan 1,53 ekor jantan. Jika diperinci menurut umur, di P. Sumbawa terdiri atas 6,85 ekor dewasa (47,34%), 4,2 ekor muda (28,98%), dan 3,4 ekor anak ( 23,68%) sedangkan di P. Lombok terdiri atas 2,35 ekor dewasa (63,19%), muda 0,64 ekor (17,31%), dan 0,73 ekor anak (19,50%). 4.2. Koefisien Teknis Peternakan Sapi Koefisien teknis sangat penting dalam perencanaan pengembangan peternakan sapi. Koefisien teknis penting yang dikaji dalam penelitian ini meliputi, (1) umur sapi betina pertama dikawinkan, (2) jarak beranak (calving interval), (3) umur pedet disapih, (4) induk diafkir, dan (5) angka kematian pedet. 4.2.1. Umur Sapi dikawinkan Sapi betina pertama dikawinkan berdasarkan pada kondisi tubuh ternak, yaitu sudah
mengalami dewasa kelamin dan dewasa tubuh. Umur sapi pertama kali
dikawinkan tertera pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Umur Sapi Bali dikawinkan Pertama Umur sapi dikawinkan pertama kali Lokasi P. Lombok Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Jumlah Persentase P. Sumbawa Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab. Bima Jumlah Persentase NTB (%)
1 - 1,5 th
1,5 – 2 th
> 2 th
Jumlah responden
1 0 2 5 9 3,32
28 10 19 49 116 41,58
44 31 60 26 161 49,90
73 41 81 80 279 100
-
29 1 12 42 22,70 34,05
40 46 27 30 143 77,30 65,52
40 75 28 42 185 100 100
1,94
19
Pada Tabel 4.4, terlihat bahwa umur sapi betina pertama kali dikawinkan di Pulau Lombok umumnya di atas 2 tahun. Dari 280 responden di wilayah P. Lombok, sebanyak 3,32% menyatakan umur sapi betina pertama dikawinkan adalah umur 1-1,5 tahun; sebanyak 41,58% menyatakan pada unmr 1,5-2 tahun; dan
sebesar 49,90%
menyatakan di atas 2 tahun. Dari 278 responden di wilayah kabupaten Sumbawa, sebanyak 22.70% menyatakan sapi betina pertama dikawinkan pada umur 1,5 – 2 tahun, dan lainnya (77.30%) menyatakan pada umur di atas 2 tahun. Di wilayah NTB, sebagian besar sapi betina pertama kali dikawinkan pada umur di atas 2 tahun. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa sapi-sapi dara di pulau Sumbawa termasuk masak lambat, sedangkan sapi-sapi dara di pulau Lombok tergolong masak dini. Penyebabnya adalah perbedaan sistem pemeliharaan dan ketersediaan pakan di pulau Lombok lebih memadai bila dibandingkan di pulau Sumbawa. Umur sapi dikawinkan pertama tidak terlepas dari umur pubertas sapi. Umur pubertas pada sapi Bali merupakan aspek penting dikaitkan dengan kapasitas reproduksinya. Menurut hasil survey yang telah dilakukan Arman dkk. (1996), bahwa sapi Bali jantan akan mencapai pubertas rataan pada umur 20,40±4,07 bulan dan umur perkawinan pertama yang mampu menghasilkan kebuntingan adalah 23,49±4,91 bulan. Sedangkan ternak betina akan mencapai pubertas pada umur 18,55±2,91 dan perkawinan pertama yang menghasilkan kebuntingan akan terjadi pada umur 21,19±3,60 bulan. Menurut Fordyce et al. (2002), umur pubertas sapi bali baik jantan maupun betina pada umur 12 – 24 bulan dengan berat badan berkisar antara 100 – 150 kg. Kebuntingan pada ternak betina tersebut dapat terjadi pada siklus birahi kedua sejak pubertas dicapai. 4.2.2. Jarak Beranak (bulan) Jarak beranak sangat menentukan tingkat pertumbuhan populasi ternak sapi. Idealnya ternak sapi memiliki jarak beranak 12 bulan atau setiap tahun beranak. Oleh karena itu salah satu target NTB-BSS adalah memperbaiki kinerja induk sapi di NTB sehingga dapat beranak sekali setahun atau dikenal dengan 3S (satu induk, satu tahun, satu anak). Berdasarkan wawancara kepada para peternak, diperoleh data jarak beranak sebagai berikut (Tabel 4.5). Dalam tabel 4.5 terlihat bahwa rata-rata jarak beranak sapi di NTB adalah 12,7 bulan, terkecil 12 bulan dan terbesar 15,25 bulan. Jarak beranak sapi di P. Sumbawa sedikit lebih baik, yaitu 12,48 bulan, dari pada di P. Lombok 20
12,92 bulan. Hal ini mungkin karena sapi di P. Sumbawa lebih banyak digembalakan sehingga secara alami sapi betina dapat lebih intensif ketemu pejantan pemacek ketika masa birahi.
Jarak beranak rata-rata 12,7 bulan dapat diartikan bahwa dalam
sekelompok induk produktif, dalam satu tahun akan dapat diperoleh angka kelahiran sekitar 94% dari jumlah induk produktif. Jadi, dalam program pengembangan sapi perbibitan, faktor yang sangat penting diperhatikan adalah produktifitas induk. Tabel 4.5. Jarak beranak ternak sapi induk di NTB N0 1 2 3 4 5 6 7 8
Kabupaten Bima Dompu Sumbawa Sumbawa Barat P. Sumbawa Lombok Timur Lombok tengah Lombok Barat Lombok utara P. Lombok NTB
Rata-rata (bulan) 12,6 12,51 12,07 12,75 12,48 13,36 12,76 12,78 12,79 12,92 12,70
Terkecil (bulan) 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Terbesar (bulan) 16 16 13 14 14,75 18 15 16 14 15,75 15,25
Hasil ini juga terkait dan erat hubungannya dengan perkawinan kembali setelah melahirkan, dan juga bunting kembali setelah melahirkan. Perkawinan kembali setelah sapi beranak baik di pulau Lombok maupun di pulau Sumbawa terjadi setelah 2 sampai 4 bulan. Ternak sapi induk mengalami kebuntingan kembali setelah beranak baik di pulau Lombok maupun di Sumbawa sekitar 3,5 bulan. Secara umum kondisi di P. Sumbawa sedikit lebih baik dibandingkan dengan di P. Lombok. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam sistem pemeliharaannya. Di Pulau Lombok pemeliharaan sapi umumnya dilakukan secara intensif yaitu sapi-sapi baik jantan maupun betina dikandangkan atau diikat secara terus menerus ditempat yang berbeda oleh pemiliknya sehingga sapi-sapi tersebut selalu terpisah dan tidak bisa melakukan percumbuan ataupun perkawinan secara bebas. Sedangkan sapi-sapi dipulau Sumbawa dipelihara secara ekstensip dimana sapi-sapi tersebut digembalakan secara bersamasama dalam satu areal penggembalaan baik dipadang rumput, pinggiran hutan, diatas bukit ataupu di areal lahan pertanian yang sedang tidak ditanami, sehingga sapi jantan dan betina lebih intensif ketemu pada masa-masa sapi betina birahi. Hasil penelitian
21
yang dilakukan peneliti terdahulu (Thalib et al.,
2002 ) menunjukkan bahwa
terjadinya pubertas pada sapi bali di NTB yaitu pada umur 2,5 tahun, umur beranak pertama pada umur 36 bulan, jarak antar beranak 16 bulan, angka kelahiran 51,7%, sedangkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wirdhayati (1994) dan Thalib (2001) mengungkapkan bahwa calving rate sapi bali di NTB berkisar antara 63 – 78 %. Calving interval dan calving rate sangat penting diperhatikan dalam pengembangan sapi perbibitan. Oleh karena itu program seleksi bibit calon induk dan peningkatan produktivitas ternak induk sangat penting dilakukan secara terus menerus sehingga terjaga kualitas induk sapi sebagai pabrik ternak sapi. 4.2.3. Umur Penyapihan Pedet Umur penyapihan pedet juga sangat penting dalam program pengembangan sapi perbibitan. Umur penyapihan pedet dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Umur penyapihan pedet di wilayah NTB Kabupaten Bima Dompu Sumbawa Sumbawa Barat P. Sumbawa Lombok Timurt Lombok Tengah Lombok Barat Lombok Utara P. Lombok NTB
Rata-rata umur pedet di sapih (bulan) 7,00 6,52 7,20 8,6 7,33 8,05 6,40 6,86 5,15 6,6 6,9
Umur disapih termuda (bulan) 5 6 5 5 5 4 5 5 4,5 4 4
Umur disapih tertua (bulan) 8 8 8,5 12 12 12 8 11,5 6 12 12
Penyapihan pedet dapat dilakukan pada waktu pedet umur 3 atau 4 bulan. Namun, umumnya para peternak rakyat menyapih pedet dari induknya lebih dari 6 bulan, dengan alasan kasihan. Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa rata-rata penyapihan pedet di NTB adalah 6,9 bulan. Penyapihan pedet di Pulau Sumbawa lebih lama (7,33 bulan) dibandingkan dengan di Pulau Lombok (6,6 bulan). Banyak pula peternak yang menyapih pedetnya sampai umur satu tahun, bahkan secara alamiah disapih oleh induknya sendiri. Umur sapih paling muda tercatat 4 bulan. Dalam program
22
pengembangan ternak sapi perbibitan sebaiknya umur penyapihan diprogramkan antara 3 – 4 bulan agar induknya lebih baik kondisinya. Setelah disapih, pedet-pedet tersebut selain diberikan hijauan yang berkualitas perlu diberikan pakan tambahan konsentrat yang mencukupi untuk pertumbuhan optimal. Umumnya peternak di Pulau Lombok melakukan penyapihan dengan cara mengikat atau menaruh anak sapi di kandang yang terpisah dari induknya. Pada awalnya anak sapi dilatih untuk berhenti menyusui dengan cara dibatasi untuk menyusui kepada induknya, dalam sehari diberikan 3 kali sehari, selanjutnya 2 kali sehari kemudian 1 kali sehari dan setelah 2 minggu kemudian anak sapi diberhentikan sepenuhnya untuk tidak
menyusui lagi dari induknya. Sedangkan peternak di
Sumbawa penyapihan agak sulit dilakukan karena sistem penggembalaan yang selalu bersama anatara induk dan pedetnya. Sistem ini menyebabkan lamanya waktu untuk anak sapi berhenti menyusui. Penyapihan dapat dilakukan dengan cara tidak mengikut sertakan anak sapi untuk di gembalakan yang dapat dilakukan pada anak sapi yang sudah besar (umur 5-6 bulan). Metode yang lain untuk penyapihan yaitu dengan mengolesi puting susu induk dengan daun-daun tumbuhan yang terasa pahit dengan tujuan agar anak sapi tidak suka menyusu. 4.2.4. Umur Sapi Induk Diafkir Data umur sapi induk diafkir tertera pada Tabel 4.7 di bawah ini. Tabel 4.7. Umur sapi induk diafkir di wilayah NTB Umur Sapi Diafkir/ Diganti (tahun)
Jumlah Kelahiran Untuk Penggantian Induk (kali)
Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah
11,14 11,10 11,17
8,94 9,40 8,24
Lombok Timur
11,09
7,58
P. Lombok Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab. Bima P. Sumbawa NTB
11,12 12,20 12,99 8,00 8,00 10.30 10,71
8,54 11,01 10,04 5,00 5,00 7,76 8,15
Kabupaten
23
Dalam pengembangan sapi perbibitan, produktivitas sapi induk sangat penting. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi induk adalah umur. Oleh karena itu, umur sapi induk diafkir secara keseluruhan akan mempengaruhi produktivitas ternak sapi. Dalam Tabel 4.7 terlihat bahwa rata-rata sapi induk di NTB diafkir pada umur 10,71 tahun, di P. Lombok 11,12 tahun, dan di P. Sumbawa 10,30 tahun. Umur sapi induk diafkir dikedua wilayah Pulau tersebut tidak berbeda nyata, yaitu antara 10 – 11 tahun atau setelah melahirkan sekitar 8 kali. Kondisi ini tergolong sudah cukup baik untuk pengembangan sapi perbibitan rakyat. 4.2.5. Sistem Perkawinan Ternak Sistem perkawinan ternak sapi umumnya terdiri atas dua macam, yaitu kawin alam atau kawin suntik. Pada daerah-daerah yang pemeliharaan ternak sapinya dilakukan secara intensif telah banyak dikembangkan kawin suntik, tetapi pada daerahdaerah dengan pemeliharaan secara ekstensif, perkawinan sapi masih dengan kawin alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (98%) peternak di P. Sumbawa mengawinkan ternak sapinya secara kawin alam, hanya 2% yang mengawinkan dengan kawin suntik. Peternak di P. Lombok sudah banyak yang menggunakan kawin suntik, mencapai 30%, 70% peternak lainnya masih menggunakan kawin alam.
Keberhasilan kebuntingan dari masing-masing sistem
perkawinan tersebut tertera pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Sistem perkawinan ternak sapi di NTB Lokasi Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur P. Lombok Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab.Bima P. Sumbawa NTB
Sistem Perkawinan Kawin Alam (Kali) Kawin Suntik (Kali) 2 2,04 1,00 2,11 1,15 1,50 1.35 2,00 1,38 1,91 1,21 1,00 1,26 2,67 1,34 0,00 1,00 0,00 1,2 0,92 1,27 1,45
24
Data dalam Tabel 4.8 terlihat bahwa di P. Lombok untuk kawin alam kebuntingan terjadi rata-rata setelah sapi dikawinkan sebanyak 1,38 kali dengan pejantan pemacek sedangkan dengan kawin suntik rata-rata 1,91 kali. Di pulau Sumbawa, dengan kawin alam terjadi kebuntingan setelah rata-rata dikawinkan sebanyak 1,27 kali, sedangkan pada kawin suntik setelah diinseminasi sebanyak rata-rata 1,45 kali. Perkawinan dengan Inseminasui buatan frekuensi pengulangannya lebih tinggi dibandingkan dengan kawin alam, hal ini berkaitan dengan tingkat keterampilan inseminator dan waktu melakukan inseminasi buatan. Bila inseminator kurang mahir dalam melakukan inseminasi dan waktu yang kurang tepat akan menyebabkan tingginya tingkat kegagalan menghasilkan kebuntingan. Petani responden di pulau Sumbawa tidak mengawinkan ternak sapinya dengan inseminasi, walaupun sebenarnya di pulau Sumbawa juga sudah diterapkan program inseminasi tetapi terbatas pada lokasi lokasi tertentu. Kebijakan pemerintah NTB untuk menjadikan pulau Sumbawa sebagai daerah pemurnian genetik sapi bali juga berdampak terhadap pelarangan kegiatan inseminasi buatan dengan tujuan untuk mencegah masuknya jenis-jenis bibit sapi selain sapi bali masuk ke pulau Sumbawa melalui pengiriman semen dalam bentuk straw untuk IB. Perkawinan alam biasanya dilakukan dengan pejantan yang tersedia dikelompok ternak yang dibayar sesuai dengan hasil kesepakatan kelompok biasanya berkisar antara Rp 15.000 - 25.000 untuk sekali perkawinan. Hasil pembayaran sebagian dimasukkan menjadi KAS kelompok dan sebagiannya sebagai upah bagi yang memelihara pejantan, sedangkan untuk kawin suntik peternak membayar antara Rp 100 000 -125 000 untuk satu kali kawin suntik. Pejantan pemacek yang digunakan umumnya berasal dari berbagai sumber, ada yang dari milik sendiri, ada yang milik tetangga, ada yang milik kelompok, dan ada pula yang berasal dari padang penggembalaan umum. Secara rinci, asal pejantan pemacek dapat dilihat pada Tabel 4.9. Dalam Tabel 4.9 terlihat bahwa sebagian besar asal pejantan pemacek adalah milik kelompok. Di P. Lombok, 64% pejantan pemacek yang digunakan adalah milik kelompok, 24% milik sendiri, dan 12% milik tetangga. Di P. Sumbawa, 49% pejantan pemacek adalah milik kelompok, 35% milik sendiri, 9% milik tetangga, dan 7% berasal dari padang penggembalaan umum. Pada peternakan rakyat, termasuk yang dilakukan oleh para peternak di NTB, pencatatan tentang perkembangbiakan ternaknya atau
recording masih jarang dilakukan, apalagi mencatat tentang perkawinan
ternaknya. 25
Tabel 4.9. Asal pejantan pemacek yang digunakan Kepemilikan Pejantan Kabupaten
Milik sendiri
Milik Tetangga
Milik Kelompok
Pejantan di padang penggembalaan
28 29 6 3 66 24 11 40 16 0 67 35
7 4 16 6 33 12 4 2 11 0 17 9
59 9 65 43 176 64 22 30 0 42 94 49
6 0 6 0 12 7
Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur P. Lombok Persentase Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab.Bima P. Sumbawa Persentase
Data yang ditunjukkan pada Tabel 4.9, mengindikasikan bahwa pengetahuan peternak tentang inbreeding masih rendah, hal ini dapat dilihat dari penggunaan pejantan untuk mengawinkan ternaknya. Banyak diantara peternak yang memelihara anak sapi jantan sampai umur dewasa dan membiarkannya kawin dengan kerabat terdekatnya yaitu saudara sebapak atau saudara seibu bahkan mengawini induknya sendiri. Kondisi ini menyebabkan koefisien inbreeding terhadap populasi sapi yang ada di masyarakat masih tinggi. Seleksi untuk memperoleh pejantan pemacek unggul juga masih jarang dilakukan oleh peternak. Dari mana asal pejantan pemacek diperoleh, secara tidak langsung juga mempengaruhi kualitas keturunan ternak sapi di suatu wilayah. Tabel 4.10 menunjukkan asal pejantan pemacek yang digunakan oleh peternak. Dalam Tabel 4.10 terlihat bahwa di pulau Lombok 31,95% pejantan pemacek yang digunakan berasal dari dalam desa, 9,4% dari luar desa, 46,40% diperoleh dari pasar hewan, 9,40% menggunakan pejantan milik kelompok, dan 2,63% dari bantuan Dinas Peternakan. Besarnya tingkat pemakaian pejantan yang berasal dari dalam desa secara genetik akan menyebabkan tingkat inbreeding (kawin keluarga) yang tinggi. Peternak di desa-desa pada umumnya mengawinkan ternaknya dengan pejantan yang ada ditempat yang
26
terdekat bila pejantan tersebut sering dipakai secara bergantian dan berulangkali yang menyebabkan terjadinya kawin antar keluarga dekat. Tabel 4.10. Asal usul Pejantan Pemacek Kabupaten
Asal Pejantan Yang Digunakan Dari pasar Milik Luar Desa hewan Kelompok 0 30 11
Lombok Barat
Dalam Desa 34
Bantuan Dinas 2
Lombok Utara
32
1
8
0
0
Lombok Tengah
13
24
50
7
1
Lombok Timur P. Lombok % Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab.Bima P. Sumbawa
6 85 31.95 25 45 27 42 139
0 25 9.40 12 27 2 0 41
36 124 46.62 0 0 0 0 0
7 25 9.40 4 1 0 0 5
4 7 2.63 1 0 0 0 1
%
74.73
22.04
0
2.69
0.35
Pejantan Pemacek biasanya diperoleh dari anak sapi jantan yang diperoleh dari kelahiran sebelumnya yang dibesarkan hingga dewasa dan menjadi pejntan pemacek. Kondisi ini menyebabkan anak sapi yang sudah dewasa akan mengawini induk-induk sapi yang ada disekitarnya yang kemungkinan adalah induknya sendiri atau saudara sebapak atau saudara seinduknya. Perkawinan antar keluarga dekat pada suatu populasi ternak akan menyebabkan tingkat homozigositas yang tinggi terhadap genetik ternak. Tingginya tingkat homozigositas menyebabkan rendahnya nilai heterosis pada pertumbuhan keturunan ternak tersebut. Kondisi yang sama juga terjadi di pulau Sumbawa. Waktu perkawinan ternak sangat penting diperhatikan karena sangat berkorelasi dengan waktu kelahiran dan kematian pedet. Ketika waktu kelahiran terjadi pada musim kemarau, di mana terjadi kekurangan pakan, pada waktu itu banyak terjadi kematian pedet. Waktu perkawinan sapi yang umum terjadi tertera dalam Tabel 4.11. Dalam Tabel 4.11 terlihat bahwa perkawinan ternak sapi di pulau Lombok terdistribusi secara merata sepanjang tahun. Ini berarti bahwa di pulau Lombok tidak
27
terdapat musim kawin dan musim lahir pedet. Kondisi ini tidak terlepas dari sistem pemeliharaan, terutama dalam penyediaan pakan. Tabel 4.11. Waktu Perkawinan Ternak Sapi Bulan Kawin Jn Jl
Kabupaten
J
F
Mt
A
Mi
Ag
S
O
N
D
Lobar
2
2
3
1
2
8
5
1
4
1
4
2
KLU
13
4
4
14
9
4
2
2
5
2
4
17
Loteng
3
9
1
-
-
2
8
4
12
2
1
3
Lotim
1
-
-
-
-
1
-
-
-
4
-
1
P. Lbk
19
15
8
15
11
15
15
7
21
9
9
23
11.4
11
6
11
8.0
11
11
5.1
15.3
6.6
6.6
16.8
KSB
-
-
2
-
-
-
-
8
16
11
1
-
Sumbawa
-
1
-
-
-
25
38
3
8
6
2
3
Dompu
1
5
12
4
7
7
9
2
0
1
0
0
Bima
-
-
-
-
-
-
35
41
-
4
2
3
P. Sbw
1
6
14
4
7
32
82
54
24
23
5
6
%
%
0,39 2,33 5,43 1,55 2,71 12,40 31,78 20,93 9,30 8,91 1,94
2,33
Pemeliharaan sapi di P. Lombok umumnya dilakukan secara intensif (dikandangkan) sehingga penyediaan pakan relatif sama antara musim hujan dan musim kemarau. Berbeda halnya dengan di pulau Sumbawa yang menunjukkan bahwa sebagian besar sapi-sapi kawin pada bulan Juli dan Agustus, kondisi ini juga selanjutnya akan diikuti oleh musim lahir pedet yaitu kira-kira pada bulan Maret dan April. Perkawinan yang terpola diperkirakan berkaitan dengan sistem penggembalaan di mana ketika musim tanam berakhir pada bulan Juli dan Agustus sehingga banyak lahan-lahan pertanian dijadikan tempat penggembalaan sapi secara bersama-sama. Dalam penggembalaan bersama ini banyak terjadi perkawinan ternak sapi secara alami.
4.2.6. Kesehatan Ternak Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting dalam peternakan sapi, karena akan menyebabkan turunnya produksi dan produktivitas ternak, bahkan mengakibatkan kematian ternak, yang pada gilirannya akan merugikan peternak. Kematian ternak sapi sebagian besar terjadi ketika masih pada umur di bawah 1 tahun (pedet) (Tabel 4.12).
28
Tabel 4.12. Kematian Pedet dibawah 1 tahun dan 1 tahun ke atas Kab
Jml (ekor)
KLU Lobar Loteng Lotim P.Lbk KSB Sumbawa Dompu Bima P. Sbw NTB
142 284 312 310 1.048 644 1.289 744 1.266 3.943 4.991
<1th (ek) 7 15 16 27 65 52 71 35 99 257 322
Kematian >1th (ek) Jml (ek) 4 11 6 21 4 20 13 40 27 92 30 82 25 96 35 70 39 138 129 386 156 478
% 7,75 7,39 6,41 12,90 8,61 12,73 7,45 9,41 10,90 10,12 9,37
Dalam Tabel 4.12 terlihat bahwa kematian ternak sapi rata-rata di NTB sebanyak 9,37% per tahun, sebagaian besar (67%) mati ketika masih umur kurang dari 1 tahun (pedet) dan 33% mati setelah umur 1 tahun. Terdapat sedikit perbedaan antara persentase kematian sapi di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P. Lombok sebesar 8,61% sedangkan di P. Sumbawa 10,12%. Penyebab kematian pedet umumnya adalah mencret, cacingan, premature, kurang perawatan, tidak mau menyusui, dan tergelincir.
4.2.7. Pola Pemeliharaan Ternak Sistem pemeliharaan ternak sapi secara umum berbeda antara di wilayah P. Sumbawa dan di P. Lombok. Perbedaan pemeliharaan ini disebabkan oleh perbedaan geografi, topografi, dan iklim yang mempengaruhi sistem pertanian tanaman pangan. Di pulau Lombok, sebagian besar lahan pertanian ditanami secara intensif untuk tanaman pangan sehingga sangat sedikit lahan yang menganggur yang dapat digunakan sebagai padang penggembalaan. Oleh karena itu, pemeliharaan sapi umumnya dilakukan dengan dikandangkan terus menerus dengan menyediakan pakan secara cut and carry. Sebaliknya, di P. Sumbawa masih banyak lahan-lahan yang tidak digunakan secara intensif untuk tanaman pangan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai padang penggembalaan. Oleh karena itu, pemeliharaan sapi di P. Sumbawa umumnya dilakukan secara ekstensif (di lepas di padang penggembalaan umum). Kondisi pola pemeliharaan ternak sapi di NTB tertera pada Tabel 4.13.
29
Tabel 4.13. Pola pemeliharaan ternak sapi di NTB Digembalakan Terus Menerus (Ekstensif) -
Dikandangkan (Intensif)
Kabupaten Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur P. Lombok Persentase Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab. Bima P. Sumbawa Persentase
77 40 73 80 270 100 4 1 5 2,51
16 43 20 0 95 47,74
Campuran -
20 30 7 42 99 49,75
Pola Pemeliharaan ternak sapi dalam hal ini dikategorikan ke dalam sistem intensif, ekstensif, dan semi intensif (campuran intensif dan ekstensif). Pemeliharaan secara intensif yaitu pemeliharaan sapi
yang sepenuhnya dilakukan dengan cara
dikandangkan, sehingga kebutuhan pakan dan minum disediakan oleh peternak yang memeliharanya. Pola pemeliharaan ekstensif yaitu pemeliharaan ternak dengan sistem penggembalaan (grazing) di padang penggembalaan atau areal pertanian yang tidak ditanamai dengan tanaman produktif, sehingga pakan dan minum dipenuhi saat pengembalaan ternak. Sistem pemeliharan campuran adalah pemeliharaan sapi ketika siang hari sapi dilepas mencari pakan sendiri dan ketika malam hari sapi dikandangkan. Di pulau Lombok seluruh responden (100%) memelihara sapi dengan cara intensif yaitu dikandangkan terus menerus. Di pulau Sumbawa, pemeliharaan ternak sapi sebagian besar dilakukan secara ekstensif dan campuran, hanya 2,51% yang dilakukan secara intensif. Sistem
pemeliharaan
sapi
dapat
pula
digambarkan
melalui
sistem
perkandangan yang digunakan. Tabel 4.14 menggambarkan sistem perkandangan yang digunakan para peternak di NTB. Tabel 4.14 memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan pemeliharaan ternak sapi antara di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P. Lombok, sebagian besar peternak (86%) menggunakan kandang kolektif, hanya 14% 30
yang menggunkan kandang individual. Penggunaan kandang kolektif tersebut lebih ditujukan untuk pengamanan ternak dari pencurian. Sebaliknya, di P. Sumbawa para peternak lebih banyak menggunakan kandang individual (61%), lainnya yang 39% menggunakan kandang individual. Tabel 4.14. Sistem perkandangan yang digunakan pemeliharaan sapi
Lokasi Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur P. Lombok Persentase ( %) Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Kab. Bima P. Sumbawa Persentase (%)
Sistem Perkandangan Kandang Kolektif 64 28 78 76 246 85,71 13 62 3 78 38,94
Individual 14 12 11 4 41 14,29 27 75 25 127 61,06
Bentuk kandang sapi di pulau Lombok juga berbeda dengan kandang sapi di pulau Sumbawa, di mana di Pulau Lombok bangunan kandang lebih permanen dengan konstruksi kayu atau tiang beton dengan bahan atap dari alang-alang, asbes, atau genteng. Lantai kandangnya berupa campuran tanah pasir dan kerikil yang sudah dipadatkan bahkan lantai beton. Kandang sapi di pulau Sumbawa umumnya hanya berupa pagar keliling sekedar sebagai tempat mengumpulkan sapi pada malam hari atau pada saat siang hari sewaktu istirahat digembalakan. Pagar keliling kandang biasanya terbuat dari tanaman pagar hidup seperti kayu banten atau bambu yang dikelilingi dengan kawat berduri.
31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah: a.
Menurut data sementara Sensus Pertanian tahun 2013 (ST-2013), populasi sapi dan kerbau di NTB tercatat 726.900 ekor atau setara dengan sekitar 508.830 UT. Jika populasi kuda 60.466 UT dan kambing/domba 59.864 UT maka populasi ternak pemakan hijauan di NTB sebanyak sekitar 629.160 UT.
b.
Berdasarkan luas lahan sumber pakan yang tersedia, daya tampung wilayah NTB untuk pemeliharaan ternak pemakan hijauan mencapai 1.283.944 UT. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan populasi yang ada maka potensi pengembangan ternak pemakan hijauan di wilayah NTB masih sekitar 654.784 UT atau setara dengan sekitar 916.697 ekor sapi.
c.
Jumlah pemeliharaan ternak sapi rata-rata per peternak, untuk NTB sebanyak 9,10 ekor terdiri atas 3,12 ekor jantan dan 5,97 ekor betina; untuk Pulau Sumbawa ratarata 14,48 ekor terdiri atas 4,72 ekor jantan dan 9,76 ekor betina; untuk Pulau Lombok rata-rata 3,72 ekor terdiri atas 1,53 ekor jantan dan 2,19 ekor betina.
d.
Koefisien teknis ternak sapi perbibitan yang terkait dengan produksi dan reproduksi adalah sebagai berikut: 1). Sapi betina dikawinkan pertama di wilayah NTB umumnya di atas 2 tahun; 2). Jarak beranak di NTB rata-rata 12,7 bulan; terpendek 12 bulan dan terpanjang 15,25 bulan. Jarak beranak di wilayah P. Sumbawa (12,48 bulan) relatif lebih baik dari pada di wilayah P. Lombok (12,92 bulan). 3). Umur penyapihan pedet rata-rata di NTB 6,9 bulan. Umur penyapihan di wilayah P. Lombok (6,6 bulan) relatif lebih baik dari pada di P. Sumbawa (7,33 bulan). 4). Umur sapi induk diafkir di NTB rata-rata 10,71 tahun atau ketika sudah melahirkan 8-9 kali. Tidak banyak berbeda umur pengafkiran sapi induk antara di wilayah P. Sumbawa dan di P. Lombok. 5). Perkawinan ternak sapi di wilayah P. Sumbawa umumnya (98%) menggunakan sistem kawin alam. Di wilayah P. Lombok telah berkembang perkawinan ternak dengan kawin suntik, yaitu mencapai 30%, lainnya masih
32
dengan kawin alam. Baik dengan kawin alam maupun kawin suntik umumnya berhasil bunting 1-2 kali perkawinan/suntik. 6). Pejantan pemacek yang digunakan dalam
perkawinan
ternak sapi pada
umumnya milik kelompok. Di wilayah P. Lombok penggunaan pejantan milik kelompok mencapai 64% dan di P. Sumbawa 49%. Kemudian disusul oleh milik sendiri,
di P. Sumbawa mencapai 35%
dan di P. Lombok 24%.
Selebihnya menggunakan pejantan milik tetangga dan pejantan yang ada di padang penggembalaan. 7). Masa perkawinan ternak sapi berbeda antara di P. Lombok dan di P. Sumbawa. Di P. Lombok, perkawinan ternak terjadi merata sepanjang tahun atau dapat dikatakan tidak ada masa kawin. Di P. Sumbawa perkawinan ternak sapi banyak berlangsung pada bulan Juli dan Agustus yang umumnya terjadi pada padang penggembalaan umum. 5.2. Saran Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disarankan hal-hal berikut: a.
Oleh karena umur penyapihan pedet umumnya masih tinggi, sekitar 7 bulan, maka perlu dilakukan penyuluhan intensif kepada para peternak agar mereka bersedia menyapih pedetnya lebih awal, yaitu pada umur 3 s/d 4 bulan. Dalam kaitan ini tentu harus dibarengi dengan perbaikan manajemen pemeliharaan pedet setelah disapih.
b.
Perlu perbaikan manajemen perkawinan ternak sapi, terutama yang menggunakan sistem kawin alam harus diupayakan tidak terjadi inbreeding dan diupayakan menggunakan pejantan unggul. Manajemen kawin suntik juga perlu diperbaiki baik yang terkait dengan sarana-prasarana maupun kualitas inseminatornya.
c.
Walaupun calving interval hasil kajian cukup baik dan tingkat kematian pedet juga tergolong rendah, tetapi dalam menggunakannya dalam analisis perubahan populasi sebaiknya data tersebut digunakan sebagai data optimis. Artinya, perlu disusun analisis perubahan populasi dengan data calving interval dan kematian pedet yang lebih tinggi
sebagai analisis perubahan yang pesimis. Dengan
demikian dalam analisis perubahan populasi ada dua skenario, yaitu skenario optimis dan skenario pesimis.
33