i
M.A.S.T.E.R.P.L.A.N
KAWASAN PETERNAKAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
Kerjasama
FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM dengan
PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jl. Airlangga Nomor 56. Mataram Telp. (0370) 621862. Fax. (0370) 622658
2014
ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul: Masterplan Kawasan Peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). 2. Ketua Pelaksana a. Nama dan gelar b. NIP c. Pangkat/ Golongan d. Jabatan
: Prof. drh. Adji Santoso Dradjat, M.Phil., PhD. : 195505041983031003 : Guru besar/ IV-d : Profesor
3. Anggota Pelaksana a. Dr. Ir. Hermansyah. MSi. b. Dr. Ir. Mohammad Hasil Tamzil. MSi. c. Ir. I Putu Sudrana. MS. d. Ir. Uhud Abdullah MP.
Mataram,
Nopember 2014
Fakultas Peternakan UNRAM Mengetahui, Dekan
Ketua,
Prof. Ir. H. Yusuf Akhyar Sutaryono, PhD. NIP 196110251985031003
Prof. drh. Adji S Dradjat, M.Phil., PhD. NIP 195505041983031003
iii
SUSUNAN TIM Pelaksanaan penyusunan Masterplan Kawasan Peternakan di NTB ini
merupakan kerja sama antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Adapun susunan tim pelaksana sebagai berikut:
Penanggung Jawab
: Dekan Fakultas Peternakan Unram
Anggota 1
: Dr. Ir . Hermansyah, MSi
Ketua Tim Anggota 2 Anggota 3 Anggota 4
: Prof. Drh. Adji Santoso Dradjat, MPhil, Ph.D : Dr. Ir. Mohammad Hasil Tamzil, MS. : Ir. I Putu Sudrana, MS.
: Ir. Uhud Abdullah, MP.
iv
DAFTAR ISI Halaman pengesahan Susunan tim penyusun Daftar isi Daftar tabel Daftar gambar Daftar lampiran BAB I PENDAHULUAN BAB II METODE KAJIAN BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH BAB IV POTENSI PETERNAKAN NTB BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI KESIMPULAN Lampiran
ii iii iv v vii viii 1 4 9 16 28 74 76
v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Ibu Kota, Luas Wilayah, dan Ketinggian Dari Permukaan Laut Menurut Kabupaten/Kota. Tabel 3.2 Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Provinsi Nusa Tenggara barat tahun 2013. Tabel 3.3 Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Padi Sawah dan Ladang Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Tabel 3.4 Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Tabel 3.5 Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Kacang Tanah, Kacang Kedele Dan Kacang Hijau Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Tabel 3.6 Estimasi produksi dedak halus padi menurut kabupaten/kota di Nusa Tenggara Barat Tabel 3.7 Potensi Lahan Perkebunan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Tabel 3.8 Luas Kawasan Hutan Terhadap Daratan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Tabel 3.9 Produksi Ikan Menurut Kabupaten/Kota ahun 2008 – 2012 Tabel 4.1 Populasi ternak selama lima tahun terakhir di NTB Tabel 4.2 Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2013 Tabel 4.3 Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2013 Tabel 4.4 Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2013 Tabel 4.5 Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012 Tabel. 4.6 Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012 Tabel 4.7 Populasi ternak unggas menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2013 Tabel 4.8 Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012 Tabel 4.9. Perkembangan produksi daging lima tahun terakhir di NTB (dalam kg) Tabel 5.1 Populasi ternak pemakan hijauan/herbivora (ekor) di 10 kabupaten/kota di Provinsi NTB 2013 Tabel 5.2 Populasi ternak pemakan hijauan (UT) tahun 2013 di NTB Tabel 5.3 Populasi Penduduk Provinsi NTB Tabel 5.4 Nilai LQ Ternak Herbivora di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tabel 5.5 LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir. Tabel 5.6 Nilai LQ Ayam Petelur di NTB Lima Tahun Terakhir Tabel 5.7 Hasil Analisis LQ Ayam Pedaging di NTB Tabel 5.8 Nilai LQ Itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat Lima Tahun Terakhir. Tabel 5.9 Wilayah Potensial Pengembangan Ternak di NTB berdasarkan LQ Tabel 5.10 Nilai RPr dan RPs Sapi di NTB antara tahun 2009-2013 Tabel 5.11 Nilai RPr dan RPs Kerbau di NTB tahun 2009-2013 Tabel 5.12 Nilai RPr dan RPs Kuda di NTB antara tahun 2009-2013 Tabel 5.13 Nilai RPr dan RPs Kambing di NTB antara tahun 2009-2013 Tabel 5.14 Nilai RPr dan RPs Domba di NTB antara tahun 2009-2013 Tabel 5.15 Rincian Potensi pengembangan ternak herbivora di Provinsi NTB
9 10 11 11 12 13 14 15 15 16 18 19 19 20 21 22 23 24 28 29 30 31 33 35 38 40 42 44 45 46 47 48 49
vi
Tabel 5.16 Hasil Analisis Overlay terhadap Sapi di NTB Tabel 5.17 Hasil analisis overlay kerbau di NTB Tabel 5.18 Hasil analisis overlay kuda di NTB Tabel 5.19 Hasil analisis overlay ternak kambing di NTB Tabel 5.20 Hasil analisis overlay ternak domba di NTB Tabel 5.21. Tahapan pengembangan kawasan peternakan.
53 54 55 56 56 57
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1. Jumlah ternak herbivora di kabupaten/kota di NTB. Gambar 5.2. Nilai LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir Gambar 5.3. Hasil analisis LQ ayam petelur di NTB lima tahun terakhir. Gambar 5.4. Hasil Perhitungan LQ Ayam Pedaging di NTB Lima Tahun Terakhir. Gambar 5.5: Grafik LQ Ternak Itik di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir Gambar 5.6. Bagan tahapan pengembangan kawasan ternak di NTB Gambar 5.7. Skema perguliran Pejantan Hasil Uji Performan Gambar 5.8. Skema Perguliran Pejantan Langsung Gambar 5.9.: Lokasi pilot proyek komoditas ternak di NTB sesuai hasil kajian.
29 34 36 39 41 58 61 61 73
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran .1. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten Lombok Utara. Lampiran.2. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kabupaten Lombok Utara. Lampiran 3.Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) wilayah Kota Mataram. Lampiran 4. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan wilayah Kota Mataram. Lampiran. 5. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten Lombok Barat Lampiran 6. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Barat. Lampiran 7. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten Lombok Tengah. Lampiran 8. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Lombok Tengah. Lampiran 9. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten Lombok Timur Lampiran 10. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Timur Lampiran 11. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten Sumbawa Barat. Lampiran 12. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Sumbawa Barat Lampiran 13. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan di Kab Sumbawa Lampiran 14. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kab. Sumbawa Lampiran 15. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten Dompu. Lampiran 16. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Dompu. Lampiran 17. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan (ton BK) di Kab. Bima. Lampiran 18. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Bima. Lampiran 19. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kota Bima. Lampiran 20. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kota Bima. Lampiran 21. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di P Lombok
76 76 77 77 78 78 79 79 80 80 81 81 82 82 83 83 84 84 85 85 87
ix
Lampiran 22. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di P Lombok. Lampiran 23. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di wilayah P Sumbawa Lampiran 24. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di wilayah P Sumbawa. Lampiran 25. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di wilayah NTB Lampiran 26. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan
87 88 88 89 89
x
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT dipanjatkan karena berkat rahmat dan hidayahNya, maka penyusunan Masterplan Kawasan Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat terselesaikan. Masterplan ini disusun untuk menjadi panduan pengembangan peternakan di Propinsi NTB. Dengan terselesaikannya penyusunan Masterplan ini, tim penyusun mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi NTB yang telah memberikan kepercayaan kepada Fakultas Peternakan Unram untuk melaksanakan kegiatan ini. 2. Dekan Fakultas Peternakan Unram yang telah menugaskan kepada kami sebagai tim penyusun Masterplan. 3. Para dosen dan alumni Fakultas Peternakan Unram yang telah membantu dalam pengumpulan data. Kami berharap Masterplan ini dapat digunakan dan bermanfaat untuk penyusunan rencana pengembangan peternakan NTB.
Mataram, Nopember 2014 Ketua tim penyusun ,
Prof. drh. Adji Santoso Dradjat, M.Phil., PhD.
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa membutuhkan 750 juta piring nasi dan lauk pauk untuk dikonsumsi setiap hari. Kualitas makanan tersebut tergantung dari ada-tidaknya sayur dan daging atau telur pada makanan tersebut. Protein hewani sangat esensial bagi manusia karena mengandung asam animo utama (essential amino acids). Asam amino utama pada dasarnya tidak dapat disintesa oleh tubuh, oleh karena itu hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan protein yang mengandung asam amino esensial sebanyak 6 gram/ kapita/ hari, diperlukan produk peternakan yang dapat dipenuhi dari 3,87 gram daging, 1,54 gram telur dan 0,59 gram susu/ kapita/hari. Kebutuhan tersebut setara dengan 10,1 kg daging, 4,7 kg telur dan 6,1 kg susu/kapita/tahun. Kebutuhan terhadap produk peternakan berupa daging, susu dan telur meningkat dari tahun ke tahun, karena peningkatan pendapatan, pengetahuan tentang gizi makanan, standar hidup dan perbaikan kesejahteraan. Apabila suatu negara pada kurun waktu tertentu mengalami kekurangan protein hewani maka akan terjadi dua hal. Pertama, anak-anak yang otaknya sedang dalam perkembangan akan mengalami hambatan, sehingga apabila anak-anak tersebut mencapai usia dewasa otaknya tidak berkembang sempurna. Implikasinya adalah negara tersebut akan mengalami kerugian yang disebut dengan “loss generation”. Generasi tersebut ditandai oleh jaringan otaknya tidak berkembang sempurna sehinga produktivitas dan etos kerjanya relatif rendah. Kedua, orang dewasa yang mendapat asupan protein hewani yang rendah akan mempunyai etos kerja yang rendah dan daya pikir yang relatif rendah pula. Kemajuan suatu negara tergantung dari kualitas SDM-nya, dan kualitas SDM yang berkualitas tinggi pada saat pertumbuhan dan bekerja tergantung dari kualitas gizi makanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fondasi pengembangan SDM di samping ditentukan oleh unsur pendidikan juga sangat tergantung dari kualitas gizi makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan gizi rakyat Indonesia yang esensial adalah kebutuhan protein hewani, yaitu daging telur dan susu. Kebutuhan protein hewani yang sangat besar ini akan terpenuhi apabila pengembangan peternakan dirancang dengan baik. Pengembangan peternakan dapat dirancang apabila pengembangan dapat dilakukan berdasarkan daya dukung kawasan. Kawasan yang akan
2
dikembangkan sangat tergantung dari daya dukung, luas area berpotensi, sumberdaya manusia setempat dan potensi komoditas peternakan yang ada. Komoditas ternak yang dikembangkan di NTB adalah untuk hewan runinansia besar yaitu sapi dan kerbau, untuk hewan ruminansia kecil kambing dan domba, untuk unggas ayam dan itik baik pedanging dan petelur. Selama lima tahun terakhir populasi sapi terjadi peningkatan, akan tetapi populasi kerbau, kuda dan domba selama periode yang sama mengalami fluktuasi, sementara populasi kambing dan babi terjadi sedikit peningkatan. Disamping itu terjadi peningkatan populasi unggas baik ayam kampung, ayam ras dan itik. Di sisi lain, populasi penduduk NTB cenderung meningkat dari tahun ke tahun, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan juga meningkat. Oleh karena itu yang kemudian terjadi antara alih fungsi lahan, bahkan akan terjadi kompetisi kapasitas daya tampung lahan yang dihuni manusia dengan lahan yang dijadikan basis produksi peternakan. Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikaitkan dengan peningkatan permintaan produk hewani bagi manusia tersebut perlu diatur wilayah pengembangan kawasan sehingga pengembangan peternakan dapat dilakukan secara maksimal, tanpa terganggu oleh alih fungsi lahan.. Pemprov NTB memiliki lahan untuk pengembangan peternakan, yaitu terdapat di lima kabupaten dan kota di Pulau Lombok serta di lima kabupaten dan kota di Pulau Sumbawa. Pengembangan peternakan di NTB di kedua Pulau tersebut akan berhasil apabila dilakukan melalui perencanaan pengembangan wilayah peternakan sesuai dengan keunggulan komoditas yang dituangkan dalam Masterplan.
1.2. Tujuan Kajian Penyusunan masterplan kawasan peternakan NTB bertujuan untuk: a. Menganalisis potensi setiap kabupaten/kota dan mengindentifikasi potensi pengembangan peternakan tiap daerah. b. Menetapkan kawasan pengembangan peternakan. c. Menyusun strategi pengembangan kawasan peternakan dan kegiatan ikutannya.
3
1.3. Manfaat Kajian Manfaat dari kajian adalah: a. Bagi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, Master Plan ini dapat digunakan sebagai
pedoman dalam penyusunan perencanaan pengembangan
peternakan sesuai dengan potensi wilayah. b. Bagi para peternak, dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan dan mamantapkan pola peternakan rakyat. c. Bagi para pengusaha, dapat digunakan sebagai acuan dasar tentang potensi lahan, ternak dan SDM guna pengembangan industri peternakan di NTB.
1.4. Keluaran Kajian Keluaran dari kajian ini adalah dokumen hasil kajian yang intinya memuat data potensi daerah yang ada saat ini, potensi pengembangan berbagai komoditas ternak dan rencana pewilayahan pengembangan peternakan.
4
BAB II. METODE KAJIAN Kajian penyusunan Master Plan Kawasan Peternakan ini dilakukan menggunakan metode survei untuk menghimpun data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan stakeholder dan observasi di lapangan. Data sekunder dihimpun dari instansi terkait. Analisis data dilakukan secara diskriptif, analisis LQ, analisis daya tampung wilayah, analisis MRP, analisis overlay dan dilanjutkan dengan analisis SWOT. Rincian analisis penelitian adalah sebagai berikut: 2.1. Analisis Deskriptif Analisis Deskriptif dilakukan terhadap data mengenai: a. sumberdaya ternak (populasi, produksi, produktivitas), b. Sumberdaya manusia (peternak, pengusaha, dan petugas
pemerintah),
c.
Sumberdaya
alam
(sawah,
tegal,
kebun,
padang
penggembalaan, hutan, dll); d. Kelembagaan (kelompok tani-ternak, penyuluh, perkreditan, Puskeswan, dll). 2.2. Analisis LQ Analisis LQ (Location Quotient) atau analisis keadaan wilayah (sektor basis atau non basis). Dilakukan dengan menghitung perbandingan Si dan Ni. Si = Perbandingan antara populasi ternak tertentu per kabupaten dengan penduduk di wilayah yang sama, Ni = Perbandingan antara populasi ternak tertentu dengan jumlah penduduk di NTB. 2.3. Analisis Daya Tampung Wilayah Analisis daya tampung wilayah dilakukan dengan menghitung daya tampung wilayah berdasarkan ketersediaan sumber pakan. Menggunakan rumus sebagai berikut. a. PML = a LS + b LK + c LPR + d LH + e LKb.
PML = daya tampung optimal
berdasarkan lahan sumber pakan, LS = lahan sawah,
LK = lahan kering, LPR
= lahan padang rumput , LH = lahan hutan, LKb = lahan perkebunan. b. PMKK = d KK, PMKK = potensi optimal berdasarkan rumah tangga petani-
5
peternak, KK = jumlah rumah tangga petani-peternak, d = koefisien jumlah ternak yang dapat dipelihara per RTP. c. PPT = PML – Pop,
PPT = Potensi Pengembangan Ternak, PML = Potensi
Optimum Berdasarkan Lahan, Pop = Populasi riel.
d. PPTKK = PMKK – Pop, PPTKK = Potensi Pengembangan Ternak Berdasarkan KK, PMKK = Potensi Optimum.
Dasar perhitungan hijauan pakan 1. Hijauan alam bersumber dari: pematang sawah, pingiran jalan, padang penggembalaan, kawasan hutan dan lahan kosong 2. Limbah bersumber dari jerami padi (7,5 ton BK/ha), jagung (25 ton BK/ha), Kacang tanah dan kacang kedelai (5 ton/ha) singkong 2,5 ton/ha 3. Penggunaan limbah baru diperhitungkan 35% dari total produksi 4. Perhitungan didasarkan atas pedoman dari Direktorat Pakan Ditjennakkeswan 2.4. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Model rasio pertumbuhan dibagi ke dalam dua rasio yakni rasio pertumbuhan wilayah referensi (Provinsi NTB= RPl) dan rasio pertumbuhan wilayah studi (kabupaten= RPs). RPl merupakan perbandingan antara pertumbuhan output (jumlah populasi/komoditi) di wilayah studi (kabupaten) dibandingkan dengan pertumbuhan total output (populasi) di wilayah referensi. Formula yang dipakai untuk menghitung MRP adalah sebagai berikut: ∆ PiR / Pi Rt RPl
= ∆ PR / PRt
Keterangan: ∆ PiR PiRt ∆ PR PRt
= perubahan nilai total populasi ternak i di wilayah referensi (provinsi) = nilai populasi ternak i pada awal periode penelitian = perubahan nilai populasi di provinsi = nilai populasi pada awal periode penelitian
6
PiR (t + n) – (Pi Rt) ∆ PiR
= Pi Rt
PR (1 + n) – PRt ∆ PR
= PRt
RPs adalah perbandingan antara pertumbuhan output (populasi) ternak i di wilayah studi/kabupaten dengan pertumbuhan total output (populasi) ternak i di wilayah referensi (provinsi) dengan persamaan sebagai berikut:
∆ PiJ / Pij (t) RPs = ∆ PiR/PiR (t)
∆ Pij Pij(t) ∆ PiR PiR(t)
= perubahan jumlah populasi ternak di kabupaten = populasi ternak i di kabupaten tertentu pada awal penelitian = perubahan jumlah populasi ternak i di provinsi = populasi ternak i di provinsi pada awal periode penelitian
∆ Pij
=
Pij (t + n) – Pij (t) Pij (t)
PiR (t+n) – PiRt ∆ PiR = PiRt Jika nilai RPr lebih dari 1 maka RPr dapat dikatakan (+) yang menunjukkan bahwa populasi ternak tertentu dalam wilayah referensi (provinsi) lebih tinggi dari pertumbuhan jumlah populasi total di wilayah penelitian (kabupaten). Sebaliknya jika nilai PRt lebih kecil dari 1 maka PRr dikatakan (-)
7
yang berarti jumlah populasi ternak tertentu di wilayah referensi lebih sedikit dibandingkan wilayah penelitian. Begitu juga dengan nilai Rps yang lebih besar dari 1 maka RPs dikatakan (+) yang menunjukkan pertumbuhan populasi ternak tertentu di wilayah studi (kabupaten) lebih tinggi dari pertumbuhan nilai produksi komoditi yang sama di wilayah referensi (provinsi) dan sebaliknya jika RPs lebih kecil dari 1 maka RPs dikatakan negatif. Dari analisis model ratio pertumbuhan (MRP) diperoleh nilai riil dan nilai nominal. Selanjutnya dengan mengombinasikan kedua perbandingan nilai tersebut akan diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial pada tingkat wilayah penelitian dengan empat klasifikasi, meliputi: a. Klasifikasi I yakni RPr (+) dan RPs (+), artinya komoditi tersebut pertumbuhannya dominan, baik pada wilayah kabupaten maupun pada wilayah studi (provinsi). b. Klasifikasi II
yaitu RPr (+) dan RPs (-), artinya komoditi tersebut
pertumbuhannya menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi (kabupaten). c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya komoditi tersebut mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun potensial dikembangkan di wilayah studi (kabupaten). d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), artinya komoditi tersebut tidak mempunyai pertumbuhan yang memadai baik di wilayah referensi maupun wilayah studi.
2.5. Analisis Overlay Analisis Overlay adalah teknik yang digunakan peneliti untuk mengambil sebuah kesimpulan dengan menggabungkan lebih dari satu hasil analisis yakni hasil analisis Location Quition (LQ), analisis MRP dan analisis daya dukung wilayah dan atau pakan. Penggabungan ketiga analisis itu kemudian diperoleh ternak yang karena faktor tertentu populasinya berkembang baik serta ditopang daya dukung pakan yang
8
tersedia di wilayah tersebut hingga populasinya surplus, dan atau sebaliknya. Analisis overlay dalam studi ini hanya mengkaji potensi pengembangan ternak pemakan hijauan (herbivore), tidak menganalisis potensi ternak unggas. Pada Analisis Overlay, terdapat beberapa kemungkinan hasil kombinasi, sbb: A). DD (+), MRP (+), LQ >1 (+), ada kecenderungan komoditi tersebut punya daya dukung, tumbuh dominan dan surplus. B). DD (+), MRP (+), LQ >1 (-), ada kecenderungan komoditi tersebut punya daya dukung dan tumbuh dominan C). DD (+), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut punya daya dukung dan surplus D). DD (+), MRP (-), LQ >1 (-), komoditi tersebut hanya tercatat punya daya dukung E). DD (-), MRP (+), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut tumbuh dominan dan surplus. F). DD (-), MRP (+), LQ >1 (-), komoditi tersebut hanya tumbuh dominan. G). DD (-), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut mengalami surplus.
2.5. Analisis SWOT Keempat dilakukan analisis SWOT. Data yang didapat dianalisis menggunakan Analisis SWOT yang digunakan untuk menyusun strategi pengembangan kawasan peternakan bagi seluruh kabupaten/kota di NTB.
9
BAB III. GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Kondisi Geografi Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 280 buah pulau yang dua di antaranya adalah pulau besar yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, terletak antara 115046’ – 11905’ BT dan 8010’ – 905’ LS dengan luas wilayah 20.153,20 km2 serta Mataram sebagai ibu kota. Dari letak geografi, wilayah NTB berbatasan dengan Laut Jawa dan Laut Flores di bagian utara, Samudera Hindia di bagian selatan, Selat Lombok/Propinsi Bali di bagian barat, dan di timur berbatasan dengan Selat Sape/Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu, NTB memiliki 16 buah gunung yang tersebar di Pulau Lombok berjumlah 7 (tujuh) buah dengan Gunung Rinjani yang tertinggi (3.726 m dpl) dan 9 (sembilan) buah terdapat di Pulau Sumbawa dengan Gunung Tambora yang tertinggi (2.851 m dpl). NTB terdiri dari 10 wilayah administrasi kabupaten dan kota yang ibu kota, luas wilayah, dan ketinggian dari permukaan laut tercantum pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Ibu Kota, Luas Wilayah, dan Ketinggian Dari Permukaan Laut Menurut Kabupaten/Kota. Luas Wilayah Tinggi No. Kabupaten/Kota Ibu Kota 2 (mdpl) Km % 1. Lombok Barat Gerung 1.053,92 5,23 15 2. Lombok Tengah Praya 1.208,40 6,00 107 3. Lombok Timur Selong 1.605,55 7,97 166 4. Sumbawa Sumbawa Besar 6.643,98 32,97 18 5. Dompu Dompu 2.324,60 11,53 60 6. Bima Raba 4.389,40 21,78 21 7. Sumbawa Barat Taliwang 1.849,02 9,17 11 8. Lombok Utara Tanjung 809,53 4,02 12 9. Kota Mataram Mataram 61,30 0,30 27 10. Kota Bima Raba 207,50 1,03 21 Total 20.153,20 100 Sumber: BPS NTB, 2013.
10
Untuk kelancaran pergerakan atau perpindahan setiap objek antar provinsi di Indonesia atau mancanegara maupun dalam provinsi NTB, NTB memiliki sarana dan prasarana transportasi baik udara maupun laut.
3.2. Wilayah Administrasi Secara administrasi, NTB terdiri dari 2 (dua) kota, 8 (delapan) kabupaten (Tabel 3.2) dan 1.146 desa/kelurahan. Tabel 3.2. Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2013. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kabupaten/Kota Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Lombok Utara Kota Mataram Kota Bima
Kecamatan 10 12 20 24 8 18 8 5 6 5
Jumlah Desa/Kelurahan 122 139 254 166 81 198 65 33 50 38
Sumber, BPS NTB, 2013
3.3. Pertanian Luas panen, rata-rata prodduksi dan produksi padi sawah dan ladang disajikan pada Tabel 3.4. Terlihat bahwa produksi padi di NTB mencapai 1,7 juta - 2,1 juta ton dengan produksi 46-53 kwintal/ha sawah. Berikutnya rata-rata produksi jagung, ubi kayu dan ubi jalar tertera pada Tabel 3.5. Produksi kacang tanah, kedelai dan kacang hijau disajikan pada Tabel 3.6. Luas sawah yang yang ditanami dua kali dan satu kali, tidak ditanami dan yang ditanami dengan tanaman lain disajikan pada Tabel 3.3, dan luas kebun yang belum dimanfaatkan disajikan pada Tabel 3.4.
11
Tabel 3.3. Luas Panen, Rata-rata Produksi dan Produksi Padi Sawah dan Ladang Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Luas anen Rata2 Produksi Produksi No Kabupaten/Kota (Ha) (Kw/Ha) (Ton) 1 Lombok Barat 32.086 49,07 157.445 2 Lombok Tengah 88.356 48,84 431.549 3 Lombok Timur 71.423 50,34 359.564 4 Sumbawa 86.024 48,65 418.489 5 Dompu 35.435 46,98 166.459 6 Bima 69.135 51,80 358.127 7 Sumbawa Barat 17.884 53,43 95.548 8 Kota Mataram 5.115 53,43 27.328 9 Kota Bima 7.471 51,12 38.189 10 Lombok Utara 12.519 49,15 61.533 Jumlah 425.448 49,69 2.114.231 Tahun 2011 418.062 49,45 2.067.137 Tahun 2010 374.284 47,41 1.774.499 Tahun 2009 374.279 49,98 1.870.775 Tahun 2008 359.714 48,67 7.750.677 Sumber: BPS NTB, 2013; dimodifikasi
Tabel 3.4. Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Jagung No Kabupaten/Kota
Luas Panen (Ha)
Ubi Kayu
Ubi Jalar
Rata2 Luas Rata2 Luas Rata2 Produksi Produksi Produksi Produksi Panen Produksi Panen Produksi (Ton) (Ton) (Ton) (Kw/Ha (Ha) (Kw/Ha (Ha) (Kw/Ha
1 Lombok Barat
4.515
53,07
23.960
428
129,83
5.557
240
120,83
2.900
2 Lombok Tengah
3.100
54,92
17.025
835
129,84
10.841
131
127,02
1.664
3 Lombok Timur
15.163
56,69
85.960
1.132
134,43
15.217
246
117,95
2.902
4 Sumbawa
35.234
54,60
192.391
321
131,95
4.236
79
126,65
1.001
5 Dompu
27.905
54,94
153.305
55
130,52
718
94
115,12
1.082
6 Bima
18.273
55,54
101.482
1.012
131,21
13.279
57
118,62
676
7 Sumbawa Barat
5.113
53,71
27.462
104
132,34
1.376
10
119,60
119
--
--
--
--
--
--
--
--
--
9 Kota Bima
1.351
56,15
7.586
94
128,79
1.211
5
113,53
57
10 Lombok Utara
6.376
52,54
33.503
1.998
135,32
27.037
328
118,98
2.832
Jumlah
117.030
54,92
642.674
5.979
132,92
79.472
1.100
120,30
13.233
8 Kota Mataram
Sumber: BPS NTB, 2013; dimodifikasi
12
Adapun luas panen dan produksi tanaman kacang tanah, kacang kedele dan kacang hijau menurut kabupaten/kota tahun 2012 adalah seperti tersaji pada Tabel 3.5. Berdasarkan data pada Tabel 3.5. nampak bahwa kacang tanah terutama diproduksi petani di Kabupaten Bima, Lombok Utara dan Lombok Tengah. Kemudian kedele terutama diproduksi petani di Kabupaten Bima, Lombok Tengah dan di Kabupaten Dompu. Adapun tanaman kacang hijau kebanyakan dihasilkan petani di Kabupaten Sumbawa, Dompu dan Sumbawa Barat. Selengkapnya mengenai produksi ketiga komoditas holtikultura NTB tersebut tersaji pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Kacang Tanah, Kacang Kedele Dan Kacang Hijau Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Kota Mataram Kota Bima Lombok Utara
Kacang Tanah Luas Rata2 Produksi Panen Produksi (Ton) (Ha) (Kw/Ha 1.705 17,57 2.996 4.182 15,23 6.370 1.137 15,59 1.772 937 10,60 990 457 12,77 583 9.902 13,59 13.453 166 9,69 161 ---217 13,93 302 6.808 18,01 12.263
Kacang Kedele Luas Rata2 Produksi Panen Produksi (Ton) (Ha) (Kw/Ha 2.851 11,66 3.323 19.473 12,58 24.501 839 13,62 1.142 1.128 10,00 3.128 10.607 11,18 11.862 21.659 11,54 24.995 1.469 9,92 1.457 379 10,56 400 2.480 13,48 3.343 3 10,56 3
Kacang Hijau Luas Rata2 Produksi Panen Produksi (Ton) (Ha) (Kw/Ha 371 11,62 431 347 11,36 394 730 11,70 854 17.311 12,40 21.457 5,330 11,79 6.282 1,771 13,00 2.302 1,871 12,72 2.381 3 11,38 3 13 10,35 13 28 12,42 35
Jumlah Tahun 2011 Tahun 2010 Tahun 2009 Tahun 2008
25.508 26.319 25.044 28.750 25.541
62.888 75,042 86,649 87,920 76,154
27.775 45.351 45.511 34.536 40.017
No Kabupaten/Kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
15,25 14,42 13,44 13.43 12.67
38.890 37.964 33.666 38.615 32.348
11,79 11.74 10.75 10.90 12.49
74.154 88.100 93.122 95.846 95.106
12.30 10.99 9.78 9.93 11.18
34.152 50.702 50.012 33.774 39.756
Sumber, BPS NTB, 2013 dimodifikasi
3.3.1. Potensi Sumber Daya Pakan Unggas Daerah Nusa Tenggara Barat mempunyai potensi yang cukup besar untuk penyediaan bahan pakan untuk pengembangan ternak unggas (ayam ras petelur, ayam ras pedaging, ayam buras dan ternak itik). Bahan utama pakan sumber energi ternak
13
unggas adalah dedak dan jagung, sedangkan bahan utama sumber protein adalah tepung ikan dan tepung atau bungkil kedelai.
3.3.1.1. Potensi Dedak Halus Dedak halus merupakan limbah dari penggilingan gabah menjadi beras. Jumlah dedak halus yang dihasilkan mencapai angka 2,5%. Dengan demikian potensi pengadaan dedak halus sebagai sumber energi sangat tinggi. Data statistik tahun 2012 melaporkan bahwa luas panen padi pada tahun 2012 mencapai 56.688 Ha dengan rata-rata produksi per Ha mencapai 37,77 kw dengan total produksi padi mencapai 2.114.231ton (Tabel 3.4). Bila diasumsikan bahwa produksi dedak halus rata-rata 2,5% maka pada tahun 2012 daerah Nusa Tenggara Barat menghasilkan dedak halus sebesar 10.636,2 ton (Tabel 3.6). Tabel 3.6. Estimasi produksi dedak halus padi menurut kabupaten/kota di NTB Kabupaten/Kota Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Sumbawa Barat Kota Mataram Kota Bima Lombok Utara Total
Produksi Dedak (ton) 802,15 2.208,9 1.785,575 2.150,6 8.85,875 1.728,375 447,1 127,875 186,775 312,975 10.636,2
3.3.1.2. Potensi Jagung Produksi jagung NTB meningkat sejak 2008, dan pada tahun 2013 produksi jagung NTB mencapai 633.773 ton. Rincian produksi jagung NTB tahun 2012 per kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.4. Data ini memberikan informasi bahwa produksi jagung tertinggi di NTB terdapat di Kabupaten Sumbawa, Dompu, Bima, Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, Lombok Barat, Lombok Tengah dan Kota Bima. Mataram tidak mempunyai berkontribusi memproduksi jagung.
14
3.3.1.3. Potensi Kedelai Tepung kedelai atau bungkil kedelai merupakan bahan utama penyusunan pakan unggas sebagai sumber protein nabati. Produksi kedelai pada tahun 2008 di Nusa Tenggara Barat mencapai 95.106 ton, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 95.846 ton, namun pada tahun 2010 menurun menjadi 94.122 ton, tahun 2011 menurun menjadi 88.100 ton. Produksi kedelai NTB tahun 2012 disajikan pada Tabel 3.5. Data pada Tabel 3.5 menunjukkan bahwa sentra utama penghasil kedelai NTB berturut-turut adalah Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu dengan angka produksi mencapai 50% lebih dari total produksi kedelai di NTB. 3.4.
Perkebunan Potensi perkebunan NTB tersaji pada Tabel 3.7. berikut: Tabel 3.7. Potensi Lahan Perkebunan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Dimanfaatkan (Ha) No Kabupaten/Kota Total Belum Sudah Ha %* 1 Lombok Barat 69.312,81 24.024,19 25,73 93.377,00 2 Lombok Tengah 54.828,23 42.251,77 43,52 97.080,00 3 Lombok Timur 10.030,17 51.164,83 32,97 155.195,00 4 Sumbawa 145.470,38 22.317,12 13,30 167.787,50 5 Dompu 33.506,91 17.663,84 34,52 51.170,75 6 Bima 43.606,88 23.406,12 53,68 67.013,00 7 Sumbawa Barat 26.255,25 4.275,50 14,00 30.530,75 8 Kota Mataram 899,26 50,74 5,34 950,00 9 Kota Bima 370,23 1.879,77 83,54 2.250,00 10 Lombok Utara 0.00 31.311,29 100.00 31.311,29 Jumlah 478.280,12 218.345,17 31.34 696.625,29 Tahun 2011 484.054.16 211.724,65 30.43 695.778,81 Tahun 2010 447.737.56 217.576,44 32.70 665.314,00 Tahun 2009 451.592.00 213.721,00 32.12 665.313,00 Tahun 2008 457,441.90 207,872.10 31.24 665,314.00 Sumber: BPS NTB, 2013
*dari luas total
Tanaman perkebunan yang ditanam adalah jarak pagar, jarak kepyar, tembakau, wijen, tebu, kemiri, lontar, vanili, lada, kapuk, asam, kakao, pinang, mete, cengkeh, kelapa dan kopi.
15
3.5. Kehutanan Luas hutan di NTB meliputi 53.18% dari luas daratan. Hutan kritis lebih 400 ribu ha. Tabel 3.8. Luas Kawasan Hutan Terhadap Daratan Menurut Kabupaten/Kota Thn.2012 Luas (Ha) Persen Luas Lahan Hutan No Kabupaten/Kota (%) Kritis (Ha) Daratan Hutan 1 Lombok Barat 105.392,00 41.981,94 39.83 12.147,41 2 Lombok Tengah 120.840,00 20.334,30 16.83 8.356,06 3 Lombok Timur 160.555,00 64.508,67 40.18 26.528,27 4 Lombok Utara 80.953,00 36.518,12 45.11 14.638,89 5 Sumbawa Barat 184.902,00 125.335,76 67.78 28.534,37 6 Sumbawa 664.398.00 389.675,35 58.65 129.275,57 7 Dompu 232.460.00 139.892,98 60.18 63.841,22 8 Bima 438.940.00 250.396,42 57.05 157.193,23 9 Kota Bima 20.750.00 3.079,33 14.84 3.849,17 10 Kota Mataram 6.130.00 0 0 0 Jumlah 2.015.320,00 1.071.722,87 53,18 444.409,19 Sumber: BPS NTB, 2013 dimodifikasi 3.6. Perikanan Pada bidang perikanan (Tabel 3.9), dapat dilihat bahwa produksi ikan di NTB mencapai 98 ribu ton per tahun dan produksi yang tertinggi di Kabupaten Sumbawa, diikuti Bima, berikutnya Lombok Barat dan Lombok Timur. Tabel 3.9. Produksi Ikan Menurut Kabupaten/Kota tahun 2008 – 2012 No
Kabupaten/Kota
2012 2011 Lombok Barat 9,361.6 9,202.4 Lombok Tengah 1,662.4 1,645.7 Lombok Timur 12,585.2 13,095.3 Sumbawa 44,536.0 43,176.6 Dompu 21,940.2 37,659.6 Bima 29,200.9 21,986.8 Kota Mataram 1,521.0 1,764.2 Kota Bima 2,062.8 1,483.7 Sumbawa Barat 3,337.3 3,084.3 Lombok Utara 6,640.6 7,071.3 Jumlah 132,648.0 140,169.9 Sumber: BPS NTB, 2013 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 2010 9,211.1 1,469.4 15,683.5 41,099.0 6,631.7 24,592.9 1,706.9 1,373.5 3,133.6 6,980.9 111,882.4
2009 9,174.8 1,442.0 15,402.8 38,785.9 5,328.1 17,786.4 1,605.7 1,305.9 3,016.0 5,411.94 99,259.4
2008 13,785.2 1,173.5 13,683.8 36,987.4 2,075.2 20,860.9 2,843.6 3,965.5 2,875.6 0 98,979.7
16
BAB IV. POTENSI PETERNAKAN NTB 2.5. Populasi dan Komoditas Ternak Di NTB Komoditas peternakan di NTB dapat dikelompokkan menjadi hewan besar, hewan kecil dan unggas. Hewan besar terdiri dari kuda, sapi dan kerbau, hewan kecil meliputi kambing, domba dan babi. Unggas terdiri dari ayam buras (bukan rasa atau ayam kampung), ayam ras dan itik. Data Statistik NTB dalam Angka 2013 menunjukkan populasi hewan besar yaitu kuda sebanyak 75.293 ekor, sapi 1.002.731 ekor dan kerbau 138.393 ekor dan populasi hewan kecil yaitu kambing 584.149 ekor, domba sebesar 31.160 ekor dan babi sebesar 55.615 ekor (Tabel 4.1). Untuk unggas ayam buras sebesar 5.486.144 ekor, ayam ras 5.221.478 ekor dan itik 1.088.350 ekor. Tabel 4.1. Populasi ternak selama lima tahun terakhir di NTB Jenis ternak
2009
2010
2011
2012
2013
Kuda 77,837 76,622 72,909 77,520 75,293 Sapi 592,875 695,951 784,019 916,560 1,002,731 Kerbau 155,307 155,904 141,511 144,261 138,393 Kambing 439,989 490,830 579,250 627,282 584,149 Domba 25,878 29,539 37,500 37,875 31,160 Babi 49,316 54,066 48,051 62,766 55,615 Ayamburas 4,335,130 4,493,288 4,358,440 5,014,749 5,486,144 Ayam Ras 1,894,146 3,209,632 3,428,656 3,846,085 5,221,478 Itik 520,221 568,122 605,362 831,010 1,088,350 Keterangan: r = pertumbuhan rata-rata per tahun Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014)
R -0.74 14.09 -2.74 7.75 6.09 4.43 6.28 31.05 21.00
Peningkatan perkembangan populasi yang sangat cepat terjadi pada unggas di NTB. Peningkatan populasi yang tertinggi selam lima tahun berturut turut yaitu ayam ras, diikuti ayam buras dan itik. Peningkatan populasi pada hewan besar terlihat pada sapi dan pada hewan kecil pada kambing, walaupun terjadi penurunan pada tahun terakhir. Pada tahun 2013 jumlah ruminansia besar di NTB, yaitu sapi sebesar 1.002.731 ekor, jumlah
kerbau 138.393 ekor, jumlah kuda sebesar 75.293 ekor.
Jumlah ternak kecil seperti kambing sebesar 584.149 ekor, domba 31.160 ekor, babi
17
55.615 ekor. Berikutnya jumlah unggas di NTB tahun 2013 yang terdiri dari ayam buras 5.486.144,
ayam ras petelur (layer) 201.127 ekor, ayam broiler berjumlah
5.020.351ekor dan itik sebesar 1.088.350 ekor. Tabel 4.1 menunjukkan semua jenis ternak mengalami perkembangan positif, kecuali kuda dan kerbau. Ternak yang perkembangan populasinya cukup tinggi lima tahun terakhir (2009-2013) adalah ayam ras 31,05%, itik 21%, ayam buras 6,28%, sapi 14,09% dan kambing 7,75%. Populasi ternak yang relatif kecil pertumbuhannya adalah domba 6,09% dan babi 4,43%. Populasi kuda menurun 0,74% dan kerbau 2,74%. Pertumbuhan populasi kerbau dan kuda menurun tidak terlepas dari adanya program Bumi Sejuta Sapi (BSS) yang dimulai tahun 2009. Oleh karena sebagian besar sumberdaya dikonsentrasikan pada pengembangan sapi maka ternak kerbau dan kuda kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu kedua jenis ternak ini, ke depan juga perlu mendapat perhatian, minimal guna menjaga kestabilan populasinya. Pulau Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan kerbau sehingga Kabupaten Sumbawa ditetapkan sebagai salah satu lokasi pengembangan ternak kerbau nasional. Untuk kambing, diarahkan pada peningkatan produktivitas dalam rangka meningkatkan produksi daging dan susu. Kuda lebih diarahkan pada peningkatan produktivitas baik sebagai ternak kerja, ternak perah, maupun ternak potong, bukan peningkatan populasinya. Ayam buras perlu diperhatikan perkembangannya, karena selain ayam buras sebagai sumber produksi telur juga merupakan bahan baku restoran ayam Taliwang yang merupakan makanan khas di Pulau Lombok. Disisi lain, ayam buras merupakan ternak peliharaan rumah tangga pedesaan sebagai pendukung ketahanan ekonomi rumah tangga, karena mudah pemeliharaannya, mudah diuangkan, dan dapat dikatakan tanpa biaya produksi. Itik juga perlu mendapat perhatian karena itik adalah sumber produksi telur sebagai bahan baku industri telur asin. Sebagaimana diketahui telur asin merupakan makanan khas sebagai cinderamata/oleh-oleh baik bagi wisatawan domestik yang berkunjung ke Lombok maupun bagi warga NTB yang berkunjung ke sanak keluarga ke luar daerah. Dengan kata lain peternakan itik dan juga ayam buras sangat penting peranannya dalam mendukung pariwisata di NTB. Kondisi di lapangan
18
menunjukkan bahwa ketersediaan telur itik untuk bahan baku telur asin semakin berkurang. Demikian pula ketersediaan ayam buras sebagai bahan baku restoran “Ayam Taliwang” dirasakan semakin berkurang. Hal ini karena kurangnya program pengembangan perunggasan, khususnya itik dan ayam buras, pada Dinas/Instansi terkait baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Populasi sapi meningkat cukup besar setiap tahun sejak tahun 2008. Peningkatan populasi sapi sesuai dengan tujuan program BSS-NTB untuk mencapai populasi lebih dari satu juta ekor pada tahun 2013. Pertumbuhan populasi ternak kerbau dan kuda nampak datar cenderung menurun yang menunjukkan bahwa populasi ternak tersebut cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ternak kerbau perlu mendapat perhatian karena selain dapat mensubstitusi ternak sapi, ternak kerbau merupakan ternak khas Kabupaten Sumbawa yang telah menjadi aset nasional. Perkembangan populasi ternak sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara populasi ternak jantan dan betina. Untuk menghasilkan populasi yang maksimal, harus diupayakan agar perbandingan jumlah pejantan dan betina induk optimal. Sebagai contoh, apabila program pengembangan sapi dilakukan dengan sistem perkawinan alam, maka perbandingan antara jumlah induk dan jumlah pejantan sebaiknya sekitar 20:1. Populasi sapi, kerbau, kambing, dan domba yang berjenis kelamin betina mencapai antara 64-76%. Hal ini cukup kondusif untuk perkembangan populasi ternak tersebut. Dengan semakin banyak ternak betina diharapkan jumlah anak-beranaknya akan semakin banyak sehingga secara langsung akan meningkatkan populasi.
Tabel 4.2. Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2013 Jenis Ternak Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
Jantan (ekor) 331.061 50.448 35.907 212.272 9.196 31.320
Betina (%) 36,12 34,97 46,32 33,84 24,28 49,90
(ekor) 585.499 93.813 41.613 415.010 28.679 31.446
(%) 63,88 65,03 53,68 66,16 75,72 50,10
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
Jantan & Betina (ekor) 916.560 144.261 77.520 627.282 37.875 62.766
19
Selain jenis kelamin, struktur umur juga menentukan perkembangan populasi ternak. Populasi ternak di NTB menurut struktur umur tertera pada Tabel 4.3 Tabel 4.3. Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2013 Jenis Ternak
Anak
Muda
Dewasa
Jumlah
(ekor)
(%)
(ekor)
(%)
(ekor)
(%)
(ekor)
230.698
25,17
240.964
26,29
444.990
48,55
916.560
Kerbau
32.834
22,76
35.632
24,7
75.795
52,54
144.261
Kuda
11.868
15,31
13.721
17,7
51.938
67,00
77.520
184.484
29,41
170.307
27,15
272.429
43,43
627.282
8.245
21,77
8.333
22
21.297
56,23
37.875
27.234
43,39
24.184
38,53
11.348
18,08
62.766
Sapi
Kambing Domba Babi
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014) Tabel 4.3 menunjukkan ternak dewasa menempati proporsi terbanyak, yaitu sekitar 50%, sedangkan ternak muda dan anak relatif sama, masing-masing sekitar 25%. Khusus pada sapi, ternak dewasa 48,55%; muda 26, 29% dan anak 25,17%. Struktur umur ini cukup ideal untuk perkembangan populasi tahun-tahun mendatang. Pada Tabel 4.4 disajikan data populasi ternak betina menurut umur. Data ini sangat menentukan perkembangan populasi ternak di masa mendatang. Tabel 4.4. Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2013 Jenis ternak Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi
Anak (ekor) (%)
Muda (ekor) (%)
Dewasa (ekor) (%)
Jumlah (ekor)
119.886
20,47
114.662
19,58
351.042
59,95
585.590
17.441
18,59
19.908
21,22
56.464
60,19
93.813
6.163
14,81
7.093
17,05
28.357
68,15
41.613
105.509
25,42
103.188
24,86
206.313
49,71
415.010
4.776
16,65
6.700
23,36
17.203
59,98
28.679
11.800
37,53
12.126
38,56
7.519
23,91
31.446
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014)
20
Semakin besar proporsi ternak betina dewasa semakin banyak pula jumlah anak yang dihasilkan. Data pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kecuali ternak babi, proporsi populasi ternak terbanyak (sekitar 60%) adalah induk, sekitar 20% muda (bibit) dan 20% adalah anak. Proporsi demikian cukup baik untuk perkembangan populasi ke depan, dengan catatan ternak muda yang berkualitas diprioritaskan sebagai ternak bibit pengganti induk atau pengganti pejantan. Oleh karena itu, kebijakan pengendalian pengeluaran ternak betina bibit perlu mendapat perhatian. Keadaan populasi berdasarkan pulau dan kabupaten/kota sangat diperlukan untuk penyusunan perencanaan pengembangan ternak sesuai dengan daya dukung wilayah. Populasi ternak besar, ternak kecil, dan unggas di NTB adalah sebagai berikut: Tabel 4.5. Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kab./Kota/Pulau Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Jumlah P. Lombok Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima Jumlah P. Sumbawa TOTAL
Sapi (ekor) 1.994 80.881 76.086 137.200 110.979 407.140 54.393 197.141 96.205 148.089 13.592 509.420 916.560
Kerbau (ekor) 22 8.564 435 18.894 4.864 32.779 13.264 54.022 20.411 23.072 713 111.482 144.261
Kuda (ekor) 754 4.026 612 2.361 5.277 13.030 5.787 39.660 8.119 8.483 2.441 64.490 77.520
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013) Tabel 4.5 menunjukkan bahwa populasi ternak besar di Pulau Sumbawa lebih banyak dibandingkan di Pulau Lombok. Populasi ternak sapi di Pulau Sumbawa sebanyak 509.420 ekor (55,58%) sedangkan di Pulau Lombok 407.140 ekor (44,42%). Ternak kerbau di Pulau Sumbawa sebanyak 111.482 ekor (77,28%) sedangkan di P. Lombok sebanyak 32.779 ekor (22,72%). Ternak kuda juga jauh lebih banyak di P.
21
Sumbawa 64.490 ekor (83,19%) dari pada di Pulau Lombok 13.030 ekor (16,81%). Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan ternak besar di NTB karena masih terdapat padang penggembalaan yang luas. Populasi ternak kecil di NTB adalah sebagai berikut (Tabel 4.6 ). Tabel. 4.6. Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB No Kab./Kota/Pulau 1 Mataram 2 Lombok Barat 3 Lombok Utara 4 Lombok Tengah 5 Lombok Timur Jumlah P. Lombok 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima Jumlah P. Sumbawa TOTAL
Kambing (ekor) 2.346 40.297 28.208 76.076 77.263 224.190 16.149 38.368 62.889 270.332 15.355 403.093 627.282
Domba (ekor) 11 2.955 632 7.623 11.221 1.711 1.617 78 21.458 571 25.435 37.875
Babi (ekor) 1.692 34.196 8.089 1.250 25 45.252 500 7.764 4.154 12.418 62.766
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013) Seperti halnya pada ternak besar, populasi ternak kecil (kambing dan domba) di Pulau Sumbawa juga lebih banyak dibandingkan di Pupau Lombok (Tabel 4.6). Populasi kambing di Pulau Sumbawa tercatat 403.093 ekor (64,26%) sedangkan di P. Lombok 224.190 ekor (3574%).
Demikian pula populasi domba di Kabupaten
Sumbawa juga lebih banyak dibandingkan di Pulau Lombok. Di Pulau Sumbawa populasi domba tercatat 25.435 ekor (697,16%) sedangkan di P. Lombok 11.221 ekor (29,63%). Untuk ternak babi, sebagian besar (80%) berada di P. Lombok terutama di Kabupaten Lombok Barat dan 20% lainnya ada di Pulau Sumbawa. Dari sisi populasi, menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki potensi lebih besar dari pada Pulau Lombok untuk pengembangan ternak pemakan hijauan. Kebalikan dari ternak besar dan ternak kecil, populasi ternak unggas di Pulau Lombok jauh lebih banyak dari pada di Pulau Sumbawa. Populasi ternak unggas menurut Pulau dan Kabupaten/Kota di NTB tertera pada Tabel 4.7. Populasi ayam
22
buras di Pulau Lombok 3.559.056 ekor (70,97%) dan di Pulau Sumbawa 1.455.693 ekor (29,03%). Ayam ras petelur di Pulau Lombok tercatat 184.562 ekor (99,95%) dan di Sumbawa 90 ekor (0,05%). Ayam ras pedaging di Pulau Lombok 2.474.686 ekor (67,59%) sedangkan di Pulau Sumbawa 1.186.747 ekor (32,41%). Populasi itik di Lombok 675.508 ekor (81,29%) dan di Pulau Sumbawa 155.502 ekor (18,71%). Tabel 4.7. Populasi ternak unggas menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2013 No
Kab./Kota/Pulau
1 Mataram 2 Lombok Barat 3 Lombok Utara 4 Lombok Tengah 5 Lombok Timur Jumlah P. Lombok 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima Jumlah P. Sumbawa TOTAL
Buras (ekor) 72.202 804.098 126.562 1.449.838 1.106.356 3.559.056 85.149 678.451 184.426 443.144 64.523 1.455.693 5.014.749
Petelur (ekor) 2.513 121.760 4.902 30.753 24.634 184.562 90 90 184.652
Pedaging (ekor) 22.150 491.630 3.659 628.393 1.328.854 2.474.686 2.000 332.800 75.355 282.613 493.979 1.186.747 3.661.433
Itik (ekor) 19.164 133.661 6.503 389.409 126.771 675.508 8.006 11.693 33.895 85.129 16.779 155.502 831.010
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014) Penyebab populasi unggas lebih banyak di Pulau Lombok adalah karena: (1) ketersediaan pakan unggas di Pulau Lombok lebih banyak, lebih murah, dan lebih mudah didapat, (2) pangsa pasar produk unggas di Pulau Lombok lebih besar, dan (3) jumlah rumah tangga pedesaan di Pulau Lombok lebih banyak dibandingkan di Pulau Sumbawa. Sebagaimana diketahui, ternak unggas terutama ayam buras merupakan ternak peliharaan utama bagi rumah tangga pedesaan. Data populasi ternak, terutama ternak pemakan hijauan, menjadi lebih bermanfaat apabila dinyatakan dalam Unit Ternak karena Unit Ternak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dalam perencanaan usaha peternakan, misalnya untuk
23
menghitung daya dukung wilayah (carryng capacity). Populasi ternak di NTB dalam unit ternak adalah tersaji pada Tabel 4.8. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa perbandingan populasi di NTB dalam UT antara sapi, kerbau, kuda, dan kambingdomba adalah 73,80%, 11,96%, 7,16%, dan 7,09%. Proporsi ini menunjukkan bahwa sapi merupakan ternak yang memiliki potensi pengembangan terbesar di NTB, sehingga sangat tepat jika ternak sapi menjadi ternak unggulan. Ditinjau per pulau, antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa memiliki proporsi, untuk sapi adalah 44,5% dan 55,6%, kerbau 23% dan 77%, kuda 17% dan 83%, kambing dan domba 35% dan 65%. Apabila dibuat klasifikasi berdasarkan populasi per kabupaten/kota, maka Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Sumbawa dapat dikategorikan ke dalam kabupaten yang memiliki potensi besar, yaitu dengan populasi ternak pemakan hijauan di atas 100.000 UT. Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Dompu, masuk dalam kategori sedang, dengan populasi di atas 50.000 sampai 100.000 UT. Kota Bima dan Kota Mataram masuk kategori kecil, dengan populasi di bawah 50.000 UT.
Tabel 4.8. Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012 No
Kb+Db
Jumlah
Mataram 1.356 15 588 212 Lombok Barat 54.999 5.995 3.140 3.893 Lombok Utara 51.738 305 477 2.539 Lombok 4 93.296 13.226 1.842 6.904 Tengah 5 Lombok Timur 75.466 3.405 4.116 7.640 Jumlah P. Lombok 276.855 22.945 10.163 21.187 6 Sumbawa Barat 36.987 9.285 4.514 1.607 7 Sumbawa 134.056 37.815 30.935 3.599 8 Dompu 65.419 14.288 6.333 5.667 9 Bima 100.701 16.150 6.617 26.261 10 Kota Bima 9.243 499 1.904 1.433 Jumlah P. Sumbawa 346.406 78.037 50.302 38.568 TOTAL 623.261 100.983 60.466 59.864 Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
2.413 69.137 55.009
1 2 3
Kab./Kota/Pulau
Sapi
Kerbau
Kuda
116.419 93.505 336.483 54.363 209.269 94.424 148.289 13.479 519.825 856.308
24
Tabel 4.8 juga nampak bahwa populasi ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau, kuda, kambing dan domba) mencapai 856.308 UT, sama dengan populasi tahun 2011. Namun ternak sapi meningkat dari 597.266 UT menjadi 623.261 UT atau naik sekitar 6%. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak tersebut, berarti setiap hari harus tersedia pakan hijauan kurang lebih 29.970.780 kg atau 10.939.335 ton per tahun. Dengan asumsi bahwa 1 ha lahan sumber pakan dapat menampung 1,5 UT, maka pada kondisi sekarang diperlukan lahan sumber pakan sebanyak 570.872 ha. Lahan tersebut dapat terdiri atas sawah, tegal, kebun, ladang, padang penggembalaan, wilayah pinggiran hutan, dan lahan-lahan lain yang potensial sebagai sumber pakan ternak. Pertanyaannya, apakah dengan kondisi penggunaan lahan seperti sekarang, NTB masih memiliki daya dukung lahan untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan ternak? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan studi lapangan yang mendalam. Jika ternyata daya dukung lahan secara alamiah sudah tidak mendukung, maka harus
diintroduksi
teknologi
pakan ternak
dan pengelolaan padang
penggembalaan secara intensif. 2.6. Perkembangan Produksi Daging Ternak di NTB Perkembangan produksi daging di NTB selama lima tahun terakhir tersaji pada Tabel 4.9. Tabel 4.9. Perkembangan produksi daging lima tahun terakhir di NTB (dalam kg) Jenis ternak
2009
2010
2011
2012
2013
r (%)
Kuda Sapi Kerbau Kambing Domba Babi AyamBuras Ayam Ras Itik Jumlah
245069 5253746 1262607 2255511 126088 1373551 7179028 3363423 268616 21327639
300832 8025429 1680134 2804264 187616 1987022 8669106 5934320 450929 30039652
334399 10958111 1878542 4622849 285723 2473067 6898583 9211887 619076 37282235
297707 12431831 2385107 5070365 230597 2542467 10160840 26170000 841777 60130682
306141 13884310 2259540 4935270 187857 2884990 40969400 11342450 1148970 77918928
6.44 28.61 16.64 24.05 15.82 21.35 87.71 64.77 44.41 38.96
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB (2013)
25
Tabel 4.9 memperlihatkan, selama lima tahun terakhir semua produksi daging dari semua jenis ternak menunjukkan peningkatan positif setiap tahunnya. Khusus ternak sapi sejalan dengan program BSS, peningkatan produksi daging sapi sangat signifikan, yaitu rata-rata 28,61% per tahun. Untuk ternak kambing, domba, dan babi terlihat mengalami peningkatan tajam yaitu di atas 100%. Hal tersebut diduga karena kesalahan pencacatan. 2.7. Inseminasi Buatan pada Sapi Inseminasi buatan telah dilakukan sejak 30 tahun yang lalu di NTB dengan maksud untuk meningkatkan reproduktivitas dan reproduktivitas sapi Bali, namun demikian hingga sekarang produktivitas dan reproduktivitas sapi di NTB masih relatif rendah. Untuk pelaksanaan inseminasi fasilitas dan infrastruktur pendukung semestinya sudah tersedia dengan pengembangan pelaksanaan yang telah dikerjakan selama 30 tahun. Di samping itu semen beku sapi Bali dan semen sapi impor tersedia di NTB untuk mendukung pelaksanaan inseminasi buatan. Bila dibanding dengan hasil kelahiran pedet jumlah realisasi inseminasi dan jumlah akseptor relatif sangat tinggi, oleh karena itu diperkirakan masih terdapat ruang untuk meningkatkan jumlah anak yang lahir dari hasil IB. Berdasarkan data pelaksanaan inseminasi buatan di NTB menunjukkan terjadi penurunan target pelaksanaan inseminasi buatan di NTB pada tiga tahun terakhir. Pada tahun 2011 target IB 71.298 dosis straw, lalu tahun 2012 turun menjadi 48.087 dosis straw dan tahun 2013 menjadi 35.730 dosis straw. Nampak dilihat bahwa terjadi penurunan tajam dari target, realisasi, akseptor dan kelahiran hanya 20-50% dari target. Pada tahun 2011 realisasi pelaksanaan IB mencapai 62.514 dosis straw semen beku dengan akseptor 59.366 ekor sapi betina dan jumlah pedet yang lahir sebanyak 32.046 ekor. Pada tahun 2012 realisasi pelaksanaan IB mencapai 45.674 dosis straw semen beku dengan jumlah akseptor sebanyak 26.013 ekor sapi betina dan pedet yang lahir dari hasil IB sebanyak 9.387 ekor. Pada tahun 2013 target IB lebih rendah namun akseptor sapi lebih banyak dari tahun 2012 sehingga terjadi peningkatan jumlah anak yang lahir. Pada tahun 2013 tersebut realisasi pelaksanaan IB mencapai 31.372 straw
26
semen beku dengan akseptor 29.818 ekor sapi betina dan jumlah pedet yang lahir 16.064 ekor. Inseminasi buatan telah dilaksanakan di seluruh kabupaten di NTB, namun target, realisasi, akseptor dan anak sapi yang lahir hasil IB di Pulau Lombok jauh lebih tinggi dibanding dengan Pulau Sumbawa. Pelaksanaan IB mungkin lebih sulit dilaksanakan di Pulau Sumbawa dibanding dengan di Pulau Lombok, karena sapi di Sumbawa kebanyakan dipelihara secara ekstensif sementara di Lombok dipelihara secara intensif. Kegiatan IB telah dilaksanakan secara luas di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur , Lombok Barat dan Lombok Utara. Di Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah realisasi IB lebih rendah dari target, namun di kabupaten lain realisasi IB melampaui target. Realisasi IB tertinggi di Kabupaten Lombok Timur, berikutnya Lombok Tengah dan Lombok Barat. Angka kelahiran dari IB terbanyak terjadi di Kabupaten Lombok Timur, kemudian di Lombok Tengah dan berikutnya Lombok Utara. Pelaksanaan inseminasi yang tertinggi di tiga kabupaten yaitu di Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat, tetapi akseptor terbanyak yaitu berada di Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Utara. Perbedaan program dan pelaksanaan IB di masing-masing daerah tersebut kemungkinan disebabkan oleh kondisi lapangan setempat, iklim dan pola pemeliharaan. Kabupaten Lombok Timur paling unggul baik dari realisasi inseminasi, jumlah akseptor dan pedet yang dihasilkan. Dalam pelaksanaan IB di NTB tersedia semen beku dari berbagai bangsa sapi yaitu sapi Bali, Simental, Limousin, Brangus, Angus, Brahman, Ongole dan sapi FH. Delapan jenis bangsa sapi tersebut tersedia di NTB baik diproduksi di dalam negeri dan didatangkan dari luar negeri. Pelaksanaan inseminasi umumnya menggunakan semen beku sapi Bali, diikuti sapi Simental dan Limousin. Tingkat kelahiran dibanding dengan jumlah semen beku yang diinseminasikan yang tertinggi adalah semen beku asal sapi Bali, kemudian Limousin dan Simental.
27
Inseminasi yang telah dilakukan di NTB
sebanyak 30.000 kali suntikan,
menghasilkan kebuntingan dan melahirkan pedet 15.000 ekor sapi dan
jumlah
peternak pemilik sapi yang terlibat 25.000 orang. Dari data tersebut kebuntingan melalui pelaksanaan IB lebih dari dua kali. Data tersebut menunjukkan bahwa sapi dengan IB jarak beranaknya lebih panjang dibandingkan kawin alam. Data tersebut berdasarkan laporan pada tahun 2008, di mana pada tahun tersebut relatif sangat kecil produksinya dibandingkan dengan periode sesudahnya.
28
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan kajian ini diuraikan sesuai dengan tipe dan jenis analisis yang digunakan, meliputi hasil kajian berdasarkan Analisis Location Qoetion (LQ), Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP), Analisis Potensi Pengembangan Berdasarkan Daya Tampung, Analisis Overlay dan Analisis SWOT. Uraian tentang potensi ternak di Provinsi NTB berdasarkan masing-masing jenis analisis tersaji berikut ini. 5.1. LQ Ternak Herbivora Pemetaan kawasan dilakukan menggunakan analisis LQ, yang metode kajiannya diuraikan pada Bab IV. Hasil analisis LQ penelitian ini membandingkan antara jumlah populasi ternak besar dan ternak kecil pemakan herbivore di setiap wilayah kabupaten/kota dengan populasi penduduk di masing-masing kabupaten/kota . Berikut ini pada Tabel 5.1. tersaji rincian populasi ternak pemakan herbivora (dalam ekor) di Provinsi NTB, tahun 2013. Tabel 5.1.: Populasi ternak pemakan hijauan/herbivora (ekor) di 10 kabupaten/kota di Provinsi NTB 2013 No Kabupaten/Kota 1 2 3 4 5
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Jumlah P. Lombok 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima Jumlah P. Sumbawa TOTAL
Sapi
Kerbau
Kuda
2.181 88.485 83.239 150.099 121.413 445.417 59.507 215.675 105.250 162.012 14.870 557.314
26 6.634 415 19.083 5.081 31.239 13.275 50.857 22.078 20.483 461 107.154
665 3.819 623 2.365 5.241 12.713 5.783 38.282 9.580 7.969 966 62.580
1.984 40.714 29.929 89.026 87.135 248.788 16.681 35.002 70.271 197.157 16.250 335.361
60 1.341 0 824 9.565 11.790 1.687 1.840 134 15.543 166 19.370
1.002.731
138.393
75.293
584.149
31.160
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, NTB, 2014.
Kambing
Domba
29
Adapun jumlah ternak pemakan hijauan berdasarkan unit ternak (UT) per kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2013 adalah seperti tercantum pada Tabel 5.2. Tabel 5.2.: Populasi ternak pemakan hijauan (UT) tahun 2013 di NTB No Kabupaten/Kota 1 Mataram 2 Lombok Barat 3 Lombok Utara 4 Lombok Tengah 5 Lombok Timur Jumlah P. Lombok 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima Jumlah P. Sumbawa TOTAL
Sapi Kerbau 1.661 23 67.408 5.920 63.411 370 114.345 17.030 92.492 4.534 339.319 45.332 164.301 45.385 80.179 19.702 123.421 18.279 11.328 411 763.880 123.502 1.661 424.562 763.880 67.408
Kuda Kambing Domba Jumlah 532 249 7 2.472 3.055 5.106 147 81.636 498 3.753 0 68.033 1.892 11.164 90 144.521 4.193 10.927 1.049 113.196 11.847 4.626 2.092 185 30.626 4.389 202 244.903 7.664 8.812 15 116.373 6.375 24.723 1.705 174.504 773 2.038 18 14.568 60.234 73.252 2.125 1.024.287 23 532 249 7 5.920 3.055 5.106 147
Jika data ternak herbivora pada Tabel 5.2. dibuat dalam ilustrasi tersendiri, hasilnya nampak pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Jumlah ternak herbivora di kabupaten/kota di NTB.
30
Berdasarkan data pada Tabel 5.2. ternak sapi menempati peringkat pertama dari segi jumlah ternak pemakan hijauan di NTB dengan total 763.880 unit ternak (UT). Menyusul setelah sapi adalah kerbau dengan populasi 123.502 UT, kemudian kambing 73.252 UT, kuda 60.234 UT dan domba 3.418 UT. Data pada Table 5.1. dan Tabel 5.2. juga menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki populasi ternak herbivora lebih banyak dibandingkan dengan populasi ternak sejenis di Pulau Lombok. Jumlah populasi ternak herbivora di Pulau Sumbawa mencapai 557.314 UT sedangkan populasi ternak sejenis di Pulau Lombok hanya 445.417 UT. Hasil analisis LQ ternak herbivora dalam penelitian ini diperoleh dengan membandingkan antara jumlah populasi ternak herbivora dengan populasi penduduk di setiap kabupaten/kota di NTB. Adapun jumlah penduduk kabupaten/kota di NTB diperoleh dari Badan Pusat Statistik NTB, 2013. Adapun populasi penduduk kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2013 tertera pada Tabel 5.3. Tabel 5.3. Populasi Penduduk Provinsi NTB Kabupaten/Kota
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
204.676 300.364 100.500 414.602 524.126 1.544.268 60.201 216.066 113.164 222.883
208.534 312.797 103.064 460.629 599.362 1.684.386 58.407 206.963 110.514 224.403
413.210 613.161 203.564 875.231 1.123.488 3.228.654 118.608 423.029 223.678 447.286
Sumber: BPS NTB, 2013. Rincian mengenai hasil analisis LQ ternak herbivora di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2013 tersaji pada Tabel 5.4.
31
Tabel 5.4. Nilai LQ Ternak Herbivora di Provinsi Nusa Tenggara Barat Kab/Kota Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
Sapi 0.02 0.66 1.87 0.78 0.49 2.30 2.33 2.15 1.66 0.46
Kerbau 0.002 0.36 0.07 0.72 0.15 3.71 3.99 3.27 1.52 0.10
Kuda 0.10 0.38 0.19 0.16 0.28 2.97 5.51 2.61 1.09 0.40
Kambing 0.04 0.52 1.15 0.80 0.61 1.10 0.65 2.47 3.46 0.87
Domba 0.03 0.52 0.22 2.02 3.37 1.03 0.14 8.23 0.27
Sumber: Disnak dan Keswan NTB, BPS NTB, 2013
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa Kabupaten Sumbawa merupakan daerah basis ternak sapi di Provinsi NTB dengan nilai LQ sebesar 2,33; diikuti Kabupaten Sumbawa Barat (LQ=2,30); kemudian Kabupaten Dompu (LQ=2,15); Lombok Utara (1,87) dan Kabupaten Bima dengan nilai LQ 1,66. Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis LQ, ternak sapi di Provinsi NTB memiliki keunggulan untuk dikembangkan terutama di Pulau Sumbawa. Persaingan populasi ternak dengan jumlah penduduk yang relatif masih longgar di Pulau Sumbawa memungkinkan pengembangan sapi dilakukan di daerah ini dibandingkan jika dilakukan di Pulau Lombok. Pengembangan sapi di Pulau Lombok memiliki kecenderungan baik bila lebih diarahkan ke kegiatan penggemukan yakni untuk tujuan peningkatan bobot badan per satuan ternak. Masuknya Provinsi NTB ke dalam kawasan strategis pengembangan sapi potong nasional sebagaimana tertera dalam Permentan No 50/2012, merupakan kabar baik terutama bagi peternak. Hal itu dikuatkan terbitnya Perpres No. 50/2014 tentang kawasan peternakan sapi potong. Dengan demikian semakin besar kewenangan Dinas Peternakan dan Keswan NTB menata wilayah yang dimaksudkan terutama terhadap pengembangan sapi potong di wilayah Pulau Sumbawa (minus Kota Bima), serta pengembangan hal sama di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur untuk wilayah Pulau Lombok. Meskipun nilai LQ sapi Lombok Tengah relatif rendah,
32
namun daerah ini strategis bagi pengembangan sapi karena sukses menjadi pilot proyek pengembangan sapi di bawah dua lembaga asing (ACIAR dan JICA). Nilai LQ kerbau juga relatif mirip dengan fenomena yang ditampilkan sapi. Yakni bahwa Kabupaten Sumbawa juga merupakan basis ternak kerbau di Provinsi NTB dengan nilai LQ sebesar 3,99; diikuti Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dengan nilai LQ kerbau 3,71; kemudian Kabupaten Dompu dengan LQ sebesar 3,22; dan Kabupaten Bima dengan LQ nilai 1,52. Tampilnya Pulau Sumbawa mendominasi kawasan basis pengembangan kerbau terutama terkait dua hal. Yakni perbandingan jumlah ternak dengan populasi manusia yang belum begitu ketat di wilayah itu. Selain itu juga disebabkan karena persyaratan teknis bagi pengembangan kerbau seperti tersedianya kawasan berrawa relatif masih banyak terhampar di Pulau Sumbawa dibandingkan di Pulau Lombok. Sejauh yang tergambar dalam Tabel 5.4. dapat disimpulkan bahwa Pulau Lombok relatif kurang tepat bagi pengembangan kerbau. Hal ini terkait relatif padatnya jumlah penduduk di wilayah ini. Basis pengembangan kuda di Provinsi Nusa Tenggara Barat juga terkonsentrasi di Pulau Sumbawa dengan rincian wilayah pengembangan berturut-turut adalah Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa basis pengembangan ternak besar di Provinsi NTB berlokasi di Pulau Sumbawa. Pengembangan kambing di NTB berdasarkan analisis LQ terkonsentrasi di Kabupaten Bima dengan nilai LQ 3,46; diikuti Dompu (LQ= 2,47); Lombok Utara (LQ = 1,15) dan Sumbawa Barat (LQ= 1,10). Domba terkonsentrasi Kabupaten Bima dengan nilai LQ sebesar 8,23, Sumbawa Barat (nilai LQ= 3,37); Kabupaten Lombok Timur dengan nilai LQ sebesar 2,27 dan Kabupaten Sumbawa (nilai LQ= 1,03).
5.2. LQ Unggas Ternak unggas yang dibahas pada kajian ini meliputi ayam bukan ras (buras), ayam petelur, ayam pedaging dan itik. LQ unggas dihitung berdasarkan jumlah populasi masing-masing jenis unggas di suatu wilayah kabupaten/kota dibandingkan dengan total populasi unggas di wilayah referensi. Rincian LQ unggas di NTB sbb:
33
5.2.1. Ayam Buras Hasil perhitungan LQ ayam buras di Provinsi Nusa Tenggara Barat selama lima tahun terakhir adalah seperti nampak pada Tabel 5.5. dan Gambar 5.2. Fenomena menarik terjadi pada hasil perhitungan LQ ayam buras. Hanya dua daerah yakni Kota Bima dan Lombok Tengah yang nilai LQ ayam burasnya tahun 2013 berada di bawah satu (LQ<1). Fakta itu mengindikasikan ayam buras digemari dipelihara warga NTB, sehingga merupakan ternak idola yang patut didorong pengembangannya. Tabel 5.5. LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir. Kabupaten/Kota Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
2009 0.96 0.90 1.46 0.97 1.08 1.31 1.07 1.17 0.88 0.77
2010 0.494 1.062 1.745 1.160 0.799 1.718 1.386 1.302 0.782 0.591
2011 1.29 1.13 1.83 1.11 0.83 1.61 1.32 1.27 0.86 0.20
2012 1.20 1.00 1.73 1.12 0.83 1.73 1.28 1.21 1.06 0.22
2013 1.22 1.08 1.90 0.83 1.17 1.90 1.44 1.31 1.06 0.24
Sumber: BPS, diolah
Meskipun demikian, ada catatan khusus menyangkut pengembagan ayam buras di NTB. Yakni semakin kuatnya kecenderungan warga Lombok Tengah meningkatkan populasi ayam buras, khususnya ayam Arab, seperti dilakukan warga Kecamatan Janapria dan Pujut (Desa Teruwai). Wilayah yang disebutkan terakhir belakangan berkembang menjadi sentra perbibitan ayam Arab di level NTB sejalan membaiknya permintaan pasar. Artinya, meskipun nilai LQ ayam buras di kawasan ini tergolong rendah, hal itu bisa disiasati dengan menata pasokan pakan sehingga memungkinkan Lombok Tengah berkembang menjadi sentra bibit ayam buras. Sentra ayam buras di Lombok Tengah masih bisa diperbesar lagi sejauh tersedia pakan dalam jumlah dan mutu memadai, kelancaran transportasi serta adanya serapan produk oleh pasar.
34
Pengembangan ayam buras di NTB berturut-turut di Sumbawa Barat dan KLU dengan nilai LQ masing-masing 1,9, lalu Sumbawa (LQ=1,44), Dompu (1,33) dan Mataram (1,22). Potensi pengembangan ayam Buras di KLU berlokasi di Kayangan dan Jenggala; Sumbawa Barat di semua kecamatan. Rincian LQ ayam buras kabupaten/kota se NTB tersaji pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Nilai LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir Kabupaten Lombok Tengah merupakan kabupaten wilayah yang memiliki kelompok peternak ayam buras tertinggi di Nusa Tenggara Barat. Tercatat 25 kelompok peternak ayam buras di Lombok Tengah yang sudah menjalankan aktivitas usaha dengan baik. Tingginya jumlah kelompok peternak ayam buras di Lombok Tengah dapat dianggap sebagai kekuatan, sehingga ke depan Lombok Tengah dapat dikembangkan menjadi sentra penghasil ayam buras untuk wilayah NTB.
5.2.2. Ayam Petelur Adapun nilai LQ ayam petelur di Provinsi Nusa Tenggara Barat selama lima tahun terakhir tertera pada Tabel 5.6 dan Gambar 5.4. Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah basis pengembangan ayam petelur di Provinsi NTB. Hal itu
35
ditunjukkan oleh nilai LQ ternak ini selama lima tahun terakhir yang selalu berada di atas 4 (terakhir pada 2013 nilai LQ ayam petelur Lombok Barat mencapai 4,35). Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Utara semakin memperlihatkan potensi diri sebagai daerah basis ayam petelur seperti terlihat dari nilai LQ ayam petelur kedua daerah pada tahun 2013 masing-masing sebesar 3,29 untuk Kota Mataram dan 2,12 untuk Kabupaten Lombok Utara. Ayam petelur, dengan demikian layak lebih dikembangkan di wilayah ini. Tabel 5.6. Nilai LQ Ayam Petelur di NTB Lima Tahun Terakhir Kabupaten/Kota
2009
2010
2011
2012
2013
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
0.02 4.98 0.01 0.29 0.48 0.00 0.00 0.00 0.18 0.00
2.66 4.25 0.01 1.09 0.11 0.00 0.00 0.00 0.00 0.67
1.36 4.49 0.01 1.35 0.12 0.00 0.00 0.00 0.00 0.67
1.14 4.12 1.82 0.65 0.50 0.00 0.00 0.00 0.01 0.00
3.29 4.35 2.12 0.46 0.77 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumber: BPS NTB, diolah
Adapun Kabupaten Lombok Tengah cenderung menjauh dari posisi sebagai kawasan basis ayam petelur sebagaimana terlihat dari penurunan nilai LQ ternak itu yang pada tahun 2011 sebesar 1,35 menurun menjadi 0,65 pada tahun 2012 dan pada 2013 nilai LQ ayam petelur di Lombok Tengah merosot lagi menjadi 0,46. Enam kabupaten di Pulau Sumbawa memperlihatkan nilai LQ teramat rendah untuk ayam petelur sehingga bisa disimpulkan bahwa Pulau Sumbawa bukanlah wilayah basis bagi peternakan ayam petelur bagi Provinsi NTB. Kondisi wilayah Pulau Sumbawa yang relatif kering serta ketersediaan saprodi yang agak terbatas disinyalir menjadi faktor pembatas sulit berkembangnya ayam petelur di Pulau Sumbawa. Dalam hidupnya, ayam petelur memiliki kecenderungan membaik produktivitasnya jika dipelihara di
36
lokasi yang berudara sejuk Postur LQ ayam petelur 10 kabupaten di NTB pada Gambar 5.3 sekaligus menunjukkan ayam petelur potensial dikembangkan di Pulau Lombok kecuali di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur
Gambar 5.3. Hasil analisis LQ ayam petelur di NTB lima tahun terakhir.
Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisi LQ, kawasan yang paling potensial untuk pengembangan ayam ras petelur di Nusa Tenggara Barat terkonsentrasi di Pulau Lombok. Hal ini terkait dengan sifat ayam ras petelur yang tergolong hewan berdarah panas (homeothermic) dengan suhu tubuh berkisar antara 40,5 sampai dengan 42,5oC, hampir seluruh bagian tubuhnya ditutupi bulu dan tidak memiliki kelenjar keringat. Ayam ras petelur merupakan jenis ayam yang diseleksi dan dikembangkan di daerah beriklim dingin, sehingga bila dipelihara di daerah panas rentan terhadap bahaya stress panas. Untuk dapat hidup nyaman dan berproduksi optimal ternak ayam ras petelur harus dipelihara pada daerah yang sejuk (comfort zone) dengan kisaran suhu berkisar antara 21 sampai dengan 27oC, bila tidak ayam ras petelur tidak akan dapat berproduksi dengan baik. Agar dapat mencapai suhu nyaman (comfort zone), dapat dilakukan dengan menggunakan kandang tertutup (closed house) atau
37
penggunaan kandang terbuka yang dibangun pada daerah dataran tinggi yang bersuhu sejuk. Berdasarkan hal tersebut maka direkomendasikan sentra pengembangan ayam ras petelur dipusatkan di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara, terutama di daerah-daerah dataran tinggi yang bersuhu sejuk. Kota Mataram, meskipun dari hasil analisis potensinya menempati rangking ke 2, namun karena Kota Mataram adalah kota pemukiman padat penduduk serta berlokasi di daerah pantai dengan suhu yang relatif tinggi, sehingga Kota Mataram kurang layak direkomendasikan sebagai lokasi untuk pengembangan ayam ras petelur.
5.2.3.Ayam Pedaging Hasil analisis LQ ayam pedaging 10 kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat menarik dicermati. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu wilayah kabupaten-kota di NTB yang secara konsisten menjadi daerah basis ayam pedaging, setidaknya berdasarkan analisis LQ selama lima tahun terakhir. Rincian mengenai hasil analisis LQ ayam petelur di NTB tersaji pada Tabel 5.7 dan Gambar 5.4. Nilai LQ ayam pedaging di Kota Bima yang pada tahun 2011 dan tahun 2012 relatif tinggi yakni masing-masing 2,20 dan 2,27; lalu pada tahun 2013 melorot menjadi 0,97. Artinya, dalam waktu relatif singkat Kota Bima beralih dari berstatus konsentrasi ayam pedaging menjadi non basis komoditas itu. Perlu ada penelitian tersendiri untuk menggali penyebab melorotnya posisi Bima sebagai basis ayam pedaging. Fenomena serupa terjadi di Lombok Timur yakni LQ ayam pedagingnya tahun 2011 sebesar 1,32; naik menjadi 1,36 setahun kemudian dan pada tahun 2013 nilai LQnya adalah sebesar 0,73. Kabupaten Bima lain lagi, yakni pada tahun 2011 nilai LQnya sebesar 1,18; kemudian turun menjadi 0,92 pada tahun 2012 dan tiba-tiba LQ-nya melonjak menjadi 2,02 pada tahun 2013. Fenomena nilai LQ yang naik tajam lalu merosot lagi setiap pergantian tahun dan atau sebaliknya juga terjadi di hampir seluruh daerah di NTB. Diduga hal itu
38
terjadi sebagai akibat fluktuasi nilai ayam pedaging yang relatif tajam dari suatu periode pemeliharaan ke periode berikutnya. Pemeliharaan ayam pedaging yang relatif padat modal membuat peternak harus cermat dan jeli memperhatikan fluktuasi harga pasar input dan harga jual ayam potong. Kelalaian memperhatikan fluktuasi harga dan ketidak pekaan mempergunakan insting dalam berdagang ayam pedaging membuat peternak berpotensi merugi dan pada gilirannya kapok mengusahakan ternak ini bila salah perhitungan. Tabel 5.7. Hasil Analisis LQ Ayam Pedaging di NTB Kabupaten/Kota
2009
2010
2011
2012
2013
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
0.88 1.05 0.05 1.05 0.84 0.33 1.07 0.43 1.22 1.74
1.68 0.73 0.03 0.62 1.40 0.02 0.65 0.46 1.34 1.73
0.48 0.66 0.02 0.65 1.32 0.32 0.12 0.57 1.18 2.20
0.51 0.84 0.07 0.67 1.36 0.06 0.86 0.68 0.92 2.27
0.62 0.83 0.08 1.17 0.73 0.06 0.75 0.65 2.02 0.97
Sumber: BPS NTB, diolah. Sebaliknya pengusahaan ayam potong akan memberikan laba relatif menjanjikan bila kalkulasi hitung dagang komoditas ini ternyata tepat. Hal inilah yang membuat seseorang dengan gampang keluar-masuk mengusahakan komoditas ayam potong di setiap daerah dan kemudian berimplikasi pada tampilan LQ masing-masing wilayah dalam konteks sebagai daerah basis-non basis. Kekuatan Lombok Tengah sebagai pusat pengembangan ayam broiler adalah dekat dengan pusat sapronak (sarana produksi peternakan) seperti bibit, pakan dan obat-obatan, serta dapat berperan sebagai pusat suplayer daging untuk kebutuhan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa bagian barat (Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa).
39
Gambar 5.4. Hasil Perhitungan LQ Ayam Pedaging di NTB Lima Tahun Terakhir.
Kota Bima dipandang sebagai daerah yang sangat strategis untuk pengadaan daging khususnya untuk melayani kebutuhan warga Kota Bima, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu, serta untuk memenuhi kebutuhan daging warga di wilayah Provinsi NTT bagian barat (Pulau Flores dan Pulau Sumba). 5.2.4. Itik Perkembangan LQ itik di NTB lima tahun terakhir tertera pada Tabel 5.8 dan Gambar 5.5. Hal unik terkait LQ itik adalah cenderung berbaliknya beberapa daerah dari semula menjadi basis ternak itik menjadi wilayah non basis. Setidaknya hal itu terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Kota Mataram, Dompu dan di Kabupaten Bima. LQ itik di Kabupaten Lombok Tengah, pada tahun 2011, misalnya, mencapai 2,02, lalu LQ-nya merosot menjadi 1,82 pada tahun 2012 serta turun lagi menjadi 1,15 pada tahun 2013. Hal serupa terjadi di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima. Fenomena sebaliknya dialami Kabupaten Lombok Timur ditandai melonjaknya nilai LQ itik dari semula 0,68 pada tahun 2011, menurun menjadi 0,57 setahun kemudian serta pada tahun 2013 nilai LQ itik di Kabupaten Lombok Timur adalah
40
sebesar 1,48. Fenomena LQ ternak itik seperti dialami Lombok Timur terjadi juga di Kota Bima (lihat Tabel 5.8).
Tabel 5.8. Nilai LQ Itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat Lima Tahun Terakhir. Kabupaten/Kota
2009
2010
2011
2012
2013
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
1.92 0.87 0.43 1.25 0.95 0.76 0.41 1.65 1.39 0.71
0.87 0.99 0.58 1.72 0.71 0.84 0.14 1.79 1.20 0.43
1.63 0.99 0.56 2.02 0.68 0.55 0.15 1.61 1.30 0.37
1.93 1.00 0.54 1.82 0.57 0.98 0.13 1.35 1.22 0.34
1.22 0.77 0.51 1.15 1.48 0.96 0.11 1.22 0.31 1.00
Sumber: BPS NTB, diolah Sama seperti fenomena yang terjadi pada ayam pedaging, daerah basis ternak itik juga diduga rentan terhadap fluktuasi harga produk yang dihasilkan komoditas ini. Oleh karena itu diperlukan sikap kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah sosialekonomi yang terjadi di seputar usaha peternakan itik di NTB. Kesimpulan lain terhadap hasil analisis LQ itik adalah bahwa Kota Mataram, Lombok Timur dan Lombok Tengah sejauh ini dapat dikategorikan sebagai kawasan basis ternak itik untuk Pulau Lombok. Adapun Kabupaten Dompu di Pulau Sumbawa, berdasarkan hasil analisis LQ, merupakan basis pengusahaan itik. Oleh karena itu, konsentrasi pengembangan ternak itik agar diarahkan ke daerah yang menjadi basisnya. Meskipun Kota Mataram potensial bagi pengembangan itik, namun karena daerah ini berpenduduk padat maka pengembangan ternak itik di daerah ini perlu dipertimbangkan karena bisa mengganggu kenyamanan penduduk, karena pengaruh bau yang tidak sedap yang ditimbulkannya.
41
Gambar 5.5: Grafik LQ Ternak Itik di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir Adapun Kabupaten Dompu meskipun berdasarkan hasil analisis LQ potensial bagi pengembangan itik, namun karena daerah ini sebagian besar wilayahnya relatif kering, secara ekologis perlu dipertimbangkan dengan matang jika hendak dikembangkan sebagai sentra ternak itik. Oleh sebab itu pengembangan itik ke depan layak dipusatkan di Kabupaten Lombok Timur. Sistem budidaya ternak itik selama ini memberikan kontribusi besar dalam pengadaan telur konsumsi bahan baku telur asin. Daerah persawahan dengan dua kali panen padi dalam setahun merupakan daerah penghasil dedak (bahan pakan sumber energi), serta merupakan daerah berkembangnya biota akuatik seperti keong mas, ikan sapu-sapu, duckweed dan lain sebaginya sebagai bahan pakan sumber protein bagi ternak itik. Pengembangan itik di Lombok Timur didukung tersedianya daerah persawahan berpengairan teknis dengan dua kali panen padi setiap tahun dengan areal panen 21.911 Ha. Tingginya luas daerah persawahan ini berkontribusi langsung pada pengadaan dedak halus sebagai bahan pakan sumber energi, dengan produksi diestimasi mencapai 1.785.575 ton per tahun. Kabupaten Lombok Timur juga strategis sebagai sentra budidaya ternak itik di masa mendatang selaras dengan meningkatnya
42
luas lahan basah yang dapat ditanami padi sebagai akibat beroperasinya bendungan Pandanduri yang kini dalam proses penyelesaian. Bendungan tersebut diprediksi mampu mengairi minimal lima kecamatan di Kabupaten Lombok Timur dan satu kecamatan di wilayah Lombok Tengah yang selama ini tergolong daerah kering. Kawasan di Lombok Timur yang dapat dialiri oleh bendungan Pandanduri adalah Kecamatan Sakra, Sakra Timur, Sakra Barat, Keruak dan
Jerowaru. Sedangkan
wilayah Lombok Tengah adalah Kecamatan Praya Timur (Mujur).
5.2.5.Trend LQ Ternak di NTB Berdasarkan Analisis LQ berbagai jenis ternak di NTB tersusun wilayah potensial bagi pengembangan masing-masing ternak, seperti nampak pada Tabel 5.9. berikut ini Tabel 5.9. Wilayah Potensial Pengembangan Ternak di NTB berdasarkan LQ Komoditas
Wilayah Potensial Pengembangan Ternak di NTB berturut-turut:
Kerbau
Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Utara, dan Kabupaten Bima Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima
Kuda
Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima
Kambing
Kabupaten Bima, Dompu, Lombok Utara dan Sumbawa Barat
Sapi
Domba
Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Sumbawa Lombok Utara, Sumbawa Barat, Kota Bima, Sumbawa, Dompu, Ayam Buras Mataram, Lombok Barat, Bima Pedaging Lombok Barat, Mataram, Lombok Utara Petelur
Kota Bima, Lombok Tengah
Itik
Lombok Timur, Mataram, Dompu, Lombok Tengah, Kota Bima
Sumber: BPS NTB, Disnak dan Keswan NTB 2013, diolah. Berdasarkan data hasil analisis LQ di semua kabupaten/kota di NTB nampak bahwa wilayah potensial bagi pengembangan sapi di NTB berturut-turut adalah di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Utara, dan Kabupaten Bima.
43
Pengembangan kerbau potensial dilakukan di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima; sedangkan ternak kuda juga direkomendasikan dilakukan di Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima. Ternak kecil seperti kambing potensial diarahkan pemeliharaannya di Kabupaten Bima, Dompu, Lombok Utara dan Sumbawa Barat. Adapun domba cocok dikembangkan di Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Sumbawa. Pengembangan ternak unggas seperti ayam buras diarahkan ke Kabupaten Lombok Utara, Sumbawa Barat, Kota Bima, Sumbawa, Dompu, Mataram, Lombok Barat dan Kabupaten Bima. Adapun ayam pedaging disarankan dikembangkan di Kabupaten Lombok Barat, Mataram dan Lombok Utara. Kemudian, ayam petelur sebaiknya diusahakan di Kota Bima dan Lombok Tengah. Adapun ternak itik sebaiknya diternakkan di Kabupaten Lombok Timur, Mataram, Dompu, Lombok Tengah dan Kota Bima.
5.3. Analisis Model Rasio Pembagunan (MRP) Model rasio pertumbuhan dibagi ke dalam dua rasio yakni rasio pertumbuhan wilayah referensi (provinsi = RPr) dan rasio pertumbuhan wilayah studi (kabupaten = RPs). RPr merupakan perbandingan antara pertumbuhan output (jumlah populasi /komoditas) di wilayah referensi dibandingkan dengan pertumbuhan output (populasi) di wilayah referensi. RPr dengan nilai lebih dari 1 dapat dikatakan (+), menunjukkan bahwa populasi ternak tertentu di wilayah referensi (provinsi) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan populasinya di wilayah penelitian (kabupaten). Sebaliknya jika nilai PRt <1 maka PRr bernilai (-) yang berarti populasi ternak tertentu di wilayah referensi (provinsi) lebih rendah dibandingkan di wilayah penelitian. 5.3.1. Hasil Analisis MRP Sapi Berdasarkan data pada Tabel 5.12. diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi beternak sapi yang potensial pada tingkat wilayah studi dengan 4 klasifikasi sbb:
44
a) Klasifikasi I yakni RPr (+) dan RPs juga (+) menunjukkan populasi sapi Bali bertumbuh baik di wilayah referensi (provinsi) dan di wilayah studi. Wilayah yang termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah Mataram, Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Dompu dan Kabupaten Bima. Tabel 5.10. Nilai RPr dan RPs Sapi di NTB antara tahun 2009-2013 Kabupaten/kota Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima NTB
RPr 2.83 1.25 1.04 1.39 16.50 1.44 -8.45 1.13 1.88 0.39 1.70
Nominal + + + + + + + + +
RPs 2.42 0.67 1.05 2.13 0.37 2.20 0.23 1.41 2.47 -0.29 1.00
Nominal + + + + + + +
b) Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi sapi menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi. Lombok Barat dan Lombok Timur masuk ke dalam klasifikasi ini. c) Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya sapi mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tumbuh baik di wilayah studi (kabupaten). Penelitian ini tidak menemukan adanya wilayah NTB dengan klasifikasi seperti ini. d) Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna sapi tidak
memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima termasuk ke dalam klasifikasi IV.
5.3.2. Hasil Analisis MRP Kerbau Data pada Tabel 5.11. mendeskripsi kegiatan ekonomi ternak kerbau yang perkembangan dan pertumbuhan populasinya terurai dalam paparan berikut:
45
a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan komoditas kerbau lebih baik pertumbuhan populasinya di wilayah studi dan di wilayah referensi (provinsi). Tidak ada kabupaten/kota di NTB yang masuk ke dalam klasifikasi I. Tabel 5.11. Nilai RPr dan RPs Kerbau di NTB tahun 2009-2013 Kabupaten/kota
RPr
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima NTB
-2.41 -3.61 -2.07 -1.20 -81.93 -1.11 50.76 -1.44 -1.28 1.94 -2.94
Nominal
RPs
Nominal
+ + -
1.20 1.11 1.21 1.07 1.05 0.98 0.82 1.03 0.97 0.82 1.0
+ + + + + + +
b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi kerbau menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi. Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima masuk ke dalam kriteria sebagaimana tercantum dalam klasifikasi II. c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya kerbau mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh baik di wilayah studi (kabupaten). Klasifikasi wilayah seperti ini terjadi di Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, KLU dan Dompu. d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna sapi tidak
memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Bima termasuk ke dalam klasifikasi ini. 5.3.3. Hasil Analisis MRP Kuda Perkembangan populasi ternak kuda dalam analisis MRP sbb (Tabel 5.12):
46
a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan komoditas kuda lebih baik pertumbuhan populasinya di wilayah referensi (provinsi) maupun di wilayah studi. Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima masuk dalam klasifikasi ini. b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi (kabupaten). Tidak ada kabupaten/kota di Provinsi NTB yang masuk ke dalam klasifikasi III. c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya ternak kuda mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh baik di wilayah studi (kabupaten). Kabupaten-kota di NTB yang masuk ke dalam klasifikasi III adalah Mataram, Lombok Utara, Lombok Timur dan Kabupaten Bima. d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna kuda tidak
memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kabupaten Lombok Barat, Sumbawa Barat, Lombok Tengah dan Dompu termasuk ke dalam klasifikasi IV. Tabel 5.12. Nilai RPr dan RPs Kuda di NTB antara tahun 2009-2013 Kabupaten/Kota Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
RPr -1.01 -0.58 -1.04 0.00 -65.97 0.16 22.21 0.57 -0.61 2.62
Nominal + +
RPs 1.70 0.61 2.06 0.01 2.88 0.49 22.21 1.40 1.57 3.76
Nominal + + + + + +
5.3.4. Hasil Analisis MRP Kambing Data pada Tabel 5.13. mendeskripsi kegiatan ekonomi beternak kambing yang
47
perkembangan pertumbuhan potensinya terurai dalam klasifikasi berikut: a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan komoditas kambing lebih baik pertumbuhan populasinya di wilayah studi dan di wilayah referensi (provinsi). Mataram, Lombok Tengah, KLU, Sumbawa Barat dan Dompu masuk dalam klasifikasi ini. Tabel 5.13. Nilai RPr dan RPs Kambing di NTB antara tahun 2009-2013 Kabupaten/Kota Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima Total
RPr 4.45 1.83 1.07 1.25 3.55 1.36 15.89 1.04 1.68 0.45 1.53
Nominal + + + + + + + + +
RPs 2.42 0.67 1.05 2.13 0.37 2.20 0.23 1.41 2.47 -0.29 1.0
Nominal + + + + + + +
b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi. Kabupaten Sumbawa, Lombok Barat dan Lombok Timur masuk ke dalam klasifikasi II. c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya kambing mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh baik di wilayah studi (kabupaten). Daerah yang masuk ke dalam klasifikasi ini adalah Kabupaten Bima. d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna kambing tidak memiliki pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kota Bima berada dalam klasifikasi ini.
5.3.5. Hasil Analisis MRP Domba Berdasarkan data pada Tabel 5.14. diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi ternak
48
domba yang potensial pada tingkat wilayah studi dengan klasifikasi sbb: a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan domba lebih baik pertumbuhan populasinya di wilayah studi dan di wilayah referensi (provinsi). Klasifikasi ini tidak terisi kabupaten kota manapun di NTB. b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi domba menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi. Hanya Kota Bima yang masuk ke dalam klasifikasi ini. c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya domba mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh baik di wilayah studi (kabupaten). Tidak ada kabupaten-kota di NTB yang tercatat dalam klasifikasi ini. d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna domba tidak
memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kecuali Kota Bima, sembilan daerah NTB lainnya masuk ke dalam kriteria ini.
Tabel 5.14. Nilai RPr dan RPs Domba di NTB antara tahun 2009-2013 Kabupaten/Kota Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima Total
Riel -72.16 -5.28 -2.15 -1.08 -17.62 -1.05 -95.40 -1.32 -1.14 2.19 -2.65
Nominal
Riel
Nominal
+ -
-2.07 1.93 2.09 1.84 1.82 1.69 1.41 1.78 1.68 1.42 1.00
+
5.4. Analisis Potensi Pengembangan Dasar perhitungan hijauan pakan untuk ternak herbivora di Provinsi Nusa Tenggara
Barat
mengacu
pada
standar
penggunaan
pakan
sebagaimana
49
direkomendasikan Direktorat Pakan, Ditjen Peternakan dan Keswan, yakni pemakaian limbah pertanian diperhitungkan sebanyak 35% dari total produksi limbah. Adapun hijauan alam bersumber antara lain dari pematang sawah, pinggiran jalan, padang penggembalaan, kawasan hutan dan lahan kosong. Khusus untuk limbah pertanian, sumber utama pengadaannya adalah dari jerami padi dengan produksi sekitar 7,5 ton berat kering (BK) per hektar, jagung sebanyak 25 ton BK/Ha, kacang tanah dan kacang kedelai masing-masing 5 ton/ha dan ketela pohon dengan produksi limbah 2,5 ton/ha. Data ketersediaan limbah tersebut merujuk pada rekomendasi Ditjen Peternakan dan Keswan Kementerian Pertanian. Tabel 5.15: Rincian Potensi pengembangan ternak herbivora di Provinsi NTB Peluang Kabupaten Pengembangn Kecamatan Populasi (UT) KLU
4,407,18
Mataram
1.528,84
Lombok Barat Lombok Tengah
-16.097,33 -8.088,23
Lombok Timur
-8.586,47
Sumbawa Barat
-3.165,88
Sumbawa Dompu Kabupaten Bima Kota Bima
146.745,30 -1.474,85 122.090,53 -1.687,99
Bayan Sandubaya, Mataram, Sekarbela, Selaparang, Cakranegara Kuripan, Kediri, Labuapi Batu Kliang Utara, Praya Barat Daya, Praya Timur, Praya,Praya Barat Pringgabaya, Jerowaru, Sakra Timur, Sakra Barat, Wanasaba, Sambelia, Keruak, Sukamulia, Poto Tano, Brang Rea, Sekongkang Labangka, Lenangguar, Lunyuk, Rhee, Plampang, Alas Barat, Batu Lanteh, Alas, Buer, Ropang Kilo, Dompu, Pajo, Hu'u, Woja Wera, Sanggar, Langgudu, Tambora, Sape, Palibelo, Wawo, Lambitu, Belo, Parado Rasanae Timur, Rasanae Barat
Jml Kec 5 6 10 12 20 8 24 8 18 5
Sumber: BPS NTB, diolah. Catatan: Baris yang diblok merah muda adalah wilayah potensial bagi pengembangan ternak herbivore, sedangkan baris yang tidak diblok kurang memungkinkan bagi pengembangan ternak herbivore (crowded), namun jika dipaksakan bisa dilakukan dengan meningkatkan porsi penggunaan limbah dengan cara aplikasi teknologi tepat guna dalam bidang pengolahan pakan.
50
Berdasarkan analisis potensi pengembangan ternak yang didasarkan atas ketersediaan lahan dalam penyediaan pakan, khusus untuk pengembangan ternak pemakan hijauan (herbivora meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba) dapat dilakukan di empat kabupaten dari 10 kabupaten-kota yang ada di Provinsi NTB (Lampiran 1-26). Potensi pengembangan terbesar berada di Kabupaten Sumbawa yang mampu menampung 146.745 unit ternak (UT) (Tabel 5.15). Wilayah Sumbawa yang potensial bagi pengembangan ternak herbivora meliputi Kecamatan Labangka, Lenangguar, Lunyuk, Rhee, Plampang, Alas Barat, Batu Lanteh, Alas, Buer dan Kecamatan Ropang. Berdasarkan analisis potensi pengembangan wilayah, adalah tepat penetapan Kabupaten Sumbawa sebagai kawasan peternakan sapi potong di NTB sesuai Perpres No 56/2014. Wilayah lain yang potensial bagi pengembangan ternak herbivora di NTB adalah Kabupaten Bima dengan potensi pengembangan sekitar 122.090 UT. Kecamatan yang potensial bagi pengembangan ternak herbivora di Kabupaten Bima meliputi Wera, Sanggar, Langgudu, Tambora, Sape, Palibelo, Wawo, Lambitu, Belo dan Parado. Potensi pengembangan herbivora juga dapat dilakukan di Kabupaten Lombok Utara dengan peluang potensi ternak yang masih mungkin dikembangkan 4.407 UT, terkonsentrasi di Kecamatan Bayan. Wilayah lain yang juga potensial untuk pengembangan ternak herbivora adalah Kota Mataram dengan peluang pengembangan yang tersisa untuk sekitar 1.528 unit ternak. Wilayah Mataram yang potensial untuk itu meliputi Kecamatan Sandubaya, Mataram, Sekarbela, Selaparang dan Cakranegara. Pengembangan ternak herbivora di Kota Mataram riskan dilakukan. Kalaupun upaya ini ditempuh, sedapat mungkin dilaksanakan dengan penuh perhitungan karena komposisi limbah dan hijauan pakan di Kota Mataram relatif tidak berimbang. Produksi limbah pertanian di Kota Mataram diperkirakan bisa untuk menampung 7.172 unit ternak herbivora, sementara produksi hijauan hanya bisa menampung 1.387 unit ternak. Data tersebut dapat dimaknai bahwa penambahan jumlah populasi ternak herbivora di Kota Mataram potensial berimplikasi mengganggu keberadaan tanaman penghijauan di dalam kota khususnya hutan dan kawasan penghijauan di dalam kota
51
Mataram yang tersebar di ruang terbuka hijau. Tanaman tersebut potensial terganggu dan gejala ke arah itu menonjol terutama pada musim kering yang dilakukan peternak dengan memotong tanaman penghijauan di dalam kota pada sore maupun malam hari. Adapun enam kabupaten/kota lain di NTB relatif kurang potensial bagi pengembangan ternak pemakan hijauan karena wilayah tersebut berstatus over/ kelebihan populasi dibandingkan daya dukungnya. Wilayah yang dimaksudkan adalah Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur untuk wilayah Pulau Lombok. Kemudian di Kabupaten Sumbawa Barat, Dompu, Kota Bima untuk wilayah Pulau Sumbawa. Namun demikian, meskipun telah kelebihan populasi, tercatat ada beberapa kecamatan yang masih berpeluang bagi pengembangan ternak pemakan herbivora, meliputi Kuripan, Kediri dan Labuapi di Kabupaten Lombok Barat. Kemudian Kecamatan Batu Kliang Utara, Praya Barat Daya, Praya Timur, Praya, Praya Barat di Kabupaten Lombok Tengah. Kecamatan Pringgabaya, Jerowaru, Sakra Timur, Sakra Barat, Wanasaba, Sambelia, Keruak dan Sukamulia di Kabupaten Lombok Timur. Sebagai catatan, daerah yang tidak potensial lagi bagi pengembangan ternak herbivora sebaiknya dilakukan peningkatan produktivitas per unit ternak karena tidak memungkin lagi bagi penambahan jumlah populasi. Sebaliknya bagi daerah yang ketersediaaan daya dukung lahan dan pakan masih longgar bisa diprioritaskan bagi pengembangan populasi ternak herbivora dengan tidak mengabaikan perbaikan produktivitas melaui peningkatan mutu genetik. Pengembangan ternak herbivora untuk Pulau Sumbawa meliputi Kecamatan Poto Tano, Brang Rea dan Sekongkang untuk wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, lalu Kecamatan Kilo, Dompu, Pajo, Hu'u dan Woja untuk Kabupaten Dompu serta di Kecamatan Rasanae Timur, Rasanae Barat di Kota Bima. Kecamatan lain di luar itu sudah kelebihan jumlah ternak pemakan herbivora dibandingkan daya dukungnya. Khusus untuk pengembangan ternak unggas, tidak dilakukan analisis daya dukung secara khusus karena pengusahaan ternak ini relatif tidak membutuhkan areal untuk pakan secara khusus seperti terjadi pada ternak herbivora. Pemeliharaan ternak
52
unggas dapat dilakukan di lahan relatif sempit termasuk dengan memanfaatkan pekarangan rumah bahkan dilakukan di bagian tertentu dari rumah penduduk. 5.5. Analisis Overlay Analisis
Overlay
digunakan
untuk
mengambil
kesimpulan
dengan
menggabungkan beberapa hasil analisis yakni hasil analisis daya tampung, analisis Location Quetion (LQ) dan analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Analisis overlay dalam studi ini hanya mengkaji potensi pengembangan ternak pemakan hijauan (herbivora) dan tidak menganalisis potensi ternak unggas. Ada tujuh kombinasi kemungkinan yang terjadi pada hasil analisis Overlay sbb: A. DT (+), MRP (+), LQ >1 (+), ada kecenderungan komoditi tersebut memiliki potensi pengembangan, tumbuh dominan dan surplus. B. DT (+), MRP (+), LQ >1 (-), ada kecenderungan komoditi tersebut memiliki potensi pengembangan dan tumbuh dominan. C. DT (+), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut memiliki potensi pengembangan dan surplus D. DT (+), MRP (-), LQ >1 (-), komoditi tersebut memang memiliki potensi pengembangan E. DT (-), MRP (+), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut tumbuh dominan dan surplus F. DT (-), MRP (+), LQ >1 (-), komoditi tersebut tumbuh dominan G. DT (-), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut adalah surplus.
5.6.1.Overlay Ternak Besar Overlay ternak besar dipisahkan satu per satu meliputi sapi, kerbau dan kuda dengan rincian sebagai berikut: A. Analisis Overlay Sapi Hasil analisis overlay ternak sapi yang ada di Provinsi NTB tercantum pada Tabel 5.16.
53
Tabel 5.16. Hasil Analisis Overlay terhadap Sapi di NTB No Kabupaten/kota LQ MRP DD 1 2
Mataram Lombok Barat
-
+ -
+ -
3
Lombok Utara
+
+
+
4 5 6 7 8
Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu
+ + +
+ + +
+ -
9
Bima
+
+
+
Kota Bima
-
-
-
10
Kecenderungan tumbuh dominan, potensi pengembangan surplus, tumbuh dominan, potensi pengembangan surplus, tumbuh dominan surplus, tumbuh dominan surplus, potensi pengembangan surplus, tumbuh dominan surplus, tumbuh dominan, potensi pengembangan -
Berdasarkan hasil analisis overlay, sapi terindikasi sebagai komoditas unggulan dalam peta peternakan NTB dan memiliki potensi besar untuk tumbuh dominan dalam pengembangannya dibandingkan herbivora lain. Indikasi itu nampak dari trend nilai hasil overlay sapi yang memiliki potensi relatif merata guna diusahakan di sejumlah daerah. Sapi surplus di Sumbawa, KSB, Dompu, Kabupaten Bima dan Lombok Utara. Sapi juga tumbuh doniman di enam daerah (Mataram, Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima). Hal mendasar lainnya adalah potensi pengembangan lahan bagi sapi terkonsentrasi di Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima, Lombok Utara dan di Kota Mataram. Kota Mataram kurang direkomendasikan bagi pengembangan ternak herbivora dan sebaiknya lebih ditujukan ke arah perbaikan produktivitas ternak yakni peningkatan bobot badan per satuan ternak. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lahan relatif terbatas di samping alih fungsi lahan berlangsung cepat di ibukota NTB ini.
B. Analisis Overlay Kerbau Analisis overlay terhadap kerbau di NTB hasilnya tersaji pada Tabel 5.17.
54
Tabel 5.17. Hasil analisis overlay kerbau di NTB No Kabupaten/kota LQ MRP DD 1 2 3 4 5 6
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat
+
-
+ + -
7
Sumbawa
+
+
+
+ + -
+
+ -
8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima
Kecenderungan potensi pengembangan potensi pengembangan surplus surplus, tumbuh dominan, potensi pengembangan surplus Surplus, potensi pengembangan tumbuh dominan
Sumber: data sekunder diolah, 2013 Data pada Tabel 5.17. menunjukkan bahwa kerbau sangat potensial dikembangkan di Kabupaten Sumbawa karena memiliki semua persyaratan yang diperlukan bagi pengembangan potensinya, terutama ketersedian lahan dan kawasan berawa. Adapun Kabupaten Bima berdasarkan ketersediaan lahan untuk daya tampung kerbau, pada dasarnya masih terbuka peluang pengembangan ternak ini di Bima. Adapun Kota Mataram, meskipun tersedia lahan bagi pengembangan kerbau namun perlu pertimbangan cermat untuk mengusahakan ternak ini di Mataram karena terbentur kondisi dan kepemilikan lahan serta dari segi estetika. Sebab kerbau memerlukan areal berawa/berlumpur. Adapun Lombok Utara, meskipun daya dukung lahannya tersedia memadai terutama di Bayan, namun ada kecenderungan warga di sana kurang menyukai memelihara kerbau. Di Kota Bima, kerbau tumbuh dominan. C. Analisis Overlay Kuda Hasil Analisis Overlay terhadap kuda menunjukkan bahwa kuda surplus, tumbuh dominan dan memiliki daya tampung dikembangkan di Kabupaten Sumbawa. Kuda Sumbawa juga memang dikenal luas sebagai “moyangnya” kuda yang ada di Indonesia yang penyebarannya terjadi pada awal abad ke 19 ke berbagai
55
pelosok Indonesia. Adapun Mataram, Lombok Utara dan Kabupaten Bima juga memiliki daya tampung dan prospektif bagi pengembangan kuda (Tabel 5.18). Tabel 5.18.: Hasil analisis overlay kuda di NTB No Kabupaten/kota LQ MRP DD 1 2 3 4 5 6
Mataram Lombok Barat Lombok Utara Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat +
-
+ + -
7
Sumbawa
+
+
+
+ + -
+
+ -
8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima
Kecenderungan potensi pengembangan potensi pengembangan surplus surplus, tumbuh dominan, potensi pengembangan surplus Surplus, potensi pengembangan tumbuh dominan
Sumber: data sekunder diolah, 2013 5.6.2. Overlay Ternak Kecil Adapun rincian mengenai hasil analisis overlay ternak kecil yang meliputi kambing, domba dan babi terurai sebagai berikut: D. Analisis Overlay Kambing Ternak kambing menunjukkan fenomena menarik, yakni hanya Lombok Barat yang keberadaan kambingnya kurang menjanjikan baik dari segi potensi pengembangan lahan, trend pertumbuhan dan sebagai lokasi konsentrasi populasi. Lombok Utara merupakan wilayah NTB yang paling menarik bagi pengembangan kambing karena surplus, tumbuh dominan dan memiliki potensi lahan untuk pengembangannya. Kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Dompu, Kabupaten Bima dan Kota Mataram tercatat memiliki potensi pengembangan kambing lebih baik dibandingkan Kota Bima, Sumbawa dan Lombok Timur yang prospek pengembangan kambingnya relatif lebih rendah. Meskipun Kabupaten Sumbawa memiliki populasi kambing terbatas namun prospek pengembangannya paling besar karena daya dukungnya paling menjanjikan (Tabel 5.19).
56
Tabel 5.19. Hasil analisis overlay ternak kambing di NTB Kab/kota
LQ MRP DD
1
Mataram
-
+
+
2
Lombok Barat
-
-
-
3
Lombok Utara
+
+
+
4 5 6 7 8 9 10
Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Barat Sumbawa Dompu Bima Kota Bima
+ + + + + +
+ + + -
+ + -
Kecenderungan tumbuh dominan, potensi pengembangan Surplus, tumbuh dominan, potensi pengembangan surplus, tumbuh dominan Surplus surplus, tumbuh dominan potensi pengembangan surplus, tumbuh dominan surplus, potensi pengembangan Surplus
Sumber: data sekunder diolah, 2013
E. Analisis overlay Domba Domba tidak menunjukkan dominasi sama sekali terhadap keberadaan ternak herbivora di 10 kabupaten/kota di NTB. Hal yang bisa dicatat dari keberadaan domba di NTB adalah bahwa ternak ini potensial dikembangkan di Kabupaten Sumbawa dan di Kabupaten Bima. Selain itu pengembangan domba kurang prosepektif diusahakan di Lombok Barat, Lombok tengah dan di Kota Bima (Tabel 5.20).
Tabel 5.20. Hasil analisis overlay ternak domba di NTB Kab/kota 1 Mataram 2 Lombok Barat 3 Lombok Utara 4 Lombok Tengah 5 Lombok Timur 6 Sumbawa Barat 7 Sumbawa 8 Dompu 9 Bima 10 Kota Bima
LQ MRP DT + + + + + + + + -
Sumber: data sekunder diolah, 2013
Kecenderungan potensi pengembangan potensi pengembangan surplus surplus Surplus, potensi pengembangan Surplus, potensi pengembangan -
57
5.7. Tahapan dan Pola Pengembangan Kawasan 5.7.1. Tahapan Pengembangan Kawasan Pengembangan kawasan dilakukan dengan memetakan areal yang ada menjadi kawasan non land base farming dan land base farming menjadi kawasan intensif dan industri. Tahapan pengembangan kawasan tertera pada Tabel 5.21. Tabel 5.21. Tahapan pengembangan kawasan peternakan. Tahap Tahun I
2014
II
20152017
III
20172018
IV
20202025
V
20252030
Kegiatan
Catatan
Penyusunan Masterplan Kawasan Pengembangan model peternakan berbasis komoditas. Kriteria: efisien, produktivitas tinggi dan ramah lingkungan (green farming) Pelatihan, deseminasi, TTG dan implementasi untuk hasilkan yang terbaik.
Dibahas dalam detil plan
Bagi semua kabupaten/ kota Disesuaikan Replikasi dan pembinaan di se kab/ kota dengan komoditas prioritas Terciptanya kawasan peternakan efisien, Industri produktivitas tinggi dan ramah lingkungan peternakan modern
Pengembangan kawasan dilakukan secara bertahap misalnya dengan merubah pola pengembangan dari pendekatan kawasan secara ekstensif menuju kawasan industri, begitu seterusnya. Fase pengembangan kawasan peternakan NTB tertera pada Gambar 5.7. Model tersebut dimantapkan dan kemudian direplikasikan ke kabupaten lain sehingga pemeliharaan ternak dapat diimplementasikan dalam skala besar, tenaga relatif sedikit dalam skala industri. Perbaikan managemen industri peternakan dilakukan dengan memberikan feed back pada perbaikan pengembangan industri peternakan. Dalam waktu 15 tahun diharapkan industri peternakan di kawasan sampel dapat terealisir.
58
PENYUSUNAN MASTERPLAN KAWASAN (2014) PERBAIKAN MODEL MELALUI UMPAN BALIK (2020-2030)
JUMLAH BESAR INDUSTRI (2030)
PILOT PROYEK DI KABUPATEN/ KOTA (Peternakan: efisien, produktif dan ramah lingkungan (2015)
REPLIKASI DI KABUPATEN DAN KOTA DI NTB (2020)
Gambar 5.7. Bagan tahapan pengembangan kawasan ternak di NTB Produktivitas ternak dapat diukur secara individual dan secara kelompok melalui strategi perbaikan mutu genetic dan/atau perbaikan mutu lingkungan. Idealnya, peningkatan produktivitas ternak dilakukan secara bersamaan antara perbaikan mutu genetik dan perbaikan mutu lingkungan. Strategi perbaikan mutu genetik ternak tergantung pada kebijakan pemuliaan (breeding policy) dan tujuan pemuliaan. Arah kebijakan pemuliaan sapi Bali di NTB adalah menjadikan NTB sumber bibit dan sentra pengembangan sapi Bali potong. Cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan pejantan unggul dari luar kelompok seperti dari UPT Serading. Rasio induk dibandingkan pejantan sekitar 25–30 ekor untuk seekor pejantan dengan lama penggunaan untuk pembiakan dua tahun. Hal itu dimaksudkan agar pejantan tidak sempat mengawini anak betinanya sehingga efek inbreeding tidak terjadi. Selanjutnya pejantan ini dapat dipakai peternak lain untuk memacek sapi betina yang tidak memiliki hubungan kekerabatan (di atas 6 generasi). Pengadaan pejantan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kewajiban peternak adalah memelihara, merawat, dan menggunakan secara baik dan benar selama 2 (dua) tahun. Setelah dua tahun, pejantan itu ditarik untuk digulirkan ke peternak lain. Selanjutnya, setelah digunakan oleh 2 (dua) peternak, pejantan ditarik pemerintah untuk dijual dan membeli pejantan baru yang jauh hubungan kekerabatannya,
59
demikian seterusnya. Untuk menghindari inbreeding anak ternak jantan dari keturunan pejantan yang digulirkan digemukkan untuk dijadikan ternak potong. Strategi pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) diarahkan pada terbentuknya usaha rakyat yang maju dan mandiri. Untuk tujuan tersebut pengusaha dan calon pengusaha harus mendapat pendampingan yang intensif disertai dengan pengadaan modal yang mudah dan murah. Pengembangan ayam buras secara spesifik diarahkan pada pengembangan ayam kampung unggul hasil seleksi Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, yaitu ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak) serta ayam Arab. Kelebihan kedua jenis ayam ini adalah produksi telurnya mencapai 60% lebih dibandingkan ayam kampung. Tingginya produksi ini merupakan modal untuk melipat-gandakan populasi sehingga keterbatasan produksi daging ayam kampung dapat tertanggulangi. Bibit ayam KUB bisa didatangkan dari Stasiun Riset di Ciawi Bogor atau dari BPTP Narmada yang sudah ditunjuk sebagai suplayer untuk NTB. Adapun bibit ayam Arab dan itik diambil dari peternak lokal yang ada di sentra peternakan ayam buras dan itik yang ada sekarang. Beberapa sentra ayam Arab di Jawa sudah menjalin hubungan dengan peternak NTB guna pengembangan perbibitan ternak ini di NTB. Pengembangan kawasan dapat dilakukan dengan memetakan kawasan NTB menjadi kawasan ekstensif, semi intensif, intensif dan kawasan industri. Pengembangan kawasan dengan berbagai pola pemeliharaan tersebut bisa dilakukan secara bertahap misalnya dengan merubah pola pengembangan dari kawasan ekstensif menuju kawasan industri, begitu seterusnya. 5.7.2. Pengembangan Produktivitas Ternak Produktivitas ternak dapat diukur secara individual dan secara kelompok melalui strategi perbaikan mutu genetik dan/atau perbaikan mutu lingkungan. Idealnya, peningkatan produktivitas ternak dilakukan secara bersamaan antara perbaikan mutu genetik ternak dengan perbaikan mutu lingkungan ternak. Peningkatan produktivitas ternak secara individual dilakukan dengan meningkatkan kemampuan produksi per ekor ternak, sedangkan peningkatan
60
produktivitas secara kelompok dilakukan melalui peningkatan angka reproduksi (calf crop) dan/atau peningkatan produktivitas individual sehingga dapat mewakili suatu wilayah. Idealnya, peningkatan produktivitas kelompok dilakukan melalui perbaikan reproduksi dan peningkatan kemampuan individual ternak secara bersamaan. 5.7.3. Perbaikan Lingkungan Ternak Faktor lingkungan sangat berperan dalam menentukan seberapa besar kemampuan berproduksi masing-masing ternak. Dari sekian banyak faktor lingkungan yang berperan, pakan menyumbang angka terbesar dalam biaya produksi. Oleh karena itu, perlu disusun suatu strategi agar kualitas dan kuantitas pakan tersedia secara kontinyu dengan harga yang terjangkau peternak. Faktor lingkungan yakni kebijakan dan dukungan pemerintah juga berperan untuk meningkatkan produktivitas ternak. Dukungan pemerintah bersifat kontinyu dan sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi peternak, terutama bagi peternak yang ditetapkan sebagai wilayah perbaikan mutu genetik ternak. Kepemilikan ternak per kepala keluarga yang rendah/kecil dengan ketidak-mampuan peternak memelihara ternak sehingga kualitasnya terjaga, menyebabkan upaya perbaikan mutu genetik ternak tidak berjalan sesuai rencana. 5.7.4. Perbaikan Mutu Genetik Strategi perbaikan mutu genetic ternak bergantung pada kebijakan pemuliaan (breeding policy) dan tujuan pemuliaan suatu rumpun ternak. Untuk sapi Bali di NTB, kebijakan pemuliaan yang ditetapkan adalah menjadikan NTB sebagai sumber sapi Bali bibit dengan tujuan untuk dikembangkanbiakan maupun untuk dipotong. Hal ini memberikan petunjuk bahwa tujuan pemuliaan sapi Bali di NTB adalah peningkatan bobot atau ADG. Dengan demikian maka strategi perbaikan mutu genetik diutamakan melalui seleksi yang diikuti pengaturan perkawinan antar-ternak sedemikian rupa agar tingkat silang menjadi seminimal mungkin. Pejantan yang digulirkan di kelompok, perlu diuji performannya di UPT/BPT milik pemerintah untuk memastikan kualitas genetiknya. Jika tidak memungkinkan
61
uji performan dilakukan oleh kelompok peternak penggemukan yang disepakati di bawah kordinasi pemerintah atau perguruan tinggi. Selanjutnya, jika kelompok penggemukan belum/tidak terbentuk maka pengadaan pejantan berasal dari kelompok yang penggulirannya tetap dipantau pemerintah atau perguruan tinggi. Pejantan terpilih baik untuk uji performan maupun yang akan digulirkan langsung harus memiliki prestasi terbaik yang diketahui melalui recording. Secara skematis Gambar 5.8 menunjukkan pola SUP (stasiun uji performance) yang dikelola pemerintah atau penggemukan dan Gambar 5.9 adalah pola penggunaan pejantan secara langsung.
Gambar 5.8. Skema perguliran Pejantan Hasil Uji Performan
Gambar 5.9. Skema Perguliran Pejantan Langsung
62
Pada sistem pemeliharaan ekstensif perbaikan mutu genetik serupa dengan di wilayah intensif. Perbedaannya, pada pola ekstensif ternak lebih dominan tidak berada di kandang dan dipelihara oleh peternak secara individual namun dalam jumlah yang lebih banyak sehingga perguliran pejantan antar pemilik sulit dikontrol. Oleh karena itu, cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan sejumlah pejantan unggul dari luar kelompok seperti dari hasil seleksi pejantan di UPT Serading. Karena sistem ekstensif, maka rasio induk dibandingkan pejantan sekitar 25–30 ekor untuk seekor pejantan dengan lama penggunaan 2 (dua) tahun. Hal itu dimaksudkan agar pejantan tidak sempat mengawini anak betinanya sehingga efek silang (inbreeding) dapat dihindari. Selanjutnya, pejantan ini dapat digunakan pada peternak lain yang ternak betinanya baik yang dara maupun induk yang sudah jauh (di atas 6 generasi) tidak ada hubungan kekeluargaanya. Pengadaan pejantan menjadi tanggung jawab pemerintah. Urusan peternak adalah memelihara, merawat, dan menggunakan secara baik dan benar selama 2 (dua) tahun. Setelah dua tahun, pejantan tersebut ditarik pemerintah untuk digulirkan ke peternak berikut. Selanjutnya, setelah digunakan oleh 2 (dua) peternak, pejantan ditarik untuk dijual guna membeli pejantan baru yang hubungan kekerabatannya jauh. Demikian seterusnya. Untuk menghindari inbreeding anak ternak jantan dari keturunan pejantan yang digulirkan, digemukkan untuk dijadikan ternak potong. 5.7.5. Pengembangan Unggas Strategi pengembangan unggas dibagi menjadi dua bagian yaitu pengembangan unggas lokal dan pengembangan ayam ras (ayam pedaging dan petelur). Unggas lokal adalah ayam buras dan ternak itik. Strategi pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) diarahkan pada terbentuknya usaha rakyat yang maju dan mandiri. Untuk tujuan itu pengusaha dan calon pengusaha harus mendapat pendampingan intensif disertai dengan pengadaan modal yang mudah dan murah. Pendampingan teknis dapat dilakukan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB, Disnak Keswan kabupaten/kota, perguruan tinggi serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sedangkan pendampingan permodalan dilakukan Dinas
63
Koperasi, Usaha kecil dan Menengah dan lembaga keuangan mikro. Pengembangan ayam buras diarahkan pada ayam kampung unggul hasil seleksi oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, yaitu ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak) serta ayam Arab. Kelebihan kedua jenis ayam ini adalah produksi telurnya dapat mencapai 60% lebih dibandingkan ayam kampung. Tingginya produksi ini merupakan modal untuk melipat-gandakan populasi, sehingga keterbatasan produksi daging asal ayam kampung dapat tertanggulangi. Bibit ayam KUB bisa didatangkan dari Stasiun Riset di Ciawi Bogor atau dari BPTP Narmada yang sudah ditunjuk sebagai suplayer untuk NTB. Sedangkan bibit ayam arab dan itik diambil dari peternak lokal yang ada di sentra peternakan ayam buras dan itik yang ada sekarang. Beberapa sentra ayam arab di Jawa sudah menjalin hubungan dengan peternak NTB guna pengembangan perbibitan ternak ini di NTB. Pada pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) peternak diarahkan membentuk kelompok. Setiap kelompok usaha ayam kampung dan ayam arab agar mendapat pembinaan intensif kalau perlu hingga daerah tersebut berkembang menjadi Kampung Unggas yang maju dan mandiri. Pada tahap selanjutnya dikembangkan kelompok usaha ternak itik, di mana peternak berperan sebagai penghasil telur tetas, penghasil bibit (penetasan), pembuat telur asin (prosessing), penjual daging itik, telur konsumsi dan telur asin, serta penyedia sarana produksi. Bentuk pembinaan sama dengan pada kelompok usaha ayam buras yang mengarah pada terbentuknya kampung unggas berbasis itik. Komoditi ayam ras (ayam pedaging dan petelur) umumnya sudah relatif mapan sehingga pengembangannya diserahkan pada dunia usaha.
5.8. Analisis SWOT Secara garis besar, analisis SWOT pada kajian ini dibagi menjadi tiga bagian yakni analisis SWOT bagi ternak besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (kambing, domba, babi) dan unggas (ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur dan itik), sbb: 1). Analisis SWOT Sapi Bali
64
Analisis SWOT ternak sapi khusus difokuskan ke arah pengembangan sapi Bali yang dominan dipelihara penduduk, yakni melingkupi sekitar 97,6 persen dari total populasi ternak sapi di NTB. Analisis SWOT sapi Bali dilakukan dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap ternak ini, sbb: Kekuatan: Bibit sapi Bali yang diproduksi peternak NTB paling banyak dicari karena merupakan sapi dengan klasifikasi terbaik di level nasional. Fertilitas sapi Bali tinggi dan tahan terhadap depresi inbreeding Persentase karkas tinggi dan dagingnya lebih disukai dibandingkan daging spesies ternak besar lokal lainnya. Daya adaptasinya baik terhadap lingkungan, tahan terhadap parasit internal dan bebas penyakit jembrana. Kelemahan Sifat alami sapi Bali adalah liar dan dapat muncul jika dipelihara di alam bebas. Cenderung terjadi penurunan mutu genetik baik karena inbreeding maupun disebabkan seleksi negatif. Persilangannya dengan bangsa sapi jenis lain menghasilkan sapi jantan infertil atau majir/mandul (F1). Angka kematian pedet relatif tinggi. Peluang Permintaan sapi Bali dari luar NTB belum terpenuhi. Potensi wilayah NTB masih memungkinkan untuk pengembangan ternak sapi Bali. Harga sapi Bali menarik, trend harganya naik terus. Kultur masyarakat NTB suka memelihara sapi Bali. Daerah pesaing relatif terbatas, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Ancaman Angka pencurian ternak relatif tinggi. Alih fungsi lahan menyebabkan penyempitan area peternakan.
65
Ketersediaan pakan pada bulan-bulan tertentu sangat terbatas. Impor sapi hidup maupun impor daging. Ketersediaan sarana pendukung untuk pemasaran ke luar daerah terbatas. Kultur beternak di kalangan anak muda cenderung menurun. Strategi Pengembangan Sapi Bali Pengembangan ternak sapi, khususnya sapi Bali di Provinsi NTB merupakan hal yang dibahas sebagai isu strategis di samping dikaji pula kebijakan dan kegiatan yang dilakukan. Strategi pengembangan sapi Bali di NTB terurai sbb: A. Isu Strategis a. Permintaan bibit sapi Bali asal NTB terus meningkat dan semakin sulit dipenuhi. b. Standar bobot badan sapi Bali yang diantarpulaukan cenderung menurun. c. Minat beternak sapi masyarakat NTB tinggi. d. Pencurian ternak masih merupakan masalah dalam kegiatan beternak. e. Pemotongan sapi Bali betina produktif masih belum bisa dikendalikan. B. Kebijakan a. Perlu perhitungan cermat mengenai perkembangan populasi untuk menata jumlah pengeluaran, pemotongan, replacement dan lainnya. b. Perlu pelaksanaan aturan secara konsisten tentang penentuan grade sapi bibit dan sapi potong secara ketat. c. Perlu mengedepankan kesesuaian daya dukung dan figur calon penerima dalam penyaluran bantuan. d. Penerapan kandang kelompok dengan diperkuat oleh komitmen aparat terkait. e. Penegakan aturan secara konsisten terhadap pemotongan betina produktif. C. Kegiatan a. Pendataan dan registrasi sapi seperti dilakukan di Kabupaten Sumbawa agar diperluas ke wilayah lain dan dilakukan secara berkesinambungan. b. Sosialisasi informasi harga sapi bibit (SK Gubernur NTB No 166/2013).
66
c. Penyediaan dan penggunaan pejantan unggul dan teknologi IB untuk menekan rendahnya angka kebuntingan di kandang kolektif terutama di Pulau Lombok. d. Penguatan peran kelompok peternak untuk mengakomodir penjualan sapi secara kolektif. e. Penggunaan timbangan dalam jual beli sapi untuk menjamin kepastian harga. f. Seleksi penerima bantuan sapi agar tepat sasaran (kelompok maupun orangnya). g. Meneruskan bantuan kandang kolektif bagi peternak untuk lebih menjamin keamanan sapi. h. Perlu adanya perlakuan khusus di daerah endemik penyakit. i. Pelatihan petugas dan penyediaan obat dalam jumlah memadai untuk mencegah penyakit zoonosis. j. Perlu memberikan peran lebih besar bagi Puskewan untuk mencegah penyebaran penyakit hewan ke manusia seperti adanya new emerging desease. k. Pengaturan musim kawin untuk menekan angka kematian pedet dan menghindari inbreeding. l. Revitalisasi dan perbanyakan instalasi IB baik sarana (kontainer dan kelengkapan) maupun prasarananya (kendaraan operasional). m. Penerapan teknologi agar pakan tetap tersedia sepanjang tahun. n. Pembatasan pengeluaran pejantan unggul. o. Peningkatan populasi ternak dilakukan di daerah yang daya dukung lahan dan pakannya masih potensial. p. Sosialisasi dan penegakan hukum bagi pelaku pemotongan betina produktif. q. Pengembangan sektor hilir antara lain dengan merevitalisasi rumah potong hewan dan pengolahan pasca panen. r. Inventarisasi dan sertifikasi lahan lar dan so. 2). Analisis SWOT Kerbau Hasil analisis SWOT terhadap kerbau di NTB tersaji pada uraian berikut: Kekuatan:
Kualitas kerbau NTB termasuk ke dalam grade unggul di level nasional.
67
Bertemperamen jinak.
Ternak kerbau termasuk ternak multi fungsi.
Kerbau belang dan karapan harganya lebih mahal dibandingkan kerbau biasa.
Kelemahan
Peka terhadap keseimbangan kalsium dan fosfor pakan, sehingga terjadi gangguan perkembangan otak (enchephalo malacia).
Cenderung terjadi depresi inbreeding dan seleksi negatif.
Reproduksi berlangsung relatif lama.
Kelahiran umumnya terjadi pada musim kering sehingga berimplikasi pada tingginya tingkat kematian pedet.
Memerlukan ketersediaan air untuk berkubang dan mengatasi cekaman panas.
Peluang
Permintaan dari luar NTB tinggi.
Potensi wilayah bagi pengembangannya masih dimungkinkan
Harganya menarik, trend harganya naik terus
Kelompok masyarakat tertentu suka memeliharanya
Ancaman
Ancaman pencurian tinggi
Ketersediaan pakan di musim kering terbatas
Alih fungsi lahan lar dan so mengakibatkan areal pengembangannya terus terdesak
Prasarana pendukung untuk pemasaran terbatas.
Strategi Pengembangan Kerbau Pengembangan kerbau di NTB terutama difokuskan di Pulau Sumbawa dan sebagian kecil di Pulau Lombok bagian selatan. Rincian pengembangan kerbau sbb: A. Isu Strategis a. Jumlah permintaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan produksi.
68
b. Angka pencurian ternak kerbau tinggi. c. Terjadi kecenderungan peternak kerbau beralih mengusahakan sapi. d. Alih fungsi lahan kawasan lar dan so mengakibatkan lokasi pemeliharaan kerbau semakin menyusut. B. Kebijakan a. Peningkatan populasi dan produksi ternak kerbau. b. Pengetatan sistem keamanan di wilayah pantai barat pulau Sumbawa. c. Penguatan dan pembentukan kelompok peternak kerbau. d. Penentuan kawasan pengembangan agar ternak kerbau tidak terus terdesak. C. Kegiatan a. Pengaturan keseimbangan pakan untuk menghindari munculnya penyakit enchephalo malacia (bara otak). b. Penyebarluasan informasi strandar harga bibit kerbau (SK Gubernur NTB No.166/2013) dan kerbau potong. c. Pendataan populasi secara tepat untuk pengambilan keputusan dan kebijakan. d. Penguatan fungsi kelompok peternak termasuk untuk mengakomodir penjualan ternak secara berkelompok. e. Penyediaan dan penetapan lokasi khusus bagi pemeliharan kerbau dan ternak besar lain agar habitatnya tidak terus tergusur. f. Revitalisasi peran Puskeswan g. Instensifikasi kawin alam dan kawin suntik (IB). h. Penerapan teknologi pakan perlu dilakukan agar tetap tersedia sepanjang tahun. i. Pembatasan pengeluaran pejantan unggul. j. Peningkatan produktivitas ternak melalui perbaikan manajemen perkawinan. D. Analisis SWOT Kambing/domba Analisis SWOT kambing dan domba dilakukan dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang melingkupi ternak ini, sebagai berikut:
69
Kekuatan: Anak yang dilahirkan lebih dari 1 ekor setiap kelahiran (bersifat polytocus/prolifik) Sesuai kondisi alam Indonesia, tahan penyakit Mampu hidup dengan memanfaatkan pakan bermutu rendah Daging kambing dan domba disukai kalangan tertentu, dikesankan baik untuk menjaga stamina. Bisa menghasilkan susu. Pupuk kompos produk kambing lebih disukai bagi penanaman holtikultura. Pangsa pasar bagus. Kelemahan Kurang tahan lembab. Image yang berkembang adalah daging kambing mengandung kolesterol tinggi. Penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF) pada sapi Bali bila domba dipelihara bersama sapi Bali. Bila dipelihara dengan cara dilepas di alam bebas, keberadaannya sulit dikontrol karena memiliki sifat merusak yang besar. Variasi jenis bibit kambing yang tersedia terbatas. Peluang
Angka permintaan terhadap kambing/domba di dalam maupun luar negeri (Timur Tengah) tergolong tinggi.
Harganya menarik dengan trend terus naik.
Kebutuhan pakan tidak banyak sehingga bisa dipelihara petani di lahan sempit.
Modal usaha yang dibutuhkan relatif terjangkau kalangan bawah.
Ancaman
Ancaman pencurian tinggi
Ketersediaan pakan di paruh akhir musim kering agak terbatas.
Kampanye swasembada daging cenderung ditujukan pada sapi dan kerbau saja.
70
Serangan anjing liar seperti di Pulau Sumbawa masih sering terjadi.
Strategi Pengembangan Kambing dan Domba Pengembangan kambing dan domba di NTB adalah dengan rincian sbb: Isu Strategis a. Permintaan tinggi, jauh melampaui kemampuan penyediaan oleh peternak. b. Penurunan mutu genetik kambing bermutu unggul seperti kambing Boer dan Ettawa yang dilepas di masyarakat. c. Belum ada pemisahan wilayah pemeliharaan domba dan sapi Bali yang bisa mengakibatkan penyakit ingusan (MCF) yang mematikan pada sapi Bali. d. Tidak tersedia lahan permanen untuk pengembangan semua jenis ternak, termasuk untuk kambing dan domba. Kebijakan a. Peningkatan populasi dan produktivitas per satuan ternak. b. Perlu pengadaan dan penyediaan bibit kambing dan domba unggul. c. Perlu pemisahan zonasi pemeliharaan ternak domba dan sapi. d. Penetapan kawasan yang bersifat permanen bagi semua ternak. Kegiatan a. Penyediaan pejantan unggul dan induk untuk peningkatan angka kelahiran di setiap kawasan. b. Pembentukan sentra pembibitan kambing dan domba di wilayah potensial. c. Perbanyakan sumber pakan kambing dan domba melalui program penanaman legume pohon. d. Sistem pemeliharaan kambing menggunakan system kandang panggung e. Penetapan pemisahan zonasi pemeliharaan ternak domba dan sapi Bali. f. Penguatan kelembagaan peternak kambing dan domba. g. Optimalisasi pemanfaatan limbah kambing/domba seperti pembuatan pupuk. h. Penyelenggaraan kontes kambing dan domba unggul. i. Peningkatan peran serta ibu dan remaja untuk memelihara kambing.
71
D. Analisis SWOT Unggas (Ayam Buras dan Itik) Kekuatan:
Tahan terhadap pola pemeliharaan sederhana.
Tidak sepenuhnya tergantung pada pakan pabrikan.
Bahan baku masakan/kuliner tradisional dengan cita rasa produknya khas.
Pengusahaannya tidak membutuhkan lahan yang luas.
Kelemahan
Pertumbuhan lambat
Produktivitas telur rendah
Tidak tersedia perusahaan pembibitan unggul
Rentan terhadap flu burung dan penyakit ND (tetelo).
Kualitas bibit itik/ayam buras yang tersedia relative rendah.
Peluang
Pasar masih terbuka luas
Harganya menarik, trend harganya cenderung naik terus.
Modal untuk pengusahaannya relatif kecil.
Pengusahaan komoditi ini belum berada di tangan pengusaha besar.
Ancaman
Masuknya produk unggas dari luar.
Ketersediaan pakan terbatas.
Pengaruh gaya hidup, ada kecenderungan anak-anak meninggalkan masakan berbasis ayam buras dan itik.
Kehadiran kuliner cepat saji berbahan baku ayam (McDonald, KFC dll.)
Serangan penyakit ND dan zoonosis pada unggas. Berdasarkan kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang yang melingkupi itik
dan ayam buras dapat diuraikan isu dan masalah strategis serta kebijakan dan kegiatan yang bisa dilakukan untuk menjawab persoalan kedua jenis unggas itu di NTB meliputi:
72
Strategi Pengembangan Ayam dan Itik Isu strategis: a. Terjadi kesenjangan besar antara permintaan dan penawaran (daging dan telur) b. Kualitas dan kuantitas bibit ayam buras dan itik rendah sehingga produktivitasnya rendah. c. Rumah potong ayam (RPA) belum ada, dan higienitas tempat pemotongan ayam (TPA) dan itik sangat rendah. d. Serangan penyakit ND dan zoonosis yang tinggi pada unggas. Kebijakan: a. Penciptaan iklim usaha yang lebih kondusif agar lebih banyak pelaku terlibat. b. Penciptaan dan penyediaan bibit unggul ayam buras dan itik antara lain dengan mendorong lebih banyak berdirinya kampung unggas. c. Perbaikan penanganan masalah pakan. d. Penanganan masalah pemotongan e. Penanganan masalah kesehatan hewan. Kegiatan: a. Penyediaan paket kredit dan atau bantuan khusus untuk usaha perunggasan. b. Spesialisasi dalam bidang usaha perunggasan. c. Penyatuan berbagai jenis kegiatan usaha perunggasan dalam suatu wilayah terpadu yang disebut sebagai kampung unggas. d. Pembentukan sentra pembibitan. e. Perbanyakan sentra pengembangan ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) f. Pendirian RPA di tempat strategis serta TPA yang lebih higienis. g. Pelatihan tenaga operasional RPA dan TPA untuk menghasilkan daging halal dan higienis. h. Pengadaan vaksin ND dan AI yang memadai. Pengembangan ayam broiler dan ayam petelur diserahkan ke kalangan dunia usaha. Pemerintah sebaiknya berfungsi sebagai pembina pada sektor hilir (pemotongan
73
terutama yang berskala rumah tangga) guna menghindari pencemaran lingkungan, sehingga dalam studi ini analisis SWOT ayam broiler dan ayam petelur diabaikan. Adapun peta lokasi pilot proyek rencana pengembangan kawasan peternakan Provinsi NTB tertera pada Gambar 5.10. Rencana pengembangan tersebut dibuatkan beberapa pertimbangan teknis.
Kuda
Ayam buras
Sapi
Itik
Kerbau
Kambing
Ayam petelur
Domba
Ayam potong
Gambar 5.10.: Lokasi pilot proyek komoditas ternak di NTB sesuai hasil kajian.
74
BAB VI. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Kesimpulan Masterplan Kawasan Pengembangan Peternakan NTB ini merujuk pada ketersediaan dan potensi lahan serta sumberdaya lain yang dimiliki masingmasing kabupaten/kota di NTB, dengan rincian kesimpulan sbb: 6.1.1. Berdasarkan hasil analisis overlay sapi prospektif dikembangkan di Kabupaten Bima dan Lombok Utara. Ternak kerbau prospektif dikembangkan di Kabupaten Sumbawa dan Bima. Kuda juga potensial dikembangkan di Kabupaten Sumbawa. Ternak kecil seperti kambing potensial dikembangkan di Lombok Utara, Kabupaten Bima, Sumbawa, Mataram dan Dompu. Domba tidak memiliki daerah spesifik bagi pengembangannya. 6.1.2. Berdasarkan analisis ketersediaan pakan dan daya dukung lahan bagi ternak pemakan rumput (meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba), potensi pengembangan terbesar Provinsi NTB adalah di Kabupaten Sumbawa dengan daya tampung potensial 146.745 unit ternak (UT). Sebaran wilayah potensial bagi herbivora di Sumbawa meliputi Kecamatan Labangka, Lenangguar, Lunyuk, Rhee, Plampang, Alas Barat, Batu Lanteh, Alas, Buer dan Ropang. Selanjutnya adalah Kabupaten Bima dengan daya tampung potensial 122.090 UT berlokasi di Kecamatan Wera, Sanggar, Langgudu, Tambora, Sape, Palibelo, Wawo, Lambitu, Belo dan Parado. Wilayah potensial lain adalah KLU dengan daya tampung 4.407 UT terfokus di Kecamatan Bayan; serta Kota Mataram dengan daya tampung potensial 1.528 UT, meliputi wilayah Sandubaya, Mataram, Sekarbela, Selaparang, dan Cakranegara. Sebaliknya wilayah NTB yang kelebihan daya tampung ternak herbivora berturut-turut adalah Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Kota Bima dan Kabupaten Dompu. 6.1.3. Merujuk pada hasil analisis LQ, wilayah potensial bagi pengembangan sapi di NTB berturut-turut di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Utara, dan Kabupaten Bima. Kerbau di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat,
75
Dompu dan Bima. Kuda di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima. Kambing di Kabupaten Bima, Dompu, Lombok Utara dan Sumbawa Barat. Domba di Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Sumbawa. Ayam Buras
di Kabupaten Lombok Utara, Sumbawa Barat, Kota
Bima, Sumbawa, Dompu, Mataram, Lombok Barat, Bima. Ayam pedaging di Kabupaten Lombok Barat, Mataram, Lombok Utara. Ayam petelur di Kota Bima dan Kabupaten Lombok Tengah. Itik
di Kabupaten Lombok Timur,
Mataram, Dompu, Lombok Tengah, Kota Bima
6.2. Saran 6.2.1. Strategi pengembangan ternak sebagaimana terurai dalam pembahasan penelitian ini dalam penjabarannya tidak sepenuhnya harus dilakukan secara kaku dan mengikat karena daya dukung bagi pengembangan sesuatu jenis ternak bisa diperbaiki misalnya dengan memperbaikan pola penanganan jumlah dan mutu pakan. 6.2.2. Strategi pengembangan kawasan peternakan dilakukan secara bertahap yang didahului
dengan
pengembangan
model
peternakan
yang
efisien,
berprodukitivitas tinggi dan ramah lingkungan. Best bet model tersebut selanjutnya dapat diimplementasikan ke kabupaten dan kota lain di NTB. 6.2.3. Pengembangan ternak herbivora di Kota Mataram (dan juga Kota Bima) agar memperhatikan aspek kecepatan pertumbuhan alih fungsi lahan karena daerah ini selain menjadi ibukota Kota Mataram juga sekaligus merupakan ibukota Provinsi NTB.
76
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Daya dukung wilayah Kabupaten Lombok Utara. Lampiran .1. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten Lombok Utara. No
Kecamatan
Limbah
Ketersediaan Hijauan
Kebutuhan ton/tahun
Populasi UT
Total
Selisih ton/th
UT
1
Pemenang
3,205.80
3,485.70
6,691.50
8,515.44
19,425.84 -12,734.35
-5,582.18
2
Tanjung
5,037.62
5,079.00
10,116.62
10,584.64
24,146.20 -14,029.58
-6,149.96
3
Gangga
6,509.33
10,655.40
17,164.73
9,926.72
22,645.34
-5,480.61
-2,402.46
4
Kayangan
11,652.45
5,620.80
17,273.25
15,791.49
36,024.34 -18,751.09
-8,219.65
5
Bayan
32,310.73
79,850.85 112,161.58
22,405.29
51,112.07
61,049.51
26,761.43
6
KLU
58,715.93 104,691.75 163,407.68
67,223.58 153,353.79
10,053.89
4,407.18
Lampiran.2. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Utara.
Jan
Hijauan alam (ton BK) 8,724.31
Limbah pertanian (ton BK) 326.63
Feb
8,724.31
Mar
Bln
Ketersediaan Ternak (UT) (ton BK)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
9,050.95
67,223.58
13,024.57
-3,973.62
-20,509.02
731.87
9,456.18
67,223.58
11,764.13
-2,307.95
-12,733.50
8,724.31
7,356.80
16,081.11
67,223.58
13,024.57
3,056.54
15,775.70
Apr
8,724.31
19,565.94
28,290.26
67,223.58
12,604.42
15,685.84
83,657.79
Mei
8,724.31
9,027.25
17,751.56
67,223.58
13,024.57
4,726.99
24,397.38
Jun
8,724.31
-
8,724.31
67,223.58
12,604.42
-3,880.11
-20,693.91
Jul
8,724.31
756.47
9,480.78
67,223.58
13,024.57
-3,543.79
-18,290.51
Agst
8,724.31
11,458.40
20,182.71
67,223.58
13,024.57
7,158.14
36,945.26
Sept
8,724.31
-
8,724.31
67,223.58
12,604.42
-3,880.11
-20,693.91
Okt
8,724.31
-
8,724.31
67,223.58
13,024.57
-4,300.26
-22,194.87
Nop
8,724.31
689.90
9,414.21
67,223.58
12,604.42
-3,190.21
-17,014.44
Des
8,724.31
8,802.66
17,526.98
67,223.58
13,024.57
4,502.41
23,238.24
Jml
104,691.75
58,715.93
163,407.68
67,223.58
153,353.79
10,053.89
4,407.18
77
Daya dukung wilayah Kota Mataram. Lampiran 3. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) wilayah Kota Mataram. No
Kecamatan
Ketersediaan Limbah
Hijauan
Total
Populasi UT
Kebutuhan
Selisih ton/tahun
UT
1
Ampenan
600.05
145.70
745.76
496.88
1,133.51
-387.75
-169.97
2
Sekarbela
1,711.92
269.25
1,981.17
587.07
1,339.25
641.92
281.39
3
Mataram
1,254.42
268.20
1,522.62
248.20
566.21
956.41
419.25
4
Selaparang
848.66
178.43
1,027.08
215.09
490.68
536.40
235.14
5
Cakranegara
712.03
141.51
853.54
197.11
449.65
403.89
177.05
6
Sandubaya Kota Mataram
2,044.99 7,172.07
383.95 1,387.04
2,428.93 8,559.11
478.74 2,223.09
1,092.13 5,071.43
1,336.80 3,487.68
585.99 1,528.84
Lampiran 4. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan wilayah Kota Mataram. Bln
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertanian (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
Jan
115.59
-
115.59
2,223.09
430.72
-315.14
-1,626.52
Feb
115.59
12.05
127.63
2,223.09
389.04
-261.41
-1,442.26
Mar
115.59
220.83
336.41
2,223.09
430.72
-94.31
-486.77
Apr
115.59
311.35
426.94
2,223.09
416.83
10.11
53.90
Mei
115.59
375.87
491.46
2,223.09
430.72
60.73
313.46
Jun
115.59
109.27
224.85
2,223.09
416.83
-191.98
-1,023.88
Jul
115.59
356.42
472.01
2,223.09
430.72
41.28
213.08
Agst
115.59
423.86
539.45
2,223.09
430.72
108.73
561.17
Sept
115.59
157.99
273.58
2,223.09
416.83
-143.25
-764.02
Okt
115.59
75.21
190.80
2,223.09
430.72
-239.93
-1,238.34
Nop
115.59
565.71
681.30
2,223.09
416.83
264.47
1,410.49
Des
115.59
370.81
486.39
2,223.09
430.72
55.67
287.32
1,387.04
2,979.36
4,366.40
2,223.09
5,071.43
-705.03
-309.06
Jumlah
78
Daya Dukung Wilayah Kabupaten Lombok Barat Lampiran. 5. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten Lombok Barat. No
Kecamatan
Limbah
Ketersediaan Hijauan
Populasi UT
Total
Kebutuhan
Selisih ton/tahun UT
1
GunungSari
4,296.53
3,302.70
7,599.23
6,726.85
15,345.63
-7,746.39
-3,395.68
2
Batu Layar
1,402.10
3,178.80
4,580.90
4,519.66
10,310.48
-5,729.58
-2,511.60
3
Lingsar
7,336.43
1,530.15
8,866.58
6,482.05
14,787.19
-5,920.60
-2,595.33
4
Narmada
8,633.48
2,472.15
11,105.63
6,129.62
13,983.20
-2,877.57
-1,261.40
5
Labuapi
6,378.98
4,039.50
10,418.48
1,447.10
3,301.19
7,117.29
3,119.91
6
Kediri
6,042.77
7,940.70
13,983.47
2,339.31
5,336.55
8,646.92
3,790.43
7
Kuripan
5,370.89
9,272.70
14,643.59
2,350.81
5,362.78
9,280.81
4,068.30
8
Gerung
14,867.46
6,745.65
21,613.11
11,376.53
25,952.70
-4,339.60
-1,902.29
9
Lembar
10,304.84
3,532.05
13,836.89
20,231.84
46,153.88
10
Sekotong Kab. Lobar
17,382.89 82,016.36
25,015.80 67,030.20
42,398.69 149,046.56
19,829.04 45,235.01 81,432.81 185,768.59
-32,316.99 -14,166.35 -2,836.31 -36,722.03
-1,243.32 -16,097.33
Lampiran 6. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Barat. Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Jumlah
Hijauan alam (ton BK) 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 5,585.85 67,030.20
Limbah pertanian (ton BK) 1,515.23 2,737.34 23,180.88 11,312.19 1,524.51 1,161.91 12,698.69 9,116.51 1,147.40 6,862.12 9,408.36 1,351.20 82,016.36
Ketersedia an (ton BK) 7,101.08 8,323.19 28,766.73 16,898.04 7,110.36 6,747.76 18,284.54 14,702.36 6,733.25 12,447.97 14,994.21 6,937.05 149,046.56
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81 81,432.81
5,777.61 14,250.74 15,777.61 15,268.65 15,777.61 15,268.65 15,777.61 15,777.61 15,268.65 15,777.61 15,268.65 15,777.61 185,768.59
-8,676.52 -5,927.56 12,989.12 1,629.39 -8,667.25 -8,520.89 2,506.94 -1,075.24 -8,535.40 -3,329.64 -274.44 -8,840.56 -36,722.03
-44,782.05 -33,871.75 67,040.64 8,690.10 -44,734.18 -45,444.73 12,939.03 -5,549.64 -45,522.13 -17,185.22 -1,463.69 -45,628.67 -16,097.33
79
Daya dukung wilayang di Kabupaten Lombok Tengah Lampiran 7. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten Lombok Tengah. Ketersediaan No
Kecamatan
Limbah 1 Praya Barat 20,193.99 2 Praya Barat Daya 22,708.02 3 Pujut 20,134.06 4 Praya Timur 11,606.62 5 Janapria 8,856.59 6 Kopang 9,444.09 7 Praya 8,591.95 8 Praya Tengah 11,453.86 9 Jonggat 17,610.57 10 Pringgarata 11,787.14 11 Batukliang 7,338.38 12 Batukliang Utara 5,794.00 13 Lombok Tengah 155,519.27
Hijauan 19,974.90 16,083.75 31,139.25 7,729.80 6,440.10 7,640.55 6,639.15 6,447.45 8,915.55 6,462.75 6,051.75 27,757.35 151,282.35
Total 40,168.89 38,791.77 51,273.31 19,336.42 15,296.69 17,084.64 15,231.10 17,901.31 26,526.12 18,249.89 13,390.13 33,551.35 306,801.62
Populasi UT
Kebutuhan
Selisih
16,918.75 13,679.75 32,519.34 5,461.57 8,940.61 8,505.78 5,630.22 11,728.19 13,663.56 8,474.14 7,585.20 9,469.50 142,576.62
38,595.91 31,206.93 74,184.75 12,459.20 20,395.76 19,403.81 12,843.95 26,754.93 31,169.99 19,331.63 17,303.73 21,602.31 325,252.90
ton/tahun UT 1,572.98 689.53 7,584.84 3,324.86 -22,911.44 -10,043.37 6,877.21 3,014.67 -5,099.07 -2,235.21 -2,319.17 -1,016.62 2,387.15 1,046.42 -8,853.61 -3,881.04 -4,643.87 -2,035.67 -1,081.74 -474.19 -3,913.60 -1,715.55 11,949.05 5,237.94 -18,451.28 -8,088.23
Lampiran 8. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Lombok Tengah. Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des
Hijauan alam (ton BK) 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86 12,606.86
Jumlah 151,282.35
Limbah Ketersediaan pertanian (ton BK) (ton BK) 0.00 12,606.86 303.53 12,910.40 17,051.04 29,657.90 4,717.01 17,323.87 4,302.70 16,909.56 349.88 12,956.74 4,082.82 16,689.68 4,026.12 16,632.98 3,790.47 16,397.33 8,418.20 21,025.07 22,846.55 35,453.41 3,103.33 15,710.19 72,991.65
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62 142,576.62
7,624.22 24,950.91 27,624.22 26,733.12 27,624.22 26,733.12 27,624.22 27,624.22 26,733.12 27,624.22 26,733.12 27,624.22
-15,017.36 -12,040.51 2,033.68 -9,409.25 -10,714.66 -13,776.38 -10,934.54 -10,991.24 -10,335.78 -6,599.15 8,720.30 -11,914.03
-77,508.94 -66,430.41 10,496.42 -50,182.64 -55,301.45 -73,474.01 -56,436.31 -56,728.96 -55,124.18 -34,060.14 46,508.25 -61,491.76
224,274.00 142,576.62
325,252.90
-100,978.91
-44,264.73
80
Daya dukung Kawasan Kabupaten Lombok Timur Lampiran 9. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten Lombok Timur No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Keruak Jeroaru Sakra Sakra Barat Sakra Timur Terara MontongGading Sikur Masbagik Pringgasela Sukamulia Suralaga Selong Labuhan Haji Pringgabaya Suela Aikmel Wanasaba Sembalun Sambelia Kab. Lotim
Ketersediaan Limbah Hijauan Total 2,912.76 2,658.15 5,570.91 6,739.11 15,470.55 22,209.66 3,355.25 1,641.00 4,996.25 7,055.00 2,197.20 9,252.20 4,362.54 2,499.15 6,861.69 5,177.43 2,787.75 7,965.18 5,058.09 1,615.20 6,673.29 5,040.75 2,292.00 7,332.75 5,061.48 1,752.30 6,813.78 3,766.83 4,203.15 7,969.98 1,703.28 743.25 2,446.53 3,855.74 1,661.85 5,517.59 2,979.63 1,993.35 4,972.98 7,610.79 2,338.95 9,949.74 21,019.38 6,951.75 27,971.13 14,240.77 7,445.85 21,686.62 21,750.46 4,397.40 26,147.86 13,257.56 3,006.45 16,264.01 2,496.20 7,772.10 10,268.30 14,169.96 7,063.95 21,233.91 151,613.02 80,491.35 232,104.37
Populasi UT
Kebutuhan
2,105.64 4,998.80 2,434.15 3,156.84 1,453.57 7,126.08 5,399.83 5,562.27 5,642.08 11,197.21 760.08 3,647.08 3,721.81 5,615.30 6,216.91 6,446.81 13,139.05 6,636.94 6,130.96 8,939.45 110,330.86
4,803.49 11,403.51 5,552.90 7,201.54 3,315.95 16,256.37 12,318.36 12,688.93 12,871.00 25,543.63 1,733.93 8,319.91 8,490.38 12,809.91 14,182.33 14,706.79 29,973.46 15,140.52 13,986.26 20,393.12 251,692.27
Selisih ton/tahun UT 767.42 336.41 10,806.15 4,736.94 -556.65 -244.01 2,050.67 898.92 3,545.74 1,554.30 -8,291.19 -3,634.50 -5,645.07 -2,474.55 -5,356.18 -2,347.91 -6,057.22 -2,655.22 -17,573.65 -7,703.52 712.61 312.37 -2,802.32 -1,228.41 -3,517.39 -1,541.87 -2,860.17 -1,253.77 13,788.80 6,044.40 6,979.83 3,059.65 -3,825.60 -1,676.97 1,123.49 492.49 -3,717.96 -1,629.79 840.80 368.57 -19,587.89 -8,586.47
Lampiran 10. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Timur Bln
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertanian (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Jml
6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 6,707.61 80,491.35
758.84 33,780.47 37,127.60 26,572.35 2,083.08 10,628.27 3,444.44 3,239.73 618.62 4,262.12 7,927.64 150,443.15
6,707.61 7,466.45 40,488.08 43,835.21 33,279.96 8,790.70 17,335.88 20,152.05 9,947.34 7,326.23 20,969.73 14,635.25 230,934.50
110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86 110,330.86
21,376.60 19,307.90 21,376.60 20,687.04 21,376.60 20,687.04 21,376.60 1,376.60 20,687.04 21,376.60 20,687.04 21,376.60 251,692.27
-14,668.99 -75,710.92 -11,841.45 -65,332.15 19,111.48 98,639.89 23,148.18 123,456.95 11,903.36 61,436.67 -11,896.34 -63,447.15 -4,040.72 -20,855.34 -1,224.55 -6,320.26 -10,739.69 -57,278.36 -14,050.37 -72,518.04 282.70 1,507.72 -6,741.35 -34,794.08 -20,757.76 -9,099.29
Selisih (UT)
81
Daya dukung lahan untuk hewan ruminansia di Kabupaten Sumbawa Barat Lampiran 11. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten Sumbawa Barat.
Sekongkang Jereweh Maluk Taliwang Brang Ene Brang Rea Seteluk
Limbah 1,348.81 1,737.30 521.76 9,229.76 1,709.57 5,844.34 10,327.05
Ketersediaan Hijauan 7,550.70 14,553.00 1,489.95 6,341.40 1,980.60 9,353.10 13,858.05
Populasi UT Total 8,899.51 3,515.19 16,290.30 7,827.00 2,011.71 2,450.31 15,571.16 12,336.19 3,690.17 3,906.93 15,197.44 5,970.03 24,185.10 14,465.53
Poto Tano
3,955.00
44,425.50
48,380.50 11,533.46
26,310.70
34,673.60
99,552.30
134,225.90 62,004.64
141,448.07
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8
KSB
Kebutuhan 8,019.03 17,855.35 5,589.76 28,141.92 8,912.68 13,619.14 32,999.48
Selisih ton/tahun UT 880.48 385.96 -1,565.05 -686.05 -3,578.05 -1,568.46 -12,570.76 -5,510.47 -5,222.51 -2,289.32 1,578.30 691.86 -8,814.38 -3,863.84 22,069.8 9,674.43 0 -7,222.17 -3,165.88
Lampiran 12. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Sumbawa Barat Bln Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Jumlah
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertanian (ton BK)
Ketersedia an (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03 8,296.03
1,204.50 8,057.83 10,328.53 3,906.47 895.52 921.41 3,009.33 1,680.95 347.73 1,739.72 2,581.61
8,296.03 9,500.53 16,353.86 18,624.56 12,202.50 9,191.55 9,217.44 11,305.35 9,976.97 8,643.75 10,035.74 10,877.63
62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64 62,004.64
12,013.40 10,850.81 12,013.40 11,625.87 12,013.40 11,625.87 12,013.40 12,013.40 11,625.87 12,013.40 11,625.87 12,013.40
99,552.30
34,673.60
134,225.90
62,004.64
141,448.07
Selisih (ton BK) -3,717.37 -1,350.29 4,340.46 6,998.69 189.10 -2,434.32 -2,795.96 -708.05 -1,648.90 -3,369.65 -1,590.13 -1,135.77 -7,222.17
Selisih (UT) -19,186.44 -7,449.85 22,402.37 37,326.35 976.00 -12,983.04 -14,430.78 -3,654.44 -8,794.12 -17,391.72 -8,480.67 -5,862.01 -3,165.88
82
Daya dukung wilayah Kabupaten Sumbawa (ton BK) Lampiran 13. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan di Kab Sumbawa No
Kecamatan
1
Lunyuk
2
Orong Telu
3
Alas
4 5
Ketersediaan Hijauan
Limbah 11,721.46
Total
Populasi UT
Kebutuhan
Selisih ton/tahun 64,512.47
UT
79,395.30
91,116.76
11,662.15
26,604.29
28,279.44
2,153.84
9,378.60
11,532.44
5,236.15
11,944.97
-412.53
-180.84
4,349.87
13,765.35
18,115.22
3,095.27
7,061.08
11,054.15
4,845.65
Alas Barat
6,295.44
31,469.70
37,765.14
5,639.23
12,864.50
24,900.64
10,915.35
Buer
2,954.17
11,901.75
14,855.92
3,488.18
7,957.40
6,898.52
3,024.01
6
Utan
7,554.41
16,421.85
23,976.26
11,791.71
26,899.83
-2,923.57
-1,281.57
7
Rhee
2,348.01
37,292.81
39,640.82
4,058.73
9,258.97
30,381.85
13,318.07
8
Batulanteh
4,352.73
28,222.80
32,575.53
4,180.83
9,537.51
23,038.02
10,098.86
9
Sumbawa
2,959.03
5,862.21
8,821.24
5,238.51
11,950.35
-3,129.11
-1,371.66
10
Labuhan Badas
6,003.88
847.08
6,850.96
9,502.55
21,677.70
-14,826.74
-6,499.39
11
Unter Iwes
5,354.18
13,170.29
18,524.46
8,201.41
18,709.47
-185.01
-81.10
12
Moyo Hilir
15,661.43
18,562.95
34,224.38
21,715.31
49,538.04
-15,313.67
-6,712.84
13
Moyo Utara
4,183.90
4,688.40
8,872.30
10,426.35
23,785.10
-14,912.80
-6,537.12
14
Moyo Hulu
9,801.61
43,788.98
53,590.59
24,507.64
55,908.05
-2,317.46
-1,015.87
15
Ropang
9,909.06
4,268.18
14,177.23
6,023.94
13,742.11
435.12
190.74
16
Lenangguar
-
85,541.10
85,541.10
7,133.01
16,272.18
69,268.92
30,364.46
17
Lantung
-
168.75
168.75
3,013.51
6,874.57
-6,705.82
-2,939.54
18
Lape
9,565.06
171.90
9,736.96
9,112.44
20,787.76
-11,050.80
-4,844.18
19
Lopok
9,548.56
15,885.75
25,434.31
16,634.28
37,946.95
-12,512.65
-5,485.00
20
Plampang
18,344.81
43,878.30
62,223.11
16,251.82
37,074.46
25,148.65
11,024.07
21
Labangka
38,440.59
80,335.80
118,776.39
6,425.97
14,659.24
104,117.16
45,640.40
22
Maronge
6,087.90
3,875.85
9,963.75
7,264.46
16,572.05
-6,608.30
-2,896.79
2,448.75 13,921.65 667,460.10
16,525.17 18,451.58 863,656.39
19,066.34 12,174.03 231,843.80
43,495.08 27,772.01 528,893.68
-26,969.91 -9,320.43 334,762.71
-11,822.43 -4,085.67 146,745.30
23 Empang 24 Tanaro Kab. Sumbawa
14,076.42 4,529.93 196,196.29
Lampiran 14. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kab. Sumbawa Hijauan alam (ton BK) Jan 55,621.68 Feb 55,621.68 Mar 55,621.68 Apr 55,621.68 Mei 55,621.68 Jun 55,621.68 Jul 55,621.68 Agst 55,621.68 Sept 55,621.68 Okt 55,621.68 Nop 55,621.68 Des 55,621.68 Jumlah 667,460.10 Bln
Limbah pertan (ton BK) 25,882.85 95,853.33 135,798.30 152,011.68 3,007.13 13,768.36 9,536.08 2,665.50 9,156.48 14,132.93 461,812.63
Ketersediaan (ton BK) 55,621.68 55,621.68 81,504.53 151,475.00 191,419.97 207,633.35 58,628.81 69,390.04 65,157.76 58,287.17 64,778.15 69,754.61 1,129,272.73
Ternak (UT) 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80 231,843.80
Kebutuhan (ton BK) 44,919.74 40,572.67 44,919.74 43,470.71 44,919.74 43,470.71 44,919.74 44,919.74 43,470.71 44,919.74 43,470.71 44,919.74 528,893.68
Selisih (ton BK) 10,701.94 15,049.01 36,584.79 108,004.29 146,500.24 164,162.64 13,709.07 24,470.30 21,687.04 13,367.44 21,307.44 24,834.87 600,379.05
Selisih (UT) 55,235.81 83,029.02 188,824.71 576,022.86 756,130.26 875,534.07 70,756.48 126,298.32 115,664.22 68,993.22 113,639.67 128,179.97 263,179.86
83
Ketersediaan pakan di Kabupaten Dompu Lampiran 15. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten Dompu. No
Kecamatan
Ketersediaan Hijauan
Limbah
Populasi UT
Total
Kebutuhan
Selisih ton/tahun UT
1
Hu'u
5,845.85
12,372.90
18,218.75
5,046.22
11,511.70
6,707.06
2,940.08
2
Pajo
4,951.51
13,483.50
18,435.01
4,718.22
10,763.43
7,671.58
3,362.88
3
Dompu
12,523.49
22,846.80
35,370.29
12,136.69
27,686.82
7,683.48
3,368.10
4
Woja
12,312.42
22,933.65
35,246.07
15,060.56
34,356.90
889.17
389.77
5
Kilo
2,558.17
27,387.30
29,945.47
9,249.03
21,099.35
8,846.11
3,877.75
6
Kempo
4,766.63
43,183.35
47,949.98
28,579.83
65,197.74
-17,247.76
-7,560.66
7
Manggalewa
8,657.69
23,071.65
31,729.34
13,951.42
31,826.68
-97.34
-42.67
8
Pekat
8,385.99
27,800.70
36,186.69
23,672.76
54,003.48
-17,816.79
-7,810.10
60,001.76
193,079.85
253,081.61
112,414.73
256,446.11
-3,364.50
-1,474.85
Kab.Dompu
Lampiran 16. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Dompu. Bln
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertanian (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
Jan
16,089.99
-
16,089.99
112,414.73
21,780.35
-5,690.37
-29,369.64
Feb
16,089.99
3,167.84
19,257.82
112,414.73
19,672.58
-414.76
-2,288.31
Mar
16,089.99
9,033.70
25,123.68
112,414.73
21,780.35
3,343.33
17,255.89
Apr
16,089.99
15,869.23
31,959.22
112,414.73
21,077.76
10,881.46
58,034.43
Mei
16,089.99
11,892.13
27,982.12
112,414.73
21,780.35
6,201.76
32,009.09
Jun
16,089.99
4,678.23
20,768.22
112,414.73
21,077.76
-309.55
-1,650.92
Jul
16,089.99
3,009.30
19,099.29
112,414.73
21,780.35
-2,681.07
-13,837.76
Agst
16,089.99
4,654.49
20,744.48
112,414.73
21,780.35
-1,035.88
-5,346.47
Sept
16,089.99
882.02
16,972.01
112,414.73
21,077.76
-4,105.75
-21,897.36
Okt
16,089.99
15.41
16,105.40
112,414.73
21,780.35
-5,674.95
-29,290.09
Nop
16,089.99
3,831.89
19,921.87
112,414.73
21,077.76
-1,155.89
-6,164.75
Des
16,089.99
2,967.54
19,057.53
112,414.73
21,780.35
-2,722.83
-14,053.30
60,001.76
253,081.61
112,414.73
256,446.11
-3,364.50
-1,474.85
Jumlah 193,079.85
84
Daya dukung lahan di Kabupaten Bima Lampiran 17. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan (ton BK) di Kab. Bima. No
Kecamatan
Ketersediaan
Populasi UT
Kebutuhan
Limbah
Hijauan
Total
13,814.04
12,232.95
26,046.99
8,213.44
18,736.92
Selisih ton/tahun
UT
7,310.07
3,204.41
1
Monta
2
Parado
2,337.29
6,208.05
8,545.34
2,979.32
6,796.57
1,748.77
766.58
3
Bolo
10,528.51
1,865.55
12,394.06
9,131.82
20,831.96
-8,437.91
-3,698.81
4
Mada Pangga
15,031.08
6,193.35
21,224.43
12,735.08
29,051.90
-7,827.48
-3,431.22
5
Woha
7,463.13
3,089.55
10,552.68
4,811.15
10,975.43
-422.74
-185.31
6
Belo
3,428.95
14,993.10
18,422.05
7,274.84
16,595.72
1,826.32
800.58
7
Palibelo
7,474.46
13,719.30
21,193.76
4,345.36
9,912.84
11,280.92
4,945.06
8
Langgudu
7,056.81
50,003.10
57,059.91
8,309.80
18,956.73
38,103.17
16,702.76
9
Wawo
11,809.73
17,531.10
29,340.83
9,238.09
21,074.40
8,266.43
3,623.64
10
Lambitu
1,464.29
9,195.75
10,660.04
2,836.99
6,471.89
4,188.15
1,835.90
11
Sape
5,500.57
39,989.40
45,489.97
13,205.54
30,125.13
15,364.84
6,735.27
12
Lambu
12,658.55
6,948.45
19,607.00
9,721.51
22,177.20
-2,570.21
-1,126.67
13
Wera
8,805.63
193,549.35
202,354.98
17,618.77
40,192.81
162,162.17
71,084.79
14
Ambalawi
3,990.85
6,756.90
10,747.75
10,379.53
23,678.30
-12,930.55
-5,668.18
15
Donggo
14,510.77
6,794.25
21,305.02
9,805.98
22,369.89
-1,064.87
-466.79
16
Soromandi
1,943.26
9,194.40
11,137.66
16,785.29
38,291.43
-27,153.77
-11,903.02
17
Sanggar
5,377.24
99,764.10
105,141.34
14,757.35
33,665.21
71,476.13
31,332.00
18
Tambora
8,442.61
26,111.85
34,554.46
7,607.62
17,354.88
17,199.59
7,539.54
141,637.77
524,140.50
665,778.27
169,757.48
387,259.24
278,519.03
122,090.53
Kab. Bima
Lampiran 18. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Bima Bln Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Jumlah
Hijauan alam Limbah pertan (ton BK) (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38 43,678.38
18,074.84 31,065.34 31,805.25 11,224.27 2,799.13 13,932.21 7,127.76 11,744.48 13,864.47
43,678.38 43,678.38 61,753.22 74,743.72 75,483.62 54,902.65 46,477.51 57,610.59 50,806.14 43,678.38 55,422.86 57,542.84
169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48 169,757.48
32,890.51 29,707.56 32,890.51 31,829.53 32,890.51 31,829.53 32,890.51 32,890.51 31,829.53 32,890.51 31,829.53 32,890.51
10,787.86 13,970.82 28,862.71 42,914.19 42,593.11 23,073.12 13,587.00 24,720.08 18,976.61 10,787.86 23,593.33 24,652.33
55,679.30 77,080.37 148,968.81 228,875.69 219,835.41 123,056.64 70,126.43 127,587.50 101,208.59 55,679.30 125,831.11 127,237.85
524,140.50
141,637.77
665,778.27
169,757.48
387,259.24
278,519.03
122,090.53
85
Daya dukung lahan di Kota Bima Lampiran 19. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kota Bima. No
Kecamatan
1 2 3 4 5
Rasanae Barat Mpunda Rasanae Timur Raba Asakota Kota Bima
Ketersediaan Limbah Hijauan Total
Populasi UT
Kebu tuhan
3,107.54 0.00 13,291.61 0.00 3,055.86 19,455.02
710.09 1,696.85 5,240.16 2,914.01 3,470.58 14,031.69
1,619.90 3,870.93 11,954.12 6,647.58 7,917.27 32,009.80
677.85 0.00 6,220.35 0.00 1,805.85 8,704.05
3,785.39 0.00 19,511.96 0.00 4,861.71 28,159.07
Selisih ton/tahun UT 2,165.49 -3,870.93 7,557.84 -6,647.58 -3,055.55 -3,850.73
949.26 -1,696.85 3,313.03 -2,914.01 -1,339.42 -1,687.99
Lampiran 20. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kota Bima. Bln
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertanian (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Jan
725.34
-
725.34
14,031.69
2,718.64
-1,993.30
-10,288.01
Feb
725.34
903.38
1,628.71
14,031.69
2,455.55
-826.83
-4,561.84
Mar
725.34
2,555.55
3,280.89
14,031.69
2,718.64
562.25
2,901.93
Apr
725.34
3,423.86
4,149.19
14,031.69
2,630.94
1,518.25
8,097.34
Mei
725.34
4,160.47
4,885.80
14,031.69
2,718.64
2,167.16
11,185.36
Jun
725.34
581.77
1,307.11
14,031.69
2,630.94
-1,323.83
-7,060.44
Jul
725.34
972.85
1,698.18
14,031.69
2,718.64
-1,020.46
-5,266.88
Agst
725.34
1,603.32
2,328.66
14,031.69
2,718.64
-389.98
-2,012.81
Sept
725.34
1,333.48
2,058.82
14,031.69
2,630.94
-572.13
-3,051.34
Okt
725.34
176.02
901.36
14,031.69
2,718.64
-1,817.28
-9,379.51
Nop
725.34
1,695.71
2,421.04
14,031.69
2,630.94
-209.90
-1,119.45
Des
725.34
2,048.62
2,773.96
14,031.69
2,718.64
55.32
285.53
8,704.05
19,455.02
28,159.07
14,031.69
32,009.80
-3,850.73
-1,687.99
Jumlah
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
86
Daya dukung lahan di P Lombok Lampiran 21. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di P Lombok No
Kabupaten
Kebutuhan Populasi UT
ton/tahun
163,407.68
67,223.58
153,353.79
10,053.89
4,407.18
1,387.04
8,559.11
2,223.09
5,071.43
3,487.68
1,528.84
Ketersediaan Limbah
Hijauan
Total
58,715.93
104,691.75
7,172.07
Selisih UT
1
KLU
2
Mataram
3
Lobar
82,016.36
67,030.20
149,046.56
81,432.81
185,768.59
-36,722.03
-16,097.33
4
Loteng
155,519.27
151,282.35
306,801.62
142,576.62
325,252.90
-18,451.28
-8,088.23
5
Lotim
151,613.02
80,491.35
232,104.37
110,330.86
251,692.27
-19,587.89
-8,586.47
P. Lombok
455,036.65
404,882.69
859,919.34
403,786.95
921,138.98
-61,219.64
-26,836.01
Lampiran 22. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di P Lombok. Bln Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Jumlah
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertan Ketersediaan (ton BK) (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22 33,740.22
1,841.87 4,543.62 81,590.01 73,034.10 41,802.67 3,704.14 28,522.68 38,469.34 8,335.59 15,974.15 47,772.64 21,555.64
35,582.09 38,283.84 115,330.24 106,774.32 75,542.90 37,444.36 62,262.90 72,209.56 42,075.82 49,714.38 81,512.87 55,295.86
403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95 403,786.95
78,233.72 70,662.72 78,233.72 75,710.05 78,233.72 75,710.05 78,233.72 78,233.72 75,710.05 78,233.72 75,710.05 78,233.72
-42,651.63 -32,378.88 37,096.52 31,064.27 -2,690.82 -38,265.69 -15,970.82 -6,024.16 -33,634.24 -28,519.34 5,802.81 -22,937.86
-220,137.45 -178,642.08 191,465.89 165,676.10 -13,888.12 -204,083.69 -82,430.05 -31,092.43 -179,382.60 -147,196.61 30,948.33 -118,388.96
404,882.69
367,146.45
772,029.13
403,786.95
921,138.98
-149,109.85
-65,363.22
87
Daya dukung di wilayah P Sumbawa Lampiran 23. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di wilayah P Sumbawa No
Kabupaten
Limbah
1 SumbawaBarat 2
Sumbawa
3
Dompu
4
Bima
5
Kota Bima
Ketersediaan Hijauan
Total
Populasi UT
Kebutuhan
Selisih ton/tahun
UT
34,673.60
99,552.30
134,225.90
62,004.64
141,448.07
-7,222.17
-3,165.88
196,196.29
667,460.10
863,656.39
231,843.80
528,893.68
334,762.71
146,745.30
60,001.76
193,079.85
253,081.61
112,414.73
256,446.11
-3,364.50
-1,474.85
141,637.77
524,140.50
665,778.27
169,757.48
387,259.24
278,519.03
122,090.53
19,455.02
8,704.05
28,159.07
14,031.69
32,009.80
-3,850.73
-1,687.99
598,844.34
262,507.11
P. Sumbawa
451,964.44 1,492,936.80 1,944,901.24
590,052.34 1,346,056.90
Lampiran 24. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di wilayah P Sumbawa. Bln
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertanian (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Ternak (UT)
Kebutuhan (ton BK)
Selisih (ton BK)
Selisih (UT)
Jan
124,411.40
-
124,411.40
590,052.34
114,322.64
10,088.76
52,071.01
Feb
124,411.40
5,275.71
129,687.11
590,052.34
103,259.16
26,427.95
145,809.38
Mar
124,411.40
63,604.77
188,016.17
590,052.34
114,322.64
73,693.53
380,353.72
Apr
124,411.40
156,540.29
280,951.69
590,052.34
110,634.81
170,316.87
908,356.66
Mei
124,411.40
187,562.61
311,974.01
590,052.34
114,322.64
197,651.37
1,020,136.12
Jun
124,411.40
169,391.47
293,802.87
590,052.34
110,634.81
183,168.06
976,896.32
Jul
124,411.40
10,709.82
135,121.22
590,052.34
114,322.64
20,798.58
107,347.51
Agst
124,411.40
36,967.71
161,379.11
590,052.34
114,322.64
47,056.47
242,872.10
Sept
124,411.40
20,560.29
144,971.69
590,052.34
110,634.81
34,336.87
183,130.00
Okt
124,411.40
3,204.66
127,616.06
590,052.34
114,322.64
13,293.42
68,611.20
Nop
124,411.40
28,168.27
152,579.67
590,052.34
110,634.81
41,944.86
223,705.91
Des
124,411.40
35,595.17
160,006.57
590,052.34
114,322.64
45,683.93
235,788.03
Jumlah 1,492,936.80
717,580.78
2,210,517.58
590,052.34
1,346,056.90
864,460.68
378,941.67
88
Daya dukung di wilayah NTB Lampiran 25. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di wilayah NTB No
Ketersediaan
Pulau
1 Lombok
Limbah 455,036.65
2 Sumbawa 451,964.44 NTB
907,001.10
Hijauan
Total
Populasi UT
Kebutuhan
Selisih ton/tahun
UT
404,882.69
859,919.34
403,786.95
921,138.98
-61,219.64
-26,836.01
1,492,936.80
1,944,901.24
590,052.34
1,346,056.90
598,844.34
262,507.11
1,897,819.49
2,804,820.58
993,839.29
2,267,195.88
537,624.70
235,671.10
Lampiran 26. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Bln
Hijauan alam (ton BK)
Limbah pertan (ton BK)
Ketersediaan (ton BK)
Ternak (UT)
Jan
158,151.62
1,841.87
159,993.49
993,839.29
192,556.36
-32,562.87
-168,066.44
Feb
158,151.62
9,819.33
167,970.95
993,839.29
173,921.88
-5,950.93
-32,832.70
Mar
158,151.62
145,194.79
303,346.41
993,839.29
192,556.36
110,790.05
571,819.61
Apr
158,151.62
229,574.39
387,726.01
993,839.29
186,344.87
201,381.14
1,074,032.76
Mei
158,151.62
229,365.29
387,516.91
993,839.29
192,556.36
194,960.55
1,006,248.00
Jun
158,151.62
173,095.61
331,247.24
993,839.29
186,344.87
144,902.37
772,812.63
Jul
158,151.62
39,232.50
197,384.12
993,839.29
192,556.36
4,827.76
24,917.46
Agst
158,151.62
75,437.05
233,588.67
993,839.29
192,556.36
41,032.31
211,779.67
Sept
158,151.62
28,895.88
187,047.50
993,839.29
186,344.87
702.64
3,747.40
Okt
158,151.62
19,178.81
177,330.44
993,839.29
192,556.36
-15,225.92
-78,585.42
Nop
158,151.62
75,940.91
234,092.54
993,839.29
186,344.87
47,747.67
254,654.24
Des
158,151.62
57,150.81
215,302.43
993,839.29
192,556.36
22,746.07
117,399.07
Jumlah 1,897,819.49
1,084,727.23
2,982,546.71
993,839.29
Kebutuhan (ton BK)
2,267,195.88
Selisih (ton BK)
715,350.83
Selisih (UT)
313,578.45